Senin, 07 November 2016

Politik Media Massa dalam Pemilu

Media Massa Dalam Percaturan Politik

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



Pertautan antara pers dan politik dalam konteks membangun opini publik sangat kuat. Pers/media massa sebagai pilar keempat demokrasi memiliki peran dan fungsi yang cukup fundamental. Media massa memiliki kekuatan informasi yang secara pembentukan opini massa sangat menentukan proses pengambilan sikap setiap warga masyarakat yang bersentuhan dengan beberapa pilihan termasuk dalam proses penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Media massa senantiasa berperan aktif dalam menyampaikan pesan-pesan politik dalam perspektif pembangunan politik masyarakat.
Setiap informasi yang disampaikan media massa terlebih dahulu didesign secara sistematis oleh manajemen media massa yang notabene akan berorientasi pada ke mana kepentingan pemilik modal media bersangkutan. Akibatnya, peran media massa dalam pergulatan politik kerap bersifat standard ganda. Terminologi independensi pada media massa kadang hanya diperlakukan sebagai simbol personifikasi formalitas misi media massa/pers secara umum. Dalam konteks itu, media massa suka tidak suka, diakui atau tidak terhadap eksistensi independensinya dalam prakteknya selalu berkolaborasi dengan kekuatan-kekuatan politik tertentu dan hal ini sangat bergantung proses mekanisme kompromi kepentingan yang dilakukan antara media massa dan kekuatan politik.
Secara teoritik terdapat kaitan antara pers/media massa dengan politik. Para pengkaji komunikasi politik, telah membahas keterkaitan pers/media massa dan politik dalam dua cara atau dua pendekatan yang berbeda. Menurut Anwar Arifin dalam bukunya berjudul Komunikasi Politik dan Pers Pancasila berpendapat, dalam kajian mengenai relasi antara pers/media massa dan politik terbagi dalam dua perspektif. Pertama, pers dilihat sebagai sumber kekuatan perubahan yang dapat mempengaruhi kehidupan politik (seperti disajikan dalam studi mengenai propaganda dan pendapat umum), dan kedua, pers memiliki ketergantungan dari kehidupan politik (seperti terlihat dalam studi mengenai sistem pers/media massa dan pemberangusan pers).[1]
Pers/media massa merupakan faktor strategis dalam memberikan pengaruh perubahan sikap bagi masyarakat. Media massa berperan aktif memberikan informasi-informasi politik terhadap publik dan dengan demikian media mempunyai pengaruh yang kuat dalam pembentukan opini publik. Informasi-informasi politik yang disajikan media seringkali tidak lepas dari bermuatan politis dengan tujuan membangun dan membentuk opini masyarakat dan mengarahkan publik untuk mengikuti apa yang menjadi kepentingan dari media massa atau yang berkolaborasi dengan media massa terkait.

Publik Relatins
Secara umum, peranan Public Relation (PR) dalam proses politik ialah membangun image pencitraan terhadap calon pemimpin yang didiseain secara sistematis. Tugas inti Public Realtions (PR) merumuskan konsep dan strategi kampanye calon tertentu sesuai yang dikehendaki. PR bertugas melakukan pematangan isu dan mengkampanyekannya kepada publik. PR menyampaikan pesan-pesan politik yang secara persepsi dibangun opini publik agar bisa mengikuti apa yang disponsori oleh kandidat.
Dalam kaitan peran public relations, Indrawadi Tamin dalam bukunya, public relations; Mitos dan Realitas (2012) dengan mengutip Edwar L Bernays yang memperkenalkan istilah public relations sejak tahun 1920. Pada tahun 1923 ia menerbitkan bukunya berjudul Crystalizing Public Opinion, yang antara lain berisi broad principles that govern the new profession of Public Relations... (prinsip-prinsip umum tentang profesi baru yang bernama Public Relations).
PR berfungsi menyampaikan pesan-pesan politik yang dapat mempengaruhi masyarakat agar bisa mengikuti alur informasi yang dilakukan dapur PR seorang kandidat. Bagaimana mempengaruhi cara berpikir, cara berpendapat, cara membuat persepsi, cara membuat interpretasi, bahkan hingga pada tataran mempengaruhi perilaku masyarakat agar menggunakan preferensi politik sesuai yang dikampanyekan PR.
Dalam rangka membangun sistem dan mekanisme kerja yang baik, dan sesuai target yang direncanakan, PR membutuhkan instrumen penunjang berupa media relations. Kegiatan PR dengan menggunakan media relations merupakan alternatif yang efektif, termasuk dalam kampanye pemenangan pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2009. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memenangkan Pilpres 2009 tidak lepas dari kiat kerja PR tim kampanye SBY-Boediono.
Pembentukan citra pencalonan presiden SBY-Boediono sangat kuat dilakukan tim kampanye melalui PR. PR media relations merupakan unsur fital yang menggerakan informasi, memainkan isu strategis, serta mempengaruhi paradigma pemilih dan berusaha semaksimal mungkin mempengaruhi perilaku masyarakat untuk menentukan pilihan. Melalui PR, masyarakat akan dengan bebas membangun persepsi dan pemahaman terhadap suatu peristiwa hingga menggunakan hak pilih dalam pilpres 2009. PR bekerja secara aktif mengelola isu strategis dan selalu mengedepankan unsur pencitraan positif terhadap kandidat. PR melakukan tugas dan fungsi pencitraan positif sesuai pesan sponsor. PR berusaha mempengaruhi cara pikir dan perilaku komunitas internal dan eksternal secara sistematis guna memenangkan kandidatnya.
Peran seorang Spin Doctor ialah menyusun konsep kampanye yang bermuatan agitasi dan propagandis. Spin Doctor berperan strategis memformulasi isu dan mengolahnya dengan penuh rekayasa. Tugas dan peran seorang Spin Doctor utamanya ialah membuat konsep kampanye dengan memetakan isu, dari yang bersifat konstruktif hingga destruktif. Spin Doctor memutarbalikan fakta maupun data untuk memenangkan calon kandidatnya dalam pertarungan suksesi kekuasaan.
Dalam konteks perhelatan pilpres 2009, peran Spin Doctor kampanye, SBY mampu melakukan agregasi isu secara sistematis melalui media relations sehingga ia bisa memenangkan pilpres 2009. Spin Doctor dalam bekerja memiliki fungsi yang cukup berbeda dengan PR. Spin Doctor berperan mendesain isu pencitraan dengan menjelekan, menjatuhkan lawan kandidat dan membenarkan persepsi publik sesuai cara dia tanpa melihat kebenaran yang semestinya.
Lembaga Survei Indonesia merupakan sebuah instrumen kerja ilmiah yang mampu membangun pencitraan seorang kandidat. Lembaga survei Indonesia (LSI) dalam proses politik demokrasi cukup aktif dalam berbagai kegiatan-kegiatan politik yang notabene ialah berperan sebagai alat kampanye kandidat tertentu dalam tiap momen pemilihan umum (pemilu). Peran lembaga survei menjadi tidak netral bahkan visi independensi dan menampilkan performa kelembagaan sebagai institusi sosial demokrasi, tetapi dalam prakteknya, LSI lebih memfungsikan dirinya sebagai instrumen sosial politik yang berkolaborasi dengan pasangan tertentu sesuai kesepakatan penyokong finansial untuk memenangkan kandidat yang membayar.
Fungsi LSI dalam kenyataannya menempatkan eksistensi kelembagaan sebagai ‘komprador’ atau sekadar berfungsi menjadi mesin kampanye pasangan atau kandidat yang bayar. Kasus yang terjadi pada LSI ialah kasus iklan layanan masyarakat di salah satu stasiun televisi nasional pada Pilpres 2009 terkait Pilpres hanya satu putaran.
Pilpres satu putaran adalah strategi marcetting political LSI untuk memenangkan kandidat pasangan SBY-Boediono pada pilpres 2009. LSI secara langsung maupun tidak langsung berperan ganda disini dalam memainkan peran politik. Sebagai political marceting, LSI tentu sangat aktif membaca peta kekuatan pilpres. Meskipun dalam tradisi politik modern, LSI terbilang tidak proporsional dan dalam sistem demokrasi yang beradab sangat tidak mencerminkan budaya politik bangsa. Atas nama kebebasan, berbagai lembaga survei dan instrumen-instrumen yang mengatasnamakan demokrasi memanipulasi nilai-nilai demokrasi untuk kepentingan politik ekonomi yang menjadi orientasi politik individu dan kelembagaan.

Komunikasi Opinion Leader
Peran opinion leader dalam politik modern sekarang masih tetap diperlukan. Karena dengan peran opinion leaders masyarakat akan lebih mudah mengetahui hakikat visi politik itu sendiri. Masyarakat akan bisa berpartisipasi aktif manakala ada penjelasan dan pencerahan pemahaman politik dari opinion leader. Opinion leader tidak saja berfungsi sebagai komunikator yang menyampaikan pesan-pesan politik tetapi dalam kondisi yang normal, opinion leader berperan melakukan proses pendidikan politik bagi masyarakat.
Opinion leader berperan sebagai penghubung antara masyarakat dan media massa. Betapapun kekuatan media massa mempengaruhi opini masyarakat namun peran seorang opinion leader sangat signifikan dalam mengedukasi masyarakat dalam masalah pendidikan politik dan pentingnya menggunakan hak pilih secara baik. Opinion leader juga berperan sebagai gate yang menjabarkan informasi media massa kepada masyarakat. Selain itu, di daerah yang jauh dari sentuhan informasi dan teknologi sangat dibutuhkan opinion leader memberikan pemahaman yang lebih jelas dan komprehensif terhadap masyarakat.
Sementara dalam kaitannya dengan swing vote jelas merupakan sasaran empuk kandidat meraih simpati dan konsep kampanye Jokowi-Ahok sangat elegan untuk dterima kalangan pemilih berbasis swing vote. Sosok Jokowi menjadi buah bibir di kalangan media masa nasional yang akibat dari prestasinya menaklukan Jakarta, kota yang tidak ramah bagi kalangan pendatang. Anehnya Jokowi mampu menjalaninya dengan prestasi yang gemilang bersama wakilnya Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok. Padahal, PDIP masih banyak tokoh nasional yang punya nilai jual di Ibu kota. Ibarat dalam tinju, petinju yang masih berkutat dalam kelas bantam diintruksikan oleh pelatih untuk bertanding di kelas berat. Jokowi kala itu tidak menolak, bermodal prestasi sebagai Walikota Solo, ia menerima tantangan tersebut. Menurut saya pencalonan Jokowi ini buah dari strategi politik yang dimainkan kalangan elite PDIP, mengingat Pilkada Jawa Tengah sebentar lagi akan berlangsung.
Pendorongan Jokowi ke DKI, agar kalangan Elite PDIP yang mempunyai niat merebut Jateng 1 tidak mempunyai lawan yang berarti. Mengingat sekarang ini sudah ada nama yang muncul, ada Bibit Waluyo dan Tjahyo Kumulo. Asumsinya, jika Jokowi menang di DKI peluang untuk Jawa Tengah akan terbuka lebar, dikarenakan pamor Jokowi di Solo dan Jateng begitu mempesona. Mereka (Bibit dan Tjahyo), tidak akan menemui kesulitan besar untuk menelurkan ambisinya. Andaikan Jokowi kalah di DKI sedikit banyaknya akan menggerus kekuatan Walikota Solo tersebut di Jawa Tengah.
Namun, manuver politik yang dilakukan elite PDIP ini berhasil, mengingat peluang Jokowi untuk menang pada putaran kedua sangat besar. Andaikan kalah, Jokowi sudah sangat lelah untuk ikut bertarung lagi di pilgub Jawa tengah. Pilkada Jakarta sekarang ini menentukan karir politik Jokowi jika menang ia akan menjadi superstar, jika kalah maka karir Jokowi kemungkinan akan tamat mengingat ia sudah dua priode memipin Solo. Kalau orang mau berpolitik harus siap semua, kalau tidak siap, susah. Makannya politisi seharusnya paling tahan dari segala tekanan.
Di balik pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang bertarung pada Pilkada DKI Jakarta terdapat banyak konsultan politik yang bergerak. Mereka berperan menganalisis dan memberikan rekomendasi tentang strategi politik, mereka pula yang memoles citra para kandidat itu dengan segala media sosialisasi dan program yang disiapkan. Jokowi-Ahok itu prinsipnya adalah barang bagus. Barang bagus itu lebih mudah dijual. Kekuatan utama kampanye Jokowi-Ahok ada pada sosok keduanya.
Sisanya, baru adu strategi politik. Tetapi, kalau strateginya sama canggih, tetapi kualitas barangnya lebih baik, maka barang yang lebih baik itu yang akan disukai. Selain itu, terbantu dengan adanya momentum di mana masyarakat sudah mulai muak dan antipati dengan Pilkada DKI yang tidak menawarkan perubahan. Tiba-tiba muncul nama Jokowi, masyarakat melihat ada perubahan itu. Dengan demikian terbantu juga dengan momentum frustasi masyarakat yang sedemikian kuatnya menghendaki perubahan.
Calon gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dinilai menang dari sisi pencitraan dalam hal kepribadian, dibandingkan lawannya gubernur petahana Fauzi Bowo yang dipandang arogan. Sebagian besar publik melihat kepada personality. Dari pencitraan, Jokowi baru masuk sekitar lima bulan sebelum Pilkada, dan mampu mengalahkan Foke yang telah menjabat selama lima tahun. Ini pencitraan luar biasa. Hal ini haruslah menjadi pelajaran bagi (kontestan) pemilu maupun pemilukada berikutnya. Pencitraan itu penting.
Konstruksi sosial politik era modern secara psikologis berimplikasi pada pembentukan kesadaran masyarakat untuk menjadikan aspek rasionalitas sebagai basis penentuan hak pilih pada pemilu. Demokrasi dengan kekuatan media massa akan terus membawa perubahan iklim politik yang semakin demokratis. Pemilih rasional akan semakin meningkat dan pemilih potensial rata-rata masyarakat tradisional juga seiring terus terjadinya perubahan akan melihat secara logis rasional tentang pentingnya memilih pemimpin dengan pendekatan logika.
Modernisasi organisasi publik, demokratisasi di segala dimensi kehidupan berbangsa, secara otomatis mendorong akselerasi pemahaman politik rakyat untuk menggunakan preferensi politik. Masa depan demokrasi akan semakin rasional dan pemilih rasional akan terus bermunculan karena tingkat kesadaran politik masyarakat semakin baik. Namun demikian, pemilih berbasis tradisional juga tidak bisa diabaikan begitu saja karena pemilih tradisional secara psikologis memiliki ikatan primordial yang kuat sehingga potensi ini menjadi sangat diperhitungkan.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Partai Politik secara tegas mengatur tentang penggunaan sistem parliamentary threshold (PT) atau lazim disebut ambang batas alias suara terbanyak. Sistem suara terbanyak mengharuskan semua caleg bekerja keras terutama dalam kampanye. Kampanye merupakan sarana efektif dan sekaligus menjadi bagian penting bagi partai politik dan kandidat caleg. Suara terbanyak membedakan sistem pemilihan umum tahun 2004 yang hanya menerapkan electoral threshold (ET). Penggunaan sistem PT secara otomatis menguras energi parpol dan kandidat terutama caleg bersangkutan yang hendak meraih simpati warga di masing-masing daerah pemilihan (dapil).
Kecenderungan masyarakat menggunakan pendekatan memilih dengan primordial agak meringankan setiap kandidat untuk berkampanye dan bermanuver. Peran partai politik tidak terlalu signifikan sehingga umumnya parpol mengandalkan kandidat-kandidat yang notabene adalah tokoh masyarakat. Sistem perolehan suara terbanyak memaksa parpol merekrut kandidat caleg secara gamang. Karena parpol selain dikejar agar kandidatnya bisa terpilih sekaligus parpolnya bisa lolos 2,5% untuk memenuhi sistem PT.

Politik Media
Konsep kepemilikan media pasca reformasi terbilang lebih terfokus kepada kekuatan ekonomi politik global. Kecenderungan ini dilihat dari peran pemberitaan media yang kerap kali membawa pesan tertentu sesuai kepentingan pemilik media (konglomerat). Perpaduan kekuatan ekonomi dan politik global acapkali menjadikan media kehilangan elan vital independensinya. Tema-tema politik ekonomi yang diusung pun sebagian besar membawa kepentingan pemodal media bersangkutan.
Bila pada era Orde Baru dengan sistem pemerintahan yang otoriter dan anti kebebasan, maka peran media seakan-akan ditempatkan pada posisi di mana bisa menguntungkan kepentingan rezim. Semua alur pemberitaan didesain secara sistematis untuk memberikan pesan politik kepada masyarakat yang lebih memihak pemerintah. Media era Orde Baru betul-betul ditempatkan sebagai agen sosialisasi dan publikasi kinerja pemerintah yang tentu lebih berpihak. Bahkan eksistensi media pada era Orde Baru benar-benar dimaksimalkan bahkan dipaksakan oleh rezim untuk mengikuti segala bentuk aturan media yang dibuat pemerintah.
Terjadi proses marginalisasi government atau marginalisasi fungsi dan peranan birokrasi. Pers mengembangkan fungsi pendidikan, hiburan, kontrol sosial, dan lain sebagainaya, fungsi itu dibatasi oleh budaya kita. Stasiun Tv pada umumnya tidak menjalankan aspek-aspek yang bersifat edukatif atau hiburan yang sehat, melain jutsru berbau hal-hal yang bersifat kriminal dan politik kepentingan sebagai cara menguasai kebijakan negara.[2] Dalam perspektif ini, maka tidak banyak pilihan selain alternatif termudah ditempuh media yaitu melibatkan diri atau menjerumuskan institusi media ke dalam kubangan politik yang serba totoriter. Kolaborasi dan persepakatan jahat antara rezim dan media melalui manajemen konglomerasi pun terbangun tanpa memikirkan penyebab filosifisnya.
Kepemilikan media di era modern ini lebih bersifat eksploitatif bahkan cenderung distorsif dan kurang maksimal dalam kerangka pembangunan pendidikan politik sebagai sarana pembentukan karakter masyarakat bangsa (nation state). Akibat kepemilikan media yang bersifat sentralistik pada aktor utama (pemegang saham terbanyak) atau pemilik media, maka sebagian besar proses formulasi pemberitaan pun selalu memihak pemilik saham. Pemilik media membuat aturan internal yang bersifat mengikat dan dengan demikian seluruh pekerja yang berada dalam manajemen media tersebut tetap tunduk pada aturan main yang sudah menjadi kesepakatan. Implikasi negatif yang terbangun ialah peran hegemonik, dan dikotomi pemberitaan yang berlebihan.
Pemilik modal dapat sesuka hati mengajukan, menyusun, mengubah, mendikte, dan mengatur, bahkan menginstruksi manajemen agar bekerja sesuai apa yang diinginkan oleh pemilik media. Disinilah kemudian terjadi pertarungan antara ideologi, idealisme, dan realitas sosial ekonomi politik yang ada. Kenyataan seringkali memandulkan idealisme secara massif karena secara sistematis pula ia bekerja.
Padahal, unsur kinerja kolektif kolegial merupakan aspek penting dalam mendeterminasikan performa sebuah media pada masyarakat. Selama unsur kebijakan kolektif kolegial tidak berlaku atau sekurang-kurangnya diterapkan secara seremoni maka yang terjadi kekacauan redaksi dalam menurunkan sebuah informasi. Produksi informasi disistematisasikan sedemikian rupa sehingga disorientasi masyarakat atas suatu peristiwa pun tidak bisa dielakkan. Pemberitaan media massa umumnya adalah hasil kerja kolektif sehingga bentuk pertanggungjawaban hukumnya pun bersifat kolektif atau melibatkan institusi pers bersangkutan dan tidak serta-merta melibatkan pemilik saham alias pemodal media.[3]
Dengan demikian konsep kepemilikan media di Indonesia berdasarkan fakta dan kenyataan yang ada maka fungsi media sebagai edukasi, sosial kontrol, dan pengimbang kekuatan politik tidak berjalan sebagaimana dasar independensi sebuah media itu sendiri. Hegemoni dan dualisme kepemilikan media melahirkan kapitalisme modern yang cenderung mengedepankan aspek keuntungan dan mengabaikan dimensi sosial kemanusiaan. Media lebih mengutamakan keuntungan dan lebih mengkalkulasi politik.
Media condong memihak pemilik saham dan lebih mengedepankan aspek keuntungan daripada menampilkan netralitas dan idealisme politik. Kekuatan ekonomi menentukan arus kekuatan politik, dan begitu juga sebaliknya. Antara kekuatan ekonomi dan politik saling bergantungan sehingga dalam perspektif pengembangan media sebagai sarana pendidikan budaya bangsa dalam segala dimensi kehidupan tidak berjalan sesuai cita-cita pembangunan nasional.
Tidak bisa dipungkiri, kekuatan modal sangat menentukan kebijakan yang notabene pemilik modal utama sebuah media massa yang mengarah pada diversity media. Kompetisi politik global menyebabkan pertarungan ideologi dengan keras dan tajam. Keberadaan media massa turut melegitimasi perang  politik antar kontestan merebut kekuasaan dan di dalamnya termasuk pergulatan kepentingan ekonomi bisnis. Dalam perebutan kekuasaan, peran media tidak lagi berfungsi sebagai kontrol sosial atau memberikan pelayanan informasi dan memberikan pendidikan bagi masyarakat tetapi pada kenyataannya media lebih berperan menjadi bagian dari pergulatan merebut kekuasaan.
Diversity media massa secara politik terkonstruksi oleh diaspora pergulatan ekonomi politik dalam merebut kekuasaan. Keragaman metode dan pendekatan penyampaian informasi media massa pun sangat ditentukan oleh pengendali media massa itu sendiri. Hegemoni dan monopolistik kepemilikan media antara media yang dikendalikan penguasa dan kaum pemilik modal media seringkali memangkas hak-hak informasi masyarakat yang sesungguhnya. Konstruksi berita lebih ditekankan pada aspek pembentukan opini publik dengan tujuan meyakinkan masyarakat mengikuti keinginan media massa bersangkutan.
Masyarakat tidak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi bahkan dikotomi dan monopolistik produksi informasi ini menjadikan media menjadi tidak independen. Media berperan melakukan kampanye bahkan dalam konstelasi politik yang eskalatif, media cenderung membuat persepsi secara miring dan mengaburkan hakikat kebenaran sebuah peristiwa yang semestinya.
Era modern dan kuatnya globalisasi informasi dan komunikasi, kehadiran media komunitas yang diharapkan menjadi alternatif pengimbang informasi antara kepentingan elit penguasa dan kaum pemodal media pun kenyatannya tidak efektif. Media komunitas dengan keberagaman (diversity of ownership) dengan semangat menggantikan posisi media yang monopolisasi informasi dan pemberitaan dalam kenyataannya tidak bisa tampil sebagaimana mestinya.
Media baik yang dikendalikan penguasa maupun kaum pemodal hampir tidak bisa dihindari bahwa dalam tataran praktek politik keberagaman kepemilikan (diversity of content) kerapkali menyajikan informasi yang cenderung bermuatan kepentingan sehingga substansi, content, visi terkonsentrasi pada bagaimana memaksimalkan kepentingan aktor pengendali.
Diversity of ownership dan diversity content memiliki visi untuk membuat frame informasi untuk membangun image publik atas kepentingan yang dibawah media itu sendiri. Betapapun demikian, fungsi sosial kontrol media massa tidak serta-merta diterjemahkan dalam kerangka normatif dan kontekstual dan hingga akhirnya hanya terjebak pada perspektif media yang etis dan utopis karena selalu mengambang tetapi secara rasional diakui bahwa keberagaman media dalam proses politik tetap diperlukan masyarakat.

Ketidaksinkronan Regulasi
Regulasi media di Indonesia masih bersifat tumpang tindih. Aturan kebebasan media tidak secara komprehensif menjadikan kebebasan media betul-betul bertanggung jawab secara hukum manakala media tertentu menurunkan sebuah berita yang bohong. Pertanggung jawaban hukum menurut UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 12.
Secara umum regulasi media di Indonesia tidak bersifat tegas dan mengikat sehingga kecenderungan media bertindak bebas dalam menyajikan sebuah informasi/berita termasuk melakukan provokasi/propaganda politik yang menyebabkan konflik sosial politik bahkan dalam kondisi tertentu memicu konflik ideologi. UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Penyiaran Indonesia, dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,  hampir sebagian besar memberikan ruang dan kesempatan bagi media berperan melakukan fungsi kontrol sosial. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 merupakan produk reformasi dan konstruksi sosial politik mewarnai proses penyusunan regulasi ini sehingga secara otomatis kecenderungan elit pembuat regulasi lebih mengutamakan kebebasan pers karena selama kurang lebih 32 tahun media dalam kekangan rezim otoriter.
Tahun 2008, pemerintah dan DPR kembali melahirkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Informasi Publik. UU Nomor 14/2008 secara rinci mengatur tentang kebebasan informasi sekaligus mengatur mengenai proses dan prosedur penyelesaian sengketa atas suatu informasi yang melibatkan berbagai pihak. Batasan kewenangan media dan lembaga-lembaga penerangan maupun informasi seperti Kementerian Informasi dan Teknologi, Dewan Pers, Komisi Penyiaran, dan sistem pengaturan serta pengendalian media secara sistem diatur secara baik, namun, pengaturan berupa tindakan tegas atas perilaku media yang menyajikan sebuah berita bersifat provokatif tidak diatur secara jelas. Regulasi media hampir secara umum tidak mengatur dengan memberikan sanksi tegas pada media yang jelas-jelas melanggar kode etik jurnalisme.
Media umumnya masih berperan sebagai agen kepentingan politik pemodal sehingga pembuatan regulasi ke depan sebaiknya memangkas media-media yang tidak konsisten menjalankan aturan regulasi seperti tidak memenuhi syarat administrasi layaknya sebagai sebuah media yang resmi diakui regulasi. Pengetatan SIUP dan izin penyiaran harus menjadi landasan penegakkan kode etik Jurnalisme. Media harus diberi hukuman yang sama apabila diketahui melakukan gerakan politik secara sistematis.
Konglomerasi media selalu dimanipulasi atas nama politik pembangunan bangsa dan demokrasi sehingga menutup kemungkinan tafsir kebaikan universal masyarakat terhadap media tertentu dan dalam kondisi ini media akan berperan double standard sesuai kebutuhan pemodal dan hanya memenuhi hasrat kepentingan ekonomi politik pemodal media. Tidak ada media di Indonesia baik lokal, nasional, bahkan tingkat internasional yang bersifat independen.
Hegemoni dan kekuatan konglomerasi mampu mendikte, mengatur alur, sistematika pemberitaan sehingga cenderung mengacaukan persitiwa yang sesungguhnya terjadi. Tradisi politik media yang distorsif, manipulatif, dan penuh rekayasa seharusnya dihentikan pemerintah dengan membuat regulasi penindakan terhadap media yang tidak seimbang dalam menurunkan suatu informasi.
Konglomerasi media menjadikan isu perubahan ekonomi politik sebagai basis gerakan. Jaringan kekuatan media terkonstruksi dan tersistematisasikan melalui kerjasama konglomerasi yang notabene berperan sebagai pemain ekonomi politik berskala internasional. Jaringan media dijadikan sebagai unsur fundamental untuk mengkomunikasi secara bebas dan sesuai rencana dan mengeliminasi semua informasi yang tidak menguntungkan mereka serta membangun framing politik yang memihak pada kemauan konglomerasi. Dengan demikian, kekuatan media yang dikendalikan konglomerasi mampu memanipulasi dan memaksimalkan segala potensi sumber daya ekonomi politik yang ada untuk kepentingan konglomerasi.

Isu SARA
Dalam artikelnya Betwen Trancendence and History, Soedjatmiko mengatakan agama merupakan pendorong besar sejarah umat manusia. Agama menyebarkan ide-ide tentang tatanan keadilan dalam berbagai lingkungan masyarakat, merupakan keyakinan kuat berkaitan dengan unsur-unsur lain dari lembaga ekonomi, politik, termasuk media.[4] Kenyataan politik modern menunjukkan kemajuan berarti meskipun hal ini masih berlaku di beberapa daerah perkotaan, bahwa isu SARA tidak lagi efektif untuk dijadikan lahan kampanye politisi berhaluan eksklusif. Kasus pemilu kada DKI 2012 yang memenangkan Jokowi merupakan personifikasi politik demokrasi modern yang nyata. Isu SARA tidak mampu mendongkrak suara Foke melainkan menghilangkan dukungan Foke yang semula militan pada putaran pertama.
Indonesia di masa-masa akan datang akan semakin terbebaskan dari praktik politik sektoral dari segelintir elit yang kerap memanfaatkan isu politik agama sebagai isu kampanye dalam rangka mengundang simpati rakyat. Nasionalisme negara yang mengalami peningkatan dalam pemahaman masyarakat Indonesia. Konstruksi ideologi nasionalisme dideterminasi aktor yang memegangnya.[5] Demikian juga dengan media, siapa yang mengendalikan media. Bila ideologi berbasis agama dimaknai sebagai transformasi dan progresif, maka agama menampakkan secara historis sebagai kekuatan sosial transformatif dan progresif.
Sedangkan media berperan sebagai kekuatan alternatif yang menyokong kekuatan budaya (agama) atau ideologi tertentu dalam panggung politik dunia. Media memiliki peran strategis memainkan transformasi dan memberikan penetrasi pemahaman masyarakat terhadap progresivitas ideologi berbasis agama. Dengan demikian, media dalam pergolakan politik global acap kali menempatkan diri sebagai representasi kekuatan ideologi tertentu tergantung siapa dan apa yang akan dijadikan orientasi perjuangan ideologi sebuah media.
Media kerap kali menjadikan eksistensi kelembagaan sebagai wacana pergulatan ideologi termasuk perdebatan politik global yang mengarah pada kepentingan ideologi. Demokrasi liberal dan gerakan ekonomi menempatkan kekuatan media sebagai alternatif signifikan yang mempengaruhi kebijakan ekonomi politik dunia. Demokrasi liberal telah melihat sebuah proliferasi massif dari “kanan-kanan” baru terhadap generasi masa lalu. Bukan hanya bermaksud untuk melindungi kehidupan, kebebasan, dan hak milik, banyak demokrasi juga telah mendefenisikan hak-hak untuk privasi, perjalanan pekerjaan, rekreasi, preferensi seksual, aborsi, masalah anak, dan seterusnya.[6]
Dalam konteks ini, media berperan sangat signifikan dalam mengkonstruksi, memberikan opini, mengarahkan persepsi, dan membentuk pemahaman kepentingan politik pemilik media dan tentu sangat bergantung pada aktor yang mengendalikan visi ideologi yang menjadi sumber keyakinan pemodal media. Tidak jarang, meminjam istilah Karl Max, media dalam kondisi tertentu bisa berperan ganda yang menimbulkan pertikaian ideologi.

Kegalauan Idealisme
Idealisme media menjadi sebuah utopia karena dalam pertempuran ideologi, idealisme menjadi tidak berlaku bagi sebuah media. Segala sesuatu yang ada yang merupakan produk ide atau pikiran tidak lagi digerakkan sesuai misi kemanusiaan tetapi peran budaya dan kekuatan ideologi mengesampingkan budaya idealisme dan tradisi politik positivisme.
Yang muncul dalam pertikaian ideologi, media menempatkan diri menjadi sistem kerja politik berbasis budaya dualisme, dimana proses produksi informasi dengan menggunakan cara berpikir yang bertitik tolak pada materi dan ideologi sekaligus.[7]
Goffman dalam dramaturgisnya menurut Doyle (1986: 42) mengatakan:

“Masalah utama yang dihadapi individu dalam pelbagai hubungan sosialnya adalah mengontrol kesan-kesan yang diberikannya pada orang lain. Pada akhirnya individu berusaha mengontrol penampilannya, keadaan fisiknya dimana mereka memainkan perannya serta perilaku perannya yang aktual dan gerak isyarat yang menyertainya[8].

Marx sebagaimana rekannya Friedrich Engels (1820-1895), menunjukkan penerimaannya akan prinsip dialektika, tetapi keduanya mengganti dasar spirit dialektika dengan dasar materi murni.[9] Filsafat Hegel memprioritaskan perkembangan akal dan pemikiran (idea). Filsafat idealisme memang memosisikan perkembangan manusia dan hubungan-hubungan sosialnya sebagai sesuatu yang dihasilkan perkembangan akal.[10] Marx dan Engels sendiri menerima pemikiran Hegel tentang dialektika dan perkembangan terus-menerus, tetapi keduanya mengemas idealismenya.
Kemajuan modernisasi dan globalisasi melahirkan industrialisasi media. Media massa pasca gerakan reformasi hadir dipermukaan politik secara massif bahkan industrialisasi media massa mendorong demokrasi liberal tumbuh dan berkembang secara pesat. Industri media massa dimanfaatkan sekelompok elit yang berkekuatan ekonomi dan finansial untuk membiayai segala sistem dan mekanisme kebijakan sebuah media massa.
Manajemen organisasi media massa juga selalu sentralistik sehingga dalam manajemen kolektif sangat sulit ditemukan adanya kebijakan yang bersifat demokratis. Tingkat ketergantungan antara sub-sistem kerja dalam institusi media massa sangat kuat. Peran wartawan/jurnalis dan pekerja yang ada di media masih bergantung pada kebijakan atasan terutama pemilik saham media massa.
Industri media massa menciptakan ketidakpastian kebijakan ekonomi politik sebuah pemerintahan. Demokrasi kerap kali dijadikan sebagai instrumen kebebasan untuk melegitimasi/pembenaran suatu peristiwa dan sangat ditentukan oleh sudut pandang media massa.
Kaum pekerja adalah masyarakat yang mempunyai ikatan kepentingan tertentu. Kaum pekerja diposisikan sebagai tenaga teknis operasional dan yang merumuskan konsep --- bekerja memproduksi berita-berita yang diperlukan organisasi media massa. Pimpinan media massa merupakan wakil yang membawa kepentingan, membawa perasaan, membawa pikiran semua pekerja termasuk wartawan/jurnais yang dipimpinnya. Pimpinan dalam organisasi memperjuangan kepentingan, kebutuhan semua pekerja dan termasuk membela kepentingan ideologi, ekonomi politik yang dikehendaki pemilik modal media massa.
Sebagai implikasi logis dari cara kerja media yang menuruti keinginan pemilik modal dalam pertarungan ekonomi politik, maka independensi atau netralitas media dalam perananannya sebagai sosial kontrol tidak berjalan baik. Konsekuensi logis dari kemajuan modernisasi dan tuntutan politik global yang diproduksi oleh globalisasi. Industri media massa memaksa kondisi kompetisi dalam segala dimensi menjadi tidak fair.
Contoh kasus politik ekonomi, dengan menggunakan jaringan media sebagai alat utama menghubungkan atau dengan kata lain menjadikan instrumen media sebagai sarana mengkomunikasikan kepentingaan pada klalayak umum melalui wadah dan fasilitas yang dimiliki adalah The Wall Street Journal dan Majalah Times yang berpusat di Amerika Serikat dan untuk perwakilan Asia Tenggara di Singapura. Media ini selalu menggunakan jaringan kekuatan berupa lembaga-lembaga demokrasi. Demokrasi dijadikan sebagai alat melegitimasi kekuatan bahkan menghancurkan lawan-lawan politik.
The Wall Street Journal memiliki perangkat keras dan lunak yang sistematis. Hampir semua metode dimiliki media ini. Jaringannya tidak sekadar dibatasi oleh kekuatan internal tetapi mempunyai kemampuan membangun dan mengikat jaringan dalam dan luar negeri dengan cara membiayai seluruh kegiatan dan program lembaga-lembaga sosial beratasnamakan demokrasi.

Politik Kapitalisme Media
Kapitalisme ideologi media massa dalam model Kompas bisa dilihat bagaimana pemasangan iklan dan harga tawar yang diajukan Kompas. Perbedaan harga dan muatan konten serta performa iklan yang harus serasi dengan keinginan yang ditentukan media massa. Kenyataan ini yang selalu menjadi keresahan beberapa media massa di Indonesia.
Tanggung jawab sosial media pada era modern di satu sisi boleh dikatakan cukup baik karena dalam kondisi tertentu selalu bergerak responsibility atas suatu peristiwa maupun pertikaian dan pertengkaran kemanusiaan sosial ditengah masyarakat. Masih ada media yang bisa memainkan peran positif dalam mengontrol perilaku pejabat negara, pengusaha, politisi, maupun publik figur yang bertindak tidak sepatutnya. Media massa masih memerankan peran sosialnya secara efektif manakalah ada perilaku oknum politisi/pejabat publik yang menyimpang.
Tetapi dalam konteks tertentu, media menjadi pemicu, bahkan berfungsi tidak efektif mengontrol kekacauan sosial. Konflik kerapkali menjadi ajang pemberitaan yang tidak seimbang bahkan cenderung memperkeruh suasana sehingga peran media dalam menyelesaikan konflik politik ekonomi selalu gagal. Media massa tidak efektif memberitaka sebuah kasus yang sebenarnya sehingga melahirkan konflik masyarakat yang berkepanjangan. Kasus mutakhir ialah pertikaian antar warga, antar kampung di Lampung Selatan. Media cenderung menempatkan diri sebagai corong propaganda dan tidak memainkan fungsi kontrol secara balaces. Fungsi check and balances tidak dilakukan secara profesional oleh media massa dan umumnya menimbulkan tindakan destruktif.


Keterangan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Jakarta, 15 November 2012




[1] Anwar Arifin, 1992, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila; Suatu Kajian Mengenai Pers Pancasila, Penerbit, Media Sejahtera, Jakarta, hlm, 17.
[2]  Syamsul Mu’arif, Kebebasan Pers dan Fungsi Dewan Pers, diterbitkan Dewan Pers dan Unesco-Jakarta, 2004, hlm, 1.
[3]  Lukas Luwarso, Menghindari Jerat Hukum: Panduan untuk Wartawan, Penerbit, Seapa, Jakarta, 2003, hlm, 78
[4]  Muhammad Mustafa, Merancang Ideologi Gerakan Islam Progresif-Transformatif, dalam (Ed.,) Muhiddin M Dahlan, Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat?, Penerbit, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm, 165
[5]  Ibid, hlm, 166.
[6] Francis Fukuyama,  The End of History and The Last Man, dalam (Terj.,) MH. Amrullah, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2004, hlm, 452.
[7] Darsono, Budaya Organisasi; Kajian Tentang Organisasi, Media, Budaya, Ekonomi, Sosial, dan Politik, Penerbit, Diadit Media, Jakarta, 2006, hlm, 112.
[8]  Lely Arrianie, Komunikasi Politik; Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik, Penerbit, Widya Padjajaran, Bandung, 2010, hlm, 33.
[9] Dr. Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik : Antara Barat Dan Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm, 206.
[10] Ibid, hlm, 207

Tidak ada komentar:

Posting Komentar