Negeri Minus Keadilan
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli Di Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu)
Kemajuan
reformasi di bidang hukum, tidak disertai dengan penegakan hukum secara
optimal. Rasa keadilan rakyat kecil selalu terganggu akibat begitu ambigu
kebijakan pemerintah dalam dimensi penegakkan hukum. Hukum tidak memihak kepada
rasa keadilan justis tetapi lebih
mementingkan kepentingan segelintir elit, konglomerat, pejabat negara, yang
maupun pemain-pemain politik diluar jalur kekuasaan formal yang notabene
memiliki relasi kekuasaan.
Beberapa kasus menghebohkan publik tidak mendapat perhatian secara
maksimal penanganannya. Praktik korupsi semakin merajalela bahkan semakin
mengancam jantung kehidupan berbangsa. Adakah elit pemimpin kita masih memiliki
kepekaan politik untuk menempatkan keadilan sebagai instrumen fundamental dalam
kehidupan bermasyarakat, dan bernegara?
Rapuhnya sistem penegakkan hukum memicu negara menjadi tidak
berdaya. Ketidakberdayaan negara menciptakan kepastian hukum lebih disebabkan
karena pemerintah yang koruptif dan distorsif. Pemerintahan Kabinet Indonesia
Bersatu jilid kedua seharusnya bisa dengan optimal menata sistem hukum agar
menjadi lebih progresif. Negara hendaknya tidak sekadar menata sistem hukum
pada aspek-aspek yuridis saja tetapi norma hukum (role of law), legalitas, otoritas hukum, serta pada dimensi politikologik.
Dalam aspek politikologik, disebutkan Henc Van Maarsveen, 1978),
sebagai personifikasi politik patronialistik, peristiwa politik yang aktual,
teori-teori politik, praktik peradilan. Konsep ini lebih dilihat sebagai socio-political, legal and philosophical
concepts of the state. Negara adalah instrumen yang paling pokok sebagai
institusi yang fundamental dalam melakukan penyelenggaraan kekuasaan negara.
Oleh karena itu, kekuasaan negara harus secara filosofis menjelmakan diri dalam
wujud kekuasaan yang bersifat legitimitas.
Problem yang kini menderah bangsa ialah tidak ada sistem yang
mengatur bagaimana membangun persepsi masyarakat tentang praktik korupsi
sebagai sebuah tindakan kriminal kemanusiaan (crimes against humanity) atau dalam defenisi teknisnya disebut
sebagai lex feranda, sebuah kejahatan
yang setara dengan praktik genosida. Dan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu
(KIB) jilid kedua dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus
dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa praktik korupsi termasuk di dalamnya
praktik mafia pemilihan umum (pemilu). Mafia pemilu sesungguhnya lebih
dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan baik berupa materi maupun
kekuasaan.
Kejahatan Korupsi
Apapun
teorinya, korupsi merupakan tindakan kriminal yang bertujuan untuk meraup
keuntungan. Korupsi umumnya dilakukan karena ada kesempatan berkuasa, memegang
jabatan, wewenang tertentu yang strategis.
Kriminalisasi birokrasi pemerintah seakan-akan menjadi pekerjaan
“politik para politisi bandit”. Mereka semena-mena, bebas keluar masuk kantor
terkadang tanpa protokoler resmi, bahkan sangat kreatif merancang dan
mengagendakan pertemuan-pertemuan illegal diluar kantor atas nama kordinasi dan
konsolidasi atau konsultasi yang semuanya dimaksudkan untuk berkorporasi.
Di satu sisi semakin menguat tuntutan publik akan
reformasi sistem penekan hukum beserta kiat-kiat pemberantasan korupsi, praktik
mafia hukum dan mafia peradilan yang
kian menggurita agar ditangani secara tuntas hingga ke akar-akarnya, tetapi
pada sisi lain, praktik korupsi justru terus tumbuh dan berkembang di berbagai
instansi pemerintahan. Maraknya praktik korupsi, boleh jadi dikarenakan faktor
lemahnya penegakkan hukum. Lemahnya
penegakkan hukum juga selain karena sistem yang kurang bersahabat dengan
keadilan bagi rakyat lemah juga perilaku aparat penegak hukum yang tidak
disiplin pada peraturan dan perundang-undangan yang ada.
Semakin sulit rakyat menemukan keadilan negara. Negara
memperlakukan keadilan kepada mereka kurang pantas selayaknya manusia yang
memiliki hak asasi yang paling hakiki, bahkan rakyat dibuat kehilangan
keteladanan kepemimpinan yang patuh pada penegakkan hukum berbasis keadilan.
Bukan menjadi rahasia umum, apabila kesan yang dirasakan masyarakat sekarang
ialah keadilan hanya member perhatian kepada para koruptor, bandit politik, dan
penjahat ekonomi semata. Ketika masyarakat kecil tidak berdaya melakukan
pelanggaran sekecil apapun, dan ketika harus berhadapan dengan institusi
penegak hukum selalu dalam posisi yang kurang menguntungkan. Keberpihakan
keadilan negara dalam kehidupan nyata masih sangat memprihatinkan. Hal ini
karena upaya-upaya penegakan keadilan seringkali dijadikan sebagai alat politik
elit berkuasa untuk memaksakan kehendak dan sebagai cara memberangus lawan
politik.
Sangat disayangkan, negara terus diperlakukan secara tidak pantas
dan tidak selayaknya sebagai sebuah bangsa berkultur kesantunan oleh setiap
rezim yang berkuasa. Keadilan diperuntukan bagi yang berkuasa dan tidak adil
untuk lawan, musuh politik termasuk rakyat kecil. Hal tersebut bisa dipahami
karena keadilan menurut manusia memang paling mudah direkayasa, paling gampang
dipolitisasi, dan paling respek terhadap yang memodalinya. Keadilan hukum dalam
negara otoriter yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi modern seringkali
dimotivasi oleh kekuatan finansial. Maka wajar bila masyarakat menilai, untuk
mendapat keadilan negara maka harus bekerjasama dengan para bandit politik atau
para konglomerat hitam yang kreatif.
Rapuhnya fondasi keadilan negara memicu konflik politik di tingkat
politisi vertikal. Konflik politik tingkat kelas vertikal acapkali mengorbankan
kepentingan masyarakat kelas menengah kebawah, karena masyarakat politik yang
dibangun berdasarkan sistem kebersamaan visi, misi, termasuk kebersamaan
kepentingan akan terlibat baik secara fisik maupun non-fisik kedalam
pertengkaran merebut kekuasaan.
Mencermati kondisi penegakan hukum era pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terus memicu keprihatinan publik sebagai
ekspektasi kekecewaan terhadap beberapa kasus yang tidak kunjung tuntas tentu
menjadi suatu catatan tersendiri bagi negara dalam upaya-upaya nyata
memperbaiki kinerja khususnya dalam penegakan hukum agar bisa benar-benar
menempatkan keadilan sebagai landasan bernegara. Meskipun usaha arah kesana
dalam kondisi tertentu terlihat ada kecenderungan baik untuk menghadirkan
kepastian hukum, namun dari sisi keadilan substansial dan dari konteks kacamata
hukum progresif masih terbaca adanya tebang pilih.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika terpilih pada periode
pertama 2004 sampai dengan 2009, begitu dilantik langsung “memproklamirkan
siap” jadi panglima pemberantasan korupsi. Periode pertama pemerintahan
Presiden SBY banyak menunjukkan terobosan berarti, banyak mantan maupun yang
sedang menjabat jadi anggota DPRD serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
diseret ke pengadilan karena terlibat dalam praktik korupsi.
Akan tetapi memasuki pemerintahan periode kedua, mulai
terasa jelas, betapa efek praktik korupsi dibungkus rapi dan sistematis yang
pelaku-pelakunya adalah aktor politik dalam drama kekuasaan mulai terkuak
terutama aktor titipan di birokrasi lembaga negara yang strategis, sebut saja
semisal skandal pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom, yang kemudian
menggemparkan isu praktik mafia perbankan Indonesia. Kasus perampokan di Bank Century adalah potret kejahatan perbankan
nasional yang menyeret beberapa nama penting seperti Wakil Presiden Boediono
dan Sri Mulyani yang hingga akhirnya menelan pil pahit karena diturunkan
ditengah jalan.
Membangun Kredibilitasi
Tidak
ada pilihan lain, selain kemauan kepemimpinan nasional mengambil
langkah-langkah bijak, berani, tegas, dan profesional menyelesaikan kasus-kasus
korupsi yang menghebohkan seperti skandal Bank Century bersama praktik mafia
perbankan, mafia hukum dan peradilan dengan segala praktik transaksi kasus
hukum, serta kasus korupsi pembangunan wisma atlet Sea Games di Palembang,
serta kasus-kasus korupsi lain yang dianggap publik sangat meresahkan karena
melibatkan petinggi-petinggi partai politik yang sedang berkuasa. Iillegal acts atau korupsi yang sifatnya
sistemik kelembagaan dengan melibatkan aktor birokrasi semakin mengharu birukan
negeri ini.
Apabila tindakan pencegahan korupsi tidak dilakukan
secara dini, maka sudah bisa dipastikan bahwa akan sangat sulit bangsa ini
mewujudkan visi pembangunan di bidang hukum dengan mewujudkan Indonesia
berdasarkan negara yang demokratis dan bermanifestasikan hukum yang adil. Parameter terwujud tidaknya visi bangsa dalam membangun kualitas
penegakan hukum dapat dilihat dari terciptanya law enforcment dan supremasi hukum serta tegaknya hak asasi manusia yang
bersumber dari dasar bernegara kita yakni Pancasila dan UUD 1945. Terbangunnya
tata kelola pemerintahan berbasis good
governance, serta menjadikan hukum sebagai landasan moral politik dalam
kehidupan bangsa yang jujur, transparan, adil, akomodatif, aspiratif, dan
responsif.
Negara harus mampu mengembalikan kepercayaan publik terutama
bagaimana membangun rasa percaya masyarakat terhadap keberhasilan manajemen
kepemimpinan bangsa. Jika tidak, maka apa yang telah dikerjakan pemerintahan
KIB selama dua periode akan hilang dari memori publik karena kecendrungan
rakyat lebih melihat banyaknya kebijakan yang mengecewakan jauh lebih kuat
daripada sekadar melihat prestasi yang telah dikerjakan.
Pemerintahan KIB harus kembali membangun kredebilitasi
kepemimpinan nasional, dan kredebilitasi kepemimpinan bisa dibangun tidak hanya
dengan pencitraan yang bombastis tetapi harus dengan kebijakan-kebijakan baru
yang lebih prorakyat.
Dalam konteks ini, ilmuan politik, Steven M. Bornstein, menulis,
beberapa karakter yang mencerminkan kepemimpinan yang pro-rakyat, antara lain,
masalah keyakinan dan komitmen (conviction), integritas yang didalamnya termasuk
kejujuran, kearifan lokal, respek, responsif, dan selalu konsisten dalam
tindakan, character, berani mengambil
sikap yang tegas dan penuh tanggungjawab, courage, SBY
dalam memberikan reaksi terhadap isu-isu politik yang menyudutkan pemerintahan
yang dipimpinnya harus penuh bijak (composume),
dan Presiden SBY harus mampu memenej pemerintahan berbasis kompetensi
sehingga para menteri yang bekerja pun bisa secara profesional (competence). Ironis bila Presiden SBY
terus terlarut dalam situasi dan kondisi politik yang tidak menguntungkan.
Langkah ini penting dilakukan guna memperbaiki krisis kredebilitasi
kepemimpinan nasional yang saat ini semakin menggurita.
Pola pendekatan pemberantasan korupsi hendaknya dilakukan secara
sistematik melalui lembaga-lembaga penegak hukum. Negara Cina menggunakan
pendekatan pemeberantasan korupsi dengan pola kelembagaan. Cina membentuk apa
yang dikenal sebagai independent Commission Against Curruption (ICAC), yang
berkedudukan di Hong Kong. Keberadaan lembaga ini semula dipandang remeh
masyarakat. Akan tetapi dalam prosesnya lembaga ini mampu mewujudkan
pemberantasan korupsi secara radikal. Seorang Prof. terkemuka dari Hong Kong,
S.S. Hueh, pernah mengilustrasikan pendapatnya tentang pembentukan lembaga
tersebut, sebagai “the growth of the law
on corruption can not be divorced from changes in the socio-economic and
political setting”.
Pendekatan pemberantasan korupsi secara kelembagaan
memerlukan tingkat kewenangan yang memadai karena motivasi seseorang melakukan
tindakan korupsi lebih disebabkan kepentingan ekonomi dan kesempatan berkuasa. Sangat erat hubungan antara sumber kekuasaan dan kepentingan
ekonomi yang membuat seseorang berbuat korupsi secara kelembagaan. Maka wajar,
bila keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang semula diharapkan
sebagai institusi yang bisa mereduksi angka kejahatan korupsi dengan dibekali
kewenangannya (extra
ordinary power) ternyata
dikriminalisasikan hingga lemah dan tak berdaya.
Keadilan harus ditransformasikan dalam tataran implementatif oleh
pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid kedua dalam konteks bernegara
secara nyata dan harus bisa menyentuh nurani keadilan rakyat. Karena korupsi di
tingkatan partai politik terutama partai penguasa tidak semata-mata memperkuat image dan citra negatif rakyat terhadap
perilaku politik elit yang menyimpang dari standar nilai-nilai berdemokrasi
tetapi sekaligus mempertajam persepsi publik selama ini mengenai kegagalan
pemerintah dalam menjalankan komitmen pemberantasan korupsi. Masih ada ruang
kesempatan untuk pemerintahan KIB Jilid kedua memperbaiki kinerja dengan
meningkatkan gerakan pemberantasan korupsi secara tegas, profesional, dan
proporsional, tanpa diselipi kepentingan-kepentingan politik sesaat.
Sebagai pemimpin yang bijak, Presiden SBY dan
pemerintahan KIB Jilid kedua yang dipimpinnya harus melakukan gerakan nyata dan
mampu meyakinkan kepercayaan masyarakat mengenai penegakan keadilan tanpa
diskriminasi, tanpa muatan politik, tanpa disertai kebijakan politisasi, tanpa
intimidasi, tanpa intervensi, dan tanpa memiliki kemauan politik tertentu
tetapi benar-benar murni untuk kepentingan bangsa dan negara. Dengan demikian,
nilai reputasi kepemimpinan Presiden SBY selama memipin negara tetap akan
dikenang masyarakat, tetapi jika sebaliknya, penegakan hukum sarat muatan
politik maka sudah pasti, nilai reputasi kebaikan pemerintahan SBY selama ini
menjadi tenggelam bahkan mengesankan image
kurang baik. Dan hal ini tidak diinginkan setiap
pemimpin bijak di negara manapun.
Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Jakarta,
9 Oktober 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar