Jumat, 14 September 2018

Pilkada Provinsi DKI Jakarta Yang Demokratis

Bercermin dari Pemilukada DKI Jakarta Oleh :Rahman Yasin (“Tenaga Ahli di DKPP RI) Pasangan pemenang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) putaran kedua Provinsi DKI Jakarta 2012 Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) kemarin Senin (15/10) secara resmi dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Upacara pengambilan sumpah atau janji jabatan serta pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI periode 2012-2017 di Gedung DPRD Provinsi DKI berjalan cukup khidmat. Warga Jakarta telah melewati sebuah fase perbaikan kualitas penyelenggaraan Pemilu yang cukup baik. Fase di mana proses penyelenggaraan Pemilu Kada Provinsi DKI Jakarta yang secara umum berakhir dengan aman, tertib, dan damai. Publik cukup puas atas proses dan hasil Pemilu Kada, meski masih ada kekurangan, ketimpangan hingga penyimpangan kinerja Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi DKI terutama dalam memastikan Daftar PemilihTetap (DPT) putaran pertama. Bicara masalah penanganan kasus DPT tentu amat menarik. Karena kasus ini selain menjadi sumber penyimpangan hak konstitusional warga juga menyangkut netralitas dan profesionalisme. Independensi memerlukan kemauan sekaligus tekad kuat semua pemangku kepentingan untuk secara kontinyu memperbaiki kualitas pemilu. Kualitas tidak hanya perbaikan sistem tetapi kesadaran politik etik individu dalam struktur sosial. Profesionalitas kelembagaan tidak menjamin proses maupun hasil pemilu berintegritas. Karena kebijakan lembaga penyelenggara pemilu kerap menimbulkan kegaduhan dan cenderung memicu pertengkaran politik. Ketidaktertibanpengelolaan DPT Pemilu Kada Provinsi Jawa Timur berakibat fatal sehingga pasangan calon incumbent (petahana) Soekarwo dengan wakilnya Syaifullah Yusuf digugat pasangan Khofifah Indar Parawansyah dan Mudjiono ke Mahkamah Konstitusi (MK) (2/2/2009). Kasus DPT ganda Pemilu Kada Kotawaringin Barat, Kalimantan Barat, 5 Juni 2010 silam pun tidak saja menimbulkan konflik horisontal berkepanjangan tetapi ketidakadmampuan dan ketidakberdayaan KPUD Kobar melepaskan diri dari intervensi politik sangat mengganggu proses penataan demokrasi di tingkat daerah. Artinya, KPU sesungguhnya selalu ada dalam kubangan politik praktis karena ruang gerak penyimpangan selalu ada cela. Umumnya, kasus DPT di sebagian besar Pemilu Kada di Indonesia selalu bermuara dari ketidakcermatan KPU, dan oleh karena itu, seharusnya menjadi catatan tersendiri bagi KPU, DPR, Pemerintah, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sebagai stakeholder paling berkepentingan dalam menentukan apakah pemilu demokratis atautidak? Dalam konteks perbaikan yang lebih konstruktif, maka kasus DPT Pemilu Kada DKI putaran pertama yang menghilangkan hak politik warga tidak boleh terjadi di pemilu 2014 yang sekarang tengah memasuki tahapan verifikasi faktual partai politik. Komitmen DPR, KPU, Kemendagri, danBawaslu, menjadikan Pemilu Kada sebagai tolok ukur Pemilu 2014 harus diterjemahkan secara praktik nyata. Problem ketidakteraturan pengelolaan DPT lebih disebabkan ketidakhati-hatian KPU memverifikasi data pemilih pada tahapan DP4 di satusisi, dan pada sisi lain, penyelenggara sering terjebak dengan patokan data yang disodorkan pemerintah. Ekspektasi Masyarakat Perhatian masyarakat Indonesia terhadap perhelatan demokrasi lokal DKI Jakarta terlihat cukup kuat. Tingkat partisipasi pengawasan Pemilu Kada pun amat tinggi. Tidak semata diawasi pelaksanaannya oleh Bawaslu, Panwaslu Kada tetapi masyarakat luas mengambil peran amat terasa. Partisipasi warga Jakarta putaran pertama relatif rendah, hal ini terlihat dari tingkat partisipasi pemilih yang hanya terkonfirmasi dalam DPT sebanyak 6.962.348, yang menggunakan hak suara secara sah 4.336.486, dari jumlah partisipasi pemilih sebanyak 4.407.141. putaran pertama masing-masing calon mengantongi perolehan suara sebagai berikut; pasangan Jokowi-Ahok, 1.847.157 (42,60%), Foke-Nara, 1.476.648 (34,05%), pasangan Hidayat-Didik, 508.113 (11,72%), pasangan Faisal-Biem, 215.935 (4,89%), pasangan Alex-Nono, 202.643 (4,67%), dan pasangan Hendardji-Riza hanya meraih 85.990 (1,98%). Pertarungan Pilkada DKI telah usai setelah KPUD Provinsi menetapkan pasangan calon terpilih putaran kedua pada Hari Sabtu (29/9) melalui rapat pleno yang digelar di Hotel Borobudur, Jakarta. Pasangan Jokowi-Ahok menang secara meyakinkan dengan memperoleh dukungan kuat dari wilayah Jakarta Barat meraih 577.232 dengan total DPT 1.510.159, Jakarta Timur, 695.220 dari DPT 1.999.040, Jakarta Selatan 507.257 (DPT 1.512.913), Jakarta Utara 432.714 (DPT 1.168.988), Jakarta Pusat 256.529 (DPT 789.484), dan Kepulauan Seribu 3.178 (DPT 16.367) dengan total perolehan suara sebanyak 2.472.130 dan mengalahkan Foke-Nara yang mendapatkan suara secara keseluruhan sebanyak 2.120.815. Nuansa demokratisasi relatif kondusif, dan momentum ini sepatutnya kita jadikan sebagai titik tekan mengawal suksesi kepemimpinan 2014. Penyelenggaraan Pemilu Kada mendapat perhatian begitu besar dari Pers dan lembaga-lembaga pemantau sehingga menarik menjadi bahan pelajaran bagi pemerintah. Booming partisipasi warga menggunakan preferensi sebagai bentuk kesadaran politik masyarakat yang secara bersamaan ikut mengawasi pelaksanaan menunjukkan instrumen demokrasi bekerja aktif karenasikap proaktif instrumen-instrumen demokrasi mendorong pelbagai kekuatan politik untuk mengambil peran positif. Dalam perspektif ini, Pemilu Kada DKI tidak saja berjalan aman, tertib, dan damai, tetapi dari kerangka penyelenggaraannya berdasarkan penilaian umum relatif demokratis. Yang patut jadi pelajaran dari Pemilu Kada DKI ialah sikap kesatria dan bijak dari pasangan incunbent Fauzi Bowo yang secara jiwa besar menerima hasil tanpa menonjolkan arogansi kepemimpinan. Sikap kesatria ini harus kita akui sangat langkah terjadi dalam tradisi perhelatan Pemilu Kada di Indonesia. Dan pengalaman ini setidaknya menjadi peristiwa mahal yang harus diteladani oleh para pemimpin yang hendak berkompetisi merebut kekuasaan. Terobosan Positif Selama ini dimensi penegakkan hukum Pemilu selalu memicu perdebatan politik yang tidak produktif sehingga seringkali muncul ketidakpastian hukum dalam suatu penyelesaian kasus Pilkada. Ketidakmenentuan suatu putusan penyelesaian Pilkada dalam konteks penegakkan hukum Pemilu acap dijadikan alasan politik calon tertentu untuk memperpanjang ritma petualangan kekuasaan. Dalam konteks itulah, revisi UU Nomor 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu menjadi UU Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu menghadirkan instrumen demokrasi baru yakni Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Lembaga etic yang semula berstatus ad hoc menjadi permanen dan komposisi keanggotaan yang proporsional dan difungsikan secara netral (independent police). Eksistensi lembaga baru ini berdasarkan UU diorientasikan untuk memastikan penegakkan hukum secara pasti (the role of law) dan berperan mengawal kehormatan penyelenggara Pemilu the role of law and the of etic dari perspektif etika kepemiluan dalam era demokrasi modern. DKPP tiga kali menyidangkan kasus dugaan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan Ketua KPUD DKI hingga pada tahap pemberian sangsi tertulis secara psikologi politik menjadi motivasi KPUD DKI. Sidang di KPU Pusat (27/7) dan (3/7/2012), dan sidang yang dilakukan di Bawaslu Sabtu (7/7/2012) tersebut mengeluarkan sangsi tertulis kepada Ketua KPUD Provinsi DKI sangat membawah dampak positif bagi perbaikan DPT. Implikasi putusan DKPP terhadap Ketua KPUD DKI memberikan kontribusi yang cukup efektif dalam perbaikan kualitas Pemilu Kada DKI putaran kedua. Sangsi tertulis DKPP mampu mendorong sikap KPUD untuk merapikan tertib administrasi DPT putarankedua. Bangsa Indonesia dalam kerangka Pemilu Kada DKI setidaknya telah memulai dari sebuah proses yang baik. Ekspektasi publik untuk mensukseskan Pemilu Kada cukup tinggi. Kehadiran lembaga DKPP dalam konteks perbaikan kualitas penyelenggaraan Pemilu amat berarti dan oleh karenanya bagaimanapun patut diapresiasi. DKPP diamanatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu dalam Pasal 111 ayat (3) ditugaskan menerima pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, dan melakukan penyelidikan, pemeriksaan, menyidangkan, hingga menetapkan putusan dan menyampaikannya secara terbuka pada publik. Pada ayat (4) DKPP secara kelembagaan berwenang memanggil penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik penyelenggara pemilu untuk memberikan penjelasan sekaligus memberi kesempatan pembelaan hingga menjatuhkan sangsi pada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Sebagai institusi baru dan merupakan bagian dari penegakkan kode etik penyelenggara Pemilu, DKPP di bawah kepemimpinan Jimly Ashhiddiqie ini sekurang-kurangnya telah berperan positif konstruktif. Fenomena wacana demokratisasi Pemilu Kada DKI memperlihatkan pada masyarakat di mana ada semangat baru dan kemauan kolektif membenahi kualitas demokrasi. Namun demikian, betapapun performa proses dan hasil Pemilu Kada DKI Jakarta dinilai banyak pihak berhasil, akan tetapi KPU, DPR, Pemerintah, dan Bawaslu tidak lengah apalagi terbuai. Karena keberhasilan Pemilu Kada DKI putaran kedua tidak lepas dari peran optimal pemantau pemilu juga kalangancivil society. Publik tidak boleh menafikan realitas sosial di mana kuatnya kesadaran masyarakat dalam Pemilu Kada DKI. ___________________________________ Penulis adalah Tenaga Ahli di DKPP dan Dosen Filsafat Agama di Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta. Catatan: Tulisan ini dimuat di Koran Harian Kendari Ekspres dalam dua kali tulisan, tanggal, 15 dan 16 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar