Rabu, 23 November 2016

Calon Perseorangan dan Kualitas Kepemimpinan Daerah

Menakar Calon Perseorangan dalam Pemilukada

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



Wacana pentingnya calon independen, baik dalam perspektif pemilihan umum nasional Presiden dan Wakil Presiden hingga pada tingkat lokal Gubernur/Bupati/Wali Kota yang dilakukan secara langsung, patut mendapat respons. Tuntutan masyarakat yang kadang disertai tindakan destruktif di beberapa daerah agar pemerintah dan DPR harus lebih proaktif menanggapi pencalonan perseorangan, setidaknya jadi titik tolak untuk mengukur sejauhmana instrumen demokrasi berupa parpol telah bekerja dengan baik dan komperehensif. Kehadiran calon independen akan menambah kualitas nilai demokrasi sekaligus membawa konsekuensi positif untuk mendewasakan masyarakat dalam berpolitik. Dalam kerangka ini, kualitas demokrasi dapat diketahui sejauhmana kebijakan pemerintah memberi ruang bagi semua anak bangsa untuk berekspresi sesuai aturan dan mekanisme yang ada.
Secara teoritis, calon independen lebih memiliki muatan misi kebajikan universal (civic morality plus public civility) secara sosial dibanding calon yang diusung partai politik. Calon perseorangan sudah pasti tidak memiliki konstituen tertentu yang memerlukan kontrak politik berupa perjanjian dalam bentuk hitam di atas putih sebelum terpilih. Calon independen lebih diikat oleh rasa tanggung jawab moral pada masyarakat secara  keseluruhan. Sedangkan calon pengusung parpol cenderung bermuatan politis sehingga paradigma politik yang dipasang selalu berorientasi pada teknis pragmatis --- kesempatan strategis untuk membalas budi baik parpol yang berhasil meloloskan dirinya.
Akibatnya adalah kedaulatan rakyat tidak akan dijalankan secara obyektif oleh pemimpin yang lahir dari rahim kompromi politik. Di sinilah letak persoalan yang menyebabkan tarik ulur kepentingan antara kekuatan politik yang notabene dikendalikan parpol dan para akademisi, kaum profesional yang dipandang merepresentasi calon independen. Pertanyaannya, implikasi politik apa yang akan terjadi jika calon independen diakomodasi?
Telah banyak pendapat mulai bernada argumentatif maupun deskriptif dikemukakan oleh berbagai pihak yang berbeda-beda berdasarkan kepentingan masing-masing. Terlepas dari perdebatan atas nama demokrasi atau hak asasi manusia maupun lainnya. Yang perlu menjadi tema sentral kajian wacana calon independen baik di tingkat pusat pemilu Presiden dan Wakil Presiden hingga Pilkada tingkat Gubernur/Bupati/Wali Kota, hendaknya disikapi secara realistis, dan proporsional, karena dalam fragmentasi politik demokratik memungkinkan rakyat menentukan preferensi politik secara bebas, adil, dan jujur tanpa intervensi kepentingan politik kelompok mana pun.

Dinamika Parpol Merespon Calon Independen
Polemik untuk memasukkan calon perseorangan dalam UU Politik secara formal tentu membuat para elite parpol merasa takut. Elite parpol yang secara struktur kekuasaan politik kepartaian memiliki jabatan strategis, merasa terancam jika calon independen diperbolehkan berkompetisi pada setiap momen Pilpres, ataupun pemilu Kepala Daerah tingkat Gubernur/Bupati/Wali Kota.
Fakta politik vertikal yang melibatkan elite kekuasaan politik parsial senantiasa meredusir nilai-nilai sosial kepemimpinan universal. Akibatnya rakyat kecil, meminjam istilah Eep Syaifullah Fatah, selalu jadi “kuda tunggangan” para elite politik dengan legitimasi sosial politik yang ada. Penolakan calon independen sebagaimana yang ditunjukkan oleh elite parpol tertentu jika ditarik benang hijau maka alasan menolak calon independen, selain bermuatan politis juga memiliki kecenderungan menghidupkan kembali sistem kekuasaan otoriter gaya Orde Baru.
Dalam konteks ini, penolakan calon independen memasuki arena perspektif yang miring bagi para elite parpol karena dianggap menonjolkan absurditas politik kekuasaan dengan memanfaatkan demokrasi sebagai dalih mencari selamat. Padahal yang dirasakan masyarakat akibat sistem kekuatan kekuasaan (trias political) antara eksekutif dan legislatif yang diskriminatif tidak kondusif bagi proses demokratisasi. Realitas politik pasca-reformasi, sistem politik nasional lebih didominasi oleh lembaga legislatif. Kekuasaan lembaga eksekutif dan legislatif tidak seimbang, sehingga proses pengambilan keputusan eksekutif sebagai eksekutor kebijakan selalu tidak memihak pada kepentingan rakyat yang jelas-jelas sebagai saham utama untuk seorang elite jadi pemimpin. Formulasi dan implementasi eksekusi kebijakan seringkali lebih mengedepankan kepentingan parpol karena keinginan mayoritas fraksi partai yang ada di parlemen. Maka sesuatu yang mustahil jika kepentingan rakyat bisa diselesaikan secara adil, jujur dan tulus oleh para elite parpol di parlemen selama kepentingan fundamental mereka tidak diganggu gugat, termasuk kepentingan akan kalah saing dengan calon independen.
Keengganan elite politik menerima usulan calon perseorangan telah menabrak nilai-nilai demokrasi yang pada kenyataannya telah berkonsensus memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahan negara. Elit parpol yang pragmatis semestinya tahu bahkan sadar bahwa membangun kualitas demokrasi memerlukan varian-varian yang memungkinkan bagi terciptanya masyarakat yang egaliter, modern, dan beradab, atau istilah filsafat Yunani Kuno, civic morality serta public civility sebagai landasan mewujudkan kebajikan dalam masyarakat (civic vitue), sebagai dasar membangun negara yang ideal (good state). Di mana nilai-nilai demokrasi mengajarkan adanya kesamaaan hak dalam berpartisipasi baik untuk memilih ataupun dipilih tanpa paksaan.
Sistem politik kita yang menempatkan parlemen sebagai peran utama check and balances terhadap kekuasaan eksekutif dalam kenyataan implementasinya justru menunjukkan peran ganda alias amanat kewenangan check and balances sering disalahgunakan, sehingga kepentingan masyarakat kerap terabaikan. Dikotomi dan dualisme kepemimpinan yang lebih memihak pada kepentingan parpol inilah yang menyebabkan kemarahan masyarakat terhadap peran ganda parpol, sehingga rakyat merasa untuk tidak lagi mengandalkan parpol sebagai pilihan efektif guna mentransformasi kepentingan politik mereka dalam struktur pemerintahan negara.

Kesadaran Elite Politik       
Perdebatan calon perseorangan yang terus mencuat, sepatutnya mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah dan DPR sebagai penyelenggara negara. Wacana calon independen adalah suatu keharusan dalam upaya mewujudkan kualitas demokrasi. Oleh karena itu, calon perseorangan bukan sekadar  untuk disuarakan kemudian jadi konsumsi politik para elite, tetapi bagaimana kepekaan pemerintah dan DPR serta seluruh kekuatan elemen masyarakat untuk kembali berpikir tentang pentingnya menghadirkan calon perseorangan dalam bentuk Peraturan dan Perundang-undangan.
Maka menarik jika keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang judicial review (peninjauan ulang) Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang membolehkan keikutsertaan calon independen dalam pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) supaya ditindaklanjuti pemerintah dan DPR selaku eksekutor dan perumus UU. Di sinilah pentingnya pemerintah bersama DPR mengambil langkah produktif dalam menentukan kebijakan untuk membuat undang-undang politik yang bisa memungkinkan calon perseorangan maju dalam pemilihan pemimpin, baik di tingkat Presiden dan Wakil Presiden maupun di tingkat daerah Gubernur/Bupati/Wali Kota.
Jika merujuk pada rumusan draf UU Politik yang ditawarkan pemerintah pada DPR saat ini tentu tidak memungkinkan masuknya calon perseorangan karena dalam paket UU Politik yang sedang dipergunjingkan oleh para elite, bahkan elit lebih berkonsentrasi pada perdebatan electoral threshold (ET) yang rencananya dinaikkan dari 2% jadi 3-5%.
Sebagai gambaran sederhana, sudah jelas bagaimana para elite politik mengartikulasikan kepentingan rakyat ke dalam kepentingan eksklusif mereka. Elit lebih sibuk melakukan konsolidasi dan mobilisasi besar-besaran untuk melawan kebijakan pemerintah yang dianggap mengancam eksistensi parpol dalam pemilu. Frekuensi konsolidasi kekuatan dengan mobilisasi politik massa begitu kuat dilakukan elite guna menghadang UU politik yang menetapkan standar perolehan suara. Potret kinerja buruk parpol, khususnya dalam mengartikulasi kepentingan rakyat yang masih jauh dari  apa yang diharapkan rakyat, akan berpotensi membuat masyarakat frustasi, bahkan bisa memicu tindakan destruktif dan anarkis, karena keinginan rakyat tidak direspons secara baik oleh para penyelenggara negara. Politik oportunis yang ditampilkan pemerintah secara tak langsung bisa membunuh demokratisasi yang masih seumur jagung. 
Sebagai negara demokrasi ketiga di dunia, Indonesia bisa saja menengok negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, dan beberapa negara di Eropa yang menganut sistem demokrasi. Di AS, Inggris dan Rusia, calon independen dibolehkan ikut pemilu yang secara spesifik di negara-negara bagian. Karena AS menganut sistem suara pemilih tak menyentuh secara langsung kepada kandidat bersangkutan (electoral college), sehingga potensi yang menang cenderung pada kandidat yang memiliki jumlah suara terbesar (one man one vote). Indonesia dengan sistem politik yang demokratis sebetulnya pendekatan pemilu dengan demokrasi substansial sudah mirip sistem one man one vote, sehingga tidak ada alasan jika calon independen diikutsertakan baik dalam konteks Pilpres maupun Pilkada tingkat provinsi/kabupaten/kota.


                        __________________________________

Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Oktober 2007


Tidak ada komentar:

Posting Komentar