Otonomi Daerah yang Paradok
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
Salah satu masalah besar yang
hampir dihadapi oleh semua negara maju dan berkembang ialah bagaimana
mewujudkan pemerintahan yang memiliki kapasitas dan kapabalitas yang memadai.
Apabila hasil studi sejumlah para ilmuan sosial politik ini dijadikan referensi
maka sebetulnya bisa disimpulkan bahwa hanya negara-negara maju (new state), yang hadir ketika
mencairnya warisan sistem kekuasaan kolonialisme Barat di era pertengahan
dasawarsa 1940-an atau 1950-an, yang mampu melahirkan apa yang di istilahkan
oleh Soemarsaid Moertono sebagai “usaha bina-negara” (statecrafting). Isu ini menjadi tema sentral dalam upaya mealakukan
perubahan di tengah masyarakat. Studi tentang otonomi daerah akan memasuki
wilayah konsep perencanaan, kebijakan, disertai tindakan otoritatif dari
pemerintah. Dalam kerangka itu, maka negara diharapkan mampu melakukan penetrasi
terhadap masyarakat yang mencakup kemampuan pemerintah dalam mengatur
relasi-relasi sosial, memanfaatkan, dan mengelola sumber daya alam guna
kepentingan kesejahteraan rakyat berdasarkan aturan-aturan tertentu.
Dengan
melakukan penetrasi secara efektif dan efisien terhadap masyarakat pemerintah
diharapkan mampu memainkan peran sosial secara konstruktif dalam memberlakukan
otonomi daerah atau desentralisasi. Transformasi kebijakan dalam bentuk konsep
menjadi suatu tindakan yang berimplikasi
pada kewenangan dan bersifat mengikat merupakan fenomena langkah yang terjadi
di negara-negara berkembang. Dalam konteks ini, meminjam istilah Gunnar Myrdal
adalah “soft state” bagi
negara-negara dengan kapasitas dan kapabilitas seperti itu.
Dengan
demikian, fragmentasi sosial “soft state”
sesungguhnya sedang terjadi di negara-negara baru secara signifikan karena
dampak langsung dari proses dekolonialisasi. Dalam hal ini logika politik
akomodasi, the politics of survival,
akan terjadi pada pemerintah. Selain itu kepemimpinan yang terampil, kredibel,
dominasi, sentralisasi, dan konsentrasi kekuasaan juga akan mewarnai dinamika
politik negara. Persoalan-persoalan inilah yang merupakan suatu fenomena dalam
upaya “bina-negara” di negara-negara baru tersebut.
Fenomena
ini secara langsung maupun tak langsung akan memberi situasi yang saling
mewarnai, bahkan secara dominan, dalam konstruksi kenegaraan dunia ketiga.
Dalam proses perkembangan, dislokasi dan fragmentasi sosial ini dibutuhkan
stabilitas yang relatif mengharuskan elit nasional melakukan penetrasi politik
yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Kebutuhan akan terwujudnya
penetrasi politik dari para elit nasional sangat diperlukan sebagaimana yang
terjadi di sejarah Abad Pertengahan yakni melalui sebuah mekanisme sentralisasi
kekuasaan.
Meskipun
diakui bahwa fenomena politik sentralisasi dilihat dari perspektif inheren
tidak relatif buruk, karena politik sentralisasi merupakan suatu solusi efektif
untuk mengatasi dislokasi politik otoritas. Kerangka politik sentralisasi yang
dibangun tidak sekedar untuk mengidentifikasi siapa pemegang otoritas tetapi
lebih berorientasi pada materialisasi kekuasaan juga menjadi sangat mungkin.
Dengan menggunakan pespektif ini maka negara dan pemerintah akan dapat bekerja.
Namun,
yang menarik ialah muncul persoalan baru yang mempertanyakan tingkat
sentralisasi itu sendiri. Meski siapapun pemegang rezim tidak bisa menjalankan
sentralisasi secara absolut seperti yang terjadi dalam sejarah pemerintahan
Perancis sejak masa Richelieu, akan tetapi konsentrasi dan sentralisasi
kekuasaan selalu menjadi mitos yang tidak mengenakan bagi pemegang rezim
terkait. Persoalan mendasar lain adalah persepsi tentang otoritas yang dimiliki
“bawahan” (subordinates) yang bisa mendorong adanya upaya-uapaya untuk
mempersoalkan lingkup dan tingkat otoritas antara “bawahan” dan “atasan”
(superior).
Dalam
konteks itu, maka persoalan mengenai terkonsentrasinya kekuasaan melalui
sentralisasi yang melahirkan dominasi intervensi pemerintah pusat terhadap daerah
masih terus terjadi. Mesin birokrasi pemerintah masih dibawah kendali pusat.
Hal ini bisa dilihat dari perspektif historis, dimana sejak berdirinya Negara
Republik Indonesia terlalu banyak memberikan leverage kekuasaan pada pusat.
Presiden dan pihak eksekutif lebih banyak menikmati kekuasaan dibanding
legislatif dan yudikatif, karena parlemen sekedar sebagai instrumen politik
bahkan kepanjangan tangan eksekutif.
Pemerintah
yang bersifat executive heavy, tidak
saja sentralisasi dalam tataran implementasi kekuasaan tetapi terlegitimasi
oleh UUD 1945. Dengan demikian, dianggap imposipol ketika reformasi menuntut di
reformulasi kembali terhadap undang-undang dasar pada periode 1957-1959 menjadi
tema diskusi untuk memasukan elemen-elemen pergerakan prodemokrasi ke dalam
proses penyusunan undang-undang dasar. Hal ini dilatarbelakangi dengan suatu
perspektif bahwa tidak sekedar merubah tatanan politik kekuasaan yang selama
ini di distribusikan pemerintah ke daerah-daerah yang tidak memenuhi kriteria
demokrasi tetapi bagaimana menempatkan sistem politik kekuasaan pusat
benar-benar transparan, akuntabel, dan lebih proporsional di setiap
cabang-cabang kekuasaan lain.
Meskipun
dominasi kekuasaan pemerintah pusat terlegitimasi oleh UUD 1945 yang
sentralistik dan executive-heavy lalu pemerintah tidak memperhatikan persoalan
Pemerintahan Daerah, karena secara konstitusi aturan mengenai Pemerintahan
Daerah dituangkan dalam UUD 1945 pada pasal 18. Dan meskipun telah diatur dalam
UUD 1945 akan tetapi dalam praktek keseharian tidak mudah bagi pemerintah
menterjemahkan pasal 18 kedalam bentuk implementasi. Dalam kerangka politik
desentralisasi tersebut setidaknya disatu sisi bisa diartikan sebagai political will dari para pendiri
Republik dalam merespon politik daerah ditengah situasi konfigurasi politik
kekuasaan nasional.
Namun,
bila dilihat dari praktek kekuasaan politik pusat, rasanya mustahil untuk
mendefenisikan bahwa faktor politik kekuasaan dapat memainkan peran konstruktif
dalam memberi arti substansi pasal 18. Tanpa adanya faktor reformasi politik
yang menghendaki demokratisasi, melibatkan kepentingan masyarakat dalam
amandemen konstitusi maka akan sulit memberi implikasi secara berkelanjutan kalau faktor keadilan dari
pemerintah pusat untuk “melimpahkan” atau “menyerahkan” otoritas kekuasaan
secara objektif kepada pemerintahan daerah sebagaimana yang terjadi di
negara-negara yang tingkat fluktuasi demokrasinya kuat.
Karena
realitas politik di Indonesia, meski demokratisasi sudah berjalan namun
hegemoni kekuasaan politik pusat terhadap daerah masih terjadi. Dalam kerangka itu, wacana mengenai dekonsentrasi,
desentralisasi tidak didefenisikan secara organik, sehingga makna
desentralisasi bukan diartikan sebagai proses pelimpahan atau penyerahan
kewenangan otoritas kekuasaan pada daerah tetapi yang terjadi bukanlah “the transference of authority,
legislative, judicial or administrative, from a higher level of government to a
lower,” tetapi “the mere delegation to a subordinate officer of capacity to act
in the name of the superior without a transfer of authority from him.”
Dalam
sejarah perjalanan kehidupan berbangsa, desentralisasi kekuasaan sudah
diberlakukan sejak masa kolonial sebagaimana yang digambarkan diatas. Walaupun
pemerintah kolonial memberlakukan sentralistik lalu bukan berarti pemerintah
kolonial Belanda tidak melaksnakan desentralisasi dan dekonsentrasi
administratif. Begitu pula yang dilakukan Jepang ketika membagi Hindia Belanda
ke dalam tiga komando --- Sumatera, Jawa, dan Madura, serta di daerah-daerah
lainnya. Pembagian daerah administratif ini tidak berarti melahirkan reformasi
sentralisasi administratif secara total karena kenyataannya potensi intervensi
kekuasaan pemerintah kolonial terbuka lebar.
Wacana
mengenai desentralisasi dan dekonsentrasi terus berkembang terutama setelah
Indonesia merdeka yang disertai prinsip dasar undang-undang. Adapun landasan
politik desentralisasi dalam kerangka konstitusi sebagaimana yang disebut
diatas yakni pada pasal 18 UUD 1945. Atas dasar itu pula dirumuskan sejumlah
peraturan yang hingga melahirkan UU No. 5 Tahun 1974.
Tetapi
dalam perjalanannya wacana desentralisasi tidak terkelola secara kompetitif
baik di era Soekarno maupun Soeharto sehingga disperse kekuasaan tidak terjadi.
Kekuasaan yang lebih terkonsentrasi ke Jakarta, lingkup kekuasaan (space of power) atau kewenangan (space of authority) tetapi tidak ada
perubahan yang mendasar. Dalam konteks itu, daerah diberi kesempatan untuk
memformulasi peraturan-peraturan daerah sesuai kebutuhan tetapi intervensi pusat
dalam menentukan apakah layak tidaknya peraturan yang dilahirkan pemerintah
daerah pun masih mewarnai dinamika pemerintahan desentralisasi.
Desentralisasi
kekuasaan juga mengambil berbagai bentuk. Kenyataan yang dihadapi bangsa kita
ialah otonomi dan federasi. Beberapa daerah pasca reformasi menuntut untuk
memisahkan diri NKRI tetapi hal itu berada diluar konteks dispersion of power.
Oleh karena itu, untuk merespon tuntutan tersebut paling tidak menggunakan
pendekatan bersifat ad hoc, respon dalam kerangka ini harus diletakan sesuai
format yang sudah terlanjur “tersedia”.
Pengalaman desentralisasi dan
dekonsentrasi yang terkesan politik pusat inilah yang mendorong lahirnya UU No.
22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah. Peraturan ini merupakan peraturan baru
yang lebih akomodatif baik dilihat dari segi struktur maupun substansi. UU No.
22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah ini sebenarnya diharapkan mampu memberikan
warna baru terhadap praktek desentralisasi. Harapan ini tidak berlebihan
apabila dikaitkan dengan proses pengunduran kepemimpinan nasional rezim Orde
Baru yang dianggap otoriter yang mendorong terciptanya liberalisasi dan
relaksasi politik.
Dengan
demikian, otonomi daerah tidak perlu didefenisi secara eksklusif sehingga
peraturan daerah yang dihasilkan pemerintah daerah sejauh tidak bertentangan
dengan Undang-Undang maka tidak harus meminta persetujuan pusat.
Dalam
konteks itu, maka harus ada aturan-aturan yang mesti dibuat berkaitan dengan
otonomi daerah dan hubungannya dengan pemerintah pusat. Sekarang ini aturannya
tidak sinkron karena otonomi daerah itu memungkinkan kepala daerahnya dipilih
secara demokratis melalui pemilihan langsung. Artinya, kepala daerah mempunyai
legitimasi yang solid. Kepala daerah juga hanya bertanggungjawab kepada para
pemilih.
Dalam
kondisi seperti itu mestinya peraturan yang berkaitan dengan Ketatanegaraan
kita harus menghormati posisi seperti itu. Kalau itu terjadi, maka sebetulnya
para kepala daerah tidak boleh dipanggil-panggil oleh Menteri Dalam Negeri
apalagi ditegur atau diberhentikan.
Karena
para kepala daerah memiliki pertanggungjawaban langsung kepada rakyatnya. Jadi,
mereka bertanggungjawab pada pemerintah pusat. Dalam konteks ini, maka hubungan
mengenai pemerintah pusat dan daerah harus diatur. Otonomi daerah juga
sebenarnya melahirkan peraturan-peraturan daerah. Tetapi karena sifatnya otonom
maka peraturan daerah juga harus bersifat otonom. Meskipun secara konstitusi
peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
tetapi peraturan daerah tidak bisa diatur oleh peraturan Menteri Dalam Negeri.
Peraturan daerah tidak boleh dianulir bahkan dibekukan oleh keputusan Menteri
Dalam Negeri.
Undang-Undang
dan peraturan sekarang dalam prakteknya menunjukkan seperti itu. Setidaknya
sudah ada enam belas peraturan daerah yang dianulir atau dibekukan oleh Menteri
Dalam Negeri. Aturan-aturan inilah yang membuat tidak sama. Kalau kita ingin
menegakan otonomi daerah yang profesional maka relasi antara daerah dan pusat
harus diatur. Secara gamblang kalau kita ingin memberlakukan otonomi daerah
secara komprehensif maka bentuk negara kita harusnya federal dan bukan
kesatuan. Sekarang ini karena sebagian orang merasa alergi dengan sistem
federal lalu menganggap NKRI merupakan harga mati. Tetapi sebetulnya yang
dimaksudkan dengan NKRI harga mati adalah Pancasila sebagai dasar negara. Kita
bisa mempunyai pemerintahan federal tetapi sekaligus memiliki dasar Pancasila.
Persoalan inilah yang hingga saat ini tidak sinkron sehingga harus menjadi
perhatian pemerintah pusat.
Sebetulnya
persoalan ini lebih merupakan apresiasi pemerintah pusat yang merasa karena
keuasaan yang dimiliki berkurang sehingga ada semacam sebuah ketakutan dari
pemerintah pusat. Sekarang ini sebetulnya kekuasaan pusat pun sudah berkurang.
Walaupun menggunakan sistem NKRI tetapi kalau mau memberlakukan otonomi daerah
secara profesional maka kekuasaan pusat pasti berkurang. Kenyataan desentralisasi
di era reformasi menunjukkan adanya pergeseran kekuasaan pusat ke daerah
seperti kementerian-kementerian mulai dikurangi, dana-dana langsung ke
daerah-daerah. Maka hal ini harus dipikirkan kembali, apakah bentuk negara NKRI
ini cocok dengan otonomi daerah. Hemat saya masa Orde Baru dulu lebih cocok
karena sentralistis, maka kepala daerah tidak dipilih tetapi sebetulnya
diangkat dan ditentukan oleh presiden. Sedangkan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD)
hanya mengesahkan saja dan itu tidak ada yang ditolak pemerintah pusat.
Resminya dipilih oleh DPRD tetapi tetap saja campur tangan pemerintah pusat
sangat kuat.
Sekarang
kalau dengan sistem desentralisasi politik otonomi daerah seperti ini jelas
susah, karena pada kenyataan para kepala daerah masih takut pada Menteri Dalam
Negeri karena bisa ditegur, bahkan bisa dibatalkan. Padahal segala sesuatu yang
berurusan dengan pemerintah daerah Menteri Dalam Negeri tidak perlu terlalu
jauh ikut campur tangan. Dalam kerangka itu, maka relasi hubungan antara pusat
dan daerah harus diatur lagi.
Oleh
karena itu, otonomi daerah atau desentralisasi harus dimaknai secara
komprehensif. Reformasi birokrasi dan penataan kembali sistem dan perencanaan
program pembangunan daerah berbasis kesejahteraan rakyat. Desentralisasi dengan
semangat reformasi dan menegakkan demokrasi di tingkat lokal. Dimana pemerintah
daerah akan memainkan peran aktif untuk mengambil kebijakan-kebijakan politik
yang lebih demokratis, sehingga proses penyelenggaraan pemerintahan daerah
berdasarkan paket UU otonomi daerah mampu melahirkan solusi-solusi atas
problematika sosial yang terjadi selama ini.
Catatan:
Arsip Tulisan Artikel Lepas
Jakarta, Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar