Media Massa Dalam
Percaturan Politik
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu)
Pertautan antara
pers dan politik dalam konteks membangun opini publik sangat kuat. Pers/media
massa sebagai pilar keempat demokrasi memiliki peran dan fungsi yang cukup
fundamental. Media massa memiliki kekuatan informasi yang secara pembentukan
opini massa sangat menentukan proses pengambilan sikap setiap warga masyarakat
yang bersentuhan dengan beberapa pilihan termasuk dalam proses penyelenggaraan
pemilihan umum (pemilu). Media massa senantiasa berperan aktif dalam
menyampaikan pesan-pesan politik dalam perspektif pembangunan politik
masyarakat.
Setiap informasi yang disampaikan media massa terlebih dahulu didesign
secara sistematis oleh manajemen media massa yang notabene akan berorientasi
pada ke mana kepentingan pemilik modal media bersangkutan. Akibatnya, peran
media massa dalam pergulatan politik kerap bersifat standard ganda. Terminologi independensi pada media massa kadang
hanya diperlakukan sebagai simbol personifikasi formalitas misi media
massa/pers secara umum. Dalam konteks itu, media massa suka tidak suka, diakui
atau tidak terhadap eksistensi independensinya dalam prakteknya selalu berkolaborasi
dengan kekuatan-kekuatan politik tertentu dan hal ini sangat bergantung proses
mekanisme kompromi kepentingan yang dilakukan antara media massa dan kekuatan
politik.
Secara teoritik terdapat kaitan antara pers/media massa dengan politik.
Para pengkaji komunikasi politik, telah membahas keterkaitan pers/media massa
dan politik dalam dua cara atau dua pendekatan yang berbeda. Menurut Anwar
Arifin dalam bukunya berjudul Komunikasi Politik dan Pers Pancasila
berpendapat, dalam kajian mengenai relasi antara pers/media massa dan politik
terbagi dalam dua perspektif. Pertama, pers
dilihat sebagai sumber kekuatan perubahan yang dapat mempengaruhi kehidupan
politik (seperti disajikan dalam studi mengenai propaganda dan pendapat umum),
dan kedua, pers memiliki
ketergantungan dari kehidupan politik (seperti terlihat dalam studi mengenai
sistem pers/media massa dan pemberangusan pers).[1]
Pers/media massa merupakan faktor strategis dalam memberikan pengaruh
perubahan sikap bagi masyarakat. Media massa berperan aktif memberikan
informasi-informasi politik terhadap publik dan dengan demikian media mempunyai
pengaruh yang kuat dalam pembentukan opini publik. Informasi-informasi politik yang
disajikan media seringkali tidak lepas dari bermuatan politis dengan tujuan
membangun dan membentuk opini masyarakat dan mengarahkan publik untuk mengikuti
apa yang menjadi kepentingan dari media massa atau yang berkolaborasi dengan
media massa terkait.
Publik Relatins
Secara umum, peranan Public Relation (PR)
dalam proses politik ialah membangun image pencitraan terhadap calon pemimpin
yang didiseain secara sistematis. Tugas inti Public Realtions (PR) merumuskan konsep dan strategi kampanye calon
tertentu sesuai yang dikehendaki. PR bertugas melakukan pematangan isu dan
mengkampanyekannya kepada publik. PR menyampaikan pesan-pesan politik yang
secara persepsi dibangun opini publik agar bisa mengikuti apa yang disponsori
oleh kandidat.
Dalam kaitan peran public relations,
Indrawadi Tamin dalam bukunya, public relations; Mitos dan Realitas (2012)
dengan mengutip Edwar L Bernays yang memperkenalkan istilah public relations
sejak tahun 1920. Pada tahun 1923 ia menerbitkan bukunya berjudul Crystalizing Public Opinion, yang antara
lain berisi broad principles that govern
the new profession of Public Relations... (prinsip-prinsip umum tentang
profesi baru yang bernama Public
Relations).
PR berfungsi menyampaikan pesan-pesan politik yang dapat mempengaruhi
masyarakat agar bisa mengikuti alur informasi yang dilakukan dapur PR seorang
kandidat. Bagaimana mempengaruhi cara berpikir, cara berpendapat, cara membuat
persepsi, cara membuat interpretasi, bahkan hingga pada tataran mempengaruhi
perilaku masyarakat agar menggunakan preferensi politik sesuai yang
dikampanyekan PR.
Dalam rangka membangun sistem dan mekanisme kerja yang baik, dan sesuai
target yang direncanakan, PR membutuhkan instrumen penunjang berupa media
relations. Kegiatan PR dengan menggunakan media relations merupakan alternatif yang efektif, termasuk dalam
kampanye pemenangan pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2009. Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memenangkan Pilpres 2009 tidak lepas dari kiat
kerja PR tim kampanye SBY-Boediono.
Pembentukan citra pencalonan presiden SBY-Boediono sangat kuat dilakukan
tim kampanye melalui PR. PR media relations merupakan unsur fital yang
menggerakan informasi, memainkan isu strategis, serta mempengaruhi paradigma
pemilih dan berusaha semaksimal mungkin mempengaruhi perilaku masyarakat untuk
menentukan pilihan. Melalui PR, masyarakat akan dengan bebas membangun persepsi
dan pemahaman terhadap suatu peristiwa hingga menggunakan hak pilih dalam pilpres
2009. PR bekerja secara aktif mengelola isu strategis dan selalu mengedepankan
unsur pencitraan positif terhadap kandidat. PR melakukan tugas dan fungsi
pencitraan positif sesuai pesan sponsor. PR berusaha mempengaruhi cara pikir
dan perilaku komunitas internal dan eksternal secara sistematis guna
memenangkan kandidatnya.
Peran seorang Spin Doctor ialah menyusun konsep kampanye yang bermuatan
agitasi dan propagandis. Spin Doctor berperan strategis memformulasi isu dan
mengolahnya dengan penuh rekayasa. Tugas dan peran seorang Spin Doctor utamanya
ialah membuat konsep kampanye dengan memetakan isu, dari yang bersifat
konstruktif hingga destruktif. Spin Doctor memutarbalikan fakta maupun data
untuk memenangkan calon kandidatnya dalam pertarungan suksesi kekuasaan.
Dalam konteks perhelatan pilpres 2009, peran Spin Doctor kampanye, SBY
mampu melakukan agregasi isu secara sistematis melalui media relations sehingga ia bisa memenangkan
pilpres 2009. Spin Doctor dalam bekerja memiliki fungsi yang cukup berbeda dengan
PR. Spin Doctor berperan mendesain isu pencitraan dengan menjelekan,
menjatuhkan lawan kandidat dan membenarkan persepsi publik sesuai cara dia
tanpa melihat kebenaran yang semestinya.
Lembaga Survei Indonesia merupakan sebuah instrumen kerja ilmiah yang mampu
membangun pencitraan seorang kandidat. Lembaga survei Indonesia (LSI) dalam
proses politik demokrasi cukup aktif dalam berbagai kegiatan-kegiatan politik
yang notabene ialah berperan sebagai alat kampanye kandidat tertentu dalam tiap
momen pemilihan umum (pemilu). Peran lembaga survei menjadi tidak netral bahkan
visi independensi dan menampilkan performa kelembagaan sebagai institusi sosial
demokrasi, tetapi dalam prakteknya, LSI lebih memfungsikan dirinya sebagai
instrumen sosial politik yang berkolaborasi dengan pasangan tertentu sesuai
kesepakatan penyokong finansial untuk memenangkan kandidat yang membayar.
Fungsi LSI dalam kenyataannya menempatkan eksistensi kelembagaan sebagai
‘komprador’ atau sekadar berfungsi menjadi mesin kampanye pasangan atau
kandidat yang bayar. Kasus yang terjadi pada LSI ialah kasus iklan layanan
masyarakat di salah satu stasiun televisi nasional pada Pilpres 2009 terkait
Pilpres hanya satu putaran.
Pilpres satu putaran adalah strategi marcetting
political LSI untuk memenangkan kandidat pasangan SBY-Boediono pada pilpres
2009. LSI secara langsung maupun tidak langsung berperan ganda disini dalam
memainkan peran politik. Sebagai political
marceting, LSI tentu sangat aktif membaca peta kekuatan pilpres. Meskipun
dalam tradisi politik modern, LSI terbilang tidak proporsional dan dalam sistem
demokrasi yang beradab sangat tidak mencerminkan budaya politik bangsa. Atas
nama kebebasan, berbagai lembaga survei dan instrumen-instrumen yang
mengatasnamakan demokrasi memanipulasi nilai-nilai demokrasi untuk kepentingan
politik ekonomi yang menjadi orientasi politik individu dan kelembagaan.
Komunikasi Opinion Leader
Peran opinion leader dalam
politik modern sekarang masih tetap diperlukan. Karena dengan peran opinion leaders masyarakat akan lebih
mudah mengetahui hakikat visi politik itu sendiri. Masyarakat akan bisa
berpartisipasi aktif manakala ada penjelasan dan pencerahan pemahaman politik
dari opinion leader. Opinion leader tidak saja berfungsi sebagai komunikator
yang menyampaikan pesan-pesan politik tetapi dalam kondisi yang normal, opinion
leader berperan melakukan proses pendidikan politik bagi masyarakat.
Opinion leader berperan sebagai penghubung antara masyarakat dan media
massa. Betapapun kekuatan media massa mempengaruhi opini masyarakat namun peran
seorang opinion leader sangat signifikan dalam mengedukasi masyarakat dalam
masalah pendidikan politik dan pentingnya menggunakan hak pilih secara baik. Opinion
leader juga berperan sebagai gate
yang menjabarkan informasi media massa kepada masyarakat. Selain itu, di daerah
yang jauh dari sentuhan informasi dan teknologi sangat dibutuhkan opinion
leader memberikan pemahaman yang lebih jelas dan komprehensif terhadap
masyarakat.
Sementara dalam kaitannya dengan swing
vote jelas merupakan sasaran empuk kandidat meraih simpati dan konsep
kampanye Jokowi-Ahok sangat elegan untuk dterima kalangan pemilih berbasis
swing vote. Sosok Jokowi menjadi buah bibir di kalangan media masa nasional yang akibat
dari prestasinya menaklukan Jakarta, kota yang tidak ramah bagi kalangan
pendatang. Anehnya Jokowi mampu menjalaninya dengan prestasi yang gemilang
bersama wakilnya Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok. Padahal, PDIP masih banyak
tokoh nasional yang punya nilai jual di Ibu kota. Ibarat dalam tinju, petinju yang
masih berkutat dalam kelas bantam diintruksikan oleh pelatih untuk bertanding
di kelas berat. Jokowi kala itu tidak menolak, bermodal prestasi sebagai
Walikota Solo, ia menerima tantangan tersebut. Menurut saya pencalonan Jokowi
ini buah dari strategi politik yang dimainkan kalangan elite PDIP, mengingat
Pilkada Jawa Tengah sebentar lagi akan berlangsung.
Pendorongan Jokowi ke DKI, agar kalangan
Elite PDIP yang mempunyai niat merebut Jateng 1 tidak mempunyai lawan yang
berarti. Mengingat sekarang ini sudah ada nama yang muncul, ada Bibit Waluyo
dan Tjahyo Kumulo. Asumsinya, jika Jokowi menang di DKI peluang untuk Jawa
Tengah akan terbuka lebar, dikarenakan pamor Jokowi di Solo dan Jateng begitu
mempesona. Mereka (Bibit dan Tjahyo), tidak akan menemui kesulitan besar untuk
menelurkan ambisinya. Andaikan Jokowi kalah di DKI sedikit banyaknya akan
menggerus kekuatan Walikota Solo tersebut di Jawa Tengah.
Namun, manuver politik yang dilakukan
elite PDIP ini berhasil, mengingat peluang Jokowi untuk menang pada putaran
kedua sangat besar. Andaikan kalah, Jokowi sudah sangat lelah untuk ikut
bertarung lagi di pilgub Jawa tengah. Pilkada Jakarta sekarang ini menentukan
karir politik Jokowi jika menang ia akan menjadi superstar, jika kalah maka
karir Jokowi kemungkinan akan tamat mengingat ia sudah dua priode memipin Solo.
Kalau orang mau berpolitik harus siap
semua, kalau tidak siap, susah. Makannya politisi seharusnya paling tahan dari
segala tekanan.
Di balik pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta
yang bertarung pada Pilkada DKI Jakarta terdapat banyak konsultan politik yang
bergerak. Mereka berperan menganalisis dan memberikan rekomendasi tentang
strategi politik, mereka pula yang memoles citra para kandidat itu dengan
segala media sosialisasi dan program yang disiapkan. Jokowi-Ahok itu prinsipnya
adalah barang bagus. Barang bagus itu lebih mudah dijual. Kekuatan utama
kampanye Jokowi-Ahok ada pada sosok keduanya.
Sisanya, baru adu strategi politik. Tetapi, kalau strateginya sama
canggih, tetapi kualitas barangnya lebih baik, maka barang yang lebih baik itu
yang akan disukai. Selain itu, terbantu dengan adanya momentum di mana
masyarakat sudah mulai muak dan antipati dengan Pilkada DKI yang tidak
menawarkan perubahan. Tiba-tiba muncul nama Jokowi, masyarakat
melihat ada perubahan itu. Dengan demikian terbantu juga dengan momentum
frustasi masyarakat yang sedemikian kuatnya menghendaki perubahan.
Calon gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dinilai menang dari sisi pencitraan
dalam hal kepribadian, dibandingkan lawannya gubernur petahana Fauzi Bowo yang
dipandang arogan. Sebagian besar publik melihat kepada personality. Dari pencitraan, Jokowi baru masuk sekitar lima bulan
sebelum Pilkada, dan mampu mengalahkan Foke yang telah menjabat selama lima
tahun. Ini pencitraan luar biasa. Hal ini haruslah menjadi pelajaran bagi
(kontestan) pemilu maupun pemilukada berikutnya. Pencitraan itu penting.
Konstruksi sosial politik era modern secara psikologis berimplikasi pada
pembentukan kesadaran masyarakat untuk menjadikan aspek rasionalitas sebagai
basis penentuan hak pilih pada pemilu. Demokrasi dengan kekuatan media massa
akan terus membawa perubahan iklim politik yang semakin demokratis. Pemilih
rasional akan semakin meningkat dan pemilih potensial rata-rata masyarakat
tradisional juga seiring terus terjadinya perubahan akan melihat secara logis
rasional tentang pentingnya memilih pemimpin dengan pendekatan logika.
Modernisasi organisasi publik, demokratisasi di segala dimensi kehidupan
berbangsa, secara otomatis mendorong akselerasi pemahaman politik rakyat untuk
menggunakan preferensi politik. Masa depan demokrasi akan semakin rasional dan
pemilih rasional akan terus bermunculan karena tingkat kesadaran politik
masyarakat semakin baik. Namun demikian, pemilih berbasis tradisional juga
tidak bisa diabaikan begitu saja karena pemilih tradisional secara psikologis
memiliki ikatan primordial yang kuat sehingga potensi ini menjadi sangat
diperhitungkan.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 10
Tahun 2008 Tentang Partai Politik secara tegas mengatur tentang penggunaan
sistem parliamentary threshold (PT)
atau lazim disebut ambang batas alias suara terbanyak. Sistem suara terbanyak
mengharuskan semua caleg bekerja keras terutama dalam kampanye. Kampanye
merupakan sarana efektif dan sekaligus menjadi bagian penting bagi partai
politik dan kandidat caleg. Suara terbanyak membedakan sistem pemilihan umum
tahun 2004 yang hanya menerapkan electoral
threshold (ET). Penggunaan sistem PT secara otomatis menguras energi parpol
dan kandidat terutama caleg bersangkutan yang hendak meraih simpati warga di
masing-masing daerah pemilihan (dapil).
Kecenderungan masyarakat menggunakan pendekatan memilih dengan primordial
agak meringankan setiap kandidat untuk berkampanye dan bermanuver. Peran partai
politik tidak terlalu signifikan sehingga umumnya parpol mengandalkan
kandidat-kandidat yang notabene adalah tokoh masyarakat. Sistem perolehan suara
terbanyak memaksa parpol merekrut kandidat caleg secara gamang. Karena parpol
selain dikejar agar kandidatnya bisa terpilih sekaligus parpolnya bisa lolos
2,5% untuk memenuhi sistem PT.
Politik Media
Konsep kepemilikan media pasca reformasi terbilang lebih terfokus kepada
kekuatan ekonomi politik global. Kecenderungan ini dilihat dari peran
pemberitaan media yang kerap kali membawa pesan tertentu sesuai kepentingan
pemilik media (konglomerat). Perpaduan kekuatan ekonomi dan politik global
acapkali menjadikan media kehilangan elan vital independensinya. Tema-tema
politik ekonomi yang diusung pun sebagian besar membawa kepentingan pemodal
media bersangkutan.
Bila pada era Orde Baru dengan sistem pemerintahan yang otoriter dan anti
kebebasan, maka peran media seakan-akan ditempatkan pada posisi di mana bisa
menguntungkan kepentingan rezim. Semua alur pemberitaan didesain secara
sistematis untuk memberikan pesan politik kepada masyarakat yang lebih memihak pemerintah.
Media era Orde Baru betul-betul ditempatkan sebagai agen sosialisasi dan
publikasi kinerja pemerintah yang tentu lebih berpihak. Bahkan eksistensi media
pada era Orde Baru benar-benar dimaksimalkan bahkan dipaksakan oleh rezim untuk
mengikuti segala bentuk aturan media yang dibuat pemerintah.
Terjadi proses marginalisasi government atau marginalisasi fungsi dan
peranan birokrasi. Pers mengembangkan fungsi pendidikan, hiburan, kontrol
sosial, dan lain sebagainaya, fungsi itu dibatasi oleh budaya kita. Stasiun Tv
pada umumnya tidak menjalankan aspek-aspek yang bersifat edukatif atau hiburan
yang sehat, melain jutsru berbau hal-hal yang bersifat kriminal dan politik
kepentingan sebagai cara menguasai kebijakan negara.[2] Dalam perspektif ini, maka
tidak banyak pilihan selain alternatif termudah ditempuh media yaitu melibatkan
diri atau menjerumuskan institusi media ke dalam kubangan politik yang serba
totoriter. Kolaborasi dan persepakatan jahat antara rezim dan media melalui
manajemen konglomerasi pun terbangun tanpa memikirkan penyebab filosifisnya.
Kepemilikan media di era modern ini lebih bersifat eksploitatif bahkan
cenderung distorsif dan kurang maksimal dalam kerangka pembangunan pendidikan
politik sebagai sarana pembentukan karakter masyarakat bangsa (nation state). Akibat kepemilikan media
yang bersifat sentralistik pada aktor utama (pemegang saham terbanyak) atau
pemilik media, maka sebagian besar proses formulasi pemberitaan pun selalu
memihak pemilik saham. Pemilik media membuat aturan internal yang bersifat
mengikat dan dengan demikian seluruh pekerja yang berada dalam manajemen media
tersebut tetap tunduk pada aturan main yang sudah menjadi kesepakatan.
Implikasi negatif yang terbangun ialah peran hegemonik, dan dikotomi
pemberitaan yang berlebihan.
Pemilik modal dapat sesuka hati mengajukan, menyusun, mengubah, mendikte,
dan mengatur, bahkan menginstruksi manajemen agar bekerja sesuai apa yang
diinginkan oleh pemilik media. Disinilah kemudian terjadi pertarungan antara
ideologi, idealisme, dan realitas sosial ekonomi politik yang ada. Kenyataan
seringkali memandulkan idealisme secara massif karena secara sistematis pula ia
bekerja.
Padahal, unsur kinerja kolektif kolegial merupakan aspek penting dalam
mendeterminasikan performa sebuah media pada masyarakat. Selama unsur kebijakan
kolektif kolegial tidak berlaku atau sekurang-kurangnya diterapkan secara
seremoni maka yang terjadi kekacauan redaksi dalam menurunkan sebuah informasi.
Produksi informasi disistematisasikan sedemikian rupa sehingga disorientasi
masyarakat atas suatu peristiwa pun tidak bisa dielakkan. Pemberitaan media
massa umumnya adalah hasil kerja kolektif sehingga bentuk pertanggungjawaban
hukumnya pun bersifat kolektif atau melibatkan institusi pers bersangkutan dan
tidak serta-merta melibatkan pemilik saham alias pemodal media.[3]
Dengan demikian konsep kepemilikan media di Indonesia berdasarkan fakta dan
kenyataan yang ada maka fungsi media sebagai edukasi, sosial kontrol, dan
pengimbang kekuatan politik tidak berjalan sebagaimana dasar independensi
sebuah media itu sendiri. Hegemoni dan dualisme kepemilikan media melahirkan
kapitalisme modern yang cenderung mengedepankan aspek keuntungan dan
mengabaikan dimensi sosial kemanusiaan. Media lebih mengutamakan keuntungan dan
lebih mengkalkulasi politik.
Media condong memihak pemilik saham dan lebih mengedepankan aspek
keuntungan daripada menampilkan netralitas dan idealisme politik. Kekuatan
ekonomi menentukan arus kekuatan politik, dan begitu juga sebaliknya. Antara
kekuatan ekonomi dan politik saling bergantungan sehingga dalam perspektif
pengembangan media sebagai sarana pendidikan budaya bangsa dalam segala dimensi
kehidupan tidak berjalan sesuai cita-cita pembangunan nasional.
Tidak bisa dipungkiri, kekuatan modal sangat menentukan kebijakan yang
notabene pemilik modal utama sebuah media massa yang mengarah pada diversity media. Kompetisi politik
global menyebabkan pertarungan ideologi dengan keras dan tajam. Keberadaan
media massa turut melegitimasi perang
politik antar kontestan merebut kekuasaan dan di dalamnya termasuk
pergulatan kepentingan ekonomi bisnis. Dalam perebutan kekuasaan, peran media
tidak lagi berfungsi sebagai kontrol sosial atau memberikan pelayanan informasi
dan memberikan pendidikan bagi masyarakat tetapi pada kenyataannya media lebih
berperan menjadi bagian dari pergulatan merebut kekuasaan.
Diversity media massa secara politik terkonstruksi oleh diaspora
pergulatan ekonomi politik dalam merebut kekuasaan. Keragaman metode dan
pendekatan penyampaian informasi media massa pun sangat ditentukan oleh
pengendali media massa itu sendiri. Hegemoni dan monopolistik kepemilikan media
antara media yang dikendalikan penguasa dan kaum pemilik modal media seringkali
memangkas hak-hak informasi masyarakat yang sesungguhnya. Konstruksi berita
lebih ditekankan pada aspek pembentukan opini publik dengan tujuan meyakinkan
masyarakat mengikuti keinginan media massa bersangkutan.
Masyarakat tidak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi bahkan dikotomi
dan monopolistik produksi informasi ini menjadikan media menjadi tidak
independen. Media berperan melakukan kampanye bahkan dalam konstelasi politik
yang eskalatif, media cenderung membuat persepsi secara miring dan mengaburkan
hakikat kebenaran sebuah peristiwa yang semestinya.
Era modern dan kuatnya globalisasi informasi dan komunikasi, kehadiran
media komunitas yang diharapkan menjadi alternatif pengimbang informasi antara
kepentingan elit penguasa dan kaum pemodal media pun kenyatannya tidak efektif.
Media komunitas dengan keberagaman (diversity
of ownership) dengan semangat menggantikan posisi media yang monopolisasi
informasi dan pemberitaan dalam kenyataannya tidak bisa tampil sebagaimana
mestinya.
Media baik yang dikendalikan penguasa maupun kaum pemodal hampir tidak bisa
dihindari bahwa dalam tataran praktek politik keberagaman kepemilikan (diversity of content) kerapkali
menyajikan informasi yang cenderung bermuatan kepentingan sehingga substansi, content, visi terkonsentrasi pada
bagaimana memaksimalkan kepentingan aktor pengendali.
Diversity of ownership dan diversity
content memiliki visi untuk membuat frame informasi untuk membangun image
publik atas kepentingan yang dibawah media itu sendiri. Betapapun demikian,
fungsi sosial kontrol media massa tidak serta-merta diterjemahkan dalam
kerangka normatif dan kontekstual dan hingga akhirnya hanya terjebak pada
perspektif media yang etis dan utopis karena selalu mengambang tetapi secara
rasional diakui bahwa keberagaman media dalam proses politik tetap diperlukan
masyarakat.
Ketidaksinkronan Regulasi
Regulasi media di Indonesia masih bersifat tumpang tindih. Aturan kebebasan
media tidak secara komprehensif menjadikan kebebasan media betul-betul
bertanggung jawab secara hukum manakala media tertentu menurunkan sebuah berita
yang bohong. Pertanggung jawaban hukum menurut UU Pers Nomor 40 Tahun 1999
Pasal 12.
Secara umum regulasi media di Indonesia tidak bersifat tegas dan mengikat
sehingga kecenderungan media bertindak bebas dalam menyajikan sebuah
informasi/berita termasuk melakukan provokasi/propaganda politik yang
menyebabkan konflik sosial politik bahkan dalam kondisi tertentu memicu konflik
ideologi. UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, UU
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Penyiaran Indonesia, dan UU Nomor 40 Tahun
1999 tentang Kebebasan Pers, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik, hampir sebagian besar
memberikan ruang dan kesempatan bagi media berperan melakukan fungsi kontrol
sosial. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 merupakan produk reformasi dan
konstruksi sosial politik mewarnai proses penyusunan regulasi ini sehingga
secara otomatis kecenderungan elit pembuat regulasi lebih mengutamakan
kebebasan pers karena selama kurang lebih 32 tahun media dalam kekangan rezim
otoriter.
Tahun 2008, pemerintah dan DPR kembali melahirkan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Informasi Publik. UU Nomor 14/2008 secara rinci mengatur
tentang kebebasan informasi sekaligus mengatur mengenai proses dan prosedur
penyelesaian sengketa atas suatu informasi yang melibatkan berbagai pihak. Batasan
kewenangan media dan lembaga-lembaga penerangan maupun informasi seperti
Kementerian Informasi dan Teknologi, Dewan Pers, Komisi Penyiaran, dan sistem
pengaturan serta pengendalian media secara sistem diatur secara baik, namun,
pengaturan berupa tindakan tegas atas perilaku media yang menyajikan sebuah
berita bersifat provokatif tidak diatur secara jelas. Regulasi media hampir
secara umum tidak mengatur dengan memberikan sanksi tegas pada media yang
jelas-jelas melanggar kode etik jurnalisme.
Media umumnya masih berperan sebagai agen kepentingan politik pemodal
sehingga pembuatan regulasi ke depan sebaiknya memangkas media-media yang tidak
konsisten menjalankan aturan regulasi seperti tidak memenuhi syarat
administrasi layaknya sebagai sebuah media yang resmi diakui regulasi. Pengetatan
SIUP dan izin penyiaran harus menjadi landasan penegakkan kode etik Jurnalisme.
Media harus diberi hukuman yang sama apabila diketahui melakukan gerakan
politik secara sistematis.
Konglomerasi media selalu dimanipulasi atas nama politik pembangunan bangsa
dan demokrasi sehingga menutup kemungkinan tafsir kebaikan universal masyarakat
terhadap media tertentu dan dalam kondisi ini media akan berperan double standard sesuai kebutuhan pemodal
dan hanya memenuhi hasrat kepentingan ekonomi politik pemodal media. Tidak ada
media di Indonesia baik lokal, nasional, bahkan tingkat internasional yang
bersifat independen.
Hegemoni dan kekuatan konglomerasi mampu mendikte, mengatur alur,
sistematika pemberitaan sehingga cenderung mengacaukan persitiwa yang
sesungguhnya terjadi. Tradisi politik media yang distorsif, manipulatif, dan
penuh rekayasa seharusnya dihentikan pemerintah dengan membuat regulasi
penindakan terhadap media yang tidak seimbang dalam menurunkan suatu informasi.
Konglomerasi media menjadikan isu perubahan ekonomi politik sebagai basis
gerakan. Jaringan kekuatan media terkonstruksi dan tersistematisasikan melalui
kerjasama konglomerasi yang notabene berperan sebagai pemain ekonomi politik
berskala internasional. Jaringan media dijadikan sebagai unsur fundamental
untuk mengkomunikasi secara bebas dan sesuai rencana dan mengeliminasi semua
informasi yang tidak menguntungkan mereka serta membangun framing politik yang
memihak pada kemauan konglomerasi. Dengan demikian, kekuatan media yang
dikendalikan konglomerasi mampu memanipulasi dan memaksimalkan segala potensi
sumber daya ekonomi politik yang ada untuk kepentingan konglomerasi.
Isu SARA
Dalam artikelnya Betwen Trancendence
and History, Soedjatmiko mengatakan agama merupakan pendorong besar sejarah
umat manusia. Agama menyebarkan ide-ide tentang tatanan keadilan dalam berbagai
lingkungan masyarakat, merupakan keyakinan kuat berkaitan dengan unsur-unsur
lain dari lembaga ekonomi, politik, termasuk media.[4] Kenyataan politik modern
menunjukkan kemajuan berarti meskipun hal ini masih berlaku di beberapa daerah
perkotaan, bahwa isu SARA tidak lagi efektif untuk dijadikan lahan kampanye
politisi berhaluan eksklusif. Kasus pemilu kada DKI 2012 yang memenangkan
Jokowi merupakan personifikasi politik demokrasi modern yang nyata. Isu SARA
tidak mampu mendongkrak suara Foke melainkan menghilangkan dukungan Foke yang
semula militan pada putaran pertama.
Indonesia di masa-masa akan datang akan semakin terbebaskan dari praktik
politik sektoral dari segelintir elit yang kerap memanfaatkan isu politik agama
sebagai isu kampanye dalam rangka mengundang simpati rakyat. Nasionalisme
negara yang mengalami peningkatan dalam pemahaman masyarakat Indonesia. Konstruksi
ideologi nasionalisme dideterminasi aktor yang memegangnya.[5] Demikian juga dengan media,
siapa yang mengendalikan media. Bila ideologi berbasis agama dimaknai sebagai
transformasi dan progresif, maka agama menampakkan secara historis sebagai
kekuatan sosial transformatif dan progresif.
Sedangkan media berperan sebagai kekuatan alternatif yang menyokong
kekuatan budaya (agama) atau ideologi tertentu dalam panggung politik dunia.
Media memiliki peran strategis memainkan transformasi dan memberikan penetrasi
pemahaman masyarakat terhadap progresivitas ideologi berbasis agama. Dengan
demikian, media dalam pergolakan politik global acap kali menempatkan diri
sebagai representasi kekuatan ideologi tertentu tergantung siapa dan apa yang
akan dijadikan orientasi perjuangan ideologi sebuah media.
Media kerap kali menjadikan eksistensi kelembagaan sebagai wacana
pergulatan ideologi termasuk perdebatan politik global yang mengarah pada
kepentingan ideologi. Demokrasi liberal dan gerakan ekonomi menempatkan
kekuatan media sebagai alternatif signifikan yang mempengaruhi kebijakan
ekonomi politik dunia. Demokrasi liberal telah melihat sebuah proliferasi
massif dari “kanan-kanan” baru terhadap generasi masa lalu. Bukan hanya
bermaksud untuk melindungi kehidupan, kebebasan, dan hak milik, banyak
demokrasi juga telah mendefenisikan hak-hak untuk privasi, perjalanan
pekerjaan, rekreasi, preferensi seksual, aborsi, masalah anak, dan seterusnya.[6]
Dalam konteks ini, media berperan sangat signifikan dalam mengkonstruksi,
memberikan opini, mengarahkan persepsi, dan membentuk pemahaman kepentingan
politik pemilik media dan tentu sangat bergantung pada aktor yang mengendalikan
visi ideologi yang menjadi sumber keyakinan pemodal media. Tidak jarang,
meminjam istilah Karl Max, media dalam kondisi tertentu bisa berperan ganda
yang menimbulkan pertikaian ideologi.
Kegalauan Idealisme
Idealisme media menjadi sebuah utopia karena dalam pertempuran ideologi,
idealisme menjadi tidak berlaku bagi sebuah media. Segala sesuatu yang ada yang
merupakan produk ide atau pikiran tidak lagi digerakkan sesuai misi kemanusiaan
tetapi peran budaya dan kekuatan ideologi mengesampingkan budaya idealisme dan
tradisi politik positivisme.
Yang muncul dalam pertikaian ideologi, media menempatkan diri menjadi
sistem kerja politik berbasis budaya dualisme, dimana proses produksi informasi
dengan menggunakan cara berpikir yang bertitik tolak pada materi dan ideologi
sekaligus.[7]
Goffman dalam dramaturgisnya menurut Doyle (1986: 42) mengatakan:
“Masalah utama yang
dihadapi individu dalam pelbagai hubungan sosialnya adalah mengontrol
kesan-kesan yang diberikannya pada orang lain. Pada akhirnya individu berusaha
mengontrol penampilannya, keadaan fisiknya dimana mereka memainkan perannya
serta perilaku perannya yang aktual dan gerak isyarat yang menyertainya[8].
Marx sebagaimana rekannya Friedrich Engels (1820-1895), menunjukkan
penerimaannya akan prinsip dialektika, tetapi keduanya mengganti dasar spirit
dialektika dengan dasar materi murni.[9] Filsafat Hegel
memprioritaskan perkembangan akal dan pemikiran (idea). Filsafat idealisme memang memosisikan perkembangan manusia
dan hubungan-hubungan sosialnya sebagai sesuatu yang dihasilkan perkembangan
akal.[10]
Marx dan Engels sendiri menerima pemikiran Hegel tentang dialektika dan
perkembangan terus-menerus, tetapi keduanya mengemas idealismenya.
Kemajuan modernisasi dan globalisasi melahirkan industrialisasi media.
Media massa pasca gerakan reformasi hadir dipermukaan politik secara massif
bahkan industrialisasi media massa mendorong demokrasi liberal tumbuh dan
berkembang secara pesat. Industri media massa dimanfaatkan sekelompok elit yang
berkekuatan ekonomi dan finansial untuk membiayai segala sistem dan mekanisme
kebijakan sebuah media massa.
Manajemen organisasi media massa juga selalu sentralistik sehingga dalam
manajemen kolektif sangat sulit ditemukan adanya kebijakan yang bersifat
demokratis. Tingkat ketergantungan antara sub-sistem kerja dalam institusi
media massa sangat kuat. Peran wartawan/jurnalis dan pekerja yang ada di media
masih bergantung pada kebijakan atasan terutama pemilik saham media massa.
Industri media massa menciptakan ketidakpastian kebijakan ekonomi politik
sebuah pemerintahan. Demokrasi kerap kali dijadikan sebagai instrumen kebebasan
untuk melegitimasi/pembenaran suatu peristiwa dan sangat ditentukan oleh sudut
pandang media massa.
Kaum pekerja adalah masyarakat yang mempunyai ikatan kepentingan tertentu.
Kaum pekerja diposisikan sebagai tenaga teknis operasional dan yang merumuskan
konsep --- bekerja memproduksi berita-berita yang diperlukan organisasi media
massa. Pimpinan media massa merupakan wakil yang membawa kepentingan, membawa
perasaan, membawa pikiran semua pekerja termasuk wartawan/jurnais yang
dipimpinnya. Pimpinan dalam organisasi memperjuangan kepentingan, kebutuhan
semua pekerja dan termasuk membela kepentingan ideologi, ekonomi politik yang
dikehendaki pemilik modal media massa.
Sebagai implikasi logis dari cara kerja media yang menuruti keinginan
pemilik modal dalam pertarungan ekonomi politik, maka independensi atau
netralitas media dalam perananannya sebagai sosial kontrol tidak berjalan baik.
Konsekuensi logis dari kemajuan modernisasi dan tuntutan politik global yang
diproduksi oleh globalisasi. Industri media massa memaksa kondisi kompetisi
dalam segala dimensi menjadi tidak fair.
Contoh kasus politik ekonomi, dengan menggunakan jaringan media sebagai
alat utama menghubungkan atau dengan kata lain menjadikan instrumen media
sebagai sarana mengkomunikasikan kepentingaan pada klalayak umum melalui wadah
dan fasilitas yang dimiliki adalah The Wall Street Journal dan
Majalah Times yang berpusat di Amerika
Serikat dan untuk perwakilan Asia Tenggara di Singapura. Media ini selalu
menggunakan jaringan kekuatan berupa lembaga-lembaga demokrasi. Demokrasi
dijadikan sebagai alat melegitimasi kekuatan bahkan menghancurkan lawan-lawan
politik.
The Wall Street Journal
memiliki perangkat keras dan lunak yang sistematis. Hampir semua metode
dimiliki media ini. Jaringannya tidak sekadar dibatasi oleh kekuatan internal
tetapi mempunyai kemampuan membangun dan mengikat jaringan dalam dan luar
negeri dengan cara membiayai seluruh kegiatan dan program lembaga-lembaga
sosial beratasnamakan demokrasi.
Politik Kapitalisme Media
Kapitalisme ideologi media massa dalam model Kompas bisa dilihat bagaimana
pemasangan iklan dan harga tawar yang diajukan Kompas. Perbedaan harga dan
muatan konten serta performa iklan yang harus serasi dengan keinginan yang
ditentukan media massa. Kenyataan ini yang selalu menjadi keresahan beberapa
media massa di Indonesia.
Tanggung jawab sosial media pada era modern di satu sisi boleh dikatakan
cukup baik karena dalam kondisi tertentu selalu bergerak responsibility atas
suatu peristiwa maupun pertikaian dan pertengkaran kemanusiaan sosial ditengah
masyarakat. Masih ada media yang bisa memainkan peran positif dalam mengontrol
perilaku pejabat negara, pengusaha, politisi, maupun publik figur yang
bertindak tidak sepatutnya. Media massa masih memerankan peran sosialnya secara
efektif manakalah ada perilaku oknum politisi/pejabat publik yang menyimpang.
Tetapi dalam konteks tertentu, media menjadi pemicu, bahkan berfungsi tidak
efektif mengontrol kekacauan sosial. Konflik kerapkali menjadi ajang
pemberitaan yang tidak seimbang bahkan cenderung memperkeruh suasana sehingga
peran media dalam menyelesaikan konflik politik ekonomi selalu gagal. Media
massa tidak efektif memberitaka sebuah kasus yang sebenarnya sehingga
melahirkan konflik masyarakat yang berkepanjangan. Kasus mutakhir ialah
pertikaian antar warga, antar kampung di Lampung Selatan. Media cenderung
menempatkan diri sebagai corong propaganda dan tidak memainkan fungsi kontrol
secara balaces. Fungsi check and balances tidak dilakukan
secara profesional oleh media massa dan umumnya menimbulkan tindakan
destruktif.
Keterangan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Jakarta, 15 November 2012
[1]
Anwar Arifin, 1992, Komunikasi
Politik dan
Pers
Pancasila;
Suatu Kajian Mengenai Pers Pancasila, Penerbit,
Media Sejahtera, Jakarta, hlm,
17.
[2] Syamsul Mu’arif, Kebebasan Pers dan Fungsi Dewan Pers, diterbitkan Dewan Pers dan
Unesco-Jakarta, 2004, hlm,
1.
[3] Lukas Luwarso, Menghindari Jerat Hukum: Panduan untuk Wartawan, Penerbit,
Seapa, Jakarta, 2003, hlm,
78
[4] Muhammad Mustafa, Merancang Ideologi Gerakan Islam Progresif-Transformatif, dalam
(Ed.,) Muhiddin M Dahlan, Sosialisme
Religius Suatu Jalan
Keempat?, Penerbit, Kreasi Wacana,
Yogyakarta, 2002, hlm,
165
[6]
Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, dalam (Terj.,) MH. Amrullah, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi
Liberal, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2004, hlm, 452.
[7]
Darsono, Budaya Organisasi; Kajian
Tentang Organisasi, Media, Budaya, Ekonomi, Sosial, dan Politik, Penerbit,
Diadit Media, Jakarta, 2006, hlm,
112.
[8] Lely Arrianie, Komunikasi Politik; Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik, Penerbit,
Widya Padjajaran, Bandung, 2010, hlm,
33.
[9]
Dr. Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat
Politik :
Antara Barat Dan Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung,
2010, hlm,
206.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar