Senin, 24 Oktober 2016

Mahalnya Keadilan Bernegara

Negara Berkeadilan

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



Tegaknya keadilan di suatu negara mengindikasikan negara tersebut memiliki pemimpin yang berwatak keras, kuat, namun tetap punya kepekaan sosial serta kelembutan rasa terhadap sesama sebagai warga bangsa. Menegakkan keadilan di muka bumi ini merupakan tanggungjawab semua warga bangsa. Tetapi dalam konteks kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, negara memiliki tanggungjawab utama dalam memainkan peran tanggungjawab tersebut.
Rasa keadilan rakyat kecil semakin terganggu akibat begitu ambigu kebijakan pemerintah dalam dimensi penegakkan hukum. Hukum tidak lagi memihak kepada justis lagi tetapi lebih mementingkan kepentingan para elit maupun politisi, konglomerat, pejabat negara, yang notabene adalah sedang berkuasa maupun yang memiliki relasi kekuasaan. 
Problem yang kini menderah bangsa ialah tidak ada sistem yang mengatur bagaimana membangun persepsi masyarakat tentang praktik korupsi sebagai sebuah tindakan criminal kemanusiaan (crimes against humanity) atau dalam defenisi teknisnya disebut sebagai lex feranda, sebuah kejahatan yang setara dengan praktik genosida.
Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid kedua dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus dihadapkan dengan kejadian-kejadian praktik korupsi termasuk di dalamnya adalah praktik mafia pemilihan umum (pemilu). Mafia pemilu sesungguhnya lebih dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan baik berupa materi maupun kekuasaan. Apapun teorinya, korupsi merupakan tindakan criminal yang bertujuan untuk meraup keuntungan. Korupsi umumnya dilakukan karena ada kesempatan berkuasa, memegang jabatan, wewenang tertentu yang strategis.
Kriminalisasi birokrasi pemerintah seakan-akan menjadi pekerjaan “politik para politisi bandit”. Mereka semena-mena, bebas keluar masuk kantor kadang tanpa protokoler resmi, bahkan sangat kreatif merancang dan mengagendakan rapat maupun pertemuan-pertemuan illegal diluar kantor atas nama kordinasi dan konsolidasi atau konsultasi untuk menciptakan peluang terjadinya korupsi.
Semakin sulit rakyat menemukan keadilan di negeri ini karena rakyat dibuat kehilangan keteladanan kepemimpinan yang patuh pada penegakkan hukum yang berbasis keadilan. Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa di negeri ini keadilan hanya memberikan perhatian kepada para koruptor, bandit politik, dan penjahat ekonomi semata.
Sungguh sangat ironi, negari ini terus diperlakukan secara tidak pantas dan tidak selayaknya sebagai negara yang berkultur kesantunan, kejujuran oleh rezim yang kurang memperhatikan rasa keadilan masyarakat lemah. Adil bagi yang berkuasa dan tidak adil untuk lawan, musuh politik apalagi untuk rakyat kecil. Keadilan model manusia memang paling mudah direkayasa, paling gampang dipolitisasikan, dan paling tanggap terhadap yang memodalinya.
Keadilan hukum versi manusia lebih dimotivasi oleh kekuatan finansial. Maka wajar bila masyarakat menilai untuk mendapatkan keadilan di negeri harus bekerjasama dengan para bandit politik atau setidaknya para konglomerat hitam yang kreatif.
Tidak ada perbedaan manajemen negara berbasis Orde Baru, korupsi tumbuh dan menjamur di berbagai institusi pemerintahan. Manajmen negara bagaikan apa yang diistilahkan Anthony Jay, pemikir manajemen, states and corporations ccan be defined in almostan be defined in almost exac exactly tly the same way: institutions for effective employment of resources. Tidak ada perbedaan antara manajemen pemerintahan bersifat underdeveloped) dengan manajemen Negara maju (developed).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika terpilih pada periode pertama 2004 sampai dengan 2009, begitu dilantik langsung “memproklamirkan” untuk menjadi panglima pemberantasan korupsi. Periode pertama pemerintahan Presiden SBY banyak menunjukkan terobosan fenomenal, para mantan maupun yang sedang menjadi anggota DPRD serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diseret ke pengadilan karena diketahui terlibat dalam praktik korupsi. Akan tetapi memasuki pemerintahan periode kedua, mulai terasa jelas, betapa efek praktik korupsi dibungkus rapi dan sistematis yang pelaku-pelakunya adalah aktor politik dalam drama kekuasaan mulai terkuak terutama aktor titipan di birokrasi lembaga negara yang strategis, sebut saja semisal Bank Indonesia, yang kemudian mampu menggemparkan isu praktik mafia perbankan Indonesia.
Kasus Baal out Bank Century adalah sebuah potret kejahatan perbankan nasional yang menyeret beberapa nama penting seperti Wakil Presiden Boediono dan mantan Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang hingga akhirnya menelan pil pahit karena diturunkan ditengah jalan.
Yang menarik dari kasus Bank Century, tercium agenda terselubung kampanye pemilu 2009. Kampanye politik dalam rangka membangun image sebagai pemimpin yang konsisten memberantas korupsi memerlukan biaya tinggi. Pertarungan politik antara pasangan SBY-Boediono, Jusuf Kalla-Wiranto, Megawati-Prabowo terlihat sangat kuat aroma pertandingan tidak elegan karena rival incunbent selain Megawati-Prabowo yang punya kesan politik kurang respektif terhadap SBY, juga pasangan JK-Wiranto yang sebelumnya terjadi silang komunikasi kekuasaan yang kurang sinergis.
Dalam konteks ini, isu penyimpangan dibalik skandal Bank Century menyeret nama-nama elit yang notabene orang dekat presiden SBY yang juga selaku calon incunbent. Banyak perdebatan politik yang menjurus pada ketidakpercayaan publik terhadap proses dan hasil pemilu 2009 atau sekurang-kurangnya isu skandal Century dijadikan senjata oleh lawan politik SBY untuk membuat pencitraan negatif. Namun demikian, penyelesaian skandal Bank Century harus menjadi agenda prioritas presiden guna menjawab anggapan dan persepsi pembenaran politik sepihak dari pihak oposisi yang kerap bersuara lantang. Tetapi sebaliknya, jika sakandal Bank Century benar-benar membuktikan ada agenda menjelang pemilu maka penyelesaian kasus baik secara hukum positif dan etika kebangsaan harus ditegakkan.

Membangun Kredibilitasi
Agenda reformasi berupa menciptakan sistem pemerintahan berbasis good governance terus dihadapkan dengan banyak kendala termasuk praktek korupsi yang menjadi faktor ancaman. Hampir semua pilar demokrasi dan kekuatan politik yang ada, mulai dari partai politik, konglomerat, tokoh masyarakat, pemuka agama/adat dan media massa masih memperlihatkan mengembangkan tradisi politik kepentingan sektoral dan prioritas keuntungan politik parsial masih kuat. Paradigma politik kepentingan sektoral ini kerap menjadi bom waktu yang panjang dalam mengatasi krisis multidimensi yang tengah mendera bangsa.
Oleh sebab itu, sesungguhnya tidak ada pilihan lain, selain kemauan kepemimpinan nasional untuk mengambil langkah-langkah bijak, berani, tegas, dan professional untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang menghebohkan seperti ball out Bank Century dengan mafia perbankannya, mafia hukum dengan segala praktik transaksi kasus hokum, serta kasus korupsi pembangunan wisma atlet SEA GEAMS di Palembang, serta kasus-kasus korupsi lain yang dianggap publik sangat meresahkan karena melibatkan petinggi-petinggi partai politik.
Jika tindakan pencegahan korupsi tidak dilakukan secara dini, maka sudah bisa dipastikan bahwa akan sangat sulit bangsa ini mewujudkan visi pembangunan di bidang hukum yakni mewujudkan Indonesia berdasarkan negara yang demokratis bermanifestasikan hukum dan keadilan. Tolok ukur apakah terwujud tidaknya visi bangsa dalam membangun di bidang hokum dapat dilihat dari sisi terciptanya law inforcment atau supremasi hukum serta tegaknya hak asasi manusia yang tetap bersumber dari UUD 1945.
Terbangunnya tata kelola pemerintahan yang berbasis good governance, serta menjadikan hukum sebagai landasan mencptakan suasana kehidupan bangsa yang jujur, transparan, adil, akomodatif, aspiratif, dan responsif.
Presiden SBY harus mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap keberhasilan manajemen kepemimpinan bangsa selama berkuasa. Jika tidak, maka apa yang dikerjakan Presiden SBY selama dua periode memimpin akan hilang dari pembicaraan publik karena kecendrungan rakyat melihat kebijakan yang mengecewakan jauh lebih kuat daripada sekadar melihat prestasi yang telah dikerjakan.

Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Pandeglang pertengahan Januari 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar