Selasa, 25 September 2018

Pemberantasan Korupsi Dengan Pendekatan Norma

Penguatan Sistem Etika Dalam Pemberantasan Korupsi Oleh: Rahman Yasin (Dosen di Universitas Islam As-Syafi’iyyah Jakarta) Mengapa korupsi tidak mudah diberantas? Mungkinkah agama memberantas korupsi sedangkan dalam organisasi agama pun terjadi korupsi? Mungkinkah lembaga penegakan hukum dan peradilan memberantas korupsi sedangkan dalam organisasi mereka juga terjadi korupsi yang paling hebat? Dapatkah organisasi pemerintahan menjadi bersih sedangkan pemimpin dan pemerintah itu korup? Lalu apa relevansinya pembangunan sistem etika (kode etik) dalam praktik kehidupan bernegara di dunia modern sekarang ini? pertanyaan-pertanyaan ini memang boleh dikatakan sangat profokatif, namun sekurang-kurangnya pertanyaan-pertanyaan tersebut mengajak kita semua untuk berpikir secara kritis dan melakukan refleksi sosial terhadap problematika sosial kebangsaan kita sekarang yang dirasakan semakin jauh dari nilai-nilai etika kehidupan berbangsa. Tulisan ini tentu tidak secara utuh mengulas jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas, akan tetapi saya ingin mengetuk pintu hati kita semua dan mencoba mengajak kita semua untuk sedikit melihat kondisi faktual terkait krisis kehampaan etika sosial dan secara bersama-sama mengajak kita semua mencarikan jalan keluar untuk mengatasinya tentu dengan perspektif pemahaman kita mengenai sistem etika dalam kehidupan bernegara. Agama bisa membantu memberantas korupsi, dengan catatan metode yang dipakai itu benar. Seringkali agama menggunakan cara yang salah. Kita mulai dengan fakta tentang statistik negara-negara korup dan bersih di dunia. Yang lebih menggelisahkan, manakala kita mencermati para koruptor, kita melihat mereka gemar berbaju dan berbahasa religius, seolah hidupnya bersih. Mungkin agama bagi mereka hanya sekadar kedok untuk menutupi keburukan perilaku mereka. Mungkin juga perilaku yang nampak agamis tetapi sekadar jadi hiburan yang menenteramkan pikiran para pelaku koruptor. Malah mungkin saja ada koruptor yang berpura-pura religius; mencoba menipu Tuhan dan menipu dirinya seakan dosanya bisa diampuni dengan kegiatan amal dan perilaku religius serta menyumbang sebagian hasil korupsi untuk amal. Padahal, Tuhan tidak bisa ditipu. Memang, meskipun kita semua sepakat korupsi merupakan hal yang negatif, sejumlah peneliti menemukan “manfaat” dari praktek korupsi bagi masyarakat. Menurut Sun Yan, ahli politik Asia di City University of New York, di banyak negara Asia, terutama China, korupsi membuka jalan bagi kelompok-kelompok masyarakat marjinal untuk mengakses dan memperoleh bagian dari sumber-sumber daya negara. Sebagaimana ditulis Britta Hilstrom dalam Effects of Corruption on Democracies in Asia, Latin America, and Russia (September 1997), Sun Yan mengungkapkan, “Korupsi menyajikan ruang gerak dengan menawarkan perangkat bagi orang-orang yang berada di luar sistem, baik untuk menghindari kontrol pemerintah maupun untuk mencari keuntungan dari kontrol pemerintah ini.” Karena dirasa ada manfaatnya, pendapat Sun Yan itu lalu dijadikan pembenar atau legitimasi. Malah yang lebih ngeri, legitimasi itu kadang juga dicari-cari tambahannya dari sumber agama meskipun semua agama sebenarnya mengutuk korupsi. Para koruptor mempunyai penafsiran sendiri akan keyakinan agamanya untuk membenarkan praktek korupsi yang telah dan akan dilakukan. Banyak koruptor kita entah muslim atau kristiani mempunyai keyakinan bahwa dosa akibat korupsi mereka bisa diputihkan atau diampuni Tuhan, semisal dengan tindakan ritual atau amal. Dalam konteks ini, tepat pendapat cendekiawan muslim Abdul Munir Mulkan bahwa kekayaan ilmu agama sering mempermudah seseorang memanipulasi tindakan kesalehan hanya untuk memutihkan perilaku maksiat dengan matematika pahalanya. Jadi, para koruptor yang agamis semacam itu justru kurang ajar sekali karena sepertinya mereka malah berani menyuap Tuhan sendiri. Jelas penafsiran akan model pemutihan seperti itu merupakan penafsiran sangat banal sehingga korupsi, seperti kata aslinya dalam bahasa Latin corrumpere (berarti membusukkan), benar-benar akan membusukkan mentalitas dan spritualitas kita yang masih mencoba memakai nalar sehat. Prognosis Syed Hussein Alatas, korupsi yang menggurita dan melembaga akhirnya hanya akan membusukkan, menggerogoti habis, dan menghancurkan masyarakatnya sendiri (self-destruction). Ideologi uang yang begitu dominan telah membuat sebagian orang Indonesia, di antaranya para koruptor, tidak lagi menyakini sila pertama Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebaliknya berkeyakinan pada “keuangan yang mahakuasa”. Pendapat seperti itu sebenarnya bukan baru lagi, karena sejak era Yunani kuno, para filsuf sudah mengingatkan the love of all money is the root of all evil atau cinta akan uang merupakan akar dari semua kejahatan (Bdk I Timothy 6:10). Anthony Simson dalam The Midas Touch (1991) membeberkan sesungguhnya posisi agama konvensional saat ini suka atau tidak memang telah dipinggirkan oleh agama uang (religion of money). Karena itu, boleh jadi agama yang dianut para koruptor memang agama uang, bukan agama sejati seperti Islam atau Kristen. Agama sejati seharusnya menjadi inspirasi agar perilaku kita bersih, ada satunya kata dan perbuatan. Namun, agama tak bisa dipersalahkan dalam masalah korupsi ini. Bahkan, mungkin agama tidak ada kaitannya dengan maraknya korupsi di negeri ini. Solusi utama pemberantasan korupsi ada pada penegakan hukum positif kita. Namun, bila orang tidak takut dan menghormati hukum positif ini, ya kita serahkan para koruptor pada hukum Tuhan pada saat mereka meninggal nanti. Pelaksanaan pidana penjara di Indonesia yang diatur dalam Undang-undang No. 15 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan merupakan perubahan secara yuridis filosofis dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Namun dalam kenyataannya, pidana penjara yang merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan sebagai sarana menaggulangi masalah kejahatan dewasa ini posisinya cenderung mengalami degradasi, karena mendapat tantangan dan tekanan dari berbagai kalangan. Pidana penjara sekarang mulai pudar pamornya, justru akibat yang ditimbulkan, seperti mencetak penjahat-penjahat baru dan lebih berbahaya, selain itu pidana penjara juga menunjukkan kelemahan-kelemahan, yaitu menciptakan dehumanisasi maupun desosialisasi, yang dialami mantan narapidana. Dalam Islam sendiri esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah pertama, pencegahan serta pembalasan (ar-rad'u wa az-zajru) dan kedua, adalah perbaikan dan pengajaran (al-i amplah wa al-tahzib). Berangkat dari paradigma diatas maka menghasilkan pemahaman bahwa pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan adalah sesuai dengan tujuan pidana dalam hukum pidana Islam dan pelaksanaan pidana penjara yang berlaku di Indonesia belumlah se-efektif yang diinginkan, ini terbukti dengan semakin menigkatnya tindak kejahatan dimasyarakat dan masih besarnya kesan buruk masyarakat terhadap para mantan narapidana. Reartikulasi Nilai-nilai Etika dan Moral dalam Praktik Kehidupan Berbangsa Dalam diskursus nilai moral setidaknya terdapat dua pendapat yang berkembang tentang nilai moral, yakni moral dan nonmoral. Nilai moral merupakan manifestasi dari kejujuran, tanggungjawab, dan keadilan yang menuntut setiap pribadi untuk berkewajiban menunaikan semacam jani apabila berjanji, membayar hutang apabila berhutang, mengurus tanggungjawab sosial serta senantiasa ditekankan berlaku adil dalam suatu urusan yang berhubungan dengan orang lain maupun lingkungan dimanapun orang itu berada. Nilai moral selalu menekankan apa yang seharusnya kita lakukan sesuai nurani dan apa yang dilakukan harus betul-betul sejalan dengan nilai-nilai kebaikan meskipun itu bertentangan dengan keinginan yang pribadi yang bersangkutan. Sedangan pemahaman nilai dalam pengertian nonmoral secara filosofis empirik tidak mengandung mengenai adanya suatu keharusan atau semacam kewajiban untuk melakukan sesuatu berdasarkan nurani. Nilai nonmoral menekankan pada dimensi keinginan dan kebutuhan, dan dengan demikian nilai nonmoral tidak mewajibkan suatu perbuatan yang didasarkan pada nurani. Dalam hal ini boleh jadi seseorang sangat berkeinginan main sepak bola atau menyaksikan pameran namun tidak diwajibkan seseorang harus melakukannya. Itulah yang membedakan antara nilai moral dan nilai nonmoral. Nilai moral lebih menekankan dimensi nurani sedangkan nilai nonmoral lebih mengedepankan aspek kebutuhan dan keinginan. Nilai-nilai moral bersifat wajib sedangkan nilai nonmoral sebaliknya. Nilai moral dibagi menjadi dua kategori, pertama kategori universal dan kedua kategori nonuniversal. Nilai universal menuntut setiap kita untuk senantiasa berlaku adil terhadap sesama yang didalamnya memuat adanya kesetaraan, kebebasan, kemandirian, dan sifatnya mengikat bagi siapapun dan dimanapun untuk mengutamakan kemanusiaan karena kemanusiaan sebagai wujud dari manifestasi atas harga diri yang fundamental. Penguatan Sistem Etika dalam Kehidupan Berbangsa Tahun 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan sebuah pengakuan atas validitas nilai-nilai moral dasar dengan mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sebuah “dokumen mahal ini secara substantif menegaskan bahwa setiap warga negara dari setiap negara memiliki hak untuk: hidup bebas dan merdeka dari penindasan, bebas dari perbudakan, bebas dari penganiayaan, bebas memilih agama dan mengikuti hati nurani, bebas berekspresi, bebas memiliki privasi, keluarga, dan berhubungan dengan pihak lain, bebas berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, pendidikan, dan mendapatkan standar kehidupan yang memadai untuk memelihara kesehatandan kesejahteraan. Jika dicermati dan direnungkan dengan baik, maka semangat untuk mentransformasikan nilai-nilai moral bagi semua negara sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tersebut dalam praktik mengalami kegagalan-kegagalan di sana sini namun yang patut dipahami bahwa kegagalan tersebut bukan merupakan suatu bentuk penyangkalan terhadap validitas nilai-nilai moral yang melatarbelakangi dokumen historis tersebut melainkan lebih disebabkan ketidaksiapan banyak negara dalam mengelola sistem budaya masing-masing untuk menyesuaikannya dengan tuntutan zaman. Sebaliknya, nilai-nilai moral nonuniversal tidak mengandung suatu keharusan untuk wajib bertindak sesuai hati nurani atau tidak ada kewajiban moral yang sifatnya universal. Dalam konteks pemahaman moral juga terjadi bias interpretasi sehingga usaha menginstitusionalisasikan nilai-nilai moral selalu dianggap bertentangan dengan kebebasan. Padahal Aristoteles yang mengatakan manusia sebagai makhluk sosial (zoon politican) kemudian oleh Plato yang mengatakan bahwa manusia dalam hidup pada khodratnya memiliki tujuan untuk mencapai kesenangan dan kebahagiaan. Kesenangan dan kebahagiaan yang bersifat indrawi dan ide. Plato bahkan konsisten dengan gagasannya tentang the transcendent good. Etika selalu berhubungan dengan persoalan-persoalan nilai karena etika berkaitan dengan predikat nilai dan hal-hal bersifat susila dan tidak susila. Kualitas kebajikan yang merupakan berlawanan dengan keburukan. Sigmund Freud mengemukakan manusia memiliki potensi konstruktif dan destruktif. Sedangkan untuk memahami sifat moral terjadi perdebatan yang memicu kontroversial. Setidaknya dalam perspektif memahami sifat moral muncul dua pemikiran yakni pertama perspektif objektivistik-universal dan kedua perspektif realativistik-kontekstual. Terlepas dari perdebatan ilmiah, perlu kita pahami bersama bahwa persoalan kekinian yang tengah melanda kehidupan dunia modern ialah persoalan moral. Artinya, persoalan moral telah menjadi salah satu embrio bagi problem-problem lainnya karena moral menjadi sumber dari timbulnya persoalan-persoalan yang ada. Maka jangan pernah berharap ada perbaikan kualitas kehidupan berbangsa yang bagus tanpa adanya reformasi pemikiran akademis yang komprehensif karena dari gagasan atau meminjam istilah Plato tentang kebahagiaan dicapai melalui ide maka kita bisa merancang dan memformulasi suatu sistem yang mengarah pada bagaimana bangsa besar ini mengedepankan karakter kebangsaan (nation and character building). Dalam konteks hubungannya dengan moral dan ilmu pengetahuan sebenarnya negara-negara maju dan berkembang sudah mempunyai suatu konsensus seperti yang pernah dibicarakan dalam Majelis Pengetahuan pada tahun 1947 dan kemudian tahun 1949 di Majelis Internasional di Genewa yang diberi nama “Recontres international di Genewa” dalam acara tunggal “Progres techniquet progres moral”. Forum ini sempat melahirkan perdebatan ilmiah seputar apakah ilmu pengetahuan a-moral atau im-moral, atau bahkan moralist. Tidak saja ilmu pengetahuan yang mendapat kritik tajam tapi juga kritik yang sama terjadi ketika orang membincangkan persoalan moral dengan agama. “moral agama” pernah dikritik dalam sebuah kongres Freethinkers pada tahun 1912 di Munchen. Bahkan kongres Freethinkers ini menghasilkan ketetapan yang kontroversial di mana butir-butir ketetapan diantaranya memuat mengenai kesopanan yang berdasarkan agama merupakan sesuatu yang dipandang tidak sopan, bahkan lebih ekstrim lagi salah satu bunyi ketetapan mengatakan bahwa setiap urusan yang melibatkan intervensi agama dan kesopanan agama hendaknya dianggap sebagai hal yang merugikan. Sesungguhnya pemahaman sebagaimana digambarkan di atas adalah konstruksi pemikiran yang keliru. Dalam bukunya “Religion and Modern man, John B. Magee mengatakan, zaman modern tanpa agama dan moral sebenarnya sudah berjalan sejak 300 tahun lamanya yakni sejak generasi Galileo tahun 1632 hingga zaman Hitler 1933 (The 300 years from the publication of Galileo’s Dialogue in 1632 to Hitler’s appointment as Chancellor of Germany in 1933 represent in round numbers the epoch I have called modernity). Bahkan kediktatoran Hitler dan Nazinya telah meluluhlantakan sistem nilai-nilai kemanusiaan universal termasuk sistem politik di negara-negara yang ketika itu mengalami rotasi demokratisasi. Hitler digambarkan Henry C. Link dalam bukunya “The rediscovery of moral’s membenarkan perspektif Magee yang mengatakan, Hitler sebenarnya berusaha menghancurkan moral internasional dengan menggunakan terminologi (...... should be the first in modern times to reject international morality with the cynical world “a scrap of paper”). Dalam perspektif pemahaman menegani moral ini semakin diminati bahkan terus menjadi perhatian masyarakat modern sehingga pada titik tertentu negara dalam menghadapi persoalan-persoalan etika dan moral tetap dipandang sebagai bagian dari usaha untuk mewujudkan sistem kehidupan berbangsa yang berperadaban. Al Gazali dalam teorinya mengatakan, manusia atau suatu entitas masyarakat yang telah mempunyai konsensus bersama untuk hidup bersama jelas membutuhkan semacam rumah yang canggih dan modern yang di dalamnya terisi berbagai perabot kebutuhan manusia yang menghuninya. Al Gazali menggunakan istilah “bilad” atau “balad” (negeri) yang tentu menjadi prasyarat utama terbentuknya sebuah negara. Dengan demikian, negeri yang kemudian mengalami evolusi sesuai perkembangan zaman berubah menjadi negara dan dengan sistem kenegaraan maka secara formal negeri atau negara memerlukan institusi-institusi dengan tujuan mengatur keselamatan-keselamatan masyarakat baik bersifat pribadi maupun kolektif. Itulah sebabnya kita mengenal istilah misahah dalam urusan pembagian tanah pada rakyat dan distribusi kekuasaan politik secara adil, dan ada istilah lain yaitu jundiyah yakni memberikan perlindungan bagi semua warga negara, dan tentu semua itu dilakukan lewat suatu pemerintahan. Pemerintahan negara yang memiliki standar hukum (fiqih). Hukum ditujukan untuk mengatur dengan menetapkan, menjatuhkan sanksi bagi setiap warga negara yang melanggar baik norma hukum, norma etika, dan norma-norma budaya negara bersangkutan guna menciptakan ketertiban dan kedamaian bersama. Dalam menciptakan suasana ketertiban dan kenyamanan bernegara jelas diperlukan kemauan kuat serta tekad yang sungguh-sungguh dari semua elit masyarakat termasuk stake-holders yang ada. Kesadaran kolektif yang bersifat ethical principle atau sebagai asas etis untuk mewujudkan kedamaian. Kesadaran dalam ethical rationalism atau rasionalisme etis seperti yang canangkan Socrates, Plato, dan Aristoteles. Manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki fungsi akal dan mempunyai tujuan utama dalam kehidupan akalnya. Dalam perspektif ini maka sistem metafisis sebagaimana dikemukakan Plato dan Aristoteles yang menekankan dimensi watak rasional dari realitas bagi manusia rasional untuk memahaminya. Dengan demikian, seiring terus berjalannya waktu, perkembangan ilmu dan pengetahuan terus mengalami peningkatan dan berbagai riset, pendalaman keilmuan pun terus dilakukan sehingga dengan pendekatan ikhtiar penelitian, konsep etika dan moral kemudian dipahami sebagai sesuatu yang bersifat personal namun tetap menjadi kesatuan dari etika sosial. Itulah sebabnya kita mengenal ada etika privat dan etika publik. Penguatan Norma Hukum dalam Praktik Bernegara Dalam memahami masalah norma hukum yang berlaku atau pun yang secara umum diterapkan dalam sistem kehidupan sosial masyarakat maka terlebih dahulu yang dipahami adalah penafsiran norma terhadap suatu objek melalui perilaku manusia itu sendiri dalam konteks masyarakat hukum. selain memahami penafsiran-penafsiran norma terhadap sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan sosial bernegara juga yang harus menjadi landasan pemahaman atas interpretasi norma tersebut harus dari pemahaman mengenai ilmu hukum karena perilaku manusia merupakan pengejawantahan dari konteks norma hukum. Artinya, peranan ilmu hukum menjadi legitimasi atas interpretasi perilaku manusia menjadi hal yang mendasar dalam kehidupan sosial bernegara. Kesadaran masyarakat mengikuti aturan hukum dalam kehidupan sosial merupakan bagian dari perwujudan negara menciptakan tatanan sosial yang lebih berdasarkan pada norma hukum. Masyarakat akan menjalankan norma hukum dengan konsisten manakalah ada keteladanan elit politik seperti pejabat negara dalam mengikuti aturan norma hukum yang telah disepakati. Maka akibat logis dari kedaulatan hukum dapat digambarkan sebagai berikut; hukum mengatur pembentukannya sendiri karena norma hukum menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum yang lain, dan sampai derajat tertentu, menentukan isi norma lainnya. Dengan demikian validitas norma hukum lantaran dibuat menurut cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya. Norma hukum lainnya ini adalah landasan validitas norma hukum yang disebut pertama. Dengan kata lain, konstitusi adalah sumber hukum utama dalam membentuk undang-undang dan undang-undang merupakan preseden bagi peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya, dan seterusnya. Dalam kaitan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, Maurice Hauriou seorang sarjana berkebangsaan Prancis ini mengatakan: “Under the rule of a national constitution, no public authority is sovereign in the sense that is cannot be controlled in exercise of its power or in the performance of its function ..... Uncontrollable sovereignty lies only in the nation and is not delegated at all. All delegated sovereignty is controllable”. Di bawah peraturan konstitusi nasional maka tidak ada otoritas publik yang berdaulat dalam arti kewenangan tidak dapat dikontrol pada tahap implementasinya atau pada tingkat menjalankan fungsinya. Artinya tidak ada kedaulatan yang dapat dikontrol terkecuali kedaulatan rakyat, tetapi kedaulatan rakyat yang didelegasikan dalam sistem peraturan dan perundang-undangan maka wewenangnya tetap harus dikontrol. Ilmu hukum menjelaskan norma-norma hukum yang menggambarkan semua aktivitas sosial manusia dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan bernegara. Perilaku manusia dalam kehidupan sosial bernegara yang menunjukan memenuhi standar maupun kriteria peraturan dan perundang-undangan yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Tindakan manusia hendaknya mengikuti aturan-aturan baik normatif maupun empiris yang sudah menjadi konsensus dalam bernegara. Maka dalam perspektif ini, tindakan dan perilaku manusia harus memperlihatkan adanya ketaatan terhadap norma hukum. Akan tetapi yang perlu dijelaskan di sini adalah pemahaman mengenai kalimat-kalimat yang digunakan ilmu hukum dalam menjelaskan norma-norma serta relasinya sebagai aturan hukum yang mesti dibedakan dari norma hukum yang merupakan hasil produk manusia melalui otoritas hukum sehingga dalam praktik peraturan dan perundang-undangan dalam kehidupan sosial bernegara akan dengan mudah terkonfirmasi perilaku manusia tadi apakah mereka patuh atau tidak pada aturan hukum yang dibuat oleh mereka sendiri. Namun norma yang diberlakukan oleh otoritas hukum (yang menetapkan konpensasi atas kerugian dan eksekusi perdata atas perbuatan ingkar tersebut) tidak bisa dinyatakan benar atau salah, karena ini bukanlah penegasan tentang suatu fakta, bukan pula penjabaran tentang sebuah obyek, melainkan sebuah penerapan, dan dengan demikian ini merupakan obyek yang mesti dijelaskan oleh ilmu hukum. norma yang dibuat oleh legislator (yang menetapkan eksekusi kepada orang yang mengingkari janji perkawinan dan tidak mau memberikan ganti rugi), dan pernyataan yang dibuat oleh ilmu hukum dan menjelaskan norma ini (eksekusi itu harus dilakukan terhadap orang yang mengingkari janji perkawinannya dan tidak memberi kompensasi atas kerugian yang ia timbulkan) – ungkapan-ungkapan ini berbeda secara logika. Aturan hukum yang dirumuskan oleh ilmu hukum bukanlah pengulangan sederhana dari norma hukum yang diciptakan oleh otoritas hukum. meski begitu, keberatan terhadap pernyataan bahwa aturan hukum tidaklah berguna bukanlah suatu bantahan yang tanpa dasar, seperti halnya pendapat bahwa ilmu alam itu tidak berguna di sisi alam, karena alam tidak mengejawantahkan diri dalam kata-kata lisan dan tertulis, seperti yang terjadi pada hukum. norma hukum adalah bentuk dari pengejawantahan yang memerintahkan, menetapkan, dan memberi izin serta wewenang bahwa sanksi terhadap setiap orang yang tidak taat aturan atau melanggar hukum itu diberikan. Obyek ilmu hukum adalah norma hukum dan karenanya nilai-nilai hukum juga dibentuk oleh norma-norma ini, namun aturan hukum itu, seperti halnya hukum alam dari ilmu alam, merupakan uraian yang bebas nilai mengenai obyeknya. Artinya, uraian tersebut tidak memiliki kaitan dengan nilai meta-hukum dan tidak mengimplikasikan kesetujuan atau ketidaksetujuan emosional. Norma yang merupakan nilai hukum harus dibedakan dari norma-norma yang digunakan untuk mengevaluasi pembuatann hukum. Karena aturan hukum dalam pengertian deskriptif, seperti halnya hukum alam (dan ilmu alam) menjelaskan hubungan fungsi, ia juga bisa disebut hukum perundangan (yakni hukum dalam pengertian resmi, atau yang dalam bahasa Jermannya Rechtsgesetz), yang memiliki persamaan dengan hukum alam. Norma hukum kendati disebut sebagai hukum manakala ia memiliki karakter umum---bukanlah hukum dalam pengertian yang senada dengan hukum alam, karena ia bukanlah pernyataan tegas yang menjelaskan hubungan fungsi. Norma hukum sama sekali bukan penegasan, melainkan makna dari suatu tindakan yang melandasi ditetapkannya sesuatu yang terlebih dahulu menetapkan hubungan fungsi antara fakta—suatu hubungan yang dijelaskan oleh aturan hukum, hukum perundang-undangan. Maka produk suatu hukum dan perundang-undangan yang dikeluarkan baik di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif semestinya selalu mencerminkan nilai-nilai kepatutan yang berlaku di masyarakat. Tetapi peraturan dan perundang-undangan yang dihasilkan hanya memenuhi keinginan ataupun kepentingan sebagian masyarakat yang merupakan bagian dari proses politik yang dilakukan elit maka aturan norma tersebut yang ditetapkan tetap diberlakukan secara umum namun norma hukum seperti ini tidak mencerminkan keadilan sosial secara menyeluruh. Sebuah analisis dari proses konstitusional yang menjadi dasar terciptanya sebuah undang-undang memperlihatkan bahwa tindakan penciptaan sebuah hukum yang mengikat sekalipun sama sekali tidak perlu mewakili kehendak apapun terhadap perilaku yang dituntut oleh undang-undang. Undang-undang tersebut dibuat ketika mayoritas dari para legislator telah memberi suara kepada sebuah rancangan undang-undang yang disampaikan kepada mereka. Konten dari undang-undang tersebut bukanlah “kehendak” dari para legislator yang memberi suara yang menentang rancangan undang-undang tersebut; kehendak mereka justru mengekspresikan yang sebaliknya. Namun ekspresi kehendak mereka sama sesensialnya bagi eksistensi undang-undang tersebut seperti ekspresi kehendak dari para anggota yang memberi suara pada undang-undang itu. Hukum bisa diistilahkan sebagai perintah yang “didepsikologisasikan.” Hal ini sebagaimana muncul dalam pertanyaan Kelsen mengenai manusia “harus” membuat dirinya bertingkah laku menurut hukum. disinilah letak pentingnya konsep tentang “yang harus,” di sini terlihat pentingnya konsep norma. Sebuah norma adalah sebuah peraturan yang menyatakan bahwa seorang individu harus berperilaku dengan cara tertentu, tetapi tidak menegaskan bahwa perilaku semacam itu merupakan kehendak aktual dari seseorang. Norma secara teoritis merupakan bentuk dari tindakan dan perilaku manusia secara individu maupun kolektif yang mengandung makna hukum yang sebenarnya juga selalu berkaitan dengan suatu sistem hukum dari yang lain atau semacam tata nilai dalam kehidupan sosial di komunitas tertentu yang mengandung makna norma juga. Sebuah fakta material adalah bukan semata-mata dijadikan sebagai argumentasi pembunuhan tetapi realisasi dari hukuman mati adalah kualitas penanganan dan penyelesaian kasus yang secara logika sangat sulit dimengerti. Hal ini karena boleh jadi suatu peristiwa muncul disebabkan oleh tindakan intelek yakni, berupa konfrontasi dengan undang-undang yang termasuk mengandung unsur kriminal maupun metode dan prosedurnya pun bermuatan makna kriminal. Memahami sesuatu secara hukum bisa jadi hanya memhami sesuatu tersebut sebagai hukum. tesis bahwa hanya norma-norma hukum yang bisa menjadi objek kognisi hukum adalah tautologi, karena hukum tersebut, satu-satunya objek kognisi hukum---adalah norma, dan norma adalah kategori yang tidak bisa diaplikasikan di wilayah alam. Penggolongan tindakan-tindakan yang terjadi di alam sebagai hukum hanya menyatakan keabsahan norma yang muatannya sesuai hal tertentu dengan keabsahan peristiwa sebenarnya. Ketika seorang hakim menetapkan fakta material kongkret (misalnya delik), semua kognisinya pertama kali hanya diarahkan pada sesuatu yang ada di alam. Maka dalam memastikan suatu norma hukum tentang proses pembuktian suatu peristiwa sangat dibutuhkan fakta yang akurat. Kebenaran fakta yang mengandung makna norma memungkinkan terjadinya determinasi atas peristiwa dalam konteks penyelesaian masalah dengan pendekatan hukum. Kebenaran yang menguatkan makna norma selalu dihadapkan dengan fakta maupun data-data faktual terkait peristiwa yang menghubungkannya dengan tindakan-tindakan manusia dalam kehidupan sosial. Dalam percakapan ilmiah mengenai kata “keharusan” misalnya, apakah ia mengandung makna transedental atau tidak, jelas memerlukan kajian teoritis yang mendalam. Namun, yang paling penting dalam pembahasan ini ialah orientasi mengenai ilmu hukum dalam sebuah konsep ilmiah dengan memasukan hukum positif serta konsep norma atau “keharusan”. Menurut Kelsen (1996) “selama bukan identitas norma hukum dan norma moral yang ditekankan berulang-ulang dalam yurisprudensi, nilai moral mutlak tidak dipersoalkan sehingga hanya nilai relatif hukum tersebut yang jelas menentang latar belakang ini. Namun demikian, satu-satunya fakta bahwa yurisprudensi tidak mengabaikan eksistensi nilai mutlak, tidak menganggap diri kompeten untuk dipersoalkan, adalah fakta yang harus memberikan reaksi pada konsep hukum tersebut. Jika hukum dipandang sebagai norma, sebagaimana moralitas, dan jika makna norma hukum dijabarkan dalam ‘keharusan’, sebagaimana makna norma moral, maka nilai mutlak yang menjadi karakteristik moralitas melekat pada konsep norma hukum dan pada ‘keharusan’ hukum. Maka setiap keputusan yang dibuat yang merupakan muatan nilai maka norma hukum yang menjadi pijakan pembuatan atas keputusan hukum adalah mengandung makna norma pada ‘keharusan’. Keharusan untuk memberikan sanksi dalam bentuk putusan merupakan tanggungjawab dan kewajiban para hakim yang secara norma hukum positif diberikan wewenang. Oleh karena itu, dalam putusan hakim terkait dengan penyelesaian suatu perkara selalu bermuatan beberapa norma yang menjadi pemahaman masyarakat sehingga apapun keputusan yang dibuat selalu berdampak positif dan negatif namun hal tersebut tetap dianggap sebagai konsekuensi yang harus dilaksanakan. Dan dengan demikian, untuk memahami karakterisisasi dari sebuah konsep hukum sebagai norma dan atau sebagai suatu ‘keharusan’ yang diotorisasi lewat yurisprudensi positivis dalam praktik selalu menimbulkan interpretasi hukum positif yang mengarah pada upaya mempertahankan unsur ideologis tertentu sebagai doktrin politik negara. Norma hukum dapat dibedakan antara norma hukum fakultatif dan norma hukum imperatif. Sebagaimana sebutannya, norma hukum imperatif merujuk pada norma hukum yang bersifat memaksa sedangkan norma hukum fakultatif adalah merujuk pada norma hukum yang mengatur dan norma hukum yang bersifat menambah atau melengkapi. Meski demikian, kadang dijumpai norma hukum yang sekaligus memiliki kedua sifat tersebut, yakni bersifaf mengatur sekaligus bersifat memaksa. Selain itu terdapat pula pembedaan antara norma hukum yang bersifat umum dan abstrak dengan norma hukum yang bersifat konkrit dan individual. Perlu dipahami bahwa norma hukum yang bersifat umum merupakan ketentuan yang bersifat abstrak. Norma hukum yang bersifat abstrak yang dimaksudkan disini adalah ketentuan tersebut tidak menjelaskan setiap kondisi yang mungkin terjadi dimana ketentuan tersebut akan berlaku. Hanya menyebutkan secara umum dan dianggap dapat diberlakukan dalam setiap kondisi dimana ketentuan tersebut dapat diberlakukan. Ketentuan tersebut ditujukan kepada semua subyek terkait tanpa mengaitkan atau menunjuk satu kondisi atau subyek tertentu. Ketentuan tersebut berlaku kepada semua subyek atau bersifat umum. Norma hukum individual adalah norma hukum yang selalu bersifat konkrit. Hal ini disebabkan karena norma hukum individual secara tegas menunjuk subyek tertentu dan atau keadaan tertentu dimana norma hukum tersebut harus diberlakukan. Sebagai contoh adalah klausul perjanjian antara para pihak dalam hukum perdata. Norma hukum sebagaimana telah diuraikan daitas dalam pelaksanaannya harus mendapat pengawasan dan atau kontrol. Setidaknya terdapat 3 cara untuk melakukan kontrol terhadap hukum, antara lain: melalui pengawasan atau pengendalian politik, melalui pengendalian administratif dan melalui kontrol hukum. Kontrol melalui pengawasan atau pengendalian politik dapat dilakukan oleh lembaga politik. Di Indonesia undang-undang dibuat oleh DPR-RI dan Presiden. Oleh karena itu, mekanisme kontrol politik juga dapat dilakukan melalui lembaga politik tersebut. Misalnya dengan mengadakan legislative review terhadap peraturan perundang-undangann yang dianggap tidak dapat diberlakukan lagi atau mungkin perlu dilakukan perubahan terhadapnya. Kontrol melalui pengendalian administratif dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga administratif yang oleh peraturan perundang-undangan tersebut diberikan kewenangan untuk melaksanakannya. Lembaga administratif tersebut dalam pelaksanaan norma atau aturan hukum yang dimaksud dapat mengetahui kekurangan atau kelemahannya, sehingga dapat mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Apabila kemudian perlu dilakukan perubahan atau revisi maka lembaga administratif tersebut dapat mengambil langkah-langkah untuk mengajukan perubahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini disebut executive review. Kontrol terhadap norma hukum biasa disebut dengan legal control atau judicial control atau judicial review apabila mekanisme kontrol tersebut dilaksanakan melalui pengadilan. Terdapat dua bentuk kontrol dalam model legal control ini, yakni ada yang terpusat dan ada yang terdesentralisasi (tidak terpusat). Negara yang melakukan legal control dengan metode terpusat seperti Indonesia, dimana pengujian atas Undang-Undang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan pengujian atas peraturan dibawah undang-undang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Negara yang melakukan legal control dengan metode tidak terpusat memberikan kewenangan kepada seluruh badan peradilannya untuk melakukan pengujian terhadap norma atau peraturan hukum. Dengan demikian, kepincangan sistem hukum dan sistem etika sebagai akibat dari tersumbatnya transformasi perilaku ethics dalam sistem kehidupan bernegara telah menyebabkan keruntuhan norma etika sosial dalam berbangsa. Semakin marak muncul perilaku tidak etis dan tidak bertanggungjawab pada tugas-tugas negara dari pejabat negara dan cenderung mengikuti hawa nafsu dunia turut memberikan kontribusi negatif bagi lambannya penataan sistem etika dalam bernegara. Perilaku elitis dan konsumtif dengan menjadikan kekuasaan, jabatan, pangkat, dan status sosial dari negara sebagai alat mencapai tujuan negatif jelas sangat menghambat proses perbaikan kualitas sistem bernegara. Sebaik apapun sistem yang dibangun dan dikembangkan dalam praktik kehidupan sosial bernegara bila dikendalikan oleh pejabat negara yang tidak berkarakter dan tidak memiliki pemahaman pada nilai-nilai kebangsaan maka sistem sebagus yang diharapkan untuk perubahan justru menjadi tidak bermanfaat bagi tatanan nilai-nilai etika kehidupan bernegara. ________________________________ Penulis adalah, Dosen Filsafat Agama di Universitas Islam As-Syafi’iyyah Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar