Senin, 31 Oktober 2016

Lawan Korupsi

Jihad Melawan  Korupsi

Oleh: Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



Indonesia negara berpenduduk muslim terbesar di dunia menempati posisi atas sebagai negara yang digolongkan dalam daftar 10 negara terkorup di dunia. Setidaknya data yang diajukan Global Competitiveness Report 2011-2012, dikatakan korupsi adalah salah satu faktor yang menghambat penyelenggaraan bisnis di Indonesia. Tahun 2011 nilai korupsi sebesar 15,4, dan nilai ini naik sebesar 11,2 poin dari tahun 2007 yang hanya 4,2. Artinya dalam kurun waktu pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua mengalami peningkatan secara drastis.
Apabila kita telaah laporan survei yang dipublikasikan, maka boleh jadi sampai pada suatu asumsi bahwa lembaga-lembaga survei nasional maupun internasional hampir menemukan data yang sama. Indonesia masuk catatan daftar negara 10 besar terkorup di dunia. Diantara  ke-10 negara tersebut adalah, Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia, Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, dan Rusia. Dan yang lebih memprihatinkan lagi ialah Indonesia masuk dalam kategori negara terkorup di kawasan Asia-Pasifik. Hasil survei Transpararency International, memberikan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) bagi Indonesia masuk dalam klasifikasi 3, dengan beranjak dari 0,2. Di kawasan Asia-Pasifik Indonesia urutan pertama disusul Kamboja, Vietnam, Filipina, dan India.
Dalam konteks tersebut, jelas menimbulkan persepsi publik yang kurang baik pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Tidak ada kemajuan berarti dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme terus meningkat di berbagai instansi pemerintah.
Belum lagi tuntas penanganan korupsi penyuapan anggota DPR tahun 2004-2009 yang melibatkan mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom, dan korupsi di Bank Century yang sangat kental aroma politiknya, muncul kasus korupsi Wisma Atlet dan Hambalang yang melibatkan mantan bendahara umum partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan kader partai Demokrat Angelina Sondakh,dan tidak menutupkemungkinan akan terungkap terdakwa baru dalam kasus ini. Korupsi pengadaan Al-qur’an di Kementerian Agama, dan yang paling mutakhir adalah korupsi simulator di Mabes Polri yang melibatkan seorang Jenderal berbintang dua.

Ambigu
Komitmen  pemberantasan korupsi di Indonesia masih  dimanipulasi dengan tema-tema kemanusiaan dan keadilan. Nilai-nilai kemanusiaan (values waarden)yang diselundupkan secara sistematis oleh para pengambil kebijakan di republik ini. Retorika pemberantasan korupsi atau bersih-bersih hanyalah sebuah ilusi politik yang dinyanyikan penguasa pada rakyat jelata yang memang secara pendidikan mudah diperdayakan. Dan setiap penguasa cendrung melakukan tindakan penyimpangan, hal ini diperkuat dengan ungkapan Lord Action, yang terkenal "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely".
Pemerintahan presiden SBY-Boediono akan tetap dilihat sebagai rezim yang ambigu. Rezim yang tidak konsisten dan tidak punya ketegasan bahkan dalam kondisi tertentu dipandang kurang berwibawa karena kurang berani mengambil keputusan. Antara kata dan perbuatan tidak terlalu punya relevansi yang signifikan. Perang melawan korupsi, bahkan memproklamirkan diri sebagai panglima pemberantasan korupsi hanyalah sebuah retorika politik yang dibungkus dalam sambutan-sambutan resmi kenegaraan.
Isu tata kelola pemerintahan berbasis good governance dengan menjadikan hukum sebagai panglima, dalam kenyataan praktek tidak berjalan optimal. Segmen pemberantasan korupsi cenderung tebang pilih. Koruptor yang ditangkap pun umumnya tidak memiliki relasi kekuasaan secara struktur sehingga rakyat melihat apa yang didengung-dengungkan sebagai perang melawan korupsi hanyalah bagian dari cara politik untuk mencari aman, termasuk dalam menyikapi protes rakyat tentang ketidakadilan suatu kebijakan.
Ketidakkonsistenan aparat penegak hukum menangani pemberantasan korupsi di negeri ini semakin mengakibatkan rakyat tidak percaya pada pemerintahan presiden SBY-Boediono. Karena dibawah kendali presidenlah akan seperti apa reformasi penegakan hukum itu efektif atau tidak. Rezim yang hanya berkutak pada retorika politik dan menyibukan diri dengan pencitraan ditengah masyarakat dan mengabaikan tuntutan publik atas penataan reformasi penegakan hukum.
Korupsi menjadi menggurita dan begitu menguat hingga di berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah. Praktek klientelisme politik di Indonesia seakan-akan menjadi basis legitimasi praktek korupsi yang sangat sulit dibendungi dengan sistem politik dan hukum apapun yang dibuat negara. Lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang sesungguhnya diharapkan menjadi instrumen strategis menata proses demokrasi yang bermartabat pun tidak bisa diandalkan. Hegemoni politik dalam pembentukan undang-undang begitu kental sehingga sangat sulit bagi kita untuk melakukan perubahan sistem hukum yang lebih mengedepankan asas-asas imparsialitas dan mengetengahkan moralitas kemanusiaan sosial dalam konteks perbaikan akhlak bangsa. Lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif justu semakin menyibukan diri dengan agenda persiapan pemilu tahun 2014 sehingga bagaimana mungkin kita bisa mengaharapkan perubahan penegakkan hukum.

Memerangi Korupsi
Dalam konteks membangun kembali kepercayaan publik terhadap negara ditengah keterpurukan penegakkan hukum saat ini, yang paling tepat adalah mengefektifkan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani setiap perkara korupsi. Tidak bisa dihindari bahwa gebrakan KPK membongkar praktek korupsi simulator di Mabes Polri merupakan pesan positif yang mampu membangkitkan kembali harapan publik terhadap negara dalam menegakan keadilan.
Apapun istilahnya, cicak versus buaya jilid dua ini harus bisa mengembalikan public trust terhadap negara. KPK sudah bertindak profesional sesuai amanat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 11 dan Pasal 50 ayat (3-4) yang secara implisit memerintahkan KPK melakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga dengan demikian, langkah Polri yang memberi kesan seakan-akan membenturkan isu kasus simulator ini jelas sarat muatan politis.
Alangkah bijak jika presiden SBY mengintervensi kasus ini secara positif dengan menyerahkan penanganan dilakukan KPK. Karena masyarakat jauh lebih percaya KPK daripada institusi penegak hukum lain termasuk Polri. Tetapi sebaliknya, gebrakan KPK ini sebatas pengalihan isu pemberantasan korupsi yang lebih besar lainnya, maka tentu kinerja KPK ini akan sangat mengecewakan masyarakat. Karena KPK selama ini yang paling diandalkan rakyat, sekurang-kurangnya dalam konteks menangkap hingga menahan dan menjatuhkan hukuman bagi beberapa pelaku koruptor di tingkat pusat dan daerah.
Jeremy Pope dalam bukunya panduan transparency Internationl 2002, mengatakan, langkah untuk membangun metode penyelidikan dan pencegahan korupsi yang ampuh adalah membangun lembaga. Sistem lembaga yang tentu berintegritas bahkan menurutnya sistem integritas merupakan barisan paling depan. Kelembagaan pencegahan korupsi diisi oleh pegawai-pegawai yang berintegritas tinggi. Lembaga yang mempunyai sistem kerja berbasis pada nilai-nilai kebaikan universal dan tentu dengan dasar penekan keadilan.
Pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK memerlukan partisipasi masyarakat terutama LSM yang konsen terhadap penegakan hukum di Indonesia. Kejahatan korupsi di Indonesia sudah saatnya dihentikan. Karena kejahatan korupsi telah mengakibatkan berbagai penyakit kemanusiaan terutama penyakit pemiskinan rakyat secara sistematis dan terstruktur oleh negara.
Masyarakat harus memaknai kejahatan korupsi sebagai kejahatan internasional (lex feranda) yang harus diperangi bersama. Korupsi harus menjadi musuh bersama semua elemen warga bangsa (community's values)karena kejahatan korupsi telah merusak nilai-nilai keberagaman berbangsa (hostis humani generis).
Lembaga penegak hukum dibawah pimpinan Abraham Samad imi harus didukung penuh oleh publik guna terwujudnya sistem tatakelola pemerintahan yang profesional dan akuntabel di republik ini. KPK dan rakyat Indonesia harus bersatu dalam semangat menegakkan keadilan tanpa melihat kepentingan politik apapun selain untuk kebaikan dunia (“Fiat justitia et pereat mundus”).Penegakan hukum adalah suatu keharusan, rule of good dan rule of lawsejatinya dilakukan secara bersamaan karena lembaga KPK merupakan salah satu lembaga publik yang kini diharapkan untuk bisa menuntaskan kasus-kasus besar termasuk yang melibatkan aktor politisi pratai berkuasa maupun aktor elit yang berlindung dibaliknya. Sudah saatnya rakyat bersatu menghentikan praktek kejahatan kemanusiaan yang terus memakan korban pemiskinan (crimes against humanity).
Kepercayaan publik terhadp kinerja KPK tengah diuji, kasus korupsi simulator di Mabes Polri harus dituntaskan secara adil, sehingga masyarakat tidak serta-merta menganggap gebrakan KPK sebagai langkah pengalihan isu pemberantasan korupsi yang dipesan oleh kekuatan politik tertentu.

Korupsi Pemilu
Di sisi lain, praktek korupsi juga berkembang kuat di kalangan aktor penyelenggara Pemilu. KPU/KPUD/Provinsi/Kabupaten/Kota kian mencemaskan. Praktek korupsi dalam penyelenggaraan Pemilu pun berwarna. Suap-menyuap, dan sogok-menyogok, persekongkolan antara kontestasi Pemilu maupun antar oknum penyelenggara dengan elit partai politik dalam kepentingan tertentu kerap menimbulkan kekacauan Pemilu atau setidaknya persekongkolan jahat dalam proses penyelenggaraan Pemilu menghadirkan ketidakpastian hukum yang pada gilirannya melahirkan konflik politik.
Kemelut politik tingkat elit seringkali tidak bisa diselesaikan secara baik akibat aknum penyelenggara Pemilu yang ikut bermain dalam proses tahapan tertentu dalam penyelenggaraan. Kepentingan KPU/KPUD Provinsi/KPUD Kabupaten/Kota pun selalu berwarna sehingga potensi kecurangan pemilu sangat besar terjadi.
Dalam iklim demokratisasi untuk misi memenangkan kompetisi politik seringkali persaingan tidak sehat ditampilkan oleh peserta pemilu dan ditambah lagi dengan ketidakprofesionalan penyelenggara sehingga yang muncul konflik.
Sejalan dengan ini, perhelatan pemilu 2009 dan pemilui kada tahun 2010-2011 acapkali tidak berjalan demokratis. Kampanye pemilu kada misalnya, terutama calon incunbent memasang berbagai bentuk spanduk, poster, baliho, untuk mempromosikan diri dan hal ini menggunakan anggaran negara.
Calon pemimpin memobilisasi massa bahkan menggunakan aktor kekuatan politik eksternal seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, pemuka agama sebagai bagian strategis mengkampanyekan mereka melalui cara masing-masing sesuai kapasitas politik yang dimiliki. Dalam kaitan ini, jelas calon termasuk incunbent memeras energi dan sumber dana dengan improvisasi mereka untuk aktor politik tadi menjalankan fungsi-fungsi promosi. Tanpa disadari dalam kondisi ini praktek korupsi berupa penyalahgunaan jabatan, wewenang, kekuasaan, maupun mencari dan meminta bantuan sumbangan diluar aturan tetap dilakukan.
Kampanye dengan mobilisasi massa sebagaimana pada pemilu kada provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Banten, Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2011 jelas membutuhkan biaya yang banyak. Kampanye besar-besaran membutuhkan banyak dana, dan kenyataan seperti ini potensi terjadinya korupsi/manipulasi dana kampanye dan ini tentu bisa dilihat dari angka biaya kampanye yang cepat naik dan melonjak drastis. 
Praktek korupsi melalui tahapan pintu kampanye sangat besar terjadi karena pengawasan yang minim. Manipulasi jumlah anggaran kampanye merajalela karena potensi persekongkolan antara kontestan/calon dan aktor politik sangat mungkin. Dengan demikian, praktek korupsi dalam kerangka tahapan kampanye memerlukan pengawasan secara optimal dari semua pemangku kepentingan. Masyarakat pemantau pemilu dan kekuatan civil sociaty merupakan faktor penting dalam memantau jalannya tahapan kampanye pemilu dan pemilu kada.

Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Jakarta pertengahan September 2012




Tidak ada komentar:

Posting Komentar