Rabu, 05 Oktober 2016

Verifikasi Faktual Pilpres 2014

Membangun Komunikasi
Antar Penyelenggara Pemilu yang Efektif
Studi Kasus Verifikasi Faktual Pilpres 2014

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli Di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)

 

Perseteruan merebut wacana penyelenggaraan Pemilihan Umum  (Pemilu) antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) patutnya tidak perlu terjadi apabila kedua lembaga ini sama-sama menyadari pentingnya membangun sinergisitas dan saling memperkuat satu sama lain dalam konteks menyelenggarakan Pemilu yang adil dan demokratis. Proses penyelenggaraan Pemilu 2014 dan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) di beberapa daerah terutama yang tengah menjalani tahapan dan mengalami berbagai persoalan teknis dan substansi akan terganggu.
Perbedaan pemahaman kedua lembaga ini tidak selayaknya diperlihatkan ke hadapan publik jika kedua institusi penyelenggara Pemilu ini juga sama-sama tahu bagaimana mewujudkan agenda yang sudah menjadi komitmen bersama berupa menjadikan Pemilu 2014 yang betul-betul berjalan sesuai prinsip langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber) dan jujur dan adil (Jurdil). Proses tahapan Pemilu 2014 memasuki verifikasi faktual partai politik (parpol) pun secara tidak langsung terganggu dan begitu pula problematika Pemilu Kada seperti di Provinsi Sulawesi Tenggara yang hingga sekarang masih terkatung-katung tanpa kepastian hukum yang jelas akibat KPUD yang tidak serius menjalankan peraturan dan perundang-undangan. Kasus lain, Pemilu Kada Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Kota Batu, Malang, dan lain-lain.
Artinya, ironis sekali dalam kondisi yang sangat menentukan momentum perbaikan kualitas Pemilu dan serba karut-marut seperti sekarang ini kemudian kedua lembaga penyelenggara Pemilu hadir dihadapan masyarakat bukan sebagai instrumen demokrasi yang memecahkan persoalan tetapi menambah kekisruhan penyelenggaraan Pemilu dan Pemilu Kada, dan fenomena seperti ini tidak sehat dalam negara demokrasi.
Tahapan Pemilu 2014 dan Pemilu Kada di beberapa daerah memerlukan perhatian serius kedua lembaga ini sehingga tidak ada alasan bagi kedua lembaga ini mengakhiri perbedaan merebut wacana tentang prosedur dan mekanisme masing-masing lembaga dalam penanganan suatu masalah. Sebenarnya sederhana sekali bagi kedua lembaga untuk menunjukkan ke publik apakah mereka aktif atau tidak dalam menjalankan tugas dan fungsi baik KPU selaku pelaksana teknis maupun Bawaslu yang bertugas mengawasi tahapan pelaksanaan.

Kebuntuan Komunikasi
Perseteruan KPU dan Bawaslu sebetulnya tidak semestinya mengemuka ke permukaan publik bilamana kedua lembaga ini konsisten menjalankan tugas dan fungsi (tupoksi). Sebaliknya perseteruan ini membuat persepsi publik mengarah pada pemahaman seakan-akan fungsi komunikasi kelembagaan kedua institusi tidak jalan secara efektif. Ketidakefektifan komunikasi kelembagaan dan komunikasi antar personal yang kemudian memicu perdebatan kusir antar kedua lembaga.
Sebenarnya motif perdebatan pun klasik karena apa yang jadi hambatan Bawaslu sudah merupakan metode lama yang dialami Bawaslu periode sebelum. Sebagai catatan, Bawaslu periode pertama pada fase kepemimpinan Nur Hidayat Sardini (2008-2010) sama sekali tidak punya kemampuan dari segi infrastruktur maupun suprastruktur kelembagaan tetapi kenyataannya dengan kemampuan komunikasi politik dan kecekatan manajemen kebijakan institusi, serta keterampilan mengorganisasikan visi pengawasan Pemilu ternyata mampu memperlihatkan betapa lembaga baru produk reformasi ini bisa eksis menghadapi berbagai tantangan dan hambatan, termasuk menghadapi arus tuntutan dan desakan sebagian publik yang menghendaki Bawaslu dibubarkan.
Prestasi kegigihan Bawaslu pada etape ini adalah meloloskan pengajuan Judicial Review (JR) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu pada tanggal (24/2/2010) khususnya Pasal 93, 94 ayat (1) dan (2), Pasal 95 yang dinilai berpotensi melanggar asas pengawasan Pemilu yakni mandiri dan hak atas jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22E ayat (5) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Pasal 111 ayat (3) dan Pasal 112 ayat (3) yang dilihat bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang secara eksplisit menempatkan komposisi anggota Dewan Kehormatan KPU tidak proporsional.
Sebuah terobosan yang patut diteladani karena dibalik keterbatsan infrastruktur dan suprastruktur kelembagaan tidak membuat mereka putus asa atau terus-menerus meniup terompet perdebatan yang tidak produktif. Alhasil, fakta menunjukkan pembentukan DK KPU dapat bekerja efektif, dan realitas itulah kemudian mendorong eksekutif dan legislatif mempermanenkan lembaga DK KPU dalam revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu menjadi lebih luas dari sisi wewenang karena mengawasi KPU dan Bawaslu di setiap tingkatan.

Kesadaran Kolektif
Dalam konteks perseteruan kedua lembaga ini boleh jadi karena fungsi komunikasi politik kelembagaan maupun relasi komunikasi bersifat personal tidak berjalan efektif sehingga yang muncul adalah sikap saling curiga (apriori) antar sesama. Padahal, komunikasi politik dalam bentuk personal dan struktur sosial kelembagaan formal merupakan dimensi penting dalam mengkomunikasikan pelbagai kebuntuan yang ada.
Bawaslu dan KPU diharapkan mampu mengembangkan tradisi komunikasi politik yang bersifat fenomenologis. Sebuah bentuk komunikasi kelembagaan yang mengedepankan wawasan fenomenologi. Komunikasi yang memusatkan visi kelembagaan dengan memastikan konsepsi tentang metodologi. Komunikasi dengan meminjam istilah Deutscher dan Douglas, sebagai sebuah pendekatan yang diharapkan mampu mengungkap sebuah objek dengan sedeteil mungkin tentu dengan melibatkan aspek-aspek lain yang secara kalkulatif tidak bisa dihitung dengan kacamata matematika. dalam The Phenomenology of the Social World (1970), Schutz memberikan alternatif komunikasi yang integratif. Sebuah metode pendekatan komunikasi dengan berupaya menggabungkan sejumlah perspektif fenomenologi dengan menjadi basis kepemimpinan sosial seseorang (Stream of experience).
Dalam kerangka pendekatan komunikasi fenomenologi, maka secara kelembagaan dan personal setiap orang bisa mengidentifikasi setiap permasalahan yang timbul dengan pengalaman individu sehingga dengan demikian diharapkan muncul kesadaran individu meskipun terpisah namun tetap dalam interaksi sosial yang melahirkan kesadaran kolektif. Senada dengan ini maka apa yang istilahkan Edmund Hussertl, dan Schutz  (1973), manusia sebagai makhluk sosial harus memiliki kesadaran sosial yang menurutnya ada dua macam; pertama, kesadaran mengandaikan kegiatan orang lain yang dialami bersama, dan kedua, kesadaran menggunakan tipe-tipe yang diciptakan dan dikomunikasikan oleh kelompok-kelompok individu yang ada.
Dalam kerangka ini, kesadaran sosial menjadikan komunikasi politik kelembagaan dan interpersonal dalam kaitan menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi bersama secara elegan dan konstruktif sangat diperlukan kedua lembaga guna mewujudkan kualitas Pemilu ke depan yang lebih baik. Pemilu berkualitas mencerminkan kedewasaan pemimpin dalam mengkonsolidasikan kualitas demokrasi. Bagaimanapun perbaikan kualitas penyelenggaraan Pemilu dan demokrasi yang baik harus dikedepankan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders). Semua pihak juga diharapkan tidak mengeksploitasi keadaan ini hingga terus memicu perdebatan berkepanjangan. 
Pemilu 2014 yang demokratis sudah menjadi kesepakatan bersama KPU, DPR, Bawaslu, dan Pemerintah dengan menjadikan Pemilu Kada DKI sebagai tolok ukur/barometer dalam sebuah kesempatan RDP (4/6/2012). Pemilu Kada Provinsi DKI 2012 penilaian secara umum telah berjalan cukup baik sesuai yang diharapkan khalayak masyarakat. Pemilu 2014 sejatinya dijadikan sebagai kelanjutan manajemen perbaikan kualitas Pemilu untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas.

Keterangan: Arsip Tulisan, Jakarta, 9 November 2012.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar