Rabu, 19 September 2018

Peradilan Etik Terbuka dan Profesional

Prinsip Peradilan Terbuka DKPP Oleh : Rahman Yasin (Tenaga Ahli Di DKPP) Pada masa pemerintahan Orde Baru berkuasa, politik hukum dalam konteks peradilan dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru pada permulaan memberikan harapan perubahan pada sistem peradilan yang berorientasikan pada prinsip-prinsip negara hukum. Sebuah peradilan yang bebas dan jauh dari polusi intervensi penguasa. Akan tetapi pada tahap implementasi, pemerintahan Orde Baru sebatas memberikan janji bahkan janji manis akan perubahan sistem peradilan yang mandiri ini dijadikan sebagai alat politik untuk mengkonsolidasikan kekuatan masyarakat guna mendukung pemerintahan. Dari gambaran diatas dapat diketahui bahwa wacana perubahan sistem peradilan dalam membangun negara hukum lebih merupakan strategi politik penguasa untuk mempertahankan kekuasaan. Wacana perubahan sistem peradilan yang bebas dan mandiri hanya merupakan wacana politik dalam menciptakan kontestasi ideologi termasuk di era modern sekarang ini atau apa yang disebut Pompe (1978) sebagai politik hukum peradilan yang merepresentasikan kontestasi ideologi liberal dalam menghadapi patrimonialistik. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, sebagai pengadilan, para anggota DKPP juga bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan kasus-kasus yang timbul untuk popularitas pribadi. Para anggota dilarang menikmati pujian yang timbul dari putusan, dan sebaliknya dilarang pula tersinggung atau marah karena dikritik oleh masyarakat yang tidak puas akan putusan DKPP. Pendek kata, sebagai lembaga peradilan etika, DKPP juga harus menjadi contoh mengenai perilaku etika dalam menyelenggarakan sistem peradilan etika yang menyangkut aneka kepentingan yang saling bersitegang antara para peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu atau antara masyarakat pemilih (voters) dengan penyelenggara pemilu, ataupun di antara sesama penyelenggara pemilu sendiri, khususnya antara aparat KPU dan aparat Bawaslu. Maka keberadaan lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu ini sesungguhnya menjadi penguatan bagi sistem ketatanegaraan. Karena dengan demikian, sistem ketatanegaraan kita didukung oleh sistem hukum dan sistem etik yang bersifat fungsional. Sistem demokrasi yang dibangun diharapkan dapat ditopang oleh tegak dan dihormatinya hukum dan etika secara bersamaan. Membangun demokrasi yang sehat dengan ditopang oleh ‘the rule of law and the rule of ethics’ secara bersamaan. “the rule of law” bekerja berdasarkan “code of law”, sedangkan “the rule of ethics” bekerja berdasarkan “code of ethics”, yang penegakannya dilakukan melalui proses peradilan yang independen, imparsial, dan terbuka, yaitu peradilan hukum (court of law) untuk masalah hukum, dan peradilan etika (court of ethics) untuk masalah etika. Secara umum, independen peradilan bisa dilihat dari dua perspektif. Pertama, independensi personal hakim dan yang kedua independensi institusional yakni lembaga peradilan yang bersangkutan. Independensi personal hakim (functional independable) sangat diperlukan dalam proses peradilan yang bebas dan bermartabat, karena dengan independensi personal tersebut, seorang hakim bisa dikontrol dari gangguan eksternal terutama aktor-aktor politik yang menggunakan kewenangan dan kekuasaan melakukan intervensi. Sedangkan independensi institusional (structural independece) merupakan usaha untuk menjaga kehormatan kelembagaan peradilan dari segala bentuk gangguan campur tangan eksternal terhadap lembaga pengadilan. Pada era reformasi, tuntutan akan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pun akhirnya dapat dipenuhi pemerintahan reformasi. Semangat perubahan menuntut reformasi sistem hukum termasuk lewat lembaga peradilan dengan tujuan mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dalam praktik. Terobosan menarik dalam perubahan UUD 1945 ini memungkinkan dibentuknya suatu lembaga sebagaimana dalam UU No. 35 Tahun 1999 mengenai majelis kehormatan hakim yang difungsikan melakukan kontrol terhadap lembaga peradilan guna menghindari perilaku koruptif dan tindakan tirani lembaga yudikatif. Dibentuknya Komisi Yudisial (KY) tahun 2004. Komisi Yudisial merupakan produk reformasi dari hasil perubahan UUD 1945 yang kedua. Sejak reformasi digulirkan dan pembentukan lembaga-lembaga baru dalam peradilan pun terus bermunculan, akan tetapi reformasi sejak 1998 hingga memasuki awal tahun 2000 perubahan dan penataan lembaga peradilan tidak berjalan sesuai cita-cita reformasi sistem hukum. Reformasi sistem peradilan dilakukan namun secara substansi tidak menyentuh sampai pada hal-hal yang dianggap mendasar. Sepanjang tahun 1999 sampai 2002 terdapat 4 undang-undang bidang peradilan diberlakukan pada tahun 2004. Keempat undang-undang ini adalah sebagai berikut; i) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti dari UU No. 35 Tahun 1999; ii) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung sebagai pengganti dari UU No. 14 Tahun 1985; iii) UU No. 8 Tahun 2004 yang mengubah UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; dan iv) UU No. 9 Tahun 2004 tentang Tata Usaha Negara yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1986. Meski lahirnya keempat undang-undang tersebut dipandang sebagai sikap responsif pemerintahan reformasi tetapi bila ditelaah lebih jauh maka banyak ketentuan dari keempat undang-undang tersebut masih banyak kekurangan. Lahirnya keempat undang-undang ini meski meneguhkan negara hukum tetapi kurang memberikan arah baru yang baik sehingga tidak menjadi penyempurna terhadap UU No. 34 Tahun 1999. Hal ini bisa dipahami karena dominasi pemahaman politik hukum model peradilan tertutup masih mewarnai pemikiran para pembentuk Undang-Undang. Tujuan menjadikan lembaga peradilan hukum di Indonesia sebagai bagian dari proses penataan pemerintahan berbasis good governance baik pada era orde lama dan orde baru berkuasa boleh dikatakan belum mampu memberikan kontribusi yang prospektif. Peradilan hukum di Indonesia termasuk pada era reformasi masih sarat dengan intervensi dan intimidasi politik sehingga para hakim kita pun kerapkali tidak bersikap netral dan agaknya sulit kita mengharapkan suatu kebebasan yang betul-betul mandiri dari sebuah peradilan hukum. Gerakan pembaruan sistem hukum tidak akan mampu memberikan harapan bagi rakyat yang menggembirakan, apabila mentalitas para pemimpin kita tidak berubah khususnya dalam mempolitisasikan lembaga-lembaga peradilan. Konsep peradilan yang bebas dan mandiri serta netral atau dengan kata lain tidak ada campur tangan negara dalam peradilan dalam negara hukum nampaknya sulit diwujudkan karena fakta menunjukan betapa pemimpin menggunakan wewenang peradilan sehingga mengganggu netralitas institusi peradilan baik personal maupun kelembagaan. Di era reformasi, praktik kekuasaan kehakiman, prinsip dasar dalam peradilan sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 menyangkut prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka (independensi peradilan), kelembagaan peradilan yang terdiri dari Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya yang terdiri dari peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi, serta badan-badan lain yang diatur undang-undang, dan Komisi Yudisial yang secara tegas dan jelas dikatakan sebagai peradilan yang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat dan perilaku hakim dalam praktek masih ada saja manipulasi dan distorsi nilai-nilai keadilan dalam hukum. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum dilihat dari konteks peradilan maka lembaga ini merupakan peradilan etika pertama kali di Indonesia bahkan di dunia. Peradilan etika pertama yang membedakannya dengan lembaga-lembaga penegakan kode etik profesi lainnya yakni bisa dilihat dari lembaga ini tugas dan fungsi dan wewenangnya dilakukan dengan terbuka. Salah satunya ialah persidangan Kode Etik yang dilaksanakan secara terbuka ialah proses persidangan dilakukan dengan terbuka untuk umum. Hal ini menjadi titik tekan nilai politik kita pada zaman modern yang serba kemajuan ilmu dan teknologi serta pesatnya transformasi informasi dalam memenuhi tuntutan akan semangat keterbukaan dan pertanggungjawaban kita pada publik sebagai pemilik saham terbesar dalam demokrasi. DKPP berdasarkan ketentuan UU No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan melalui prinsip-prinsip layaknya sebuah peradilan menempatkan Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No. 13 Tahun 2012, No. 11 Tahun 2012, dan No. 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai "hukum materiil"-nya, serta Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai "hukum formil"-nya. Artinya, lembaga ethics ini menempatkan eksistensi kewenangan, tugas, dan fungsi tidak saja secara transparan, dan akuntabel tetapi menjadi suatu model demokrasi modern yang sangat berbeda dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki penegakan kode etik namun tidak dilaksanakan secara terbuka. Dengan demikian, DKPP yang merupakan embrio awal dari prestasi DK KPU menjadi tonggak perubahan sistem demokrasi yang mengarah pada penerapan good governance dan pendorong percepatan implementasi sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih bermartabat. Keberadaan DKPP juga sebetulnya bukan merupakan barang baru karena sebelumnya sudah ada namanaya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU). Cakupan wewenang DK KPU sangat terbatas. Selain bersifat ad hock lembaga ini juga hanya menjadi rekomendir pada KPU sehingga dari sisi kepastian penyelesaian pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu ditentukan oleh KPU. Problem DK KPU selaian wewenang juga keanggotaan yang didominasi oleh KPU sehingga sangat tergantung pada KPU. Betapapun demikian, kerja keras, kerja cerdas, dan kesungguhan dalam tugas sebagai tanggungjawab pada bangsa, DK KPU tetap bekerja profesional, akuntabel tanpa menyerah. DK KPU berkomitmen memberikan kontribusi positif bagi pembangunan etika berbangsa. Dan hasil positif yang diterima ialah lembaga etik ini kemudian ditingkatkan kapasitas wewenangnya yakni dari ad hoc menjadi permanen, dari rekomendiri menjadi eksekutor, dari yang semula bergantung pada KPU sekarang berperan langsung memberikan sanksi baik sanksi ringan, peringatan keras, pemberhentian sementara hingga pemberhentian tetap. Dan sesuai amanat UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, lembaga ini memiliki wewenang membuat putusan yang bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, lembaga peradilan etik ini selain dari prosedur dan mekanisme kerjanya yang transparan dan akuntabel juga memiliki wewenang putusan yang final dan mengikat diharapkan menjadi model dan modal dalam sistem kehidupan bernegara kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar