Jihad Melawan
Korupsi
Oleh: Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu)
Indonesia negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia menempati posisi atas sebagai negara yang
digolongkan dalam daftar 10 negara terkorup di dunia. Setidaknya data yang
diajukan Global Competitiveness Report 2011-2012, dikatakan korupsi adalah
salah satu faktor yang menghambat penyelenggaraan bisnis di Indonesia. Tahun
2011 nilai korupsi sebesar 15,4, dan nilai ini naik sebesar 11,2 poin dari
tahun 2007 yang hanya 4,2. Artinya dalam kurun waktu pemerintahan Kabinet
Indonesia Bersatu Jilid Dua mengalami peningkatan secara drastis.
Apabila kita telaah laporan survei yang
dipublikasikan, maka boleh jadi sampai pada suatu asumsi bahwa lembaga-lembaga
survei nasional maupun internasional hampir menemukan data yang sama. Indonesia
masuk catatan daftar negara 10 besar terkorup di dunia. Diantara ke-10 negara tersebut adalah, Azerbaijan,
Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia, Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, dan
Rusia. Dan yang lebih memprihatinkan lagi ialah Indonesia masuk dalam kategori
negara terkorup di kawasan Asia-Pasifik. Hasil survei Transpararency
International, memberikan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) bagi Indonesia
masuk dalam klasifikasi 3, dengan beranjak dari 0,2. Di kawasan Asia-Pasifik
Indonesia urutan pertama disusul Kamboja, Vietnam, Filipina, dan India.
Dalam konteks tersebut, jelas menimbulkan
persepsi publik yang kurang baik pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Boediono. Tidak ada kemajuan berarti dalam proses penegakan hukum
di Indonesia. Kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme terus meningkat di
berbagai instansi pemerintah.
Belum lagi tuntas penanganan korupsi
penyuapan anggota DPR tahun 2004-2009 yang melibatkan mantan Deputi Gubernur
Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom, dan korupsi di Bank Century yang
sangat kental aroma politiknya, muncul kasus korupsi Wisma Atlet dan Hambalang
yang melibatkan mantan bendahara umum partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan
kader partai Demokrat Angelina Sondakh,dan tidak menutupkemungkinan akan
terungkap terdakwa baru dalam kasus ini. Korupsi pengadaan Al-qur’an di
Kementerian Agama, dan yang paling mutakhir adalah korupsi simulator di Mabes
Polri yang melibatkan seorang Jenderal berbintang dua.
Ambigu
Komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia masih dimanipulasi dengan tema-tema kemanusiaan dan
keadilan. Nilai-nilai kemanusiaan (values waarden)yang diselundupkan secara sistematis oleh
para pengambil kebijakan di republik ini. Retorika pemberantasan korupsi atau
bersih-bersih hanyalah sebuah ilusi politik yang dinyanyikan penguasa pada
rakyat jelata yang memang secara pendidikan mudah diperdayakan. Dan setiap
penguasa cendrung melakukan tindakan penyimpangan, hal ini diperkuat dengan
ungkapan Lord Action, yang terkenal "power tends to corrupt,
and absolute power corrupt absolutely".
Pemerintahan presiden SBY-Boediono akan tetap
dilihat sebagai rezim yang ambigu. Rezim yang tidak konsisten dan tidak punya
ketegasan bahkan dalam kondisi tertentu dipandang kurang berwibawa karena
kurang berani mengambil keputusan. Antara kata dan perbuatan tidak terlalu
punya relevansi yang signifikan. Perang melawan korupsi, bahkan memproklamirkan
diri sebagai panglima pemberantasan korupsi hanyalah sebuah retorika politik
yang dibungkus dalam sambutan-sambutan resmi kenegaraan.
Isu tata kelola pemerintahan berbasis good governance dengan menjadikan hukum
sebagai panglima, dalam kenyataan praktek tidak berjalan optimal. Segmen
pemberantasan korupsi cenderung tebang pilih. Koruptor yang ditangkap pun
umumnya tidak memiliki relasi kekuasaan secara struktur sehingga rakyat melihat
apa yang didengung-dengungkan sebagai perang melawan korupsi hanyalah bagian
dari cara politik untuk mencari aman, termasuk dalam menyikapi protes rakyat
tentang ketidakadilan suatu kebijakan.
Ketidakkonsistenan aparat penegak hukum
menangani pemberantasan korupsi di negeri ini semakin mengakibatkan rakyat
tidak percaya pada pemerintahan presiden SBY-Boediono. Karena dibawah kendali
presidenlah akan seperti apa reformasi penegakan hukum itu efektif atau tidak.
Rezim yang hanya berkutak pada retorika politik dan menyibukan diri dengan
pencitraan ditengah masyarakat dan mengabaikan tuntutan publik atas penataan
reformasi penegakan hukum.
Korupsi menjadi menggurita dan begitu menguat
hingga di berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah. Praktek klientelisme
politik di Indonesia seakan-akan menjadi basis legitimasi praktek korupsi yang
sangat sulit dibendungi dengan sistem politik dan hukum apapun yang dibuat
negara. Lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang sesungguhnya
diharapkan menjadi instrumen strategis menata proses demokrasi yang bermartabat
pun tidak bisa diandalkan. Hegemoni politik dalam pembentukan undang-undang
begitu kental sehingga sangat sulit bagi kita untuk melakukan perubahan sistem
hukum yang lebih mengedepankan asas-asas imparsialitas dan mengetengahkan
moralitas kemanusiaan sosial dalam konteks perbaikan akhlak bangsa. Lembaga
eksekutif, yudikatif, dan legislatif justu semakin menyibukan diri dengan
agenda persiapan pemilu tahun 2014 sehingga bagaimana mungkin kita bisa
mengaharapkan perubahan penegakkan hukum.
Memerangi Korupsi
Dalam konteks membangun kembali kepercayaan
publik terhadap negara ditengah keterpurukan penegakkan hukum saat ini, yang
paling tepat adalah mengefektifkan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam menangani setiap perkara korupsi. Tidak bisa dihindari bahwa gebrakan KPK
membongkar praktek korupsi simulator di Mabes Polri merupakan pesan positif
yang mampu membangkitkan kembali harapan publik terhadap negara dalam menegakan
keadilan.
Apapun istilahnya, cicak versus buaya jilid
dua ini harus bisa mengembalikan public
trust terhadap negara. KPK sudah bertindak profesional sesuai amanat
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal
11 dan Pasal 50 ayat (3-4) yang secara implisit memerintahkan KPK melakukan
penyelidikan dan penyidikan sehingga dengan demikian, langkah Polri yang
memberi kesan seakan-akan membenturkan isu kasus simulator ini jelas sarat
muatan politis.
Alangkah bijak jika presiden SBY
mengintervensi kasus ini secara positif dengan menyerahkan penanganan dilakukan
KPK. Karena masyarakat jauh lebih percaya KPK daripada institusi penegak hukum
lain termasuk Polri. Tetapi sebaliknya, gebrakan KPK ini sebatas pengalihan isu
pemberantasan korupsi yang lebih besar lainnya, maka tentu kinerja KPK ini akan
sangat mengecewakan masyarakat. Karena KPK selama ini yang paling diandalkan
rakyat, sekurang-kurangnya dalam konteks menangkap hingga menahan dan
menjatuhkan hukuman bagi beberapa pelaku koruptor di tingkat pusat dan daerah.
Jeremy Pope dalam bukunya panduan
transparency Internationl 2002, mengatakan, langkah untuk membangun metode
penyelidikan dan pencegahan korupsi yang ampuh adalah membangun lembaga. Sistem
lembaga yang tentu berintegritas bahkan menurutnya sistem integritas merupakan
barisan paling depan. Kelembagaan pencegahan korupsi diisi oleh pegawai-pegawai
yang berintegritas tinggi. Lembaga yang mempunyai sistem kerja berbasis pada
nilai-nilai kebaikan universal dan tentu dengan dasar penekan keadilan.
Pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK
memerlukan partisipasi masyarakat terutama LSM yang konsen terhadap penegakan
hukum di Indonesia. Kejahatan korupsi di Indonesia sudah saatnya dihentikan.
Karena kejahatan korupsi telah mengakibatkan berbagai penyakit kemanusiaan
terutama penyakit pemiskinan rakyat secara sistematis dan terstruktur oleh
negara.
Masyarakat harus memaknai kejahatan korupsi
sebagai kejahatan internasional (lex
feranda) yang harus diperangi bersama. Korupsi harus menjadi musuh bersama
semua elemen warga bangsa (community's values)karena kejahatan korupsi telah merusak
nilai-nilai keberagaman berbangsa (hostis humani generis).
Lembaga penegak hukum dibawah pimpinan Abraham
Samad imi harus didukung penuh oleh publik guna terwujudnya sistem tatakelola
pemerintahan yang profesional dan akuntabel di republik ini. KPK dan rakyat
Indonesia harus bersatu dalam semangat menegakkan keadilan tanpa melihat
kepentingan politik apapun selain untuk kebaikan dunia (“Fiat justitia et pereat mundus”).Penegakan hukum adalah suatu keharusan, rule of good dan rule of lawsejatinya dilakukan secara bersamaan karena
lembaga KPK merupakan salah satu lembaga publik yang kini
diharapkan untuk bisa menuntaskan kasus-kasus besar termasuk yang melibatkan
aktor politisi pratai berkuasa maupun aktor elit yang berlindung dibaliknya.
Sudah saatnya rakyat bersatu menghentikan praktek kejahatan kemanusiaan yang
terus memakan korban pemiskinan (crimes against humanity).
Kepercayaan publik terhadp kinerja KPK tengah
diuji, kasus korupsi simulator di Mabes Polri harus dituntaskan secara adil,
sehingga masyarakat tidak serta-merta menganggap gebrakan KPK sebagai langkah
pengalihan isu pemberantasan korupsi yang dipesan oleh kekuatan politik
tertentu.
Korupsi Pemilu
Di sisi lain, praktek korupsi juga berkembang
kuat di kalangan aktor penyelenggara Pemilu. KPU/KPUD/Provinsi/Kabupaten/Kota
kian mencemaskan. Praktek korupsi dalam penyelenggaraan Pemilu pun berwarna.
Suap-menyuap, dan sogok-menyogok, persekongkolan antara kontestasi Pemilu
maupun antar oknum penyelenggara dengan elit partai politik dalam kepentingan
tertentu kerap menimbulkan kekacauan Pemilu atau setidaknya persekongkolan
jahat dalam proses penyelenggaraan Pemilu menghadirkan ketidakpastian hukum
yang pada gilirannya melahirkan konflik politik.
Kemelut politik tingkat elit seringkali tidak
bisa diselesaikan secara baik akibat aknum penyelenggara Pemilu yang ikut
bermain dalam proses tahapan tertentu dalam penyelenggaraan. Kepentingan
KPU/KPUD Provinsi/KPUD Kabupaten/Kota pun selalu berwarna sehingga potensi
kecurangan pemilu sangat besar terjadi.
Dalam iklim demokratisasi untuk misi memenangkan
kompetisi politik seringkali persaingan tidak sehat ditampilkan oleh peserta
pemilu dan ditambah lagi dengan ketidakprofesionalan penyelenggara sehingga
yang muncul konflik.
Sejalan dengan ini, perhelatan pemilu 2009
dan pemilui kada tahun 2010-2011 acapkali tidak berjalan demokratis. Kampanye
pemilu kada misalnya, terutama calon incunbent memasang berbagai bentuk
spanduk, poster, baliho, untuk mempromosikan diri dan hal ini menggunakan
anggaran negara.
Calon pemimpin memobilisasi massa bahkan
menggunakan aktor kekuatan politik eksternal seperti tokoh masyarakat, tokoh
adat, pemuka agama sebagai bagian strategis mengkampanyekan mereka melalui cara
masing-masing sesuai kapasitas politik yang dimiliki. Dalam kaitan ini, jelas
calon termasuk incunbent memeras energi dan sumber dana dengan improvisasi
mereka untuk aktor politik tadi menjalankan fungsi-fungsi promosi. Tanpa
disadari dalam kondisi ini praktek korupsi berupa penyalahgunaan jabatan,
wewenang, kekuasaan, maupun mencari dan meminta bantuan sumbangan diluar aturan
tetap dilakukan.
Kampanye dengan mobilisasi massa sebagaimana
pada pemilu kada provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Banten, Provinsi Sulawesi
Tenggara tahun 2011 jelas membutuhkan biaya yang banyak. Kampanye besar-besaran
membutuhkan banyak dana, dan kenyataan seperti ini potensi terjadinya
korupsi/manipulasi dana kampanye dan ini tentu bisa dilihat dari angka biaya
kampanye yang cepat naik dan melonjak drastis.
Praktek korupsi melalui tahapan pintu
kampanye sangat besar terjadi karena pengawasan yang minim. Manipulasi jumlah
anggaran kampanye merajalela karena potensi persekongkolan antara
kontestan/calon dan aktor politik sangat mungkin. Dengan demikian, praktek
korupsi dalam kerangka tahapan kampanye memerlukan pengawasan secara optimal
dari semua pemangku kepentingan. Masyarakat pemantau pemilu dan kekuatan civil sociaty merupakan faktor penting
dalam memantau jalannya tahapan kampanye pemilu dan pemilu kada.
Catatan: Arsip
Tulisan Artikel Lepas
Jakarta pertengahan
September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar