Prospek Pemilu Langsung
Oleh
:Rahman Yasin
(“Tenaga
Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu”)
Pemilihan Umum (pemilu)
pada tahun 2004 silam adalah sebuah fenomena politik Indonesia kontemporer yang
cukup menarik untuk di diskusikan. Pesta demokrasi dengan menggunakan model
demokrasi terbuka (langsung) adalah merupakan yang pertama kali diselenggarakan
di negara Indonesia sejak pasca kemerdekaan. Dengan menggunakan system
demokrasi terbuka ini rakyat tidak lagi mendelegasikan aspirasinya melalui
lembaga legislatif DPR dan DPRD yang proseduralis dan syarat dengan dengan KKN.
Hal ini juga membuka partisipasi politik masyarakat secara terbuka pula,
sehingga Pemilu pada permulaan ini dapat dikategorikan sebagai Pemilu yang
memiliki nilai-nilai historis tersendiri dibanding Pemilu-pemilu sebelumnya.
Pemilu-pemilu yang
sudah terlewati sejak psaca kemerdekaan republik Indonesia yakni mulai dari era
Orde Lama hingga Orde Baru bisa disimpulkan bahwa sistem Pemilu yang digunakan
ketika sangat jauh dari semangat demokrasi. Prosedur dan mekanisme Pemilu pada
pemerintahan kedua Orde ini sangatlah distortif. Tanpa memberi ruang dan gerak
yang secara demokratis bagi lawan-lawan politik penguasa.
Secara sosio-historis
proses perkembangan demokrasi di Indonesia pasca kemerdekaan pada era Orde Lama
maupun Orde Baru tidak begitu menggembirakan karena sistem yang dibuat lebih
berpihak kepada partai pemerintah. Demokrasi merupakan sebuah system politik
yang ideal yang diterapkan hampir sebagian besar negara di belahan dunia. Tak
terkecuali Indonesia yang berpenduduk mayoritas beragama Islam. Pilihan untuk
menggunakan demokrasi presidensil merupakan sangat rasional karena demokrasi
substansial itu sendiri mengandung nilai-nilai sosial universal. Dengan
menggunakan system demokrasi substansial mana negara akan lebih mudah
mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat yang secara sosial sangat plural.
Sejak proklamasi
kemerdekaan dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia melalui presiden
Soekarno dan Muhammad Hatta, serta para pendiri republic lainnya tampaknya
mempunyai persamaan visi dan misi untuk membangun republic ini menjadi yang
lebih demokratis. Semangat untuk membangun demokrasi tercermin melalui
perumusan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar negara republik
Indonesia. Misalnya, dalam UUD 1945 pada pasal 1 ayat ke 2 yang berbunyi:
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”. Kemudian berkaitan dengan kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya,
ditetapkan dengan Undang-Undang pada pasal 28 yang berbunyi: “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing”. (Pasal 29 ayat
2).
Dalam konteks itu, maka
Undang-Undang ini tidak semata mengharuskan negara untuk menjalankan
pemerintahan yang demokratis akan tetapi negara harus memahami dan
menimplementasikan demokrasi tidak hanya pada tataran politik, tetapi bagaimana
negara mewujudkan demokrasi secara aktualitatif. Di pertengehan usia kekuasaan
Soekarno, rezim ini mencoba mempraktekkan demokrasi parlementer (1950-1959)
yakni sistem pemerintahan dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) sebagai landasan politik konstitusionalnya. Pada era inilah yang disebut
sebagai pemerintahan parlementer atau “representative/partisipatory
democracy” yang kemudian oleh Herbert
Feith menilainya sebagai pemerintahan “Constitutional Democracy”, yang
kemudian di interpretasikan oleh kalangan politisi sebagai demokrasi liberal.
Dalam kondisi yang
demikian, manfaat yang dirasakan ketika itu adalah munculnya multi partai (multy party system). Sekitar 40 partai
yang berkompetisi pada pemilu 1955 secara fair dan tanpa intervensi pemerintah.
Hal ini terbukti pula melalui proses pembentukan dan system rekrutmen struktur
partai dengan tidak melibatkan penguasa. Seperti Partai Nasional Indonesia
(PNI) dan Partai Masyumi yang di pimpin Muhammad Natsir sebagai simbol partai nasionalis Islam.
Akan tetapi dalam perjalanannya semuanya
menjadi berubah begitu drastis. Soekarno berubah menjadi otoriter dengan
ditandai dikeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang isinya diantaranya
membubarkan konstituante dan menyatakan untuk kembali ke UUD 1945. kemudian
pada tahun 1959-1965 Soekarno mencoba menawarkan demokrasi terpimpin. Pada era
inilah akses partai Komunis memasuki pentas politik nasional dengan alasan
pembentukan pemerintahan dengan melibatkan semua kekuatan partai politik.
Tampilnya partai Komunis ke panggung politik nasional ketika itu lebih
dikarenakan Komunis sebagai basis kekuatan politik Soekarno untuk membendung
kekuatan-kekuatan partai Islam lewat Masyumi yang ketika itu dianggap sebagai
ancaman bagi kekuasaan Soekarno. Soekarno kemudian mengajukan “Konsep Presiden”
yang kemudian melahirkan “Dewan Nasional” dengan melibatkan semua kekuatan
partai politik dan organisasi social kemasyarakatan. Kendatipun gagasan ini
mendapat tantangan yang hebat terutama dari kalngan Islam kanan melalui Partai
PSI dan Masyumi. Dan pada masa inilah kekuasaan Orde Lama bertindak otoriter
secara konstitusional dengan menggunakan konstitusi sebagai legitimasi
kebijakan politik.
Kegagalan kudeta kekuasaan melalui G-30-S/PKI
membawa implikasi negatif bagi eksistensi kekuasaan
Soekarno, bahkan Soekarno harus tersingkir dari arena perpolitikan nasional
pada masa pemerintahan demokrasi terpimpin (1959-1965), dan meninggal pada
tahun 1971. dari sinilah tampil kekuatan Angkatan Darat untuk memainkan peran
sentral kekuasaan dalam proses perpolitikan Indonesia dengan melahirkan dwi
fungsi ABRI. Masa transisi antara 1965-1968, ketika Jenderal Soeharto terpilih
sebagai presiden RI kedua dalam sejarah republik.
Memasuki fase kepemimpinan Orde Baru, melalui
Jenderal Soeharto, mencoba menawarkan konsep demokrasi Pancasila sebagai sistem
pemerintahan negara. Ironisnya, konsep demokrasi Pancasila dalam realitas
implementasinya hanya sekedar instrument spekulatif politik penguasa. Dalam
kerangka ini dapat dipahami bahwa era Orde Baru sesungguhnya tidak jauh berbeda
dengan masa pemerintahan sebelumnya. Dimana praktek demokrasi jauh dari
kenyataan. Perilaku kekuasaan yang otoriter, dictator, dan praktek-praktek
kekuasaan yang bertentangan dengan semangat filosofi demokrasi yang dirasakan
rakyat.
Kebebasan dan hak rakyat dalam berpolitik
dibatasi bahkan dikebiri oleh penguasa. Kelompok oposisi yang sesungguhnya
sebagai ‘moral obligation’, kekuatan
kontrol sosial diluar sistem justru dipasung. Contoh sederhana ialah kebebasan
Pers yang sebetulnya sebagai kekuatan kontrol sekaligus
sebagai proses pendidikan politik rakyat yang cukup efektif itu malahan tidak
diberi porsi yang wajar. Bahkan yang lebih menyedihkan adalah apabila terdapat
ada Pers yang berani kritis terhadap kebijakan pemerintah maka akan mendapatkan
akibatnya. Kasus pemberangusan Pers pada masa Orde Baru terjadi sejak tahun
1973/1974, tahun 1977/1978, dan di tahun 1994, ketika itu Majalah Detik,
Editor, dan Tempo yang dalam waktu yang bersamaan dicabut pula SIUP-nya. Selain
itu, sistem pemilu yang syarat dengan kepentingan politik penguasa. Pendek kata
selama pemilu di masa rezim Orde Baru berkuasa, rakyat kecil tak terkecuali
kelompok ummat Islam mengalami diskriminasi, marginalisasi politik yang luar
biasa. Model pemerintahan otoriter inilah yang pada akhirnya memaksa Jenderal
Soeharto harus turun dari singgasana kekuasaan sebelum masa akhir jabatan,
melalui gerakan reformasi yang disponsori mahasiswa.
Memasuki era reformasi tampaknya aroma
demokrasi mulai muncul bahkan bisa dikatakan mulai pulih dari sakit akibat
terkena sihir kekuasaan Orde Baru. Masa transisi pasca Orde Baru dibawah
kepemimpinan B.J. Habibie bersama cabinet reformasi pembangunannya benar-benar
menghendaki adanya demokratisasi. Paling tidak semangat filosofi dasar negara
yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 2, dan pasal 28-29
ayat 2 merupakan pengejewantahan dari demokrasi dapat terrealisasikan.
Dalam konteks pemilu 2004 silam yang
merupakan tonggak sejarah permulaan bangsa Indonesia dalam mempraktekkan
demokrasi substansial dengan memilih presiden dan wakil presiden secara
langsung lewat satu paket undang-undang. Rakyat Indonesia terutama ummat Islam
harus menyadari betapa pentingnya konsolidasi seluruh kekuatan dan rekonsiliasi
nasional dalam rangka mengamankan transisi reformasi menuju terwujudnya
demokratisasi yang berlandaskan pada semangat keadilan social dan kemanusiaan
universal. Dengan demikian, apabila ummat Islam kembali mempraktekkan politik
aliran gaya klasik antara NU dan Muhammadiyah, Persis, DDI, serta ormas-ormas
Islam lainnya tidak bersatu maka tidak saja kekuatan politik Islam akan kalah
tetapi lebih dari itu politik Islam tidak akan mampu memainkan peran secara
maksimal dalam proses perwujudan demokratisasi di Indonesia. Artinya, sulit
bagi kekuatan ummat Islam untuk tampil sebagai aktor penting dalam proses
kebijakan negara.
Disinilah dibutuhkan kesadaran adanya
kearifan berpolitik dari kalangan elit-elit politik Islam. Bahwa ummat Islam
harus mampu menjadikan momentum pemilu sebagai kesempatan untuk tampil sebagai
kekuatan politik yang memiliki daya tawar tinggi pada negara. Fenomena ini
terjadi hampir di semua negara yang berpenduduk mayoritas agama apapun karena
mereka akan ambil bagian penting dalam lingkaran kekuasaan negara sebagaimana
di Amerika Serikat dan Inggris. Ummat Islam Indonesia harus mampu membuktikan
bahwa konsep Islam adalah ‘rahmatan lil al alamin’ dalam bingkai negara Pancasila dan UUD 1945. Sejarah perpolitikan Indonesia telah
membuktikan bahwa ummat Islam yang merupakan mayoritas dari negeri ini harus
menjadi kekuatan politik yang menopang tegaknya negara. Tetapi sangat
disayangkan karena dibalik kekuatan ummat Islam selalu diselipi dengan berbagai
intrik-intrik politik dari aktor-aktor politik tertentu terutama pada tingkat
indufidu yang pada gilirannya Islam menjadi centang perenang. Ummat Islam
sekedar dijadikan ‘kuda tunggangan’ para elit politik yang tidak memiliki ‘sens
of bilongin’ pada Islam.
Dengan demikian, rakyat dan khususnya ummat
Islam Indonesia harus peka dan cerdas didalam memanfaatkan hak politiknya
sehingga momentum pemilihan langsung pada pemilihan-pemilihan berikutnya bisa
melahirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki semangat untuk mentransformasikan
demokrasi dan nilai-nilai Islam secara komprehensif. Kebebasan berserikat (freedom of association), kebebasan
berkumpul (freedom of assembly),
kebebasan menyatakan pendapat secara tertulis dan lisan (freedom of speech), dan yang tak kalah pentingnya ialah kebebasan
Pers (freedom of press) yang berperan
sebagai check and balancec diluar
sistem pemerintah bisa bekerja secara efektif pula. Pada akhirnya sebuah
pemerintah baru bisa dikatakan demokratis manakalah derajat demokrasi dapat
menempatkan posisi rakyat dalam kerangka pendidikan, hukum, sosial politik, dan
budaya yang layak.
Catatan
:
Arsip
tulisan lawas / Yogyakarta, Juni 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar