Senin, 17 Oktober 2016

Artikel Lepas

Menata Instrumen Penyelenggara Pemilu
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)


Masyarakat bangsa Indonesia tentu merasa bahagia atas suksesnya perhelatan akbar pemilihan umum (pemilu) yang digelar tahun 2009. Sirkulasi kepemimpinan nasional dilaksanakan lima tahun sekali ini dapat berjalan dengan aman, lancar, dan damai, tanpa letupan-letupan destruktif.
Implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu dan Undang-UndangPemilu Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemiluanggota DPR, DPD dan DPRD – masing-masing sudah direvisi jadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dihadapkandenganbanyakkendala.
Tetapi dengan diterapkannya sistem Parliamentary Thrreshold (PT) sekurang-kurangnya mampu menciptakan iklim kompetisi yang demokratis dalam Pemilu. Dalam Pasal 9 UU 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pileg) mengharuskan setiap pasangan calon diusulkan oleh Parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.
Dengan sistem PT semakin memperkuat upaya kita dalam membangun kualitas demokrasi. Jika pemilu 2004 ada 24 peserta Parpol, maka Pemilu 2009 terdapat 34 Parpol yang turut memeriahkan perhelatan Pemilu. Dengan sistem yang berbeda dan serba baru tentu sangat memicu berbagai konsekuensi. Meski berbagai upaya perbaikan sistem pengawasan pemilu telah di laksanakan, akan tetapi faktanya, penyelenggaraan pemilu 2009 dan sepanjang pelaksanaan pemilu kada 2010-2011 masih diwarnai praktek-praktek penyimpangan.
Manipulasi suara, penyalahgunaan wewenang dan penggunaan fasilitas negara oleh kandidat incumbent masih menjadi persoalan tersendiri bagi perbaikan kualitas pemilu di masa-masa mendatang. Partisipasi masyarakat menggunakan preferensi politik juga masih membutuhkan kerja keras semua pihak pemangku kepentingan dalam Pemilu. Permasalahan DPS, DPT ganda, ketertutupan informasi, pelanggaran Kode Etik penyelenggara, serta bentuk-bentuk distorsi pemilu kada yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif oleh calon kandidat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah beserta tim sukses masih mewarnai Pemilu Kada. Ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat dalam memahami pentingnya proses dan hasil pemilu masih minim.
Dengan demikian, titik tekan paradigma baru dalam melakukan penataan sistem demokrasi yang patut dikedepankan adalah bagaimana melibatkan pemantau dan pengawas pemilu secara optimal guna memberikan pemahaman dan pendidikan politik bagi warga bangsa dengan baik, bahwa Pemilu harus dipahami sebagai suatu momentum untuk menjalankan kedaulatan rakyat secara adil dan demokratis.
Pemilu sebagai suatu peristiwa penting dalam sejarah politik bangsa karena Pemilu mengharuskan adanya rotasi kepemimpinan di setiap level. Oleh karena Pemilu merupakan momen “politik yang cukup mahal” perbaikan kehidupan berbangsa, dan bernegara dalam segala dimensi, maka profesionalitas dan integritas penyelenggara pemilu perlu diawasi sehingga bias terwujudlah pemilu yang luber dan jurdil.
Sebagai lembaga baru produk reformasi, Bawaslu dan Panwaslu Kadadengan berbagai keterbatasan wewenang tidak kemudian menganggap keterbatasan wewenang jadi penghalang gerak aktif lembaga dalam melakukan pengawasan Pemilu, tetapi keterbatasan justru dijadikan sebagai tantangan dan membuat kita semakin kreatif menjalankan tugas dan fungsi dengan baik. Dalam konteks itu, transformasi demokrasi modern pasca reformasi setidak-tidaknya sudah banyak memberikanperubahan sistem Pemilu yang demokratis dan dalam kerangka pencerdasan politik bagi rakyat semakin memperlihatkan dimensi perbaikan yang prospektif.

Catatan: Arsip/Fail tulisan Artikel Lawas
“Pandeglang, 17 Oktober 2012”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar