Senin, 07 Agustus 2017

Masyarakat Madani

Membaca Sepintas Gagasan Masyarakat Madani
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.,
Lewat Buku Konstitusi Sosial
Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)


Jimly Asshiddiqie  merupakan sosok intelektual produktif dalam menulis karya-karya ilmiah. Karya-karya buku yang ditulis Jimly boleh dikatakan (meski ini bukan merupakan suatu kesimpulan), hampir 90 persen memuat kajian dari apa yang menjadi konsentrasi studi akademik Hukum Tata Negara. Sampai saat ini lebih dari 40 buku yang ditulis Jimly terlihat sangat serius, dan tanpa menyebut ada karya buku Jimly yang kurang serius, namun penyebutan kata serius ini lebih ditempatkan pada penjelajahan beberapa karya buku Jimly yang untuk sementara dapat disimpulkan cukup serius. Sebut saja seperti buku Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara (1999), Menuju Negara Hukum yang Demokratis (2009), Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (2005), Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (2012), Komentar Atas Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 (2011), Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat (2001), Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara (2009), Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia (2000), termasuk buku yang mendekati pada kajian hukum Islam, yang diberi judul : Hukum Islam Dan Kedaulatan (2001), dan lain-lain.
Diantara sekian banyak karya buku sebagaimana disinggung diatas hampir sama sekali tidak menyertakan pembahasan secara spesifik tentang konsep masyarakat madani. Hal ini dapat dipahami karena proses penulisan buku yang dilakukan setiap penulis, terkadang diwarnai oleh dinamika sosial yang berkembang pada situasi dan konteks dimensinya yang memicu nalar intelektual setiap penulis produktif untuk menuangkan gagasan dan pemikiran dalam bentuk buku. Dari penelusuran sementara, setidaknya ada dua karya terbaru Jimly yang terlihat sangat serius membahas masyarakat madani, baik dalam pengertian ilmiah maupun dalam tataran praktik yang lebih aktual, yakni buku pertama Peradilan Etik dan Etika Konstitusi: Pespektif Baru tentang ‘Rule Of Law And Rule Of Ethics’ & Constitutional Law And Constitutional Ethics’ diterbitkan penerbit Sinar Grafika (2013, dan Gagasan Konstitusi Sosial: Institusionalisasi dan Konstitusionalisasi Kehidupan Sosial Masyarakat Madani diterbitkan LP3ES (2014).
Memang dipenghujung awal abad ke-XX, diskursus tentang masyarakat madani terus berkembang di Indonesia seiring rotasi demokratisasi yang mengalami lompatan yang kencang, terlebih pada era reformasi tahun 1998. Perwujudan masyarakat madani dalam proses pembangunan bangsa menjadi salah satu topik menarik para ilmuan dan kalangan cendikiawan kontemporer. Konsep masyarakat madani menjadi begitu hangat diperbincangkan di kalangan dunia intelektual. Konsep masyarakat madani di Indonesia pun disandingkan dengan demokratisasi yang diharapkan akan tercipta suatu sistem atau tatanan sosial politik yang madani. Suatu sistem politik yang civilized atau bergerak dan beradaptasi dengan proses peradaban bangsa. Demokratisasi yang dimaksud yakni adanya iklim praktik kekuasaan politik yang berbasisikan pada mekanisme chec and balance dari masing-masing cabang kekuasaan yang melibatkan partisipasi masyarakat.
Dari perspektif historis, konsep masyarakat madani bukanlah wacana baru yang dikembangkan para kaum intelektual modern, melainkan konsep ini sudah lebih dahulu dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw. Kepemimpinan Nabi Muhammad dengan mendirikan negara kota Madinah pada perjalanan sejarah menunjukkan menjadi cikal bakal model pemerintahan civilized. Kota Madinah yang semula bernama Yastrib dijadikan sebagai pusat negara kota yang diatur dalam suatu (konstitusi) bernama Piagam Madinah.
Jimly menerangkan konsep ‘civil society’ dari perspektif sejarah modern, menurutnya, pertama kali dipopulerkan oleh Hegel, tetapi sebenarnya dapat pula dihubungkan dengan model masyarakat kota Madinah di zaman nabi Muhammad dan 4 khalifah sepeninggal wafatnya nabi yang biasa disebut khulafaurrasyidin pada abad ke 7M. Itulah sebabnya pada tahun 1990-an, Prof. Naguib Alattas pertama kali menerjemahkan ide ‘civil society’ itu dengan istilah ‘masyarakat madani’ yang berkaitan dengan kata ‘madaniy’ (civility) atau keberadaban kota, seperti yang tercermin di kota Madinah ketika itu. Istilah ini diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim kepada publik Indonesia, sehingga banyak orang yang salah mengira seakan-akan Anwar Ibrahim lah orang pertama yang menggunakan istilah ini. Di Indonesia, istilah ini dipopulerkan oleh Dr. Nurcholish Madjid yang memberikan penjelasan sosio-historis yang meyakinkan tentang model masyarakat Madinah di masa Rasul dan khulafaurrasyidin dalam konteks pengertian ‘civil society’ di zaman modern. Menurutnya, masyarakat madani adalah masyarakat yang merujuk pada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi Muhammad SAW di Madinah, sebagai masyarakat kota atau masyarakat berperadaban dengan ciri antara lain: egaliteran (kesederajatan), menghargai prestasi, keterbukaan, toleransi, dan musyawarah. Bahkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi norma, nilai, dan hukum yang ditopang oleh penguasaan teknologi yang beradab, iman dan ilmu.
Jimly sendiri menjelaskan bahwa kata Madinah sendiri dalam bahasa arab dapat dipahami dari dua pengertian, yaitu dalam makna ‘kota’ dan dalam arti ‘peradaban’ atau ‘madaniyah’ yang berpadanan dengan kata ‘tamaddun’ dan ‘hadlarah’, yang juga berarti peradaban atau kebudayaan yang tinggi. Kota berperadaban ini dibentuk secara sadar dan dengan kebersamaan segenap warga dengan menandatangani suatu Piagam yang kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah yang berfungsi sebagai konstitusi tertulis pertama dalam pengertian seperti yang dipahami sebagai konstitusi di zaman modern sekarang. Konstitusi Madinah inilah memuat kesepakatan bersama antar warga, antara lain mengenai kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, tanggung jawab sosial dan politik, serta pertahanan bersama. Piagam tertulis ini dijadikan rujukan dalam membangun sistem organisasi bersama, yang dewasa ini dikenal sebagai organisasi bernegara, yaitu negara yang dibentuk di atas landasan sosial masyarakat yang majemuk, damai dan toleran antar sesama, sehingga memungkinkan peradaban tumbuh dan berkembang dalam keteraturan yang adil untuk kepentingan bersama.
Salah satu ciri masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society) adalah adanya organisasi-organisasi yang berperan aktif mengimbangi dan melengkapi peran yang dilakukan oleh organ-organ negara dan korporasi di dunia usaha. Karena itu, ciri-ciri organisasi masyarakat yang dimaksud tentunya dapat dirumuskan tersendiri di samping ciri-ciri masyarakatnya seperti diuraikan di atas. Seperti dikatakan oleh Ernest Gellner, ‘civil society’ itu merujuk pada mayarakat yang terdiri atas pelbagai institusi non-pemerintah yang bersifat otonom dan dapat berfungsi efektif mengimbangi kekuatan negara. Menurut Jean L. Cohen dan Andrew Arato, ‘civil society’ merupakan suatu wilayah interaksi sosial antara ekonomi, politik, dan negara yang didalamnya mencakup semua kelompok sosial yang bersama-sama membangun ikatan-ikatan sosial diluar lembaga resmi pemerintahan, menggalang solidaritas kemanusiaan, dan mengejar kebaikan bersama (public good). Karena itu, oleh Dr. Muhammad AS Hikam dikatakan bahwa ‘civil society’ atau masyarakat madani itu merupakan wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), keswadayaan (self-supporting), dan kemandirian dalam berhadapan dengan negara, serta terikat pada norma-norma dan nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Masyarakat madani atau juga disebut masyarakat sipil memiliki konotasi pengertian sebagai suatu gambaran masyarakat yang terorganisasi secara teratur. Dalam pengertian ini, Jimly berpandangan, para ahli yang melakukan kajian tentang masyarakat madani, seringkali mencampuradukkan pengertian ‘civil society’ dengan ‘civil society organizations’ (CSOS) yang menurut Jimly tengah mengalami perkembangan pesat di hampir semua negara penganut sistem demokrasi.
Salah satu indikator yang paling menonjol pada pertengahan abad ke-20 tentang pesatnya gerakan perwujudan masyarakat madani yakni ditandai dengan adanya kemunculan organisasi-organisasi kemasyarakatan atau pula disebut organisasi-organisasi non-pemerintah (ORNOP) atau yang lazim dikenal “ORNEG”. Gerakan transformasi masyarakat madani baik melalui ORNOP maupun ORGEG serta instrumen-instrumen gerakan pro-demokrasi yang lain hadir dengan bentuk dan ukuran kapasitas maupun ruang lingkup kegiatan tersendiri berdasarkan standar masyarakat modern yang menuntut hak-hak dan kebebasan politik.
Gerakan masyarakat madani yang menguat, menurut Jimly, pada kapasitas kondisi aktual seringkali ditopang oleh globalisasi dan demokratisasi di negara-negara di seluruh penjuru dunia. Peran masyarakat madani yang menguat dalam kebijakan negara juga dapat dilihat sebagai suatu proses integrasi sistem perekenomian global. Selain perkembangan perekonomian global, juga hal yang tidak dapat dihindari yakni sistem teknologi informasi dan telekomunikasi yang mempercepat segala urusan, mendekatkan jarak yang semula susah dijangkau, atau pendek kata mempermudah segala urusan, dan dengan sistem pemerintahan yang semakin demokratis, partisipasi politik masyarakat yang aktif, dan jaminan terhadap kebebasan pers membuka ruang gerak yang bebas bagi organisasi-organisasi ‘civil society’ mengalami kemajuan pesat.
Pada perspektif masyarakat madani dalam maknanya yang lebih luas, Jimly berpandangan, masyarakat beradab adalah masyarakat yang menganut kepercayaan akan sistem nilai kemanusiaan yang menjadi kesepakatan bersama. Masyarakat beradab adalah masyarakat yang tidak hanya sadar akan hukum dan konstitusi tetapi sekaligus taat melaksanakannya. Model masyarakat beradab adalah masyarakat yang dalam sistem kehidupan sosialnya selalu mengedepankan prinsip-prinsip pergaulan sosial baik dalam konteks lokal, regional, nasional saja tetapi juga dalam konteks pergaulan internasional senantiasa mengedepankan keadaban. Keadaban yang mencerminkan model masyarakat madani. Masyarakat madani Indonesia adalah masyarakat keberadaban yang mengutamakan ‘civility’ yang terus tumbuh dan menentukan kualitas organisasi bernegara dan organisasi dunia usaha. Masyarakat madani Indonesia tidak tergantung kepada negara dan dunia usaha, karena masyarakat madani Indonesia itu sudah lebih dulu ada dari organisasi negara Indonesia dan organisasi dunia usaha Indonesia. Organisasi politik dan organisasi ekonomi dibentuk dan berkembang karena masyarakat madani, bukan sebaliknya. Karena itu, Undang-Undang Dasar Negara harus dipahami sebagai konstitusi yang berisi sistem rujukan normatif tertinggi, bukan saja oleh dan di lingkungan organisasi pemerintahan negara dalam arti sempit, tetapi juga dalam lingkungan masyarakat madani sebagai keseluruhan. Undang-Undang Dasar bukan hanya berfungsi sebagai konstitusi politik tetapi juga konstitusi sosial, yaitu konstitusi masyarakat madani, seakan terlepas dari ada tidaknya struktur formal organisasi pemerintahan negara. (at al, Gagasan Konstitusi Sosial).
Gagasan mutakhir yang tidak kalah penting dalam praktik nyata sekarang yakni model masyarakat madani yang ideal. Suatu model masyarakat yang menjadikan sistem demokrasi substansial sebagai alat untuk mencapai tujuan hidup bersama dalam bernegara. Masyarakat madani yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan keadilan terutama keadilan substantif. Menurutnya, di abad ke-21 ini, umat manusia membutuhkan sistem demokrasi berintegritas, bukan sekedar demokrasi prosedural. Umat manusia lebih membutuhkan keadilan substantif daripada sekedar keadilan formal dan prosedural. Karena itu, demokrasi yang ideal di masa kini dan masa depan adalah demokrasi yang diimbangi oleh tegaknya ‘rule of law’ dan sekaligus ‘rule of ethics’.
Dalam bukunya Peradilan Etik dan Etika Konstitusi (2013), terlihat suatu gambaran yang sangat kontekstual bagaimana Jimly menunjukkan keseriusan pada wacana pentingnya mengintegrasikan sistem etika dan sistem hukum secara bersamaan. Menurutnya, sistem hukum dan etika ditumbuh-kembangkan secara simultan, bersifat komplimenter serta interdependen satu sama lain. Karena itu, dengan mengutip pendapat Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969) yang mengatakan, “law floats in a sea of ethics”. Hukum mengalir di atas samudera etika. Jika hukum kita ibaratkan sebagai kapal, maka etika adalah air samudera yang luas, yang memungkinkan kapan berlayar mencapai tujuannya. Jika air samudera kering, tidak dalam kehidupan bermasyarakat tidak berfungsi, mana mungkin hukum dan keadilan dapat diwujudkan dalam kenyataan. Disinilah pentingnya tingkat peradaban dalam masyarakat madani ditumbuhkembangkan. Karena itu, ciri masyarakat madani itu juga terkait dengan berfungsi efektifnya sistem norma etika dan hukum dalam kehidupan bersama, yang pada gilirannya akan menentukan berintegritas tidaknya sistem demokrasi yang diterapkan dalam praktik.
                Konsistensi Jimly pada pembahasan masyarakat madani tidak dibatasi pada tingkat masyarakat dalam arti luas tetapi juga terlihat konsennya pada kajian ilmiah dalam bentuk dan wujud perkembangan institusi dan gerakan organisasi modern. Organisasi dengan bentuk dan perwujudan substansi seperti anggaran dasar dari semua jenis dan macam bentuk organisasi masyarakat dapat dijadikan perwujudan dari nilai-nilai etika dan hukum konstitusi yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945, maka niscaya anggaran dasar semua jenis dan bentuk organsasi yang ada dapat difungsikan sebagai sarana pemasyarakatan dan pembumian nilai-nilai kehidupan berkonstitusi dalam perikehidupan masyarakat madani yang teratur dan terorganisasi.       
Perspektif lain mengenai pengertian ‘civil society’ yang dimaksud terkait erat dengan lingkungan masyarakat majemuk yang dinamika perkembangannya terkait dengan pelembagaan organisasi-organisasi yang bersifat non-negara (Orneg) atau pemerintahan (Ornop)  dan non-profit atau tidak mencari keuntungan yang hadir dalam kehidupan publik, mengekspresikan kepentingan dan nilai-nilai warganya atau masyarakat pada umumnya berdasarkan etika, budaya, politik, ilmu pengetahuan, agama atau pertimbangan amal filantropis. Karena pentingnya unsur pelembagaan atau aspek keterorganisasian masyarakat inilah maka seringkali para ahli mengidentikkan pengertian organisasi masyarakat sipil itu dengan masyarakat sipil itu sendiri, atau sebaliknya selalu memahami konsepsi tentang masyarakat sipil (civil society) dalam konteks organisasi. Konsep “Civil Society Organizations” (CSO) itu sendiri memang mencakup pengertian organisasi masyarakat yang sangat luas cakupannya, mulai dari kelompok-kelompok warga (community groups), organisasi non-pemerintah atau non-negara, serikat pekerja, asosiasi-asosiasi profesi, kesatuan masyarakat hukum adat, organisasi-organisasi amal, organisasi keagamaan, perkumpulan pendidikan, badan wakaf, asosiasi profesi, yayasan-yayasan, dan lain-lain sebagainya”. Di semua negara di seluruh dunia, bentuk-bentuk organisasi semacam itu tumbuh dinamis setidaknya selama 1 abad terakhir yang oleh para ahli disebut sebagai fenomena baru yang dikaitkan dengan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Hegel, yaitu “civil society”.
Jimly dalam kajian masyarakat madani pada buku Konstitusi Sosial, terlihat sangat serius dengan pendekatan ilmiah yang merupakan khas dirinya sebagai seorang cendikiawan. Ia tidak sekadar membincangkan tema diskusi diluar yang tengah giatnya kaum ilmuan sosial memperbincangkannya, namun kekayaan literatur menjadi kekhasan ilmuan cerdas ini. Rujukan teori dan materi kajiannya jelas dipandu oleh bacaan-bacaan yang berkelas. Persinggunggannya tentang pengertian, defenisi dan penerjemahan masyarakat madani betul-betul dari dimensi keilmuan. Ia mengangkat beberapa buku yang menjadi persinggungan tentang masyarakat madani. Di antara buku yang sangat penting mendiskusikan konsep ‘civil society’ ini di kalangan para sarjana adalah “Civil Society and Political Theory” (1994) dan buku “Civil Society: Theory, History, Comparison” (1995). Kedua buku ini memang dibutuhkan oleh zamannya, ketika konsep ‘civil society’ ini diwacanakan secara luas dalam teori dan praktik sesudah runtuhnya rezim komunisme pada akhir dekade 80-an dan awal dekade 90-an. Namun, jika ditelusuri, ide ‘civil society’ ini sebenarnya berasal dari pemikiran Hegel, yaitu dari Hegel's Philosophy of Right yang mengembangkan pembedaan tiga ranah kehidupan (tripartite distinction) negara, ekonomi pasar, dan masyarakat. Pembedaan ketiga ranah inilah yang mendapat sambutan kritis dari banyak sarjana dan filosof abad ke-20, termasuk Antonio Gramsci, Talcott Parsons, hannah Arendt, Luhmann, Foucault, dan bahkan Habermas. Bahkan berdasarkan teori Habermas tentang “communicative action”, Jean L. Cohen dan Andrew Arato membangun kembali pengertian modern tentang “civil society”. Cohen dan Arato mendiskusikan gerakan-gerakan dan kritik-kritik Habermas sambil menawarkan kerangka teori baru mereka sendiri tentang hal ini.
Dari kajian tentang civil society yang bertitik tolak dari beberapa literatur yang mewarnai gagasan Jimly tersebut, maka tidak bermaksud memberikan penilaian apalagi mengambil suatu kesimpulan, namun sekurang-kurangnya untuk pada pembacaan sementara, bisa ditarik benang merahnya, bagaimana Jimly menguraikan masyarakat madani dalam konteksnya dengan wacana konsep ini di Indonesia, yang menurutnya wacana tentang ‘civil society’ di Indonesia dapat dikatakan baru diperkenalkan pada tahun 1980-an. Menurut Hendro Prasetyo, Ali Munhanif dan kawan-kawan, sarjana pertama yang membahas ide ‘civil society’ ini dalam konteks Indonesia adalah Arief Budiman yang bersama Sarjana Australia di Monash University dalam suatu konferensi “State and Civil Society in Contemporery Indonesia” pada  25-27 Nopember 1988. Makalah-makalah dari konferensi ini kemudian dibukukan dan disuntimg sendiri oleh Arief Budiman dalam “State and Civil Society in Indonesia” yang dinilai merupakan karya pertama yang membahas tentang ‘civil society’ di indonesia. Sejak itu, wacana dan diskusi tentang ‘civil society’ ini terus berkembang, dan bahkan kemudian dikaitkan dengan istilah ‘masyarakat madani’ yang diperkenalkan oleh Naguib Alattas, Anwar Ibrahim, dan Nurcholish Madjid.

Catatan:
Dimuat dalam Buku: 60 Tahun Jimly Asshiddiqie, diterbitkan oleh Penerbit OBOR Indonesia, April 2016.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar