Etika Konstitusi (Constitutional
Ethics):
Suatu Usaha untuk
Memahami Gagasan Jimly Asshiddiqie tentang
‘Rule Of Law And
Rule Of Ethics’
& Constitutional
Law And Constitutional Ethics’
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
Semula, apa
yang dimaksudkan oleh Plato sebagai ‘nomoi’ dalam bukunya, belumlah
identik dengan pengertian hukum atau apalagi dengan peraturan
perundang-undangan yang dikenal di zaman sekarang. ‘Nomoi’ dalam
pandangan Plato masih tercampur baur antara pengertian-pengertian tentang norma
hukum, norma etika, dan norma agama seperti yang dipahami di zaman sekarang.
Ketiga sistem norma ini baru di kemudian hari mengalami differensiasi
struktural dan fungsional. Bahkan, bersamaan dengan semakin meluasnya pengaruh
paham sekularisme dan kemudian paham positivisme, pengertian norma hukum itu
menjadi semakin sempit kandungan maknanya, menjadi sekedar hukum positif yang
dalam tradisi ‘civil law’ tercermin dalam rumusan peraturan
perundang-undangan tertulis. Akibatnya, doktrin mengenai supremasi hukum juga
hanya dikaitkan dengan norma hukum dalam pengertian yang sudah semakin sempit
itu. Tatkala, sistem norma etika dan agama diperbincangkan, para ahli hukum
dengan mudah menjelaskan bahwa etika dan agama tidak boleh bertentangan dengan
hukum, karena hukum adalah di atas segala-galanya.
Seorang guru
besar Fakultas Hukum satu perguruan tinggi dengan nada sangat heran bertanya
mengapa putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum bersifat final
dan mengikat? Bukankah semua keputusan, termasuk lembaga penegak kode etik, yang
merugikan seseorang harus dapat digugat ke pengadilan (hukum) yang berpuncak di
Mahkamah Agung? Masalahnya, ia membayangkan bahwa hukum itu lebih tinggi
kedudukannya daripada etika. Keputusan etika tidak boleh bertentangan dengan
hukum. Tidak terbayangkan olehnya ada
suatu pelanggaran etika yang tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran hukum,
sehingga bagaimana mungkin keputusan etika harus dinilai oleh lembaga hukum?
Sesuatu yang melanggar hukum tentu dengan mudah dapat dinilai melanggar etika
juga. Tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Karena
itu, pengadilan hukum tidak mungkin dapat menilai keputusan dari suatu
‘peradilan’ etika? Namun, bagi sarjana hukum yang berpikir sangat tekstual dan
positivistik tentu sangat sulit membayangkan bahwa norma hukum itu tidak lebih
tinggi kedudukannya daripada etika.
Tentu cara
pandang para sarjana hukum positivist seperti ini merupakan gambaran umum.
Bahkan, mungkin lebih dari 90% sarjana hukum di Indonesia dewasa ini
beranggapan bahwa hukum itu memang lebih tinggi kedudukannya daripada etika.
Tetapi, para ahli agama atau para ulama dan rohaniawan, tentu memiliki
pandangan lain. Hukumlah yang justru tidak boleh bertentangan dengan etika dan
apalagi dengan agama. Norma agama lah yang paling tinggi, baru diikuti oleh
norma etika, sedangkan norma hukum mempunyai posisi yang lebih rendah dan tidak
boleh bertentangan dengan norma etika dan apalagi norma agama. Sangat boleh
jadi, lebih dari 90 persen ulama, rohaniawan, dan pendeta berpandangan bahwa
memang agamalah yang paling tinggi kedudukannya di atas etika dan hukum,
terutama dalam pengertian peraturan perundangan-undangan negara.
Namun, dalam
perkembangan di zaman sekarang, kedua cara pandang mengenai hubungan antara
etika dan hukum seperti tersebut di atas, dapat dikatakan sudah tidak lagi
tepat. Hubungan antara hukum dan etika di zaman sekarang sudah mengalami
transformasi yang sangat berbeda dari zaman-zaman dahulu. Jika dulu sistem
norma agama, norma etika, dan norma hukum cenderung terpisah dan dipisahkan,
sekarang kebutuhan praktik di seluruh dunia menunjukkan gejala yang sebaliknya,
ketiganya mulai saling bergantung dan membutuhkan hubungan komplementer yang
bersifat sinergis antara satu dengan yang lain. Karena itu, Earl Warren, Ketua
Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969) pernah berkata, “Law floats in a
sea of ethics”, hukum mengapung di atas samudera etika. Hukum tidak dapat
tegak, jika air samudera etika itu tidak mengalir. Jika kehidupan sosial tidak
beretika, mana mungkin kita menegakkan hukum yang berkeadilan. Artinya, ada
hubungan sinergi antara hukum dan etika itu. Etika lingkupnya lebih luas
daripada hukum. Karena itu, sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar
hukum, meskipun sesuatu yang melanggar hukum dapat dikatakan juga melanggar
etika.
Karena itu,
kita tidak dapat lagi mengatakan bahwa hukum itu lebih tinggi daripada etika.
Bahkan etika juga tidak perlu atau tidak dapat dikatakan lebih tinggi daripada
hukum. Hubungan di antara keduanya di samping bersifat luas-sempit seperti
tersebut, adalah juga bersifat luar-dalam, bukan atas-bawah secara vertikal.
Agama adalah sumber etika, etika adalah hukum. Jika hukum adalah jasad, maka
etika adalah rohnya yang berintikan nilai-nilai agama. Hukum tidak boleh
terlepas dari rohnya, yaitu etika keadilan. Dengan demikian dalam konteks
pengertian konstitusi, kita tidak boleh menafikan adanya norma hukum dan norma
etika di dalamnya. Karena itu, dalam UUD terkandung pengertian tentang norma
hukum konstitusi (constitutional law), dan sekaligus norma etika
konstitusi (constitutional ethics). Pancasila di samping merupakan
sumber hukum (source of law), juga merupakan sumber etika (source of
ethics) dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD 1945 di samping
merupakan sumber hukum konstitusi (constitutional law), juga merupakan
sumber etika konstitusi (constitutional ethics).
Karena
itu, studi konstitusi harus dikembangkan tidak hanya mempelajari soal-soal yang
berkenaan dengan hukum, tetapi juga etika konstitusi yang berkaitan erat dengan
pemahaman mengenai roh atau ‘the spirit of the constitution’. Hal ini
sama dapat kita bandingkan dengan hubungan antara Pancasila dan UUD 1945.
Keduanya tidak boleh dipisahkan. Pancasila adalah roh yang terkandung dalam
teks UUD sebagai konstitusi tertulis. Yang harus ditegakkan dan dijalankan
dalam kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara adalah konstitusi, bukan
sekedar teks undang-undang dasar tanpa jiwa. Pancasila beserta seluruh
rangkaian nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 beserta segenap
ide-ide, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai yang hidup dalam UUD 1945 adalah roh
atau jiwa kebangsaan kita. Karena itu dalam memahami UUD 1945 sebagai jasadnya,
roh atau jiwa itu tidak dapat diabaikan. Disitulah letak keadilan konstitusional
dan etika konstitusional yang hendak kita wujudkan dalam kenyataan praktik
berbangsa dan bernegara.
Kewenangan
dan tanggungjawab seperti itu, sama sekali tidak lahir dari teks konstitusi,
melainkan dari praktik konstitusi (constitutional
practice) yang harus ditampung oleh sistem konstitusi melalui tangan Hakim
John Marshall (Ketua Mahkamah Agung yang langsung menangani perkara tersebut).
Sekarang, setelah 2 abad putusan John Marshall itu, hampir semua negara di
dunia dewasa ini, terlepas dari perbedaan sistem hukum dan sistem politiknya
masing-masing, telah mengadopsikan sistem ‘judicial
review’ konstitusionalitas undang-undang sebagai produk legislasi ini ke
dalam sistem konstitusinya masing-masing. Perkembangan
baru ini, di dunia teori, beriringan dengan meluasnya pengaruh cara pandang ‘realist’ (realist perspetives) dalam
studi hukum tata negara yang bermaksud mengurangi beban tanggungjawab
konstitusional para penyelenggara negara non-judisial, dan sekaligus membuka
ruang untuk menampung kebutuhan-kebutuhan baru yang ditemukan dalam praktik
konstitusi (constitutional pratices)
ke dalam sistem konstitusi. Hukum dan konstitusi harus dipahami dengan cara
yang luas, tidak terpaku dan hanya bersandar pada kebiasaan untuk sekedar
melakukan ‘grammatical reading’
terhadap teks-teks hukum dan konstitusi itu. Karena itu, muncul pula kebiasaan
baru dalam merumuskan kalimat-kalimat undang-undang, misalnya, yang sebelumnya
biasa digunakan kata ‘ought’ diubah
dengan kata ‘shall’ untuk kandungan
makna yang sama. Dalam rumusan kalimat undang-undang di Indonesia dewasa ini
juga tidak lagi digunakan kata ‘harus’, ‘wajib’, tetapi cukup digunakan kata
‘akan’. Bahkan oleh karena bahasa Indonesia tidak mengenal ‘tenses’ (waktu), kata-kata ‘harus’,
‘wajib’, ‘akan’ itu sekarang cenderung ditiadakan sama sekali, karena maksud
normatifnya sama, dan bahkan kandungan maknanya menjadi lebih luas.
Sekarang,
dengan adanya kebutuhan baru lagi, yaitu penting menampung juga pengertian
tentang etika konstitusi, maka pengertian yang terkandung dalam teks-teks hukum
dan konstitusi juga harus dipandang telah memuat sistem nilai yang mendasari
pengertian-pengertian tentang norma hukum dan etika secara sekaligus. Sekarang,
hukum tata negara masih cenderung hanya dilihat sebagai suatu sistem yang
memberikan pembatasan-pembatasan struktural yang mengelola kekuasaan berhadapan
dengan kekuasaan, kepentingan berhadapan dengan kepentingan, dan belum
dihubungkan dengan kebaikan moral (moral
goodness) orang atau antar orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan dalam
kekuasaan negara. Para ilmuwan sosial juga cenderung sangat mengutamakan
empirisme dengan mengabaikan sama sekali peran moral dari analisis-analisis
ilmiah yang mereka lakukan. Ilmu politik modern hanya peduli dengan kekuasaan,
bukan dengan prinsip nilai (power, not
principle).
Pemahaman
mengenai konstitusi sebagai seperangkat sistem aturan yang dapat ditegakkan
secara eksternal, baik dari segi normatif maupun empiris, sama-sama mengandung
kelemahan. Dengan perspektif empiris, pendekatan yang dilakukan tidak selalu
menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Sebaliknya, pendekatan yang hanya
normatif, tidak dapat menampung perkembangan kebutuhan yang nyata dalam
praktik. Isu-isu konstitusionalisme bahkan tidak hanya berkenaan dengan persoalan
kekuasaan, tetapi juga kepentingan-kepentingan, dan bahkan juga dengan
kualitas-kualitas perilaku mengenai bagaimana kekuasaan itu diselenggarakan
oleh orang per orang para aktor dalam sistem kekuasaan itu. Inilah wilayah
etika konstitusi yang diharapkan dapat melengkapi hal-hal yang sudah dibahas
dalam studi hukum konstitusi atau hukum tata negara.
Jika
konstitusi hanya dilihat sebagai seperangkat aturan hukum, maka menurut Keith
E. Whittington[1], dapat
timbul setidaknya tiga kesulitan. Ketiganya dapat disederhanakan, meliputi: (i)
the problem of fidelity, (ii) the problem
of propriety; dan(iii) the problem of discretion. Pertama, soal keaslian
ide dan nilai (fidelity) dalam tafsir
konstitusi. Yang harus dipersoalkan, bukan hanya soal apa makna atau apa tasfir
atas aturan konstitusi yang ada, tetapi bagaimana penafsiran itu dilakukan oleh
setiap orang yang menafsirkan. Jika aturan hukum konstitusi dilihat sebagai
permainan, teori konstitusi selama ini cenderung hanya mempersoalkan mengenai
isi dari aturan yang berlaku dalam permainan, tanpa tidak mempersoalkan dengan
sungguh-sunguh mengenai bagaimana permainan itu dimainkan. Kebanyakan teori
kontemporer memang selalu menganggap penting aturan konstitusi (constitutional rules), dengan asumsi
aturan itu akan ditaati. Akan tetapi, teori-teori yang ada kurang memperhatikan
mengenai bagaimana dan sejauhmana ‘rules’
atau aturan itu ditafsirkan dalam praktik. Bagaimanapun ketaatan kepada aturan
konstitusi tidak mungkin diasumsikan. Sebagaimana tercermin dalam perkembangan
praktik di banyak negara, mulai dari Amerika Latin sampai ke negara-negara
bekas Uni Soviet, memberlakukan begitu saja aturan hukum konstitusi tidaklah
cukup untuk membangun dan mempertahankan budaya politik yang didedikasikan
untuk prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi
konstitusional.
Etika Politik dan Etika Pemilu
Standar
perilaku ideal dalam kehidupan politik nasional, sebagaimana praktik di
pelbagai negara dewasa ini, tidak lagi hanya menyandarkan diri pada
ukuran-ukuran kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum berdasarkan
prinsip-prinsip rule of law, tetapi lebih dari itu, pemilu dan praktik
kegiatan politik di zaman sekarang diidealkan agar lebih berintegritas dengan
landasan etika politik yang lebih substansial (rule of ethics). Hukum
sangat penting, tetapi tidak lagi mencukupi untuk mengawal dan mengendalikan
perilaku ideal masyarakat pasca modern. Demokrasi yang hanya mengandalkan
kontrol hukum dan keadilan hukum hanya membuat demokrasi berjalan secara
prosedural formalistik. Dengan mengedepankan pertimbangan etika untuk
menyempurnakan logika hukum untuk keadilan substantif, kualitas demokrasi dapat
ditingkatkan tidak sekedar sebagai demokrasi prosedural, tetapi demorkasi yang
lebih bersifat substansial dan berintegritas.
Kunci untuk membangun demokrasi yang berintegritas ialah
penyelenggaran pemilihan umum yang berintegritas, seperti yang dijadikan judul
buku Kofi Anan, “Election with Integrity”, bukan sekedar pemilu yang
bersifat formalistik dan prosedural formal. Untuk mengembangkan pemilihan umum
yang berintegritas diperlukan kesadaran bersama dengan didukung oleh sistem
aturan dan infra-struktur pendukung yang dapat memaksa penerapan prinsip pemilu
berintegritas itu dalam praktik. Semua pihak harus sama-sama membangun
integritas yang pada akhirnya akan melahirkan integritas bangsa berdasarkan
Pancasila, UUD 1945, dan TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa. Bahkan, para sarjana hukum, khususnya sarjana hukum tata negara
harus menyadari bahwa Pancasila bukan hanya berfungsi sebagai sumber hukm,
tetapi juga sumber etika. UUD 1945 bukan hanya berisi norma hukum konstitusi
atau “constitutional law”, tetapi juga etika konstitusi atau “constitutional
ethics”[2]
yang harus tercermin dalam pelbagai produk peraturan perundang-undangan sebagai
baju hukum bangunan hukum dari substansi kebijakan publik (public policies)
dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara.
Dalam penyelenggaraan pemilu, ada 4 pihak yang terlibat, yaitu (i)
penyelenggara pemilu, (ii) peserta pemilu, (iii) kandidat atau calon, dan (iv)
para pemilih sebagai pemilik kedaulatan rakyat. Idealnya keempat pihak ini
sama-sama harus berintegritas. Jika rakyat pemilih menghalalkan praktik suap
atau jual beli suara, dengan mengambil uangnya, tetapi tidak memilih
pemberinya, maka dampak buruknya adalah para kandidat atau peserta pemilu akan
terus membiasakan diri dengan praktik suap dan jual beli suara itu. Praktik
tidak terpuji itu bukan saja akan terjadi di antara kandidat atau peserta pemilu dengan pemilih, tetapi jika iklim
sudah terbentuk kebiakan buruk menjadi sesuatu yang dianggap benar, maka dengan
mudah praktik demikian akan menjalan pula ke aparat penyelenggara pemilu.
Apalagi jika sistem suara terbanyak dipertahankan, maka aktor yang bekerja dan
berjuang untuk menang dengan segala cara akan berjumlah sebanyak jumlah caleg
dari semua partai peserta pemilu di seluruh Indonesia. Sudah pasti sistem kontrolnya
akan menjadi sangat sulit.
Karena itu, integritas pemilu menuntut kesadaran semua pihak untuk
tunduk kepada prinsip hukum dan etika secara sekaligus. Sudah tentu, untuk
memulainya, kita harus mendahulukan integritas penyelenggara pemilu. Karena itulah,
kita membangun sustem integritas penyelenggara pemilu dengan mendirikan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang berfungsi sebagai lembaga peradilan
etika yang pertama dalam sejarah modern. Harapan kita, hendaknya pemilu-pemilu
Indonesia di masa mendatang akan berkembang semakin baik dari waktu ke waktu,
bukan saja menurut ukuran ‘rule of electoral law’, tetapi juga menurut
standar-standar ‘rule of electoral ethics’.
Penggagas Peradilan
Etika Terbuka
Jika
perilaku etik dikaitkan dengan para pemangku jabatan-jabatan publik dan
profesional yang sangat mengandalkan kepercayaan publik (public trust), maka harus pula disadari bahwa pendekatan hukum
seringkali terbukti kontra-produktif dalam menjaga kepercayaan publik itu. Cara
bekerjanya sistem penegakan hukum yang ribet dan bertele-tele seringkali
berdampak buruk kepada citra dan kepercayaan publik itu, manakala pendekatan
hukum diterapkan terdahap mereka yang sedang menduduki jabatan publik. Karena,
sebelum suatu tuduhan pelanggaran hukum dapat dibuktikan secara tuntas di
pengadilan, citra institusi publik tempat yang bersangkutan bekejra sudah
hancur lebih dulu di mata publik. Karena itu, pembinaan dan pengendalian
perilaku ideal terhadap orang-orang yang duduk dalam jabatan-jabatan publik, dipandang
lebih baik dilakukan melalui sistem etika atau setidak-tidak melalui sistem
etika lebih dahulu, baru dengan menggunakan sistem hukum. Semangat yang
demikian inilah, antara lain, yang melandasi dikeluarkannya Resolusi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Desember 1996 tentang “Action
Against Corruption” dengan lampiran naskah “International Code of
Conduct for Public Officials”[3].
Dalam Resolusi ini, PBB merekomendasikan agar semua negara anggota PBB
membangun infra-struktur etika di lingkungan jabatan-jabatan publik (ethics infra-structure for public offices).
Hal ini pula yang mendorong makin
berkembangnya praktik pembangunan infra-struktur kode etika disertai
pembentukan institusi-institusi penegak kode etik itu secara konkrit
dimana-mana di seluruh dunia, dan di semua bidang dan sektor kehidupan
profesional dan keorganisasian serta lingkungan jabatan-jabatan organisasi
kenegaraan. Bahkan, selain di lingkungan lembaga-lembaga pemerintahan di
tingkat federal, di lingkungan organisasi profesi, dan dunia usaha, 50 negara
bagian Amerika Serikat, semuanya telah membentuk sistem kode etik bagi para
pejabat, baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun di lingkungan cabang
yudikatif negara bagian masing-masing. Dari 50 negara bagian itu, di 42 negara
di antaranya telah terbentuk “Ethics
Commission” yang bekerja secara independen dan efektif dalam mengawal dan
menegakkan kode etik bagi para pejabat publik masing-masing. Fenomena yang sama
juga terjadi di negara-negara lain di Eropa, Australia, Kanada, dan Amerika
Latin, dan bahkan di Afrika dan Asia, di semua negara berkembang ide untuk
membangun infra-struktur etik ini di lingkungan jabatan-jabatan publik dan
dunia profesi dan keorganisasian.
Perkembangan-perkembangan baru
inilah yang saya namakan sebagai tahap perkembangan etika fungsional (functional ethics), dimana sistem etika
yang sejak awal abad ke-20 mulai dipositivisasikan atau dikodifikasikan dalam
bentuk kode etik, sekarang mulai sungguh-sungguh dianggap penting untuk
ditegakkan secara konkrit dengan dukungan infra struktur kelembagaan yang
menegakkannya. Namun, cara kerja lembaga-lembaga penegak kode etik ini masih
bersifat tertutup dengan kewenangan yang terbatas. Lembaga-lembaga penegak kode
etik ini ada yang masih bersifat adhoc
dan bekerja secara internal di lingkungan organisasi yang bersangkutan.
Sebagian disebut sebagai ‘Committee’
atau komite yang berarti panitia, ada pula yang bersifat permanen disebut
komisi atau ‘Commission’. Bahkan di
Indonesia biasa pula disebut dengan istilah ‘Majelis Kehormatan’ atau ‘Dewan
Kehormatan’. Ada majelis kehormatan yang bersifat adhoc, seperti Majelis Kehormatan Komisi Pemerantasan Korupsi,
Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Agung, dan sebagainya, tetapi ada pula yang
bersifat permanen, seperti Majelis Kehormatan PERADI, Majelis Kehormatan
Kedokteran Indonesia, dan lain-lain. Dewan Kehormatan, juga ada yang bersifat adhoc, ada juga yang permanen. Sebagai
contoh, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersifat permanen untuk
masa kerja 5 tahun. Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU, 2010-2011)
bersifat adhoc tetapi untuk masa
kerja 1 tahun. Ada pula yang disebut sebagai badan, misalnya Badan Kehormatan
Dewan Perwakilan Rakyat (BK-DPR) yang terlembagakan secara tetap atau permanen
dalam struktur Dewan Perwakilan Rakyat.
Semua lembaga-lembaga penegak kode
etik tersebut masih bekerja secara konvensional dan belum dikonstruksikan
sebagai lembaga peradilan sebagaimana dipahami di dunia hukum. Keadilan dan
peradilan seakan-akan hanya terkait dengan dunia hukum, bukan etika, sehingga
tidak terbayangkan bahwa sistem norma etika pun berfungsi dalam rangka
menegakkan kemuliaan nilai-nilai keadilan. Di samping itu, pengaitan ide
positivisasi dan fungsionalisasi etika dengan fungsi peradilan juga terkait
dengan kesetaraan dan kemitraan antara kedua sistem norma hukum dan etika itu
dalam membangun dan mengembangkan perilaku masyarakat yang berintegritas. Dalam
sistem hukum dikenal adanya prinsip ‘rule
of law’ yang terdiri atas perangkat ‘code
of law’ (kitab undang-undang) dan
‘court of law’ (pengadilan hukum). Karena
itu, dalam sistem etika juga perlu kita perkenalkan adanya pengertian tentang ‘rule of ethics’ yang terdiri atas
perangkat ‘code of ethics’ (kode
etik) dan ‘court of ethics’
(pengadilan etik).
Memperkuat Sistem Hukum
dan Etika
Yang
memperkenalkan konsep ‘etika konstitusi’ (constitutional
ethics), bukan hanya saya, tetapi Professor Keith E. Whittington[4]
dari Amerika Serikat juga. Bahkan secara khusus ia menulis artikel pendek
dengan judul “On the Need of a Theory of
Constitutional Ethics”[5]
yang mengusulkan upaya pengembangan teori khusus mengenai ‘constitutional ethics’ ini di masa mendatang. Karena Pancasila dan
UUD 1945 sekaligus mengandung dimensi hukum konstitusi (constitutional law)
dan juga etika konstitusi (constitutional ethics) serta nilai-nilai
moralitas konstitusi (constitutional morality).
Dalam bernegara, kita mengkonstruksikan
adanya undang-undang dasar sebagai konstitusi tertulis yang dipandang sebagai
naskah hukum tertinggi di tiap-tiap negara. Di dalam naskah-naskah konstitusi
itu, kita dapat menemukan sistem nilai dan norma yang tidak hanya bersifat
hukum, tetapi juga etika. Karena itu, kita juga harus mengembangkan perspektif
baru dalam studi hukum tata negara dan khusus studi konstitusi, yaitu di
samping hukum konstitusi (constitutional
law) ada pula etika konstitusi (constitutional
ethics) dengan kedudukan yang setara. Inilah perkembangan paling baru dari
tahap perkembangan etika fungsional (functional
ethics) yang sudah digambarkan di atas. Hukum dan etika harus sama-sama
dikembangkan secara paralel, simultan, komplementer, dan terpadu, serta
dilengkapi dengan sistem infra-struktur kelembagaan penegakannya dalam bentuk
lembaga peradilan etik yang terbuka dan menerapkan semua prinsip-prinsip
universal sistem peradilan modern. Karena itu, jika perkembangan di semua
negara dewasa ini sudah sampai kepada tahap perkembangan etika fungsional,
fungsionalisasi etik yang dimaksud masih bersifat tertutup, tidak terbuka, maka
kita harus mempelopori suatu era masa depan, dimana sistem penegakan kode etik
itu dilakukan secara terbuka melalui proses peradilan etik, seperti yang
dipraktikkan di dunia peradilan hukum.
Dengan demikian, kita dapat mencatat
adanya lima tahap perkembangan sistem etika, yaitu (i) etika teologis, (ii)
etika ontologis, (iii) etika positivist, (iv) etika fungsional tertutup, dan
)v) etika fungsional terbuka (peradilan etika). Inilah yang dicontohkan atau
dipraktikkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP-RI) yang
bekerja secara permanen untuk waktu lima tahun, mengadili dan menegakkan kode
etik. Cara kerja dewan ini persis seperti biasanya lembaga peradilan yang
dikenal di dunia hukum, mulai dari proses penerimaan pengaduan sampai ke
pembacaan putusan dan eksekusi putusan berdasarkan standar-standar yang
bersifat universal. Karena itu, dikatakan bahwa DK-KPU sebagai cikal bakal
awalnya, dan DKPP merupakan lembaga peradilan etika pertama di Indonesia, dan
juga di dunia. Semoga ini dapat menjadi sumbangan bangsa Indonesia bagi
perkembangan teori dan praktik di bidang hukum dan etika di Indonesia dan di
dunia yang terus bergerak, berubah, dan berkembang pesat tiada hentinya, di
masa-masa kini dan masa datang. Saya berharap karya saya terbaru yang memuat
ide mengenai pentingnya negara kita membangun infrastruktur etika tidak hanya
berhenti pada tataran teori dan konsep tetapi sekaligus pada tahap praktik
nyata dalam upaya kita membenahi sistem etika kehidupan berbangsa berdasarkan
amanat TAP MPR No.VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Kita tentu
merauh perhatian khusus kepada pemerintah dan DPR periode 2014-2019 untuk
melanjutkan visi mulia ini dalam wujud yang lebih kongkrit serta saya sebagai
ketua DKPP berharap kepada kalangan dunia perguruan tinggi dan kaum intelektual
agar bisa turut berpartisipasi dalam pengembangan studi dan praktik lebih
lanjut di dunia hukum dan etika.
Hukum bukan berfungsi sebagai sarana
pembebasan (liberating), tetapi
merupakan sarana yang pengendalian dan pembatasan kebebasan manusia yang pada
dasarnya tidak dapat dipercaya itu.
Masalahnya sekarang, di masa kini,
bagaimanakah sebaiknya kita membangun dan memahami pola hubungan atau relasi
yang ideal antara sistem norma hukum, norma, etika, dan norma agama itu? Apakah
cara pandang para sarjana hukum yang menempatkan hukum pada posisi tertinggi
masih dapat dipertahankan? Lihatlah bagaimana para ulama, pendeta dan
rohaniawan lainnya memandang etika dan agama pada posisi yang lebih tinggi
daripada hukum. Hukum negara bagi para tokoh-tokoh agama justru tidak boleh
bertentangan dengan hukum-hukum agama, sehingga norma agamalah yang dianggap
paling tinggi, bukan norma hukum. Jika kedua pandangan ini dipertentangkan,
secara mudah orang dapat berkesimpulan bahwa kedua cara pandang tersebut
sama-sama bias. Para sarjana hukum tentu saja bias dan berusaha untuk
memelihara kesombongannya sendiri dengan hanya mengakui hukum sebagai panglima
kehidupan, bukan agama ataupun etika. Doktrin hukum yang diyakini benar selama
selama ini adalah prinsip “the rule of
law, not of man” sebagai ciri utama negara hukum atau ‘rechtsstaat’. Sebaliknya para rohaniawan atau agamawan sudah tentu
akan menempatkan kaedah agama dalam posisi tertinggi, bukan hukum.
Perdebatan mengenai kaedah mana yang lebih
tinggi dan mana yang lebih rendah itu terjadi karena berkembang-luasnya upaya
untuk memisahkan secara kaku sistem norma hukum itu sendiri dari sistem norma
agama dan etika. Namun, dalam perkembangan di zaman sekarang, muncul
praktik-praktik baru yang justru memberikan gambaran yang berbeda mengenai pola
hubungan atau relasi ideal di antara ketiga sistem norma tersebut, terutama
antara sistem norma hukum dan sistem norma etika. Di zaman sekarang, banyak
bukti menunjukkan bahwa kedua sistem norma ini tidak dapat lagi dipahami
terpisah sama sekali satu dengan yang lain. Sistem hukum yang selama ini
dipercaya dan dijadikan tumpuan harapan yang dinilai paling handal untuk
menyelesaikan pelbagai masalah kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, terbukti makin memperlihatkan keterbatasannya. Pidana mati yang
semula dianggap sebagai solusi semakin dinilai tidak manusiawi, sedangkan
pidana penjara yang dijadikan andalan semakin tidak efektif dalam mencapai
tujuan mulianya untuk resosialisasi. Dimana-mana penjara penuh dan jumlah serta
jenis kejahatan terus berkembang biak semakin tidak teratasi.
Kedua, hubungan ideal di antara keduanya
bukanlah bersifat atas-bawah, tetapi – dalam pendapat saya – justeru harus
dipahami bersifat luar-dalam. Hukum tidak dapat lagi dipahami sebagai sesuatu
yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada sistem etika. Konstitusi adalah
hukum tertinggi, tetapi di dalamnya bukan hanya berisi nilai-nilai hukum atau ‘constitutional law’, tetapi harus pula
dipahami sebagai dokumen yang berisi nilai-nilai etika atau ‘constitutional ethics’ yang juga sama
tingginya dengan ‘constitutional law’.
Hukum dapat diibaratkan sebagai jasad, sedangkan etika adalah roh atau jiwanya.
Hukum adalah bentuk, sedangkan etika adalah esensi. Karena itu, hukum tidak
boleh dipisahkan dari rohnya, yaitu keadilan. Karena itu, secara berseloroh,
saya sering mengatakan kepada para mahasiswa hukum, janganlah menjadi sarjana
peraturan dengan mengabaikan keadilan. Jangan tegakkan hukum tetapi melupakan keadilan.
Dalam praktik, berapa banyak peraturan ditegakkan oleh para petugas penegakan
hukum tetapi yang ditegakkan itu bukanlah keadilan. Hukum haruslah dipahami
dalam keseimbangan antara pengertian-pengertian tentang peraturan dan keadilan.
Para Sarjana Hukum (SH) diharapkan benar-benar menjadi hukum, bukan sekedar
Sarjana Peraturan (SP). Setiap Sarjana Hukum mampu menangkap, memahami, dan
menghayati nilai-nilai keadilan yang esensial yang terkandung dalam aneka
teks-teks peraturan perundang-undangan.
Ketiga, etika haruslah dipandang lebih luas
cakupan dan jangkauannya daripada hukum. Sesuatu perbuatan yang melanggar hukum
sudah pasti dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang juga melanggar etika.
Tetapi sesuatu perbuatan yang melanggar etika, belum tentu merupakan perbuatan
yang melanggar hukum. Karena itu, pengadilan hukum tidak dapat menilai putusan
pengadilan etika, karena penilaian tentang etika berada di luar jangkaun hukum
dan berada dalam ranah peradilan etika. Misalnya, seorang pegawai negeri diberhentikan
oleh atasannya dengan keputusan tata usaha negara berdasarkan hasil persidangan
majelis kehormatan sebagai institusi penegak kode etik yang menilai bahwa yang
bersangkutan terbukti melanggar kode etik dengan kategori sangat berat. Jika
persoalan ini dibawa ke pengadilan tata usaha negara sebagai institusi
peradilan hukum, maka kesimpulannya belum tentu dinyatakan sebagai pelanggaran
hukum, meskipun institusi penegak kode etik sebagai lembaga peradilan etik
menyatakannya sebagai pelanggaran etik dengan kategori sangat berat. Karena
itu, keputusan tata usaha negara yang melaksanakan putusan peradilan etika
tidak mungkin dibawa ke ranah hukum dengan memberikan kewenangan kepada
pengadilan tata usaha negara untuk menilai keputusan tata usaha negara yang
menjalankan putusan peradilan etik tersebut ataupun – apalagi -- untuk menilai
materi putusan institusi peradilan etika tersebut.
Bahkan, keempat, di samping lebih luas,
etika juga ibarat samudera yang luas, tempat hukum sebagai kapal keadilan dapat
berlayar lepas. Samudera tentu sangat luas terbentang, tetapi lebih daripada
itu, samudera yang luas itu juga harus dipahami sebagai tempat kapal hukum itu
mengapung kokoh untuk mewujudkan impian keadilan dalam kehidupan. Karena itu,
Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969) pernah menyatakan, “In civilized life, law floats in a sea of ethics” (Di dalam
kehidupan yang beradab, hukum mengapung di atas samudera etika) . Artinya,
sistem norma hukum itu bukan saja tidak dapat dipisahkan dari etika, tetapi
bahkan tumbuh dan tegak berfungsinya hukum itu dengan baik hanya dapat terjadi
jika ia ditopang dan didukung oleh bekerja sistem norma etika dalam kehidupan
masyarakat yang berkeadaban. Karena itu, keadilan juga tidak dapat dipisahkan
dari keberadaban. Itulah sebabnya ‘the
founding leaders’ Indonesia merumuskan sila kedua Pancasila dengan
perkataan “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” yang ditulis langsung sesudah
sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Peradaban suatu bangsa selalu
membutuhkan sinergi antara nilai-nilai ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dengan prinsip keadilan yang diimpikan dalam sila kedua dalam hubungan yang
serasi antara tiga serangkai nilai, yaitu ketuhanan, keadilan, dan keadaban.
Selain itu, dalam perkembangan di zaman
sekarang, sistem norma etika juga tengah mengalami perubahan yang pesat seperti
yang pernah dialami oleh sistem norma hukum. Kecenderungan yang pernah dialami
oleh sistem norma hukum dalam sejarah, yaitu munculnya arus kebutuhan untuk
melakukan upaya positivisasi hukum juga sedang dialami oleh sistem norma etika,
terutama di abad ke-21 ini. Ini terlihat pada kecenderungan munculnya kebutuhan
di mana-mana di seluruh dunia untuk mengembangkan infra-struktur etik, terutama
di dunia bisnis dan di lingkungan jabatan-jabatan publik dengan cara menuliskan
naskah-naskah kode etik dan kode perilaku dengan didukung oleh pembentukan
institusi-institusi penegakan kode etik dan kode perilaku secara resmi dalam
sistem administrasi pemerintahan negara. Karena itu, jika dulu norma hukum (legal norms) secara tegas dibedakan dari
norma etik (ethical norms)
semata-mata dari sifat memaksa dalam proses keberlakuan atau pemberlakuannya,
yaitu bahwa ‘legal norm is imposed from
without’, sedangkan ‘ethical norm is
imposed from within’, maka dewasa ini pembedaan demikian tidak lagi
bersifat mutlak.
Dalam perkembangan dewasa ini, harus dicatat
bahwa pembedaan antara daya paksa dari dalam versus dari luar itu juga
berkembang dari waktu ke waktu. Sistem infra-struktur etik yang dibahas panjang
lebar dalam buku ini memperlihatkan kenyataan bahwa pengertian bahwa norma
etika semata-mata hanya bersifat ‘imposed
from within’ sudah tidak memadai lagi. Di seluruh dunia dewasa ini,
berkembang luas kebutuhan untuk membangun infra-struktur kode etik dan
institusi penegak kode etik secara melembaga yang dapat memaksakan berlakunya
dengan pengenaan sanksi yang konkrit bagi para pelanggar kode etik. Bahkan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri sesuai keputusan Sidang Umum tahun
1996 yang lalu, justru merekomendasikan agar semua negara anggota PBB membangun
apa yang dinamakan “ethics infra
structure in public offices”, infra-struktur etik untuk jabatan-jabatan
publik. Untuk itu, maka pengaturan-pengaturan tentang kode etik dan prosedur
penegakan kode etik itu mulai dituangkan secara resmi dalam bentuk
undang-undang atau peraturan lain yang bersifat mengikat untuk umum, sehingga
nilai-nilai etika dan perilaku ideal dimaksud dapat ditegakkan dengan efektif
atas dukungan kekuasaan negara.
Yang diatur dalam perundang-undangan itu pun
tidak hanya berkenaan dengan prosedur penegakannya tetapi juga mengenai
sebagian materi etika itu sendiri, sekurang-kurangnya mengenai prinsip-prinsip
nilai yang bersifat umum dan abstrak. Meskipun materi kode etik masih tetap
dirumuskan bersama oleh para subjek yang mengikatkan diri untuk tunduk kepada
kode etik tersebut, tetapi sebagian materi dan prosedurnya berasal dari materi
undang-undang atau peraturan perundang-undangan resmi, sehingga sistem norma
etik juga ditopang oleh sistem norma hukum. Setidaknya kita dapat membedakan,
seperti dalam sistem norma hukum, yaitu adanya etika materiel dan etika formil
seperti dalam hukum dikenal adanya hukum materiel dan hukum formil. Etika
materiel dapat disebut sebagai etika primer, sedangkan etika formil merupakan
etika sekunder. Karena itu, seperti sanksi hukum, sistem norma sanksi etik juga
dapat dipaksakan dari luar kesadaran sendiri, yaitu oleh institusi penegaknya
yang bersifat independen dan otoritatif. Meskipun demikian, tentu sifat sanksi
ketiga norma agama, hukum, dan etika tersebut tetap dapat dibedakan antara dua
jenis sanksi itu. Sanksi ketiga jenis norma tersebut tetap dapat dibedakan
antara sanksi yang dijatuhkan dari dalam kesadaran sendiri (imposed from within) dan sanksi yang
dikenakan dari luar kesadaran sendiri (imposed
from without).
Semua ini dapat kita namakan sebagai
perkembangan etika positif dalam arti munculnya upaya untuk melakukan
positivisasi sistem norma etika, seperti yang sudah biasa kita kenal dengan
istilah hukum positif yang berkembang atas pengaruh positivisme hukum di masa
lalu. Artinya, cara pandang positivisme tersebut, di samping banyak dampak
negatifnya, juga banyak kegunaannya bagi perkembangan hukum dan juga etika.
Karena itu, sebagaimana akan diuraikan pada bagian yang tersendiri dalam buku
ini, perkembangan etika positif yang
digambarkan di atas juga muncul sebagai akibat pengaruh positif aliran pikiran
positivisme tersebut. Dulu sistem norma hukum pada mulanya juga tidak
dituliskan secara resmi dan dikukuhkan keberlakuannya oleh kekuasaan negara,
sampai saatnya muncul kebutuhan untuk menuliskannya dan diberlakukan secara
resmi oleh kekuasaan negara dalam bentuk perundang-undangan. Inilah yang
dipahami dalam sejarah dengan pengertian peraturan perundang-undangan.
Pengalaman yang sama dewasa ini juga sedang
dialami oleh sistem norma etika. Semula norma etika dipahami sebagai sesuatu
sistem norma yang hidup dalam pergaulan bermasyarakat tanpa membutuhkan
penuangan resmi dalam bentuk tulisan. Tetapi, lama kelamaan muncul kebutuhan
untuk menuliskannya dalam bentuk kode etik dan kode perilaku, dan bahkan
dimulai pada akhir abad ke-20 muncul lagi kebutuhan untuk membentuk
infra-struktur kelembagaan yang berfungsi sebagai penegak kode etika dan kode
perilaku tersebut, sekaligus sebagai institusi pemberi sanksi atas pelanggaran
terhadapnya. Inilah gejala yang saya namakan sebagai positivisasi sistem etika,
seperti yang pernah dialami oleh sistem norma hukum di masa lalu karena
pengaruh yang luas dari aliran positivisme hukum. Dengan perkataan, terlepas
dari pelbagai kelemahan dari cara pandang positivisme hukum logika positivisme
juga ada gunanya, baik untuk perkembangan hukum maupun untuk perkembangan
sistem etika publik dewasa ini.
Kepeloporan dalam Sistem
Peradilan Etika
Sekarang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sudah cukup banyak berdiri
lembaga-lembaga penegak kode etik dalam jabatan-jabatan publik. Di bidang kehakiman, misalnya, sudah ada Komisi
Yudisial, di samping adanya Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dalam sistem
internal Mahkamah Agung. Di Mahkamah Konstitusi juga ada mekanisme Majelis
Kehormatan Hakim (MKH) MK. Di dunia pers dan jurnalistik, terdapat Dewan Pers.
Di lingkungan lembaga legislatif, yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga telah diatur dalam UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD adanya Badan Kehormatan DPR
dan Badan Kehormatan DPD sebagai lembaga penegak kode etik.
Di lingkungan
organisasi profesi, seperti misalnya di dunia kedokteran sekarang sudah ada Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI) yang salah satu tugasnya membentuk mengatur keberadaan majelis
kehormatan etika kedokteran. Sedangkan di
bidang-bidang profesi lain, lembaga penegak etika dilembagakan secara internal
dalam masing-masing organisasi profesi, organisasi-organisasi kemasyarakatan
atau pun partai-partai politik. Dewasa ini, banyak
lembaga negara dan semua partai politik, serta kebanyakan organisasi
kemasyrakatan (Ormas) telah mempunyai sistem kode etik yang diberlakukan secara
internal dan disertai dengan pengaturan mengenai lembaga-lembaga penegaknya. Di lingkungan Pegawai Negeri sudah ada Kode Etik
Pegawai Republik Indonesia dan mekanisme penegakannya. Di lingkungan
Komnasham juga diatur adanya Kode Etika Komisioner dan mekanisme penegakannya.
Di lingkungan organisasi profesi hukum pun sudah sejak lama berkembang adanya sistem kode etik.
Di lingkungan PERADI (Persatuan
Advokat Indonesia) juga sudah diatur adanya Kode Etika dan Majelis Kehormatan
Advokat. Yang dapat dikatakan paling maju adalah di lingkungan institusi Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia. Di lingkungan Tentara dan Kepolisian bahkan
dibedakan antara kode etik dankode perilaku, etika profesi dan disiplin
organisasi. Demikian pula di lingkungan Ikatan Notaris
Indonesia pun sejak lama berdiri Majelis Kehormatan Notaris (MKN). Dengan
adanya majelis penegak kode etik profesi notaris ini diharapkan bahwa profesi
notaris dapat dijaga kehormatannya, dengan menjamin semua prinsip etika profesi
ditegakkan sebagaimana mestinya.
Namun demikian, semua
lembaga penegak kode etik tersebut, sebagian besar masih bersifat proforma. Bahkan sebagian di antaranya belum pernah menjalankan
tugasnya dengan efektif dalam rangka menegakkan kode etik yang dimaksud. Salah satu sebabnya ialah lembaga-lembaga penegak kode
etik tersebut di atas tidak memiliki kedudukan yang independen, sehingga
kinerjanya tidak efektif. Karena itu, sebagai
solusinya, lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut harus
direkonstruksikan sebagai lembaga peradilan etik yang diharuskan menerapkan
prinsip-prinsip peradilan yang lazim di dunia modern, terutama soal transparansi, independensi, dan imparsialitas.
Hal itulah yang hendak
dirintis dan dipelopori DKPP, yaitu agar sistem ketatanegaraan kita didukung
oleh sistem hukum dan sistem etik yang bersifat fungsional. Sistem demokrasi yang kita bangun diharapkan dapat
ditopang oleh tegak dan dihormatinya hukum dan etika secara bersamaan. Kita harus membangun demokrasi yang sehat dengan
ditopang oleh ‘the rule of law and the
rule of ethics’ secara bersamaan. “The
Rule of Law” bekerja berdasarkan “Code
of Law”, sedangkan “the Rule of
Ethics” bekerja berdasarkan “Code of
Ethics”, yang penegakannya dilakukan melalui proses peradilan yang
independen, imparsial, dan terbuka, yaitu peradilan hukum (Court of Law) untuk masalah hukum, dan peradilan etika (Court of Ethics) untuk masalah etika.
_______________________________
Penulis adalah, Rahman Yasin
Dosen Filsafat Dakwah
Univ. Islam As-Syafi’iyah (UIA)
dan Tenaga Ahli di DKPP RI
catatan:
naskah
ini pernah dimuat dalam buku
60 Thn
Jimly Asshiddiqie, terbitan Yayasan Obor Indonesia
Jakarta,
April 2016
[2] Seorang pakar kenamaan Keith E. Whittington dari Amerika Serikat
bahkan mengajak para ilmuwan mengembangkan teori tersendiri di bidang ini,
melalui tulisannya, “On the Need of a Theory of Constitutional Ethics”,
Constitutional Corner. Ini juga yang terus saya promosikan sejak terbentuknya
Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum pertama kali pada tahun 2009 dan saya
dipercaya menjadi ketuanya dengan menerapkan sistem peradilan modern dalam cara
kerja lembaga penegak kode etik ini. Menyangkut gagasan etika konstitusi,
sistem peradilan etik, dan bahkan doktrin baru yang saya sebut sebagai ‘rule
of ethics’, saya tulis tersendiri dalam buku yang akan terbit mengenai hal
ini. Buku baru ini akan melengkapi buku saya yang sudah terbit sebelumnya yang
berjudul “Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu” (2013).
[3] Lihat Resolusi UN-General Assembly, A/RES/51/59, 28 January 1997. Pada
tanggal 12 Desember 1996, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan Sidang
Umum ke-82 dan mengesahkan Resolusi PBB tentang “Action Against Corruption”
dengan naskah “International Code of Conduct for Public Officials”
sebagai Annex.
[4] Keith E. Whittington adalah guru besar ilmu politik
di Princeton University, Amerika Serikat dan juga guru besar tamu Fakultas Hukum University of Texas di Austin. Di antara bukunya yang dikenal luas adalah “Constitutional
Interpretation: Textual Meaning, Original Intent, and Judicial Review”, dan
juga “Political Foundations of Judicial Supremacy: The Presidency, the Supreme
Court, and Constitutional Leadership in U.S. History”.
[5] The
Constitutional Corner, “On the Need for a
Theory of Constitutional Ethics”, The Good Society, A PEGS Journal 9:3
(Spring 2000), hal. 60-66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar