Minggu, 20 Januari 2019

Komunikasi Politik Indonesia

Komunikasi Politik Indonesia Oleh :Rahman Yasin (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta) Pendahuluan Pada era modernisasi dan globaalisasi yang semakin menunjukkan tingkat kompetisi global terus keras dan tajam, ilmu komunikasi dituntut untuk menyajikan nilai-nilai transedental filosofis sebagai basis moral. Ilmu komunikasi juga dituntut untuk menjembatani para aktor politik yang dalam fase tertentu mengalami kebuntuan komunikasi terutama menyangkut persoalan kekuasaan, kewenangan politik dalam negara. Namun demikian, dalam berbagai peristiwa politik, seringkali ilmu komunikasi dihadapkan dengan berbagai macam tantangan. Diantaranya, praktik politik yang cendrung berorientasi kebendaan. Berhasil atau gagal seseorang, baik dalam konteks berpolitik maupun membangun integritas kepemimpinan ditengah masyarakat, sangat ditentukan bagaimana seseorang tersebut mampu mentransformasikan nilai-nilai komunikasi politik secara baik dan benar. Komunikasi merupakan salah satu factor penentu berhasil tidaknya orang dalam membangun citra baiknya di masyarakat. Karena melalui seni komunikasi politik yang efektif maka orang akan bisa memaksimalkan, memanfaatkan, dan menjadikan komunikasi sebagai alat membangun kepercayaan diri dengan publik luar. Pada awal kekuasaan rezim Orde Baru, terutama sebelum ditetapkan sistem dan peraturan tentang stabilitas sosial politik, bisa terlihat secara eksplisit di mana presiden Soeharto menempatkan kebijakan pembangunan ekonomi yang begitu kuat sehingga pembangunan di bidang ini mendapatkan porsi yang besar. Pembangunan politik yang didasarkan pada stabilitas sosial politik ternyata dimanifestasikan Presiden Soeharto sebagai basis penopang kekuatan ekonomi nasional. Alhasil, di satu sisi, terlihat akselerasi pembangunan ekonomi memenuhi target kemajuan yang kompetitif sesuai agenda Repelita yang ditetapkan pemerintah. Namun, pada sisi lain, percepatan pembangunan ekonomi yang dominan sebaliknya memperparah percepatan pembangunan di sektor lain, termasuk pembangunan di bidang pendidikan. Akan tetapi, tidak teori apapun, tidak bisa membantah keberhasilan presiden Seoharto dalam membangun sistem perekonomian nasional. Soeharto mampu menjadikan stabilitas politik sebagai pilar utama menjaga stabilitas ekonomi bangsa. Peran strategis stabilitas politik tidak serta merta mampu memperkuat legitimasi kekuasaan rezim karena dianggap mampu menciptakan stabilitas ekonomi nasional yang kuat tetapi juga sistem komunikasi kekuasaan rezim yang secara yuridis formal mampu mempertahankan presiden Soeharto untuk berkuasa selama kurang lebih 32 tahun. Komunikasi Politik Dalam Kajian Ilmiah Dalam kajian ilmiah klasik telah dikenal teori komunikasi politik. Sebuah teori ilmiah yang berlandaskan pada filsafat politik, yang umumnya dikonsepsikan oleh para ilmua. Sejak zaman Cicero, dan Aristoteles telah dikenal bagaimana dasar-dasar teori komunikasi itu dibangun. Komunikasi politik kemudian berkembang seiring kemajuan zaman, menjadi sebuah kajian ilmiah. Komunikasi politik sejak ada sejak manusia bersentuhan langsung dengan aktivitas politik. Komunikasi politik juga merupakan sebuah instrumen seni berpolitik dalam melakukan interaksi sosial antara satu aktor dengan aktor lain. Pertaanyaannya ialah apakah komunikasi politik ini telah menjadi suatu telaah ilmu secara spesifik, ataukah telah menjadi bagian dari kajian ilmu sosial politik maupun sebagai sebuah ilmu komunikasi? Apabila ditelaah lebih jauh, maka sebenarnya kehadiran konsep ilmu komunikasi ini masih relatif muda. Sekitar 60 tahun silam, dalam proses perkembangan dan kemajuan zaman yang terus bergerak menuju transisi demokratisasi, ilmu komunikasi politik kemudian dijadikan sebagai salah satu dasar disiplin ilmu politik. Alwi Dahlan, menulis, bahwa komunikasi politik mulai berkembang dengan mengambil bentuk awal dalam kajian inti ilmu politik setelah peristiwa perang dunia I. Teori ini bisa dilihat dari perspektif umum tentang konsep konspirasi, rekayasa sosial, dan propaganda. Sementara itu, A. Muis menjelaskan bahwa terminologi komunikasi politik menunjuk kepada pesan sebagai suatu objek formalnya. Dengan demikian, titik tekan dari implementasi nilai-nilai politik ialah tidak terletak pada praktik politik formal maupun non formal, namun lebih ditekankan pada aspek komunikasinya. Artinya, secara kontekstual, praktik komunikasi yang dilakukan para aktor politik sebenarnya memuat pesan politik. Secara lebih spesifik dan proporsional, David V. J. Bell, mendefenisikan ilmu komunikasi sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan politik. Dalam kerangka tersebut, maka komunikasi sesungguhnya telah memasuki bidang kajian politik karena dalam nilai-nilai komunikasi tidak secara parsial mengandung makna transcendental tetapi juga meliputi pengaruh akan kebijakan negara dan masyarakat secara luas. Melalui pendekatan komunikasi politik, aktor politik akan memainkan peran sebagai pihak apakah secara individu maupun sosial kelembagaan mempengaruhi pihak lain agar bisa mengikuti apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan yang dibawah. Komunikasi juga menjadi sarana paling efektif untuk membangun kerjasama antara masyarakat, baik yang tergabung dalam kelompok-kelompok tertentu maupun secara individu. Dari telaah kajian ilmiah filosofis politik, komunikasi jelas memiliki keterkaitan erat antara politik praktis dan konsep komunikasi. Hal ini karena politik merupakan kumpulan dari sebuah ideologi yang kemudian melahirkan pesan politik melalui komunikasi. Maka secara teoritik, politik mengandung makna komunikasi. Perbedaan pemahaman mengenai politik pun dalam studi klasif mengandung perbedaan-perbedaan. Apakah politik memiliki sumber otoritas yang dapat menentukan kebijakan negara atau politik hanya merupakan sebuah seni menyampaikan pesan kepentingan. Studi Pemikiran Politik Di Indonesia Potret politik Indonesia yang masih sarat dengan politik aliran dan primordialistik acapkali memicu komunikasi politik antar calon pemimpin dalam sebuah pertarungan meraih simpati selalu mendorong terjadinya eskalasi politik. Eskalasi politik cenderung hidup dalam suasana psikologi politik masyarakat yang kurang terbuka. Akibatnya komunikasi politik massa yang dibangun senantiasa bermuara pada mobilisasi massa. Komunikasi politik berbasis mobilisasi massa dalam konteks politik di Indonesia sampai pada era reformasi ini masih dipandang sebagai salah satu faktor yang efektif. Berbeda dengan pengalaman-pengalaman komunikasi politik di Amerika Serikat dan Eropa, meskipun seni menyampaikan komunikasi politik di Amerika Serikat dan Eropa sangat ditentukan oleh personality. Dalam konteks Barac Obama misalnya, Obama mampu membangun sebuah seni komunikasi yang cukup komprehensif. Obama sangat memhami dan mengedepankan format komunikasi politik bersifat responsif. Obama tidak saja menyampaikan nilai-nilai demokrasi berbasis normatif tetapi kontekstualisasi komunikasi politik yang dikembangkan Obama untuk mempengaruhi masyarakat sarat konsep. Obama mampu merangkaikan kalimat-kalimat serta meyakinkan audensi ketika menyampaikan visi misi pembangunan masa kepemimpinannya. Obama mampu melakukan transformasi ide dengan mengurai gagasan-gagasan prospektif kedalam pemikiran-pemikiran publik. Komunikasi politik Obama, baik bersifat audiovisual, verbal, maupun nonverbal, sangat memukau masyarakat. Pendekatan komunikasi politik massa yang dilakukan Obama dalam kampanye sangat memicu psikologi masyarakat multikelas sehingga setiap gagasan yang disampaikan selalu mendapat perhatian yang baik dari masyarakat. Dalam menyampaikan gagasan-gagasan Obama selalu memperhatikan semua atuan main berdasarkan kondisi psikologi massa. Penyampaian visi misi kadang panjang penguraiannya, namun dalam mengambil kesimpulan, Obama sangat disiplin. Keteraturan waktu serta memanfaatkan peluang menyampaikan materi kampanye secara ringkas, padat, dan substantif sehingga umumnya pesan kampanye Obama akan lebih mudah diresapi, dan ditanggapi positif oleh publik. Dalam konteks politik Indonesia, menurut seorang antropolog, Edward T. Hall (1979), menyebutkan bahwa, bangsa Indonesia masuk dalam kategori kelompok high contect culture dalam komunikasi. Budaya high context cendrung diberi makna yang sangat tinggi. Sebuah masyarakat yang kurang menghargai ucapan, atau bahasa verbal. Artinya, setiap tokoh yang mampu tampil penuh meyakinkan, dan berusaha menggugah pemikiran masyarakat secara konstruktif selalu dianggap sebagai calon yang aneh. Setiap cara calon dalam menyampaikan, atau mengungkapkan visi, misi, maupun program secara meyakinkan selalu dianggap kontraproduktif. Sangat berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat dan Eropa yang pada umumnya memiliki low context culture. Sebuah masyarakat yang modern --- masyarakat yang tidak saja melihat calon pemimpin dalam menyampaikan visi misi dan program bersifat komunikasi nonverbal seperti melalui audiovisual tetapi juga penyampaian secara langsung. Karena lewat pengungkapan langsung itulah masyarakat modern akan melihat eskpresi dan keinginan dari setiap calon pemimpin. Dalam kerangka politik Indonesia, hampir tak bisa dipungkiri bahwa peta studi pemikiran politik di Indonesia tidak lepas dari hasil kajian pemikiran Herbert Feith dan Lance Castles yang menggambarkan kondisi sosiologis antropologis masyarakat Indonesia dengan berdasarkan politik aliran yang berkembang sejak pra kemerdekaan Indonesia. Dalam berbagai studi akademis, tentang pergulatan pemikiran politik di Indonesia, Feith dan Castles mampu memberikan stigma pemikiran politik di Indonesia yang kuat hingga mewarnai studi pemikiran politik Indonesia. Faith dan Castles mengklasifikasikan tiga kelompok utama yang turut aktif memainkan peran politik nasional. Ketiga kelompok tersebut, pertama kelompok yang disebut sebagai santri tradisionil, kelompok kedua santri modern, dan kelompok ketiga santri bangsawan. Ibnu Taimiyyah dalam karyanya al-Siyasah al-Syar’iya (Sistem politik Syar’iah, Pemerintah Syari’ah), secara lebih gambling, Ibnu Taimiyyah menggunakan istilah wilayah, yang didefenisikan sebagai sebuah fungsi pertaanggungjawaban, bukan dengan menggunakan istilah tradisional yakni kekuasaan. Wilayah mengandung pengertian berupa penekanan tentang tugas dan fungsi setiap umat manusia sebagai khalifah di muka bumi. Istilah kekuasaan tentu meliputi urusan-urusan pemerintahan Negara sehingga penggunaan istilah wilayah sebetulnya lebih dimaksudkan bahwa setiap orang yang diberikan amanat dalam kapasitas apapun hendaknya dikerjakan penuh tanggungjawab. Sedangkan teori politik Islam klasik dari perspektif teologi politik kaum Sunni mengambil bentuk dalam kondisi di masa daulat Abbasiah. Meskipun realitas sejarah dan politik dari kehidupan Khilafah sering menghadapi persoalan-persoalan perdebatan teologi politik dari kerang idea Islam, namun demikian setiap proses politik hendaknya didasarkan pada prinsip-prinsip identitas politik Islam yang tetap memiliki kaitan erat dengan syari’ah. Ada suatu terobosan fenomenal yang selama ini mungkin dilupakan oleh kalangan pemikiran politik Islam, adalah bahwa dalam proses perjalanan, konstruksi teori politik Islam tidak pernah mengalami pergeseran. John L. Esposito, menulis dalam karyanya, politik Islam, mengatakan, konsep politik Islam yang idea meskipun pengertiannya seringkali mengaburkan banyak realitas, namun secara umum, mampu memberikan kontribusi positif terhadap generasi-generasi berikut, termasuk generasi yang menjadikan agama sebagai basis gerakan pembaruan moral bangsa. Efek kehadiran kelompok yang mampu menggerakan semangat agama sebagai basis perbaikan system politik di setiap Negara ini juga terlihat terjadi di Indonesia. Para aktivis politik Islam berusaha keras untuk membangun citra politik Islam yang selama beberapa abad tenggelam akibat kuatnya penampilan ideologi-ideologi lain seperti kapitalisme, dan komunisme. Aktivis politik Islam terus berpacu dalam dimensi pembaruan, di mana ada semacam keinginan kuat untuk mengejar keterbelakangan dengan mempertautkan dasar-dasar politik Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di akhir abad XIX bahkan memasuki abad XX, pergulatan wacana politik Islam terkait dengan studi tentang Islam dan negara terus mengalami kemajuan pesat. Minat dan perhatian kalangan cendikiawan, dan intelektual Islam --- termasuk intelektual muda Islam Indonesia turut meramaikan perbincangan penting tidaknya kehadiran sistem negara yang menjadikan nilai-nilai sosial yang terkandung dari agama sebagai legitimasi kebijakan pembangunan negara. Islam dan negara mendapat tempat perbincangan yang cukup dominan dari perspektif wacana pembaruan sistem politik nasional. Islam dan semangat nilai-nilai sosial yang terkandung didalamnya semakin meraih simpati kalangan intelektual muda untuk mengangkatnya sebagai wacana komprehensif dalam proses reformasis sistem politik negara. Perbincangan Islam dan negara, misalnya, diramaikan oleh tokoh intelektual muda Indonesia, antara tahun 1970-an, hingga sekarang, misalnya, M. Room, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Munawir Syadzali, hingga Azyumardi Azrah, Komaruddin Hidayat, Bachtiar Effendy, Anis Baswedan Yudi Latif, dan lain-lain. Cak Nur misalnya, menegasikan pemikiran politiknya melalui seorang tokoh pemikir politik Islam terkemuka, yakni, Ibnu Taimiyyah. Dalam menulis kata pengantar buku Fiqih Siyasah yang ditulis, M. Iqbal (2001), Cak Nur, menyebut, negara Madinah pimpinan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana yang dikatakan Robert N Bellah, adalah sebuah negara yang mencerminkan korelasi antara agama dan negara dalam Islam. Muhammad Arkoun, seorang pemikir politik Islam kontemporer menyebut bahwa, ikhtiar Nabi Muhammad dalam membangun tradisi bernegara dalam kondisi Madinah ketika itu menunjukkan bahwa sebuah “eksperimen Madinah”. Eksperimen Madinah tersebut merupakan titik tolak bahkan menjadi suatu personifikasi Muhammad tentang sistem pemerintahan atau suatu tatanan sosial politik berdasarkan nilai-nilai Islam. Dalam eksperimen bernegara tersebut, Muhammad memperlihatkan bagaimana suatu sistem sosial politik itu dibangun berdasarkan landasan nilai-nilai kebaikan universal yang terkandung didalam agama Islam. Dalam konsep negara Madinah terdapat adanya pendelegasian wewenang, pembagian otoritas kekuasaan yang secara konseptual terjadi pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan dimaksudkan agar tidak terjadi sentralisasi kekuasaan yang acapkali dalam praktik bernegara seringkali memicu konflik politik akibat tidak terkelola potensi konflik politik aliran. Dalam konteks kajian politik berbasis nilai-nilai agama, maka politik sesungguhnya adalah suatu seni dan sekaligus suatu metode untuk melaksanakan tugas maupun fungsi baik secara individu maupun struktur sosial untuk mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya, keluarga, dan kalangan masyarakat luas. Politik merupakan bentuk aksi yang dilakukan para politikus, sehingga ia disebut sebagai “memolitisasi binatang untuk menggambarkan bahwa politikus menaiki dan menundukkan binatang. Di Indonesia, sejak permulaan era Orde Lama berkuasa, komunikasi politik dalam konteks membangun kekuatan negara melalui elemen-elemen penting boleh dikatakan dapat berjalan baik, meski dalam sejarah kita temukan ada peristiwa-peristiwa polarisasi. Perbedaan ideologi negara yang semula menjadi perdebatan sengit dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dapat diselesaikan dengan penuh kekeluargaan. Adalah komunikasi antar semua stakeholders baik dalam membangun persamaan persepsi sehingga semua perbedaan yang timbul ketika itu bisa dikelola secara komprehensif. Perbedaan tajam yang sempat mengancam integritas NKRI, yakni menyangkut konsep ideologi bangsa. Ada kelompok yang mendukung agar negara berideologikan Pancasila, dan UUD 1945, ada kelompok yang mendukung sistem pemerintahan negara yang bersifat demokratis, ada yang mendukung sistem negara liberal, ada kelompok yang memperjuangkan negara berdasarkan sistem pemerintahan feodalisme, ada lagi kelompok yang menghendaki agar Islam sebagai ideologi negara, dan ada juga yang menghendaki agar Indonesia berdasarkan sistem otokrasi. Sikap bijak dan konsep komunikasi politik yang bijak dan komunikatif yang diterapkan Soekarno dan Muhammad Hatta serta tokoh-tokoh lain sebagai representasi masing-masing kekuatan dalam memahami perbedaan ini, mampu melahirkan kesamaan persepsi antar mereka sehingga perbedaan yang semula dianggap menjadi pemicu untuk menghambat proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi cair. Era kekuasaan Orde Baru, komunikasi kekuasaan politik sangat tertutup. Hampir semua pusat kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, bahkan lembaga-lembaga negara tidak terlihat adanya suatu suasana komunikasi yang bersifat terbuka dan demokratis. Panglima Tertinggi Negara (Presiden) menjadi pusat utama proses transformasi komunikasi kekuasaan politik, ekonomi, pendidikan, hokum, dan sosial budaya. Rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun menerapkan sistem kekuasaan yang sangat otoriter. Demokrasi Pancasila hanya sebagai alat pemanis politik kekuasaan rezim sehingga praktis tidak tercipta iklim demokrasi yang betul-betul menempatkan hak-hak politik rakyat secara adil dan terbuka. Demokrasi yang semula diharapkan menjadi instrumen penting untuk membangun peraadaban politik bangsa yang modern tidak dijalankan dengan baik oleh penguasa. Komunikasi politik kekuasaan lintas lembaga pun praktis tidak berjalan baik karena sistem komunikasi satu arah, yakni hanya didominasi oleh eksekutif, lembaga legislatif dan yudikatif berperan sebagai pelengkap sistem bernegara sehingga pelanggaran-pelanggaran nilai politik pun tidak terhindari. Namun demikian, bukan berarti, pola komunikasi kekuasaan politik di masa pemerintahan Orde Baru tidak mampu melahirkan nilai-nilai kemaslahatan publik. Sisi positif yang dapat dilihat dari pola komunikasi politik kekuasaan yang efektif pada era Orde Baru ialah, kemampuan negara dalam mengorganisir semua kekuatan elemen bangsa ke dalam satu komando. Di satu sisi, kebebasan rakyat dalam berekspresi, berkelompok, berserikat, dan menentukan preferensi politik tidak ada, tetapi di sisi lain tingkat kesejahteraan masyarakat terlihat cukup baik. Kegagalan rezim Orde Baru ialah tidak menjalankan demokrasi secara baik, sedangkan kesuksesan rezim Orde Baru yang paling diakui masyarakat ialah konsisten mengutamakan stabilitas politik sehingga stabilitas ekonomi menjadi sangat kuat. Stabilitas politik dilihat dari jargon pemerintah yang tertuang dalam Trilogi Pembangunan --- meliputi stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan. Nasionalisme dan Komunikasi Media Hampir setiap tahunnya, nuansa peringatan hari ulang tahun kemerdekaan republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 seringkali disertai dengan aktivitas-aktivitas seremonial yang kadang cenderung tidak memiliki nuansa filosofi historis dibalik perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Momentum hari bersejarah di tengah krisis integritas teritorial dan krisis kepercayaan rakyat terhadap para elit pemimpin bangsa nampaknya masih memperlihatkan betapa dimensi historis ini masih tetap memberikan arti ikatan emosial plus sosial politik sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tanggal 17 Agustus 1945 memiliki kisah historis-filosofis tersendiri bagi warga masyarakat Indonesia. Dimensi historis-filosofis itulah para the founding fathers melalui Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta berusaha keras mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang tidak saja jadi harapan para pejuang tapi dambaan para pemuda yang punya rasa sense of belonging untuk membentuk negara Indonesia secara berharkat dan bermartabat. Segenap the founding fathers dan pemuda menghendaki agar kemerdekaan Indonesia segera diumumkan untuk menghindari kesan negatif kalau kemerdekaan Indonesia lebih sebabkan oleh pemberian atau hadiah dari penjajah. Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai simbol revolusi kemerdekaan pun dipaksa --- ditekan oleh para pemuda ketika itu yang menghendaki supaya proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan sebelum penjajah keluar dari bumi Indonesia. Detik-detik yang sangat menentukan peristiwa proklamasi kemerdekaan diwarnai perdebatan antara kelompok tua dan para kelompok muda yang sudah tidak sabar. Terbukti dua hari menjelang proklamasi, Soekarno dan Hatta diculik oleh sekelompok anak muda dan dibawah ke Rengasdengklok yang pada intinya mempercepat proses pengumuman kemerdekaan. Sikap para pemuda ini jelas merupakan refleksi rasa nasionalisme kebangsaan akibat penindasan dan pengeksploitasian yang dilakukan kaum penjajah sehingga memunculkan kesadaran kolektif untuk bersatu dan berdaulat dalam bingkai NKRI. Dan usaha para pemuda ini menemukan hasilnya, yakni pada tanggal 17 Agustus 1945 lewat Soekarno dan Hatta, akhirnya proklamasi kemerdekaan Indonesia pun dikumandangkan. Nasionalisme kaum pemuda yang ditampilkan seperti ini sesungguhnya merupakan suatu kesadaran sekaligus awal dari sebuah proses untuk membangun komitmen moral kebangsaan yang kuat dalam mewujudkan cita-cita kehidupan nation states yang lebih baik. Dalam catatan Ensiklopedia Britanica, dapat dipahami bahwa rasa nasionalisme merupakan jiwa, yang menempatkan setiap induvidu merasa untuk memiliki keduniawian atau konteks sekarang identik dengan paham sekuler yang menjadikan liberalisme dan kapitalisme sebagai dimensi tertinggi negara kebangsaan. Sedangkan dalam formulasi International Encyclopedia of Social Science, nasionalisme dapat dipahami sebagai suatu ikatan politik yang mampu mengikat satu kesatuan dari seluruh elemen masyrakat yang plural, modern sekaligus memberikan determinasi legitimasi terhadap tuntutan kekuasaan. Atau dalam logika Huscer dan Stevenson, nasionalisme, artinya memiliki rasa cinta yang secara natural kepada tanah air di mana setiap induvidu dilahirkan. Pendapat lain yang dikemukakan Hans, nasionalisme sebagai wujud cita-cita bahkan bisa berupa suatu keadaan alias gejala jiwa baik secara induvidu maupun secara struktur sosial yang memiliki model maupun bentuk tertentu dari suatu entitas atau institusi politik bangsa yang merupakan sumber inspirasi akan potensi kebudayaan dalam menciptakan iklim kesejahteraan ekonomi yang lebik kondusif. Dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno memberikan pengertian nasionalisme sebagai suatu upaya terjalinnya rasa ingin bersatu, perasaan, perangai, dan nasib, serta persatuan antara orang dan tempat. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan rapuhnya rasa nasionalisme pemuda masa sekarang? Di mana peran negara dalam mengatasi krisis nasionalisme pemuda? Menjawab pertanyaan ini tentu harus dilihat dari berbagai konteks multidimensional. Karena banyak faktor yang jadi pemicu krisis nasionalisme pemuda zaman sekarang. Krisis multidimensional telah mampu menggerogoti dimensi nasionalisme kebangsaan pemuda terutama dalam kurun masa transisi reformasi dan demokratisasi. Demokrasi dan hak asazi manusia (Ham) telah menjadi tema sentral dalam berbagai diskurus. Keberhasilan pembangunan khususnya dalam membongkar mitos kediktatoran rezim masa lalu setidaknya memberi ruang gerak bagi demokratisasi, walau dalam hal tertentu demokrasi selalu bersikap ambigiu sehingga proses pembentukan karakter pemuda cenderung berdasarkan simbol-simbol kebebasan dan kemerdekaan yang berlebihan atau yang lazim disebut reformasi kebablasan. Perilaku menyimpang sebagai pintu masuk kerusakan moral terus mengalami peningkatan. Transformasi informasi dan komunikasi yang begitu pesat membuat para pemuda semakin kehilangan makna identitas. Kemajuan ilmu dan tekhnologi disatu sisi menguntungkan umat manusia, tetapi, di sisi lain dapat berimplikasi negatif. Peran Media Perkembangan informasi dan kemajuan tekhnologi terutama melalui peran pers yakni media massa sangat menentukan bagi proses pembentukan karakter kebudayaan bangsa. Jika pers memiliki visi nasionalisme kebudayaan nasional yang tinggi maka lambat laun masyarakat termasuk pemuda akan cenderung kepada apa yang menjadi rasa tanggung jawab sosialnya terhadap bangsa dan negara. Pers sebagai salah satu pilar demokrasi semestinya mampu memainkan peran strategis konstruktif dalam membentuk karakter masyarakat. Pers sebagai lembaga sosial yang memiliki sifat-sifat kelembagaan (institusional character) sekaligus sebagai lembaga ekonomi atau perusahaan yang merupakan bagian inti suatu industri jasa seyogyanya tidak sekadar mengejar keuntungan semata tetapi bagaimana pers mampu mentransformasikan kelembagaannya sebagai institusi pendidikan yang dapat merubah pola dan perilaku masyarakat secara komprehensif. Dengan demikian, pers bisa menempatkan dirinya sebagai institusi sosial kontrol sekaligus sebagai lembaga pengemban dan pengubah sistem kehidupan yang lebih teratur dan sistematis. Tetapi, kecenderungan dan realitas sosial kontemporer justru menunjukkan fakta sebaliknya, beberapa perusahaan industri pers telah disalahgunakan oleh pemilik media tertentu. Fenomena ini bisa menimbulkan krisis nasionalisme pemuda masa sekarang. Kecenderungan beberapa stasiun Televisi swasta yang menyuguhkan program hiburan berupa sinetron seringkali kurang memiliki syarat pendidikan. Nilai-nilai kebudayaan justru didistorsi melalui media yang didasari dengan keadaan pikiran yang oleh Johan Huizinga disebut sebagai “kekanak-kanakan.” Di mana manusia dewasa ini cenderung bertindak kekanak-kanakan, dalam konteks negatif berdasarkan pertumbuhan mental: hiburan sinetron yang terkesan perilaku kepalsuan dan sikap asli yang dipaksakan, rasa humor yang tidak sesuai sikap asli, kebutuhan sensasi-sensasi murahan, kecenderungan kepada parade-parade massa, bahkan personifikasi ekspresi kebencian, cinta, pujian dan kutukan juga terlihat sangat berlebihan. Ramuan program TV menyuguhkan sinetron yang syarat dengan perilaku kekerasan rumah tangga, kekerasan sosial ekonomi bahkan kekerasan psikologis yang dipaksakan bisa menjadi akses bagi kerusakan pertumbuhan mental generasi muda bangsa. Peran ganda pers terutama media elektronik sekarang ini berpotensi menghidupkan tradisi paradigma global capitalist system yang dalam perspektif kultur mengarah pada fashioned culture yang notabene disokong oleh ideologis kapitalistik yang tidak terlepas dari peran ganda negara. Dari sisi, jelas krisis nasionalisme akan muda terjadi dan pada gilirannya memunculkan konflik ideologis parsial. Menjadi media yang profesional tidak selalu menghadirkan program-program yang selalu bersentuhan dengan nuansa-nuansa perkembangan globalisasi demografi yang pada hakekatnya bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan kebangsaan nasional. Sayangnya, kecenderungan dan realitas perkembangan media sekarang sudah mulai berorientasi pada kompetisi keuntungan ekonomi sehingga peran profesional media yang diharapkan bisa menjadi salah satu faktor penunjang dalam mewarnai dinamika sosial kebangsaan terus mengalami degradasi. Maraknya tayangan beraroma mistik dan sinetron-sinetron dengan menampilkan kehidupan berbasis sekular-materialistik sudah barang tentu selain tidak mendidik juga sangat tidak memiliki esensi moralitas dalam membentuk eksistensi bangsa. Peran Negara Dalam menyikapi problematika sosial kebangsaan yang kompleks terutama krisis nasionalisme pemuda yang makin hari makin meresahkan, maka negara sebagai kesatuan tatanan (unity of order) --- kesatuan formal yang menjadi obyek dari formulasi kebijakan secara rasional-idealistik, walau dalam kesatuan tidak menciptakan substansi baru, namun dengan kekuatan kekuasaan yang legitimic harus mampu melakukan tindakan-tindakan persuasif bahkan perlu tindakan preventif (self-motivated action) guna menciptakan rasa nasionalisme akan kebangsaan. Secara sosio-historis, artikulasi nasionalisme yang sudah diletakan para the founding father yang notabene adalah para tokoh intelektual muda yang di awal abad 20 ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo (1908). Nasionalisme kebangsaan juga bangkit melalui gerakan yang dipelopori Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo, HOS Tjokroaminoto, hingga generasi yang lebih muda seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, SM Kartosoewirjo, Tan Malaka, dan masih terdapat banyak tokoh muda yang menginspirasi hadirnya kemerdekaan. Gerakan kaum intelektual muda menanam rasa nasionalisme juga sudah terjadi sejak tahun 1928. Di mana para pemuda berkumpul merumuskan gagasan identitas nasionalisme kebangsaan melalui dokumen Sumpah Pemuda tepatnya tanggal 28 Oktober 1928 yang hingga sekarang masih diperingati sebagai hari lahirnya sumpah pemuda. Dalam konteks itu, memaknai nasionalisme kebangsaan nation states, Pemerintah sebagai pembuat regulasi harus menciptakan sistem sosial yang mendukung masyarakat dalam mengartikulasi kemerdekaan dan kebebasan, termasuk pers sebagai penyebar informasi dilakukan secara konstruktif dan proprsional. Kebebasan dan kemerdekaan tidak boleh dimonopoli oleh pers tertentu yang cenderung menampilkan aneka pornografi dan pornoaksi yang pada gilirannya mengancam kerusakan moralitas pemuda masa kini ditengah kegamangan globalisasi dan westernisasi. Dalam konteks tersebut, peran dan transformasi nasionalisme pemuda atas semangat kebangsaan merupakan suatu keniscayaan agar nasionalisme kaum pemuda masa kini tidak jadi tanda tanya atau mungkin lebih radikal “digugat”. Titik sentral dekonstruksi paradigma destruktif sekaligus merekonstruksi pemikiran pemuda masa kini yang lebih bermuatan nilai-nilai kebhinekaan juga merupakan suatu keniscayaan. ___________________________________ Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas Oktober 2011.   Daftar Pustaka Ali Masykur Musa, Magnitude Komunikasi Politik Obama, http://andika-artikel.blogspot.com/2008/11/magnitude-komunikasi-politik-obama.html. Anwar Arifin, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila; Suatu Kajian Mengenai Pers Pancasila, Penerbit, Media Sejahtera, Jakarta, 1992. Yusuf Al-Qardhawi, Legalitas Politik, Dinamika Perspektif Nash dan Asy-Syariah, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2008. Ibnu Taimiyyah, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, Pustaka, Bandung, 2001. John L. Esposito, Islam dan Politik, Bulan Bintang, Jakarta, 1990. Koran Republika, Kamis, 16 Juni 2011, Orde Baru, hlm. 24.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar