Membangun Komunikasi
Antar
Penyelenggara Pemilu yang Efektif
Studi
Kasus Verifikasi Faktual Pilpres 2014
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli Di Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu)
Perseteruan
merebut wacana penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) antara Komisi
Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) patutnya tidak perlu
terjadi apabila kedua lembaga ini sama-sama menyadari pentingnya membangun
sinergisitas dan saling memperkuat satu sama lain dalam konteks
menyelenggarakan Pemilu yang adil dan demokratis. Proses penyelenggaraan Pemilu
2014 dan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) di
beberapa daerah terutama yang tengah menjalani tahapan dan mengalami berbagai
persoalan teknis dan substansi akan terganggu.
Perbedaan
pemahaman kedua lembaga ini tidak selayaknya diperlihatkan ke hadapan publik
jika kedua institusi penyelenggara Pemilu ini juga sama-sama tahu bagaimana
mewujudkan agenda yang sudah menjadi komitmen bersama berupa menjadikan Pemilu
2014 yang betul-betul berjalan sesuai prinsip langsung, umum, bebas, dan
rahasia (Luber) dan jujur dan adil (Jurdil). Proses tahapan Pemilu 2014
memasuki verifikasi faktual partai politik (parpol) pun secara tidak langsung
terganggu dan begitu pula problematika Pemilu Kada seperti di Provinsi Sulawesi
Tenggara yang hingga sekarang masih terkatung-katung tanpa kepastian hukum yang
jelas akibat KPUD yang tidak serius menjalankan peraturan dan perundang-undangan.
Kasus lain, Pemilu Kada Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Pati, Jawa
Tengah, Kota Batu, Malang, dan lain-lain.
Artinya,
ironis sekali dalam kondisi yang sangat menentukan momentum perbaikan kualitas
Pemilu dan serba karut-marut seperti sekarang ini kemudian kedua lembaga
penyelenggara Pemilu hadir dihadapan masyarakat bukan sebagai instrumen
demokrasi yang memecahkan persoalan tetapi menambah kekisruhan penyelenggaraan
Pemilu dan Pemilu Kada, dan fenomena seperti ini tidak sehat dalam negara demokrasi.
Tahapan
Pemilu 2014 dan Pemilu Kada di beberapa daerah memerlukan perhatian serius
kedua lembaga ini sehingga tidak ada alasan bagi kedua lembaga ini mengakhiri
perbedaan merebut wacana tentang prosedur dan mekanisme masing-masing lembaga
dalam penanganan suatu masalah. Sebenarnya sederhana sekali bagi kedua lembaga
untuk menunjukkan ke publik apakah mereka aktif atau tidak dalam menjalankan
tugas dan fungsi baik KPU selaku pelaksana teknis maupun Bawaslu yang bertugas
mengawasi tahapan pelaksanaan.
Kebuntuan
Komunikasi
Perseteruan
KPU dan Bawaslu sebetulnya tidak semestinya mengemuka ke permukaan publik
bilamana kedua lembaga ini konsisten menjalankan tugas dan fungsi (tupoksi).
Sebaliknya perseteruan ini membuat persepsi publik mengarah pada pemahaman
seakan-akan fungsi komunikasi kelembagaan kedua institusi tidak jalan secara
efektif. Ketidakefektifan komunikasi kelembagaan dan komunikasi antar personal
yang kemudian memicu perdebatan kusir antar kedua lembaga.
Sebenarnya
motif perdebatan pun klasik karena apa yang jadi hambatan Bawaslu sudah
merupakan metode lama yang dialami Bawaslu periode sebelum. Sebagai catatan,
Bawaslu periode pertama pada fase kepemimpinan Nur Hidayat Sardini (2008-2010)
sama sekali tidak punya kemampuan dari segi infrastruktur maupun suprastruktur
kelembagaan tetapi kenyataannya dengan kemampuan komunikasi politik dan
kecekatan manajemen kebijakan institusi, serta keterampilan mengorganisasikan
visi pengawasan Pemilu ternyata mampu memperlihatkan betapa lembaga baru produk
reformasi ini bisa eksis menghadapi berbagai tantangan dan hambatan, termasuk
menghadapi arus tuntutan dan desakan sebagian publik yang menghendaki Bawaslu
dibubarkan.
Prestasi
kegigihan Bawaslu pada etape ini adalah meloloskan pengajuan Judicial Review (JR)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu pada tanggal
(24/2/2010) khususnya Pasal 93, 94 ayat (1) dan (2), Pasal 95 yang dinilai
berpotensi melanggar asas pengawasan Pemilu yakni mandiri dan hak atas jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana disebutkan dalam Pasal
22E ayat (5) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Pasal 111 ayat (3)
dan Pasal 112 ayat (3) yang dilihat bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945 yang secara eksplisit menempatkan komposisi anggota Dewan Kehormatan KPU
tidak proporsional.
Sebuah
terobosan yang patut diteladani karena dibalik keterbatsan infrastruktur dan
suprastruktur kelembagaan tidak membuat mereka putus asa atau terus-menerus
meniup terompet perdebatan yang tidak produktif. Alhasil, fakta menunjukkan
pembentukan DK KPU dapat bekerja efektif, dan realitas itulah kemudian
mendorong eksekutif dan legislatif mempermanenkan lembaga DK KPU dalam revisi
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu menjadi
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu menjadi lebih
luas dari sisi wewenang karena mengawasi KPU dan Bawaslu di setiap tingkatan.
Kesadaran
Kolektif
Dalam
konteks perseteruan kedua lembaga ini boleh jadi karena fungsi komunikasi
politik kelembagaan maupun relasi komunikasi bersifat personal tidak berjalan
efektif sehingga yang muncul adalah sikap saling curiga (apriori) antar
sesama. Padahal, komunikasi politik dalam bentuk personal dan struktur sosial
kelembagaan formal merupakan dimensi penting dalam mengkomunikasikan pelbagai
kebuntuan yang ada.
Bawaslu
dan KPU diharapkan mampu mengembangkan tradisi komunikasi politik yang
bersifat fenomenologis. Sebuah bentuk komunikasi kelembagaan yang mengedepankan
wawasan fenomenologi. Komunikasi yang memusatkan visi kelembagaan dengan
memastikan konsepsi tentang metodologi. Komunikasi dengan meminjam istilah
Deutscher dan Douglas, sebagai sebuah pendekatan yang diharapkan mampu
mengungkap sebuah objek dengan sedeteil mungkin tentu dengan melibatkan
aspek-aspek lain yang secara kalkulatif tidak bisa dihitung dengan kacamata
matematika. dalam The Phenomenology of the Social World (1970), Schutz
memberikan alternatif komunikasi yang integratif. Sebuah metode pendekatan
komunikasi dengan berupaya menggabungkan sejumlah perspektif fenomenologi
dengan menjadi basis kepemimpinan sosial seseorang (Stream of experience).
Dalam
kerangka pendekatan komunikasi fenomenologi, maka secara kelembagaan dan
personal setiap orang bisa mengidentifikasi setiap permasalahan yang timbul
dengan pengalaman individu sehingga dengan demikian diharapkan muncul kesadaran
individu meskipun terpisah namun tetap dalam interaksi sosial yang melahirkan
kesadaran kolektif. Senada dengan ini maka apa yang istilahkan Edmund Hussertl,
dan Schutz (1973), manusia sebagai makhluk sosial harus memiliki
kesadaran sosial yang menurutnya ada dua macam; pertama, kesadaran mengandaikan
kegiatan orang lain yang dialami bersama, dan kedua, kesadaran
menggunakan tipe-tipe yang diciptakan dan dikomunikasikan oleh kelompok-kelompok
individu yang ada.
Dalam
kerangka ini, kesadaran sosial menjadikan komunikasi politik kelembagaan dan interpersonal
dalam kaitan menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi bersama secara
elegan dan konstruktif sangat diperlukan kedua lembaga guna mewujudkan kualitas
Pemilu ke depan yang lebih baik. Pemilu berkualitas mencerminkan kedewasaan
pemimpin dalam mengkonsolidasikan kualitas demokrasi. Bagaimanapun perbaikan
kualitas penyelenggaraan Pemilu dan demokrasi yang baik harus dikedepankan oleh
semua pemangku kepentingan (stakeholders). Semua pihak juga diharapkan
tidak mengeksploitasi keadaan ini hingga terus memicu perdebatan
berkepanjangan.
Pemilu
2014 yang demokratis sudah menjadi kesepakatan bersama KPU, DPR, Bawaslu, dan
Pemerintah dengan menjadikan Pemilu Kada DKI sebagai tolok ukur/barometer dalam
sebuah kesempatan RDP (4/6/2012). Pemilu Kada Provinsi DKI 2012 penilaian
secara umum telah berjalan cukup baik sesuai yang diharapkan khalayak
masyarakat. Pemilu 2014 sejatinya dijadikan sebagai kelanjutan manajemen
perbaikan kualitas Pemilu untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas.
Keterangan: Arsip Tulisan, Jakarta, 9 November 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar