Senin, 28 Agustus 2017

Gagasan Etika Konstitusi

Etika Konstitusi (Constitutional Ethics):
Suatu Usaha untuk Memahami Gagasan Jimly Asshiddiqie tentang
‘Rule Of Law And Rule Of Ethics’
& Constitutional Law And Constitutional Ethics’

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)


Semula, apa yang dimaksudkan oleh Plato sebagai ‘nomoi’ dalam bukunya, belumlah identik dengan pengertian hukum atau apalagi dengan peraturan perundang-undangan yang dikenal di zaman sekarang. ‘Nomoi’ dalam pandangan Plato masih tercampur baur antara pengertian-pengertian tentang norma hukum, norma etika, dan norma agama seperti yang dipahami di zaman sekarang. Ketiga sistem norma ini baru di kemudian hari mengalami differensiasi struktural dan fungsional. Bahkan, bersamaan dengan semakin meluasnya pengaruh paham sekularisme dan kemudian paham positivisme, pengertian norma hukum itu menjadi semakin sempit kandungan maknanya, menjadi sekedar hukum positif yang dalam tradisi ‘civil law’ tercermin dalam rumusan peraturan perundang-undangan tertulis. Akibatnya, doktrin mengenai supremasi hukum juga hanya dikaitkan dengan norma hukum dalam pengertian yang sudah semakin sempit itu. Tatkala, sistem norma etika dan agama diperbincangkan, para ahli hukum dengan mudah menjelaskan bahwa etika dan agama tidak boleh bertentangan dengan hukum, karena hukum adalah di atas segala-galanya.
Seorang guru besar Fakultas Hukum satu perguruan tinggi dengan nada sangat heran bertanya mengapa putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum bersifat final dan mengikat? Bukankah semua keputusan, termasuk lembaga penegak kode etik, yang merugikan seseorang harus dapat digugat ke pengadilan (hukum) yang berpuncak di Mahkamah Agung? Masalahnya, ia membayangkan bahwa hukum itu lebih tinggi kedudukannya daripada etika. Keputusan etika tidak boleh bertentangan dengan hukum.  Tidak terbayangkan olehnya ada suatu pelanggaran etika yang tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran hukum, sehingga bagaimana mungkin keputusan etika harus dinilai oleh lembaga hukum? Sesuatu yang melanggar hukum tentu dengan mudah dapat dinilai melanggar etika juga. Tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Karena itu, pengadilan hukum tidak mungkin dapat menilai keputusan dari suatu ‘peradilan’ etika? Namun, bagi sarjana hukum yang berpikir sangat tekstual dan positivistik tentu sangat sulit membayangkan bahwa norma hukum itu tidak lebih tinggi kedudukannya daripada etika.
Tentu cara pandang para sarjana hukum positivist seperti ini merupakan gambaran umum. Bahkan, mungkin lebih dari 90% sarjana hukum di Indonesia dewasa ini beranggapan bahwa hukum itu memang lebih tinggi kedudukannya daripada etika. Tetapi, para ahli agama atau para ulama dan rohaniawan, tentu memiliki pandangan lain. Hukumlah yang justru tidak boleh bertentangan dengan etika dan apalagi dengan agama. Norma agama lah yang paling tinggi, baru diikuti oleh norma etika, sedangkan norma hukum mempunyai posisi yang lebih rendah dan tidak boleh bertentangan dengan norma etika dan apalagi norma agama. Sangat boleh jadi, lebih dari 90 persen ulama, rohaniawan, dan pendeta berpandangan bahwa memang agamalah yang paling tinggi kedudukannya di atas etika dan hukum, terutama dalam pengertian peraturan perundangan-undangan negara.
Namun, dalam perkembangan di zaman sekarang, kedua cara pandang mengenai hubungan antara etika dan hukum seperti tersebut di atas, dapat dikatakan sudah tidak lagi tepat. Hubungan antara hukum dan etika di zaman sekarang sudah mengalami transformasi yang sangat berbeda dari zaman-zaman dahulu. Jika dulu sistem norma agama, norma etika, dan norma hukum cenderung terpisah dan dipisahkan, sekarang kebutuhan praktik di seluruh dunia menunjukkan gejala yang sebaliknya, ketiganya mulai saling bergantung dan membutuhkan hubungan komplementer yang bersifat sinergis antara satu dengan yang lain. Karena itu, Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969) pernah berkata, “Law floats in a sea of ethics”, hukum mengapung di atas samudera etika. Hukum tidak dapat tegak, jika air samudera etika itu tidak mengalir. Jika kehidupan sosial tidak beretika, mana mungkin kita menegakkan hukum yang berkeadilan. Artinya, ada hubungan sinergi antara hukum dan etika itu. Etika lingkupnya lebih luas daripada hukum. Karena itu, sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum, meskipun sesuatu yang melanggar hukum dapat dikatakan juga melanggar etika.
Karena itu, kita tidak dapat lagi mengatakan bahwa hukum itu lebih tinggi daripada etika. Bahkan etika juga tidak perlu atau tidak dapat dikatakan lebih tinggi daripada hukum. Hubungan di antara keduanya di samping bersifat luas-sempit seperti tersebut, adalah juga bersifat luar-dalam, bukan atas-bawah secara vertikal. Agama adalah sumber etika, etika adalah hukum. Jika hukum adalah jasad, maka etika adalah rohnya yang berintikan nilai-nilai agama. Hukum tidak boleh terlepas dari rohnya, yaitu etika keadilan. Dengan demikian dalam konteks pengertian konstitusi, kita tidak boleh menafikan adanya norma hukum dan norma etika di dalamnya. Karena itu, dalam UUD terkandung pengertian tentang norma hukum konstitusi (constitutional law), dan sekaligus norma etika konstitusi (constitutional ethics). Pancasila di samping merupakan sumber hukum (source of law), juga merupakan sumber etika (source of ethics) dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD 1945 di samping merupakan sumber hukum konstitusi (constitutional law), juga merupakan sumber etika konstitusi (constitutional ethics).
            Karena itu, studi konstitusi harus dikembangkan tidak hanya mempelajari soal-soal yang berkenaan dengan hukum, tetapi juga etika konstitusi yang berkaitan erat dengan pemahaman mengenai roh atau ‘the spirit of the constitution’. Hal ini sama dapat kita bandingkan dengan hubungan antara Pancasila dan UUD 1945. Keduanya tidak boleh dipisahkan. Pancasila adalah roh yang terkandung dalam teks UUD sebagai konstitusi tertulis. Yang harus ditegakkan dan dijalankan dalam kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara adalah konstitusi, bukan sekedar teks undang-undang dasar tanpa jiwa. Pancasila beserta seluruh rangkaian nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 beserta segenap ide-ide, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai yang hidup dalam UUD 1945 adalah roh atau jiwa kebangsaan kita. Karena itu dalam memahami UUD 1945 sebagai jasadnya, roh atau jiwa itu tidak dapat diabaikan. Disitulah letak keadilan konstitusional dan etika konstitusional yang hendak kita wujudkan dalam kenyataan praktik berbangsa dan bernegara.
            Kewenangan dan tanggungjawab seperti itu, sama sekali tidak lahir dari teks konstitusi, melainkan dari praktik konstitusi (constitutional practice) yang harus ditampung oleh sistem konstitusi melalui tangan Hakim John Marshall (Ketua Mahkamah Agung yang langsung menangani perkara tersebut). Sekarang, setelah 2 abad putusan John Marshall itu, hampir semua negara di dunia dewasa ini, terlepas dari perbedaan sistem hukum dan sistem politiknya masing-masing, telah mengadopsikan sistem ‘judicial review’ konstitusionalitas undang-undang sebagai produk legislasi ini ke dalam sistem konstitusinya masing-masing.             Perkembangan baru ini, di dunia teori, beriringan dengan meluasnya pengaruh cara pandang ‘realist’ (realist perspetives) dalam studi hukum tata negara yang bermaksud mengurangi beban tanggungjawab konstitusional para penyelenggara negara non-judisial, dan sekaligus membuka ruang untuk menampung kebutuhan-kebutuhan baru yang ditemukan dalam praktik konstitusi (constitutional pratices) ke dalam sistem konstitusi. Hukum dan konstitusi harus dipahami dengan cara yang luas, tidak terpaku dan hanya bersandar pada kebiasaan untuk sekedar melakukan ‘grammatical reading’ terhadap teks-teks hukum dan konstitusi itu. Karena itu, muncul pula kebiasaan baru dalam merumuskan kalimat-kalimat undang-undang, misalnya, yang sebelumnya biasa digunakan kata ‘ought’ diubah dengan kata ‘shall’ untuk kandungan makna yang sama. Dalam rumusan kalimat undang-undang di Indonesia dewasa ini juga tidak lagi digunakan kata ‘harus’, ‘wajib’, tetapi cukup digunakan kata ‘akan’. Bahkan oleh karena bahasa Indonesia tidak mengenal ‘tenses’ (waktu), kata-kata ‘harus’, ‘wajib’, ‘akan’ itu sekarang cenderung ditiadakan sama sekali, karena maksud normatifnya sama, dan bahkan kandungan maknanya menjadi lebih luas.
            Sekarang, dengan adanya kebutuhan baru lagi, yaitu penting menampung juga pengertian tentang etika konstitusi, maka pengertian yang terkandung dalam teks-teks hukum dan konstitusi juga harus dipandang telah memuat sistem nilai yang mendasari pengertian-pengertian tentang norma hukum dan etika secara sekaligus. Sekarang, hukum tata negara masih cenderung hanya dilihat sebagai suatu sistem yang memberikan pembatasan-pembatasan struktural yang mengelola kekuasaan berhadapan dengan kekuasaan, kepentingan berhadapan dengan kepentingan, dan belum dihubungkan dengan kebaikan moral (moral goodness) orang atau antar orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan dalam kekuasaan negara. Para ilmuwan sosial juga cenderung sangat mengutamakan empirisme dengan mengabaikan sama sekali peran moral dari analisis-analisis ilmiah yang mereka lakukan. Ilmu politik modern hanya peduli dengan kekuasaan, bukan dengan prinsip nilai (power, not principle).
            Pemahaman mengenai konstitusi sebagai seperangkat sistem aturan yang dapat ditegakkan secara eksternal, baik dari segi normatif maupun empiris, sama-sama mengandung kelemahan. Dengan perspektif empiris, pendekatan yang dilakukan tidak selalu menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Sebaliknya, pendekatan yang hanya normatif, tidak dapat menampung perkembangan kebutuhan yang nyata dalam praktik. Isu-isu konstitusionalisme bahkan tidak hanya berkenaan dengan persoalan kekuasaan, tetapi juga kepentingan-kepentingan, dan bahkan juga dengan kualitas-kualitas perilaku mengenai bagaimana kekuasaan itu diselenggarakan oleh orang per orang para aktor dalam sistem kekuasaan itu. Inilah wilayah etika konstitusi yang diharapkan dapat melengkapi hal-hal yang sudah dibahas dalam studi hukum konstitusi atau hukum tata negara.
            Jika konstitusi hanya dilihat sebagai seperangkat aturan hukum, maka menurut Keith E. Whittington[1], dapat timbul setidaknya tiga kesulitan. Ketiganya dapat disederhanakan, meliputi: (i) the problem of fidelity, (ii) the problem of propriety; dan(iii) the problem of discretion. Pertama, soal keaslian ide dan nilai (fidelity) dalam tafsir konstitusi. Yang harus dipersoalkan, bukan hanya soal apa makna atau apa tasfir atas aturan konstitusi yang ada, tetapi bagaimana penafsiran itu dilakukan oleh setiap orang yang menafsirkan. Jika aturan hukum konstitusi dilihat sebagai permainan, teori konstitusi selama ini cenderung hanya mempersoalkan mengenai isi dari aturan yang berlaku dalam permainan, tanpa tidak mempersoalkan dengan sungguh-sunguh mengenai bagaimana permainan itu dimainkan. Kebanyakan teori kontemporer memang selalu menganggap penting aturan konstitusi (constitutional rules), dengan asumsi aturan itu akan ditaati. Akan tetapi, teori-teori yang ada kurang memperhatikan mengenai bagaimana dan sejauhmana ‘rules’ atau aturan itu ditafsirkan dalam praktik. Bagaimanapun ketaatan kepada aturan konstitusi tidak mungkin diasumsikan. Sebagaimana tercermin dalam perkembangan praktik di banyak negara, mulai dari Amerika Latin sampai ke negara-negara bekas Uni Soviet, memberlakukan begitu saja aturan hukum konstitusi tidaklah cukup untuk membangun dan mempertahankan budaya politik yang didedikasikan untuk prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional.
           
Etika Politik dan Etika Pemilu
Standar perilaku ideal dalam kehidupan politik nasional, sebagaimana praktik di pelbagai negara dewasa ini, tidak lagi hanya menyandarkan diri pada ukuran-ukuran kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum berdasarkan prinsip-prinsip rule of law, tetapi lebih dari itu, pemilu dan praktik kegiatan politik di zaman sekarang diidealkan agar lebih berintegritas dengan landasan etika politik yang lebih substansial (rule of ethics). Hukum sangat penting, tetapi tidak lagi mencukupi untuk mengawal dan mengendalikan perilaku ideal masyarakat pasca modern. Demokrasi yang hanya mengandalkan kontrol hukum dan keadilan hukum hanya membuat demokrasi berjalan secara prosedural formalistik. Dengan mengedepankan pertimbangan etika untuk menyempurnakan logika hukum untuk keadilan substantif, kualitas demokrasi dapat ditingkatkan tidak sekedar sebagai demokrasi prosedural, tetapi demorkasi yang lebih bersifat substansial dan berintegritas.
Kunci untuk membangun demokrasi yang berintegritas ialah penyelenggaran pemilihan umum yang berintegritas, seperti yang dijadikan judul buku Kofi Anan, “Election with Integrity”, bukan sekedar pemilu yang bersifat formalistik dan prosedural formal. Untuk mengembangkan pemilihan umum yang berintegritas diperlukan kesadaran bersama dengan didukung oleh sistem aturan dan infra-struktur pendukung yang dapat memaksa penerapan prinsip pemilu berintegritas itu dalam praktik. Semua pihak harus sama-sama membangun integritas yang pada akhirnya akan melahirkan integritas bangsa berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Bahkan, para sarjana hukum, khususnya sarjana hukum tata negara harus menyadari bahwa Pancasila bukan hanya berfungsi sebagai sumber hukm, tetapi juga sumber etika. UUD 1945 bukan hanya berisi norma hukum konstitusi atau “constitutional law”, tetapi juga etika konstitusi atau “constitutional ethics[2] yang harus tercermin dalam pelbagai produk peraturan perundang-undangan sebagai baju hukum bangunan hukum dari substansi kebijakan publik (public policies) dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara.
Dalam penyelenggaraan pemilu, ada 4 pihak yang terlibat, yaitu (i) penyelenggara pemilu, (ii) peserta pemilu, (iii) kandidat atau calon, dan (iv) para pemilih sebagai pemilik kedaulatan rakyat. Idealnya keempat pihak ini sama-sama harus berintegritas. Jika rakyat pemilih menghalalkan praktik suap atau jual beli suara, dengan mengambil uangnya, tetapi tidak memilih pemberinya, maka dampak buruknya adalah para kandidat atau peserta pemilu akan terus membiasakan diri dengan praktik suap dan jual beli suara itu. Praktik tidak terpuji itu bukan saja akan terjadi di antara kandidat atau peserta pemilu dengan pemilih, tetapi jika iklim sudah terbentuk kebiakan buruk menjadi sesuatu yang dianggap benar, maka dengan mudah praktik demikian akan menjalan pula ke aparat penyelenggara pemilu. Apalagi jika sistem suara terbanyak dipertahankan, maka aktor yang bekerja dan berjuang untuk menang dengan segala cara akan berjumlah sebanyak jumlah caleg dari semua partai peserta pemilu di seluruh Indonesia. Sudah pasti sistem kontrolnya akan menjadi sangat sulit.
Karena itu, integritas pemilu menuntut kesadaran semua pihak untuk tunduk kepada prinsip hukum dan etika secara sekaligus. Sudah tentu, untuk memulainya, kita harus mendahulukan integritas penyelenggara pemilu. Karena itulah, kita membangun sustem integritas penyelenggara pemilu dengan mendirikan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang berfungsi sebagai lembaga peradilan etika yang pertama dalam sejarah modern. Harapan kita, hendaknya pemilu-pemilu Indonesia di masa mendatang akan berkembang semakin baik dari waktu ke waktu, bukan saja menurut ukuran ‘rule of electoral law’, tetapi juga menurut standar-standar ‘rule of electoral ethics’.

Penggagas Peradilan Etika Terbuka
Jika perilaku etik dikaitkan dengan para pemangku jabatan-jabatan publik dan profesional yang sangat mengandalkan kepercayaan publik (public trust), maka harus pula disadari bahwa pendekatan hukum seringkali terbukti kontra-produktif dalam menjaga kepercayaan publik itu. Cara bekerjanya sistem penegakan hukum yang ribet dan bertele-tele seringkali berdampak buruk kepada citra dan kepercayaan publik itu, manakala pendekatan hukum diterapkan terdahap mereka yang sedang menduduki jabatan publik. Karena, sebelum suatu tuduhan pelanggaran hukum dapat dibuktikan secara tuntas di pengadilan, citra institusi publik tempat yang bersangkutan bekejra sudah hancur lebih dulu di mata publik. Karena itu, pembinaan dan pengendalian perilaku ideal terhadap orang-orang yang duduk dalam jabatan-jabatan publik, dipandang lebih baik dilakukan melalui sistem etika atau setidak-tidak melalui sistem etika lebih dahulu, baru dengan menggunakan sistem hukum. Semangat yang demikian inilah, antara lain, yang melandasi dikeluarkannya Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Desember 1996 tentang “Action Against Corruption” dengan lampiran naskah “International Code of Conduct for Public Officials[3]. Dalam Resolusi ini, PBB merekomendasikan agar semua negara anggota PBB membangun infra-struktur etika di lingkungan jabatan-jabatan publik (ethics infra-structure for public offices).
            Hal ini pula yang mendorong makin berkembangnya praktik pembangunan infra-struktur kode etika disertai pembentukan institusi-institusi penegak kode etik itu secara konkrit dimana-mana di seluruh dunia, dan di semua bidang dan sektor kehidupan profesional dan keorganisasian serta lingkungan jabatan-jabatan organisasi kenegaraan. Bahkan, selain di lingkungan lembaga-lembaga pemerintahan di tingkat federal, di lingkungan organisasi profesi, dan dunia usaha, 50 negara bagian Amerika Serikat, semuanya telah membentuk sistem kode etik bagi para pejabat, baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun di lingkungan cabang yudikatif negara bagian masing-masing. Dari 50 negara bagian itu, di 42 negara di antaranya telah terbentuk “Ethics Commission” yang bekerja secara independen dan efektif dalam mengawal dan menegakkan kode etik bagi para pejabat publik masing-masing. Fenomena yang sama juga terjadi di negara-negara lain di Eropa, Australia, Kanada, dan Amerika Latin, dan bahkan di Afrika dan Asia, di semua negara berkembang ide untuk membangun infra-struktur etik ini di lingkungan jabatan-jabatan publik dan dunia profesi dan keorganisasian.
            Perkembangan-perkembangan baru inilah yang saya namakan sebagai tahap perkembangan etika fungsional (functional ethics), dimana sistem etika yang sejak awal abad ke-20 mulai dipositivisasikan atau dikodifikasikan dalam bentuk kode etik, sekarang mulai sungguh-sungguh dianggap penting untuk ditegakkan secara konkrit dengan dukungan infra struktur kelembagaan yang menegakkannya. Namun, cara kerja lembaga-lembaga penegak kode etik ini masih bersifat tertutup dengan kewenangan yang terbatas. Lembaga-lembaga penegak kode etik ini ada yang masih bersifat adhoc dan bekerja secara internal di lingkungan organisasi yang bersangkutan. Sebagian disebut sebagai ‘Committee’ atau komite yang berarti panitia, ada pula yang bersifat permanen disebut komisi atau ‘Commission’. Bahkan di Indonesia biasa pula disebut dengan istilah ‘Majelis Kehormatan’ atau ‘Dewan Kehormatan’. Ada majelis kehormatan yang bersifat adhoc, seperti Majelis Kehormatan Komisi Pemerantasan Korupsi, Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Agung, dan sebagainya, tetapi ada pula yang bersifat permanen, seperti Majelis Kehormatan PERADI, Majelis Kehormatan Kedokteran Indonesia, dan lain-lain. Dewan Kehormatan, juga ada yang bersifat adhoc, ada juga yang permanen. Sebagai contoh, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersifat permanen untuk masa kerja 5 tahun. Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU, 2010-2011) bersifat adhoc tetapi untuk masa kerja 1 tahun. Ada pula yang disebut sebagai badan, misalnya Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (BK-DPR) yang terlembagakan secara tetap atau permanen dalam struktur Dewan Perwakilan Rakyat.
            Semua lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut masih bekerja secara konvensional dan belum dikonstruksikan sebagai lembaga peradilan sebagaimana dipahami di dunia hukum. Keadilan dan peradilan seakan-akan hanya terkait dengan dunia hukum, bukan etika, sehingga tidak terbayangkan bahwa sistem norma etika pun berfungsi dalam rangka menegakkan kemuliaan nilai-nilai keadilan. Di samping itu, pengaitan ide positivisasi dan fungsionalisasi etika dengan fungsi peradilan juga terkait dengan kesetaraan dan kemitraan antara kedua sistem norma hukum dan etika itu dalam membangun dan mengembangkan perilaku masyarakat yang berintegritas. Dalam sistem hukum dikenal adanya prinsip ‘rule of law’ yang terdiri atas perangkat ‘code of law’ (kitab undang-undang) dan ‘court of law’ (pengadilan hukum). Karena itu, dalam sistem etika juga perlu kita perkenalkan adanya pengertian tentang ‘rule of ethics’ yang terdiri atas perangkat ‘code of ethics’ (kode etik) dan ‘court of ethics’ (pengadilan etik).

Memperkuat Sistem Hukum dan Etika  
Yang memperkenalkan konsep ‘etika konstitusi’ (constitutional ethics), bukan hanya saya, tetapi Professor Keith E. Whittington[4] dari Amerika Serikat juga. Bahkan secara khusus ia menulis artikel pendek dengan judul “On the Need of a Theory of Constitutional Ethics[5] yang mengusulkan upaya pengembangan teori khusus mengenai ‘constitutional ethics’ ini di masa mendatang. Karena Pancasila dan UUD 1945 sekaligus mengandung dimensi hukum konstitusi (constitutional law) dan juga etika konstitusi (constitutional ethics) serta nilai-nilai moralitas konstitusi (constitutional morality).
Dalam bernegara, kita mengkonstruksikan adanya undang-undang dasar sebagai konstitusi tertulis yang dipandang sebagai naskah hukum tertinggi di tiap-tiap negara. Di dalam naskah-naskah konstitusi itu, kita dapat menemukan sistem nilai dan norma yang tidak hanya bersifat hukum, tetapi juga etika. Karena itu, kita juga harus mengembangkan perspektif baru dalam studi hukum tata negara dan khusus studi konstitusi, yaitu di samping hukum konstitusi (constitutional law) ada pula etika konstitusi (constitutional ethics) dengan kedudukan yang setara. Inilah perkembangan paling baru dari tahap perkembangan etika fungsional (functional ethics) yang sudah digambarkan di atas. Hukum dan etika harus sama-sama dikembangkan secara paralel, simultan, komplementer, dan terpadu, serta dilengkapi dengan sistem infra-struktur kelembagaan penegakannya dalam bentuk lembaga peradilan etik yang terbuka dan menerapkan semua prinsip-prinsip universal sistem peradilan modern. Karena itu, jika perkembangan di semua negara dewasa ini sudah sampai kepada tahap perkembangan etika fungsional, fungsionalisasi etik yang dimaksud masih bersifat tertutup, tidak terbuka, maka kita harus mempelopori suatu era masa depan, dimana sistem penegakan kode etik itu dilakukan secara terbuka melalui proses peradilan etik, seperti yang dipraktikkan di dunia peradilan hukum.
            Dengan demikian, kita dapat mencatat adanya lima tahap perkembangan sistem etika, yaitu (i) etika teologis, (ii) etika ontologis, (iii) etika positivist, (iv) etika fungsional tertutup, dan )v) etika fungsional terbuka (peradilan etika). Inilah yang dicontohkan atau dipraktikkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP-RI) yang bekerja secara permanen untuk waktu lima tahun, mengadili dan menegakkan kode etik. Cara kerja dewan ini persis seperti biasanya lembaga peradilan yang dikenal di dunia hukum, mulai dari proses penerimaan pengaduan sampai ke pembacaan putusan dan eksekusi putusan berdasarkan standar-standar yang bersifat universal. Karena itu, dikatakan bahwa DK-KPU sebagai cikal bakal awalnya, dan DKPP merupakan lembaga peradilan etika pertama di Indonesia, dan juga di dunia. Semoga ini dapat menjadi sumbangan bangsa Indonesia bagi perkembangan teori dan praktik di bidang hukum dan etika di Indonesia dan di dunia yang terus bergerak, berubah, dan berkembang pesat tiada hentinya, di masa-masa kini dan masa datang. Saya berharap karya saya terbaru yang memuat ide mengenai pentingnya negara kita membangun infrastruktur etika tidak hanya berhenti pada tataran teori dan konsep tetapi sekaligus pada tahap praktik nyata dalam upaya kita membenahi sistem etika kehidupan berbangsa berdasarkan amanat TAP MPR No.VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Kita tentu merauh perhatian khusus kepada pemerintah dan DPR periode 2014-2019 untuk melanjutkan visi mulia ini dalam wujud yang lebih kongkrit serta saya sebagai ketua DKPP berharap kepada kalangan dunia perguruan tinggi dan kaum intelektual agar bisa turut berpartisipasi dalam pengembangan studi dan praktik lebih lanjut di dunia hukum dan etika.
Hukum bukan berfungsi sebagai sarana pembebasan (liberating), tetapi merupakan sarana yang pengendalian dan pembatasan kebebasan manusia yang pada dasarnya tidak dapat dipercaya itu.
Masalahnya sekarang, di masa kini, bagaimanakah sebaiknya kita membangun dan memahami pola hubungan atau relasi yang ideal antara sistem norma hukum, norma, etika, dan norma agama itu? Apakah cara pandang para sarjana hukum yang menempatkan hukum pada posisi tertinggi masih dapat dipertahankan? Lihatlah bagaimana para ulama, pendeta dan rohaniawan lainnya memandang etika dan agama pada posisi yang lebih tinggi daripada hukum. Hukum negara bagi para tokoh-tokoh agama justru tidak boleh bertentangan dengan hukum-hukum agama, sehingga norma agamalah yang dianggap paling tinggi, bukan norma hukum. Jika kedua pandangan ini dipertentangkan, secara mudah orang dapat berkesimpulan bahwa kedua cara pandang tersebut sama-sama bias. Para sarjana hukum tentu saja bias dan berusaha untuk memelihara kesombongannya sendiri dengan hanya mengakui hukum sebagai panglima kehidupan, bukan agama ataupun etika. Doktrin hukum yang diyakini benar selama selama ini adalah prinsip “the rule of law, not of man” sebagai ciri utama negara hukum atau ‘rechtsstaat’. Sebaliknya para rohaniawan atau agamawan sudah tentu akan menempatkan kaedah agama dalam posisi tertinggi, bukan hukum.
Perdebatan mengenai kaedah mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah itu terjadi karena berkembang-luasnya upaya untuk memisahkan secara kaku sistem norma hukum itu sendiri dari sistem norma agama dan etika. Namun, dalam perkembangan di zaman sekarang, muncul praktik-praktik baru yang justru memberikan gambaran yang berbeda mengenai pola hubungan atau relasi ideal di antara ketiga sistem norma tersebut, terutama antara sistem norma hukum dan sistem norma etika. Di zaman sekarang, banyak bukti menunjukkan bahwa kedua sistem norma ini tidak dapat lagi dipahami terpisah sama sekali satu dengan yang lain. Sistem hukum yang selama ini dipercaya dan dijadikan tumpuan harapan yang dinilai paling handal untuk menyelesaikan pelbagai masalah kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, terbukti makin memperlihatkan keterbatasannya. Pidana mati yang semula dianggap sebagai solusi semakin dinilai tidak manusiawi, sedangkan pidana penjara yang dijadikan andalan semakin tidak efektif dalam mencapai tujuan mulianya untuk resosialisasi. Dimana-mana penjara penuh dan jumlah serta jenis kejahatan terus berkembang biak semakin tidak teratasi.
Kedua, hubungan ideal di antara keduanya bukanlah bersifat atas-bawah, tetapi – dalam pendapat saya – justeru harus dipahami bersifat luar-dalam. Hukum tidak dapat lagi dipahami sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada sistem etika. Konstitusi adalah hukum tertinggi, tetapi di dalamnya bukan hanya berisi nilai-nilai hukum atau ‘constitutional law’, tetapi harus pula dipahami sebagai dokumen yang berisi nilai-nilai etika atau ‘constitutional ethics’ yang juga sama tingginya dengan ‘constitutional law’. Hukum dapat diibaratkan sebagai jasad, sedangkan etika adalah roh atau jiwanya. Hukum adalah bentuk, sedangkan etika adalah esensi. Karena itu, hukum tidak boleh dipisahkan dari rohnya, yaitu keadilan. Karena itu, secara berseloroh, saya sering mengatakan kepada para mahasiswa hukum, janganlah menjadi sarjana peraturan dengan mengabaikan keadilan. Jangan tegakkan hukum tetapi melupakan keadilan. Dalam praktik, berapa banyak peraturan ditegakkan oleh para petugas penegakan hukum tetapi yang ditegakkan itu bukanlah keadilan. Hukum haruslah dipahami dalam keseimbangan antara pengertian-pengertian tentang peraturan dan keadilan. Para Sarjana Hukum (SH) diharapkan benar-benar menjadi hukum, bukan sekedar Sarjana Peraturan (SP). Setiap Sarjana Hukum mampu menangkap, memahami, dan menghayati nilai-nilai keadilan yang esensial yang terkandung dalam aneka teks-teks peraturan perundang-undangan.
Ketiga, etika haruslah dipandang lebih luas cakupan dan jangkauannya daripada hukum. Sesuatu perbuatan yang melanggar hukum sudah pasti dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang juga melanggar etika. Tetapi sesuatu perbuatan yang melanggar etika, belum tentu merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Karena itu, pengadilan hukum tidak dapat menilai putusan pengadilan etika, karena penilaian tentang etika berada di luar jangkaun hukum dan berada dalam ranah peradilan etika. Misalnya, seorang pegawai negeri diberhentikan oleh atasannya dengan keputusan tata usaha negara berdasarkan hasil persidangan majelis kehormatan sebagai institusi penegak kode etik yang menilai bahwa yang bersangkutan terbukti melanggar kode etik dengan kategori sangat berat. Jika persoalan ini dibawa ke pengadilan tata usaha negara sebagai institusi peradilan hukum, maka kesimpulannya belum tentu dinyatakan sebagai pelanggaran hukum, meskipun institusi penegak kode etik sebagai lembaga peradilan etik menyatakannya sebagai pelanggaran etik dengan kategori sangat berat. Karena itu, keputusan tata usaha negara yang melaksanakan putusan peradilan etika tidak mungkin dibawa ke ranah hukum dengan memberikan kewenangan kepada pengadilan tata usaha negara untuk menilai keputusan tata usaha negara yang menjalankan putusan peradilan etik tersebut ataupun – apalagi -- untuk menilai materi putusan institusi peradilan etika tersebut.
Bahkan, keempat, di samping lebih luas, etika juga ibarat samudera yang luas, tempat hukum sebagai kapal keadilan dapat berlayar lepas. Samudera tentu sangat luas terbentang, tetapi lebih daripada itu, samudera yang luas itu juga harus dipahami sebagai tempat kapal hukum itu mengapung kokoh untuk mewujudkan impian keadilan dalam kehidupan. Karena itu, Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969)  pernah menyatakan, “In civilized life, law floats in a sea of ethics” (Di dalam kehidupan yang beradab, hukum mengapung di atas samudera etika) . Artinya, sistem norma hukum itu bukan saja tidak dapat dipisahkan dari etika, tetapi bahkan tumbuh dan tegak berfungsinya hukum itu dengan baik hanya dapat terjadi jika ia ditopang dan didukung oleh bekerja sistem norma etika dalam kehidupan masyarakat yang berkeadaban. Karena itu, keadilan juga tidak dapat dipisahkan dari keberadaban. Itulah sebabnya ‘the founding leaders’ Indonesia merumuskan sila kedua Pancasila dengan perkataan “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” yang ditulis langsung sesudah sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Peradaban suatu bangsa selalu membutuhkan sinergi antara nilai-nilai ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan prinsip keadilan yang diimpikan dalam sila kedua dalam hubungan yang serasi antara tiga serangkai nilai, yaitu ketuhanan, keadilan, dan keadaban.
Selain itu, dalam perkembangan di zaman sekarang, sistem norma etika juga tengah mengalami perubahan yang pesat seperti yang pernah dialami oleh sistem norma hukum. Kecenderungan yang pernah dialami oleh sistem norma hukum dalam sejarah, yaitu munculnya arus kebutuhan untuk melakukan upaya positivisasi hukum juga sedang dialami oleh sistem norma etika, terutama di abad ke-21 ini. Ini terlihat pada kecenderungan munculnya kebutuhan di mana-mana di seluruh dunia untuk mengembangkan infra-struktur etik, terutama di dunia bisnis dan di lingkungan jabatan-jabatan publik dengan cara menuliskan naskah-naskah kode etik dan kode perilaku dengan didukung oleh pembentukan institusi-institusi penegakan kode etik dan kode perilaku secara resmi dalam sistem administrasi pemerintahan negara. Karena itu, jika dulu norma hukum (legal norms) secara tegas dibedakan dari norma etik (ethical norms) semata-mata dari sifat memaksa dalam proses keberlakuan atau pemberlakuannya, yaitu bahwa ‘legal norm is imposed from without’, sedangkan ‘ethical norm is imposed from within’, maka dewasa ini pembedaan demikian tidak lagi bersifat mutlak.
Dalam perkembangan dewasa ini, harus dicatat bahwa pembedaan antara daya paksa dari dalam versus dari luar itu juga berkembang dari waktu ke waktu. Sistem infra-struktur etik yang dibahas panjang lebar dalam buku ini memperlihatkan kenyataan bahwa pengertian bahwa norma etika semata-mata hanya bersifat ‘imposed from within’ sudah tidak memadai lagi. Di seluruh dunia dewasa ini, berkembang luas kebutuhan untuk membangun infra-struktur kode etik dan institusi penegak kode etik secara melembaga yang dapat memaksakan berlakunya dengan pengenaan sanksi yang konkrit bagi para pelanggar kode etik. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri sesuai keputusan Sidang Umum tahun 1996 yang lalu, justru merekomendasikan agar semua negara anggota PBB membangun apa yang dinamakan “ethics infra structure in public offices”, infra-struktur etik untuk jabatan-jabatan publik. Untuk itu, maka pengaturan-pengaturan tentang kode etik dan prosedur penegakan kode etik itu mulai dituangkan secara resmi dalam bentuk undang-undang atau peraturan lain yang bersifat mengikat untuk umum, sehingga nilai-nilai etika dan perilaku ideal dimaksud dapat ditegakkan dengan efektif atas dukungan kekuasaan negara.
Yang diatur dalam perundang-undangan itu pun tidak hanya berkenaan dengan prosedur penegakannya tetapi juga mengenai sebagian materi etika itu sendiri, sekurang-kurangnya mengenai prinsip-prinsip nilai yang bersifat umum dan abstrak. Meskipun materi kode etik masih tetap dirumuskan bersama oleh para subjek yang mengikatkan diri untuk tunduk kepada kode etik tersebut, tetapi sebagian materi dan prosedurnya berasal dari materi undang-undang atau peraturan perundang-undangan resmi, sehingga sistem norma etik juga ditopang oleh sistem norma hukum. Setidaknya kita dapat membedakan, seperti dalam sistem norma hukum, yaitu adanya etika materiel dan etika formil seperti dalam hukum dikenal adanya hukum materiel dan hukum formil. Etika materiel dapat disebut sebagai etika primer, sedangkan etika formil merupakan etika sekunder. Karena itu, seperti sanksi hukum, sistem norma sanksi etik juga dapat dipaksakan dari luar kesadaran sendiri, yaitu oleh institusi penegaknya yang bersifat independen dan otoritatif. Meskipun demikian, tentu sifat sanksi ketiga norma agama, hukum, dan etika tersebut tetap dapat dibedakan antara dua jenis sanksi itu. Sanksi ketiga jenis norma tersebut tetap dapat dibedakan antara sanksi yang dijatuhkan dari dalam kesadaran sendiri (imposed from within) dan sanksi yang dikenakan dari luar kesadaran sendiri (imposed from without).
Semua ini dapat kita namakan sebagai perkembangan etika positif dalam arti munculnya upaya untuk melakukan positivisasi sistem norma etika, seperti yang sudah biasa kita kenal dengan istilah hukum positif yang berkembang atas pengaruh positivisme hukum di masa lalu. Artinya, cara pandang positivisme tersebut, di samping banyak dampak negatifnya, juga banyak kegunaannya bagi perkembangan hukum dan juga etika. Karena itu, sebagaimana akan diuraikan pada bagian yang tersendiri dalam buku ini, perkembangan etika positif  yang digambarkan di atas juga muncul sebagai akibat pengaruh positif aliran pikiran positivisme tersebut. Dulu sistem norma hukum pada mulanya juga tidak dituliskan secara resmi dan dikukuhkan keberlakuannya oleh kekuasaan negara, sampai saatnya muncul kebutuhan untuk menuliskannya dan diberlakukan secara resmi oleh kekuasaan negara dalam bentuk perundang-undangan. Inilah yang dipahami dalam sejarah dengan pengertian peraturan perundang-undangan.
Pengalaman yang sama dewasa ini juga sedang dialami oleh sistem norma etika. Semula norma etika dipahami sebagai sesuatu sistem norma yang hidup dalam pergaulan bermasyarakat tanpa membutuhkan penuangan resmi dalam bentuk tulisan. Tetapi, lama kelamaan muncul kebutuhan untuk menuliskannya dalam bentuk kode etik dan kode perilaku, dan bahkan dimulai pada akhir abad ke-20 muncul lagi kebutuhan untuk membentuk infra-struktur kelembagaan yang berfungsi sebagai penegak kode etika dan kode perilaku tersebut, sekaligus sebagai institusi pemberi sanksi atas pelanggaran terhadapnya. Inilah gejala yang saya namakan sebagai positivisasi sistem etika, seperti yang pernah dialami oleh sistem norma hukum di masa lalu karena pengaruh yang luas dari aliran positivisme hukum. Dengan perkataan, terlepas dari pelbagai kelemahan dari cara pandang positivisme hukum logika positivisme juga ada gunanya, baik untuk perkembangan hukum maupun untuk perkembangan sistem etika publik dewasa ini.

Kepeloporan dalam Sistem Peradilan Etika
Sekarang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sudah cukup banyak berdiri lembaga-lembaga penegak kode etik dalam jabatan-jabatan publik. Di bidang kehakiman, misalnya, sudah ada Komisi Yudisial, di samping adanya Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dalam sistem internal Mahkamah Agung. Di Mahkamah Konstitusi juga ada mekanisme Majelis Kehormatan Hakim (MKH) MK. Di dunia pers dan jurnalistik, terdapat Dewan Pers. Di lingkungan lembaga legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga telah diatur dalam UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD adanya Badan Kehormatan DPR dan Badan Kehormatan DPD sebagai lembaga penegak kode etik.
            Di lingkungan organisasi profesi, seperti misalnya di dunia kedokteran sekarang sudah ada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang salah satu tugasnya membentuk mengatur keberadaan majelis kehormatan etika kedokteran. Sedangkan di bidang-bidang profesi lain, lembaga penegak etika dilembagakan secara internal dalam masing-masing organisasi profesi, organisasi-organisasi kemasyarakatan atau pun partai-partai politik. Dewasa ini, banyak lembaga negara dan semua partai politik, serta kebanyakan organisasi kemasyrakatan (Ormas) telah mempunyai sistem kode etik yang diberlakukan secara internal dan disertai dengan pengaturan mengenai lembaga-lembaga penegaknya. Di lingkungan Pegawai Negeri sudah ada Kode Etik Pegawai Republik Indonesia dan mekanisme penegakannya. Di lingkungan Komnasham juga diatur adanya Kode Etika Komisioner dan mekanisme penegakannya.
Di lingkungan organisasi profesi hukum pun sudah sejak lama berkembang adanya sistem kode etik. Di lingkungan PERADI (Persatuan Advokat Indonesia) juga sudah diatur adanya Kode Etika dan Majelis Kehormatan Advokat. Yang dapat dikatakan paling maju adalah di lingkungan institusi Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia. Di lingkungan Tentara dan Kepolisian bahkan dibedakan antara kode etik dankode perilaku, etika profesi dan disiplin organisasi. Demikian pula di lingkungan Ikatan Notaris Indonesia pun sejak lama berdiri Majelis Kehormatan Notaris (MKN). Dengan adanya majelis penegak kode etik profesi notaris ini diharapkan bahwa profesi notaris dapat dijaga kehormatannya, dengan menjamin semua prinsip etika profesi ditegakkan sebagaimana mestinya.
            Namun demikian, semua lembaga penegak kode etik tersebut, sebagian besar masih bersifat proforma. Bahkan sebagian di antaranya belum pernah menjalankan tugasnya dengan efektif dalam rangka menegakkan kode etik yang dimaksud. Salah satu sebabnya ialah lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut di atas tidak memiliki kedudukan yang independen, sehingga kinerjanya tidak efektif. Karena itu, sebagai solusinya, lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut harus direkonstruksikan sebagai lembaga peradilan etik yang diharuskan menerapkan prinsip-prinsip peradilan yang lazim di dunia modern, terutama soal transparansi, independensi, dan imparsialitas.
            Hal itulah yang hendak dirintis dan dipelopori DKPP, yaitu agar sistem ketatanegaraan kita didukung oleh sistem hukum dan sistem etik yang bersifat fungsional. Sistem demokrasi yang kita bangun diharapkan dapat ditopang oleh tegak dan dihormatinya hukum dan etika secara bersamaan. Kita harus membangun demokrasi yang sehat dengan ditopang oleh ‘the rule of law and the rule of ethics’ secara bersamaan. “The Rule of Law” bekerja berdasarkan “Code of Law”, sedangkan “the Rule of Ethics” bekerja berdasarkan “Code of Ethics”, yang penegakannya dilakukan melalui proses peradilan yang independen, imparsial, dan terbuka, yaitu peradilan hukum (Court of Law) untuk masalah hukum, dan peradilan etika (Court of Ethics) untuk masalah etika.
                                                _______________________________
Penulis adalah, Rahman Yasin
Dosen Filsafat Dakwah
Univ. Islam As-Syafi’iyah (UIA)
dan Tenaga Ahli di DKPP RI
catatan:
naskah ini pernah dimuat dalam buku
60 Thn Jimly Asshiddiqie, terbitan Yayasan Obor Indonesia
Jakarta, April 2016



[1]   Keith E. Whittington, loc.cit., hal. 61.
[2] Seorang pakar kenamaan Keith E. Whittington dari Amerika Serikat bahkan mengajak para ilmuwan mengembangkan teori tersendiri di bidang ini, melalui tulisannya, “On the Need of a Theory of Constitutional Ethics”, Constitutional Corner. Ini juga yang terus saya promosikan sejak terbentuknya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum pertama kali pada tahun 2009 dan saya dipercaya menjadi ketuanya dengan menerapkan sistem peradilan modern dalam cara kerja lembaga penegak kode etik ini. Menyangkut gagasan etika konstitusi, sistem peradilan etik, dan bahkan doktrin baru yang saya sebut sebagai ‘rule of ethics’, saya tulis tersendiri dalam buku yang akan terbit mengenai hal ini. Buku baru ini akan melengkapi buku saya yang sudah terbit sebelumnya yang berjudul “Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu” (2013). 
[3] Lihat Resolusi UN-General Assembly, A/RES/51/59, 28 January 1997. Pada tanggal 12 Desember 1996, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan Sidang Umum ke-82 dan mengesahkan Resolusi PBB tentang “Action Against Corruption” dengan naskah “International Code of Conduct for Public Officials” sebagai Annex.
[4] Keith E. Whittington adalah guru besar ilmu politik di Princeton University, Amerika Serikat dan juga  guru besar tamu Fakultas Hukum University of Texas di Austin. Di antara bukunya yang dikenal luas adalah “Constitutional Interpretation: Textual Meaning, Original Intent, and Judicial Review”, dan juga “Political Foundations of Judicial Supremacy: The Presidency, the Supreme Court, and Constitutional Leadership in U.S. History”.
[5] The Constitutional Corner, “On the Need for a Theory of Constitutional Ethics”, The Good Society, A PEGS Journal 9:3 (Spring 2000), hal. 60-66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar