Komunikasi Politik Indonesia
Suatu Tinjauan Pemikiran Politik
Kontemporer
Oleh
:Rahman Yasin
(Tenaga
Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
Pendahuluan
Pada era modernisasi dan globaalisasi yang
semakin menunjukkan tingkat kompetisi global terus keras dan tajam, ilmu
komunikasi dituntut untuk menyajikan nilai-nilai transedental filosofis sebagai
basis moral. Ilmu komunikasi juga dituntut untuk menjembatani para aktor
politik yang dalam fase tertentu mengalami kebuntuan komunikasi terutama menyangkut
persoalan kekuasaan, kewenangan politik dalam negara. Namun demikian, dalam
berbagai peristiwa politik, seringkali ilmu komunikasi dihadapkan dengan
berbagai macam tantangan. Diantaranya, praktik politik yang cendrung
berorientasi kebendaan.
Berhasil atau gagal
seseorang, baik dalam konteks berpolitik maupun membangun integritas
kepemimpinan ditengah masyarakat, sangat ditentukan bagaimana seseorang
tersebut mampu mentransformasikan nilai-nilai komunikasi politik secara baik
dan benar. Komunikasi merupakan salah satu factor penentu berhasil tidaknya
orang dalam membangun citra baiknya di masyarakat. Karena melalui seni
komunikasi politik yang efektif maka orang akan bisa memaksimalkan,
memanfaatkan, dan menjadikan komunikasi sebagai alat membangun kepercayaan diri
dengan publik luar.
Pada awal kekuasaan
rezim Orde Baru, terutama sebelum ditetapkan sistem dan peraturan tentang
stabilitas sosial politik, bisa terlihat secara eksplisit di mana presiden
Soeharto menempatkan kebijakan pembangunan ekonomi yang begitu kuat sehingga
pembangunan di bidang ini mendapatkan porsi yang besar. Pembangunan politik
yang didasarkan pada stabilitas sosial politik ternyata dimanifestasikan
Presiden Soeharto sebagai basis penopang kekuatan ekonomi nasional.
Alhasil, di satu sisi,
terlihat akselerasi pembangunan ekonomi memenuhi target kemajuan yang
kompetitif sesuai agenda Repelita yang ditetapkan pemerintah. Namun, pada sisi
lain, percepatan pembangunan ekonomi yang dominan sebaliknya memperparah
percepatan pembangunan di sektor lain, termasuk pembangunan di bidang
pendidikan.
Akan tetapi, tidak
teori apapun, tidak bisa membantah keberhasilan presiden Seoharto dalam
membangun sistem perekonomian nasional. Soeharto mampu menjadikan stabilitas
politik sebagai pilar utama menjaga stabilitas ekonomi bangsa. Peran strategis
stabilitas politik tidak serta merta mampu memperkuat legitimasi kekuasaan
rezim karena dianggap mampu menciptakan stabilitas ekonomi nasional yang kuat
tetapi juga sistem komunikasi kekuasaan rezim yang secara yuridis formal mampu
mempertahankan presiden Soeharto untuk berkuasa selama kurang lebih 32 tahun.
Komunikasi
Politik Dalam Kajian Ilmiah
Dalam kajian ilmiah klasik telah dikenal teori
komunikasi politik. Sebuah teori ilmiah yang berlandaskan pada filsafat
politik, yang umumnya dikonsepsikan oleh para ilmua. Sejak zaman Cicero, dan
Aristoteles telah dikenal bagaimana dasar-dasar teori komunikasi itu dibangun.
Komunikasi politik kemudian berkembang seiring kemajuan zaman, menjadi sebuah
kajian ilmiah.
Komunikasi politik
sejak ada sejak manusia bersentuhan langsung dengan aktivitas politik.
Komunikasi politik juga merupakan sebuah instrumen seni berpolitik dalam
melakukan interaksi sosial antara satu aktor dengan aktor lain. Pertaanyaannya
ialah apakah komunikasi politik ini telah menjadi suatu telaah ilmu secara
spesifik, ataukah telah menjadi bagian dari kajian ilmu sosial politik maupun
sebagai sebuah ilmu komunikasi?
Apabila ditelaah lebih
jauh, maka sebenarnya kehadiran konsep ilmu komunikasi ini masih relatif muda.
Sekitar 60 tahun silam, dalam proses perkembangan dan kemajuan zaman yang terus
bergerak menuju transisi demokratisasi, ilmu komunikasi politik kemudian
dijadikan sebagai salah satu dasar disiplin ilmu politik. Alwi Dahlan, menulis,
bahwa komunikasi politik mulai berkembang dengan mengambil bentuk awal dalam
kajian inti ilmu politik setelah peristiwa perang dunia I. Teori ini bisa
dilihat dari perspektif umum tentang konsep konspirasi, rekayasa sosial, dan
propaganda.
Sementara itu, A. Muis
menjelaskan bahwa terminologi komunikasi politik menunjuk kepada pesan sebagai
suatu objek formalnya. Dengan demikian, titik tekan dari implementasi
nilai-nilai politik ialah tidak terletak pada praktik politik formal maupun non
formal, namun lebih ditekankan pada aspek komunikasinya. Artinya, secara
kontekstual, praktik komunikasi yang dilakukan para aktor politik sebenarnya
memuat pesan politik.
Secara lebih spesifik
dan proporsional, David V. J. Bell, mendefenisikan ilmu komunikasi sebagai
sarana untuk menyampaikan pesan-pesan politik. Dalam kerangka tersebut, maka
komunikasi sesungguhnya telah memasuki bidang kajian politik karena dalam
nilai-nilai komunikasi tidak secara parsial mengandung makna transcendental
tetapi juga meliputi pengaruh akan kebijakan negara dan masyarakat secara luas.
Melalui pendekatan
komunikasi politik, aktor politik akan memainkan peran sebagai pihak apakah
secara individu maupun sosial kelembagaan mempengaruhi pihak lain agar bisa
mengikuti apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan yang dibawah. Komunikasi
juga menjadi sarana paling efektif untuk membangun kerjasama antara masyarakat,
baik yang tergabung dalam kelompok-kelompok tertentu maupun secara individu.
Dari telaah kajian
ilmiah filosofis politik, komunikasi jelas memiliki keterkaitan erat antara
politik praktis dan konsep komunikasi. Hal ini karena politik merupakan
kumpulan dari sebuah ideologi yang kemudian melahirkan pesan politik melalui
komunikasi. Maka secara teoritik, politik mengandung makna komunikasi. Perbedaan
pemahaman mengenai politik pun dalam studi klasif mengandung
perbedaan-perbedaan. Apakah politik memiliki sumber otoritas yang dapat
menentukan kebijakan negara atau politik hanya merupakan sebuah seni
menyampaikan pesan kepentingan.
Studi Pemikiran
Politik Di Indonesia
Potret politik Indonesia yang masih
sarat dengan politik aliran dan primordialistik acapkali memicu komunikasi
politik antar calon pemimpin dalam sebuah pertarungan meraih simpati selalu
mendorong terjadinya eskalasi politik. Eskalasi politik cenderung hidup dalam
suasana psikologi politik masyarakat yang kurang terbuka. Akibatnya komunikasi
politik massa yang dibangun senantiasa bermuara pada mobilisasi massa.
Komunikasi politik berbasis mobilisasi massa dalam konteks politik di Indonesia
sampai pada era reformasi ini masih dipandang sebagai salah satu faktor yang
efektif.
Berbeda
dengan pengalaman-pengalaman komunikasi politik di Amerika Serikat dan Eropa,
meskipun seni menyampaikan komunikasi politik di Amerika Serikat dan Eropa
sangat ditentukan oleh personality. Dalam konteks Barac Obama misalnya, Obama
mampu membangun sebuah seni komunikasi yang cukup komprehensif. Obama sangat
memhami dan mengedepankan format komunikasi politik bersifat responsif. Obama
tidak saja menyampaikan nilai-nilai demokrasi berbasis normatif tetapi
kontekstualisasi komunikasi politik yang dikembangkan Obama untuk mempengaruhi
masyarakat sarat konsep. Obama mampu merangkaikan kalimat-kalimat serta
meyakinkan audensi ketika menyampaikan visi misi pembangunan masa
kepemimpinannya. Obama mampu melakukan transformasi ide dengan mengurai
gagasan-gagasan prospektif kedalam pemikiran-pemikiran publik. Komunikasi
politik Obama, baik bersifat audiovisual, verbal, maupun nonverbal, sangat
memukau masyarakat.
Pendekatan
komunikasi politik massa yang dilakukan Obama dalam kampanye sangat memicu
psikologi masyarakat multikelas sehingga setiap gagasan yang disampaikan selalu
mendapat perhatian yang baik dari masyarakat. Dalam menyampaikan
gagasan-gagasan Obama selalu memperhatikan semua atuan main berdasarkan kondisi
psikologi massa. Penyampaian visi misi kadang panjang penguraiannya, namun
dalam mengambil kesimpulan, Obama sangat disiplin. Keteraturan waktu serta
memanfaatkan peluang menyampaikan materi kampanye secara ringkas, padat, dan
substantif sehingga umumnya pesan kampanye Obama akan lebih mudah diresapi, dan
ditanggapi positif oleh publik.
Dalam
konteks politik Indonesia, menurut seorang antropolog, Edward T. Hall (1979),
menyebutkan bahwa, bangsa Indonesia masuk dalam kategori kelompok high contect culture dalam komunikasi.
Budaya high context cendrung diberi
makna yang sangat tinggi. Sebuah masyarakat yang kurang menghargai ucapan, atau
bahasa verbal. Artinya, setiap tokoh yang mampu tampil penuh meyakinkan, dan
berusaha menggugah pemikiran masyarakat secara konstruktif selalu dianggap
sebagai calon yang aneh. Setiap cara calon dalam menyampaikan, atau
mengungkapkan visi, misi, maupun program secara meyakinkan selalu dianggap
kontraproduktif. Sangat berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat dan Eropa
yang pada umumnya memiliki low context
culture. Sebuah masyarakat yang modern --- masyarakat yang tidak saja
melihat calon pemimpin dalam menyampaikan visi misi dan program bersifat
komunikasi nonverbal seperti melalui audiovisual tetapi juga penyampaian secara
langsung. Karena lewat pengungkapan langsung itulah masyarakat modern akan
melihat eskpresi dan keinginan dari setiap calon pemimpin.
Dalam
kerangka politik Indonesia, hampir tak bisa dipungkiri bahwa peta studi
pemikiran politik di Indonesia tidak lepas dari hasil kajian pemikiran Herbert
Feith dan Lance Castles yang menggambarkan kondisi sosiologis antropologis
masyarakat Indonesia dengan berdasarkan politik aliran yang berkembang sejak
pra kemerdekaan Indonesia. Dalam berbagai studi akademis, tentang pergulatan
pemikiran politik di Indonesia, Feith dan Castles mampu memberikan stigma
pemikiran politik di Indonesia yang kuat hingga mewarnai studi pemikiran
politik Indonesia. Faith dan Castles mengklasifikasikan tiga kelompok utama
yang turut aktif memainkan peran politik nasional. Ketiga kelompok tersebut,
pertama kelompok yang disebut sebagai santri tradisionil, kelompok kedua santri
modern, dan kelompok ketiga santri bangsawan.
Ibnu Taimiyyah dalam
karyanya al-Siyasah al-Syar’iya (Sistem
politik Syar’iah, Pemerintah Syari’ah), secara lebih gambling, Ibnu Taimiyyah
menggunakan istilah wilayah, yang
didefenisikan sebagai sebuah fungsi pertaanggungjawaban, bukan dengan
menggunakan istilah tradisional yakni kekuasaan. Wilayah mengandung pengertian berupa penekanan tentang tugas dan
fungsi setiap umat manusia sebagai khalifah
di muka bumi. Istilah kekuasaan tentu meliputi urusan-urusan pemerintahan
Negara sehingga penggunaan istilah wilayah
sebetulnya lebih dimaksudkan bahwa setiap orang yang diberikan amanat dalam
kapasitas apapun hendaknya dikerjakan penuh tanggungjawab.
Sedangkan teori politik
Islam klasik dari perspektif teologi politik kaum Sunni mengambil bentuk dalam
kondisi di masa daulat Abbasiah. Meskipun realitas sejarah dan politik dari
kehidupan Khilafah sering menghadapi persoalan-persoalan perdebatan teologi
politik dari kerang idea Islam, namun demikian setiap proses politik hendaknya
didasarkan pada prinsip-prinsip identitas politik Islam yang tetap memiliki
kaitan erat dengan syari’ah.
Ada suatu terobosan
fenomenal yang selama ini mungkin dilupakan oleh kalangan pemikiran politik
Islam, adalah bahwa dalam proses perjalanan, konstruksi teori politik Islam
tidak pernah mengalami pergeseran. John L. Esposito, menulis dalam karyanya,
politik Islam, mengatakan, konsep politik Islam yang idea meskipun
pengertiannya seringkali mengaburkan banyak realitas, namun secara umum, mampu
memberikan kontribusi positif terhadap generasi-generasi berikut, termasuk generasi
yang menjadikan agama sebagai basis gerakan pembaruan moral bangsa.
Efek kehadiran kelompok
yang mampu menggerakan semangat agama sebagai basis perbaikan system politik di
setiap Negara ini juga terlihat terjadi di Indonesia. Para aktivis politik
Islam berusaha keras untuk membangun citra politik Islam yang selama beberapa
abad tenggelam akibat kuatnya penampilan ideologi-ideologi lain seperti
kapitalisme, dan komunisme. Aktivis politik Islam terus berpacu dalam dimensi
pembaruan, di mana ada semacam keinginan kuat untuk mengejar keterbelakangan
dengan mempertautkan dasar-dasar politik Islam dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Di akhir abad XIX
bahkan memasuki abad XX, pergulatan wacana politik Islam terkait dengan studi
tentang Islam dan negara terus mengalami kemajuan pesat. Minat dan perhatian
kalangan cendikiawan, dan intelektual Islam --- termasuk intelektual muda Islam
Indonesia turut meramaikan perbincangan penting tidaknya kehadiran sistem
negara yang menjadikan nilai-nilai sosial yang terkandung dari agama sebagai
legitimasi kebijakan pembangunan negara.
Islam dan negara
mendapat tempat perbincangan yang cukup dominan dari perspektif wacana
pembaruan sistem politik nasional. Islam dan semangat nilai-nilai sosial yang
terkandung didalamnya semakin meraih simpati kalangan intelektual muda untuk
mengangkatnya sebagai wacana komprehensif dalam proses reformasis sistem
politik negara. Perbincangan Islam dan negara, misalnya, diramaikan oleh tokoh
intelektual muda Indonesia, antara tahun 1970-an, hingga sekarang, misalnya, M.
Room, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Abdurrahman Wahid
(Gus Dur), Munawir Syadzali, hingga Azyumardi Azrah, Komaruddin Hidayat,
Bachtiar Effendy, Anis Baswedan Yudi Latif, dan lain-lain.
Cak Nur misalnya,
menegasikan pemikiran politiknya melalui seorang tokoh pemikir politik Islam
terkemuka, yakni, Ibnu Taimiyyah. Dalam menulis kata pengantar buku Fiqih
Siyasah yang ditulis, M. Iqbal (2001), Cak Nur, menyebut, negara Madinah
pimpinan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana yang dikatakan Robert N Bellah, adalah
sebuah negara yang mencerminkan korelasi antara agama dan negara dalam Islam.
Muhammad Arkoun, seorang pemikir politik Islam kontemporer menyebut bahwa,
ikhtiar Nabi Muhammad dalam membangun tradisi bernegara dalam kondisi Madinah
ketika itu menunjukkan bahwa sebuah “eksperimen Madinah”. Eksperimen Madinah
tersebut merupakan titik tolak bahkan menjadi suatu personifikasi Muhammad
tentang sistem pemerintahan atau suatu tatanan sosial politik berdasarkan
nilai-nilai Islam.
Dalam eksperimen
bernegara tersebut, Muhammad memperlihatkan bagaimana suatu sistem sosial
politik itu dibangun berdasarkan landasan nilai-nilai kebaikan universal yang
terkandung didalam agama Islam. Dalam konsep negara Madinah terdapat adanya
pendelegasian wewenang, pembagian otoritas kekuasaan yang secara konseptual
terjadi pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan dimaksudkan agar tidak terjadi
sentralisasi kekuasaan yang acapkali dalam praktik bernegara seringkali memicu
konflik politik akibat tidak terkelola potensi konflik politik aliran.
Dalam konteks kajian
politik berbasis nilai-nilai agama, maka politik sesungguhnya adalah suatu seni
dan sekaligus suatu metode untuk melaksanakan tugas maupun fungsi baik secara
individu maupun struktur sosial untuk mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya,
keluarga, dan kalangan masyarakat luas. Politik merupakan bentuk aksi yang
dilakukan para politikus, sehingga ia disebut sebagai “memolitisasi binatang
untuk menggambarkan bahwa politikus menaiki dan menundukkan binatang.
Di Indonesia, sejak
permulaan era Orde Lama berkuasa, komunikasi politik dalam konteks membangun
kekuatan negara melalui elemen-elemen penting boleh dikatakan dapat berjalan
baik, meski dalam sejarah kita temukan ada peristiwa-peristiwa polarisasi.
Perbedaan ideologi negara yang semula menjadi perdebatan sengit dalam rapat
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dapat diselesaikan dengan penuh
kekeluargaan.
Adalah komunikasi antar
semua stakeholders baik dalam
membangun persamaan persepsi sehingga semua perbedaan yang timbul ketika itu
bisa dikelola secara komprehensif. Perbedaan tajam yang sempat mengancam
integritas NKRI, yakni menyangkut konsep ideologi bangsa. Ada kelompok yang
mendukung agar negara berideologikan Pancasila, dan UUD 1945, ada kelompok yang
mendukung sistem pemerintahan negara yang bersifat demokratis, ada yang
mendukung sistem negara liberal, ada kelompok yang memperjuangkan negara
berdasarkan sistem pemerintahan feodalisme, ada lagi kelompok yang menghendaki
agar Islam sebagai ideologi negara, dan ada juga yang menghendaki agar
Indonesia berdasarkan sistem otokrasi.
Sikap bijak dan konsep
komunikasi politik yang bijak dan komunikatif yang diterapkan Soekarno dan
Muhammad Hatta serta tokoh-tokoh lain sebagai representasi masing-masing
kekuatan dalam memahami perbedaan ini, mampu melahirkan kesamaan persepsi antar
mereka sehingga perbedaan yang semula dianggap menjadi pemicu untuk menghambat
proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi cair.
Era kekuasaan Orde
Baru, komunikasi kekuasaan politik sangat tertutup. Hampir semua pusat
kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, bahkan lembaga-lembaga
negara tidak terlihat adanya suatu suasana komunikasi yang bersifat terbuka dan
demokratis. Panglima Tertinggi Negara (Presiden) menjadi pusat utama proses
transformasi komunikasi kekuasaan politik, ekonomi, pendidikan, hokum, dan
sosial budaya.
Rezim Orde Baru yang
berkuasa selama 32 tahun menerapkan sistem kekuasaan yang sangat otoriter.
Demokrasi Pancasila hanya sebagai alat pemanis politik kekuasaan rezim sehingga
praktis tidak tercipta iklim demokrasi yang betul-betul menempatkan hak-hak
politik rakyat secara adil dan terbuka. Demokrasi yang semula diharapkan
menjadi instrumen penting untuk membangun peraadaban politik bangsa yang modern
tidak dijalankan dengan baik oleh penguasa.
Komunikasi politik
kekuasaan lintas lembaga pun praktis tidak berjalan baik karena sistem
komunikasi satu arah, yakni hanya didominasi oleh eksekutif, lembaga legislatif
dan yudikatif berperan sebagai pelengkap sistem bernegara sehingga
pelanggaran-pelanggaran nilai politik pun tidak terhindari. Namun demikian,
bukan berarti, pola komunikasi kekuasaan politik di masa pemerintahan Orde Baru
tidak mampu melahirkan nilai-nilai kemaslahatan publik. Sisi positif yang dapat
dilihat dari pola komunikasi politik kekuasaan yang efektif pada era Orde Baru
ialah, kemampuan negara dalam mengorganisir semua kekuatan elemen bangsa ke
dalam satu komando.
Di satu sisi, kebebasan
rakyat dalam berekspresi, berkelompok, berserikat, dan menentukan preferensi
politik tidak ada, tetapi di sisi lain tingkat kesejahteraan masyarakat
terlihat cukup baik. Kegagalan rezim Orde Baru ialah tidak menjalankan
demokrasi secara baik, sedangkan kesuksesan rezim Orde Baru yang paling diakui
masyarakat ialah konsisten mengutamakan stabilitas politik sehingga stabilitas
ekonomi menjadi sangat kuat. Stabilitas politik dilihat dari jargon pemerintah
yang tertuang dalam Trilogi Pembangunan --- meliputi stabilitas politik,
pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan.
Nasionalisme
dan Komunikasi Media
Hampir setiap tahunnya, nuansa peringatan hari ulang tahun kemerdekaan
republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 seringkali disertai dengan
aktivitas-aktivitas seremonial yang kadang cenderung tidak memiliki nuansa
filosofi historis dibalik perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Momentum hari
bersejarah di tengah krisis integritas teritorial dan krisis kepercayaan rakyat
terhadap para elit pemimpin bangsa nampaknya masih memperlihatkan betapa
dimensi historis ini masih tetap memberikan arti ikatan emosial plus sosial
politik sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tanggal 17
Agustus 1945 memiliki kisah historis-filosofis tersendiri bagi warga masyarakat
Indonesia. Dimensi historis-filosofis itulah
para the founding fathers melalui Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta
berusaha keras mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang tidak saja jadi harapan
para pejuang tapi dambaan para pemuda yang punya rasa sense of belonging untuk
membentuk negara Indonesia secara berharkat dan bermartabat. Segenap the
founding fathers dan pemuda menghendaki agar kemerdekaan Indonesia segera
diumumkan untuk menghindari kesan negatif kalau kemerdekaan Indonesia lebih
sebabkan oleh pemberian atau hadiah dari penjajah.
Ir.
Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai simbol revolusi kemerdekaan pun dipaksa ---
ditekan oleh para pemuda ketika itu yang menghendaki supaya proklamasi
kemerdekaan Indonesia dilakukan sebelum penjajah keluar dari bumi Indonesia.
Detik-detik yang sangat menentukan peristiwa proklamasi kemerdekaan diwarnai
perdebatan antara kelompok tua dan para kelompok muda yang sudah tidak sabar.
Terbukti dua hari menjelang proklamasi, Soekarno dan Hatta diculik oleh
sekelompok anak muda dan dibawah ke Rengasdengklok yang pada intinya
mempercepat proses pengumuman kemerdekaan.
Sikap para
pemuda ini jelas merupakan refleksi rasa nasionalisme kebangsaan akibat
penindasan dan pengeksploitasian yang dilakukan kaum penjajah sehingga
memunculkan kesadaran kolektif untuk bersatu dan berdaulat dalam bingkai NKRI.
Dan usaha para pemuda ini menemukan hasilnya, yakni pada tanggal 17 Agustus
1945 lewat Soekarno dan Hatta, akhirnya proklamasi kemerdekaan Indonesia pun
dikumandangkan.
Nasionalisme
kaum pemuda yang ditampilkan seperti ini sesungguhnya merupakan suatu kesadaran
sekaligus awal dari sebuah proses untuk membangun komitmen moral kebangsaan
yang kuat dalam mewujudkan cita-cita kehidupan nation states yang lebih baik. Dalam catatan Ensiklopedia
Britanica, dapat dipahami bahwa rasa nasionalisme merupakan jiwa, yang
menempatkan setiap induvidu merasa untuk memiliki keduniawian atau konteks
sekarang identik dengan paham sekuler yang menjadikan liberalisme dan
kapitalisme sebagai dimensi tertinggi negara kebangsaan. Sedangkan dalam
formulasi International Encyclopedia of Social Science, nasionalisme dapat
dipahami sebagai suatu ikatan politik yang mampu mengikat satu kesatuan dari
seluruh elemen masyrakat yang plural, modern sekaligus memberikan determinasi
legitimasi terhadap tuntutan kekuasaan. Atau dalam logika Huscer dan Stevenson,
nasionalisme, artinya memiliki rasa cinta yang secara natural kepada tanah air
di mana setiap induvidu dilahirkan.
Pendapat lain yang dikemukakan Hans,
nasionalisme sebagai wujud cita-cita bahkan bisa berupa suatu keadaan alias
gejala jiwa baik secara induvidu maupun secara struktur sosial yang memiliki
model maupun bentuk tertentu dari suatu entitas atau institusi politik bangsa
yang merupakan sumber inspirasi akan potensi kebudayaan dalam menciptakan iklim
kesejahteraan ekonomi yang lebik kondusif. Dalam bukunya, Di Bawah Bendera
Revolusi, Soekarno memberikan pengertian nasionalisme sebagai suatu upaya
terjalinnya rasa ingin bersatu, perasaan, perangai, dan nasib, serta persatuan
antara orang dan tempat. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan rapuhnya rasa
nasionalisme pemuda masa sekarang? Di mana peran negara dalam mengatasi krisis
nasionalisme pemuda? Menjawab pertanyaan ini tentu harus dilihat dari berbagai
konteks multidimensional. Karena banyak faktor yang jadi pemicu krisis
nasionalisme pemuda zaman sekarang.
Krisis multidimensional telah mampu
menggerogoti dimensi nasionalisme kebangsaan pemuda terutama dalam kurun masa
transisi reformasi dan demokratisasi. Demokrasi dan hak asazi manusia (Ham)
telah menjadi tema sentral dalam berbagai diskurus. Keberhasilan pembangunan
khususnya dalam membongkar mitos kediktatoran rezim masa lalu setidaknya
memberi ruang gerak bagi demokratisasi, walau dalam hal tertentu demokrasi
selalu bersikap ambigiu sehingga proses pembentukan karakter pemuda cenderung
berdasarkan simbol-simbol kebebasan dan kemerdekaan yang berlebihan atau yang
lazim disebut reformasi kebablasan. Perilaku menyimpang sebagai pintu masuk
kerusakan moral terus mengalami peningkatan. Transformasi informasi dan
komunikasi yang begitu pesat membuat para pemuda semakin kehilangan makna
identitas. Kemajuan ilmu dan tekhnologi disatu sisi menguntungkan umat manusia,
tetapi, di sisi lain dapat berimplikasi negatif.
Peran Media
Perkembangan informasi dan kemajuan tekhnologi terutama
melalui peran pers yakni media massa sangat menentukan bagi proses pembentukan
karakter kebudayaan bangsa. Jika pers memiliki visi nasionalisme kebudayaan
nasional yang tinggi maka lambat laun masyarakat termasuk pemuda akan cenderung
kepada apa yang menjadi rasa tanggung jawab sosialnya terhadap bangsa dan
negara. Pers sebagai salah satu pilar demokrasi semestinya mampu memainkan peran
strategis konstruktif dalam membentuk karakter masyarakat. Pers sebagai lembaga
sosial yang memiliki sifat-sifat kelembagaan (institusional character) sekaligus sebagai lembaga ekonomi atau
perusahaan yang merupakan bagian inti suatu industri jasa seyogyanya tidak
sekadar mengejar keuntungan semata tetapi bagaimana pers mampu
mentransformasikan kelembagaannya sebagai institusi pendidikan yang dapat
merubah pola dan perilaku masyarakat secara komprehensif. Dengan demikian, pers
bisa menempatkan dirinya sebagai institusi sosial kontrol sekaligus sebagai
lembaga pengemban dan pengubah sistem kehidupan yang lebih teratur dan
sistematis. Tetapi, kecenderungan dan realitas sosial kontemporer justru
menunjukkan fakta sebaliknya, beberapa perusahaan industri pers telah
disalahgunakan oleh pemilik media tertentu.
Fenomena
ini bisa menimbulkan krisis nasionalisme pemuda masa sekarang. Kecenderungan
beberapa stasiun Televisi swasta yang menyuguhkan program hiburan berupa
sinetron seringkali kurang memiliki syarat pendidikan. Nilai-nilai kebudayaan
justru didistorsi melalui media yang didasari dengan keadaan pikiran yang oleh
Johan Huizinga disebut sebagai “kekanak-kanakan.” Di mana manusia dewasa ini
cenderung bertindak kekanak-kanakan, dalam konteks negatif berdasarkan
pertumbuhan mental: hiburan sinetron yang terkesan perilaku kepalsuan dan sikap
asli yang dipaksakan, rasa humor yang tidak sesuai sikap asli, kebutuhan
sensasi-sensasi murahan, kecenderungan kepada parade-parade massa, bahkan
personifikasi ekspresi kebencian, cinta, pujian dan kutukan juga terlihat
sangat berlebihan.
Ramuan program TV menyuguhkan sinetron
yang syarat dengan perilaku kekerasan rumah tangga, kekerasan sosial ekonomi
bahkan kekerasan psikologis yang dipaksakan bisa menjadi akses bagi kerusakan
pertumbuhan mental generasi muda bangsa. Peran ganda pers terutama media
elektronik sekarang ini berpotensi menghidupkan tradisi paradigma global capitalist system yang dalam perspektif
kultur mengarah pada fashioned culture yang notabene disokong oleh ideologis
kapitalistik yang tidak terlepas dari peran ganda negara. Dari sisi, jelas
krisis nasionalisme akan muda terjadi dan pada gilirannya memunculkan konflik
ideologis parsial.
Menjadi media yang profesional tidak
selalu menghadirkan program-program yang selalu bersentuhan dengan
nuansa-nuansa perkembangan globalisasi demografi yang pada hakekatnya
bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan kebangsaan nasional. Sayangnya,
kecenderungan dan realitas perkembangan media sekarang sudah mulai berorientasi
pada kompetisi keuntungan ekonomi sehingga peran profesional media yang
diharapkan bisa menjadi salah satu faktor penunjang dalam mewarnai dinamika
sosial kebangsaan terus mengalami degradasi. Maraknya tayangan beraroma mistik
dan sinetron-sinetron dengan menampilkan kehidupan berbasis
sekular-materialistik sudah barang tentu selain tidak mendidik juga sangat
tidak memiliki esensi moralitas dalam membentuk eksistensi bangsa.
Peran Negara
Dalam menyikapi problematika sosial kebangsaan yang
kompleks terutama krisis nasionalisme pemuda yang makin hari makin meresahkan,
maka negara sebagai kesatuan tatanan (unity
of order) --- kesatuan formal yang menjadi obyek dari formulasi kebijakan
secara rasional-idealistik, walau dalam kesatuan tidak menciptakan substansi
baru, namun dengan kekuatan kekuasaan yang legitimic harus mampu melakukan
tindakan-tindakan persuasif bahkan perlu tindakan preventif (self-motivated action) guna menciptakan
rasa nasionalisme akan kebangsaan.
Secara
sosio-historis, artikulasi nasionalisme yang sudah diletakan para the founding
father yang notabene adalah para tokoh intelektual muda yang di awal abad 20
ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo (1908). Nasionalisme kebangsaan juga
bangkit melalui gerakan yang dipelopori Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo, HOS
Tjokroaminoto, hingga generasi yang lebih muda seperti Soekarno, Hatta,
Sjahrir, SM Kartosoewirjo, Tan Malaka, dan masih terdapat banyak tokoh muda
yang menginspirasi hadirnya kemerdekaan. Gerakan kaum intelektual muda menanam
rasa nasionalisme juga sudah terjadi sejak tahun 1928. Di mana para pemuda
berkumpul merumuskan gagasan identitas nasionalisme kebangsaan melalui dokumen
Sumpah Pemuda tepatnya tanggal 28 Oktober 1928 yang hingga sekarang masih
diperingati sebagai hari lahirnya sumpah pemuda.
Dalam
konteks itu, memaknai nasionalisme kebangsaan nation states, Pemerintah sebagai pembuat regulasi harus
menciptakan sistem sosial yang mendukung masyarakat dalam mengartikulasi
kemerdekaan dan kebebasan, termasuk pers sebagai penyebar informasi dilakukan
secara konstruktif dan proprsional. Kebebasan dan kemerdekaan tidak boleh
dimonopoli oleh pers tertentu yang cenderung menampilkan aneka pornografi dan
pornoaksi yang pada gilirannya mengancam kerusakan moralitas pemuda masa kini
ditengah kegamangan globalisasi dan westernisasi. Dalam konteks tersebut, peran
dan transformasi nasionalisme pemuda atas semangat kebangsaan merupakan suatu
keniscayaan agar nasionalisme kaum pemuda masa kini tidak jadi tanda tanya atau
mungkin lebih radikal “digugat”. Titik sentral dekonstruksi paradigma
destruktif sekaligus merekonstruksi pemikiran pemuda masa kini yang lebih
bermuatan nilai-nilai kebhinekaan juga merupakan suatu keniscayaan.
___________________________________
Catatan: Arsip Tulisan
Artikel Lepas
Oktober 2011.
Daftar
Pustaka
Ali Masykur Musa, Magnitude
Komunikasi Politik Obama, http://andika-artikel.blogspot.com/2008/11/magnitude-komunikasi-politik-obama.html.
Anwar
Arifin, Komunikasi Politik dan Pers
Pancasila; Suatu Kajian Mengenai Pers Pancasila, Penerbit, Media Sejahtera,
Jakarta, 1992.
Yusuf Al-Qardhawi, Legalitas Politik, Dinamika Perspektif Nash dan Asy-Syariah, CV.
Pustaka Setia, Bandung, 2008.
Ibnu Taimiyyah, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, Pustaka, Bandung, 2001.
John L. Esposito, Islam dan
Politik, Bulan
Bintang, Jakarta, 1990.
Koran Republika, Kamis, 16 Juni 2011, Orde Baru, hlm. 24.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar