Rabu, 08 Maret 2017

Pemilu Langsung

Prospek Pemilu Langsung

Oleh :Rahman Yasin
(“Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu”)


Pemilihan Umum (pemilu) pada tahun 2004 silam adalah sebuah fenomena politik Indonesia kontemporer yang cukup menarik untuk di diskusikan. Pesta demokrasi dengan menggunakan model demokrasi terbuka (langsung) adalah merupakan yang pertama kali diselenggarakan di negara Indonesia sejak pasca kemerdekaan. Dengan menggunakan system demokrasi terbuka ini rakyat tidak lagi mendelegasikan aspirasinya melalui lembaga legislatif DPR dan DPRD yang proseduralis dan syarat dengan dengan KKN. Hal ini juga membuka partisipasi politik masyarakat secara terbuka pula, sehingga Pemilu pada permulaan ini dapat dikategorikan sebagai Pemilu yang memiliki nilai-nilai historis tersendiri dibanding Pemilu-pemilu sebelumnya.
          Pemilu-pemilu yang sudah terlewati sejak psaca kemerdekaan republik Indonesia yakni mulai dari era Orde Lama hingga Orde Baru bisa disimpulkan bahwa sistem Pemilu yang digunakan ketika sangat jauh dari semangat demokrasi. Prosedur dan mekanisme Pemilu pada pemerintahan kedua Orde ini sangatlah distortif. Tanpa memberi ruang dan gerak yang secara demokratis bagi lawan-lawan politik penguasa.
          Secara sosio-historis proses perkembangan demokrasi di Indonesia pasca kemerdekaan pada era Orde Lama maupun Orde Baru tidak begitu menggembirakan karena sistem yang dibuat lebih berpihak kepada partai pemerintah. Demokrasi merupakan sebuah system politik yang ideal yang diterapkan hampir sebagian besar negara di belahan dunia. Tak terkecuali Indonesia yang berpenduduk mayoritas beragama Islam. Pilihan untuk menggunakan demokrasi presidensil merupakan sangat rasional karena demokrasi substansial itu sendiri mengandung nilai-nilai sosial universal. Dengan menggunakan system demokrasi substansial mana negara akan lebih mudah mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat yang secara sosial sangat plural.
          Sejak proklamasi kemerdekaan dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia melalui presiden Soekarno dan Muhammad Hatta, serta para pendiri republic lainnya tampaknya mempunyai persamaan visi dan misi untuk membangun republic ini menjadi yang lebih demokratis. Semangat untuk membangun demokrasi tercermin melalui perumusan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar negara republik Indonesia. Misalnya, dalam UUD 1945 pada pasal 1 ayat ke 2 yang berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Kemudian berkaitan dengan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan Undang-Undang pada pasal 28 yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing”. (Pasal 29 ayat 2).
          Dalam konteks itu, maka Undang-Undang ini tidak semata mengharuskan negara untuk menjalankan pemerintahan yang demokratis akan tetapi negara harus memahami dan menimplementasikan demokrasi tidak hanya pada tataran politik, tetapi bagaimana negara mewujudkan demokrasi secara aktualitatif. Di pertengehan usia kekuasaan Soekarno, rezim ini mencoba mempraktekkan demokrasi parlementer (1950-1959) yakni sistem pemerintahan dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) sebagai landasan politik konstitusionalnya. Pada era inilah yang disebut sebagai pemerintahan parlementer atau “representative/partisipatory democracy” yang kemudian oleh Herbert Feith menilainya sebagai pemerintahan “Constitutional Democracy”, yang kemudian di interpretasikan oleh kalangan politisi sebagai demokrasi liberal.
          Dalam kondisi yang demikian, manfaat yang dirasakan ketika itu adalah munculnya multi partai (multy party system). Sekitar 40 partai yang berkompetisi pada pemilu 1955 secara fair dan tanpa intervensi pemerintah. Hal ini terbukti pula melalui proses pembentukan dan system rekrutmen struktur partai dengan tidak melibatkan penguasa. Seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Masyumi yang di pimpin Muhammad Natsir sebagai simbol partai nasionalis Islam.
Akan tetapi dalam perjalanannya semuanya menjadi berubah begitu drastis. Soekarno berubah menjadi otoriter dengan ditandai dikeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang isinya diantaranya membubarkan konstituante dan menyatakan untuk kembali ke UUD 1945. kemudian pada tahun 1959-1965 Soekarno mencoba menawarkan demokrasi terpimpin. Pada era inilah akses partai Komunis memasuki pentas politik nasional dengan alasan pembentukan pemerintahan dengan melibatkan semua kekuatan partai politik. Tampilnya partai Komunis ke panggung politik nasional ketika itu lebih dikarenakan Komunis sebagai basis kekuatan politik Soekarno untuk membendung kekuatan-kekuatan partai Islam lewat Masyumi yang ketika itu dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan Soekarno. Soekarno kemudian mengajukan “Konsep Presiden” yang kemudian melahirkan “Dewan Nasional” dengan melibatkan semua kekuatan partai politik dan organisasi social kemasyarakatan. Kendatipun gagasan ini mendapat tantangan yang hebat terutama dari kalngan Islam kanan melalui Partai PSI dan Masyumi. Dan pada masa inilah kekuasaan Orde Lama bertindak otoriter secara konstitusional dengan menggunakan konstitusi sebagai legitimasi kebijakan politik.
Kegagalan kudeta kekuasaan melalui G-30-S/PKI membawa implikasi negatif bagi eksistensi kekuasaan Soekarno, bahkan Soekarno harus tersingkir dari arena perpolitikan nasional pada masa pemerintahan demokrasi terpimpin (1959-1965), dan meninggal pada tahun 1971. dari sinilah tampil kekuatan Angkatan Darat untuk memainkan peran sentral kekuasaan dalam proses perpolitikan Indonesia dengan melahirkan dwi fungsi ABRI. Masa transisi antara 1965-1968, ketika Jenderal Soeharto terpilih sebagai presiden RI kedua dalam sejarah republik.
Memasuki fase kepemimpinan Orde Baru, melalui Jenderal Soeharto, mencoba menawarkan konsep demokrasi Pancasila sebagai sistem pemerintahan negara. Ironisnya, konsep demokrasi Pancasila dalam realitas implementasinya hanya sekedar instrument spekulatif politik penguasa. Dalam kerangka ini dapat dipahami bahwa era Orde Baru sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan masa pemerintahan sebelumnya. Dimana praktek demokrasi jauh dari kenyataan. Perilaku kekuasaan yang otoriter, dictator, dan praktek-praktek kekuasaan yang bertentangan dengan semangat filosofi demokrasi yang dirasakan rakyat.
Kebebasan dan hak rakyat dalam berpolitik dibatasi bahkan dikebiri oleh penguasa. Kelompok oposisi yang sesungguhnya sebagai ‘moral obligation’, kekuatan kontrol sosial diluar sistem justru dipasung. Contoh sederhana ialah kebebasan Pers yang sebetulnya sebagai kekuatan kontrol sekaligus sebagai proses pendidikan politik rakyat yang cukup efektif itu malahan tidak diberi porsi yang wajar. Bahkan yang lebih menyedihkan adalah apabila terdapat ada Pers yang berani kritis terhadap kebijakan pemerintah maka akan mendapatkan akibatnya. Kasus pemberangusan Pers pada masa Orde Baru terjadi sejak tahun 1973/1974, tahun 1977/1978, dan di tahun 1994, ketika itu Majalah Detik, Editor, dan Tempo yang dalam waktu yang bersamaan dicabut pula SIUP-nya. Selain itu, sistem pemilu yang syarat dengan kepentingan politik penguasa. Pendek kata selama pemilu di masa rezim Orde Baru berkuasa, rakyat kecil tak terkecuali kelompok ummat Islam mengalami diskriminasi, marginalisasi politik yang luar biasa. Model pemerintahan otoriter inilah yang pada akhirnya memaksa Jenderal Soeharto harus turun dari singgasana kekuasaan sebelum masa akhir jabatan, melalui gerakan reformasi yang disponsori mahasiswa.
Memasuki era reformasi tampaknya aroma demokrasi mulai muncul bahkan bisa dikatakan mulai pulih dari sakit akibat terkena sihir kekuasaan Orde Baru. Masa transisi pasca Orde Baru dibawah kepemimpinan B.J. Habibie bersama cabinet reformasi pembangunannya benar-benar menghendaki adanya demokratisasi. Paling tidak semangat filosofi dasar negara yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 2, dan pasal 28-29 ayat 2 merupakan pengejewantahan dari demokrasi dapat terrealisasikan.
Dalam konteks pemilu 2004 silam yang merupakan tonggak sejarah permulaan bangsa Indonesia dalam mempraktekkan demokrasi substansial dengan memilih presiden dan wakil presiden secara langsung lewat satu paket undang-undang. Rakyat Indonesia terutama ummat Islam harus menyadari betapa pentingnya konsolidasi seluruh kekuatan dan rekonsiliasi nasional dalam rangka mengamankan transisi reformasi menuju terwujudnya demokratisasi yang berlandaskan pada semangat keadilan social dan kemanusiaan universal. Dengan demikian, apabila ummat Islam kembali mempraktekkan politik aliran gaya klasik antara NU dan Muhammadiyah, Persis, DDI, serta ormas-ormas Islam lainnya tidak bersatu maka tidak saja kekuatan politik Islam akan kalah tetapi lebih dari itu politik Islam tidak akan mampu memainkan peran secara maksimal dalam proses perwujudan demokratisasi di Indonesia. Artinya, sulit bagi kekuatan ummat Islam untuk tampil sebagai aktor penting dalam proses kebijakan negara.
Disinilah dibutuhkan kesadaran adanya kearifan berpolitik dari kalangan elit-elit politik Islam. Bahwa ummat Islam harus mampu menjadikan momentum pemilu sebagai kesempatan untuk tampil sebagai kekuatan politik yang memiliki daya tawar tinggi pada negara. Fenomena ini terjadi hampir di semua negara yang berpenduduk mayoritas agama apapun karena mereka akan ambil bagian penting dalam lingkaran kekuasaan negara sebagaimana di Amerika Serikat dan Inggris. Ummat Islam Indonesia harus mampu membuktikan bahwa konsep Islam adalah ‘rahmatan lil al alamin’  dalam bingkai negara Pancasila dan UUD 1945. Sejarah perpolitikan Indonesia telah membuktikan bahwa ummat Islam yang merupakan mayoritas dari negeri ini harus menjadi kekuatan politik yang menopang tegaknya negara. Tetapi sangat disayangkan karena dibalik kekuatan ummat Islam selalu diselipi dengan berbagai intrik-intrik politik dari aktor-aktor politik tertentu terutama pada tingkat indufidu yang pada gilirannya Islam menjadi centang perenang. Ummat Islam sekedar dijadikan ‘kuda tunggangan’ para elit politik yang tidak memiliki ‘sens of bilongin’  pada Islam.
Dengan demikian, rakyat dan khususnya ummat Islam Indonesia harus peka dan cerdas didalam memanfaatkan hak politiknya sehingga momentum pemilihan langsung pada pemilihan-pemilihan berikutnya bisa melahirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki semangat untuk mentransformasikan demokrasi dan nilai-nilai Islam secara komprehensif. Kebebasan berserikat (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), kebebasan menyatakan pendapat secara tertulis dan lisan (freedom of speech), dan yang tak kalah pentingnya ialah kebebasan Pers (freedom of press) yang berperan sebagai check and balancec diluar sistem pemerintah bisa bekerja secara efektif pula. Pada akhirnya sebuah pemerintah baru bisa dikatakan demokratis manakalah derajat demokrasi dapat menempatkan posisi rakyat dalam kerangka pendidikan, hukum, sosial politik, dan budaya yang layak.

Catatan :

Arsip tulisan lawas / Yogyakarta, Juni 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar