Senin, 21 November 2016

Agenda Pilkada Langsung Berkualitas

Calon Perseorangan dalam Pilkada dan Kualitas Pemilukada
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



Calon Independen: Wajah Baru Demokrasi Di Indonesia
Mahkamah Konstitusi (MK) menggebrak perpolitikan nasional dengan terobosan standing legal. Pada 23 Juli 2007, MK mengeluarkan keputusan dalam simpul yang tegas: halal bagi calon independen ikut berlaga dalam kompetisi politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, di mana pun di persada Nusantara. Sebelum jatuhnya keputusan ini, kita menemukan fakta bahwa Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menutup peluang tampilnya calon independen dalam Pilkada.
Misalnya dalam pasal 59 ayat (1) UU No. 32/2004 terdapat klausul anti-calon independen: “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik.” Inilah klausul yang menempatkan partai politik pada posisi determinan bagi siapa pun untuk tampil sebagai kandidat dalam Pilkada. Kini, standing legal telah menempatkan partai politik bukan lagi penentu tunggal kehadiran figur-figur kandidat di arena pertarungan Pilkada.
Ini tentu merupakan angin segar bagi wujud demokrasi di negara ini. Sebab, setiap calon kemudian tidak harus melalui jalur Partai Politik (Parpol) untuk mencalonkan maupun dicalonkan sebagai kandidat kepala daerah. Yang pasti, angin segar ini membawa ruang tersendiri bagi kebuntuan pola pikir warga yang banyak menilai bahwa calon kepala daerah dari Parpol sangat penuh dengan kepentingan politik personal dan golongan an sich. Artinya, calon independen kemudian dianggap dan dinilai lebih steril politik sektarian ketimbang calon dari parpol. Sebab, calon independen tidak membawa aspirasi politik kerdil dan sempit yang merugikan kepentingan warga di daerah.
Sementara calon dari parpol sangat sarat kepentingan pihak-pihak tertentu. Ada kesepakatan-kesepakatan tertentu bahwa bila terpilih nantinya harus mengabdi penuh terhadap Parpol yang mengusungnya. Ada politik “dagang sapi” bila Parpol mencalonkan seorang kepala daerah. Ongkos politiknya sangat mahal. Sejumlah fakta politik menjadi bukti bahwa calon kepala daerah berasal dari Parpol sangat picik. Banyak perselingkuhan politik antara calon terkait dengan Parpol yang mengusungnya. Calon lalu terikat kontrak politik dengan Parpol. Sedangkan pengabdian demi warga di daerah dinomorduakan sedemikian rupa. Ini fenomena yang cukup riskan bagi keselamatan warga di daerah.
Di negara-negara lain, di Rusia dan Amerika Serikat misalnya, yang menerapkan sistem multipartai pun ada calon independen. Munculnya calon independen dalam Pilkada tentu bakal memberikan ruang apresiasi kepada rakyat untuk menentukan pilihan politiknya, terutama dalam seleksi kepemimpinan nasional. Rakyat punya pilihan yang beragam, baik pilihan dari unsur partai maupun pilihan yang non-partai.
Dengan demikian, diharapkan tidak ada distorsi menyangkut hasil atau out-put dari proses pemilihan. Dengan adanya calon independent, berarti dalam pemilihan pemimpin rakyat tidak lagi didorong untuk memilih “kucing dalam karung”. Figur yang memenangkan pemilihan diharapkan sungguh merupakan figur yang punya basis kuat di masyarakat, memiliki idealisme dan keberanian untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Oleh sebab itu, apa yang digagas-lahirkan MK ini cukup bertujuan konstruktif guna membangun bangunan demokrasi sejati. Artinya, setiap warga negara di daerah pun punya hak sama untuk mencalonkan diri maupun dicalonkan. Sepanjang memiliki kemampuan, integritas, serta dipercaya publik, dan sejumlah kelebihan lainnya, maka ia pun dipersilakan maju sebagai calon kepala daerah. Dengan begitu, keadilan hukum pun berpihak kepada semua warga negara tanpa terkecuali. Sehingga ini lalu menciptakan atmosfir politik yang lebih sehat dan dinamis. Dalam konteks ini, ada satu bentuk kesehatan politik dan perpolitikan yang tidak menutup ruang orang lain untuk mencalonkan maupun dicalonkan sebagai kepala daerah, walaupun tidak memiliki basis Parpol.
Maka dari itu, keputusan MK harus dihormati oleh penyelenggara negara. Dalam kaitan ini, pemerintah dan DPR harus segera membuat undang-undangnya, sehingga mempermudah dan sekaligus memperjelas bagaimana pelaksanaannya nanti.

Elite Parpol Tak Perlu Paranoid
Diperbolehkannya calon independen untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, sudah jelas menggerogoti hak monopoli Partai Politik. Sebab, kepentingannya terganggu. Lebih terganggu lagi karena ada bukti calon kepala daerah dari Partai Politik keok, tidak dipilih rakyat, dikalahkan calon independen. Itulah yang terjadi di Aceh.
Di kalangan Partai Politik, telah berkembang gagasan bahwa calon independen yang diajukan dalam Pilkada harus didukung 7%-15% dari jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih di suatu daerah. Berapa persisnya, bisa menjadi perdebatan panjang tanpa pernah mencapai kata putus.
Undang-undang memberikan sedikitnya dua acuan, yaitu 3% dan 15%. Acuan pertama adalah ambang batas Partai Politik untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, yaitu partai harus minimal memperoleh 3% jumlah kursi di DPR.
Angka 3% juga merupakan persyaratan bagi calon independen untuk mengikuti Pilkada di Aceh. Jika jumlah ini yang dipakai, ada keadilan untuk semua daerah. Juga ada persamaan, ada uniformitas persyaratan dari Sabang hingga Merauke.
Akan tetapi, jumlah 3% itu ditentang Partai Politik. Partai mengambil angka 15%, sebab Partai Politik atau gabungan dapat mencalonkan kepala daerah apabila memiliki sekurang-kurangnya 15% dari jumlah DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Partai berpandangan, adalah tidak adil calon independen cukup didukung 3%, sedangkan partai atau gabungan partai harus 15%. Tetapi, inilah keadilan yang juga tidak adil. Ini lantaran partai bisa gabungan, tidak harus sendirian, sehingga lima partai guram dengan masing-masing 3% dapat mengajukan calon. Calon independen terang tidak memiliki peluang gabungan itu. Jadi, menyamakan persyaratan dukungan calon independen dengan partai harus dengan syarat yang sama 15%, justru tidak adil terhadap calon independen.
Partai memang hidup dengan subyektivitas yang kuat, jika kepentingannya terganggu. Contohnya, partai tidak setuju jika ambang batas dinaikkan dari 3% menjadi 5%, apalagi menjadi 15%. Partai juga pasti tidak setuju jika persyaratan gabungan partai dalam pencalonan kepala daerah dihapuskan.
Tebalnya kepentingan itulah yang menyebabkan partai hidup dalam standar ganda, bahkan hipokrit. Parpol terkesan semakin tidak simpatik di mata rakyat. Inilah pula yang menyebabkan partai kehilangan kepercayaan publik Sejauh ini, Parpol terasa menjauh dari fungsinya untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat, pendidikan politik rakyat, serta alat untuk mengagregasikan berbagai kepentingan yang berasal dari aneka kepentingan dan tujuan. Parpol bahkan kosong dari ideologi pembelaan terhadap rakyat serta mengusung kepentingan sempit para aktor yang terlibat di dalamnya. Banyak elite Partai Politik hanya sibuk mengurusi kepentingannya sendiri dan kelompoknya, dan cenderung hanya mempolitisasi rakyat.
Bukan saja Parpol lantas gagal menjalankan misi profetik pendidikan politik. Lebih tragis lagi, Parpol memainkan peran broker untuk siapa pun yang hendak tampil sebagai kandidat dalam Pilkada. Dari sini kemudian dikenal luas “mahar politik”. Seseorang bisa diusung menjadi kandidat Gubernur, Bupati atau Wali Kota oleh sebuah atau beberapa Parpol sejauh mampu membayar “mahar politik”. Inilah oligarki Parpol dalam maknanya yang buruk. Sehingga, dengan diperbolehkannya calon independen ikut pilkada, banyak orang menyambut dengan gembira, sekaligus menjadi oase di tengah padang pasir yang gersang. Dalam arti, kehadiran calon independen sama sekali bukan dimaksudkan untuk mematikan Partai Politik. Justru, itu untuk memaksa semua sistem bergerak ke jalur yang benar, termasuk pelaksanaan fungsi Parpol.
Oleh karena itu, kalangan Parpol tidak perlu menjadi under-estimate, bahkan paranoid, menanggapi munculnya calon independen ini. Yang terbaik ialah, partai menunjukkan jiwa besar berani bertarung dengan calon independen, dan tidak menjadikan adanya calon independen sebagai hantu yang menakutkan bagi eksistensi Parpol. Kehadiran calon independen seharusnya menjadi tantangan bagi Parpol untuk memperbaiki diri sekaligus melakukan konsolidasi secara lebih baik lagi. Elite-elite Parpol harus terus meningkatkan kapabilitasnya dan menjaga kredibilitasnya sebagai pimpinan Parpol. Upaya pembenahan di internal mesti senantiasa dilakukan. Itu jika Partai Politik tidak ingin ditinggalkan konstituennya.

Melahirkan Pemimpin Yang Amanah
Tentu, diperbolehkannya calon independen ikut dalam pilkada, sedikit banyak masih menyisakan kekhawatiran di kalangan publik, jangan sampai calon-calon independen yang bakal muncul nantinya adalah sosok yang tidak layak jadi pemimpin, yang tidak  sanggup memenuhi harapan guna memajukan daerah. Kekhawatiran tersebut dilatarbelakangi oleh sejumlah asumsi dan alasan. Pertama, ketika ruang calon independen sudah terbuka lebar, siapa pun yang memiliki banyak uang disadari maupun tidak akan unjuk gigi untuk mencalonkan dirinya sebagai calon kepala daerah, kendati track record-nya di publik belum, dan tidak teruji. Dengan kata lain, platform calon tersebut masih abu-abu, seperti visi, dan misinya demi masa depan di daerah. Yang jelas, dengan modal uang yang banyak tersebut, syarat-syarat administrasi saat pencalonan akan mudah dilaluinya dengan sedemikian lancar.
Kedua, harus diakui bahwa pendidikan di negeri ini masih tergolong rendah. Hanya orang-orang tertentu yang mempunyai kelebihan dalam dunia kepemimpinan (leadership). Bila yang terjadi, setiap orang berhak mencalonkan dan menjadi pemimpin, namun sebagian besar dari mereka sangat ironis latar belakang pendidikan dan leadership-nya, maka daerah yang dipimpin bakal menjadi tumbal kepentingan orang tersebut. Ini lebih berbahaya dan membahayakan daerah daripada seorang kepala daerah dari Parpol. Artinya, bila dia berasal dari Parpol, maka Parpol akan mengontrolnya dengan sedemikian ketat. Sedangkan bila calon independen yang terpilih sebagai kepala daerah nantinya, maka tidak ada yang mengawasinya. Sebab dia berangkat sendiri ke kursi nomor 1 di daerah, tanpa back-up Parpol. Tentu kita tidak menghendaki itu terjadi, karena bencana politiknya ke daerah akan lebih besar.
Untuk itu, benar yang dianjurkan oleh MK tentang syarat yang tidak terlalu ringan bagi calon independen. Namun, sudah tentu syarat itu tidak mengada-ada, yang menghilangkan peluang lolosnya calon independen, serta tidak logis. Pasangan calon independen yang mendaftar mesti diseleksi dengan suatu metode khusus oleh KPUD. Seleksi dalam penentuan calon independen harus sesuai dengan aturan yang berlaku, agar tepat sasaran. Harus ada kriteria tertentu dan dianggap pantas, walaupun semua warga memiliki hak untuk dipilih.
Dengan begitu, hasil dari seleksi tersebut bakal memunculkan calon independen yang memiliki kapasitas dan moral, yang sanggup menjadi pemimpin yang amanah serta mempunyai komitmen tinggi untuk memajukan sekaligus menyejahterakan rakyat di daerah yang dipimpinnya. Dan tentu, siap bersaing dengan calon yang diusung oleh Parpol.
Namun juga yang tidak boleh dilupakan, dan menjadi syarat vital bagi harapan lahirnya pemimpin yang kredibel dan akuntabel, tentu harus melalui proses-proses yang bertumpu pada sandaran moral dan etika. Tidak mungkin pemimpin yang baik akan dilahirkan oleh proses yang semenjak awal sudah jahat. Maka, calon pemimpin, baik yang melalui partai maupun non-partai, mesti menjalani proses serta kaidah yang benar, yang tidak melanggar moral dan etika.
Persaingan yang ketat dan tajam untuk memenangi pemilihan, kerap memunculkan kekhawatiran publik terhadap perilaku curang para calon. Perilaku yang curang itu baik dilakukan lewat politik uang, negative campaign, maupun lewat berbagai cara yang melanggar peraturan pemilihan, yang tergolong political corruption. Korupsi ini terbersit dua keinginan yang hendak diraih, yaitu materi dan kekuasaan. Adalah dua bidang yang sangat menggiurkan dan memabukkan, sehingga para calon pemimpin yang ambisius kerap melakukan permainan politik dengan menghalalkan segala cara, ala Nicolo Machiavelli yang berpandangan bahwa antara politik dan moral tak ada kaitan.
Karena itu, sudah saatnya dilakukan kontrol, kritik, bahkan penelusuran secara tajam dan menyeluruh terhadap berbagai penyimpangan dalam Pilkada. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk mendapatkan suatu legitimasi etis bagi pemimpin yang bakal terpilih nantinya, di samping juga legitimasi sosiologis. Bagi seorang pemimpin, dalam mengemban tugas dan amanah yang diberikan rakyat, harus memiliki kedua legitimasi tersebut.
Legitimasi etis adalah kekuasaan atau kepemimpinan dianggap (legitimated) ketika kekuasaan atau kepemimpinan tersebut didapatkan dengan cara etis dan bermoral. Cacat etika dan moral bagi seorang pemimpin akan sangat mengganggu karya dan akan merusak harga diri dan martabat kepemimpinannya. Sedangkan legitimasi sosiologis adalah suatu kekuasaan atau kepemimpinan yang dianggap sah dan legitimated kalau mayoritas rakyat mendukung dan memilihnya. Bila seorang pemimpin kurang mendapat dukungan rakyat, kekuasaan yang ada akan memberi peluang terjadinya gangguan-gangguan politik.
Dalam konteks Pilkada, kekuasaan hasil Pilkada akan memiliki legitimasi etis kalau sang calon tidak melakukan kecurangan pada saat kampanye dan pada saat pemilihan berlangsung. Legitimasi etis akan sangat menentukan perolehan legitimasi sosiologis. Dan, kedua legitimasi ini hanya dapat diraih lewat penciptaan kemungkinan-kemungkinan yang seluas-luasnya bagi rakyat untuk mengekspresikan pilihan-pilihan politiknya secara jujur, transparan, rahasia, bebas dan adil.
Dengan begitu, tidak peduli apakah calon tersebut dari partai maupun non-partai, harus memenuhi syarat-syarat di atas, untuk bisa benar-benar melahirkan pemimpin yang amanah, yang berjuang semata-mata demi kepentingan rakyat banyak. Dan bukan mustahil, pemimpin yang benar-benar amanah tersebut justru lahir dari calon independen, yang sementara ini masih disangsikan kualitas serta kredibilitasnya oleh kalangan Parpol.

                        _____________________________________

Keterangan: Arsip Tulisan Artikel Lepas

Jakarta, April 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar