Penguatan Sistem
Hukum dan Etika
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu)
Negara-negara maju di dunia hampir mengalami
problem yang sama yakni krisis kepemimpinan. Krisis keteladanan dalam kehidupan
bernegara. Krisis keteladanan mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat pada
negara. Hukum dipakai oleh kelompok yang kuat untuk menindas kelompok yang
lemah. Pembangunan di bidang hukum selalu tidak sesuai misi keadilan. Di sisi
lain birokrasi dikelola dan diarahkan penguasa untuk kepentingan politik, hal
ini bisa dipahami karena pimpinan lembaga-lembaga negara seperti eksekutif,
legislatif dipegang oleh para pimpinan partai politik.
Kekacauan
sistem norma hukum pada gilirannya mengabaikan kepentingan umum termasuk
kepastian hukum bagi masyarakat. Berdasarkan gambaran ini, dapat disimpulkan
bahwa tradisi penegakan hukum dalam negara demokrasi modern setelah perubahan
UUD 1945 tidak terlalu banyak menghasilkan perbaikan berarti. Peradilan hukum
dalam praktik selalu mengesankan lebih berpihak pada kelompok tertentu, baik
langsung maupun tidak langsung menyebabkan krisis kepercayaan pada institusi
penegak hukum. Rakyat masih sulit menemukan keadilan. Law enforcment tidak sejalan
dengan keadilan karena penegakan hukum lebih mengutamakan aspek keadilan
legalistik-proseduralistik yang pada umumnya menyimpangkan substansi
nilai-nilai keadilan itu sendiri sehingga hukum tidak berfungsi untuk
mewujudkan rasa keadilan.
Problem sistem
hukum terdiri dari komponen-komponen penegak hukum hampir dapat dikatakan belum
menjadi suatu kesatuan sistematis dan teratur dalam rangka mencapai keadilan
bagi warga negara. Keadilan proseduralistik-legalistik dalam praktik tidak
memberikan solusi. Oleh sebab itu, diperlukan peradilan yang bebas dan tidak
memihak. Peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary) mutlak harus ada dalam setiap
negara hukum.
Untuk menjamin
keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses
pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan
kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan
media massa. Hakim tidak boleh memihak kepada siapapun kecuali hanya pada
kebenaran dan keadilan. Dalam menjalankan tugas proses pemeriksaan hakim harus
bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim
harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan
perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan
keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Memajukan
peradilan modern yang terbuka dan menjadi contoh bagi pengembangan sistem
peradilan di masa-masa yang akan datang. Menjadikan peradilan yang dapat
dipercaya dan tempat masyarakat mencari keadilan. Dalam banyak catatan,
peradilan seringkali tidak memenuhi rasa keadilan rakyat sehingga institusi
pengadilan selalu dianggap tidak profesional. Dalam mewujudkan peradilan yang
bebas dan mandiri dalam negara hukum, Oemar Seno Adji dalam bukunya Peradilan Bebas & Contempt of Court, mengatakan,
“suatu pengadilan yang bebas dan tidak dipengaruhi merupakan syarat yang
‘indispensable’ bagi Negara Hukum. Bebas berarti tidak ada campur tangan atau
turun tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menjalankan fungsi
judiciari. Ia tidak berarti bahwa ia berhak untuk bertindak sewenang-wenang
dalam menjalankan tugasnya, ia “sub-ordinated”,
terikat pada Hukum.[1]
Setelah reformasi
berjalan 15 tahun, peradilan di Indonesia boleh dikatakan cukup mengalami
kemajuan. Di banyak instansi pemerintahan dan swasta membentuk lembaga penegak
kode etik profesi sendiri-sendiri dalam rangka menegakkan kode etika profesi
seperti di Mahkamah Konstitusi ada Majelis Kehormatan Hakim (MKH) MK, Dewan
Pers untuk etika profesi jurnalistik, di lembaga legislatif ada Badan
Kehormatan DPR dan DPD sebagaimana diatur dalam UU tentang MPR, DPR, DPRD,
sebagai lembaga penegak kode etik. Hal ini juga dipraktikkan di partai politik,
organisasi kemasyarakatan, dan organisasi keagamaan. Namun banyak juga yang
masih memperlihatkan praktik peradilan tidak selalu sejalan dengan
prinsip-prinsip keadilan. Institusi peradilan digunakan tidak semestinya bahkan
kerap dianggap tidak memihak pada keadilan. Setelah reformasi dapat dirasakan
betapa peradilan tidak memberikan harapan tegaknya keadilan.
Institusi
peradilan selalu jadi persoalan bagi masyarakat yang mencari keadilan.
Peradilan diarahkan untuk kepentingan politik sehingga rakyat kerapkali
dihadapkan pada pilihan teknis-pragmatis. Peradilan dijadikan instrumen pembela
dan menjaga kepentingan segelintir orang yang memiliki wewenang mengendalikan
hukum. Berangkat dari pemahaman ini maka negara manapun di dunia modern
sekarang yang menganut sistem demokrasi sangat penting menyiapkan “ethics
infra-structure in public offices” untuk menjawab
tantangan kerusakan etika dalam bernegara. Negara-negara di dunia modern
terutama negara-negara maju dan berkembang tidak sekadar mengangkat tema-tema
perbaikan kualitas etika dan moral dalam berbangsa dengan hanya wacana tetapi
membentuk instrumen-instrumen kelembagaan negara sebagai “ethics
infra-structure in public offices”. Bagi sebagian
kalangan intelektual dan pemikir sosial modern, krisis etika politik yang
melanda dunia diperlukan mengambil peran untuk membuat regulasi sistem etika politik
dan etika penyelenggara negara.
Dalam hal ini
yang paling efektif dan efisien bagi terciptanya tata kelola kebijakan
pemerintahan modern adalah mempersiapkan infrastruktur etika, yakni peradilan
etika. Peradilan etika modern menjadi titik tekan perbaikan etika politik dan
etika pemerintahan. Karena berdasarkan realitas yang ada, institusi-institusi
peradilan termasuk peradilan kode etik profesi hampir tidak berjalan sesuai
yang diharapkan. Pembentukan lembaga peradilan etika di Indonesia tidak lain semata-mata
untuk memperketat sistem pengawasan pejabat publik dan usaha untuk menciptakan
kesadaran dalam mengelola kebijakan negara.
Dalam
perspektif ini tidak saja para pemimpin di negara-negara maju dan berkembang
terdorong membentuk institusi “ethics infra-structure in public offices” tetapi gagasan ini telah lama diwacanakan para pemikir modern agar
pemimpin-pemimpin bangsa di dunia perlu mengambil peran aktif menjawab
kerusakan tatanan sosial dalam kehidupan bernegara. David
H. Rosenblom misalnya, dalam sebuah tulisannya yang dihimpun oleh Professionals
Educational Foundation of The Visyas, INC, dalam A Master’s Degre In Fiscal
Administration, berjudul The Constitution As A Basis For Public
Administrative Ethics, mengatakan, bahwa di setiap negara demokrasi modern
dan yang telah mapan dalam berbagai aspek kehidupan bernegara sekalipun tetap
ada kemungkinan-kemungkinan untuk membentuk sistem etika berbasis
konstitusional. David menulis:
“He argues that since the 1970s various interpretations of the Constitution
by the Supreme Court have set some new ethical requirements for governmental
administrators. The legal upshot of this constitutionally based set of ethics
is to make public officials liable for conduct that violates constitutionally
established rights. In other words, many people who can be called stakeholders
in the process of government were granted or had extended to them various
rights in Supreme Court cases dealing with issues such as equal protection, dua
process, and free speech for public employees. Thus there now exists a
Constitutional mandate that public administrators uphold these rights—in effect a new moral guide for administrators.”[2]
Sejar tahun 1970-an sudah mulai terlihat ada
semacam pergeseran paradigma pengelolaan pemerintahan demokratis. Muncul
berbagai interpretasi baru terhadap konstitusi di negara-negara seperti Amerika
Serikat, Inggris, Kanada, Austria, dan sebagainya tentang pentingnya
memformulasi sistem etika bagi para pejabat negara dan atau para pejabat
pemerintah. Artinya, sudah mulai ada kesadaran baru untuk melakukan perubahan
pada konstitusi. Konstitusi yang memasukan nilai-nilai etika sekaligus regulasi
yang memuat penerapan sanksi bagi para pejabat negara atau pejabat
pemerintahdengan tujuan agar setiap pejabat negara dapat memahami dan
menjalankan tugas dan tanggung jawab secara baik.
Konsep pelembagaan nilai-nilai etika politik
terutama etika penyelenggaraan pemerintahan negara diatur dalam konstitusi
setiap negara. Dengan demikian sistem etika berbasiskan konstitusi akan mudah mengikat setiap pejabat publik tidak
hanya memperhatikan pentingnya tertib administrasi pemerintahan tetapi
memunculkan kesadaran etika para pejabat negara untuk menegakkan aturan secara
bertanggung jawab.
Dengan pendekatan sistem penegakan etika dalam
bentuk peradilan etika modern,
lembaga-lembaga peradilan baik peradilan umum maupun peradilan khusus
antara lain Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial
(KY), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN), Peradilan Umum, dan peradilan kode etik seperti Badan Kehormatan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (BK DPR RI), dan peradilan-peradilan kode
etik profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia
(IDI), kode etik Advokat, bahkan sampai sekarang sudah hampir semua instansi
penting sudah mempunyai mekanisme penegakan kode etik di tingkat internal namun
sebagian besar masih sebatas formalitas.
Sekadar menjadi catatan, buku ini menyoroti juga
peradilan kode etik profesi yang semakin banyak diterapkan di lembaga-lembaga
negara tentu tanpa menafikan satu sama lain, mengajak pembaca melihat performa
penegakan kode etik profesi di lembaga-lembaga hampir tidak terdengar
penjatuhan sanksi sampai pada tingkat pemberhentian. Berbeda dengan yang
diterapkan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. DKK yang merupakan embrio
dari Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) yang juga selama beberapa
tahun saya sebagai ketua betul-betul melakukan gerakan perubahan etika
penyelenggara pemilu secara kongkrit. Prestasi DK KPU inilah yang mendorong DPR
dan Pemerintah meningkatkan kapasitas kelembagaan penegakan kode etik ini
menjadi DKPP. DKPP sebagai institusi gerakan penegakan etika politik dalam
bernegara telah menempatkan diri sebagai model peradilan etika yang modern
karena semua proses penyelesaian dugaan pelanggaran kode etik penyelenggaraan
Pemilu dilakukan dengan terbuka.
DKPP baru berjalan memasuki dua tahun terhitung
sejak dilantik Presiden tanggal 12 Juni 2012. Namun penegakan etika dalam
kehidupan bernegara melalui aspek penyelenggaraan pemilu hasilnya cukup prospek
sehingga DKPP tidak saja menjadi modal tetapi model baru dalam penegakan etika
politik dan etika penyelenggara pemerintahan. Belum ada lembaga negara yang
tidak saja memiliki sistem dan mekanisme penegakan etika yang diselenggarakan
dengan terbuka. Oleh sebab itu, yang paling mendasar adalah kemauan stakeholders mau bersama-sama
menggerakan kesadaran ethics dalam pengelolaan negara dengan mengedepankan
tanggung jawab.
Di Amerika Serikat, sejak era 1978 telah
mengangkat tema-tema penguatan etika politik untuk urusan publik bagi pejabat
negara dalam menjalankan tugas dan fungsi pelayanan publik. Dalam sebuah
tulisan Alexander Hamilton seperti dikutip oleh Curtis Ventriss, dalam Reconstructing Government Ethics: A Public
Philosophy of Civic Virtue, mengggambarkan
mengenai pentingnya pemerintahan demokrasi modern membentuk suatu sistem
mekanisme tanggung jawab bagi pejabat negara melalui instrumen hukum. Alexander
menulis:
“political
writers ... have established it as a maxim, that, in continuing any system of
government, and fixing the several checks and controls of the constitution,
every man ought to be supposed a knave; and to have no other end in all his
actions but private interest. By this interest we must govem him; and by means
of it, make him cooperate to public good notwithstanding his insatiable avarice
and ambition. Without this, we shall in vain boast of the advantages of any
constitution; and shall find in the end that we have no security for our
liberties and possessions except the good will of our rules, that is, we should
have not security at all” (1969, pp. 94-95, italics added).[3]
Praktik penyimpangan etika khususnya dalam
penyelenggaraan negara berkaitan dengan tanggung jawab publik keadministrasian
menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah, karena pemerintah
tidak menunjukkan perilaku positif yang setidaknya bisa memberikan harapan
ketertiban pada warga negara. Sangat penting untuk mendorong partisipasi
masyarakat dan adanya kesadaran serta kemauan kuat DPR dan Pemerintah untuk
memikirkan dan merumuskannya dalam suatu undang-undang khusus tentang “Mahkamah
Etika” atau lembaga penegakan etika penyelenggara negara sebagai model baru
dalam perbaikan etika politik dan etika pemerintahan.
Itulah sebabnya mengapa penulis melalui berbagai
kesempatan, selalu mengajak dan menghimbau agar semua komponen masyarakat
terutama pemerintah pusat maupun daerah supaya memikirkan mulai dari sekarang
untuk menyusun sistem etika bernegara secara komprehensif. Etika bernegara yang
dikonstruksikan melalui sebuah regulasi khusus yang tujuannya tidak lain
semata-mata untuk menjaga dan mengawasi perilaku pejabat publik. Karena pejabat
publik secara hukum, mereka diberikan tugas oleh undang-undang untuk menegakkan
etika dan nilai-nilai moral. Selain untuk mendorong penegakan etika dan
nilai-nilai moral juga menjadi jaminan keberlangsungan pemerintahan yang bersih
dan kuat termasuk memberikan jaminan pada hak-hak masyarakat mendapatkan
pelayanan.
Apabila hal ini tidak dimulai dari sekarang,
maka perubahan konstitusi kita pasca reformasi yang melalui empat tahap itu
tidak memiliki makna etika politik dalam pengertian konsepsional secara nilai
moral yang berarti. Dengan dibentuknya infrastruktur etika yang kuat maka
secara otomatis negara melalui pemerintah memiliki kewajiban hukum, dan
kewajiban moral untuk mengatur dan menjalankan roda pembangunan berdasarkan
nilai-nilai etika kebangsaan kita yakni Pancasila. Tanpa melalui suatu aturan
dan mekanisme yang jelas dan tegas mengenai kewajiban moral negara dan
pemerintah pada warga negaranya, maka sangat sulit bangsa Indonesia akan
mengalami perbaikan sistem demokrasi secara signifikan. Karena demokrasi dan
hukum harus dikuatkan oleh sistem etika berbangsa, dan inilah yang selalu saya
tekankan, bahwa fondasi negara akan kuat manakalah ditopang oleh sistem hukum
dan sistem etika (rule of law dan the rule of ethics) yang secara
bersamaan diterapkan.
Catatan:
Arsip tulisan
lawas
[1] Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas & Contempt of Court, Diadit Media, Jakarta,
2007, hal, 13.
[2] David H.
Rosenbloom, 1971, The Constitution As a
Basis for Public Administrative Ethics, kumpulan tulisan yang dihimpun
dalam “Readings”, Ethics In Public
Office, oleh Professionals Educational Foundation
of The Visyas, INC, dalam A Master’s Degre In Fiscal Administration, 1994.
[3] Lihat:
Curtis Ventriss, Reconstructing
Government Ethics: A Public Philosophy of Civic Virtue, yang dihimpun oleh
beberapa lembaga pengembangan demokrasi dan sistem etika di negara-negara
berkembang yakni Fiscal Administration Foundation, INC, di Mandaluyong City,
dan Philippine School of Business Administration, di Manila ini, menulis secara
garis besarnya, memberikan gambaran ilmiah tentang kemungkinan-kemungkinan
negara maju dan berkembang yang tengah mengalami berbagai gejolak dan kekacauan
norma hukum akan membentuk semacam sistem etika sebagai basis penguatan sistem
berbangsa dan bernegara. Sistem etika sangat memungkinkan bahkan menurut
lembaga pengembangan demokrasi dan sistem etika ini menjadi instrumental dalam
proses penataan sistem demokrasi modern. Dengan sistem etika yang kuat maka
negara-negara yang mengalami semacam ancaman “kebangkrutan moral” sebagai
implikasi negatif praktik penyimpangan etika sosial memikirkan untuk membentuk
sistem etika sebagai landasan norma dalam bernegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar