Calon Perseorangan dalam Pilkada dan Kualitas Pemilukada
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
Calon Independen: Wajah Baru Demokrasi Di Indonesia
Mahkamah Konstitusi (MK)
menggebrak perpolitikan nasional dengan terobosan standing legal. Pada 23 Juli
2007, MK mengeluarkan keputusan dalam simpul yang tegas: halal bagi calon
independen ikut berlaga dalam kompetisi politik Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) secara langsung, di mana pun di persada Nusantara. Sebelum jatuhnya
keputusan ini, kita menemukan fakta bahwa Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menutup peluang tampilnya calon independen dalam Pilkada.
Misalnya
dalam pasal 59 ayat (1) UU No. 32/2004 terdapat klausul anti-calon independen:
“Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon
yang diusulkan secara berpasangan oleh Partai Politik atau gabungan Partai
Politik.” Inilah klausul yang menempatkan partai politik pada posisi determinan
bagi siapa pun untuk tampil sebagai kandidat dalam Pilkada. Kini, standing
legal telah menempatkan partai politik bukan lagi penentu tunggal kehadiran
figur-figur kandidat di arena pertarungan Pilkada.
Ini tentu
merupakan angin segar bagi wujud demokrasi di negara ini. Sebab, setiap calon
kemudian tidak harus melalui jalur Partai Politik (Parpol) untuk mencalonkan
maupun dicalonkan sebagai kandidat kepala daerah. Yang pasti, angin segar ini
membawa ruang tersendiri bagi kebuntuan pola pikir warga yang banyak menilai
bahwa calon kepala daerah dari Parpol sangat penuh dengan kepentingan politik
personal dan golongan an sich. Artinya, calon independen kemudian dianggap dan
dinilai lebih steril politik sektarian ketimbang calon dari parpol. Sebab,
calon independen tidak membawa aspirasi politik kerdil dan sempit yang
merugikan kepentingan warga di daerah.
Sementara
calon dari parpol sangat sarat kepentingan pihak-pihak tertentu. Ada
kesepakatan-kesepakatan tertentu bahwa bila terpilih nantinya harus mengabdi
penuh terhadap Parpol yang mengusungnya. Ada politik “dagang sapi” bila Parpol
mencalonkan seorang kepala daerah. Ongkos politiknya sangat mahal. Sejumlah
fakta politik menjadi bukti bahwa calon kepala daerah berasal dari Parpol
sangat picik. Banyak perselingkuhan politik antara calon terkait dengan Parpol
yang mengusungnya. Calon lalu terikat kontrak politik dengan Parpol. Sedangkan
pengabdian demi warga di daerah dinomorduakan sedemikian rupa. Ini fenomena
yang cukup riskan bagi keselamatan warga di daerah.
Di
negara-negara lain, di Rusia dan Amerika Serikat misalnya, yang menerapkan
sistem multipartai pun ada calon independen. Munculnya calon independen dalam
Pilkada tentu bakal memberikan ruang apresiasi kepada rakyat untuk menentukan
pilihan politiknya, terutama dalam seleksi kepemimpinan nasional. Rakyat punya
pilihan yang beragam, baik pilihan dari unsur partai maupun pilihan yang
non-partai.
Dengan
demikian, diharapkan tidak ada distorsi menyangkut hasil atau out-put dari proses pemilihan. Dengan
adanya calon independent, berarti dalam pemilihan pemimpin rakyat tidak lagi
didorong untuk memilih “kucing dalam karung”. Figur yang memenangkan pemilihan
diharapkan sungguh merupakan figur yang punya basis kuat di masyarakat,
memiliki idealisme dan keberanian untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Oleh sebab
itu, apa yang digagas-lahirkan MK ini cukup bertujuan konstruktif guna
membangun bangunan demokrasi sejati. Artinya, setiap warga negara di daerah pun
punya hak sama untuk mencalonkan diri maupun dicalonkan. Sepanjang memiliki
kemampuan, integritas, serta dipercaya publik, dan sejumlah kelebihan lainnya,
maka ia pun dipersilakan maju sebagai calon kepala daerah. Dengan begitu,
keadilan hukum pun berpihak kepada semua warga negara tanpa terkecuali.
Sehingga ini lalu menciptakan atmosfir politik yang lebih sehat dan dinamis.
Dalam konteks ini, ada satu bentuk kesehatan politik dan perpolitikan yang
tidak menutup ruang orang lain untuk mencalonkan maupun dicalonkan sebagai
kepala daerah, walaupun tidak memiliki basis Parpol.
Maka dari
itu, keputusan MK harus dihormati oleh penyelenggara negara. Dalam kaitan ini,
pemerintah dan DPR harus segera membuat undang-undangnya, sehingga mempermudah
dan sekaligus memperjelas bagaimana pelaksanaannya nanti.
Elite Parpol Tak Perlu Paranoid
Diperbolehkannya calon
independen untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, sudah jelas
menggerogoti hak monopoli Partai Politik. Sebab, kepentingannya terganggu.
Lebih terganggu lagi karena ada bukti calon kepala daerah dari Partai Politik
keok, tidak dipilih rakyat, dikalahkan calon independen. Itulah yang terjadi di
Aceh.
Di
kalangan Partai Politik, telah berkembang gagasan bahwa calon independen yang
diajukan dalam Pilkada harus didukung 7%-15% dari jumlah penduduk yang
mempunyai hak pilih di suatu daerah. Berapa persisnya, bisa menjadi perdebatan
panjang tanpa pernah mencapai kata putus.
Undang-undang
memberikan sedikitnya dua acuan, yaitu 3% dan 15%. Acuan pertama adalah ambang
batas Partai Politik untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, yaitu partai
harus minimal memperoleh 3% jumlah kursi di DPR.
Angka 3%
juga merupakan persyaratan bagi calon independen untuk mengikuti Pilkada di
Aceh. Jika jumlah ini yang dipakai, ada keadilan untuk semua daerah. Juga ada
persamaan, ada uniformitas persyaratan dari Sabang hingga Merauke.
Akan
tetapi, jumlah 3% itu ditentang Partai Politik. Partai mengambil angka 15%,
sebab Partai Politik atau gabungan dapat mencalonkan kepala daerah apabila
memiliki sekurang-kurangnya 15% dari jumlah DPRD atau 15% dari akumulasi
perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Partai
berpandangan, adalah tidak adil calon independen cukup didukung 3%, sedangkan
partai atau gabungan partai harus 15%. Tetapi, inilah keadilan yang juga tidak
adil. Ini lantaran partai bisa gabungan, tidak harus sendirian, sehingga lima
partai guram dengan masing-masing 3% dapat mengajukan calon. Calon independen terang tidak
memiliki peluang gabungan itu. Jadi, menyamakan persyaratan dukungan calon
independen dengan partai harus dengan syarat yang sama 15%, justru tidak adil
terhadap calon independen.
Partai
memang hidup dengan subyektivitas yang kuat, jika kepentingannya terganggu.
Contohnya, partai tidak setuju jika ambang batas dinaikkan dari 3% menjadi 5%,
apalagi menjadi 15%. Partai juga pasti tidak setuju jika persyaratan gabungan
partai dalam pencalonan kepala daerah dihapuskan.
Tebalnya
kepentingan itulah yang menyebabkan partai hidup dalam standar ganda, bahkan
hipokrit. Parpol terkesan semakin tidak simpatik di mata rakyat. Inilah pula
yang menyebabkan partai kehilangan kepercayaan publik Sejauh ini, Parpol terasa
menjauh dari fungsinya untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat, pendidikan
politik rakyat, serta alat untuk mengagregasikan berbagai kepentingan yang
berasal dari aneka kepentingan dan tujuan. Parpol bahkan kosong dari ideologi
pembelaan terhadap rakyat serta mengusung kepentingan sempit para aktor yang
terlibat di dalamnya. Banyak elite Partai Politik hanya sibuk mengurusi
kepentingannya sendiri dan kelompoknya, dan cenderung hanya mempolitisasi
rakyat.
Bukan saja
Parpol lantas gagal menjalankan misi profetik pendidikan politik. Lebih tragis
lagi, Parpol memainkan peran broker untuk siapa pun yang hendak tampil sebagai
kandidat dalam Pilkada. Dari sini kemudian dikenal luas “mahar politik”.
Seseorang bisa diusung menjadi kandidat Gubernur, Bupati atau Wali Kota oleh
sebuah atau beberapa Parpol sejauh mampu membayar “mahar politik”. Inilah
oligarki Parpol dalam maknanya yang buruk. Sehingga, dengan diperbolehkannya
calon independen ikut pilkada, banyak orang menyambut dengan gembira, sekaligus
menjadi oase di tengah padang pasir yang gersang. Dalam arti, kehadiran calon
independen sama sekali bukan dimaksudkan untuk mematikan Partai Politik.
Justru, itu untuk memaksa semua sistem bergerak ke jalur yang benar, termasuk
pelaksanaan fungsi Parpol.
Oleh
karena itu, kalangan Parpol tidak perlu menjadi under-estimate, bahkan
paranoid, menanggapi munculnya calon independen ini. Yang terbaik ialah, partai
menunjukkan jiwa besar berani bertarung dengan calon independen, dan tidak
menjadikan adanya calon independen sebagai hantu yang menakutkan bagi
eksistensi Parpol. Kehadiran calon independen seharusnya menjadi tantangan bagi
Parpol untuk memperbaiki diri sekaligus melakukan konsolidasi secara lebih baik
lagi. Elite-elite Parpol harus terus meningkatkan kapabilitasnya dan menjaga
kredibilitasnya sebagai pimpinan Parpol. Upaya pembenahan di internal mesti
senantiasa dilakukan. Itu jika Partai Politik tidak ingin ditinggalkan
konstituennya.
Melahirkan Pemimpin Yang Amanah
Tentu, diperbolehkannya calon
independen ikut dalam pilkada, sedikit banyak masih menyisakan kekhawatiran di
kalangan publik, jangan sampai calon-calon independen yang bakal muncul
nantinya adalah sosok yang tidak layak jadi pemimpin, yang tidak sanggup memenuhi harapan guna memajukan
daerah. Kekhawatiran tersebut dilatarbelakangi oleh sejumlah asumsi dan alasan.
Pertama, ketika ruang calon independen sudah terbuka lebar, siapa pun yang
memiliki banyak uang disadari maupun tidak akan unjuk gigi untuk mencalonkan dirinya
sebagai calon kepala daerah, kendati track record-nya di publik belum, dan
tidak teruji. Dengan kata lain, platform calon tersebut masih abu-abu, seperti
visi, dan misinya demi masa depan di daerah. Yang jelas, dengan modal uang yang
banyak tersebut, syarat-syarat administrasi saat pencalonan akan mudah
dilaluinya dengan sedemikian lancar.
Kedua,
harus diakui bahwa pendidikan di negeri ini masih tergolong rendah. Hanya
orang-orang tertentu yang mempunyai kelebihan dalam dunia kepemimpinan
(leadership). Bila yang terjadi, setiap orang berhak mencalonkan dan menjadi
pemimpin, namun sebagian besar dari mereka sangat ironis latar belakang
pendidikan dan leadership-nya, maka daerah yang dipimpin bakal menjadi tumbal
kepentingan orang tersebut. Ini lebih berbahaya dan membahayakan daerah
daripada seorang kepala daerah dari Parpol. Artinya, bila dia berasal dari
Parpol, maka Parpol akan mengontrolnya dengan sedemikian ketat. Sedangkan bila
calon independen yang terpilih sebagai kepala daerah nantinya, maka tidak ada
yang mengawasinya. Sebab dia berangkat sendiri ke kursi nomor 1 di daerah,
tanpa back-up Parpol. Tentu kita tidak menghendaki itu terjadi, karena bencana
politiknya ke daerah akan lebih besar.
Untuk itu,
benar yang dianjurkan oleh MK tentang syarat yang tidak terlalu ringan bagi
calon independen. Namun, sudah tentu syarat itu tidak mengada-ada, yang
menghilangkan peluang lolosnya calon independen, serta tidak logis. Pasangan
calon independen yang mendaftar mesti diseleksi dengan suatu metode khusus oleh
KPUD. Seleksi dalam penentuan calon independen harus sesuai dengan aturan yang
berlaku, agar tepat sasaran. Harus ada kriteria tertentu dan dianggap pantas,
walaupun semua warga memiliki hak untuk dipilih.
Dengan
begitu, hasil dari seleksi tersebut bakal memunculkan calon independen yang
memiliki kapasitas dan moral, yang sanggup menjadi pemimpin yang amanah serta
mempunyai komitmen tinggi untuk memajukan sekaligus menyejahterakan rakyat di
daerah yang dipimpinnya. Dan tentu, siap bersaing dengan calon yang diusung
oleh Parpol.
Namun juga
yang tidak boleh dilupakan, dan menjadi syarat vital bagi harapan lahirnya
pemimpin yang kredibel dan akuntabel, tentu harus melalui proses-proses yang
bertumpu pada sandaran moral dan etika. Tidak mungkin pemimpin yang baik akan
dilahirkan oleh proses yang semenjak awal sudah jahat. Maka, calon pemimpin,
baik yang melalui partai maupun non-partai, mesti menjalani proses serta kaidah
yang benar, yang tidak melanggar moral dan etika.
Persaingan
yang ketat dan tajam untuk memenangi pemilihan, kerap memunculkan kekhawatiran
publik terhadap perilaku curang para calon. Perilaku yang curang itu baik
dilakukan lewat politik uang, negative campaign, maupun lewat berbagai cara
yang melanggar peraturan pemilihan, yang tergolong political corruption. Korupsi ini terbersit dua keinginan yang
hendak diraih, yaitu materi dan kekuasaan. Adalah dua bidang yang sangat
menggiurkan dan memabukkan, sehingga para calon pemimpin yang ambisius kerap
melakukan permainan politik dengan menghalalkan segala cara, ala Nicolo
Machiavelli yang berpandangan bahwa antara politik dan moral tak ada kaitan.
Karena
itu, sudah saatnya dilakukan kontrol, kritik, bahkan penelusuran secara tajam
dan menyeluruh terhadap berbagai penyimpangan dalam Pilkada. Tujuannya hanya
satu, yaitu untuk mendapatkan suatu legitimasi etis bagi pemimpin yang bakal
terpilih nantinya, di samping juga legitimasi sosiologis. Bagi seorang
pemimpin, dalam mengemban tugas dan amanah yang diberikan rakyat, harus
memiliki kedua legitimasi tersebut.
Legitimasi
etis adalah kekuasaan atau kepemimpinan dianggap (legitimated) ketika kekuasaan
atau kepemimpinan tersebut didapatkan dengan cara etis dan bermoral. Cacat
etika dan moral bagi seorang pemimpin akan sangat mengganggu karya dan akan merusak
harga diri dan martabat kepemimpinannya. Sedangkan legitimasi sosiologis adalah suatu kekuasaan atau kepemimpinan
yang dianggap sah dan legitimated kalau mayoritas rakyat mendukung dan
memilihnya. Bila seorang pemimpin kurang mendapat dukungan rakyat, kekuasaan
yang ada akan memberi peluang terjadinya gangguan-gangguan politik.
Dalam
konteks Pilkada, kekuasaan hasil Pilkada akan memiliki legitimasi etis kalau
sang calon tidak melakukan kecurangan pada saat kampanye dan pada saat
pemilihan berlangsung. Legitimasi etis akan sangat menentukan perolehan
legitimasi sosiologis. Dan, kedua legitimasi ini hanya dapat diraih lewat
penciptaan kemungkinan-kemungkinan yang seluas-luasnya bagi rakyat untuk
mengekspresikan pilihan-pilihan politiknya secara jujur, transparan, rahasia,
bebas dan adil.
Dengan
begitu, tidak peduli apakah calon tersebut dari partai maupun non-partai, harus
memenuhi syarat-syarat di atas, untuk bisa benar-benar melahirkan pemimpin yang
amanah, yang berjuang semata-mata demi kepentingan rakyat banyak. Dan bukan
mustahil, pemimpin yang benar-benar amanah tersebut justru lahir dari calon
independen, yang sementara ini masih disangsikan kualitas serta kredibilitasnya
oleh kalangan Parpol.
_____________________________________
Keterangan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Jakarta, April 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar