Rabu, 01 November 2017

Penguatan Sistem Hukum dan Etika

Penguatan Sistem Hukum dan Etika
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)





Negara-negara maju di dunia hampir mengalami problem yang sama yakni krisis kepemimpinan. Krisis keteladanan dalam kehidupan bernegara. Krisis keteladanan mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat pada negara. Hukum dipakai oleh kelompok yang kuat untuk menindas kelompok yang lemah. Pembangunan di bidang hukum selalu tidak sesuai misi keadilan. Di sisi lain birokrasi dikelola dan diarahkan penguasa untuk kepentingan politik, hal ini bisa dipahami karena pimpinan lembaga-lembaga negara seperti eksekutif, legislatif dipegang oleh para pimpinan partai politik.
Kekacauan sistem norma hukum pada gilirannya mengabaikan kepentingan umum termasuk kepastian hukum bagi masyarakat. Berdasarkan gambaran ini, dapat disimpulkan bahwa tradisi penegakan hukum dalam negara demokrasi modern setelah perubahan UUD 1945 tidak terlalu banyak menghasilkan perbaikan berarti. Peradilan hukum dalam praktik selalu mengesankan lebih berpihak pada kelompok tertentu, baik langsung maupun tidak langsung menyebabkan krisis kepercayaan pada institusi penegak hukum. Rakyat masih sulit menemukan keadilan. Law enforcment  tidak sejalan dengan keadilan karena penegakan hukum lebih mengutamakan aspek keadilan legalistik-proseduralistik yang pada umumnya menyimpangkan substansi nilai-nilai keadilan itu sendiri sehingga hukum tidak berfungsi untuk mewujudkan rasa keadilan.
Problem sistem hukum terdiri dari komponen-komponen penegak hukum hampir dapat dikatakan belum menjadi suatu kesatuan sistematis dan teratur dalam rangka mencapai keadilan bagi warga negara. Keadilan proseduralistik-legalistik dalam praktik tidak memberikan solusi. Oleh sebab itu, diperlukan peradilan yang bebas dan tidak memihak. Peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary) mutlak harus ada dalam setiap negara hukum.
Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Hakim tidak boleh memihak kepada siapapun kecuali hanya pada kebenaran dan keadilan. Dalam menjalankan tugas proses pemeriksaan hakim harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Memajukan peradilan modern yang terbuka dan menjadi contoh bagi pengembangan sistem peradilan di masa-masa yang akan datang. Menjadikan peradilan yang dapat dipercaya dan tempat masyarakat mencari keadilan. Dalam banyak catatan, peradilan seringkali tidak memenuhi rasa keadilan rakyat sehingga institusi pengadilan selalu dianggap tidak profesional. Dalam mewujudkan peradilan yang bebas dan mandiri dalam negara hukum, Oemar Seno Adji dalam bukunya Peradilan Bebas & Contempt of Court, mengatakan, “suatu pengadilan yang bebas dan tidak dipengaruhi merupakan syarat yang ‘indispensable’ bagi Negara Hukum. Bebas berarti tidak ada campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menjalankan fungsi judiciari. Ia tidak berarti bahwa ia berhak untuk bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, ia “sub-ordinated”, terikat pada Hukum.[1]
Setelah reformasi berjalan 15 tahun, peradilan di Indonesia boleh dikatakan cukup mengalami kemajuan. Di banyak instansi pemerintahan dan swasta membentuk lembaga penegak kode etik profesi sendiri-sendiri dalam rangka menegakkan kode etika profesi seperti di Mahkamah Konstitusi ada Majelis Kehormatan Hakim (MKH) MK, Dewan Pers untuk etika profesi jurnalistik, di lembaga legislatif ada Badan Kehormatan DPR dan DPD sebagaimana diatur dalam UU tentang MPR, DPR, DPRD, sebagai lembaga penegak kode etik. Hal ini juga dipraktikkan di partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi keagamaan. Namun banyak juga yang masih memperlihatkan praktik peradilan tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan. Institusi peradilan digunakan tidak semestinya bahkan kerap dianggap tidak memihak pada keadilan. Setelah reformasi dapat dirasakan betapa peradilan tidak memberikan harapan tegaknya keadilan.
Institusi peradilan selalu jadi persoalan bagi masyarakat yang mencari keadilan. Peradilan diarahkan untuk kepentingan politik sehingga rakyat kerapkali dihadapkan pada pilihan teknis-pragmatis. Peradilan dijadikan instrumen pembela dan menjaga kepentingan segelintir orang yang memiliki wewenang mengendalikan hukum. Berangkat dari pemahaman ini maka negara manapun di dunia modern sekarang yang menganut sistem demokrasi sangat penting menyiapkan “ethics infra-structure in public officesuntuk menjawab tantangan kerusakan etika dalam bernegara. Negara-negara di dunia modern terutama negara-negara maju dan berkembang tidak sekadar mengangkat tema-tema perbaikan kualitas etika dan moral dalam berbangsa dengan hanya wacana tetapi membentuk instrumen-instrumen kelembagaan negara sebagai “ethics infra-structure in public offices”. Bagi sebagian kalangan intelektual dan pemikir sosial modern, krisis etika politik yang melanda dunia diperlukan mengambil peran untuk membuat regulasi sistem etika politik dan etika penyelenggara negara.
Dalam hal ini yang paling efektif dan efisien bagi terciptanya tata kelola kebijakan pemerintahan modern adalah mempersiapkan infrastruktur etika, yakni peradilan etika. Peradilan etika modern menjadi titik tekan perbaikan etika politik dan etika pemerintahan. Karena berdasarkan realitas yang ada, institusi-institusi peradilan termasuk peradilan kode etik profesi hampir tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Pembentukan lembaga peradilan etika di Indonesia tidak lain semata-mata untuk memperketat sistem pengawasan pejabat publik dan usaha untuk menciptakan kesadaran dalam mengelola kebijakan negara.
Dalam perspektif ini tidak saja para pemimpin di negara-negara maju dan berkembang terdorong membentuk institusi “ethics infra-structure in public officestetapi gagasan ini telah lama diwacanakan para pemikir modern agar pemimpin-pemimpin bangsa di dunia perlu mengambil peran aktif menjawab kerusakan tatanan sosial dalam kehidupan bernegara. David H. Rosenblom misalnya, dalam sebuah tulisannya yang dihimpun oleh Professionals Educational Foundation of The Visyas, INC, dalam A Master’s Degre In Fiscal Administration,  berjudul The Constitution As A Basis For Public Administrative Ethics, mengatakan, bahwa di setiap negara demokrasi modern dan yang telah mapan dalam berbagai aspek kehidupan bernegara sekalipun tetap ada kemungkinan-kemungkinan untuk membentuk sistem etika berbasis konstitusional. David menulis:

“He argues that since the 1970s various interpretations of the Constitution by the Supreme Court have set some new ethical requirements for governmental administrators. The legal upshot of this constitutionally based set of ethics is to make public officials liable for conduct that violates constitutionally established rights. In other words, many people who can be called stakeholders in the process of government were granted or had extended to them various rights in Supreme Court cases dealing with issues such as equal protection, dua process, and free speech for public employees. Thus there now exists a Constitutional mandate that public administrators uphold these rightsin effect a new moral guide for administrators.[2]

Sejar tahun 1970-an sudah mulai terlihat ada semacam pergeseran paradigma pengelolaan pemerintahan demokratis. Muncul berbagai interpretasi baru terhadap konstitusi di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Austria, dan sebagainya tentang pentingnya memformulasi sistem etika bagi para pejabat negara dan atau para pejabat pemerintah. Artinya, sudah mulai ada kesadaran baru untuk melakukan perubahan pada konstitusi. Konstitusi yang memasukan nilai-nilai etika sekaligus regulasi yang memuat penerapan sanksi bagi para pejabat negara atau pejabat pemerintahdengan tujuan agar setiap pejabat negara dapat memahami dan menjalankan tugas dan tanggung jawab secara baik.
Konsep pelembagaan nilai-nilai etika politik terutama etika penyelenggaraan pemerintahan negara diatur dalam konstitusi setiap negara. Dengan demikian sistem etika berbasiskan konstitusi akan  mudah mengikat setiap pejabat publik tidak hanya memperhatikan pentingnya tertib administrasi pemerintahan tetapi memunculkan kesadaran etika para pejabat negara untuk menegakkan aturan secara bertanggung jawab.
Dengan pendekatan sistem penegakan etika dalam bentuk peradilan etika modern,  lembaga-lembaga peradilan baik peradilan umum maupun peradilan khusus antara lain Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), Peradilan Umum, dan peradilan kode etik seperti Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (BK DPR RI), dan peradilan-peradilan kode etik profesi  seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), kode etik Advokat, bahkan sampai sekarang sudah hampir semua instansi penting sudah mempunyai mekanisme penegakan kode etik di tingkat internal namun sebagian besar masih sebatas formalitas.
Sekadar menjadi catatan, buku ini menyoroti juga peradilan kode etik profesi yang semakin banyak diterapkan di lembaga-lembaga negara tentu tanpa menafikan satu sama lain, mengajak pembaca melihat performa penegakan kode etik profesi di lembaga-lembaga hampir tidak terdengar penjatuhan sanksi sampai pada tingkat pemberhentian. Berbeda dengan yang diterapkan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. DKK yang merupakan embrio dari Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) yang juga selama beberapa tahun saya sebagai ketua betul-betul melakukan gerakan perubahan etika penyelenggara pemilu secara kongkrit. Prestasi DK KPU inilah yang mendorong DPR dan Pemerintah meningkatkan kapasitas kelembagaan penegakan kode etik ini menjadi DKPP. DKPP sebagai institusi gerakan penegakan etika politik dalam bernegara telah menempatkan diri sebagai model peradilan etika yang modern karena semua proses penyelesaian dugaan pelanggaran kode etik penyelenggaraan Pemilu dilakukan dengan terbuka.
DKPP baru berjalan memasuki dua tahun terhitung sejak dilantik Presiden tanggal 12 Juni 2012. Namun penegakan etika dalam kehidupan bernegara melalui aspek penyelenggaraan pemilu hasilnya cukup prospek sehingga DKPP tidak saja menjadi modal tetapi model baru dalam penegakan etika politik dan etika penyelenggara pemerintahan. Belum ada lembaga negara yang tidak saja memiliki sistem dan mekanisme penegakan etika yang diselenggarakan dengan terbuka. Oleh sebab itu, yang paling mendasar adalah kemauan stakeholders mau bersama-sama menggerakan kesadaran ethics dalam pengelolaan negara dengan mengedepankan tanggung jawab.
Di Amerika Serikat, sejak era 1978 telah mengangkat tema-tema penguatan etika politik untuk urusan publik bagi pejabat negara dalam menjalankan tugas dan fungsi pelayanan publik. Dalam sebuah tulisan Alexander Hamilton seperti dikutip oleh Curtis Ventriss, dalam Reconstructing Government Ethics: A Public Philosophy of Civic Virtue, mengggambarkan mengenai pentingnya pemerintahan demokrasi modern membentuk suatu sistem mekanisme tanggung jawab bagi pejabat negara melalui instrumen hukum. Alexander menulis:

“political writers ... have established it as a maxim, that, in continuing any system of government, and fixing the several checks and controls of the constitution, every man ought to be supposed a knave; and to have no other end in all his actions but private interest. By this interest we must govem him; and by means of it, make him cooperate to public good notwithstanding his insatiable avarice and ambition. Without this, we shall in vain boast of the advantages of any constitution; and shall find in the end that we have no security for our liberties and possessions except the good will of our rules, that is, we should have not security at all” (1969, pp. 94-95, italics added).[3]

Praktik penyimpangan etika khususnya dalam penyelenggaraan negara berkaitan dengan tanggung jawab publik keadministrasian menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah, karena pemerintah tidak menunjukkan perilaku positif yang setidaknya bisa memberikan harapan ketertiban pada warga negara. Sangat penting untuk mendorong partisipasi masyarakat dan adanya kesadaran serta kemauan kuat DPR dan Pemerintah untuk memikirkan dan merumuskannya dalam suatu undang-undang khusus tentang “Mahkamah Etika” atau lembaga penegakan etika penyelenggara negara sebagai model baru dalam perbaikan etika politik dan etika pemerintahan.
Itulah sebabnya mengapa penulis melalui berbagai kesempatan, selalu mengajak dan menghimbau agar semua komponen masyarakat terutama pemerintah pusat maupun daerah supaya memikirkan mulai dari sekarang untuk menyusun sistem etika bernegara secara komprehensif. Etika bernegara yang dikonstruksikan melalui sebuah regulasi khusus yang tujuannya tidak lain semata-mata untuk menjaga dan mengawasi perilaku pejabat publik. Karena pejabat publik secara hukum, mereka diberikan tugas oleh undang-undang untuk menegakkan etika dan nilai-nilai moral. Selain untuk mendorong penegakan etika dan nilai-nilai moral juga menjadi jaminan keberlangsungan pemerintahan yang bersih dan kuat termasuk memberikan jaminan pada hak-hak masyarakat mendapatkan pelayanan.
Apabila hal ini tidak dimulai dari sekarang, maka perubahan konstitusi kita pasca reformasi yang melalui empat tahap itu tidak memiliki makna etika politik dalam pengertian konsepsional secara nilai moral yang berarti. Dengan dibentuknya infrastruktur etika yang kuat maka secara otomatis negara melalui pemerintah memiliki kewajiban hukum, dan kewajiban moral untuk mengatur dan menjalankan roda pembangunan berdasarkan nilai-nilai etika kebangsaan kita yakni Pancasila. Tanpa melalui suatu aturan dan mekanisme yang jelas dan tegas mengenai kewajiban moral negara dan pemerintah pada warga negaranya, maka sangat sulit bangsa Indonesia akan mengalami perbaikan sistem demokrasi secara signifikan. Karena demokrasi dan hukum harus dikuatkan oleh sistem etika berbangsa, dan inilah yang selalu saya tekankan, bahwa fondasi negara akan kuat manakalah ditopang oleh sistem hukum dan sistem etika (rule of law dan the rule of ethics) yang secara bersamaan diterapkan.

Catatan:
Arsip tulisan lawas



[1]  Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas & Contempt of Court, Diadit Media, Jakarta, 2007, hal, 13.
[2]  David H. Rosenbloom, 1971, The Constitution As a Basis for Public Administrative Ethics, kumpulan tulisan yang dihimpun dalam “Readings”, Ethics In Public Office, oleh Professionals Educational Foundation of The Visyas, INC, dalam A Master’s Degre In Fiscal Administration, 1994.
[3] Lihat: Curtis Ventriss, Reconstructing Government Ethics: A Public Philosophy of Civic Virtue, yang dihimpun oleh beberapa lembaga pengembangan demokrasi dan sistem etika di negara-negara berkembang yakni Fiscal Administration Foundation, INC, di Mandaluyong City, dan Philippine School of Business Administration, di Manila ini, menulis secara garis besarnya, memberikan gambaran ilmiah tentang kemungkinan-kemungkinan negara maju dan berkembang yang tengah mengalami berbagai gejolak dan kekacauan norma hukum akan membentuk semacam sistem etika sebagai basis penguatan sistem berbangsa dan bernegara. Sistem etika sangat memungkinkan bahkan menurut lembaga pengembangan demokrasi dan sistem etika ini menjadi instrumental dalam proses penataan sistem demokrasi modern. Dengan sistem etika yang kuat maka negara-negara yang mengalami semacam ancaman “kebangkrutan moral” sebagai implikasi negatif praktik penyimpangan etika sosial memikirkan untuk membentuk sistem etika sebagai landasan norma dalam bernegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar