Minggu, 18 Mei 2014

Menyelami Pemikiran Mahathir Mohamad: Sebuah Pelajaran Mengenai Kepemimpinan Politik

Oleh : Rahman Yasin


1

I.   Pendahuluan
Tidak sulit jika kita mencari orang yang dapat menjawab tentang siapa kembaran Soekarno yang berada di tanah seberang, negara tetangga kita Malaysia, tentu banyak yang menjawab Mahathir Mohamad. Itu jawaban yang betul 100%. Mengapa demikian? Pasti ada yang dirasakan tentang persamaan dan kemiripan dari dua tokoh terkemuka di dunia tersebut. Bukan Cuma Asia Tenggara, atau Asia saja tetapi memang benar-benar terkenal ketokohannya di dunia, dilihat dari sepak terjang dan perannya dalam dunia internasional. Keduanya juga sama-sama vokal, orator ulung, kepemimpinan yang kharismatik, dan transformator. Kembaran ini sama-sama berani menantang penjajahan dan imperialisme baik di Asia atau dimanapun, perannya dalam dunia internasional.
Ketika Malaysia di bawah pemerintahan Perdana Menteri Mahathir Mohamad pada tahun 1990-an telah bertekad untuk menjadikan Malaysia sebagai negara modern dan makmur. Berbagai strategi telah dilakukan untuk menuju ke arah tujuan yang telah ditetapkan. Peran besar membangun pondasi negara selama hampir 22 tahun dengan gaya kepemimpinan yang spektakuler, Mahathir mengantarkan Malaysia yang sebenarnya pada tahun 70-an masih jauh tertinggal dengan kita dapat meluncur dan jauh juga meninggalkan kita (baca-indonesia). Untuk yang satu ini seharusnya kita malu dengan bangsa Malaysia. Sudah seharusnya kita mengejar, setidak-tidaknya berjalan seiringan.  Mahathir tidak saja merubah pola pandang Melayu tetapi Mahathir benar-benar merubah struktur budaya yang sangat feodal otokratis menjadi lebih kompetitif. Walaupun peran para Sultan-Sultan di negara-negara bagian Malaysia masih dominan, tetapi dibawah kepemimpinannya nasionalisme Malaysia lebih kuat tumbuh.
Mahathir sadar betul bawah nasionalisme, seperti yang juga diajarkan oleh Soekarno di Indonesia yang menjadikan kaum bumi putra sebagai bagian integritas kebangsaan yang utuh dan terikat antara satu insan di bagian lain wilayah Indonesia dengan insan lain dibagian wilayah lainnya adalah satu. Begitu juga kemelayuan ala Mahathir sesungguhnya menjadi cikal bakal dari benih nasionalisme Malaysia. Nasionalisme tidak dapat dibangun keluar dari jati diri setiap bangsa, keluar dari budaya lokal asli, keluar dari kepribadian asli. Nasionalisme Mahathir dibangun dari persamaan dari satu wilayah kebangsaan Malaysia, tanpa memandang keetnisan semuanya berada, berdiri sebagai rumpun melayu.
Menurut Mahathir sendiri belum cukup memahaminya jika nasionalisme Malaysia yang mengangkat unsur kemelayuan sebagai poros nasionalisme dianggap sebagai rasis, karena bagi Mahathir etnis Cina, etnis India, etnis Jawa, atau etnis apapun jika telah menjadi warga Malaysia adalah dianggap sebagai melayu. Sehingga tidak perlu melawan melayu atau anti melayu, bahkan sampai memerangi melayu, karena semua bangsa Malaysia itu adalah truly Melayu dan melayu itu adalah Malaysia. Jadi bagi Mahathir tidak perlu merasa sebagai orang yang keluar dari Melayu, karena itu berati bukan bangsa Malaysia. Bagi Mahathir untuk membangun kebangsaan suatu negeri tdak akan pernah lepas dari jati dari bangsa Malaysia, atau juga bangsa lainnya. Bangsa itu harus melepas perasaan berbedanya, perasaan keetnisannya.
Bedanya antara Soekarno dan Mahathir, Soekarno membentuk rasa kenasionalismean tanpa membentuk sebuah identitas ras yang mewakili, tetapi membuat "identitas" baru yang diberi nama bangsa Indonesia, sedangkan Mahathir walaupun membawa isu yang sama yaitu nasionalisme tetapi dengan sebuah identitas yang paling mewakili dan dominan yaitu Melayu. Mahathir sendiri tidak pernah meyebut Melayu sebagai sebuah etnis, suku atau ras tetapi adalah sebagai sebuah rumpun, rumpun yang mengikat dari berbagai etnis yang seperti di Indonesia cukup beragam, walaupun keberagaman Malaysia tidak sebanyak di Indonesia. Inilah yang orang bilang Soekarno adalah Kakaknya Mahathir atau seniornya Mahathir yang sama-sama membawa isu kebangsaan dan nasionalisme.
Selama 22 tahun kepemimpinannya, Mahathir Mohamad telah mengubah wajah Malaysia. Namun, corak kepemimpinannya yang visioner itu belum mampu mewujudkan bangsa Malaysia yang besar tanpa dibayang-bayangi politik rasial.[1] 
Kepemimpinan Mahathir diakui memang spektakuler. Dalam politik Asia Tenggara, Mahathir mendapat julukan ”Soekarno Kecil” yang mampu memberi corak bukan saja dalam kepemimpinan nasional Malaysia, tetapi juga sangat diperhitungkan dalam percaturan politik internasional.
Sejak terjun dalam politik tahun 1959, Mahathir memperlihatkan sikap ”kurang ajar” yang selama ini dianggap tabu dalam politik Malaysia. Melalui bukunya, The Malay Dilemma, yang kemudian dilarang oleh Tunku Abdul Rahman (hal 28), ia menjadi tonggak sejarah dalam pemikiran perubahan masyarakat Melayu. Dalam kajian politik Malaysia, buku tersebut dianggap sebagai pembuka jalan untuk mengetahui perjalanan politik Malaysia ke depan. Kekurangajarannya itu terlihat bahwa ia sering keluar dari pakem-pakem gaya kepemimpinan Melayu yang santun, sabar, dan hati-hati. Bahkan, beberapa kebijakannya dianggap sangat kontroversial dan ”tidak Melayu”. Ia biasa bicara blak-blakan, bahkan tidak jarang menyerang Barat (Amerika Serikat). Suatu hal yang hampir tidak pernah dilakukan pemimpin Indonesia, kecuali Soekarno.
Buku The Malay Dilemma karangan Barry Wain merupakan rekaman seorang jurnalis terhadap perjalanan kepemimpinan Mahathir. Ada tiga bagian yang semua membicarakan secara kritis peran Mahathir sebagai ”designer” Malaysia hingga menjelang perpecahan dalam politik UMNO yang ditandai dengan konflik antara Mahathir dan Anwar Ibrahim. Buku The Malay Dilemma ini mencatat secara detail peristiwa dan fakta politik sehingga bisa dikatakan sebagai ”grounded research”. Namun, bagi para pembaca yang haus akan teori-teori politik, di dalam buku The Malay Dilemma ini tidak akan dijumpai. Sekalipun demikian, sebagai referensi kajian politik Malaysia, buku The Malay Dilemma ini patut menjadi acuan penting.
Perdana Menteri Mahatir Mohamad yang terpilih pada 1981 menempatkan UMNO/pemerintah di jalur yang lebih berorientasi Islam, dengan memberikan tekanan yang lebih besar pada Islam baik di dalam negeri maupun di forum Internasional. Mahathir mampu secara cerdik menyatukam masa lampau dan masa kini, menahan dan mengkooptasi oposisi Islam, memanfaatkan Islam dalam politik domestik, regional, dan internasional. UMNO telah menyerukan perlunya mengembangkan masyarakat muslim yang lebih modern dan kompetitif jika ingin Islam maju pesat di tengah dunia modern.
Pergeseran politik Islam di Malaysia cukup menarik untuk diamati dan diteliti, khususnya pada fenomena politik yang dilakukan oleh UMNO dan PAS. UMNO sebagai partai penguasa yang berbasis etnis Melayu dan Islam bersaing keras dengan PAS sebagai partai pembangkang (oposisi) yang juga berbasis etnis Melayu dan Islam. Kedua partai ini mengalami pergeseran politik seiring dengan dinamika politik yang terjadi di tengah masyarakat. UMNO pada awalnya dikenal sebagai partai sekuler yang didukung oleh elit partai yang berlatar belakang pendidikan Barat. Dalam perkembangan berikutnya, UMNO bergeser menjadi partai yang banyak membuat kebijakan politik yang cenderung menguntungkan etnis Melayu dan umat Islam. Pergeseran politik UMNO yang semakin banyak menguntungkan umat Islam dan etnis Melayu terjadi pada masa pemerintahan Mahathir Mohamad. Mahathir Mohamad bahkan berhasil mengajak Anwar Ibrahim bergabung dengan pemerintah, padahal waktu itu Anwar dikenal sebagai tokoh ABIM yang sangat keras melakukann kritik pada penguasa. Kehadiran Anwar Ibrahim sebagai tokoh Islam ke lingkaran pemerintahan membuat kebijakan politik Islam semakin kuat dan nyata. Banyak kebijakan politik yang menguntungkan umat Islam dan etnis Melayu pada periode ini. Diantaranya, didirikan bank Islam, asuransi Islam, universitas Islam internasional, hingga dukungan besar yang diberikan kerajaan pada kegiatan dakwah mulai dari tingkat desa hingga nasional.
Malaysia merupakan kerajaan Federal yang terdiri dari tiga belas negara bagian. Sebelas diantaranya terletak di Malaysia Barat dan dua di Malaysia Timur. Jika dilihat dari sejarahnya maka kedatangan Islam dalam proses Islamisasi Malaysia melalui jalur perdangan para pedangang muslim dan mubaliq dari Arab dan Gujarat. Pada awal abad 15 berdiri kerajaan Islam Malaka dengan rajanya Parameswara Iskandar Syah, dengan undang-undangnya yang disebut Undang-Undang Malaka. Meskipun Malaysia dianggap sebagai sebuah negara muslim yang menyatakan Islam sebagai agama resmi, namun sesungguhnya ia adalah sebuah negara pluralitas yang sekelompok minoritas penting penduduknya adalah non muslim.

II.  Tokoh Revolusioner
Mahathir memang dianggap sebagai tokoh revolusioner yang mampu mengubah mentalitas dan kultur masyarakat Malaysia. Keinginan menjadikan Malaysia nomor wahid merupakan obsesinya yang muncul dalam jargon sosial seperti ”Malaysia Boleh” (The Malay Dilemma : hal 183). Nasionalisme Malaysia tampaknya juga mulai tumbuh pada era Mahathir, meskipun dalam beberapa hal semangat ini sangat semu.
Meskipun dianggap ”relatif stabil”, selama kepemimpinan Mahathir sering terjadi gejolak politik, seolah Mahathir sedang mempertaruhkan jati diri ”ketuanan Melayu” yang menjadi dasar politik multirasial Malaysia. Bahkan, ada kesan ia ingin memformat ulang bentuk negara Malaysia menjadi sebuah negara bersatu, stabil, dan modern. Namun, pada era Mahathir pula benih-benih perpecahan UMNO mulai terlihat.
Kebijakan pemerintah Malaysia itu antara lain sangat kental dengan dimensi politis. Pembatasan fungsi masjid dan pengawasan yang berlebihan, hingga hanya boleh digunakan sebagai tempat ibadah mahdhah saja, seperti shalat dan zakat, sangatlah tidak bijaksana dan tidak sesuai dengan tujuan dibangunnya masjid itu sendiri sebagai pusat kegiatan umat Islam. Sejak masa Rasulullah SAW, masjid telah digunakan sebagai pusat kegiatan ibadah, termasuk bidang politik (menyusun strategi), pendidikan, sosial, dll.[2]
Selama ini, antara pemerintah berkuasa Malaysia dengan pihak oposisi tengah terjadi ketegangan, terutama dalam hal “perang informasi”. Akibat adanya informasi sepihak dari pemerintah melalui pemberitaan dua media massa dan satu stasiun Televisi, para aktivis partai oposisi yang terdiri dari empat partai (Partai Keadilan Nasional, Partai Aksi Demokrasi, Partai Rakyat Malaysia dan Partai Islam se-Malaysia) menggelar aksi protes massal. Ungkapan protes mereka terpampang dalam spanduk raksasa berukuran kurang lebih 350 kaki. Menurut panitia pelaksana, spanduk raksasa tersebut bakal masuk ke dalam daftar buku Guinness of Record.[3]
Protes massal yang dilakukan oleh kalangan oposisi tersebut, ditujukan untuk menyelamatkan Hak Asasi Manusia, setelah adanya penangkapan beberapa tokoh politik, termasuk penangkapan terhadap Mantan Deputi Perdana Menteri, Anwar Ibrahim pada bulan April 1999 lalu. Pihak oposisi pemerintah menyatakan bahwa penangkapan tokoh-tokoh itu merupakan tindakan untuk “membantai” seluruh figur oposisi yang dianggap membahayakan pemerintah.
Selain itu, dalam protes massal tersebut juga dinyatakan bahwa mereka akan memboikot sejumlah media massa yang jelas-jelas berpihak kepada pemerintah, bukan berpihak kepada rakyat dan kebenaran. Media massa yang disinyalir berpihak kepada pemerintah tersebut adalah dua surat kabar, yakni Utusan Malaysia (berbahasa Melayu) dan New Straits Times (berbahasa Inggris) dan sebuah stasiun televisi, yaitu TV3. [4]
Rustam Sani, seorang juru bicara barisan protes tersebut menyatakan keprihatinannya dengan menyatakan bahwa koran di Malaysia telah menjadi milik dan diawasi pemerintah. Dengan demikian sangat memungkinkan adanya liputan-liputan yang bias tentang oposisi. Sebagai contoh, pemberitaan media massa yang dekat dengan pemerintah tersebut telah menciptakan image buruk tentang adanya peran oposisi yang seolah-olah menyebabkan kondisi instabilitas dan kekacauan negara.
Terbentuknya puak-puak Melayu tampaknya merupakan gejala biasa pada era Mahathir sehingga UMNO hampir terancam hilang dalam politik Malaysia. Perlu dicatat bahwa kepemimpinan Mahathir di UMNO bukanlah tanpa cacat. Dalam politik Malaysia, ia dianggap telah ”mematikan” tiga generasi yang seharusnya ditandai dengan perubahan kepemimpinan nasional. Ini dapat dilihat ketika Musa Hitam, Gafar Baba, Anwar Ibrahim, yang ketika menjadi wakil perdana menteri, gagal menjadi orang nomor satu di Malaysia.
Di sisi lain, melalui Look East Policy, Mahathir menginginkan bukan saja berbagai proyek industri raksasa, industri otomotif Proton misalnya, tetapi juga menginginkan perubahan mentalitas birokrat Melayu. Kedisiplinan dan kemampuan bersaing baik dalam mengatasi ketertinggalan etnis Melayu dengan etnis lain maupun bertarung dalam dunia internasional menjadi perhatiannya.
Terbukti, Dasar Ekonomi Baru (New Economic Policy), dasar kebijakan ekonomi Malaysia sejak tahun 1971, berhasil membawa perubahan. Penguasaan ekonomi orang Melayu telah mendekati 30 persen. Meskipun hal ini juga diperkuat oleh kebijakan-kebijakan ekonomi Mahathir yang memprioritaskan orang Melayu, baik itu melalui perbankan, perlindungan bisnis orang Melayu maupun bentuk-bentuk kebijakan lainnya yang sebenarnya sangat rasialis (The Malay Dilemma :hal 124). Kini pengusaha Melayu yang sebelumnya tidak mendapat tempat sekarang sudah patut diperhitungkan.
Meskipun bukan murni ide Mahathir, karena sejalan dengan visi PBB, Visi 2020 sebagai kelanjutan dari Dasar Ekonomi Baru (DEB) memperkuat posisi ekonomi Malaysia. Perubahan besar dalam bidang ekonomi, pertanian, perbankan, dan pengembangan infrastruktur menjadikan Malaysia berbeda sama sekali. Kehadiran Putra Jaya sebagai pusat birokrasi Malaysia-dengan supermultimedianya-juga membuat Malaysia sebagai negara yang efisien dan efektif.
Terbentuknya kelas menengah sebagai keberhasilan DEB secara tidak langsung memang membawa dampak terhadap proses pertumbuhan politik Malaysia. Salah satu yang mencolok adalah munculnya politik uang dalam beberapa proses politik internal UMNO, terutama dalam suksesi kepemimpinan nasional. Tanpa disadari sejak era Mahathir-lah politik uang menjadi panglima dalam pergantian kepemimpinan nasional. Politik uang ini bukan saja merusak sendi-sendi demokrasi, tetapi telah mempertajam keretakan politik nasional. Dapat dikatakan hampir pada setiap kongres UMNO, perpecahan elite Melayu selalu membayangi. Mungkin tidak terlalu salah jika dikatakan Mahathir mampu bertahan dari kekuasaannya justru melalui politik uang tersebut.

III.  Fenomena Komunikasi Politik
Konsep komunikasi politik merupakan salah satu konsep di dalam kajian ilmu sosial yang cukup rumit. Bukan saja karena konsep ini berada di dalam bidang irisan antara ilmu politik dan ilmu komunikasi, masing masing unsur konsep yaitu komunikasi dan politik pun juga mempunyai kerumitan sendiri.
Konsep politik misalnya mengandung multi makna. Politik mengandung makna kekuasaan dan pengaruh. Ia juga mempunyai arti yang menunjukkan proses pembuatan keputusan untuk mengalokasi barang-barang sosial, menegakkan hukum, hak dan kewajiban. Bagaimana proses ini dapat berjalan di dalam masyarakat maka perlu adanya komunikasi. Politik mempunyai hubungan erat dengan komunikasi. Politik tanpa komunikasi ibarat darah tanpa urat nadi.[5]
McNair misalnya mengatakan bahwa setiap penulis buku komunikasi politik pasti akan mengawali tulisannya bahwa bidang kajian komunikasi politik adalah sulit untuk didefinisikan. Walaupun demikian pendefinisian komunikasi politik tetap dilakukan. Denton dan Woodward menyebut bahwa komunikasi politik sama dengan diskusi publik tentang alokasi sumber-sumber publik. Selanjutnya dikatakan: “Political communication is public discussion about the allocation of public resources (revenues), official authority (who is given the power to make legal, legislative and executive decision) and official sanctions (what the state rewards or punishes).” [6]
Selanjutnya Denton dan Woodward mencirikan komunikasi politik sebagai intensi dari pengirim pesan untuk mempengaruhi lingkungan politik. Selanjutnya mereka mengatakan: “the crucial factor that makes communication ‘political’ is not the source of a message (or, we might add, referring back to their earlier emphasis on ‘public discussion’, its form), but its content and purpose”.[7]
Secara ringkas komunikasi politik adalah komunikasi yang mempunyai tujuan-tujuan politik. Komunikasi semacam ini menyangkut tiga hal sebagai berikut :
All forms of communication undertake by politicians and other political actors for the purpose of achieving specific objective.
Communication addressed to these actors by non-politicians such as voters and newspaper columnists, and
Communication about them and their activities, as contained in news reports, editorials, and other forms of media discussion of politics.[8]
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi politik merupakan hubungan tiga elemen yang berproses dimana aktivitas politik diwujudkan. Ketiga elemen itu adalah (1) organisasi-organisasi politik (partai, institusi pemerintah, kelompok penekan); (2) aktor-aktor politik yaitu individu-individu yang memberi inspirasi melalui sarana-sarana organisasi dan institusi untuk mempengaruhi pembuatan keputusan politik; dan (3) adalah masyarakat dan media.[9]
Komunikasi politik merupakan fenomena yang serba hadir, ia dapat hadir dimana-mana, diberbagai macam level termasuk di level internasional. Maka dengan demikian, komunikasi politik pun juga dapat hadir di level komunikasi internasional.
Disisi lain, komunikasi internasional adalah konsep yang mengacu pada penelitian yang mencakup studi tentang berbagai ragam bentuk interaksi secara global, termasuk komunikasi global melalui mass media, komunikasi antar budaya dan kebijakan telekomunikasi. Selanjutnya di jelaskan:
“International communication is the name given to a field of inquiry that includes the study of various forms of interaction globally, including global communication via mass media, cross-cultural communication, and telecommunications policy. Therefore, by its very nature, international communication is an interdisciplinary field of study, utilizing concepts, research methods, and data from areas as diverse as political science, sociology, economics, literature, and history”.[10]
Lapangan penelitian ini mempunyai dua dimensi yakni studi kebijakan dan mengenai studi budaya. Studi kebijakan menyangkut analisis tentang bagaimana aksi atau kegiatan dari unit pemerintah mempengaruhi komunikasi internasional. Sedangkan pendekatan studi budaya lebih cenderung meneliti hubungan antara budaya dengan komunikasi internasional.

IV.   Kasus Pulau Terumbu Layang-Layang
Untuk memudahkan, Pulau Terumbu Layang-Layang (Swallow Reef) adalah pulau karang kecil di Kepulauan Spratly. Saat ini Pulau Terumbu Layang-Layang sedang dikelola oleh pemerintah Malaysia sebagai pusat ekowisata. Pusat wisata ini sedang agresif dikembangkan, dan telah menjadi pulau pertama di Laut Cina Selatan yang dibuka untuk umum.
Pulau Terumbu Layang-Layang adalah sebuah atol yang kadang-kadang berada di bawah permukaan laut yang terpencil di Laut Cina Selatan, 306 km di sebelah barat laut Kota Kinabalu, ibukota Sabah. Letaknya tepat pada 7°22'23.48"N dan 113°50'46.23"E. Para ahli kelautan mengatakan bahwa di Pulau Terumbu Layang-layang terdapat 30 rangkaian karang yang membentuk atol sepanjang 7,3 km dan lebar 2,2 km, dan merupakan bagian dari kawasan yang disebut sebagai Gugusan Semarang Peninjau (GSP). GSP ini terdiri dari beberapa terumbu karang di Kepulauan Spratley bagian selatan yang berada dalam kawasan Zona ekonomi Ekslusif (ZEE) Malaysia dan berada di landas kontinen Malaysia. ZEE ini adalah ketentuan dalam United Nations Convention of Law of the Sea tahun 1982 (UNCLOS 1982/ Konvensi PBB tentang Hukum Laut) yang menyatakan bahwa negara pantai berhak memanfaatkan kekayaan laut tidak melebih 200 mil laut dari garis pantai.[11]
Sejak dulu pulau ini tidak didiami manusia dan yang mendiami adalah kawanan burung besar dari berbagai species. Pulau ini telah menjadi sarang burung sejak ribuan tahun terutama burung layang-layang (swallow) dan karena itu pelayar dan nelayan yang melintasi pulau ini menyebut sebagai Pulau Layang-Layang (Swallow Island). Karena sejumlah besar burung yang bersarang di sini, pulau ini menyuguhkan tontonan alam yang unik dan menarik. Laut disekitar pulau ini sangat kaya akan berbagai jenis ikan.
Malaysia mulai menduduki Pulau Terumbu Layang-Layang sejak tahun 1983 dan menempatkan sebuah garninsun militer untuk menjaganya. Sejak itu pembangunan infrastruktur dikerjakan dan pada tahun 1993 landasan pesawat terbang selesai dibangun. Perdana Menteri Mahatir Mohammad kemudian berkunjung ke sana dan bertekad mengembangkan pulau tersebut sebagai resort pariwisata. Setahun kemudian setelah sarana dan prasarana sebagai sebuah resort wisata yang baru selesai dibangun, pulau ini resmi dibuka untuk umum.[12]
Pemerintah Malaysia telah membentuk sebuah cagar alam untuk melestarikan ekologi alam dengan menyediakan burung laut dengan habitat yang cocok. Selain itu juga menjaga kelestarian terumbu karang yang terdapat di wilayah ini. Selain itu pemerintah Malaysia telah membangun tempat khusus menyelam bagi wisatawan, membangun infrastruktur pariwisata antara lain penyulingan air laut menjadi air tawar, peralatan pembangkit tenaga listrik dengan tenaga angin dan matahari dan lain sebagainya yang menggunakan standar internasional. Selain itu, pemerintah juga menyediakan pemandu wisata yang profesional sehingga Pulau Terumbu Layang-Layang ini berangsur-angsur menjadi terkenal di peta pariwisata internasional.[13] Di antara semua pulau-pulau di Laut China Selatan, Pulau terumbu Layang-Layang adalah satu-satunya pulau di mana pariwisata internasional diizinkan dibuka untuk umum, dan menghasilkan devisa buat Malaysia serta mempunyai aspek strategis, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa Malaysia berdaulat di pulau tersebut dan membuat sedemikian rupa sehingga pulau ini tidak menjadi pulau yang terlantar. Pulau ini juga dimasukkan ke dalam wilayah administratif Malaysia.[14] Selain itu, pemerintah Malaysia telah secara bertahap memperluas wilayahnya dengan perlahan-lahan menempati beberapa pulau di sebelah utara Pulau Terumbu Layang-Layang. Sekarang Malaysia sedang mempersiapkan untuk mengembangkan pulau-pulau tersebut seperti di Pulau Terumbu Layang-Layang dan menyatakan kedaulatan atas pulau-pulau tersebut guna  memperkuat kehadiran Malaysia di Laut Cina Selatan.[15]
Malaysia termasuk pemain baru dalam sengketa di Kepulauan Spratly. Malaysia memasuki sengketa ini pada tahun 1979 ketika Pemerintah Malaysia menerbitkan peta resmi yang mencakup bagian selatan Kepulauan Spratly sebagai bagian dari landas kontinen maupun Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang masuk dalam kedaulatan Malaysia. Kepulauan Spratly bagian selatan ini termasuk Pulau Terumbu Layang-Layang.
Argumen Malaysia tampaknya dapat diterima berdasarkan prinsip hukum internasional. Walaupun demikian, UNCLOS 1982 masih meninggalkan lubang yang multitafsir. Beberapa pulau yang diklaim Malaysia berdasarkan prinsip landas kontinen masih terbuka untuk diperdebatkan karena UNCLOS 1982 tidak memberikan jaminan hak kedaulatan kepada negara pantai atas pulau yang berada di landas kontinennya. Demikian pula definisi pulau menuntut UNCLOS 1982 dapat menggugurkan Terumbu Layang-Layang sebagai pulau. UNCLOS 1982 mengatakan bahwa pulau: ”a naturally formed area of land, surrounded by water, which is above water at high tide”.[16] Adagium ini menunjukkan bahwa karang dan pulau buatan manusia tidak masuk dalam pengertian pulau yang diatur dalam UNCLOS 1982 sehingga tidak dapat mempuyai ZEE 200 mil laut.
Tidak ada yang tahu berapa banyak jumlah pulau di Kepulauan Spratly secara persis. Kepulauan ini terdiri dari lebih 235 pulau kecil, karang dan daratan yang berupa gundukan pasir yang 148 diantaranya telah mempunyai nama. Walaupun Kepulauan Spratly tidak cocok untuk mendukung kehidupan manusia, wilayah ini mempunyai tiga aspek penting sehingga menarik negara-negara di sekitarnya untuk bersaing menyatakan kedaulatannya. Tiga aspek penting itu adalah lingkungan, sumber-sumber alam dan lokasi geografis.
Menurut  Marwyn S. Samuel, Kepulauan Spratly dapat digolongkan menjadi tiga area. (1) area Spratly Barat; (2) Beting Selatan; (3) adalah Daerah Bahaya. Daerah ini terdiri dari gugusan karang yang tenggelam ketika air pasang naik sehingga sangat membahayakan kapal yang lewat. Banyak kapal yang kandas di daerah perairan ini.[17]
   Pada intinya, sengketa Kepulauan spratly muncul karena ketidakjelasan kedaulatan dan batas-batas yurisdiksi wilayah laut. Ketidakjelasan tersebut berakar pada sejarah yang lama, walaupun faktor sejarah bukanlah faktor yang penting untuk mendukung klaim kedaulatan. Wilayah ini diklaim seluruhnya oleh China, Taiwan, Vietnam dan sebagian wilayah oleh Philipina, Brunei dan Malaysia.
   Dasar klaim China, Taiwan dan Vietnam adalah faktor sejarah. Sejak zaman dulu, berdasarkan fakta-fakta peninggalan sejarah, pulau-pulau ini berada di wilayah kerajaan mereka. Bahkan fakta yang dikemukakan China dan Taiwan sejak dinasti Han bahkan jauh sebelum masehi pulau-pulau ini menjadi persinggahan nelayan kerajaan Han.[18]
Sedangkan Philipina, Malaysia dan Brunai mengklaim berdasarkan pada ketentuan UNCLOS yakni landas kontinen dan ZEE. Philipina menambahkan pembenar dalam mengklaim pulau tersebut dengan asas penemuan. Ketika ditemukan oleh nelayan Philipina, pulau tersebut tidak ada penghuninya. Selain itu, Philipina menambahkan bahwa pulau-pulau tersebut terletak lebih dekat dari segi jarak ke Philipina ketimbang negara lainnya.[19]

V.  Strategi komunikasi politik internasional
Malaysia memasuki sengketa wilayah dengan beberapa negara tetangganya ketika tanggal 21 Desember 1979 menerbitkan peta dengan nama “Peta Baru Menunjukkan Sempadan Perairan dan Pelantar Benua Malaysia”. Peta Baru ini menunjukkan batas wilayah perairan Malaysia dan batas batas landas kontinennya. Peta ini juga menunjukkan bahwa bagian selatan Kepulauan Spratly masuk dalam wilayah yurisdiksi Malaysia.
Penerbitan Peta Baru ini semacam pengumuman baik kepada rakyat Malaysia maupun kepada dunia internasional mengenai batas wilayah laut Malaysia. Penerbitan peta ini kemudian disusul dengan perangkat aturan yang lebih mendetail seperti aturan tentang ZEE.[20]
Terbitnya Peta Baru ini kemudian membawa persengketaan dengan negara tetangga Malaysia karena apa yang diklaim Malaysia dalam Peta Baru ternyata overlapping dengan pemilikan negara lain. Sebagai contoh mengenai pulau Sipadan dan Ligitan serta Pulau Batu Puteh. Pulau Sipadan dan Ligitan menurut peta baru adalah milik Malaysia. Namun di sisi lain dua pulau ini juga merupakan milik Indonesia. Sengketa antara Malaysia dan Indonesia pun muncul. Akhirnya kedua belah pihak setuju untuk mengakhiri sengketa dengan membawa masalah ke Mahkamah Internasional di Den Haag yang kemudian dimenangkan oleh Malaysia. Demikian pula sengketa pulau Batu Puteh antara Malaysia dengan Singapura. Sengketa ini kemudian dimenangkan oleh Singapura oleh Mahkamah Internasional.
   Sengketa yang belum selesai adalah sengketa di Kepulauan Spratly. Penyelesaian sengketa yang masih mengambang dan status quo memberi peluang bagi Malaysia untuk membangun sarana dan prasarana di kepulauan yang disengketakan itu. Pendudukan/Pembangunan sarana dan prasarana ini penting untuk menunjukkan bahwa Malaysia secara nyata mengembangkan pulau tersebut sehingga tidak terlantar dan efektif menjadi elemen penting jika seandainya kasus sengketa ini dibawa ke Mahkamah Internasional. Ada beberapa faktor yang menggerakkan klaim Malaysia di selatan Kepulauan Spratly. Dua faktor utama adalah keamanan nasional dan nilai ekonomi dari sumber daya laut.
Semenjak diterbitkannya Peta Baru tahun 1979, Malaysia mempunyai sengketa perbatasan laut dengan beberapa negara tetangga. Oleh karena itu sejak 1990, fokus pembangunan kekuatan pertahanan Malaysia bertumpu pada matra laut daripada di darat karena sumber ancaman telah bergeser dari darat ke laut. Seorang analis, JN Mak, mengatakan: “the new arena of regional tension was now the sea…. The dispute in the Spratly, to which Malaysia is a party, seemed to emphasize the need for maritime forces”.[21]
Kerentanan pertahanan Malaysia memang berada di laut mengingat panjangnya garis pantai yang dimiliki baik di semenanjung maupun di Kalimantan utara. Kedua bagian ini dipisah oleh Laut China Selatan. Faktor lainnya adalah kebutuhan untuk monitoring dan melindungi sumberdaya laut di dalam wilayah ZEE yang mencakup seluas 475,600 km2.[22]
Dalam Rencana Pembangunan Malaysia ke Enam (1991-1995) sebanyak 6 juta ringgit dialokasikan untuk sektor pertahanan, sebagian untuk membiayai kemampuan dan efisiensi negara untuk mengkontrol dan menjaga ZEE. Pada tahun 1993 alokasi dana pertahanan melompat menjadi 8,4 juta ringgit dan mencapai 9,2 juta ringgit pada akhir rencana. Alokasi dana pertahanan ini meningkat 53% dari alokasi semua sektor. Pada Rencana Pembangunan Ke Tujuh (1996-2000) sebanyak 7 juta ringgit dialokasikan untuk sektor pertahanan tetapi secara aktual pengeluarannya mencapai 9,5 juta ringgit atau meningkat 35%. Pada Rencana Pembangunan Ke Delapan (2001-2005) dialokasikan 8,7 Juta ringgit untuk sektor pertahanan.[23]
Faktor kedua adalah faktor ekonomi. Kepulauan Spratly dan wilayah laut di sekitarnya dipercaya kaya akan minyak dan gas bumi. Pada bulan Mei 1989, koran geologi China mengutip laporan penelitian yang dibuat oleh Kementerian Geologi dan Sumber Mineral China yang mengatakan bahwa kandungan minyak di wilayah ini mencapai 130 juta barrel. Jumlah ini dapat dibandingkan dengan 112 juta barel di Irak yang merupakan peringkat kedua dari cadangan minyak kedua setelah Arab Saudi. China juga mengestimasi wilayah ini mengandung 2000 trilyun kubik cadangan gas alam. Oleh karena itu China menganggap Kepulauan Spratly dan Laut China Selatan sebagai “Teluk Persia Kedua”.[24]
Walaupun demikian, eksistensi jumlah sumber-sumber alam masih belum diketahui secara tepat. Pada tahun 1995, Institut Penelitian Geologi untuk Luar Negeri Rusia mengestimasi bahwa wilayah Spratly hanya mempunyai kandungan 6 sampai 7,5 juta barel minyak dan 70% diantaranya adalah gas alam. Penelitian lain yang dilakukan perusahaan Norwegia TGS Nopec mengatakan bahwa wilayah Spratly kemungkinan mengandung cadangan hidrokarbon yang cukup besar. Seberapa besar kandungan hidrokarbonnya secara tepat perlu dibuktikan dengan mengebor dasar laut. Sayangnya, banyak kesulitan untuk mengebor karena faktor resiko geologi dan sengketa kedaulatan di wilayah ini.[25]
Selain minyak dan gas, Kepulauan Spartly juga kaya akan guano dan fosfat serta kaya akan jenis ikan yang mampu memasok sumber protein rakyat Malaysia, selain itu wilayah laut-pun mempunyai keindahan akan biota laut serta serangkaian terumbu karang, wilayah ini menjadi objek ekowisata di Malysia dan bahkan terkenal di dunia.[26] Kamar Dagang dan Industri Jerman pernah melaporkan pada tahun 2002 bahwa Kepulauan Spratly kaya akan mangaan, tembaga, kobalt dan nikel. Dari letak geografis pulau-pulau yang diklaim Malaysia ini berdekatan dengan Brunei dimana Brunei adalah penghasil minyak, maka pulau-pulau ini diduga kuat mengandung potensi minyak dan gas bumi.[27] Sejak 1970 produksi migas lepas pantai di semananjung, Sabah dan Serawak menjadi pendapatan penting bagi Malaysia dan meningkat secara signifikan. Tahun 1980 minyak dan gas bumi telah mengganti karet sebagai ekspor utama Malaysia. Tahun 1995 sektor minyak dan gas bumi ini mencapai 33% pendapatan pemerintah. Malaysia kemudian membangun pertahanan di sekitar pulau-pulau yang diklaimnya tersebut untuk melindungi kepentingan ekonominya dan integritas wilayah.[28]
Tujuan dari klaim Malaysia terhadap Pulau Terumbu Layang-Layang adalah untuk keberlangsungan eksistensi Malaysia sebagai suatu negara. Keberlangsungan (survival) ini berangkat dari dimensi keamanan, integritas wilayah, ekonomi dan martabat (prestise) nasional. Sebagai pembenar klaim terhadap Pulau Terumbu Layang-Layang  ada dua alasan. (1) Pulau Terumbu Layang-Layang berada di landas kontinen Pulau Kalimantan milik Malaysia. (2) Pulau ini masih terletak dalam jangkauan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Malaysia. Dua alasan inilah yang dipergunakan Malaysia untuk meyakinkan dunia internasional bahwa pulau tersebut adalah miliknya.
Cara untuk mengkomunikasikan kebijakan pengklaiman Pulau Terumbu Layang-Layang adalah menuangkan dalam peta resmi pada tahun 1979 dengan nama Peta Baru. Pada Peta Baru tersebut terlihat jelas posisi Pulau Terumbu Layang-Layang dan gugusan Kepulauan Spratly bagian selatan yang masuk dalam wilayah Malaysia. Berdasarkan Peta Baru yang dipublikasikan terbuka ini kemudian dibuat aturan-aturan pemerintah yang lebih rinci misalnya tentang ketentuan ZEE.
Pengambilan keputusan untuk suatu kebijakan dilakukan oleh pemerintah. Untuk kasus Pulau Terumbu Layang-Layang, inisiatif dan pengambilan keputusan dilakukan oleh Kantor Perdana Menteri.
Berkaitan dengan klaim Pulau Terumbu Layang-Layang, Departemen Pertahanan menempatkan fasilitas militer dan pasukan di pulau tersebut, sedangkan Departemen Luar Negeri akan menangani protes yang akan dilancarkan oleh negara tetangga akibat keputusan tersebut.
Hal yang lebih penting adalah publikasi dari keputusan tersebut. Hal ini tidak sulit dilakukan karena pemerintah masih memegang kendali terhadap media massa. Apa yang dilakukan pemerintah di Pulau Terumbu Layang-Layang, terutama menjadikan tempat ekowisata diberitakan secara memadai. Lembaga-lembaga pengkajian swasta semacam ISIS dan MIMA mempunyai peran penting dalam pembuatan keputusan terutama dalam analisis-analisis mereka sebelum keputusan diambil.
Selain jalur media massa, keputusan yang diambil dituangkan dalam bentuk peta maupun peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh aparat birokrasi sehingga seluruh aparat birokrat dianggap mengetahui. Secara demikian, ketika keputusan diambil pada level tertinggi maka level di bawahnya akan otomatis mensosialisasi dan mengimplementasikannya.
Malaysia memandang penting penguasaan fisik terhadap wilayah yang diklaim dan tidak berhenti ketika pembuatan peta dan pengambilan keputusan selesai. Penguasaan fisik dalam bentuk pembangunan sarana pariwisata dan sarana militer akan sangat bermanfaat untuk menjadi nilai tambah dan membangunan opini publik sekaligus menjadi daya penggentar bagi negara-negara yang mempersengketakan pemilikan pulau tersebut.

VI.   Komunikasi Politik dan Strategi Politik
Komunikasi politik biasanya menggunakan dua sistem komunikasi dominan, yaitu media massa modern dan sistem komunikasi tradisional. Untuk mempengaruhi masyarakat, maka perlu untuk memilih sarana komunikasi yang tepat, sesuai dengan keperluan dan kepada siapa pesan politik ingin disampaikan.

·  Demokrasi
Demokrasi ala Malaysia mampu membawa ke arah kesejahteraan karena demokrasi bukan sebagai suatu ancaman, melainkan menjadi alat atau sistem untuk kesejahteraan rakyat. (Mahathir Mohamad).[29]

Mahathir Mohamad mantan PM Malaysia yang juga menjadi founding fathers perpolitikan Malaysia meramu demokrasi ala sistem monarki. Namun, walaupun mengadopsi konsep monarchy dengan sistem kerajaan, tetapi bukan sistem feodal seperti dahulu menurutnya.
Menurut Mahathir, dengan sistem tersebut, demokrasi ala Malaysia itu dipahami bahwa raja tidak mempunyai kekuasaan sama sekali, namun dalam menjalankan pemerintahannya mendapat nasihat dari pemimpin-pemimpin pilihan rakyat. Para pemimpin tersebut, lanjutnya, berperan menghubungkan raja dan rakyatnya agar keduanya tidak bertentangan. Hal seperti ini juga dianut Inggris yang muara dari kekuasaan itu untuk kesejahteraan rakyat.
Mahathir pun secara tegas berpikir bahwa demokrasi tidak cocok dengan Malaysia jika diterapkan secara murni (mengadopsi secara mentah nilai-nilai demokrasi dari Barat). Harus ada upaya untuk membentuk sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan kondisi Malaysia. Menuruntya, oposisi hanya omong dimulut saja akan membentuk sistem demokrasi, tetapi setelah mereka berkuasa nanti, hal yang sama juga akan diterapkan di Malaysia.
Bagaimanapun juga demokrasi menurut Mahathir harus bisa membawa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat bukan malah menyengsarakan.

VII.  Islam dalam Politik Malaysia
Malaysia menyuguhkan suatu pengalaman Islami yang unik. Malaysia adalah sebuah masyarakat multietnik dan multiagama, namun mempunyai kekuatan politik dan budaya yang dominan. Sejak priode awal, Islam mempunyai ikatan erat dengan politik dan masyarakat. Islam merupakan sumber legitimasi bagi para Sultan yang memengang peran sebagai pemimpin agama, pembela iman, dan pelindung hukum Islam, sekaligus pendidikan dan nilai-nilai adat.[30]
Suatu ciri khas dalam perkembangan politik Malaysia adalah peran Islam dalam politik Melayu. Malaysia merupakan federasi negara-negara bagian, sebuah pemerintahan yang resmi bersifat pluralitas dengan Islam sebagai agama resmi. Pluralisme dan hubungan agama dengan indetitas nasional Melayu menjadi isu politik ketika Malaysia tengah berjuang merebut kemerdekaan pada periode pasca-Perang Dunia II. Usulan awal Inggris bagi Serikat Melayu bersatu dengan kesamaan hak warga negara bagi semua orang ditolak oleh bangsa Melayu, yang mengkhawatirkan pertumbuhan populasi, kekuatan ekonomi, serta pengaruh komunitas Cina dan India, yang telah menikmati tingkat ekonomi dan pendidikan yang lebih tinggi  dibandingkan kaum muslim Melayu. Ketengagan-ketegangan internal yang diakibatkan oleh dikotomi etnik dalam masyarakat Malaysia meledak pada tahun 1969. Kerusuhan etnik antara orang-orang Melayu dan Cina di Kuala Lumpur menandai titik balik dalam politik Malaysia. Sementara kaum muslimin melayu, yang kebanyakan  tinggal di pedesaan dan bertani, mendominasi pemerintahan dan politik. Komunitas-komunitas Cina dan India yang berbasis kota meraih kemakmuran dan menonjol dibidang ekonomi dan pendidikan. Ketegangan ekonomi Malaysia akibat adanya kesenjangan yang begitu besar dan semakin terasa kehadirannya, dan meningkatnya kehidupan orang-orang asing itu, menyulut kerusuhan anti Cina.[31]
Secara historis, Islam sudah menjadi bagian dari wilayah-wilayah tradisional Melayu sejak zaman kesultanan Malaka. Islam sudah menjadi hak yang paten, meskipun cenderung naik-turun. Dari zaman kolonial sampai tercapainya kemerdekaan, Islamisasi orang-orang Melayu berlangsung secara bertahap opolusioner, tidak merata, namun berjalan dinamis. Ini disebabkan karena pengaruh penjajahan Inggris. Di samping itu, pengaruh modernisasi sedikitnya telah membawa sikap pro-kolonialisme baik di kalangan mereka yang berpendidikan sekuler maupun agama.
Di Malaysia, tokoh pertama yang menyerah pada tekanan peradaban Barat modern dan mudah bekerjasama dengan pemerintah kolonial adalah Abdullah Munshi (1796-1854). Ia tidak hanya membantu para penguasa Inggris, tetapi ia juga banyak membantu pendeta dan missionaris Kristen dalam menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Malaysia. Yang mengherankan, sikap pro-kolonialisme juga diperlihatkan mereka yang berpendidikan agama dan terkenal dalam sejarah karena sikap anti kolonialnya. Di antaranya ialah Sayid Syekh al-Hadi yang terkadang ekstrem dalam mendukung Inggris.[32]
Pada dekade 1970 dan 1980-an kebangkitan Islam di Malaysia semakin terasa dimana perpaduan antara kepentingan agama, ekonomi dan kebudayaan saling berbarengan. Pada saat itu pemerintah menjalankan program reformasi ekonomi dengan sasaran meningkatkan usaha orang-orang Melayu dan penduduk bumi putra. Meskipun fokus utama program itu adalah pembangunan sosio-ekonomi Melayu, promosi bahasa dan nilai-nilai budaya melayu semakin memperkokoh ikatan agama dan etnik. Proses yang bertumpuh pada bahasa Melayu, sejarah, kebudayaan, dan agama, memperkuat solidaritas Melayu. Nasionalisme Melayu dan Islam merupakan unsur terpenting dalam identitas budaya Melayu, hal ini menjadi kekuatan ideologi dan politik yang besar.
Sebagaimana diketahui sejak kemerdekaannya dari Inggris pada tanggal 16 September 1963, pemerintahan dikuasai oleh Barisan Nasional sebuah koalisi beberapa partai diantaranya yang terkuat adalah UMNO (United Malaya National Organization),[33] yang memimpin Front Nasional menikmati politik graduasi serta memasukkan secara selektif nilai-nilai keislaman ke dalam kebijakan pemerintah dan tetap menjunjung tinggi konsitusi Malaysia.[34]
Peranan politik Islam di Malaysia lebih tampak sekitar tahun 1980-an PAS,[35] yang setiap kampaye politiknya menyerukan untuk membentuk negara Islam dan memperjuangkan terwujudnya sebuah masyarakat dan pemerintahan yang terlaksana di dalamnya nilai-nilai Islam, hukum-hukum menuju keridhaan Allah, mempertahankan kesucian Islam, serta kemerdekaan dan kedaulatan negara. Para pemimpin PAS juga sering mengemukan visi dan misinya tentang sebuah negara Islam Malaysia yang menerapkan hukum Islam berdasarkan Alquran dan Sunnah Nabi. Karena visi dan misinya itulah, PAS mendapat cap sebagai partai Islam fundamentalis bahkan kelompok garis keras Islam.[36] Partai ini banyak mendapat dukungan dari masyarakat yang dinominasi oleh orang-orang muslim seperti di Kelantan, Trengganu, Kedah dan Perlis.
Sekalipun sebelumnya Malaysia telah mempunyai sejumlah organisasi terkemuka, namun perkembangan politik pasca 1961 memunculkan organisasi Islam yang mengacu  bukan hanya pada usaha untuk  mengislamkan orang-orang non muslim, melainkan juga menyuruh kepada orang-orang muslim sendiri untuk lebih taat menjalankan ajaran agama. Orginisasi tersebut adalah Darul Arqam yang didirikan pada tahun 1968 oleh Ustad Ashaari Muhammad dimana menekankan pentingnya membangun suatu masyarakat Islam sebelum mendirikan negara Islam. Sementara itu, garakan dakwah terkemuka dan yang paling efektif dan berhasil secara politis pada 1970-an dan awal 1980-an adalah Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM). Berdiri pada tahun 1971-1972 merupakan hasil pergumulan berbagai peristiwa, isu, dan kepedulian untuk memupuk semangat kebangkitan agama pada umumnya dan memobilisasi pemuda pada khususnya. Di bawah kepemimpinan kharismatik salah seorang pendirinya, Anwar Ibrahim (1974-1982).
Sebagaimana halnya negara mantan jajahan Inggris, maka isu-isu yang dominan adalah sekularisme. ABIM dengan tegas menolaknya dengan segala unsur dan embel-embelnya. Menurut Anwar Ibrahim bahwa akibat penjajahan pikiran dan penerapan sekularisme di Malaysia, agama Islam hanya menjadi agama ritual belaka yang jauh dari aspek sosial dan politik.[37]
Seperti gerakan-gerakan Islam di banyak bagian dunia muslim lainnya, ABIM mendukung negara yang berorientasi Islam sebagai koreksi atas sekularisme dan perkembangan yang berorentasi Barat. Meskipun belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai berdirinya sebuah negara Islam, ia menyerukan dilaksanakannya hukum dan nilai-nilai Islam. Namun ABIM tetap konsisten dalam pengakuan dan penerimaan bahwa Malaysia merupakan sebuah negara multi etnik dan multi agama.[38]
Fenomena keislaman di negeri Jiran ini, telah merasuk dalam berbagai elemen dan segmen kehidupan sosial masyarakat. Bukti dari hal tersebut antara lain; Pembentukan Bank Islam, sistim Asuransi Islam, Universitas Islam Internasional, penyempurnaan administrasi  keagamaan Islam dan pengadilan syari’ah, diberlakukan aturan dan undang-undang yang mencerminkan nilai dan ajaran Islam.[39] Semua realitas di atas sepenuhnya didukung oleh pemerintah yang berkuasa.
Penolakan Mahathir terhadap pandangan Barat yang membatasi agama hanya untuk kehidupan pribadi, dan menafsirkan Islam ke arah yang lebih komprehensif, melegahkan kaum muslim. Dengan warisan Islam, Mahathir melihat Malaysia memiliki kesempatan untuk menawarkan model pembangunan yang berciri Islam. Dengan demikian Malaysia dapat meraih kejayaan ekonomi, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat.
Ada ungkapan seperti yang dikutip John L. Esposito:
“Malaysia adalah sebuah negara dengan bendera nasional bergambar bulan sabit dan bintang, dengan konstitusi yang menyatakan Islam sebagai agama resmi, dengan Perdana Menteri yang memberi perioritas tertinggi untuk menyatukan kaum muslim, dengan pemerintahan yang semua menteri utamanya  beragama Islam, dan dengan idologi nasional yang ditegaskan oleh pemerintah bahwa merupakan “tugas suci setiap warga negara untuk membela dan mendukung” konsitusi yang menjamin kedudukan istimewa bangsa Melayu, peranan Sultan, dan penetapan Islam sebagai agama resmi.[40]
Dari penjelasan di atas, dapat memberi gambaran adanya dukungan kebijakan politik pemerintah akan penerapan hukum Islam di Malaysia. Keberhasilan Mahathir juga dapat dilihat dalam menjadikan Islam sebagai komoditas politik dalam melawan rivalitas politik dalam negeri. Kebijakan Islamisasi dalam perekonomian nasional dan penguatan simbol-simbol Islam meletakkan posisi Mahathir sangat kuat dalam politik nasional. Bahkan dalam beberapa isu yang berkaitan dengan Islam internasional, Mahathir dengan lantang membela kepentingan Islam.
Begitu juga dalam politik internasional, Mahathir dianggap suara yang mewakili negara-negara berkembang dan negara-negara Islam. Mahathir telah berhasil mengubah posisi Malaysia dalam percaturan internasional. Sikap perlawanan Mahathir terlihat ketika awal pemerintahannya ia mencoba menantang Amerika Serikat yang mengatakan Malaysia ingin sejajar dengan negara-negara besar lainnya. Itulah sebabnya, Mahathir menjadi tokoh yang sangat disegani dalam politik internasional. Perlawanannya terhadap negara-negara Barat menjadi ”indeks” dalam beberapa pernyataan politik Mahathir.
Bagi pihak oposisi, meskipun Mahathir selalu membela kepentingan Islam, tetap dianggap sebagai ”anti-Islam” (The Malay Dilemma :hal 218). Beberapa kebijakannya mengikis habis politik oposisi Islam. Seperti terjadi pada partai oposisi PAS. Di sisi lain, Mahathir memanfaatkan sosok Anwar Ibrahim sebagai upaya ”menjinakkan” sikap-sikap kritis Islam dalam negeri.
Melalui buku The Malay Dilemma tersebut menyisakan beberapa catatan yang mungkin mengganjal kepemimpinan Mahathir, di antaranya adalah apakah sebuah bangsa Malaysia yang terdiri dari multirasial sudah terwujud? Di samping itu, konflik antara Mahathir dan Anwar Ibrahim sebenarnya juga membuahkan pertanyaan apakah ketuanan Melayu dan politik multirasial akan menjadi paradigma yang signifikan di Malaysia?

VIII.   Kesimpulan
Meskipun Malaysia dianggap sebagai sebuah negara muslim yang menyatakan Islam sebagai agama resmi, namun sesungguhnya ia adalah sebuah negara pluralitas yang sekelompok minoritas penting penduduknya adalah non muslim. Pergeseran politik Islam di Malaysia cukup menarik untuk diamati dan diteliti, khususnya pada fenomena politik yang dilakukan oleh UMNO pada awalnya dikenal sebagai partai sekuler, UMNO sebagai partai penguasa yang berbasis etnis Melayu dan Islam bersaing keras dengan PAS sebagai partai pembangkang (oposisi) yang juga berbasis etnis Melayu dan Islam.
Sejak terjun dalam politik tahun 1959, Mahathir memperlihatkan sikap ”kurang ajar” yang selama ini dianggap tabu dalam politik Malaysia, bahkan ia sering keluar dari pakem-pakem gaya kepemimpinan Melayu. Ia biasa bicara blak-blakan, bahkan tidak jarang menyerang Barat (Amerika Serikat). Suatu hal yang hampir tidak pernah dilakukan pemimpin Indonesia, kecuali Soekarno. Perdana Menteri Mahatir Muhammad yang terpilih pada 1981 menempatkan UMNO/pemerintah di jalur yang lebih berorientasi Islam, dengan memberikan tekanan yang lebih besar pada Islam baik di dalam negeri maupun di forum Internasional. Mahathir mampu secara cerdik menyatukam masa lampau dan masa kini, menahan dan mengkooptasi oposisi Islam, memanfaatkan Islam dalam politik domestik, regional, dan internasional.
Nasionalisme Mahathir dibangun dari persamaan dari satu wilayah kebangsaan Malaysia, tanpa memandang keetnisan semuanya berada, berdiri sebagai rumpun melayu. Selama 22 tahun kepemimpinannya, Mahathir Mohamad telah mengubah wajah Malaysia, bahkan benar-benar merubah struktur budaya yang sangat feodal otokratis menjadi lebih kompetitif, dan bertekad untuk menjadikan Malaysia sebagai negara modern dan makmur. Peran besar membangun pondasi negara dan berbagai strategi telah dilakukan dengan gaya kepemimpinan yang spektakuler, untuk menuju ke arah tujuan yang telah ditetapkan.
Keberhasilan Mahathir juga dapat dilihat dalam menjadikan Islam sebagai komoditas politik dalam melawan/membungkam rivalitas politik dalam negeri, penguatan simbol-simbol Islam yang meletakkan posisinya sangat kuat dalam politik nasional, bahkan dalam beberapa isu Islam internasional dan berhasil mengubah posisi Malaysia dalam percaturan internasional. Di satu sisi, Mahathir selalu membela kepentingan Islam, namun di sisi yang lain, Mahathir tetap dianggap sebagai ”anti-Islam”.
Untuk kasus Pulau Terumbu Layang-Layang, inisiatif dan pengambilan keputusan dilakukan oleh Kantor Perdana Menteri. Malaysia menggunakan jalur birokrasi dalam kasus pulau layang-layang adalah dengan cara menerbitkan Peta Baru, perundang-undangan dan aturan hukum lainnya yang lebih rinci. Menggunakan media massa untuk publikasi keputusan tersebut, hal itu sangat mudah dilakukan karena media massa dikendalikan oleh pemerintah, dan yang lebih penting adalah penguasaan fisik pulau tersebut dengan membangunan berbagai fasilitas terutama fasilitas ekowisata dan militer. Fasilitas ekowisata untuk menambah daya tarik wisatawan asing dan sekaligus membangun opini publik bahwa Pulau Terumbu Layang-Layang adalah milik Malaysia. Fasilitas militer ditujukan untuk daya penggentar bagi negara lain yang akan mempersengketakan pemilikan pulau ini.
Tujuan dari klaim Malaysia terhadap Pulau Terumbu Layang-Layang adalah untuk keberlangsungan eksistensi Malaysia sebagai suatu negara. Keberlangsungan (survival) ini berangkat dari dimensi keamanan, integritas wilayah, ekonomi dan martabat (prestise) nasional. Sebagai pembenar klaim terhadap Pulau Terumbu Layang-Layang ada dua alasan. (1) Pulau Terumbu Layang-Layang berada di landas kontinen Pulau Kalimantan milik Malaysia. (2) Pulau ini masih terletak dalam jangkauan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Malaysia. Dua alasan inilah yang dipergunakan Malaysia untuk meyakinkan dunia internasional bahwa pulau tersebut adalah miliknya.
Salah satu yang mencolok dampak proses pertumbuhan politik Malaysia adalah terbentuknya kelas menengah sebagai keberhasilan DEB dan munculnya politik uang. Tanpa disadari sejak era Mahathir-lah politik uang menjadi panglima dalam pergantian kepemimpinan nasional. Politik uang ini bukan saja merusak sendi-sendi demokrasi, tetapi telah mempertajam keretakan politik nasional. Mungkin tidak terlalu salah jika dikatakan Mahathir mampu bertahan dari kekuasaannya justru melalui politik uang tersebut.
Mahathir memang dianggap sebagai tokoh revolusioner yang mampu mengubah mentalitas dan kultur masyarakat Malaysia. Nasionalisme Malaysia tampaknya juga mulai tumbuh pada era Mahathir, meskipun dalam beberapa hal semangat ini sangat semu. Namun, corak kepemimpinannya yang visioner itu belum mampu mewujudkan bangsa Malaysia yang besar tanpa dibayang-bayangi politik rasial, walupun ada kesan ia ingin memformat ulang bentuk negara Malaysia menjadi sebuah negara bersatu, stabil, dan modern.
Terbentuknya puak-puak Melayu, sehingga UMNO hampir terancam hilang dalam politik Malaysia. Ia dianggap telah ”mematikan” tiga generasi yang seharusnya ditandai dengan perubahan kepemimpinan nasional. Pada era Mahathir pula benih-benih perpecahan UMNO mulai terlihat. Selama pemerintahan Mahathir juga terjadi ketegangan dalam hal “perang informasi” dan media massa di kendalikan ”milik” pemerintah. Dan selanjutnya terjadi penangkapan terhadap seluruh figur/tokoh oposisi.
Di sisi lain, melalui Look East Policy, Mahathir berhasil terbukti, dasar kebijakan ekonomi Malaysia sejak tahun 1971, Dasar Ekonomi Baru (New Economic Policy), sejalan dengan visi PBB, Visi 2020 berhasil membawa perubahan. Kini pengusaha Melayu yang sebelumnya tidak mendapat tempat sekarang sudah patut diperhitungkan. Kehadiran Putra Jaya sebagai pusat birokrasi Malaysia-dengan supermultimedianya-juga membuat Malaysia sebagai negara yang efisien dan efektif.
Konflik berkepanjangan ini menyisakan pertanyaan seberapa jauh sebenarnya keberhasilan Mahathir mewujudkan sebuah bangsa Malaysia yang besar tanpa dibayang-bayangi politik rasial. Apa yang terjadi di Malaysia sekarang barulah pada taraf ”administratif”. Malaysia masih selalu rentan dalam berbagai isu rasial.
Kepemimpinan politik nasional Malaysia ke depan harus mampu menyelesaikan pekerjaan besar tersebut...!!

                                    ___________________________________
Penulis adalah Pegiat dan Pemerhati Masalah Pemilu, dan Sosial Politik.









[1] http://nasional.kompas.com/read/2010/01/31/03355369/
[2] Harian Umum Republika, 2 Februari 2000.
[3] Ibid. op.cit
[4] Ibid.op.cit.
[5] Romarheim, Anders G. (2005). Definitions of Strategic Political Communication. Kertas Kerja Nomor 689. Norwegian Institute of International Affairs., hal. 2.
[6] McNair, Brian. (1995). Introduction to Political Communication. London : Routledge. Hal. 3
[7] Ibid. hal. 3.
[8] Ibid. hal.4
[9] Ibid. hal.5.
[10] Alleyne, Mark DaCosta. (2009). “International Communication Theories”dalam Stephen W. Littlejohn and Karen A. Foss (eds), Encyclopedia of Communication Theory. London: Sage.
[11]  Nguyen, Dong Manh. (2006). “Setlement of Disputes Under the 1982 United Nations Convention of the Sea: the Case of South china Sea  Dispute. University of Queensland Law Journal, 25(1).
[12] Abdullah, Hasan. Mempelajari Peningkatan Kekuatan Militer Malaysia di Kepulauan Spratley, diakses melalui situs http://www.tandef.net/mempelajari-peningkatan-kekuatan-militer-malaysia-di-kepulauan-spratley
[13] Anonim. A Brief Introduction to Swallow Reef, diakses melalui situs http://vm.nthu.edu.tw/southsea/english.travel.html.
[14] Salleh, Asri, et. al.,  (2009). “Malaysia’s Policy Towards its 1963 - 2008 Territorial Disputes”, dalam Journal of Law and Conflict Resolution, vol. 1(5).
[15] Abdullah, Hasan. Mempelajari Peningkatan Kekuatan Militer Malaysia di Kepulauan Spratley, diakses melalui situs http://www.tandef.net/mempelajari-peningkatan-kekuatan-militer-malaysia-di-kepulauan-spratley
[16] Chruchill, RR, and AV Lowe. (1999). The Law of the Sea. Manchester: Juris Publishing Manchester University Press.
[17] Samuels, Marwyn S. (1982). Contest for the South China Sea. New York: Methuen.
[18] Satyawan, Ign. Agung. (2010). “Komunikasi Negoisasi China terhadap Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan”, dalam Jurnal Komunikasi Massa, Vol. 3(2). Surakarta: Prodi Ilmu Komunikasi.
[19] Ibid. op.cit.
[20] Salleh, Asri, et. al.,  (2009). “Malaysia’s Policy Towards its 1963 - 2008 Territorial Disputes”, dalam Journal of Law and Conflict Resolution , Vol. 1(5).
[21] Mak, JN. (1997). “The Modernization of the Malaysian Armed Forces”, dalam Contemporary Southeast Asia, hal, 37.
[22] Chruchill, RR, and AV Lowe. (1999). The Law of the Sea. Manchester: Juris Publishing Manchester University. Press.
[23] Chung, Christopher. (2004). The Spratly Islands Dispute: Decision Units and Domestic Politics. Disertasi Doktor. University of New South Wales (tidak diterbitkan), hal. 134-135.
[24] Satyawan, Ign. Agung. (2010). “Komunikasi Negoisasi China terhadap Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan”, dalam Jurnal Komunikasi Massa, Vol. 3(2). Surakarta: Prodi Ilmu Komunikasi, hal.145.
[25] Ibid.hal 145.
[26] Anonim. A Brief Introduction to Swallow Reef, diakses melalui situs http://vm.nthu.edu.tw/southsea/english.travel.html.  
[27] Samuels, Marwyn S. (1982). Contest for the South China Sea. New York: Methuen.
[28] Chung, Christopher. (2004). The Spratly Islands Dispute: Decision Units and Domestic Politics. Disertasi Doktor. University of New South Wales (tidak diterbitkan).
[29] “Lee Kwan Yew, Demokrasi Barat Tidak Penting” dalam harian Jawa Pos edisi 13 Oktober 2007.
[30] Lihat John L. Esposito dan John O. Volt, Islam and Democracy, diterjemahkan oleh Rahman Astuti dengan judul Demokrasi di Nagara-Negara Muslim Problem dan Prospek (Cet. I; Bandung: Mizan, 1999), h. 166.
[31] Ibid., hal 169.
[32]  Lihat Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Pemikiran (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 151..
[33] UMNO, merupakan partai yang sedang berkuasa di Malaysia, pada awalnya cenderung menekankan peranannya sebagai pembela nasionalisme Melayu, namun karena desakan yang begitu besar, mulai menampakkan kebijakannya pada solidaritas Melayu Islam. Lihat ibid., hal. 183.
[34] Konstitusi Malaysia mendefinisikan orang Melayu sebagai “orang yang mengaku memluk agama islam, terbiasa berbicara dengan bahas melayu, dan menyesuaikan diri dengan adat istiadat Melayu”. Ibid., hal. 167.
[35] PAS merupakan partai oposisi politik Islam tertua dan terbesar di Malaysia, didirikan pada tahun 1951 oleh kaum ulama yang keluar dari UMNO, mulai berpartisipasi dalam pemilu tahun 1955. Lebih jauh lihat Asep Syamsul M. Romli, Demonologi  Islam Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal. 85.
[36] Harian  Kompas (28 November 1999) misalnya menyebut PAS sebagai partai “garis keras Islam dan mayoritas beranggotakan Melayu muslim garis keras”. Dan Fikiran Rakyat (30 November 1999) menyebut PAS sebagai “Partai Islam Fundamentalis”.
[37] Lihat Abdul Rahman Haji Abdullah, op. cit., hal. 304.
[38] Lihat John L. Esposito, op. cit., hal. 179.
[39] Lihat Omar Farouk, op. cit., hal. 283.
[40] John L. Esposito dan John O.Volt,  op.cit., hal. 198.