Jumat, 29 Maret 2019

Pemilu Berkualitas

Sistem Pemilu Demokratis Oleh :Rahman Yasin ( Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu ) Senin tanggal (10/9/2012) kemarin Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengadakan penandatanganan Peraturan Bersama Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan Pedoman Beracara Penyelenggaraan Pemilu serta MoU yang sudah dirumuskan tiga lembaga tersebut. Penandatangan dilakukan di Kantor KPU Jalan Imam Bondjol No. 29 Jakarta jam 10.30 Wib. Tiga lembaga ini setidaknya menunjukkan kepada publik bahwa ada semangat positif untuk membenahi kualitas demokrasi dalam konteks yang lebih sederhana melakukan penataan penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Tentu ini merupakan momentum yang sangat dinanti-nanti dan boleh dikatakan “sejarah baru” selama pasca reformasi. Reformasi telah melahirkan berbagai perubahan sistem politik yang cukup menggembirakan. Berbagai instrumen demokrasi dibentuk dengan maksud menata kualitas demokrasi dan dengan harapan setiap lembaga baru mampu menghasilkan solusi penyelesaian kebuntuan pembangunan nasional. Keberadaan lembaga-lembaga baru di era pemerintahan reformasi ditandai dengan empat kali amandemen UUD 1945 tetapi nampaknya dari sisi efektivitas dan efisiensi penyelesaian persoalan bangsa masih menjadi debatable. Karena realitas menujukkan kinerja lembaga-lembaga baru masihfariatif. Artinya, ada yang dapat bekerja efektif dan ada pula yang sebaliknya menambah persoalan baru dalam perspektif penataan sistem politik dan struktur ketatanegaraan kita. Maka tidak heran jika ada instrumen demokrasi yang bekerja efektif dan efisien sehingga eksistensinya di mata publik mendapatrespon positif, tetapi ada pula difungsikan menjadi pelengkap atau sekadar dimanfaatkan sebagai alat politik penguasa untuk melanggengkan kekuasaan atasnama penataan demokrasi. Dan kenyataan inilah yang melahirkan persepsi publik sebagai politik akomodasi rezim yang tidak pada tempatnya. Tetapi dalam kerangka perbaikan penyelenggaraan pemilu keberadaan tiga lembaga ini menjadi begitu fital untuk difungsikan menjadi bagian inti dari perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu. KPU, Bawaslu, dan DKPP adalah instrumen strategis yang diharapkan bisa memainkan peran berdasarkan tugas dan fungsi kelembagaan. Tetapi kebijakan kelembagaan saja tentu tidak cukup bila tidak didukung ketersediaan sumber daya manusia dan infrastruktur. Pemilu Era Reformasi Bukan lagi menjadi rahasia umum (public secret) penyelenggaraan pemilu sejak era reformasi tahun 1999, 2004, dan 2009 masih jadi perbincangan politik yang kurang menyenangkan, kecuali pemilu 1999 yang boleh jadi cukup melegahkan semua pihak. Pemilu 1999 merupakan tonggak sejarah baru dalam berdemokrasi setelah melewati musim otoriter yang panjang dan keterjebakan rezim menerapkan sistem oligarki partai politik. Selama 32 tahun masyarakat Indonesia tidak menikmati kebebasan sehingga pemilu 1999 merupakan titik tolak demokratisasi yang menghantarkan bangsa kembali menemukan semangat keterbukaan. Secara umum pemilu 1999 yang diikuti 48 partai dengan digunakan sistem stembus accord dapat dikatakan lebih memenuhi syarat “free and fair election”,namun pelanggarandan muatan conflict of interest yang turut mengganggu independensi KPU tetap saja muncul. Kontradiksi penafsiran UU No. 3/1999 tentang Pemilu antara pemerintah dan KPU memicu ketidakkonsistenan penyelenggaraan pemilu dalam menyelenggarakan pemilu yang profesional. Jenis pelanggaran tata cara penyelenggaraan pemilu 694 (30,6%), sedangkan jenis pelanggaran tindak pidana pemilu 709 (31,33%),many politic 96 (4,2%) dan pelanggaran netralitas PNS 156 (7,06%). Dengan demikian akumulasi pelanggaran pada tingkat provinsi hingga 2261 dan proses penyelesiannya pun tidak efektif. Dari total kasus yang dilimpahkan ke pengadilan 4 (0,17%), ke Kepolisian 395 (17,4%), yang diselesaikan hanya 1862 (82,35%). Betapapun demikian, pemilu 1999 mendapat apresiasi yang tinggi dari berbagai masyarakat termasuk dunia Internasional. Pemilu 2004 diikuti 24 partai politik dan menggunakan sistem yang berbeda dari pemilu 1999. Pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional terbuka untuk pileg sedangkan pilpres menggunakan sistem langsung (one man one voter). Pemilu 2004 menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Masyarakat menggunakan hak pilih selama tiga kali pemilu yakni pileg, pilpres putaran pertama dan kedua tercatat 80% dan suara sah rata-rata 95% dari DPT yang ditetapkan KPU. Pelanggaran pemilu 2004 baik pemilu calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota mencapai 3.152 kasus pelanggaran tindak pidana pemilu, dan pemilu calon anggota legislatif 2009 meningkat jadi 6.019. Secara keseluruhan pelanggaran adminsitrasi pelaksanaan pileg 2009 dari semua tahapan pemilu sebanyak 420, dan yang diteruskan Panwaslu ke KPU 317 dan yang diselesaikan KPU hanya 129 kasus. Sedangkan pelanggaran administrasi pilpres sebanyak 81 dan ditindaklanjuti ke KPU hanya 76 dan yang sangat disayangkan tidak ada penyelesian secara tuntas. (Baca: Sisi Gelap Pemilu 2009; Potret Aksesori Demokrasi Indonesia). Pemilu 2009 diikuti 44 partai politik, 12.000 calon anggota DPR, DPD, dan 32.263 caleg DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dan pilpres satu putaran diikuti tiga pasangan calon presiden namun proses dan hasil pemilu 2009 menyisahkan berbagai kecurigaan politik. Dalam konteks tersebut, penyelenggaraan pemilu selama era reformasi sesungguhnya masih jauh dari cita-cita reformasi. Kebebasan demokrasi belum seutuhnya dimaknai secara sadar dan bijak oleh semua stakeholders. Semua pihak masih mengedepankan kepentingan pribadi, golongan, kelompok, dan organisasi termasuk partai politik yang sebetulnya berperan sebagai salah satu jalur politik pengkaderan pemimpin bangsa. Perilaku partai politik dalam merebut kekuasaan cenderung distrosif sehingga konsolidasi demokrasi yang sejatinya diarahkan untuk menciptakan keadilan jadi nihil. Merawat Komitmen Momentum penandatanganan peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP dan diperkuat dengan penandatanganan MoU sekurang-kurangnya membuktikan adanya kemauan dan komitmen bersama untuk menjalankan aturan main pemilu hendaknya mampu melahirkan kesadaran baru. Sebuah kesadaran etik untuk memuliakan perilaku sosial dalam konteks kehidupan berbangsa, dan bernegara, atau meminjam istilah Jimly Asshiddiqie, saatnya memperbaiki akhlak bangsa dalam tataran politik. Kesempatan emas ini sepatutnya tidak hanya menghasilkan konsensus baru tanpa follow up secara kongrit. Tetapi peristiwa kemarin dan ke depan dalam tahapan pelaksanaan pemilu 2014 publik menaruh harapan besar adanya tindaklanjut implementasi peraturan bersama tiga lembaga ini. Semua pemangku kepentingan yang menyaksikan penandatanganan bersama ini juga diharapkan bisa aktif mengawasi kinerjadi dalam penyelenggaraan pemilu 2014. Arsip Tulisan: Jakarta, 11 September 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar