Senin, 12 Desember 2016

Paradok Otda

Otonomi Daerah yang Paradok

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)


Salah satu masalah besar yang hampir dihadapi oleh semua negara maju dan berkembang ialah bagaimana mewujudkan pemerintahan yang memiliki kapasitas dan kapabalitas yang memadai. Apabila hasil studi sejumlah para ilmuan sosial politik ini dijadikan referensi maka sebetulnya bisa disimpulkan bahwa hanya negara-negara maju (new state), yang hadir ketika mencairnya warisan sistem kekuasaan kolonialisme Barat di era pertengahan dasawarsa 1940-an atau 1950-an, yang mampu melahirkan apa yang di istilahkan oleh Soemarsaid Moertono sebagai “usaha bina-negara” (statecrafting). Isu ini menjadi tema sentral dalam upaya mealakukan perubahan di tengah masyarakat. Studi tentang otonomi daerah akan memasuki wilayah konsep perencanaan, kebijakan, disertai tindakan otoritatif dari pemerintah. Dalam kerangka itu, maka negara diharapkan mampu melakukan penetrasi terhadap masyarakat yang mencakup kemampuan pemerintah dalam mengatur relasi-relasi sosial, memanfaatkan, dan mengelola sumber daya alam guna kepentingan kesejahteraan rakyat berdasarkan aturan-aturan tertentu.
Dengan melakukan penetrasi secara efektif dan efisien terhadap masyarakat pemerintah diharapkan mampu memainkan peran sosial secara konstruktif dalam memberlakukan otonomi daerah atau desentralisasi. Transformasi kebijakan dalam bentuk konsep menjadi suatu tindakan  yang berimplikasi pada kewenangan dan bersifat mengikat merupakan fenomena langkah yang terjadi di negara-negara berkembang. Dalam konteks ini, meminjam istilah Gunnar Myrdal adalah “soft state” bagi negara-negara dengan kapasitas dan kapabilitas seperti itu.
Dengan demikian, fragmentasi sosial “soft state” sesungguhnya sedang terjadi di negara-negara baru secara signifikan karena dampak langsung dari proses dekolonialisasi. Dalam hal ini logika politik akomodasi, the politics of survival, akan terjadi pada pemerintah. Selain itu kepemimpinan yang terampil, kredibel, dominasi, sentralisasi, dan konsentrasi kekuasaan juga akan mewarnai dinamika politik negara. Persoalan-persoalan inilah yang merupakan suatu fenomena dalam upaya “bina-negara” di negara-negara baru tersebut.
Fenomena ini secara langsung maupun tak langsung akan memberi situasi yang saling mewarnai, bahkan secara dominan, dalam konstruksi kenegaraan dunia ketiga. Dalam proses perkembangan, dislokasi dan fragmentasi sosial ini dibutuhkan stabilitas yang relatif mengharuskan elit nasional melakukan penetrasi politik yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Kebutuhan akan terwujudnya penetrasi politik dari para elit nasional sangat diperlukan sebagaimana yang terjadi di sejarah Abad Pertengahan yakni melalui sebuah mekanisme sentralisasi kekuasaan.
Meskipun diakui bahwa fenomena politik sentralisasi dilihat dari perspektif inheren tidak relatif buruk, karena politik sentralisasi merupakan suatu solusi efektif untuk mengatasi dislokasi politik otoritas. Kerangka politik sentralisasi yang dibangun tidak sekedar untuk mengidentifikasi siapa pemegang otoritas tetapi lebih berorientasi pada materialisasi kekuasaan juga menjadi sangat mungkin. Dengan menggunakan pespektif ini maka negara dan pemerintah akan dapat bekerja.
Namun, yang menarik ialah muncul persoalan baru yang mempertanyakan tingkat sentralisasi itu sendiri. Meski siapapun pemegang rezim tidak bisa menjalankan sentralisasi secara absolut seperti yang terjadi dalam sejarah pemerintahan Perancis sejak masa Richelieu, akan tetapi konsentrasi dan sentralisasi kekuasaan selalu menjadi mitos yang tidak mengenakan bagi pemegang rezim terkait. Persoalan mendasar lain adalah persepsi tentang otoritas yang dimiliki “bawahan” (subordinates) yang bisa mendorong adanya upaya-uapaya untuk mempersoalkan lingkup dan tingkat otoritas antara “bawahan” dan “atasan” (superior).
Dalam konteks itu, maka persoalan mengenai terkonsentrasinya kekuasaan melalui sentralisasi yang melahirkan dominasi intervensi pemerintah pusat terhadap daerah masih terus terjadi. Mesin birokrasi pemerintah masih dibawah kendali pusat. Hal ini bisa dilihat dari perspektif historis, dimana sejak berdirinya Negara Republik Indonesia terlalu banyak memberikan leverage kekuasaan pada pusat. Presiden dan pihak eksekutif lebih banyak menikmati kekuasaan dibanding legislatif dan yudikatif, karena parlemen sekedar sebagai instrumen politik bahkan kepanjangan tangan eksekutif.
Pemerintah yang bersifat executive heavy, tidak saja sentralisasi dalam tataran implementasi kekuasaan tetapi terlegitimasi oleh UUD 1945. Dengan demikian, dianggap imposipol ketika reformasi menuntut di reformulasi kembali terhadap undang-undang dasar pada periode 1957-1959 menjadi tema diskusi untuk memasukan elemen-elemen pergerakan prodemokrasi ke dalam proses penyusunan undang-undang dasar. Hal ini dilatarbelakangi dengan suatu perspektif bahwa tidak sekedar merubah tatanan politik kekuasaan yang selama ini di distribusikan pemerintah ke daerah-daerah yang tidak memenuhi kriteria demokrasi tetapi bagaimana menempatkan sistem politik kekuasaan pusat benar-benar transparan, akuntabel, dan lebih proporsional di setiap cabang-cabang kekuasaan lain.
Meskipun dominasi kekuasaan pemerintah pusat terlegitimasi oleh UUD 1945 yang sentralistik  dan executive-heavy lalu pemerintah tidak memperhatikan persoalan Pemerintahan Daerah, karena secara konstitusi aturan mengenai Pemerintahan Daerah dituangkan dalam UUD 1945 pada pasal 18. Dan meskipun telah diatur dalam UUD 1945 akan tetapi dalam praktek keseharian tidak mudah bagi pemerintah menterjemahkan pasal 18 kedalam bentuk implementasi. Dalam kerangka politik desentralisasi tersebut setidaknya disatu sisi bisa diartikan sebagai political will dari para pendiri Republik dalam merespon politik daerah ditengah situasi konfigurasi politik kekuasaan nasional.
Namun, bila dilihat dari praktek kekuasaan politik pusat, rasanya mustahil untuk mendefenisikan bahwa faktor politik kekuasaan dapat memainkan peran konstruktif dalam memberi arti substansi pasal 18. Tanpa adanya faktor reformasi politik yang menghendaki demokratisasi, melibatkan kepentingan masyarakat dalam amandemen konstitusi maka akan sulit memberi implikasi secara  berkelanjutan kalau faktor keadilan dari pemerintah pusat untuk “melimpahkan” atau “menyerahkan” otoritas kekuasaan secara objektif kepada pemerintahan daerah sebagaimana yang terjadi di negara-negara yang tingkat fluktuasi demokrasinya kuat.
Karena realitas politik di Indonesia, meski demokratisasi sudah berjalan namun hegemoni kekuasaan politik pusat terhadap daerah masih terjadi. Dalam kerangka itu, wacana mengenai dekonsentrasi, desentralisasi tidak didefenisikan secara organik, sehingga makna desentralisasi bukan diartikan sebagai proses pelimpahan atau penyerahan kewenangan otoritas kekuasaan pada daerah tetapi yang terjadi bukanlah “the transference of authority, legislative, judicial or administrative, from a higher level of government to a lower,” tetapi “the mere delegation to a subordinate officer of capacity to act in the name of the superior without a transfer of authority from him.”
Dalam sejarah perjalanan kehidupan berbangsa, desentralisasi kekuasaan sudah diberlakukan sejak masa kolonial sebagaimana yang digambarkan diatas. Walaupun pemerintah kolonial memberlakukan sentralistik lalu bukan berarti pemerintah kolonial Belanda tidak melaksnakan desentralisasi dan dekonsentrasi administratif. Begitu pula yang dilakukan Jepang ketika membagi Hindia Belanda ke dalam tiga komando --- Sumatera, Jawa, dan Madura, serta di daerah-daerah lainnya. Pembagian daerah administratif ini tidak berarti melahirkan reformasi sentralisasi administratif secara total karena kenyataannya potensi intervensi kekuasaan pemerintah kolonial terbuka lebar.
Wacana mengenai desentralisasi dan dekonsentrasi terus berkembang terutama setelah Indonesia merdeka yang disertai prinsip dasar undang-undang. Adapun landasan politik desentralisasi dalam kerangka konstitusi sebagaimana yang disebut diatas yakni pada pasal 18 UUD 1945. Atas dasar itu pula dirumuskan sejumlah peraturan yang hingga melahirkan UU No. 5 Tahun 1974.
Tetapi dalam perjalanannya wacana desentralisasi tidak terkelola secara kompetitif baik di era Soekarno maupun Soeharto sehingga disperse kekuasaan tidak terjadi. Kekuasaan yang lebih terkonsentrasi ke Jakarta, lingkup kekuasaan (space of power) atau kewenangan (space of authority) tetapi tidak ada perubahan yang mendasar. Dalam konteks itu, daerah diberi kesempatan untuk memformulasi peraturan-peraturan daerah sesuai kebutuhan tetapi intervensi pusat dalam menentukan apakah layak tidaknya peraturan yang dilahirkan pemerintah daerah pun masih mewarnai dinamika pemerintahan desentralisasi. 
Desentralisasi kekuasaan juga mengambil berbagai bentuk. Kenyataan yang dihadapi bangsa kita ialah otonomi dan federasi. Beberapa daerah pasca reformasi menuntut untuk memisahkan diri NKRI tetapi hal itu berada diluar konteks dispersion of power. Oleh karena itu, untuk merespon tuntutan tersebut paling tidak menggunakan pendekatan bersifat ad hoc, respon dalam kerangka ini harus diletakan sesuai format yang sudah terlanjur “tersedia”.
                        Pengalaman desentralisasi dan dekonsentrasi yang terkesan politik pusat inilah yang mendorong lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah. Peraturan ini merupakan peraturan baru yang lebih akomodatif baik dilihat dari segi struktur maupun substansi. UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah ini sebenarnya diharapkan mampu memberikan warna baru terhadap praktek desentralisasi. Harapan ini tidak berlebihan apabila dikaitkan dengan proses pengunduran kepemimpinan nasional rezim Orde Baru yang dianggap otoriter yang mendorong terciptanya liberalisasi dan relaksasi politik.
Dengan demikian, otonomi daerah tidak perlu didefenisi secara eksklusif sehingga peraturan daerah yang dihasilkan pemerintah daerah sejauh tidak bertentangan dengan Undang-Undang maka tidak harus meminta persetujuan pusat.
Dalam konteks itu, maka harus ada aturan-aturan yang mesti dibuat berkaitan dengan otonomi daerah dan hubungannya dengan pemerintah pusat. Sekarang ini aturannya tidak sinkron karena otonomi daerah itu memungkinkan kepala daerahnya dipilih secara demokratis melalui pemilihan langsung. Artinya, kepala daerah mempunyai legitimasi yang solid. Kepala daerah juga hanya bertanggungjawab kepada para pemilih.
Dalam kondisi seperti itu mestinya peraturan yang berkaitan dengan Ketatanegaraan kita harus menghormati posisi seperti itu. Kalau itu terjadi, maka sebetulnya para kepala daerah tidak boleh dipanggil-panggil oleh Menteri Dalam Negeri apalagi ditegur atau diberhentikan.
Karena para kepala daerah memiliki pertanggungjawaban langsung kepada rakyatnya. Jadi, mereka bertanggungjawab pada pemerintah pusat. Dalam konteks ini, maka hubungan mengenai pemerintah pusat dan daerah harus diatur. Otonomi daerah juga sebenarnya melahirkan peraturan-peraturan daerah. Tetapi karena sifatnya otonom maka peraturan daerah juga harus bersifat otonom. Meskipun secara konstitusi peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. tetapi peraturan daerah tidak bisa diatur oleh peraturan Menteri Dalam Negeri. Peraturan daerah tidak boleh dianulir bahkan dibekukan oleh keputusan Menteri Dalam Negeri.
Undang-Undang dan peraturan sekarang dalam prakteknya menunjukkan seperti itu. Setidaknya sudah ada enam belas peraturan daerah yang dianulir atau dibekukan oleh Menteri Dalam Negeri. Aturan-aturan inilah yang membuat tidak sama. Kalau kita ingin menegakan otonomi daerah yang profesional maka relasi antara daerah dan pusat harus diatur. Secara gamblang kalau kita ingin memberlakukan otonomi daerah secara komprehensif maka bentuk negara kita harusnya federal dan bukan kesatuan. Sekarang ini karena sebagian orang merasa alergi dengan sistem federal lalu menganggap NKRI merupakan harga mati. Tetapi sebetulnya yang dimaksudkan dengan NKRI harga mati adalah Pancasila sebagai dasar negara. Kita bisa mempunyai pemerintahan federal tetapi sekaligus memiliki dasar Pancasila. Persoalan inilah yang hingga saat ini tidak sinkron sehingga harus menjadi perhatian pemerintah pusat.
Sebetulnya persoalan ini lebih merupakan apresiasi pemerintah pusat yang merasa karena keuasaan yang dimiliki berkurang sehingga ada semacam sebuah ketakutan dari pemerintah pusat. Sekarang ini sebetulnya kekuasaan pusat pun sudah berkurang. Walaupun menggunakan sistem NKRI tetapi kalau mau memberlakukan otonomi daerah secara profesional maka kekuasaan pusat pasti berkurang. Kenyataan desentralisasi di era reformasi menunjukkan adanya pergeseran kekuasaan pusat ke daerah seperti kementerian-kementerian mulai dikurangi, dana-dana langsung ke daerah-daerah. Maka hal ini harus dipikirkan kembali, apakah bentuk negara NKRI ini cocok dengan otonomi daerah. Hemat saya masa Orde Baru dulu lebih cocok karena sentralistis, maka kepala daerah tidak dipilih tetapi sebetulnya diangkat dan ditentukan oleh presiden. Sedangkan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) hanya mengesahkan saja dan itu tidak ada yang ditolak pemerintah pusat. Resminya dipilih oleh DPRD tetapi tetap saja campur tangan pemerintah pusat sangat kuat.
Sekarang kalau dengan sistem desentralisasi politik otonomi daerah seperti ini jelas susah, karena pada kenyataan para kepala daerah masih takut pada Menteri Dalam Negeri karena bisa ditegur, bahkan bisa dibatalkan. Padahal segala sesuatu yang berurusan dengan pemerintah daerah Menteri Dalam Negeri tidak perlu terlalu jauh ikut campur tangan. Dalam kerangka itu, maka relasi hubungan antara pusat dan daerah harus diatur lagi.
Oleh karena itu, otonomi daerah atau desentralisasi harus dimaknai secara komprehensif. Reformasi birokrasi dan penataan kembali sistem dan perencanaan program pembangunan daerah berbasis kesejahteraan rakyat. Desentralisasi dengan semangat reformasi dan menegakkan demokrasi di tingkat lokal. Dimana pemerintah daerah akan memainkan peran aktif untuk mengambil kebijakan-kebijakan politik yang lebih demokratis, sehingga proses penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan paket UU otonomi daerah mampu melahirkan solusi-solusi atas problematika sosial yang terjadi selama ini.


Catatan:
Arsip Tulisan Artikel Lepas
Jakarta, Juni 2008



Tidak ada komentar:

Posting Komentar