Selasa, 01 November 2016

Edisi Anti Korupsi

Ambivalensi Nasionalisme Dan Korupsi

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)


Tradisi peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus dari tahun ke tahun praktis layaknya rutinitas tahunan mengenang peristiwa kemerdekaan RI. Semua aktivitas baik yang digerakan pemerintah maupun masyarakat sipil tidak ada kesan maupun pesan-pesan filosofis yang mampu membangkitkan nasionalisme kebangsaan. Bahkan praktis tema-tema berbau nasionalisme lenyap dengan isu praktek korupsi beserta model penanganan.
Hiruk pikuk praktik korupsi terus mengemuka dan kesulitan negara mencari format penanganan yang efektif menjadi problema pemberantasan korupsi itu sendiri. Perubahan sistem politik disatu sisi terus dilakukan tetapi pada sisi lain, perubahan sistem politik tidak disejajarkan dengan lajunya praktek korupsi yang merupakan bahaya laten yang sangat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa, dan bernegara. Korupsi menjamur di semua instansi pemerintah. Kementerian-kementerian negara seakan-akan jadi sarang bagi para penjahat politik untuk masuk dan mengoperasikan sistem koruptif tanpa mengenal mana yang semestinya jadi hak dan bukan.
Perubahan sistem hukum dan pertumbuhan praktek korupsi di Indonesia bagaikan dua kutub yang berdimensi simbiosis mutualisme. Reformasi digerakan tangan-tangan jahil yang tidak memiliki kesadaran keberasamaan dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara. Kejahatan korupsi beserta model penanganan suka tidak suka terus meramaikan polemik dan kenyataan sangat mengancam nasionalisme. Para koruptor yang mengambil uang rakyat, menghisap keringat warga, merompak hak masyarakat secara sistemtis dan terstruktur tidak mempunyai perasaan sosial terhadap masa depan bangsa. Sangat sulit kita berikan harapan masa depan generasi bangsa kepada para koruptor ini.
Fakta terkini memperlihatkan, praktek kejahatan korupsi menempatkan Indonesia dalam daftar negara kelima terkorup di dunia. Indonesia menempati urutan empat besar dari 146 negara menurut data dari berbagai sumber yang melakukan survei termasuk Indonesia Corruption Watch (ICW), dan lembaga Survey BPI atau Bribe Payer Index 2011 Transparency International.
Indonesia berada pada posisi kelima, posisi pertama, Azerbaijan, kedua, bangladesh, ketiga, Bolivia, keempat, Kamerun, dan kelima Indonesia, sedangkan posisi keenam ditempati, Irak, dan disusul Kenya, Nigeria, pakistan, dan Rusia. Sungguh sangat menyedihkan, negara demokrasi ketiga di dunia dan mayoritas berpenduduk muslim terbesar ini menempati peringkat pertama sebagai negara terkorup di kawasan Asia-Pasifik.
Berbagai dampak dari praktek kejahatan korupsi telah mengakibatkan krisis nasionalisme kebangsaan. Sadar atau tidak korupsi yang menggurita mengancam nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Semangat nasionalisme kebangsaan selalu kita dengung-dengungkan tetapi pada tataran praktek nasionalisme seakan-akan menjadi nyanyian untuk mengalihkan isu dan pembenaran atas tindakan-tindakan koruptif.
Korupsi bekerja secara kreatif dan aktif di setiap instansi pemerintahan daerah dan pusat. Umumnya, program pembangunan dijadikan politik legalistik sekaligus sebagai pintu masuk para tangan-tangan jahil yang tidak memiliki kesadaran akan hak orang lain. Tidak jarang dalam praktek seringkali menunjukan betapa mahir dan inovatif para pelaku korupsi memainkan peran politik.
Korupsi mengikis nilai-nilai kemanusiaan universal dalam kehidupan masyarakat. Semangat kerjasama, gotong royong untuk kebaikan diubah menjadi konfigurasi guna memenuhi hasrat kepentingan sesaat. Hedonisme dan kaapitalisme modern menjadi dewa para koruptor zaman sekarang. Koruptor menghambakan diri pada nafsu dan hasrat kekuasaan dunia serta kehidupan serba glamor telah menyebabkan mereka tenggelam dalam kegemerlapan fatah morgana. Dalam kondisi seperti ini, tidak berlaku nasionalisme, tidak berlaku lagi faham sense of responsibility antar sesaama.

Nasionalisme
Pendiri republik atau the founding fathers membangkitkan nasionalisme kebangsaan jauh sebelum Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Awal abad 20 didirikannya Boedi Oetomo (1908), gerakan Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo, HOS Tjokroaminoto, hingga generasi Soekarno, Hatta, Sjahrir, SM Kartosoewirjo, Tan Malaka. Rasa nasionalisme juga muncul tahun 1928. Sebuah peristiwa monumental yang menyatukan pemuda Indonesia dalam wadah Sumpah Pemuda.
Dalam buku, Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno menegaskan, nasionalisme sebagai upaya menjalin rasa ingin bersatu, perasaan, perangai, nasib, serta persatuan antara orang dan tempat. Ensiklopedia Britanica mendefenisikan, nasionalisme adalah jiwa yang menempatkan induvidu memiliki keduniawian hingga menjadikan liberalisme dan kapitalisme sebagai dimensi tertinggi dalam praktek bernegara. Begitu juga dalam International Encyclopedia of Social Science, nasionalisme sebagai suatu ikatan politik yang mengikat satu kesatuan dari seluruh elemen masyrakat yang plural, modern sekaligus legitimasi terhadap tuntutan kekuasaan, atau istilah Huscer dan Stevenson, rasa cinta secara alamiah sehingga setiap manusia menaruh rasa cinta pada tanah air di mana ia dilahirkan. Senada dengan itu, Hans mengemukakan, nasionalisme sebagai cita-cita akan suatu keadaan dengan bersandarkan pada gejala jiwa baik induvidu maupun struktur sosial dan mempunyai makna tertentu dari suatu entitas atau institusi negara yang merupakan sumber inspirasi budaya demi untuk memberikan kesejahteraan segenap warga bangsa.
Akibat laju cepatnya praktek korupsi tanpa dikendalikan dengan efektif, eganda penuntasan pementasan kemiskinan jadi terbengkalai, bahkan titik rawan pemiskinan masyarakat di daerah perbatasan terus menggurita dan dengan demikian gejolak disintegrasi bangsa dan realitas ini terasa masih sangat potensial. Kegagalan negara memberi jaminan keadilan, dan kesejahteraan bagi setiap warga akan mengikis fondasi kebhinekaan kita. Kebhinekaan terus dirongrong politisi koruptor yang tak kenal puas raih apa yang telah didapatkannya.
Indonesia tercinta yang telah menjadi sarang persembuyian empuk bagi para koruptor dalam mengoperasikan segala bentuk kegiatan berbau korupsi harus segera dibasmi. Pembasmian sarang-sarang korupsi hendaknya dilakukan secara proporsional. Titik-titik rawan yang jadi persembuyian sekaligus medan operasi sarang koruptor harus dideteksi secara akurat oleh aparat penegak hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bekerja keras, dan dalam kondisi tertentu jika perlu melampau kreativitas wewenang sepanjang untuk pemberantasan kejahatan korupsi, dan menegakan kebaikan.
Dan tak kalah penting, pencegahan praktek korupsi, sejatinya pemerintah dan DPR mendorong efektivitas penerapan kode etik penegakan hukum di semua instansi penegak hukum. Di negara modern manapun termasuk Amerika serikat mempunyai institusi tersendiri yang ditugaskan konstitusi untuk mengawas semua kebijkan pengelolaan negara. Amerika Serikat tahun 1978 membentuk lembaga etika pemerintahan yang diberi nama Office of Government Ethics-OGE) yang bertujuan melakukan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Alhasil, lembaga etika pemerintahan ini berjalan cukup efektif.
KPK harus mencegah setiap gejala-gejala penyimpangan penyelenggaraan negara baik di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara optimal. Agenda pemberantasan korupsi sejatinya disinergikan dengan kesadaran budaya kebangsaan yang tulus dari setiap aparat pengak hukum sehingga pemberantasan korupsi tidak diskriminatif. Siapapun di mata hukum harus diperlakukan sama.
Pemerintahan yang bersih akan terwujud apabila penegakan hukum yang efektif bisa dilakukan. Dan dengan penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan rakyat Indonesia, maka akan muncul rasa kebersamaan kebangsaan untuk memperkokoh nilai-nilai Pancasila dan UU 1945 di masyarakat. Kesadaran etik tentang multikulturalisme dan pluralitas sosial kebangsaan menjadi pulih dan cepat atau lamban cita-cita nation and character building yang dicanangkan the founding fathers kemerdekaan RI akan bisa terwujudkan. Fungsi negara sebagai unity of order harus memberikan keteladanan dalam bentuk self-motivated action sebagai perwujudan nasionalisme kebangsaan.

Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Pandeglang, 10 Agustus 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar