Kamis, 27 Oktober 2016

Keadilan Bernegara

Negeri Minus Keadilan

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli Di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



Kemajuan reformasi di bidang hukum, tidak disertai dengan penegakan hukum secara optimal. Rasa keadilan rakyat kecil selalu terganggu akibat begitu ambigu kebijakan pemerintah dalam dimensi penegakkan hukum. Hukum tidak memihak kepada rasa keadilan justis tetapi lebih mementingkan kepentingan segelintir elit, konglomerat, pejabat negara, yang maupun pemain-pemain politik diluar jalur kekuasaan formal yang notabene memiliki relasi kekuasaan. 
Beberapa kasus menghebohkan publik tidak mendapat perhatian secara maksimal penanganannya. Praktik korupsi semakin merajalela bahkan semakin mengancam jantung kehidupan berbangsa. Adakah elit pemimpin kita masih memiliki kepekaan politik untuk menempatkan keadilan sebagai instrumen fundamental dalam kehidupan bermasyarakat, dan bernegara?
Rapuhnya sistem penegakkan hukum memicu negara menjadi tidak berdaya. Ketidakberdayaan negara menciptakan kepastian hukum lebih disebabkan karena pemerintah yang koruptif dan distorsif. Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid kedua seharusnya bisa dengan optimal menata sistem hukum agar menjadi lebih progresif. Negara hendaknya tidak sekadar menata sistem hukum pada aspek-aspek yuridis saja tetapi norma hukum (role of law), legalitas, otoritas hukum, serta pada dimensi politikologik.
Dalam aspek politikologik, disebutkan Henc Van Maarsveen, 1978), sebagai personifikasi politik patronialistik, peristiwa politik yang aktual, teori-teori politik, praktik peradilan. Konsep ini lebih dilihat sebagai socio-political, legal and philosophical concepts of the state. Negara adalah instrumen yang paling pokok sebagai institusi yang fundamental dalam melakukan penyelenggaraan kekuasaan negara. Oleh karena itu, kekuasaan negara harus secara filosofis menjelmakan diri dalam wujud kekuasaan yang bersifat legitimitas.
Problem yang kini menderah bangsa ialah tidak ada sistem yang mengatur bagaimana membangun persepsi masyarakat tentang praktik korupsi sebagai sebuah tindakan kriminal kemanusiaan (crimes against humanity) atau dalam defenisi teknisnya disebut sebagai lex feranda, sebuah kejahatan yang setara dengan praktik genosida. Dan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid kedua dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa praktik korupsi termasuk di dalamnya praktik mafia pemilihan umum (pemilu). Mafia pemilu sesungguhnya lebih dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan baik berupa materi maupun kekuasaan.

Kejahatan Korupsi
Apapun teorinya, korupsi merupakan tindakan kriminal yang bertujuan untuk meraup keuntungan. Korupsi umumnya dilakukan karena ada kesempatan berkuasa, memegang jabatan, wewenang tertentu yang strategis.
Kriminalisasi birokrasi pemerintah seakan-akan menjadi pekerjaan “politik para politisi bandit”. Mereka semena-mena, bebas keluar masuk kantor terkadang tanpa protokoler resmi, bahkan sangat kreatif merancang dan mengagendakan pertemuan-pertemuan illegal diluar kantor atas nama kordinasi dan konsolidasi atau konsultasi yang semuanya dimaksudkan untuk berkorporasi.
Di satu sisi semakin menguat tuntutan publik akan reformasi sistem penekan hukum beserta kiat-kiat pemberantasan korupsi, praktik mafia hukum dan mafia peradilan  yang kian menggurita agar ditangani secara tuntas hingga ke akar-akarnya, tetapi pada sisi lain, praktik korupsi justru terus tumbuh dan berkembang di berbagai instansi pemerintahan. Maraknya praktik korupsi, boleh jadi dikarenakan faktor lemahnya penegakkan hukum. Lemahnya penegakkan hukum juga selain karena sistem yang kurang bersahabat dengan keadilan bagi rakyat lemah juga perilaku aparat penegak hukum yang tidak disiplin pada peraturan dan perundang-undangan yang ada.
Semakin sulit rakyat menemukan keadilan negara. Negara memperlakukan keadilan kepada mereka kurang pantas selayaknya manusia yang memiliki hak asasi yang paling hakiki, bahkan rakyat dibuat kehilangan keteladanan kepemimpinan yang patuh pada penegakkan hukum berbasis keadilan. Bukan menjadi rahasia umum, apabila kesan yang dirasakan masyarakat sekarang ialah keadilan hanya member perhatian kepada para koruptor, bandit politik, dan penjahat ekonomi semata. Ketika masyarakat kecil tidak berdaya melakukan pelanggaran sekecil apapun, dan ketika harus berhadapan dengan institusi penegak hukum selalu dalam posisi yang kurang menguntungkan. Keberpihakan keadilan negara dalam kehidupan nyata masih sangat memprihatinkan. Hal ini karena upaya-upaya penegakan keadilan seringkali dijadikan sebagai alat politik elit berkuasa untuk memaksakan kehendak dan sebagai cara memberangus lawan politik.
Sangat disayangkan, negara terus diperlakukan secara tidak pantas dan tidak selayaknya sebagai sebuah bangsa berkultur kesantunan oleh setiap rezim yang berkuasa. Keadilan diperuntukan bagi yang berkuasa dan tidak adil untuk lawan, musuh politik termasuk rakyat kecil. Hal tersebut bisa dipahami karena keadilan menurut manusia memang paling mudah direkayasa, paling gampang dipolitisasi, dan paling respek terhadap yang memodalinya. Keadilan hukum dalam negara otoriter yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi modern seringkali dimotivasi oleh kekuatan finansial. Maka wajar bila masyarakat menilai, untuk mendapat keadilan negara maka harus bekerjasama dengan para bandit politik atau para konglomerat hitam yang kreatif.
Rapuhnya fondasi keadilan negara memicu konflik politik di tingkat politisi vertikal. Konflik politik tingkat kelas vertikal acapkali mengorbankan kepentingan masyarakat kelas menengah kebawah, karena masyarakat politik yang dibangun berdasarkan sistem kebersamaan visi, misi, termasuk kebersamaan kepentingan akan terlibat baik secara fisik maupun non-fisik kedalam pertengkaran merebut kekuasaan.
Mencermati kondisi penegakan hukum era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terus memicu keprihatinan publik sebagai ekspektasi kekecewaan terhadap beberapa kasus yang tidak kunjung tuntas tentu menjadi suatu catatan tersendiri bagi negara dalam upaya-upaya nyata memperbaiki kinerja khususnya dalam penegakan hukum agar bisa benar-benar menempatkan keadilan sebagai landasan bernegara. Meskipun usaha arah kesana dalam kondisi tertentu terlihat ada kecenderungan baik untuk menghadirkan kepastian hukum, namun dari sisi keadilan substansial dan dari konteks kacamata hukum progresif masih terbaca adanya tebang pilih.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika terpilih pada periode pertama 2004 sampai dengan 2009, begitu dilantik langsung “memproklamirkan siap” jadi panglima pemberantasan korupsi. Periode pertama pemerintahan Presiden SBY banyak menunjukkan terobosan berarti, banyak mantan maupun yang sedang menjabat jadi anggota DPRD serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diseret ke pengadilan karena terlibat dalam praktik korupsi.
Akan tetapi memasuki pemerintahan periode kedua, mulai terasa jelas, betapa efek praktik korupsi dibungkus rapi dan sistematis yang pelaku-pelakunya adalah aktor politik dalam drama kekuasaan mulai terkuak terutama aktor titipan di birokrasi lembaga negara yang strategis, sebut saja semisal skandal pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom, yang kemudian menggemparkan isu praktik mafia perbankan Indonesia. Kasus perampokan di Bank Century adalah potret kejahatan perbankan nasional yang menyeret beberapa nama penting seperti Wakil Presiden Boediono dan Sri Mulyani yang hingga akhirnya menelan pil pahit karena diturunkan ditengah jalan.

Membangun Kredibilitasi
Tidak ada pilihan lain, selain kemauan kepemimpinan nasional mengambil langkah-langkah bijak, berani, tegas, dan profesional menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang menghebohkan seperti skandal Bank Century bersama praktik mafia perbankan, mafia hukum dan peradilan dengan segala praktik transaksi kasus hukum, serta kasus korupsi pembangunan wisma atlet Sea Games di Palembang, serta kasus-kasus korupsi lain yang dianggap publik sangat meresahkan karena melibatkan petinggi-petinggi partai politik yang sedang berkuasa. Iillegal acts atau korupsi yang sifatnya sistemik kelembagaan dengan melibatkan aktor birokrasi semakin mengharu birukan negeri ini.
Apabila tindakan pencegahan korupsi tidak dilakukan secara dini, maka sudah bisa dipastikan bahwa akan sangat sulit bangsa ini mewujudkan visi pembangunan di bidang hukum dengan mewujudkan Indonesia berdasarkan negara yang demokratis dan bermanifestasikan hukum yang adil. Parameter terwujud tidaknya visi bangsa dalam membangun kualitas penegakan hukum dapat dilihat dari terciptanya law enforcment dan supremasi hukum serta tegaknya hak asasi manusia yang bersumber dari dasar bernegara kita yakni Pancasila dan UUD 1945. Terbangunnya tata kelola pemerintahan berbasis good governance, serta menjadikan hukum sebagai landasan moral politik dalam kehidupan bangsa yang jujur, transparan, adil, akomodatif, aspiratif, dan responsif.
Negara harus mampu mengembalikan kepercayaan publik terutama bagaimana membangun rasa percaya masyarakat terhadap keberhasilan manajemen kepemimpinan bangsa. Jika tidak, maka apa yang telah dikerjakan pemerintahan KIB selama dua periode akan hilang dari memori publik karena kecendrungan rakyat lebih melihat banyaknya kebijakan yang mengecewakan jauh lebih kuat daripada sekadar melihat prestasi yang telah dikerjakan.
Pemerintahan KIB harus kembali membangun kredebilitasi kepemimpinan nasional, dan kredebilitasi kepemimpinan bisa dibangun tidak hanya dengan pencitraan yang bombastis tetapi harus dengan kebijakan-kebijakan baru yang lebih prorakyat.
Dalam konteks ini, ilmuan politik, Steven M. Bornstein, menulis, beberapa karakter yang mencerminkan kepemimpinan yang pro-rakyat, antara lain, masalah keyakinan dan komitmen (conviction),  integritas yang didalamnya termasuk kejujuran, kearifan lokal, respek, responsif, dan selalu konsisten dalam tindakan, character, berani mengambil sikap yang tegas dan penuh tanggungjawab, courage, SBY dalam memberikan reaksi terhadap isu-isu politik yang menyudutkan pemerintahan yang dipimpinnya harus penuh bijak (composume), dan Presiden SBY harus mampu memenej pemerintahan berbasis kompetensi sehingga para menteri yang bekerja pun bisa secara profesional (competence). Ironis bila Presiden SBY terus terlarut dalam situasi dan kondisi politik yang tidak menguntungkan. Langkah ini penting dilakukan guna memperbaiki krisis kredebilitasi kepemimpinan nasional yang saat ini semakin menggurita.
Pola pendekatan pemberantasan korupsi hendaknya dilakukan secara sistematik melalui lembaga-lembaga penegak hukum. Negara Cina menggunakan pendekatan pemeberantasan korupsi dengan pola kelembagaan. Cina membentuk apa yang dikenal sebagai independent Commission Against Curruption (ICAC), yang berkedudukan di Hong Kong. Keberadaan lembaga ini semula dipandang remeh masyarakat. Akan tetapi dalam prosesnya lembaga ini mampu mewujudkan pemberantasan korupsi secara radikal. Seorang Prof. terkemuka dari Hong Kong, S.S. Hueh, pernah mengilustrasikan pendapatnya tentang pembentukan lembaga tersebut, sebagai “the growth of the law on corruption can not be divorced from changes in the socio-economic and political setting”.
Pendekatan pemberantasan korupsi secara kelembagaan memerlukan tingkat kewenangan yang memadai karena motivasi seseorang melakukan tindakan korupsi lebih disebabkan kepentingan ekonomi dan kesempatan berkuasa. Sangat erat hubungan antara sumber kekuasaan dan kepentingan ekonomi yang membuat seseorang berbuat korupsi secara kelembagaan. Maka wajar, bila keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang semula diharapkan sebagai institusi yang bisa mereduksi angka kejahatan korupsi dengan dibekali kewenangannya (extra ordinary power) ternyata dikriminalisasikan hingga lemah dan tak berdaya.
Keadilan harus ditransformasikan dalam tataran implementatif oleh pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid kedua dalam konteks bernegara secara nyata dan harus bisa menyentuh nurani keadilan rakyat. Karena korupsi di tingkatan partai politik terutama partai penguasa tidak semata-mata memperkuat image dan citra negatif rakyat terhadap perilaku politik elit yang menyimpang dari standar nilai-nilai berdemokrasi tetapi sekaligus mempertajam persepsi publik selama ini mengenai kegagalan pemerintah dalam menjalankan komitmen pemberantasan korupsi. Masih ada ruang kesempatan untuk pemerintahan KIB Jilid kedua memperbaiki kinerja dengan meningkatkan gerakan pemberantasan korupsi secara tegas, profesional, dan proporsional, tanpa diselipi kepentingan-kepentingan politik sesaat.
Sebagai pemimpin yang bijak, Presiden SBY dan pemerintahan KIB Jilid kedua yang dipimpinnya harus melakukan gerakan nyata dan mampu meyakinkan kepercayaan masyarakat mengenai penegakan keadilan tanpa diskriminasi, tanpa muatan politik, tanpa disertai kebijakan politisasi, tanpa intimidasi, tanpa intervensi, dan tanpa memiliki kemauan politik tertentu tetapi benar-benar murni untuk kepentingan bangsa dan negara. Dengan demikian, nilai reputasi kepemimpinan Presiden SBY selama memipin negara tetap akan dikenang masyarakat, tetapi jika sebaliknya, penegakan hukum sarat muatan politik maka sudah pasti, nilai reputasi kebaikan pemerintahan SBY selama ini menjadi tenggelam bahkan mengesankan image kurang baik. Dan hal ini tidak diinginkan setiap pemimpin bijak di negara manapun.

Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Jakarta,  9 Oktober 2012.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar