Menakar Calon Perseorangan dalam Pemilukada
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
Wacana pentingnya
calon independen, baik dalam perspektif pemilihan umum nasional Presiden dan
Wakil Presiden hingga pada tingkat lokal Gubernur/Bupati/Wali Kota yang
dilakukan secara langsung, patut mendapat respons. Tuntutan masyarakat yang
kadang disertai tindakan destruktif di beberapa daerah agar pemerintah dan DPR
harus lebih proaktif menanggapi pencalonan perseorangan, setidaknya jadi titik
tolak untuk mengukur sejauhmana instrumen demokrasi berupa parpol telah bekerja
dengan baik dan komperehensif. Kehadiran calon independen akan menambah
kualitas nilai demokrasi sekaligus membawa konsekuensi positif untuk
mendewasakan masyarakat dalam berpolitik. Dalam kerangka ini, kualitas
demokrasi dapat diketahui sejauhmana kebijakan pemerintah memberi ruang bagi
semua anak bangsa untuk berekspresi sesuai aturan dan mekanisme yang ada.
Secara teoritis, calon independen lebih memiliki muatan misi kebajikan
universal (civic morality plus public
civility) secara sosial dibanding calon yang diusung partai politik. Calon
perseorangan sudah pasti tidak memiliki konstituen tertentu yang memerlukan
kontrak politik berupa perjanjian dalam bentuk hitam di atas putih sebelum
terpilih. Calon independen lebih diikat oleh rasa tanggung jawab moral pada
masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan
calon pengusung parpol cenderung bermuatan politis sehingga paradigma politik
yang dipasang selalu berorientasi pada teknis pragmatis --- kesempatan
strategis untuk membalas budi baik parpol yang berhasil meloloskan dirinya.
Akibatnya adalah kedaulatan rakyat tidak akan dijalankan secara obyektif
oleh pemimpin yang lahir dari rahim kompromi politik. Di sinilah letak
persoalan yang menyebabkan tarik ulur kepentingan antara kekuatan politik yang
notabene dikendalikan parpol dan para akademisi, kaum profesional yang
dipandang merepresentasi calon independen. Pertanyaannya, implikasi politik apa
yang akan terjadi jika calon independen diakomodasi?
Telah banyak pendapat mulai bernada argumentatif maupun deskriptif
dikemukakan oleh berbagai pihak yang berbeda-beda berdasarkan kepentingan
masing-masing. Terlepas dari perdebatan atas nama demokrasi atau hak asasi
manusia maupun lainnya. Yang perlu menjadi tema sentral kajian wacana calon
independen baik di tingkat pusat pemilu Presiden dan Wakil Presiden hingga
Pilkada tingkat Gubernur/Bupati/Wali Kota, hendaknya disikapi secara realistis,
dan proporsional, karena dalam fragmentasi politik demokratik memungkinkan
rakyat menentukan preferensi politik secara bebas, adil, dan jujur tanpa
intervensi kepentingan politik kelompok mana pun.
Dinamika Parpol Merespon Calon Independen
Polemik untuk
memasukkan calon perseorangan dalam UU Politik secara formal tentu membuat para
elite parpol merasa takut. Elite parpol yang secara struktur kekuasaan politik
kepartaian memiliki jabatan strategis, merasa terancam jika calon independen
diperbolehkan berkompetisi pada setiap momen Pilpres, ataupun pemilu Kepala
Daerah tingkat Gubernur/Bupati/Wali Kota.
Fakta politik vertikal yang melibatkan elite kekuasaan politik parsial
senantiasa meredusir nilai-nilai sosial kepemimpinan universal. Akibatnya
rakyat kecil, meminjam istilah Eep Syaifullah Fatah, selalu jadi “kuda
tunggangan” para elite politik dengan legitimasi sosial politik yang ada.
Penolakan calon independen sebagaimana yang ditunjukkan oleh elite parpol
tertentu jika ditarik benang hijau maka alasan menolak calon independen, selain
bermuatan politis juga memiliki kecenderungan menghidupkan kembali sistem
kekuasaan otoriter gaya Orde Baru.
Dalam konteks ini, penolakan calon independen memasuki arena perspektif
yang miring bagi para elite parpol karena dianggap menonjolkan absurditas
politik kekuasaan dengan memanfaatkan demokrasi sebagai dalih mencari selamat.
Padahal yang dirasakan masyarakat akibat sistem kekuatan kekuasaan (trias
political) antara eksekutif dan legislatif yang diskriminatif tidak kondusif
bagi proses demokratisasi. Realitas politik pasca-reformasi, sistem politik
nasional lebih didominasi oleh lembaga legislatif. Kekuasaan lembaga eksekutif
dan legislatif tidak seimbang, sehingga proses pengambilan keputusan eksekutif
sebagai eksekutor kebijakan selalu tidak memihak pada kepentingan rakyat yang
jelas-jelas sebagai saham utama untuk seorang elite jadi pemimpin. Formulasi
dan implementasi eksekusi kebijakan seringkali lebih mengedepankan kepentingan
parpol karena keinginan mayoritas fraksi partai yang ada di parlemen. Maka
sesuatu yang mustahil jika kepentingan rakyat bisa diselesaikan secara adil,
jujur dan tulus oleh para elite parpol di parlemen selama kepentingan
fundamental mereka tidak diganggu gugat, termasuk kepentingan akan kalah saing
dengan calon independen.
Keengganan elite politik menerima usulan calon perseorangan telah menabrak
nilai-nilai demokrasi yang pada kenyataannya telah berkonsensus memilih
demokrasi sebagai sistem pemerintahan negara. Elit parpol yang pragmatis
semestinya tahu bahkan sadar bahwa membangun kualitas demokrasi memerlukan
varian-varian yang memungkinkan bagi terciptanya masyarakat yang egaliter,
modern, dan beradab, atau istilah filsafat Yunani Kuno, civic morality serta public
civility sebagai landasan mewujudkan kebajikan dalam masyarakat (civic vitue), sebagai dasar membangun
negara yang ideal (good state). Di
mana nilai-nilai demokrasi mengajarkan adanya kesamaaan hak dalam
berpartisipasi baik untuk memilih ataupun dipilih tanpa paksaan.
Sistem politik kita yang menempatkan parlemen sebagai peran utama check and
balances terhadap kekuasaan eksekutif dalam kenyataan implementasinya justru
menunjukkan peran ganda alias amanat kewenangan check and balances sering
disalahgunakan, sehingga kepentingan masyarakat kerap terabaikan. Dikotomi dan dualisme
kepemimpinan yang lebih memihak pada kepentingan parpol inilah yang menyebabkan
kemarahan masyarakat terhadap peran ganda parpol, sehingga rakyat merasa untuk
tidak lagi mengandalkan parpol sebagai pilihan efektif guna mentransformasi
kepentingan politik mereka dalam struktur pemerintahan negara.
Kesadaran Elite Politik
Perdebatan calon
perseorangan yang terus mencuat, sepatutnya mendapat perhatian yang serius oleh
pemerintah dan DPR sebagai penyelenggara negara. Wacana calon independen adalah
suatu keharusan dalam upaya mewujudkan kualitas demokrasi. Oleh karena itu, calon
perseorangan bukan sekadar untuk
disuarakan kemudian jadi konsumsi politik para elite, tetapi bagaimana kepekaan
pemerintah dan DPR serta seluruh kekuatan elemen masyarakat untuk kembali
berpikir tentang pentingnya menghadirkan calon perseorangan dalam bentuk
Peraturan dan Perundang-undangan.
Maka menarik jika keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang judicial review (peninjauan ulang)
Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang membolehkan keikutsertaan calon independen dalam pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) supaya ditindaklanjuti pemerintah dan DPR selaku eksekutor dan
perumus UU. Di sinilah pentingnya pemerintah bersama DPR mengambil langkah
produktif dalam menentukan kebijakan untuk membuat undang-undang politik yang
bisa memungkinkan calon perseorangan maju dalam pemilihan pemimpin, baik di
tingkat Presiden dan Wakil Presiden maupun di tingkat daerah
Gubernur/Bupati/Wali Kota.
Jika merujuk pada rumusan draf UU Politik yang ditawarkan pemerintah pada
DPR saat ini tentu tidak memungkinkan masuknya calon perseorangan karena dalam
paket UU Politik yang sedang dipergunjingkan oleh para elite, bahkan elit lebih
berkonsentrasi pada perdebatan electoral threshold (ET) yang rencananya
dinaikkan dari 2% jadi 3-5%.
Sebagai gambaran sederhana, sudah jelas bagaimana para elite politik
mengartikulasikan kepentingan rakyat ke dalam kepentingan eksklusif mereka.
Elit lebih sibuk melakukan konsolidasi dan mobilisasi besar-besaran untuk
melawan kebijakan pemerintah yang dianggap mengancam eksistensi parpol dalam
pemilu. Frekuensi konsolidasi kekuatan dengan mobilisasi politik massa begitu
kuat dilakukan elite guna menghadang UU politik yang menetapkan standar perolehan
suara. Potret kinerja buruk parpol, khususnya dalam mengartikulasi kepentingan
rakyat yang masih jauh dari apa yang
diharapkan rakyat, akan berpotensi membuat masyarakat frustasi, bahkan bisa
memicu tindakan destruktif dan anarkis, karena keinginan rakyat tidak direspons
secara baik oleh para penyelenggara negara. Politik oportunis yang ditampilkan
pemerintah secara tak langsung bisa membunuh demokratisasi yang masih seumur
jagung.
Sebagai negara demokrasi ketiga di dunia, Indonesia bisa saja menengok
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, dan beberapa negara di Eropa
yang menganut sistem demokrasi. Di AS, Inggris dan Rusia, calon independen
dibolehkan ikut pemilu yang secara spesifik di negara-negara bagian. Karena AS
menganut sistem suara pemilih tak menyentuh secara langsung kepada kandidat
bersangkutan (electoral college),
sehingga potensi yang menang cenderung pada kandidat yang memiliki jumlah suara
terbesar (one man one vote).
Indonesia dengan sistem politik yang demokratis sebetulnya pendekatan pemilu
dengan demokrasi substansial sudah mirip sistem one man one vote, sehingga tidak ada alasan jika calon independen
diikutsertakan baik dalam konteks Pilpres maupun Pilkada tingkat
provinsi/kabupaten/kota.
__________________________________
Catatan: Arsip Tulisan
Artikel Lepas
Oktober 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar