Selasa, 24 Oktober 2017

Refleksi Akhir Perseteruan Pilkada DKI Jakarta 2017

Refleksi Kebangsaan :
Akhir dari Perseteruan Pilkada Provinsi DKI Jakarta 2017

Catatan Pinggir Rahman Yasin


Mengawali tulisan ini, terlebih dahulu izinkalah saya hendak menceritakan sekilas peristiwa kecil yang sesungguhnya tidak masuk dalam kategori peristiwa mahal apalagi mewah, tetapi setidaknya cerita ringan ini menjadi titik tolak inisiatif pribadi untuk menulis dengan mengawali kisah ringan yang sebetulnya tergolong ‘istimewa’ dari suatu perspektif yang berbeda atau dengan lain perkataan, soal sudut pandang, soal siapa yang membaca, menangkapnya, dan mempersepsikannya seperti apa. Atas dasar itulah saya siap menerima kritik dan masukan untuk tulisan ini.
Adalah mendapat suatu kehormatan yang patut saya syukuri, ketika itu saya sudah beranjak keluar dari kantor karena jam telah menunjukkan pukul 16.37 WIB tentu dengan cepat saya meluncur menuju rumah dengan harapan dapat berkumpul dan berbuka puasa bersama dengan anak dan istri saya tercinta. Setelah keluar dari pintu tol Cibubur yang merupakan salah satu titik tol dalam kota yang dikenal padat alias paling macet ini, tiba-tiba hendphone saya berdering, saya kemudian mengalihkan pandangan ke hendphone, ternyata muncul nama Pande Putu. Pande Putu tak lain adalah seorang Polisi profesional dari Mabes Polri yang ditugaskan oleh instansi Kepolisian menjadi adjudan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., dan tak lain adalah Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Pakar Hukum Tata Negara, mantan Ketua pertama Mahkamah Konstitusi (2003-2005), yang tak lain juga Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Seperti biasanya, kalau telp dari adjudan Prof Jimly, saya sudah dapat menduga bila itu perintah dari atasan untuk menghadap. (Putu) “halo pak yasin, (sy) halo juga pak putu, sahut saya, (putu) posisi dimana? (sy) maaf sudah keluar tol Cibubur, (putu) Prof. minta pak yasin mendampingi Prof dalam pertemuan dengan Prof Mahfud MD dan KH. Solahuddin Wahid (Gus Solah) di kantor sore nanti (7/6/2017).
Wah, perintah atasan tidak bisa ditolak (kecuali diluar batas kemampuan nalar kondisi), itu adalah prinsip kerja bagi setiap karakter professional (baca: ketaatan pada sistem norma kerja, bukan pada orangnya semata). Saya kemudian beralih arah dengan kembali masuk pintu tol Cibubur langsung keluar pintu tol Semanggi persis depan kantor Polda Metro Jaya dan belok kiri melintasi Jalan Jenderal Sudirman-Bundaran Hotel Indonesia dan masuk kantor Jl. Thamrin No. 14. Singkat cerita, sesampainya di kantor, Prof. Jimly dan Prof Mahfud MD baru memulai perbincangan, saya pun memanggil Dr. Sopiansyah Jaya sesama Tenaga Ahli di DKPP, beliau adalah senior saya.
Dalam ruang rapat lantai 5, kantor DKPP, diskusi terus hangat hingga waktu buka puasa. Inti diskusi, arahan Prof Jimly dan Prof Mahfud agar kami segera menyusun TOR kegiatan dan segera lakukan komunikasi dengan pihak MPR. Karena tujuan kegiatan dimaksud sudah didiskusikan dengan ketua MPR Zulkifli Hasan. Prof Mahfud mengajukan tema “Dialog Kebangsaan: Curah Gagasan Sesama Anak Bangsa”. Peserta yang diundang pun tidak tanggung-tanggung, tokoh-tokoh nasional yang terdiri dari para ilmuan akademisi, budayawan, sosiolog, praktisi profesional dan para pemuka agama dan adat di pelbagai sudut negeri. Seratus tujuh puluhan (170-an) lebih tokoh terhimpun dan hanya dalam satu minggu, kegiatan ini dapat berjalan lancar. Tanggal 13 Juni 2017, Alhamdulillah kegiatan “Dialog Kebangsaan: Curah Gagasan Sesama Anak Bangsa” dapat terlaksana dengan baik sesuai harapan.
Tentu sengaja saya oretkan tulisan ini selain menjadi suatu kehormatan karena kegiatan ini memperkuat komunikasi dan perluasan relasi juga menjadi bahan belajar di mana mengetahui titik tolak penyelesaian konflik psikologis sesama anak bangsa pasca Pilkada DKI Jakarta 2017. Mengorganisasikan suatu ivent kegiatan nasional yang diamanatkan oleh tokoh seperti Prof. Jimly, Prof Mahfud, Gus Solah, dan Zulkifli Hasan tidaklah mudah, namun itu semua tidak bisa dinafikan kalau tanpa seni pergaulan dan kepemilikan relasi serta kesungguhan beramal bhakti menjadi kunci utama berhasil tidaknya perencaan suatu kegiatan. Saya merasa penting menyampaikan ucapan terimakasih sebanyak-banyaknya, kepada pihak-pihak yang ikut ambil bagian dalam suksesnya kegiatan dimaksud. Sekretariat MPR RI, yang telah dengan sangat respons komunikasi sehingga dapat berjalan lancar kegiatan ini. Terimakasih semuanya.
Berikut adalah latar belakang dari perpaduan TOR antara Prof Mahfud dan dan yang saya oretkan. Sekali lagi saya memang sengaja membuat tulisan ringan ini semata untuk menjadi kenangan sekaligus dokumentasi saya yang boleh jadi suatu waktu dapat dipergunakan lagi soal metode dan substansinya.

Curah Gagasan

Dalam rancangan Term Of Reference yang ditulis Prof. Mahfud MD, berikut saya muatkan sebagai berikut: Bangunan kebersatuan dalam keberagaman kita  sebagai bangsa pada saat ini sedang mengalami ujian. Tidak seperti yang sudah-sudah, kontes politik yang meskipun berlangsung panas biasanya selalu selesai begitu puncak kontestasi selesai kali ini konfliknya terus berlanjut dan sudah cukup mengkhawatirkan. Pada Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden oleh MPR hasil pemilu tahun 1999 suasana tegang dan panas pernah terjadi tetapi begitu pemilu legislatif dan pemilihan Presiden oleh MPR selesai suasana bisa menjadi reda dan bangsa ini kembali bersatu tanpa permusuhan. Lembaga Pemantau Pemilu dan para pengamat dari manca negara pada waktu itu mengatakan, demokrasi di Indonesia sudah cukup dewasa dan sangat kompatibel dengan keberagaman bangsa Indonesia.
Hal yang sama juga terjadi pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) tahun 2014 yang ditandai suasana sangat panas dan membelah pilihan politik masayaralat dengan begitu tajam. Tetapi begitu Pilpres selesai ketegangan di tengah-tengah masyarakat juga mereda, meskipun elit kontestasinya masih melanjutkan perkara ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menentukan kemenangan secara hukum. Ketika MK memutus hasil Pilpres dan menetapkan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wapres ketegangan terus menurun hingga akhirnya suksesi berjalan dengan lancar dan pemerintahan berjalan dengan cukup stabil.
Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta kali ini terasa menempuh jalur dan ekses lain. Hasil Pilgub tampaknya menimbulkan luka yang agak sulit disembuhkan sehingga saling serang secara masif masih terus berlangsung, dan serangan-serangan tersebut sudah menyangkut masalah SARA terutama ikatan primordial keagamaan, terlebih lagi setelah jatuhnya vonis Pengadilan yang menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun penjara kepada Basuki Tjahaja Purnama. Ada yang merasa bahwa putusan tersebut tidak adil dan lahir dari tekanan publik yang berbau SARA, tetapi sebaliknya pihak lain mengatakan bahwa memang itulah vonis yang sesuai dengan hukum. Putusan hakim yang seharusnya menghentikan kontroversi justeru menjadi sumber kontroversi baru.
Di tingkat masyarakat ada kekhawatiran tentang masa depan kebersatuan kita di rumah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di beberapa daerah tertentu ada yang mengeluh bahwa kelompok primordialnya diperlakukan tidak adil tetapi pandangan itu ditolak oleh kelompok lain dengan mengatakan justeru pihaknyalah yang diperlakukan tidak adil. Saling keluh dan klaim seperti ini, ironisnya, disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan politik dan aksi-aksi yang mengkhawatirkan. Ketidakpercayaan antar kelompok primordial bahkan dari kelompok primordial terhadap aparatur negara sudah menyeruak dan hampir tak bisa ditutupi.
Pimpinan MPR berpendapat, keadaan tersebut harus segera diatasi demi kelangsungan dan masa depan NKRI yang berdasarkan Pancasila. Kita harus mulai melangkah untuk mengatasi situasi yang tidak kondusif bagi masa depan bangsa dan negara ini. Itulah sebabnya, Pimpinan MPR mengambil inisiatif untuk untuk melakukan pertemuan curah rasa dan pendapat antara tokoh-tokoh masyarakat guna mencari pokok masalah dan mencari solusi atas masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Dalam sebuah tulisan professor Mahfud bahkan menguraikan, persatuan, meminjam istilah Bung Hatta, bukanlah persatean yang mengharuskan orang selalu membebek dan tidak bisa kreatif untuk keluar dari satu pengendalian yang hegemonis. Persatuan harus kita bangun dalam visi dan platform yang tetap memungkinkan perbedaan posisi politik dan langkah-langkah yang ditempuh, tidak harus disusun seperti setusuk sate. Dalam konteks inilah, MPR RI sebagai Lembaga Tinggi Negara mengajak untuk memandang dan mengarahkan keberlanjutan perkubuan politik pasca-pilpres antara kubu Koalisi Merah Putih dan Kubu Indonesia Hebat agar keduanya bersatu demi Indonesia meski berbeda dalam pilihan dan langkah-langkah politik.
Bagi MPR RI, demokrasi dan adanya lembaga-lembaga negara, hukum, Pemilu dan sebagainya hanyalah alat untuk menyejahterakan rakyat. Ibaratnya, kedua koalisi ini harus menuju tujuan yang sama tapi menempuh jalan yang berbeda. Sungguh akan baik seandainya kebersatuan semua parpol bisa disepakati melalui kerja sama atau gotong royong di legislatif dan eksekutif sekaligus, secara paralel dan tanpa perkubuan. Tetapi manakala kebersatuan dan kerja sama atau gotong royong seperti itu tidak bisa dilakukan, memilih posisi yang berbeda tetap bisa baik asal semuanya berkomitmen untuk tujuan yang sama yakni membangun kesejahteraan rakyat dengan berkompetisi.
Memang polarisasi kebangsaan, dari satu sisi bisa dilihat sebagai negatif karena berpotensi melahirkan pemerintahan yang tidak stabil atau penuh hambatan. Tetapi dari sisi lain bisa juga dipandang dan dijadikan hal yang positif dalam menguatkan pembagian tugas penyelenggaraan negara. Kita bisa menjadikan situasi perkubuan koalisi yang ada sekarang ini sebagai hal yang positif dengan menjadikannya sebagai momentum untuk memulai membangun mekanisme saling kontrol dan mengimbangi (checks and balances) secara sehat dalam sistem ketatanegaraan.
Yang satu bisa mengelola eksekutif, sedangkan yang lain-nya bisa berkonsentrasi untuk mengawasi dan mengimbangi secara sehat dari lembaga legislatif. MPR RI yang secara nyata banyak bergabung di kedua kubu itu dapat berperan aktif untuk menyatukan tujuan dalam pilihan dan jalan politik yang berbeda itu melalui pemberian dukungan secara kuat terhadap pihak yang didukungnya. Kalau ini bisa dilakukan dengan baik maka sistem ketatanegaraan kita ke depan bisa semakin sehat dengan hadirnya checks and balances yang bukan untuk saling menghambat, melainkan saling bersinergi untuk kesejahteraan rakyat. Kita tak perlu mengikuti pendapat bahwa di dalam sistem presidensial tak dikenal koalisi, karena koalisi hanya ada dalam sistem parlementer. Di suatu negara itu tidak tunduk pada teori dan tidak harus mengikuti yang berlaku di negara lain. (Mahfud: Koran Sindo: 23 September 2014).
Menurut Ketua MK (2008-2013) ini, tidak ada teori hukum tata negara yang universal asli, karena setiap negara membuat hukum tata negara di dalam konstitusinya sesuai dengan kebutuhan domestiknya masing-masing. Yang harus kita lakukan adalah apa yang tertulis secara resmi di dalam konstitusi; sedangkan yang tak dilarang secara resmi di dalam konstitusi dan hukum, seperti koalisi dan pembentukan komisi-komisi di DPR, boleh saja dilakukan sepanjang dibutuhkan dalam realitas politik dan masih dalam rangka untuk mencapai tujuan negara yakni kesejahteraan rakyat. Berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, mempraktikkan konvensi- konvensi ketatanegaraan yang seperti itu.
Dalam kondisi negara dan bangsa yang cenderung kontradiktif antar lintas etnis anak bangsa, MPR mempelopori suatu gerakan moral untuk menggerakan semua potensi kekuatan bangsa dengan menyelenggarakan Refleksi Kebangsaan dan Ke-Indonesiaan di Masa Depan. Kita bersyukur ternyata MPR RI mempunyai ahli-ahli hampir dalam semua bidang iptek dan profesi. Kemerdekaan yang diperoleh atas berkat rahmat Allah telah memungkinkan bangsa ini melahirkan banyak pemimpin dan banyak ahli, termasuk pemimpin dan ahli yang pernah ditempa di kawah candradimuka Indonesia.
Melalui Refleksi Kebangsaan, kita menjadi tahu bahwa potensi anak bangsa yang kita miliki dapat mengidentifikasi dengan baik persoalan yang kita hadapi dalam setiap bidang dan tahu pula bagaimana cara mengatasinya. Ibarat dokter, para ahli yang kita miliki sudah bisa mendiagnosis penyakit dan menentukan panasea atau terapinya. Hanya, masalah berikutnya, cara melaksanakan terapi itu berjalan semrawut, tidak terpimpin dan tidak terkoordinasi dengan baik serta cenderung berjalan sendirisendiri karena ego sektoral.
Keruwetan dan ego sektoral itulah yang menjadi salah satu sebab (dan cara melakukan) korupsi, baik korupsi uang maupun korupsi kebijakan. Itulah sebabnya, ketika kita mengupayakan mencari cetak biru maka yang ditemukan, meminjam istilah tokoh bangsa kita menyelenggarakan Refleksi Kebangsaan ini adalah untuk cetak buram. Salah satu tujuan penting dari Refleksi Kebangsaan, kita memerlukan kepemimpinan yang kuat, yakni kepemimpinan yang visioner serta dapat secara tegas melakukan pilihan-pilihan kebijakan untuk melaksanakan pemerintahan dan pembangunan secara terkoordinasi dan terarah sesuai dengan target kebijakan yang telah dipilih.
Meski banyak keluhan dan tidak sedikit yang mencemaskan masa depan ikatan kebangsaan Indonesia, ternyata Indonesia mempunyai modal sosial dan politik (sospol) yang bisa dipakai untuk menjadi negara yang kuat dan maju.Memang ada yang khawatir atas masa depan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) berhubung munculnya gejala radikalisme, intoleransi dan diskriminasi. Namun setelah didiagnosis itu semua hanya symptom atau gejala yang muncul karena penyakit dalam yakni lemahnya penegakan hukum dan keadilan serta karena kontestasi politik yang sifatnya situational.
Indonesia mempunyai modal-modal penting untuk maju dengan pijakan kebersatuan dalam kebhinekaan. Indonesia sudah bisa menyelenggarakan pemilu yang demokratis, diselenggarakan oleh KPU yang mandiri terlepas dari intervensi pemerintah, dan bisa diadili di MK jika ada kecurangan. "Kedua rakyat kita sudah cukup dewasa dalam berdemokrasi. Terbukti begitu hasil pemilihan selesai, ribut-ribut juga selesai dan rakyat menerima hasilnya.Kalau calon-calon yang kalah merasa tak puas, maka calon-calon yang bersangkutan bisa mengadu ke MK tapi rakyatnya tak ikut-ikutan dan setelah MK memutus masalahnya selesai.Ketiga, sekarang ini tidak ada koalisi dan oposisi permanen. "Partai yang berkoalisi atau beroposisi di Jakarta bisa bertukar pasangan koalisi dan oposisi di daerah-daerah lain.
Saat ini kita berada pada momentum yang tepat untuk menyerasikan langkah di bawah satu visi yang kuat dengan pilihan kebijakan tentang arah dan terapi yang terpadu karena kita akan segera mempunyai pemerintahan yang baru. para tokoh Indonesia sebagai bagian penting dari bangsa harus berperan melalui posisinya masing-masing untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik dengan membantu pemerintahan yang baru, baik di eksekutif maupun di legislatif.

Penguatan Nilai Etika Pancasila

Professor Jimly menyoroti dari dimensi penguatan nilai etika Pancasila. Krisis penghayatan dan pengamalan pada nilai-nilai Pancasila kian menguat di hampir semua elemen bangsa sehingga diperlukan forum anak bangsa untuk memikirkan bersama masalah kebersamaan dalam bernegara. Menurutnya, meskipun Ketetapan MPR tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila warisan Orde Baru itu telah dicabut, tetapi kedudukan Pancasila tetap kokoh, tidak berubah karena perubahan era. Hal ini juga ditegaskan oleh Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 yang mencabut Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 itu. Bahkan, dalam perumusan tentang prosedur perubahan UUD 1945 sebagaimana diatur dalam rumusan Perubahan Ke-IV UUD 1945, yaitu pada Bab XVI Pasal 37 UUD 1945, tegas ditentukan bahwa yang menjadi objek perubahan dalam arti, materi UUD 1945 yang dapat diubah menurut prosedur Pasal 37 itu hanya rumusan “pasal-pasal”. Artinya, perumusan tentang Pembukaan UUD 1945, tidak menjadi dan tidak dijadikan objek perubahan sama sekali. Karena itu, rumusan Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang berisi formulasi sila-sila Pancasila tidak dapat dan tidak akan pernah berubah menurut prosedur yang konstitusional berdasarkan UUD 1945. Apalagi, penamaan kelima sila dengan kata “Pancasila” dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 juga secara implisit telah ditegaskan namanya dalam Pasal 36A UUD 1945 yang menyatakan, “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan demikian, setelah Perubahan Keempat UUD 1945 pada tahun 2002, kedudukan Pancasila itu sebagai dasar dan falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi semakin kokoh.
Dalam kaitannya dengan perkembangan sistem etika di abad modern dewasa ini, harus dipahami pula bahwa Pancasila itu sendiri, bukan hanya merupakan sumber hukum (source of law) bagi bangsa Indonesia, tetapi juga merupakan sumber etika (source of ethics). Karena itu, perspektif para sarjana hukum, apalagi para sarjana hukum tatanegara haruslah melihat UUD 1945 sebagai naskah konstitusi tertulis tidak hanya dalam konteks hukum konstitusi atau “constitutional law”, tetapi juga etika konstitusi atau “constitutional ethics”. Kedua perspektif hukum dan etika konstitusi itu harus dijadikan sumber referensi normatif dan operasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengertian demikian ini saya promosikan untuk dikembangkan agar Pancasila dan UUD 1945 tidak hanya dilihat sebagai norma hukum, tetapi juga norma etika berbangsa dan bernegara sebagaimana yang sudah terjabarkan dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. (Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, 2015: 217).
Padahal, pemilu dan pilkada pada dasarnya tidak hanya sebagai ajang kontestasi kekuasaan semata, namun menjadi pintu masuk bagi pengisian jabatan-jabatan publik sehingga kualitas dan integritas proses maupun hasil hendaknya mendapatkan perhatian serius baik oleh penyelenggara maupun peserta yang tidak lain menjadi calon pejabat publik. Jabatan publik melalui proses pelaksanaan pemilu dan pilkada meliputi (i) Presiden dan Wakil Presiden, (ii) Anggota DPR, (iii) Anggota DPD, (iv) Anggota DPRD Provinsi, (v) Anggota DPRD Kabupaten/Kota, (vi) Gubernur dan Wakil Gubernur, (vii) Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota.
Pemilu dan pilkada baik diselenggarakan sejak Indonesia masih menganut sistem pemerintahan parlementer hingga pada reformasi menerapkan sistem pemerintahan presidentiil bahkan terbaru keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 untuk diselenggarakan secara serentak, tidak pernah lepas dari praktik pelanggaran. Pelanggaran pemilu dan pilkada umumnya dilakukan oleh peserta dan penyelenggara pemilu. Pada konteks tugas dan wewenang MK sesuai amanat UU No. 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat (1) poin (d) dinyatakan, MK menangani perkara penyelesaian hasil pemilu (electoral result). PHPU di MK berupa sengketa yang timbul antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu. Sengketa PHPU pun dapat terjadi antar peserta pemilu dan pilkada karena perselisihan hasil yang berbeda berdasarkan data masing-masing.
Pelanggaran pemilu dan pilkada dapat dilihat dari aspek muatan pelanggaran itu sendiri sehingga dalam penanganan sengketa dapat dilihat apakah pelanggaran yang disengketakan itu masuk dalam kategori pelanggaran administrasi pemilu dan pilkada atau pelanggaran hukum baik dalam bentuk pelanggaran hukum pidana, pelanggaran hukum perdata maupun dalam bentuk pelanggaran hukum administrasi negara atau pelanggaran dalam bentuk kode etik penyelenggara pemilu. MK sesuai ketentuan Pasal 10 ayat (1) sebagai peradilan konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir hanya menangani sengketa hasil pemilu (electoral result) yang disengketakan menjadi objek perkara (objectum litis) oleh peserta pemilu dengan penyelenggara.
Oleh karena itu, cukup ideal bila ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat dalam sambutannya pada pelaksanaan Kongres MK se-Eropa ke-17 yang diselenggarakan di Batuni Georgia pada tanggal 29 Juni 2017 menegaskan, konstitusi adalah hukum tertinggi dalam negara. Oleh karena konstitusi menjadi sumber hukum tertinggi, maka semua peraturan perundang-undangan yang dibuat harus sejalan dan selaras dengan konstitusi atau tidak boleh ada yang bertentangan dengannya. Ketua MK Arief Hidayat selaku Presiden Asosiasi MK mengatakan, Pancasila dan UUD 1945 merupakan pedoman hukum tertinggi dalam praktik kehidupan bernegara di Indonesia. Ada empat prinsip dasar konstitusional pada administrasi negara dan berpemerintahan. Keempat prinsip dasar konstitusional itu yaitu (i) menjadikan konstitusi sebagai sistem norma hukum yang lebih tinggi, (ii) penetapan hirarkhi peraturan perundang-undangan dalam konstitusi, (iii) ketentuan pada norma-norma tertentu dalam konstitusi Pancasila dan UUD 1945 yang tidak dapat diubah, dan (iv) judicial review terhadap perubahan konstitusi.
Presiden Indonesia Joko Widodo pada pembukaan Kongres MK Asia (The Association of Asian Constitutional Caourt and Equivalent Institution-AACC ke-3 di Nusa Dua Bali pada tanggal 11 Agustus 2016, mengatakan, Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber kekayaan budaya yang luas sehingga potensi konflik antar kepentingan atasnama perbedaan politik bisa saja muncul kapan pun, namun peran MK sebagai benteng penegak hak-hak konstitusi warga negara dapat menjadi solusi konstitusi yang efektif. MK terus berperan aktif memberikan perlindungan dengan menegakkan aturan main dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga potensi-potensi perbedaan politik dapat diatasi dengan baik. Sebagai lembaga penegak konstitusi, MK terus diusahakan untuk senantiasa bekerja keras memenuhi hak konstitusional warganya. Apalagi menurut Presiden Joko Widodo, reformasi konstitusi pada tahun 1999 telah mengamanatkan MK pada posisi strategis. MK berkewajiban mengawal dan menjaga keluhuran, marwah, harkat dan martabat serta kehormatan konstitusi termasuk hak politik pemilu warga bangsa.
Pada akhirnya, pertempuran telah selesai, pertarungan politik dan ideologi terselubung sudah sampai pada terminal dan telah melahirkan konsensus dengan mengukuhkan kembali otoritasasi moralitas politik bangsa pada dimensinya. Dalam setiap kontestasi, wajar harus ada yang kalah dan menang, namun pengertian kalah menang merupakan istilah politik yang cukup antagonis sehingga wajar pula ada kelompok maupun komunitas ideologi terselubung merasa kecewa. Tetapi kekecewaan itu hal yang wajar, jangan sampai kekecewaan melebihi keterpaksaan yang pada akhirnya memicu problem bangsa yang lebih parah, maka kesadaran etik dan bijak memaknai hasil kontestasi pilkada DKI secara rasional sangat dibutuhkan. Kekecewaan politik dan ideologi terselubung melalui kontestasi pilkada yang tidak tercapai bukanlah titik akhir dalam kehidupan sehingga harus mengorbankan kepentingan umum yang lebih besar, tetapi ruang pengabdian, hamparan kinerja-produktivitas dan kreativitas untuk bangsa dan negara masih sangat luas dan semua memiliki kesempatan yang sama sehingga tidak ada alasan untuk merintangi.
Alhasil, Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Uno telah dilantik dan dengan dikukuhkan Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2017-2022 itu maka sah dan konstitusional menggantikan Djarot Syaiful Hidayat. Pelantikan Anies-Sandi tanggal 16 Oktober 2017 oleh Presiden Joko Widodo hendaklah dimaknai sebagai puncak akhir dari semua perseteruan politik yang telah menguras energi besar bangsa pada proses pelaksanaan pilkada provinsi DKI Jakarta 2017. Kepada semua kekuatan komponen bangsa pada setiap sudut negeri, marilah kawal dan terus kontrol kebijakan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta selama periode kepemimpinan mereka. Janji-janji kampanye dan realisasi program visi misi yang didengung-dengungkan selama pelaksanaan pilkada, hendaknya dapat ditunaikan dengan baik. Tunaikan janji dan ciptakan kondisi tertib, aman, dan damai, agar DKI Jakarta tidak hanya menjadi simbol ibukota negara dalam pengertian umumnya saja tetapi benar-benar menjadi rule model pembangunan pada semua bidang kehidupan, serta menjadi miniatur dan sekaligus parameter kesejahteraan ekonomi bangsa bagi daerah-daerah lain di tanah air.*




Tidak ada komentar:

Posting Komentar