Peta Kekuatan Politik Pilpres Putaran Kedua
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu)
Melihat peta kekuatan politik nasional pada
pilpres putaran kedua tanggal 20 september mendatang merupakan sebuah feomena politik yang tentu
tidak mudah. Di satu sisi akan
berhadapan dengan suatu realitas sosial politik yang sifatnya sangat tidak menentu dan
perubahan orientasi yang dimungkinkan oleh lobi-lobi politik yang masih terus
terjadi dan pada sisi yang berbeda konstelasi politik secara nasional
megalami perubahan cukup kuat. Proses perpolitikan nasional pasca pilpres 5 juli akan berubah
drastis. Polarisasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat secara psikologis
juga akan menentukan peran dan partisipasi aktif semua komponen masyarakat terutama aktor
politik demokrasi dalam
proses kompromi yang
sedang kita saksikan.
Kekalahan partai-partai besar pada pemilihan calon
anggota legislatif dan pilpres putaran pertama tanggal 5 juli lalu telah menyisakan sekat
bahkan semakin memperlebar sentimen
psikologis sosial politik masyarakat terutama yang mempunyai semangat
perjuangan pada prinsip nilai-nilai kejujura dan keadilan
sosial. Proses pilpres yang diwarnai dengan berbagai bentuk penyimpangan dan pendistorsian etika, budaya dan moralitas bangsa dalam kancah berpolitik memicu konflik psikologis
yang dapat berimlikasi negatif bagi proses pegakkan demokrasi yang boleh jadi
dikatakan masih sangat relatif mudah.
Sebagaimana diketahui, pemilu legislatif terdapat 24 partai politik yang ikut berpartisipasi dalam pertarungan. Dari ke 24 partai politik yang bertarung ini, menghasilkan 5 partai politik yang
bertarung pada 5 juli
lalu. Kelima partai tersebut adalah partai Golkar, PDI-P, PAN, PD da PPP, dan hasil dari pertarungan ini yang
berhak keluar sebagai pemenang dan utuk maju pada putaran kedua yakni PD dan PDI-P.
Pertarungan pemilu legislatif bisa dibaca seberapa kuat
mesin politik
masing-masing partai itu berfungsi. Karena sistem pemilihan secara langsung
megharuskan para calon anggota legislatif bekerja ekstra keras meraih simpati warga dan
masyarakat di daerah mana caleg itu berdomisili atau sekurang-kurangnya ditingkat kecamatan dan desa. Pertarungan pemilu caleg relatif
demokratis karena yang bekerja secara maskimal adalah calon anggota legislatif dan dengan tidak terlalu mengadalkan mesin politik formal berupa partai. Partai tidak terlalu difungsikan
karena stratifikasi sosial, ekonomi, pendidikan budaya politik yang turut mempengaruhi
preferensi rakyat. Akses
kekuasaan masih bersifat kekeluargaan
terutama dikalangan masyarakat yang relatif primitif. Disinilah sedikit
berlakunya politik primordialisme.
Pertarungan pilpres 5 juli merupakan sebuah momentum
mahal dalam membangun demokrasi politik Indonesia yang selama masa pasca
kemerdekaan republik melalui 7 kali pelaksanaan pemilu tidak pernah terjadi. Nuansa filosofis historis politik
Indonesia menjadi sangat demokratis. Selama 7 kali digelar pemilu bisa dikatakan hanya pemilu kali
ini yang dapat dikategorikan cukup demokratis.
Meskipun proses pilpres
terkesan banyak menyisahkan
sikap apriori masyarakat.
Karakter sosial, budaya politik
masyarakat Indonesia heterogen akan
melahirkan berbagai persepsi dan interpretasi tentang proses
demokratisasi. Kekalahan partai politik
besar yang ditandai dengan kesan kemandulan demokrasi akan sangat berdampak psikologis politik bagi masyarakat didalam menentukan pilihan. Masyarakat yang merasa dirugikan oleh proses pilpres yang tidak
fair senantiasa cenderung megekspresikan
sikap politik pada pertarungan
pilpres putaran kedua dengan berbagai bentuk dan cara.
Berbicara mengenai demokrasi, selalu kita temukan
istilah rakyat
sebagai kata kunci. Karena demokrasi itu sendiri merupakan pemerintaha dari rakayat, oleh rakyat
dan untuk rakyat. Masyarakat mempunyai peran penting dalam pertarungan
demokrasi pilpres putaran kedua mengingat masyarakat sebagai sumber pemilik suara.
Kekuatan-kekuatan politik formal seperti partai politik yang bertarung pada pilpres putaran kedua mendatang mau tidak
mau akan melibatkan kekuatan-kekuatan politk masyarakat. Mesin partai politik
kedua partai tidak begitu bisa
bekerja efektif kalau tidak didukung
oleh mesin-mesin kekuatan masyarakat sosial politik. Disinilah muncul
pertanyaan, seberapa jauh
peran dan partisipasi kekuatan-kekuata politik dalam pertarungan pilpres putaran kedua mendatang.
Teori kekuatan-kekuatan politik dalam
pertarungan demokrasi pilpres
tidak semata menyentuh pada segmen legal
formal. Misalnya negara,
lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan birokrasi pemerintahan akan tetapi segmenmentasi kekuatan politik bisa masuk ke wilaya mesin politik nonformal. Dalam hal ini ada beberapa
faktor sebagai kekuata politik masyarakat yang ikut berpartisipasi dengan
berbagai cara dan kualitasnya masing-masing. Kekuatan
politik nonformal bisa meliputi kelompok dunia usaha, kelompok profesional dan kelas menengah, pemimpin agama, kalangan cerdik pandai, lembaga-lembaga masyarakat, dan kekuatan
politik yang tidak dilihat secara remeh yakni kekuatan politik media masa.
Kelompok kekuatan-kekuatan politik masyarakat ini sangat berpengaruuh dalam pertarugan
politik. Mereka akan memainkan peran sosial politik sesuai potensi yang mereka
punyai. Namun, mesin-mesin politik ini
tidak bisa bergerak secara optimal apabila tidak disokong oleh mesin politik yang
lebih canggih dan professional yakni
mesin partai politik formal. Kelompok kekuatan politik masyarakat ini tidak di
pandang sepeleh oleh kekuatan partai politik, baik PDI-P dengan Megawati-Hasyim maupun Partai Demokrat
dengan SBY-JK.
Karena secara psikologis mesin politik
masyarakat memiliki hubungan vertikal dan horisontal yang kuat di masyarakat. Keberhasilan kolektif
melibatkan pihak-pihak eksternal dan faktor ini merupakan sesuatu yang sangat mustahil terjadi di
era modern seperti sekarang ini jika tidak ada kolaborasi antara keduanya.
Apalagi sistem demokrasi terbuka
dengan memberi ruang dan gerak bagi masyarakat secara bebas memilih pemimpin
yang sesuai dengan kemauannya sendiri. Apakah itu
kemauan yang dilandasi dengan semagat spiritualitas kebangsaan ataupun semangat yang berdasarkan emosioalitas
dan sentimen sosial yang
terakumulasi akibat krisis
multidimensional.
Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri bahwa
membangun kesadaran politik masyarakat yang lebih dewasa membutuhkan waktu panjang. Kesadaran masyarakat
untuk berpartisipasi dalam proses pilpres
megandug artikulasi multidimensional. Tak terkecuali dorongan may politic
atau politik aliran yang dilandasi oleh kepentingan kelompok, golongan, organisasi dan bahkan suku dan agama.
Fenomena politik Indonesia klasik ini sangat sulit untuk dihapuskan karena
mayoritas masyarakat pemilih adalah masyarakat yang tingkat pedidikan sosial,
ekonomi dan budaya politik dibawah standar.
Pilpres putaran kedua sangat sulit untuk memastikan apakah peran dan partaisipasi
kekuatan politik masyarakat masih memainkan pera politik secara signifikan. Gagalnya Amien Rais-Siswono,
Wiranto-Gus Solah dan Hamza-Agum mempengaruhi peran dan fungsi kekuatan politik
masyarakat. Amien Rais sebagai sosok politikus kontemporer yang kritis dan
memegang teguh prinsip moralitas keadilan sosial presentase dari sekian banyak
pendukung terutama Muhammadiyah dan elemen masyarakat sosial keagamaan-bahkan
lembaga-lembaga cendekiawan dan intelektual, akan sangat berdampak secara
psikologis politik bagi logika masyarakat dalam memilih presiden. Begitu juga Wiranto-Wahid sebagai
representasi kalangan intelektual dan politikus handal dari partai Golkar serta
warga Nahdiyin sebagai ormas kegamaan terbesar di tanah air yang tak dipandang
sebelah mata.
Secara kelembagaan politik formal,
apapun sikap dan keputusan politik partai politik tidak
akan mengikat masyarakat terutama warga Nahdiyin dan Muhammadiyah yang secara emosionalitas akses kekuasaan lebih tinggi melihat kemana
orientasi visi memilih calon menurut pimpinan mereka. Atau dengan kata lain, loyalitas
keormasan lebih kuat dibandingkan dengan kebijakan kekuatan mesin politik
partai.
Akan tetapi Gus Dur maupunn Amin Rais
dengan “kereta politik” mereka
yakni NU dan Muhammadiyah
adalah merupakan dua
simbol personifikasi kekuatan politik spiritualitas
keagamaan yang sangat menentukan konstelasi politik nasional yang tidak bisa dipandang
remeh oleh kandidat presiden yang akan bertarung pada putaran kedua.
Catatan: Arsip
Tulisan Artikel Lepas
Tulisan ini dimuat di Harian Umum PELITA, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar