Membaca Sepintas Gagasan
Masyarakat Madani
Menurut Prof. Dr.
Jimly Asshiddiqie, SH.,
Lewat Buku
Konstitusi Sosial
Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
Jimly Asshiddiqie merupakan sosok intelektual produktif dalam menulis
karya-karya ilmiah. Karya-karya buku yang ditulis Jimly boleh dikatakan (meski
ini bukan merupakan suatu kesimpulan), hampir 90 persen memuat kajian dari apa
yang menjadi konsentrasi studi akademik Hukum Tata Negara. Sampai saat ini
lebih dari 40 buku yang ditulis Jimly terlihat sangat serius, dan tanpa
menyebut ada karya buku Jimly yang kurang serius, namun penyebutan kata serius
ini lebih ditempatkan pada penjelajahan beberapa karya buku Jimly yang untuk
sementara dapat disimpulkan cukup serius. Sebut saja seperti buku Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen
Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara (1999), Menuju Negara Hukum yang Demokratis
(2009), Pokok-Pokok Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca Reformasi (2005), Perkembangan
Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (2012), Komentar Atas Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 (2011), Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah
Perubahan Keempat (2001), Sengketa
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara (2009), Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di
Indonesia (2000), termasuk buku yang mendekati pada kajian hukum Islam,
yang diberi judul : Hukum Islam Dan
Kedaulatan (2001), dan lain-lain.
Diantara sekian banyak karya buku
sebagaimana disinggung diatas hampir sama sekali tidak menyertakan pembahasan
secara spesifik tentang konsep masyarakat madani. Hal ini dapat dipahami karena
proses penulisan buku yang dilakukan setiap penulis, terkadang diwarnai oleh
dinamika sosial yang berkembang pada situasi dan konteks dimensinya yang memicu
nalar intelektual setiap penulis produktif untuk menuangkan gagasan dan
pemikiran dalam bentuk buku. Dari penelusuran sementara, setidaknya ada dua
karya terbaru Jimly yang terlihat sangat serius membahas masyarakat madani,
baik dalam pengertian ilmiah maupun dalam tataran praktik yang lebih aktual,
yakni buku pertama Peradilan Etik dan
Etika Konstitusi: Pespektif Baru tentang ‘Rule Of Law And Rule Of Ethics’ &
Constitutional Law And Constitutional Ethics’ diterbitkan penerbit Sinar
Grafika (2013, dan Gagasan Konstitusi Sosial:
Institusionalisasi dan Konstitusionalisasi Kehidupan Sosial Masyarakat Madani
diterbitkan LP3ES (2014).
Memang
dipenghujung awal abad ke-XX, diskursus tentang masyarakat madani terus
berkembang di Indonesia seiring rotasi demokratisasi yang mengalami lompatan
yang kencang, terlebih pada era reformasi tahun 1998. Perwujudan masyarakat
madani dalam proses pembangunan bangsa menjadi salah satu topik menarik para
ilmuan dan kalangan cendikiawan kontemporer. Konsep masyarakat madani menjadi
begitu hangat diperbincangkan di kalangan dunia intelektual. Konsep masyarakat
madani di Indonesia pun disandingkan dengan demokratisasi yang diharapkan akan
tercipta suatu sistem atau tatanan sosial politik yang madani. Suatu sistem politik
yang civilized atau bergerak dan
beradaptasi dengan proses peradaban bangsa. Demokratisasi yang dimaksud yakni
adanya iklim praktik kekuasaan politik yang berbasisikan pada mekanisme chec and balance dari masing-masing
cabang kekuasaan yang melibatkan partisipasi masyarakat.
Dari
perspektif historis, konsep masyarakat madani bukanlah wacana baru yang
dikembangkan para kaum intelektual modern, melainkan konsep ini sudah lebih
dahulu dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw. Kepemimpinan Nabi Muhammad dengan
mendirikan negara kota Madinah pada perjalanan sejarah menunjukkan menjadi
cikal bakal model pemerintahan civilized.
Kota Madinah yang semula bernama Yastrib dijadikan sebagai pusat negara kota
yang diatur dalam suatu (konstitusi) bernama Piagam Madinah.
Jimly
menerangkan konsep ‘civil society’
dari perspektif sejarah modern, menurutnya, pertama kali dipopulerkan oleh
Hegel, tetapi sebenarnya dapat pula dihubungkan dengan model masyarakat kota
Madinah di zaman nabi Muhammad dan 4 khalifah sepeninggal wafatnya nabi yang
biasa disebut khulafaurrasyidin pada abad ke 7M. Itulah sebabnya pada tahun
1990-an, Prof. Naguib Alattas pertama kali menerjemahkan ide ‘civil society’
itu dengan istilah ‘masyarakat madani’ yang berkaitan dengan kata ‘madaniy’
(civility) atau keberadaban kota, seperti yang tercermin di kota Madinah ketika
itu. Istilah ini diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim kepada publik Indonesia,
sehingga banyak orang yang salah mengira seakan-akan Anwar Ibrahim lah orang
pertama yang menggunakan istilah ini. Di Indonesia, istilah ini dipopulerkan oleh
Dr. Nurcholish Madjid yang memberikan penjelasan sosio-historis yang meyakinkan
tentang model masyarakat Madinah di masa Rasul dan khulafaurrasyidin dalam
konteks pengertian ‘civil society’ di zaman modern. Menurutnya, masyarakat
madani adalah masyarakat yang merujuk pada masyarakat Islam yang pernah
dibangun Nabi Muhammad SAW di Madinah, sebagai masyarakat kota atau masyarakat
berperadaban dengan ciri antara lain: egaliteran (kesederajatan), menghargai
prestasi, keterbukaan, toleransi, dan musyawarah. Bahkan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia merumuskan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung
tinggi norma, nilai, dan hukum yang ditopang oleh penguasaan teknologi yang
beradab, iman dan ilmu.
Jimly
sendiri menjelaskan bahwa kata Madinah sendiri dalam bahasa arab dapat dipahami
dari dua pengertian, yaitu dalam makna ‘kota’
dan dalam arti ‘peradaban’ atau ‘madaniyah’ yang berpadanan dengan kata ‘tamaddun’ dan ‘hadlarah’, yang juga berarti peradaban atau kebudayaan yang tinggi.
Kota berperadaban ini dibentuk secara sadar dan dengan kebersamaan segenap
warga dengan menandatangani suatu Piagam yang kemudian dikenal sebagai Piagam
Madinah yang berfungsi sebagai konstitusi tertulis pertama dalam pengertian
seperti yang dipahami sebagai konstitusi di zaman modern sekarang. Konstitusi
Madinah inilah memuat kesepakatan bersama antar warga, antara lain mengenai
kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, tanggung jawab sosial dan
politik, serta pertahanan bersama. Piagam tertulis ini dijadikan rujukan dalam
membangun sistem organisasi bersama, yang dewasa ini dikenal sebagai organisasi
bernegara, yaitu negara yang dibentuk di atas landasan sosial masyarakat yang
majemuk, damai dan toleran antar sesama, sehingga memungkinkan peradaban tumbuh
dan berkembang dalam keteraturan yang adil untuk kepentingan bersama.
Salah
satu ciri masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society) adalah adanya organisasi-organisasi yang berperan
aktif mengimbangi dan melengkapi peran yang dilakukan oleh organ-organ negara
dan korporasi di dunia usaha. Karena itu, ciri-ciri organisasi masyarakat yang
dimaksud tentunya dapat dirumuskan tersendiri di samping ciri-ciri
masyarakatnya seperti diuraikan di atas. Seperti dikatakan oleh Ernest Gellner,
‘civil society’ itu merujuk pada
mayarakat yang terdiri atas pelbagai institusi non-pemerintah yang bersifat
otonom dan dapat berfungsi efektif mengimbangi kekuatan negara. Menurut Jean L.
Cohen dan Andrew Arato, ‘civil society’
merupakan suatu wilayah interaksi sosial antara ekonomi, politik, dan negara
yang didalamnya mencakup semua kelompok sosial yang bersama-sama membangun
ikatan-ikatan sosial diluar lembaga resmi pemerintahan, menggalang solidaritas
kemanusiaan, dan mengejar kebaikan bersama (public
good). Karena itu, oleh Dr. Muhammad AS Hikam dikatakan bahwa ‘civil society’ atau masyarakat madani
itu merupakan wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan
bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary),
keswasembadaan (self-generating),
keswadayaan (self-supporting), dan
kemandirian dalam berhadapan dengan negara, serta terikat pada norma-norma dan
nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Masyarakat
madani atau juga disebut masyarakat sipil memiliki konotasi pengertian sebagai
suatu gambaran masyarakat yang terorganisasi secara teratur. Dalam pengertian
ini, Jimly berpandangan, para ahli yang melakukan kajian tentang masyarakat
madani, seringkali mencampuradukkan pengertian ‘civil society’ dengan ‘civil
society organizations’ (CSOS) yang menurut Jimly tengah mengalami
perkembangan pesat di hampir semua negara penganut sistem demokrasi.
Salah
satu indikator yang paling menonjol pada pertengahan abad ke-20 tentang
pesatnya gerakan perwujudan masyarakat madani yakni ditandai dengan adanya
kemunculan organisasi-organisasi kemasyarakatan atau pula disebut
organisasi-organisasi non-pemerintah (ORNOP) atau yang lazim dikenal “ORNEG”.
Gerakan transformasi masyarakat madani baik melalui ORNOP maupun ORGEG serta
instrumen-instrumen gerakan pro-demokrasi yang lain hadir dengan bentuk dan
ukuran kapasitas maupun ruang lingkup kegiatan tersendiri berdasarkan standar
masyarakat modern yang menuntut hak-hak dan kebebasan politik.
Gerakan
masyarakat madani yang menguat, menurut Jimly, pada kapasitas kondisi aktual
seringkali ditopang oleh globalisasi dan demokratisasi di negara-negara di
seluruh penjuru dunia. Peran masyarakat madani yang menguat dalam kebijakan
negara juga dapat dilihat sebagai suatu proses integrasi sistem perekenomian
global. Selain perkembangan perekonomian global, juga hal yang tidak dapat
dihindari yakni sistem teknologi informasi dan telekomunikasi yang mempercepat
segala urusan, mendekatkan jarak yang semula susah dijangkau, atau pendek kata
mempermudah segala urusan, dan dengan sistem pemerintahan yang semakin
demokratis, partisipasi politik masyarakat yang aktif, dan jaminan terhadap
kebebasan pers membuka ruang gerak yang bebas bagi organisasi-organisasi ‘civil society’ mengalami kemajuan
pesat.
Pada
perspektif masyarakat madani dalam maknanya yang lebih luas, Jimly
berpandangan, masyarakat beradab adalah masyarakat yang menganut kepercayaan
akan sistem nilai kemanusiaan yang menjadi kesepakatan bersama. Masyarakat
beradab adalah masyarakat yang tidak hanya sadar akan hukum dan konstitusi
tetapi sekaligus taat melaksanakannya. Model masyarakat beradab adalah
masyarakat yang dalam sistem kehidupan sosialnya selalu mengedepankan
prinsip-prinsip pergaulan sosial baik dalam konteks lokal, regional, nasional
saja tetapi juga dalam konteks pergaulan internasional senantiasa mengedepankan
keadaban. Keadaban yang mencerminkan model masyarakat madani. Masyarakat madani Indonesia adalah
masyarakat keberadaban yang mengutamakan ‘civility’
yang terus tumbuh dan menentukan kualitas organisasi bernegara dan organisasi dunia
usaha. Masyarakat madani Indonesia tidak tergantung kepada negara dan dunia
usaha, karena masyarakat madani Indonesia itu sudah lebih dulu ada dari
organisasi negara Indonesia dan organisasi dunia usaha Indonesia. Organisasi
politik dan organisasi ekonomi dibentuk dan berkembang karena masyarakat
madani, bukan sebaliknya. Karena itu, Undang-Undang Dasar Negara harus dipahami
sebagai konstitusi yang berisi sistem rujukan normatif tertinggi, bukan saja
oleh dan di lingkungan organisasi pemerintahan negara dalam arti sempit, tetapi
juga dalam lingkungan masyarakat madani sebagai keseluruhan. Undang-Undang
Dasar bukan hanya berfungsi sebagai konstitusi politik tetapi juga konstitusi
sosial, yaitu konstitusi masyarakat madani, seakan terlepas dari ada tidaknya
struktur formal organisasi pemerintahan negara. (at al, Gagasan Konstitusi Sosial).
Gagasan
mutakhir yang tidak kalah penting dalam praktik nyata sekarang yakni model
masyarakat madani yang ideal. Suatu model masyarakat yang menjadikan sistem
demokrasi substansial sebagai alat untuk mencapai tujuan hidup bersama dalam
bernegara. Masyarakat madani yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan
keadilan terutama keadilan substantif. Menurutnya, di abad ke-21 ini,
umat manusia membutuhkan sistem demokrasi berintegritas, bukan sekedar
demokrasi prosedural. Umat manusia lebih membutuhkan keadilan substantif
daripada sekedar keadilan formal dan prosedural. Karena itu, demokrasi yang
ideal di masa kini dan masa depan adalah demokrasi yang diimbangi oleh tegaknya
‘rule of law’ dan sekaligus ‘rule of ethics’.
Dalam bukunya Peradilan Etik dan
Etika Konstitusi (2013), terlihat suatu gambaran yang sangat kontekstual
bagaimana Jimly menunjukkan keseriusan pada wacana pentingnya mengintegrasikan
sistem etika dan sistem hukum secara bersamaan. Menurutnya, sistem hukum dan
etika ditumbuh-kembangkan secara simultan, bersifat komplimenter serta
interdependen satu sama lain. Karena itu, dengan mengutip pendapat Earl Warren,
Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969) yang mengatakan, “law floats in a sea of ethics”. Hukum
mengalir di atas samudera etika. Jika hukum kita ibaratkan sebagai kapal, maka
etika adalah air samudera yang luas, yang memungkinkan kapan berlayar mencapai
tujuannya. Jika air samudera kering, tidak dalam kehidupan bermasyarakat tidak
berfungsi, mana mungkin hukum dan keadilan dapat diwujudkan dalam kenyataan.
Disinilah pentingnya tingkat peradaban dalam masyarakat madani
ditumbuhkembangkan. Karena itu, ciri masyarakat madani itu juga terkait dengan
berfungsi efektifnya sistem norma etika dan hukum dalam kehidupan bersama, yang
pada gilirannya akan menentukan berintegritas tidaknya sistem demokrasi yang
diterapkan dalam praktik.
Konsistensi Jimly pada
pembahasan masyarakat madani tidak dibatasi pada tingkat masyarakat dalam arti
luas tetapi juga terlihat konsennya pada kajian ilmiah dalam bentuk dan wujud
perkembangan institusi dan gerakan organisasi modern. Organisasi dengan bentuk
dan perwujudan substansi seperti anggaran dasar dari semua jenis dan macam
bentuk organisasi masyarakat dapat dijadikan perwujudan dari nilai-nilai etika
dan hukum konstitusi yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945, maka niscaya
anggaran dasar semua jenis dan bentuk organsasi yang ada dapat difungsikan
sebagai sarana pemasyarakatan dan pembumian nilai-nilai kehidupan berkonstitusi
dalam perikehidupan masyarakat madani yang teratur dan terorganisasi.
Perspektif lain
mengenai pengertian ‘civil society’
yang dimaksud terkait erat dengan lingkungan masyarakat majemuk yang dinamika
perkembangannya terkait dengan pelembagaan organisasi-organisasi yang bersifat
non-negara (Orneg) atau pemerintahan (Ornop)
dan non-profit atau tidak mencari keuntungan yang hadir dalam kehidupan
publik, mengekspresikan kepentingan dan nilai-nilai warganya atau masyarakat
pada umumnya berdasarkan etika, budaya, politik, ilmu pengetahuan, agama atau
pertimbangan amal filantropis. Karena pentingnya unsur pelembagaan atau aspek keterorganisasian
masyarakat inilah maka seringkali para ahli mengidentikkan pengertian
organisasi masyarakat sipil itu dengan masyarakat sipil itu sendiri, atau
sebaliknya selalu memahami konsepsi tentang masyarakat sipil (civil society) dalam konteks organisasi.
Konsep “Civil Society Organizations”
(CSO) itu sendiri memang mencakup pengertian organisasi masyarakat yang sangat
luas cakupannya, mulai dari kelompok-kelompok warga (community groups), organisasi non-pemerintah atau non-negara,
serikat pekerja, asosiasi-asosiasi profesi, kesatuan masyarakat hukum adat,
organisasi-organisasi amal, organisasi keagamaan, perkumpulan pendidikan, badan
wakaf, asosiasi profesi, yayasan-yayasan, dan lain-lain sebagainya”. Di semua
negara di seluruh dunia, bentuk-bentuk organisasi semacam itu tumbuh dinamis
setidaknya selama 1 abad terakhir yang oleh para ahli disebut sebagai fenomena
baru yang dikaitkan dengan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Hegel,
yaitu “civil society”.
Jimly dalam kajian
masyarakat madani pada buku Konstitusi
Sosial, terlihat sangat serius dengan pendekatan ilmiah yang merupakan khas
dirinya sebagai seorang cendikiawan. Ia tidak sekadar membincangkan tema
diskusi diluar yang tengah giatnya kaum ilmuan sosial memperbincangkannya,
namun kekayaan literatur menjadi kekhasan ilmuan cerdas ini. Rujukan teori dan
materi kajiannya jelas dipandu oleh bacaan-bacaan yang berkelas.
Persinggunggannya tentang pengertian, defenisi dan penerjemahan masyarakat
madani betul-betul dari dimensi keilmuan. Ia mengangkat beberapa buku yang
menjadi persinggungan tentang masyarakat madani. Di antara buku yang sangat
penting mendiskusikan konsep ‘civil
society’ ini di kalangan para sarjana adalah “Civil Society and Political Theory” (1994) dan buku “Civil Society: Theory, History, Comparison”
(1995). Kedua buku ini memang dibutuhkan oleh zamannya, ketika konsep ‘civil society’ ini diwacanakan secara
luas dalam teori dan praktik sesudah runtuhnya rezim komunisme pada akhir
dekade 80-an dan awal dekade 90-an. Namun, jika ditelusuri, ide ‘civil society’ ini sebenarnya berasal
dari pemikiran Hegel, yaitu dari Hegel's Philosophy of Right yang
mengembangkan pembedaan tiga ranah kehidupan (tripartite distinction) negara, ekonomi pasar, dan masyarakat.
Pembedaan ketiga ranah inilah yang mendapat sambutan kritis dari banyak sarjana
dan filosof abad ke-20, termasuk Antonio Gramsci, Talcott Parsons, hannah
Arendt, Luhmann, Foucault, dan bahkan Habermas. Bahkan berdasarkan teori
Habermas tentang “communicative action”,
Jean L. Cohen dan Andrew Arato membangun kembali pengertian modern tentang “civil society”. Cohen dan Arato
mendiskusikan gerakan-gerakan dan kritik-kritik Habermas sambil menawarkan
kerangka teori baru mereka sendiri tentang hal ini.
Dari kajian tentang civil society yang bertitik tolak dari
beberapa literatur yang mewarnai gagasan Jimly tersebut, maka tidak bermaksud
memberikan penilaian apalagi mengambil suatu kesimpulan, namun
sekurang-kurangnya untuk pada pembacaan sementara, bisa ditarik benang
merahnya, bagaimana Jimly menguraikan masyarakat madani dalam konteksnya dengan
wacana konsep ini di Indonesia, yang menurutnya wacana tentang ‘civil
society’ di Indonesia dapat dikatakan baru diperkenalkan pada tahun
1980-an. Menurut Hendro Prasetyo, Ali Munhanif dan kawan-kawan, sarjana pertama
yang membahas ide ‘civil society’ ini dalam konteks Indonesia adalah
Arief Budiman yang bersama Sarjana Australia di Monash University dalam suatu
konferensi “State and Civil Society in
Contemporery Indonesia” pada 25-27
Nopember 1988. Makalah-makalah dari konferensi ini kemudian dibukukan dan
disuntimg sendiri oleh Arief Budiman dalam “State and Civil Society in
Indonesia” yang dinilai merupakan karya pertama yang membahas tentang ‘civil
society’ di indonesia. Sejak itu, wacana dan diskusi tentang ‘civil society’ ini terus berkembang, dan
bahkan kemudian dikaitkan dengan istilah ‘masyarakat madani’ yang diperkenalkan
oleh Naguib Alattas, Anwar Ibrahim, dan Nurcholish Madjid.
Catatan:
Dimuat dalam Buku: 60 Tahun Jimly Asshiddiqie, diterbitkan oleh
Penerbit OBOR Indonesia, April 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar