Kamis, 10 November 2016

Analisa Peta Politik Pilpres

Peta Kekuatan Politik Pilpres Putaran Kedua

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



Melihat peta kekuatan politik nasional pada pilpres putaran kedua tanggal 20 september mendatang merupakan sebuah feomena politik yang tentu tidak mudah. Di satu sisi akan berhadapan dengan suatu realitas sosial politik yang sifatnya sangat tidak menentu dan perubahan orientasi yang dimungkinkan oleh lobi-lobi politik yang masih terus terjadi dan pada sisi yang berbeda konstelasi politik secara nasional megalami perubahan cukup kuat. Proses perpolitikan nasional pasca pilpres 5 juli akan berubah drastis. Polarisasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat secara psikologis juga akan menentukan peran dan partisipasi aktif semua komponen masyarakat terutama aktor politik demokrasi dalam proses kompromi yang sedang kita saksikan.
Kekalahan partai-partai besar pada pemilihan calon anggota legislatif dan pilpres putaran pertama tanggal 5 juli lalu telah menyisakan sekat bahkan semakin memperlebar sentimen psikologis sosial politik masyarakat terutama yang mempunyai semangat perjuangan pada prinsip nilai-nilai kejujura dan keadilan sosial. Proses pilpres yang diwarnai dengan berbagai bentuk penyimpangan dan pendistorsian etika, budaya dan moralitas bangsa dalam kancah berpolitik memicu konflik psikologis yang dapat berimlikasi negatif bagi proses pegakkan demokrasi yang boleh jadi dikatakan masih sangat relatif mudah.
Sebagaimana diketahui, pemilu legislatif terdapat 24 partai politik yang ikut berpartisipasi dalam pertarungan. Dari ke 24 partai politik yang bertarung ini, menghasilkan 5 partai politik yang bertarung pada 5 juli lalu. Kelima partai tersebut adalah partai Golkar, PDI-P, PAN, PD da PPP, dan hasil dari pertarungan ini yang berhak keluar sebagai pemenang dan utuk maju pada putaran kedua yakni PD dan PDI-P.
Pertarungan pemilu legislatif bisa dibaca seberapa kuat mesin politik masing-masing partai itu berfungsi. Karena sistem pemilihan secara langsung megharuskan para calon anggota legislatif bekerja ekstra keras meraih simpati warga dan masyarakat di daerah mana caleg itu berdomisili atau sekurang-kurangnya ditingkat kecamatan dan desa. Pertarungan pemilu caleg relatif demokratis karena yang bekerja secara maskimal adalah calon anggota legislatif dan dengan tidak terlalu mengadalkan mesin politik formal berupa partai. Partai tidak terlalu difungsikan karena stratifikasi sosial, ekonomi, pendidikan budaya politik yang turut mempengaruhi preferensi rakyat. Akses kekuasaan masih bersifat kekeluargaan terutama dikalangan masyarakat yang relatif primitif. Disinilah sedikit berlakunya politik primordialisme.
Pertarungan pilpres 5 juli merupakan sebuah momentum mahal dalam membangun demokrasi politik Indonesia yang selama masa pasca kemerdekaan republik melalui 7 kali pelaksanaan pemilu tidak pernah terjadi. Nuansa filosofis historis politik Indonesia menjadi sangat demokratis. Selama 7 kali digelar pemilu bisa dikatakan hanya pemilu kali ini yang dapat dikategorikan cukup demokratis. Meskipun proses pilpres terkesan banyak menyisahkan sikap apriori masyarakat.
Karakter sosial, budaya politik masyarakat Indonesia heterogen akan melahirkan berbagai persepsi dan interpretasi tentang proses demokratisasi.  Kekalahan partai politik besar yang ditandai dengan kesan kemandulan demokrasi akan sangat berdampak psikologis politik bagi masyarakat didalam menentukan pilihan. Masyarakat yang merasa dirugikan oleh proses pilpres yang tidak fair senantiasa cenderung megekspresikan sikap politik pada pertarungan pilpres putaran kedua dengan berbagai bentuk dan cara.
Berbicara mengenai demokrasi, selalu kita temukan istilah rakyat sebagai kata kunci. Karena demokrasi itu sendiri merupakan pemerintaha dari rakayat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Masyarakat mempunyai peran penting dalam pertarungan demokrasi pilpres putaran kedua mengingat masyarakat sebagai sumber pemilik suara.
Kekuatan-kekuatan politik formal seperti partai politik yang bertarung pada pilpres putaran kedua mendatang mau tidak mau akan melibatkan kekuatan-kekuatan politk masyarakat. Mesin partai politik kedua partai tidak begitu bisa bekerja  efektif kalau tidak didukung oleh mesin-mesin kekuatan masyarakat sosial politik. Disinilah muncul pertanyaan, seberapa jauh peran dan partisipasi kekuatan-kekuata politik dalam pertarungan pilpres putaran kedua mendatang.
Teori kekuatan-kekuatan politik dalam pertarungan demokrasi pilpres tidak semata menyentuh pada segmen legal  formal. Misalnya negara, lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan birokrasi pemerintahan akan tetapi segmenmentasi kekuatan politik bisa masuk ke wilaya mesin politik nonformal. Dalam hal ini ada beberapa faktor sebagai kekuata politik masyarakat yang ikut berpartisipasi dengan berbagai  cara dan kualitasnya masing-masing. Kekuatan politik nonformal bisa meliputi kelompok dunia usaha, kelompok profesional dan kelas menengah, pemimpin agama, kalangan cerdik pandai, lembaga-lembaga masyarakat, dan kekuatan politik yang tidak dilihat secara remeh yakni kekuatan politik media masa.
Kelompok kekuatan-kekuatan politik masyarakat ini sangat berpengaruuh dalam pertarugan politik. Mereka akan memainkan peran sosial politik sesuai potensi yang mereka punyai. Namun, mesin-mesin politik ini tidak bisa bergerak secara optimal apabila tidak disokong oleh mesin politik yang lebih canggih dan professional yakni mesin partai politik formal. Kelompok kekuatan politik masyarakat ini tidak di pandang sepeleh oleh kekuatan partai politik, baik PDI-P dengan Megawati-Hasyim maupun Partai Demokrat dengan SBY-JK.
Karena secara psikologis mesin politik masyarakat memiliki hubungan vertikal dan horisontal yang kuat di masyarakat. Keberhasilan kolektif melibatkan pihak-pihak eksternal dan faktor ini merupakan sesuatu yang sangat mustahil terjadi di era modern seperti sekarang ini jika tidak ada kolaborasi antara keduanya.  Apalagi sistem demokrasi  terbuka dengan memberi ruang dan gerak bagi masyarakat secara bebas memilih pemimpin yang sesuai dengan kemauannya sendiri. Apakah itu kemauan yang dilandasi dengan semagat spiritualitas kebangsaan ataupun semangat yang berdasarkan emosioalitas dan sentimen sosial yang terakumulasi  akibat krisis multidimensional.
Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri bahwa membangun kesadaran politik masyarakat yang lebih dewasa membutuhkan waktu panjang. Kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pilpres megandug artikulasi multidimensional. Tak terkecuali dorongan may politic atau politik aliran yang dilandasi oleh kepentingan kelompok, golongan, organisasi dan bahkan suku dan agama. Fenomena politik Indonesia klasik ini sangat sulit untuk dihapuskan karena mayoritas masyarakat pemilih adalah masyarakat yang tingkat pedidikan sosial, ekonomi dan budaya politik dibawah standar.
Pilpres putaran kedua sangat sulit untuk memastikan apakah peran dan partaisipasi kekuatan politik masyarakat masih memainkan pera politik secara signifikan. Gagalnya Amien Rais-Siswono, Wiranto-Gus Solah dan Hamza-Agum mempengaruhi peran dan fungsi kekuatan politik masyarakat. Amien Rais sebagai sosok politikus kontemporer yang kritis dan memegang teguh prinsip moralitas keadilan sosial presentase dari sekian banyak pendukung terutama Muhammadiyah dan elemen masyarakat sosial keagamaan-bahkan lembaga-lembaga cendekiawan dan intelektual, akan sangat berdampak secara psikologis politik bagi logika masyarakat dalam memilih presiden. Begitu juga Wiranto-Wahid sebagai representasi kalangan intelektual dan politikus handal dari partai Golkar serta warga Nahdiyin sebagai ormas kegamaan terbesar di tanah air yang tak dipandang sebelah mata.
Secara kelembagaan politik formal, apapun sikap dan keputusan politik partai politik tidak akan mengikat masyarakat terutama warga Nahdiyin dan Muhammadiyah yang secara emosionalitas akses kekuasaan lebih tinggi melihat kemana orientasi visi memilih calon menurut pimpinan mereka. Atau dengan kata lain, loyalitas keormasan lebih kuat dibandingkan dengan kebijakan kekuatan mesin politik partai.
Akan tetapi Gus Dur maupunn Amin Rais dengan kereta politik” mereka yakni NU dan Muhammadiyah adalah merupakan dua simbol personifikasi kekuatan politik spiritualitas keagamaan yang sangat menentukan konstelasi politik nasional yang tidak bisa dipandang remeh oleh kandidat presiden yang akan bertarung pada putaran kedua.


Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Tulisan ini dimuat di Harian Umum PELITA, 2004





Tidak ada komentar:

Posting Komentar