Ambivalensi Nasionalisme Dan Korupsi
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga
Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
Tradisi peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia setiap
tanggal 17 Agustus dari tahun ke tahun praktis layaknya rutinitas tahunan
mengenang peristiwa kemerdekaan RI. Semua aktivitas baik yang digerakan
pemerintah maupun masyarakat sipil tidak ada kesan maupun pesan-pesan filosofis
yang mampu membangkitkan nasionalisme kebangsaan. Bahkan praktis tema-tema
berbau nasionalisme lenyap dengan isu praktek korupsi beserta model penanganan.
Hiruk pikuk praktik korupsi terus
mengemuka dan kesulitan negara mencari format penanganan yang efektif menjadi
problema pemberantasan korupsi itu sendiri. Perubahan sistem politik disatu
sisi terus dilakukan tetapi pada sisi lain, perubahan sistem politik tidak
disejajarkan dengan lajunya praktek korupsi yang merupakan bahaya laten yang
sangat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa, dan bernegara. Korupsi menjamur
di semua instansi pemerintah. Kementerian-kementerian negara seakan-akan jadi
sarang bagi para penjahat politik untuk masuk dan mengoperasikan sistem
koruptif tanpa mengenal mana yang semestinya jadi hak dan bukan.
Perubahan sistem hukum dan
pertumbuhan praktek korupsi di Indonesia bagaikan dua kutub yang berdimensi
simbiosis mutualisme. Reformasi digerakan tangan-tangan jahil yang tidak
memiliki kesadaran keberasamaan dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara.
Kejahatan korupsi beserta model penanganan suka tidak suka terus meramaikan
polemik dan kenyataan sangat mengancam nasionalisme. Para koruptor yang
mengambil uang rakyat, menghisap keringat warga, merompak hak masyarakat secara
sistemtis dan terstruktur tidak mempunyai perasaan sosial terhadap masa depan
bangsa. Sangat sulit kita berikan harapan masa depan generasi bangsa kepada
para koruptor ini.
Fakta terkini memperlihatkan, praktek
kejahatan korupsi menempatkan Indonesia dalam daftar negara kelima terkorup di
dunia. Indonesia menempati urutan empat besar dari 146 negara menurut data dari
berbagai sumber yang melakukan survei termasuk Indonesia Corruption Watch
(ICW), dan lembaga Survey
BPI atau Bribe Payer Index 2011 Transparency International.
Indonesia berada pada posisi
kelima, posisi pertama, Azerbaijan, kedua, bangladesh, ketiga,
Bolivia, keempat, Kamerun, dan kelima Indonesia, sedangkan posisi
keenam ditempati, Irak, dan disusul Kenya, Nigeria, pakistan, dan Rusia.
Sungguh sangat menyedihkan, negara demokrasi ketiga di dunia dan mayoritas
berpenduduk muslim terbesar ini menempati peringkat pertama sebagai negara
terkorup di kawasan Asia-Pasifik.
Berbagai dampak dari praktek
kejahatan korupsi telah mengakibatkan krisis nasionalisme kebangsaan. Sadar
atau tidak korupsi yang menggurita mengancam nilai-nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Semangat nasionalisme kebangsaan selalu kita
dengung-dengungkan tetapi pada tataran praktek nasionalisme seakan-akan menjadi
nyanyian untuk mengalihkan isu dan pembenaran atas tindakan-tindakan koruptif.
Korupsi bekerja secara kreatif dan
aktif di setiap instansi pemerintahan daerah dan pusat. Umumnya, program pembangunan
dijadikan politik legalistik sekaligus sebagai pintu masuk para tangan-tangan
jahil yang tidak memiliki kesadaran akan hak orang lain. Tidak jarang dalam
praktek seringkali menunjukan betapa mahir dan inovatif para pelaku korupsi
memainkan peran politik.
Korupsi mengikis nilai-nilai
kemanusiaan universal dalam kehidupan masyarakat. Semangat kerjasama, gotong
royong untuk kebaikan diubah menjadi konfigurasi guna memenuhi hasrat
kepentingan sesaat. Hedonisme dan kaapitalisme modern menjadi dewa para
koruptor zaman sekarang. Koruptor menghambakan diri pada nafsu dan hasrat
kekuasaan dunia serta kehidupan serba glamor telah menyebabkan mereka tenggelam
dalam kegemerlapan fatah morgana. Dalam kondisi seperti ini, tidak berlaku
nasionalisme, tidak berlaku lagi faham sense of responsibility antar
sesaama.
Nasionalisme
Pendiri republik atau the founding fathers
membangkitkan nasionalisme kebangsaan jauh sebelum Indonesia merdeka 17 Agustus
1945. Awal abad 20 didirikannya Boedi Oetomo (1908), gerakan Wahidin
Soedirohoesodo, Soetomo, HOS Tjokroaminoto, hingga generasi Soekarno, Hatta,
Sjahrir, SM Kartosoewirjo, Tan Malaka. Rasa nasionalisme juga muncul tahun
1928. Sebuah peristiwa monumental yang menyatukan pemuda Indonesia dalam wadah
Sumpah Pemuda.
Dalam buku, Di Bawah Bendera
Revolusi, Soekarno menegaskan, nasionalisme sebagai upaya menjalin rasa ingin
bersatu, perasaan, perangai, nasib, serta persatuan antara orang dan tempat.
Ensiklopedia Britanica mendefenisikan, nasionalisme adalah jiwa yang menempatkan
induvidu memiliki keduniawian hingga menjadikan liberalisme dan kapitalisme
sebagai dimensi tertinggi dalam praktek bernegara. Begitu juga dalam International
Encyclopedia of Social Science, nasionalisme sebagai suatu ikatan politik
yang mengikat satu kesatuan dari seluruh elemen masyrakat yang plural, modern
sekaligus legitimasi terhadap tuntutan kekuasaan, atau istilah Huscer dan
Stevenson, rasa cinta secara alamiah sehingga setiap manusia menaruh rasa cinta
pada tanah air di mana ia dilahirkan. Senada dengan itu, Hans mengemukakan,
nasionalisme sebagai cita-cita akan suatu keadaan dengan bersandarkan pada
gejala jiwa baik induvidu maupun struktur sosial dan mempunyai makna tertentu
dari suatu entitas atau institusi negara yang merupakan sumber inspirasi budaya
demi untuk memberikan kesejahteraan segenap warga bangsa.
Akibat laju cepatnya praktek
korupsi tanpa dikendalikan dengan efektif, eganda penuntasan pementasan
kemiskinan jadi terbengkalai, bahkan titik rawan pemiskinan masyarakat di
daerah perbatasan terus menggurita dan dengan demikian gejolak disintegrasi
bangsa dan realitas ini terasa masih sangat potensial. Kegagalan negara memberi
jaminan keadilan, dan kesejahteraan bagi setiap warga akan mengikis fondasi
kebhinekaan kita. Kebhinekaan terus dirongrong politisi koruptor yang tak kenal
puas raih apa yang telah didapatkannya.
Indonesia tercinta yang telah
menjadi sarang persembuyian empuk bagi para koruptor dalam mengoperasikan
segala bentuk kegiatan berbau korupsi harus segera dibasmi. Pembasmian
sarang-sarang korupsi hendaknya dilakukan secara proporsional. Titik-titik
rawan yang jadi persembuyian sekaligus medan operasi sarang koruptor harus
dideteksi secara akurat oleh aparat penegak hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) harus bekerja keras, dan dalam kondisi tertentu jika perlu melampau
kreativitas wewenang sepanjang untuk pemberantasan kejahatan korupsi, dan
menegakan kebaikan.
Dan tak kalah penting, pencegahan
praktek korupsi, sejatinya pemerintah dan DPR mendorong efektivitas penerapan
kode etik penegakan hukum di semua instansi penegak hukum. Di negara modern
manapun termasuk Amerika serikat mempunyai institusi tersendiri yang ditugaskan
konstitusi untuk mengawas semua kebijkan pengelolaan negara. Amerika Serikat
tahun 1978 membentuk lembaga etika pemerintahan yang diberi nama Office of
Government Ethics-OGE) yang bertujuan melakukan pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan. Alhasil, lembaga etika pemerintahan ini berjalan cukup efektif.
KPK harus mencegah setiap
gejala-gejala penyimpangan penyelenggaraan negara baik di lembaga legislatif,
eksekutif, dan yudikatif secara optimal. Agenda pemberantasan korupsi sejatinya
disinergikan dengan kesadaran budaya kebangsaan yang tulus dari setiap aparat
pengak hukum sehingga pemberantasan korupsi tidak diskriminatif. Siapapun di
mata hukum harus diperlakukan sama.
Pemerintahan yang bersih akan
terwujud apabila penegakan hukum yang efektif bisa dilakukan. Dan dengan
penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan rakyat Indonesia, maka akan muncul
rasa kebersamaan kebangsaan untuk memperkokoh nilai-nilai Pancasila dan UU 1945
di masyarakat. Kesadaran etik tentang multikulturalisme dan pluralitas sosial
kebangsaan menjadi pulih dan cepat atau lamban cita-cita nation and
character building yang dicanangkan the founding fathers kemerdekaan
RI akan bisa terwujudkan. Fungsi negara sebagai unity of order harus
memberikan keteladanan dalam bentuk self-motivated
action sebagai perwujudan nasionalisme
kebangsaan.
Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Pandeglang, 10 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar