Refleksi Kebangsaan :
Akhir dari
Perseteruan Pilkada Provinsi DKI Jakarta 2017
Catatan Pinggir Rahman Yasin
Mengawali tulisan
ini, terlebih dahulu izinkalah saya hendak menceritakan sekilas peristiwa kecil
yang sesungguhnya tidak masuk dalam kategori peristiwa mahal apalagi mewah,
tetapi setidaknya cerita ringan ini menjadi titik tolak inisiatif pribadi untuk
menulis dengan mengawali kisah ringan yang sebetulnya tergolong ‘istimewa’ dari
suatu perspektif yang berbeda atau dengan lain perkataan, soal sudut pandang,
soal siapa yang membaca, menangkapnya, dan mempersepsikannya seperti apa. Atas
dasar itulah saya siap menerima kritik dan masukan untuk tulisan ini.
Adalah
mendapat suatu kehormatan yang patut saya syukuri, ketika itu saya sudah
beranjak keluar dari kantor karena jam telah menunjukkan pukul 16.37 WIB tentu
dengan cepat saya meluncur menuju rumah dengan harapan dapat berkumpul dan
berbuka puasa bersama dengan anak dan istri saya tercinta. Setelah keluar dari
pintu tol Cibubur yang merupakan salah satu titik tol dalam kota yang dikenal
padat alias paling macet ini, tiba-tiba hendphone saya berdering, saya kemudian
mengalihkan pandangan ke hendphone, ternyata muncul nama Pande Putu. Pande Putu
tak lain adalah seorang Polisi profesional dari Mabes Polri yang ditugaskan
oleh instansi Kepolisian menjadi adjudan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., dan
tak lain adalah Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Pakar
Hukum Tata Negara, mantan Ketua pertama Mahkamah Konstitusi (2003-2005), yang
tak lain juga Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Seperti
biasanya, kalau telp dari adjudan Prof Jimly, saya sudah dapat menduga bila itu
perintah dari atasan untuk menghadap. (Putu) “halo pak yasin, (sy) halo juga
pak putu, sahut saya, (putu) posisi dimana? (sy) maaf sudah keluar tol Cibubur,
(putu) Prof. minta pak yasin mendampingi Prof dalam pertemuan dengan Prof
Mahfud MD dan KH. Solahuddin Wahid (Gus Solah) di kantor sore nanti (7/6/2017).
Wah,
perintah atasan tidak bisa ditolak (kecuali diluar batas kemampuan nalar
kondisi), itu adalah prinsip kerja bagi setiap karakter professional (baca:
ketaatan pada sistem norma kerja, bukan pada orangnya semata). Saya kemudian
beralih arah dengan kembali masuk pintu tol Cibubur langsung keluar pintu tol
Semanggi persis depan kantor Polda Metro Jaya dan belok kiri melintasi Jalan
Jenderal Sudirman-Bundaran Hotel Indonesia dan masuk kantor Jl. Thamrin No. 14.
Singkat cerita, sesampainya di kantor, Prof. Jimly dan Prof Mahfud MD baru
memulai perbincangan, saya pun memanggil Dr. Sopiansyah Jaya sesama Tenaga Ahli
di DKPP, beliau adalah senior saya.
Dalam
ruang rapat lantai 5, kantor DKPP, diskusi terus hangat hingga waktu buka
puasa. Inti diskusi, arahan Prof Jimly dan Prof Mahfud agar kami segera
menyusun TOR kegiatan dan segera lakukan komunikasi dengan pihak MPR. Karena
tujuan kegiatan dimaksud sudah didiskusikan dengan ketua MPR Zulkifli Hasan.
Prof Mahfud mengajukan tema “Dialog
Kebangsaan: Curah Gagasan Sesama Anak Bangsa”. Peserta yang diundang pun
tidak tanggung-tanggung, tokoh-tokoh nasional yang terdiri dari para ilmuan
akademisi, budayawan, sosiolog, praktisi profesional dan para pemuka agama dan
adat di pelbagai sudut negeri. Seratus tujuh puluhan (170-an) lebih tokoh
terhimpun dan hanya dalam satu minggu, kegiatan ini dapat berjalan lancar.
Tanggal 13 Juni 2017, Alhamdulillah
kegiatan “Dialog Kebangsaan: Curah
Gagasan Sesama Anak Bangsa” dapat terlaksana dengan baik sesuai harapan.
Tentu
sengaja saya oretkan tulisan ini selain menjadi suatu kehormatan karena
kegiatan ini memperkuat komunikasi dan perluasan relasi juga menjadi bahan
belajar di mana mengetahui titik tolak penyelesaian konflik psikologis sesama
anak bangsa pasca Pilkada DKI Jakarta 2017. Mengorganisasikan suatu ivent
kegiatan nasional yang diamanatkan oleh tokoh seperti Prof. Jimly, Prof Mahfud,
Gus Solah, dan Zulkifli Hasan tidaklah mudah, namun itu semua tidak bisa
dinafikan kalau tanpa seni pergaulan dan kepemilikan relasi serta kesungguhan
beramal bhakti menjadi kunci utama berhasil tidaknya perencaan suatu kegiatan.
Saya merasa penting menyampaikan ucapan terimakasih sebanyak-banyaknya, kepada
pihak-pihak yang ikut ambil bagian dalam suksesnya kegiatan dimaksud.
Sekretariat MPR RI, yang telah dengan sangat respons komunikasi sehingga dapat
berjalan lancar kegiatan ini. Terimakasih semuanya.
Berikut
adalah latar belakang dari perpaduan TOR antara Prof Mahfud dan dan yang saya
oretkan. Sekali lagi saya memang sengaja membuat tulisan ringan ini semata
untuk menjadi kenangan sekaligus dokumentasi saya yang boleh jadi suatu waktu
dapat dipergunakan lagi soal metode dan substansinya.
Curah Gagasan
Dalam rancangan Term
Of Reference yang ditulis Prof. Mahfud MD, berikut saya muatkan sebagai
berikut: Bangunan kebersatuan dalam keberagaman kita sebagai bangsa pada saat ini sedang mengalami
ujian. Tidak seperti yang sudah-sudah, kontes politik yang meskipun berlangsung
panas biasanya selalu selesai begitu puncak kontestasi selesai kali ini
konfliknya terus berlanjut dan sudah cukup mengkhawatirkan. Pada Pemilu
Legislatif dan Pemilihan Presiden oleh MPR hasil pemilu tahun 1999 suasana
tegang dan panas pernah terjadi tetapi begitu pemilu legislatif dan pemilihan
Presiden oleh MPR selesai suasana bisa menjadi reda dan bangsa ini kembali
bersatu tanpa permusuhan. Lembaga Pemantau Pemilu dan para pengamat dari manca
negara pada waktu itu mengatakan, demokrasi di Indonesia sudah cukup dewasa dan
sangat kompatibel dengan keberagaman bangsa Indonesia.
Hal yang
sama juga terjadi pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres)
tahun 2014 yang ditandai suasana sangat panas dan membelah pilihan politik
masayaralat dengan begitu tajam. Tetapi begitu Pilpres selesai ketegangan di
tengah-tengah masyarakat juga mereda, meskipun elit kontestasinya masih
melanjutkan perkara ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menentukan kemenangan
secara hukum. Ketika MK memutus hasil Pilpres dan menetapkan Jokowi-Jusuf Kalla
sebagai Presiden dan Wapres ketegangan terus menurun hingga akhirnya suksesi
berjalan dengan lancar dan pemerintahan berjalan dengan cukup stabil.
Pemilihan
Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta kali ini terasa menempuh jalur dan ekses lain.
Hasil Pilgub tampaknya menimbulkan luka yang agak sulit disembuhkan sehingga
saling serang secara masif masih terus berlangsung, dan serangan-serangan
tersebut sudah menyangkut masalah SARA terutama ikatan primordial keagamaan,
terlebih lagi setelah jatuhnya vonis Pengadilan yang menjatuhkan hukuman
penjara 2 tahun penjara kepada Basuki Tjahaja Purnama. Ada yang merasa bahwa
putusan tersebut tidak adil dan lahir dari tekanan publik yang berbau SARA,
tetapi sebaliknya pihak lain mengatakan bahwa memang itulah vonis yang sesuai
dengan hukum. Putusan hakim yang seharusnya menghentikan kontroversi justeru
menjadi sumber kontroversi baru.
Di
tingkat masyarakat ada kekhawatiran tentang masa depan kebersatuan kita di
rumah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di beberapa daerah tertentu
ada yang mengeluh bahwa kelompok primordialnya diperlakukan tidak adil tetapi
pandangan itu ditolak oleh kelompok lain dengan mengatakan justeru pihaknyalah
yang diperlakukan tidak adil. Saling keluh dan klaim seperti ini, ironisnya,
disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan politik dan aksi-aksi yang
mengkhawatirkan. Ketidakpercayaan antar kelompok primordial bahkan dari
kelompok primordial terhadap aparatur negara sudah menyeruak dan hampir tak
bisa ditutupi.
Pimpinan
MPR berpendapat, keadaan tersebut harus segera diatasi demi kelangsungan dan
masa depan NKRI yang berdasarkan Pancasila. Kita harus mulai melangkah untuk
mengatasi situasi yang tidak kondusif bagi masa depan bangsa dan negara ini.
Itulah sebabnya, Pimpinan MPR mengambil inisiatif untuk untuk melakukan
pertemuan curah rasa dan pendapat antara tokoh-tokoh masyarakat guna mencari
pokok masalah dan mencari solusi atas masalah serius yang dihadapi bangsa
Indonesia saat ini.
Dalam sebuah
tulisan professor Mahfud bahkan menguraikan, persatuan, meminjam istilah Bung
Hatta, bukanlah persatean yang mengharuskan orang selalu membebek dan tidak
bisa kreatif untuk keluar dari satu pengendalian yang hegemonis. Persatuan
harus kita bangun dalam visi dan platform yang tetap memungkinkan perbedaan
posisi politik dan langkah-langkah yang ditempuh, tidak harus disusun seperti
setusuk sate. Dalam konteks inilah, MPR RI sebagai Lembaga Tinggi Negara
mengajak untuk memandang dan mengarahkan keberlanjutan perkubuan politik
pasca-pilpres antara kubu Koalisi Merah Putih dan Kubu Indonesia Hebat agar
keduanya bersatu demi Indonesia meski berbeda dalam pilihan dan langkah-langkah
politik.
Bagi MPR RI,
demokrasi dan adanya lembaga-lembaga negara, hukum, Pemilu dan sebagainya
hanyalah alat untuk menyejahterakan rakyat. Ibaratnya, kedua koalisi ini harus
menuju tujuan yang sama tapi menempuh jalan yang berbeda. Sungguh akan baik
seandainya kebersatuan semua parpol bisa disepakati melalui kerja sama atau
gotong royong di legislatif dan eksekutif sekaligus, secara paralel dan tanpa
perkubuan. Tetapi manakala kebersatuan dan kerja sama atau gotong royong
seperti itu tidak bisa dilakukan, memilih posisi yang berbeda tetap bisa baik
asal semuanya berkomitmen untuk tujuan yang sama yakni membangun kesejahteraan
rakyat dengan berkompetisi.
Memang
polarisasi kebangsaan, dari satu sisi bisa dilihat sebagai negatif karena
berpotensi melahirkan pemerintahan yang tidak stabil atau penuh hambatan.
Tetapi dari sisi lain bisa juga dipandang dan dijadikan hal yang positif dalam
menguatkan pembagian tugas penyelenggaraan negara. Kita bisa menjadikan situasi
perkubuan koalisi yang ada sekarang ini sebagai hal yang positif dengan
menjadikannya sebagai momentum untuk memulai membangun mekanisme saling kontrol
dan mengimbangi (checks and balances)
secara sehat dalam sistem ketatanegaraan.
Yang satu
bisa mengelola eksekutif, sedangkan yang lain-nya bisa berkonsentrasi untuk
mengawasi dan mengimbangi secara sehat dari lembaga legislatif. MPR RI yang
secara nyata banyak bergabung di kedua kubu itu dapat berperan aktif untuk
menyatukan tujuan dalam pilihan dan jalan politik yang berbeda itu melalui
pemberian dukungan secara kuat terhadap pihak yang didukungnya. Kalau ini bisa
dilakukan dengan baik maka sistem ketatanegaraan kita ke depan bisa semakin
sehat dengan hadirnya checks and balances
yang bukan untuk saling menghambat, melainkan saling bersinergi untuk
kesejahteraan rakyat. Kita tak perlu mengikuti pendapat bahwa di dalam sistem
presidensial tak dikenal koalisi, karena koalisi hanya ada dalam sistem
parlementer. Di suatu negara itu tidak tunduk pada teori dan tidak harus
mengikuti yang berlaku di negara lain. (Mahfud:
Koran Sindo: 23 September 2014).
Menurut
Ketua MK (2008-2013) ini, tidak ada teori hukum tata negara yang universal
asli, karena setiap negara membuat hukum tata negara di dalam konstitusinya
sesuai dengan kebutuhan domestiknya masing-masing. Yang harus kita lakukan
adalah apa yang tertulis secara resmi di dalam konstitusi; sedangkan yang tak
dilarang secara resmi di dalam konstitusi dan hukum, seperti koalisi dan
pembentukan komisi-komisi di DPR, boleh saja dilakukan sepanjang dibutuhkan
dalam realitas politik dan masih dalam rangka untuk mencapai tujuan negara
yakni kesejahteraan rakyat. Berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia,
mempraktikkan konvensi- konvensi ketatanegaraan yang seperti itu.
Dalam
kondisi negara dan bangsa yang cenderung kontradiktif antar lintas etnis anak
bangsa, MPR mempelopori suatu gerakan moral untuk menggerakan semua potensi
kekuatan bangsa dengan menyelenggarakan Refleksi Kebangsaan dan Ke-Indonesiaan
di Masa Depan. Kita bersyukur ternyata MPR RI mempunyai ahli-ahli hampir dalam
semua bidang iptek dan profesi. Kemerdekaan yang diperoleh atas berkat rahmat
Allah telah memungkinkan bangsa ini melahirkan banyak pemimpin dan banyak ahli,
termasuk pemimpin dan ahli yang pernah ditempa di kawah candradimuka Indonesia.
Melalui
Refleksi Kebangsaan, kita menjadi tahu bahwa potensi anak bangsa yang kita
miliki dapat mengidentifikasi dengan baik persoalan yang kita hadapi dalam
setiap bidang dan tahu pula bagaimana cara mengatasinya. Ibarat dokter, para
ahli yang kita miliki sudah bisa mendiagnosis penyakit dan menentukan panasea
atau terapinya. Hanya, masalah berikutnya, cara melaksanakan terapi itu
berjalan semrawut, tidak terpimpin dan tidak terkoordinasi dengan baik serta
cenderung berjalan sendirisendiri karena ego sektoral.
Keruwetan
dan ego sektoral itulah yang menjadi salah satu sebab (dan cara melakukan)
korupsi, baik korupsi uang maupun korupsi kebijakan. Itulah sebabnya, ketika
kita mengupayakan mencari cetak biru maka yang ditemukan, meminjam istilah
tokoh bangsa kita menyelenggarakan Refleksi Kebangsaan ini adalah untuk cetak
buram. Salah satu tujuan penting dari Refleksi Kebangsaan, kita memerlukan
kepemimpinan yang kuat, yakni kepemimpinan yang visioner serta dapat secara
tegas melakukan pilihan-pilihan kebijakan untuk melaksanakan pemerintahan dan
pembangunan secara terkoordinasi dan terarah sesuai dengan target kebijakan
yang telah dipilih.
Meski
banyak keluhan dan tidak sedikit yang mencemaskan masa depan ikatan kebangsaan
Indonesia, ternyata Indonesia mempunyai modal sosial dan politik (sospol) yang
bisa dipakai untuk menjadi negara yang kuat dan maju.Memang ada yang khawatir
atas masa depan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) berhubung munculnya
gejala radikalisme, intoleransi dan diskriminasi. Namun setelah didiagnosis itu
semua hanya symptom atau gejala yang muncul karena penyakit dalam yakni
lemahnya penegakan hukum dan keadilan serta karena kontestasi politik yang
sifatnya situational.
Indonesia
mempunyai modal-modal penting untuk maju dengan pijakan kebersatuan dalam
kebhinekaan. Indonesia sudah bisa menyelenggarakan pemilu yang demokratis,
diselenggarakan oleh KPU yang mandiri terlepas dari intervensi pemerintah, dan
bisa diadili di MK jika ada kecurangan. "Kedua rakyat kita sudah cukup
dewasa dalam berdemokrasi. Terbukti begitu hasil pemilihan selesai, ribut-ribut
juga selesai dan rakyat menerima hasilnya.Kalau calon-calon yang kalah merasa
tak puas, maka calon-calon yang bersangkutan bisa mengadu ke MK tapi rakyatnya
tak ikut-ikutan dan setelah MK memutus masalahnya selesai.Ketiga, sekarang ini
tidak ada koalisi dan oposisi permanen. "Partai yang berkoalisi atau
beroposisi di Jakarta bisa bertukar pasangan koalisi dan oposisi di
daerah-daerah lain.
Saat ini
kita berada pada momentum yang tepat untuk menyerasikan langkah di bawah satu
visi yang kuat dengan pilihan kebijakan tentang arah dan terapi yang terpadu
karena kita akan segera mempunyai pemerintahan yang baru. para tokoh Indonesia
sebagai bagian penting dari bangsa harus berperan melalui posisinya masing-masing
untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik dengan membantu
pemerintahan yang baru, baik di eksekutif maupun di legislatif.
Penguatan Nilai
Etika Pancasila
Professor Jimly menyoroti dari dimensi penguatan nilai etika Pancasila.
Krisis penghayatan dan pengamalan pada nilai-nilai Pancasila kian menguat di
hampir semua elemen bangsa sehingga diperlukan forum anak bangsa untuk
memikirkan bersama masalah kebersamaan dalam bernegara. Menurutnya, meskipun
Ketetapan MPR tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila warisan Orde
Baru itu telah dicabut, tetapi kedudukan Pancasila tetap kokoh, tidak berubah
karena perubahan era. Hal ini juga ditegaskan oleh Ketetapan MPR No.
XVIII/MPR/1998 yang mencabut Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 itu. Bahkan, dalam
perumusan tentang prosedur perubahan UUD 1945 sebagaimana diatur dalam rumusan
Perubahan Ke-IV UUD 1945, yaitu pada Bab XVI Pasal 37 UUD 1945, tegas
ditentukan bahwa yang menjadi objek perubahan dalam arti, materi UUD 1945 yang
dapat diubah menurut prosedur Pasal 37 itu hanya rumusan “pasal-pasal”.
Artinya, perumusan tentang Pembukaan UUD 1945, tidak menjadi dan tidak
dijadikan objek perubahan sama sekali. Karena itu, rumusan Alinea IV Pembukaan
UUD 1945 yang berisi formulasi sila-sila Pancasila tidak dapat dan tidak akan
pernah berubah menurut prosedur yang konstitusional berdasarkan UUD 1945.
Apalagi, penamaan kelima sila dengan kata “Pancasila” dalam Alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 juga secara implisit telah ditegaskan namanya dalam Pasal 36A
UUD 1945 yang menyatakan, “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan demikian, setelah Perubahan Keempat UUD
1945 pada tahun 2002, kedudukan Pancasila itu sebagai dasar dan falsafah dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi semakin kokoh.
Dalam kaitannya dengan perkembangan sistem
etika di abad modern dewasa ini, harus dipahami pula bahwa Pancasila itu
sendiri, bukan hanya merupakan sumber hukum (source of law) bagi bangsa Indonesia, tetapi juga merupakan sumber
etika (source of ethics). Karena itu,
perspektif para sarjana hukum, apalagi para sarjana hukum tatanegara haruslah
melihat UUD 1945 sebagai naskah konstitusi tertulis tidak hanya dalam konteks
hukum konstitusi atau “constitutional law”,
tetapi juga etika konstitusi atau “constitutional
ethics”. Kedua perspektif hukum dan etika konstitusi itu harus dijadikan
sumber referensi normatif dan operasional dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pengertian demikian ini saya promosikan untuk dikembangkan agar Pancasila
dan UUD 1945 tidak hanya dilihat sebagai norma hukum, tetapi juga norma etika
berbangsa dan bernegara sebagaimana yang sudah terjabarkan dalam Ketetapan MPR
No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. (Peradilan Etik dan Etika
Konstitusi, 2015: 217).
Padahal,
pemilu dan pilkada pada dasarnya tidak hanya sebagai ajang kontestasi kekuasaan
semata, namun menjadi pintu masuk bagi pengisian jabatan-jabatan publik
sehingga kualitas dan integritas proses maupun hasil hendaknya mendapatkan perhatian
serius baik oleh penyelenggara maupun peserta yang tidak lain menjadi calon
pejabat publik. Jabatan publik melalui proses pelaksanaan pemilu dan pilkada
meliputi (i) Presiden dan Wakil Presiden, (ii) Anggota DPR, (iii) Anggota DPD,
(iv) Anggota DPRD Provinsi, (v) Anggota DPRD Kabupaten/Kota, (vi) Gubernur dan
Wakil Gubernur, (vii) Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota.
Pemilu
dan pilkada baik diselenggarakan sejak Indonesia masih menganut sistem
pemerintahan parlementer hingga pada reformasi menerapkan sistem pemerintahan
presidentiil bahkan terbaru keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
14/PUU-XI/2013 untuk diselenggarakan secara serentak, tidak pernah lepas dari
praktik pelanggaran. Pelanggaran pemilu dan pilkada umumnya dilakukan oleh
peserta dan penyelenggara pemilu. Pada konteks tugas dan wewenang MK sesuai
amanat UU No. 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat (1) poin
(d) dinyatakan, MK menangani perkara penyelesaian hasil pemilu (electoral result). PHPU di MK berupa
sengketa yang timbul antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu.
Sengketa PHPU pun dapat terjadi antar peserta pemilu dan pilkada karena
perselisihan hasil yang berbeda berdasarkan data masing-masing.
Pelanggaran
pemilu dan pilkada dapat dilihat dari aspek muatan pelanggaran itu sendiri
sehingga dalam penanganan sengketa dapat dilihat apakah pelanggaran yang
disengketakan itu masuk dalam kategori pelanggaran administrasi pemilu dan
pilkada atau pelanggaran hukum baik dalam bentuk pelanggaran hukum pidana,
pelanggaran hukum perdata maupun dalam bentuk pelanggaran hukum administrasi
negara atau pelanggaran dalam bentuk kode etik penyelenggara pemilu. MK sesuai
ketentuan Pasal 10 ayat (1) sebagai peradilan konstitusi pada tingkat pertama
dan terakhir hanya menangani sengketa hasil pemilu (electoral result) yang disengketakan menjadi objek perkara (objectum litis) oleh peserta pemilu
dengan penyelenggara.
Oleh karena itu, cukup ideal bila ketua Mahkamah
Konstitusi Arief Hidayat dalam sambutannya pada pelaksanaan Kongres MK se-Eropa
ke-17 yang diselenggarakan di Batuni Georgia pada tanggal 29 Juni 2017
menegaskan, konstitusi adalah hukum tertinggi dalam negara. Oleh karena
konstitusi menjadi sumber hukum tertinggi, maka semua peraturan perundang-undangan
yang dibuat harus sejalan dan selaras dengan konstitusi atau tidak boleh ada
yang bertentangan dengannya. Ketua MK Arief Hidayat selaku Presiden Asosiasi MK
mengatakan, Pancasila dan UUD 1945 merupakan pedoman hukum tertinggi dalam
praktik kehidupan bernegara di Indonesia. Ada empat prinsip dasar
konstitusional pada administrasi negara dan berpemerintahan. Keempat prinsip
dasar konstitusional itu yaitu (i) menjadikan konstitusi sebagai sistem norma
hukum yang lebih tinggi, (ii) penetapan hirarkhi peraturan perundang-undangan
dalam konstitusi, (iii) ketentuan pada norma-norma tertentu dalam konstitusi
Pancasila dan UUD 1945 yang tidak dapat diubah, dan (iv) judicial review terhadap perubahan konstitusi.
Presiden Indonesia Joko Widodo pada pembukaan
Kongres MK Asia (The Association of Asian Constitutional Caourt and Equivalent
Institution-AACC ke-3 di Nusa Dua Bali pada tanggal 11 Agustus 2016,
mengatakan, Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber kekayaan budaya
yang luas sehingga potensi konflik antar kepentingan atasnama perbedaan politik
bisa saja muncul kapan pun, namun peran MK sebagai benteng penegak hak-hak
konstitusi warga negara dapat menjadi solusi konstitusi yang efektif. MK terus
berperan aktif memberikan perlindungan dengan menegakkan aturan main dalam
sistem kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga potensi-potensi perbedaan
politik dapat diatasi dengan baik. Sebagai lembaga penegak konstitusi, MK terus
diusahakan untuk senantiasa bekerja keras memenuhi hak konstitusional warganya.
Apalagi menurut Presiden Joko Widodo, reformasi konstitusi pada tahun 1999
telah mengamanatkan MK pada posisi strategis. MK berkewajiban mengawal dan
menjaga keluhuran, marwah, harkat dan martabat serta kehormatan konstitusi
termasuk hak politik pemilu warga bangsa.
Pada akhirnya, pertempuran telah selesai,
pertarungan politik dan ideologi terselubung sudah sampai pada terminal dan
telah melahirkan konsensus dengan mengukuhkan kembali otoritasasi moralitas
politik bangsa pada dimensinya. Dalam setiap kontestasi, wajar harus ada yang
kalah dan menang, namun pengertian kalah menang merupakan istilah politik yang
cukup antagonis sehingga wajar pula ada kelompok maupun komunitas ideologi
terselubung merasa kecewa. Tetapi kekecewaan itu hal yang wajar, jangan sampai
kekecewaan melebihi keterpaksaan yang pada akhirnya memicu problem bangsa yang
lebih parah, maka kesadaran etik dan bijak memaknai hasil kontestasi pilkada
DKI secara rasional sangat dibutuhkan. Kekecewaan politik dan ideologi
terselubung melalui kontestasi pilkada yang tidak tercapai bukanlah titik akhir
dalam kehidupan sehingga harus mengorbankan kepentingan umum yang lebih besar,
tetapi ruang pengabdian, hamparan kinerja-produktivitas dan kreativitas untuk
bangsa dan negara masih sangat luas dan semua memiliki kesempatan yang sama
sehingga tidak ada alasan untuk merintangi.
Alhasil, Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Uno
telah dilantik dan dengan dikukuhkan Gubernur dan Wakil Gubernur periode
2017-2022 itu maka sah dan konstitusional menggantikan Djarot Syaiful Hidayat.
Pelantikan Anies-Sandi tanggal 16 Oktober 2017 oleh Presiden Joko Widodo
hendaklah dimaknai sebagai puncak akhir dari semua perseteruan politik yang
telah menguras energi besar bangsa pada proses pelaksanaan pilkada provinsi DKI
Jakarta 2017. Kepada semua kekuatan komponen bangsa pada setiap sudut negeri,
marilah kawal dan terus kontrol kebijakan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi
DKI Jakarta selama periode kepemimpinan mereka. Janji-janji kampanye dan
realisasi program visi misi yang didengung-dengungkan selama pelaksanaan
pilkada, hendaknya dapat ditunaikan dengan baik. Tunaikan janji dan ciptakan
kondisi tertib, aman, dan damai, agar DKI Jakarta tidak hanya menjadi simbol
ibukota negara dalam pengertian umumnya saja tetapi benar-benar menjadi rule model pembangunan pada semua bidang
kehidupan, serta menjadi miniatur dan sekaligus parameter kesejahteraan ekonomi
bangsa bagi daerah-daerah lain di tanah air.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar