Oleh : Rahman Yasin
I. Pendahuluan
Tidak
sulit jika kita mencari orang yang dapat menjawab tentang siapa kembaran
Soekarno yang berada di tanah seberang, negara tetangga kita Malaysia, tentu
banyak yang menjawab Mahathir Mohamad. Itu jawaban yang betul 100%. Mengapa
demikian? Pasti ada yang dirasakan tentang persamaan dan kemiripan dari dua
tokoh terkemuka di dunia tersebut. Bukan Cuma Asia Tenggara, atau Asia saja
tetapi memang benar-benar terkenal ketokohannya di dunia, dilihat dari sepak
terjang dan perannya dalam dunia internasional. Keduanya juga sama-sama vokal,
orator ulung, kepemimpinan yang kharismatik, dan transformator. Kembaran ini
sama-sama berani menantang penjajahan dan imperialisme baik di Asia atau
dimanapun, perannya dalam dunia internasional.
Ketika
Malaysia di bawah pemerintahan Perdana Menteri Mahathir Mohamad pada tahun
1990-an telah bertekad untuk menjadikan Malaysia sebagai negara modern dan
makmur. Berbagai strategi telah dilakukan untuk menuju ke arah tujuan yang
telah ditetapkan. Peran besar membangun pondasi negara selama hampir 22 tahun
dengan gaya kepemimpinan yang spektakuler, Mahathir mengantarkan Malaysia yang
sebenarnya pada tahun 70-an masih jauh tertinggal dengan kita dapat meluncur
dan jauh juga meninggalkan kita (baca-indonesia). Untuk yang satu ini
seharusnya kita malu dengan bangsa Malaysia. Sudah seharusnya kita mengejar,
setidak-tidaknya berjalan seiringan.
Mahathir tidak saja merubah pola pandang Melayu tetapi Mahathir
benar-benar merubah struktur budaya yang sangat feodal otokratis menjadi lebih
kompetitif. Walaupun peran para Sultan-Sultan di negara-negara bagian Malaysia
masih dominan, tetapi dibawah kepemimpinannya nasionalisme Malaysia lebih kuat
tumbuh.
Mahathir
sadar betul bawah nasionalisme, seperti yang juga diajarkan oleh Soekarno di
Indonesia yang menjadikan kaum bumi putra sebagai bagian integritas kebangsaan
yang utuh dan terikat antara satu insan di bagian lain wilayah Indonesia dengan
insan lain dibagian wilayah lainnya adalah satu. Begitu juga kemelayuan ala
Mahathir sesungguhnya menjadi cikal bakal dari benih nasionalisme Malaysia.
Nasionalisme tidak dapat dibangun keluar dari jati diri setiap bangsa, keluar
dari budaya lokal asli, keluar dari kepribadian asli. Nasionalisme Mahathir
dibangun dari persamaan dari satu wilayah kebangsaan Malaysia, tanpa memandang
keetnisan semuanya berada, berdiri sebagai rumpun melayu.
Menurut
Mahathir sendiri belum cukup memahaminya jika nasionalisme Malaysia yang
mengangkat unsur kemelayuan sebagai poros nasionalisme dianggap sebagai rasis,
karena bagi Mahathir etnis Cina, etnis India, etnis Jawa, atau etnis apapun
jika telah menjadi warga Malaysia adalah dianggap sebagai melayu. Sehingga
tidak perlu melawan melayu atau anti melayu, bahkan sampai memerangi melayu,
karena semua bangsa Malaysia itu adalah truly
Melayu dan melayu itu adalah Malaysia. Jadi bagi Mahathir tidak perlu merasa
sebagai orang yang keluar dari Melayu, karena itu berati bukan bangsa Malaysia.
Bagi Mahathir untuk membangun kebangsaan suatu negeri tdak akan pernah lepas
dari jati dari bangsa Malaysia, atau juga bangsa lainnya. Bangsa itu harus
melepas perasaan berbedanya, perasaan keetnisannya.
Bedanya
antara Soekarno dan Mahathir, Soekarno membentuk rasa kenasionalismean tanpa
membentuk sebuah identitas ras yang mewakili, tetapi membuat
"identitas" baru yang diberi nama bangsa Indonesia, sedangkan
Mahathir walaupun membawa isu yang sama yaitu nasionalisme tetapi dengan sebuah
identitas yang paling mewakili dan dominan yaitu Melayu. Mahathir sendiri tidak
pernah meyebut Melayu sebagai sebuah etnis, suku atau ras tetapi adalah sebagai
sebuah rumpun, rumpun yang mengikat dari berbagai etnis yang seperti di
Indonesia cukup beragam, walaupun keberagaman Malaysia tidak sebanyak di
Indonesia. Inilah yang orang bilang Soekarno adalah Kakaknya Mahathir atau
seniornya Mahathir yang sama-sama membawa isu kebangsaan dan nasionalisme.
Selama 22
tahun kepemimpinannya, Mahathir Mohamad telah mengubah wajah Malaysia. Namun,
corak kepemimpinannya yang visioner itu belum mampu mewujudkan bangsa Malaysia
yang besar tanpa dibayang-bayangi politik rasial.[1]
Kepemimpinan
Mahathir diakui memang spektakuler. Dalam politik Asia Tenggara, Mahathir
mendapat julukan ”Soekarno Kecil” yang mampu memberi corak bukan saja dalam
kepemimpinan nasional Malaysia, tetapi juga sangat diperhitungkan dalam
percaturan politik internasional.
Sejak
terjun dalam politik tahun 1959, Mahathir memperlihatkan sikap ”kurang ajar”
yang selama ini dianggap tabu dalam politik Malaysia. Melalui bukunya, The Malay Dilemma, yang kemudian
dilarang oleh Tunku Abdul Rahman (hal 28), ia menjadi tonggak sejarah dalam
pemikiran perubahan masyarakat Melayu. Dalam kajian politik Malaysia, buku
tersebut dianggap sebagai pembuka jalan untuk mengetahui perjalanan politik
Malaysia ke depan. Kekurangajarannya itu terlihat bahwa ia sering keluar dari
pakem-pakem gaya kepemimpinan Melayu yang santun, sabar, dan hati-hati. Bahkan,
beberapa kebijakannya dianggap sangat kontroversial dan ”tidak Melayu”. Ia
biasa bicara blak-blakan, bahkan tidak jarang menyerang Barat (Amerika
Serikat). Suatu hal yang hampir tidak pernah dilakukan pemimpin Indonesia,
kecuali Soekarno.
Buku The Malay Dilemma karangan Barry Wain
merupakan rekaman seorang jurnalis terhadap perjalanan kepemimpinan Mahathir.
Ada tiga bagian yang semua membicarakan secara kritis peran Mahathir sebagai ”designer” Malaysia hingga menjelang
perpecahan dalam politik UMNO yang ditandai dengan konflik antara Mahathir dan
Anwar Ibrahim. Buku The Malay Dilemma
ini mencatat secara detail peristiwa dan fakta politik sehingga bisa dikatakan
sebagai ”grounded research”. Namun,
bagi para pembaca yang haus akan teori-teori politik, di dalam buku The Malay Dilemma ini tidak akan
dijumpai. Sekalipun demikian, sebagai referensi kajian politik Malaysia, buku The Malay Dilemma ini patut menjadi
acuan penting.
Perdana
Menteri Mahatir Mohamad yang terpilih pada 1981 menempatkan UMNO/pemerintah di
jalur yang lebih berorientasi Islam, dengan memberikan tekanan yang lebih besar
pada Islam baik di dalam negeri maupun di forum Internasional. Mahathir mampu
secara cerdik menyatukam masa lampau dan masa kini, menahan dan mengkooptasi oposisi
Islam, memanfaatkan Islam dalam politik domestik, regional, dan internasional.
UMNO telah menyerukan perlunya mengembangkan masyarakat muslim yang lebih
modern dan kompetitif jika ingin Islam maju pesat di tengah dunia modern.
Pergeseran
politik Islam di Malaysia cukup menarik untuk diamati dan diteliti, khususnya
pada fenomena politik yang dilakukan oleh UMNO dan PAS. UMNO sebagai partai
penguasa yang berbasis etnis Melayu dan Islam bersaing keras dengan PAS sebagai
partai pembangkang (oposisi) yang juga berbasis etnis Melayu dan Islam. Kedua
partai ini mengalami pergeseran politik seiring dengan dinamika politik yang
terjadi di tengah masyarakat. UMNO pada awalnya dikenal sebagai partai sekuler
yang didukung oleh elit partai yang berlatar belakang pendidikan Barat. Dalam
perkembangan berikutnya, UMNO bergeser menjadi partai yang banyak membuat
kebijakan politik yang cenderung menguntungkan etnis Melayu dan umat Islam.
Pergeseran politik UMNO yang semakin banyak menguntungkan umat Islam dan etnis
Melayu terjadi pada masa pemerintahan Mahathir Mohamad. Mahathir Mohamad bahkan
berhasil mengajak Anwar Ibrahim bergabung dengan pemerintah, padahal waktu itu
Anwar dikenal sebagai tokoh ABIM yang sangat keras melakukann kritik pada
penguasa. Kehadiran Anwar Ibrahim sebagai tokoh Islam ke lingkaran pemerintahan
membuat kebijakan politik Islam semakin kuat dan nyata. Banyak kebijakan
politik yang menguntungkan umat Islam dan etnis Melayu pada periode ini.
Diantaranya, didirikan bank Islam, asuransi Islam, universitas Islam
internasional, hingga dukungan besar yang diberikan kerajaan pada kegiatan
dakwah mulai dari tingkat desa hingga nasional.
Malaysia
merupakan kerajaan Federal yang terdiri dari tiga belas negara bagian. Sebelas
diantaranya terletak di Malaysia Barat dan dua di Malaysia Timur.
Jika dilihat dari sejarahnya maka kedatangan Islam dalam proses Islamisasi
Malaysia melalui jalur perdangan para pedangang muslim dan mubaliq dari
Arab dan Gujarat. Pada awal abad 15 berdiri kerajaan Islam Malaka dengan rajanya
Parameswara Iskandar Syah, dengan undang-undangnya yang disebut Undang-Undang
Malaka. Meskipun Malaysia dianggap sebagai sebuah negara muslim yang menyatakan
Islam sebagai agama resmi, namun sesungguhnya ia adalah sebuah negara
pluralitas yang sekelompok minoritas penting penduduknya adalah non muslim.
II.
Tokoh Revolusioner
Mahathir
memang dianggap sebagai tokoh revolusioner yang mampu mengubah mentalitas dan
kultur masyarakat Malaysia. Keinginan menjadikan Malaysia nomor wahid merupakan
obsesinya yang muncul dalam jargon sosial seperti ”Malaysia Boleh” (The Malay Dilemma : hal 183).
Nasionalisme Malaysia tampaknya juga mulai tumbuh pada era Mahathir, meskipun
dalam beberapa hal semangat ini sangat semu.
Meskipun
dianggap ”relatif stabil”, selama kepemimpinan Mahathir sering terjadi gejolak
politik, seolah Mahathir sedang mempertaruhkan jati diri ”ketuanan Melayu” yang
menjadi dasar politik multirasial Malaysia. Bahkan, ada kesan ia ingin
memformat ulang bentuk negara Malaysia menjadi sebuah negara bersatu, stabil,
dan modern. Namun, pada era Mahathir pula benih-benih perpecahan UMNO mulai
terlihat.
Kebijakan pemerintah Malaysia itu antara lain sangat kental dengan dimensi
politis. Pembatasan fungsi masjid dan pengawasan yang berlebihan, hingga hanya
boleh digunakan sebagai tempat ibadah mahdhah saja, seperti shalat dan zakat,
sangatlah tidak bijaksana dan tidak sesuai dengan tujuan dibangunnya masjid itu
sendiri sebagai pusat kegiatan umat Islam. Sejak masa Rasulullah SAW, masjid
telah digunakan sebagai pusat kegiatan ibadah, termasuk bidang politik
(menyusun strategi), pendidikan, sosial, dll.[2]
Selama ini, antara pemerintah berkuasa Malaysia dengan pihak oposisi tengah
terjadi ketegangan, terutama dalam hal “perang informasi”. Akibat adanya
informasi sepihak dari pemerintah melalui pemberitaan dua media massa dan satu
stasiun Televisi, para aktivis partai oposisi yang terdiri dari empat partai
(Partai Keadilan Nasional, Partai Aksi Demokrasi, Partai Rakyat Malaysia dan
Partai Islam se-Malaysia) menggelar aksi protes massal. Ungkapan protes mereka
terpampang dalam spanduk raksasa berukuran kurang lebih 350 kaki. Menurut
panitia pelaksana, spanduk raksasa tersebut bakal masuk ke dalam daftar buku Guinness of Record.[3]
Protes massal yang dilakukan oleh kalangan oposisi tersebut, ditujukan
untuk menyelamatkan Hak Asasi Manusia, setelah adanya penangkapan beberapa
tokoh politik, termasuk penangkapan terhadap Mantan Deputi Perdana Menteri,
Anwar Ibrahim pada bulan April 1999 lalu. Pihak oposisi pemerintah menyatakan
bahwa penangkapan tokoh-tokoh itu merupakan tindakan untuk “membantai” seluruh
figur oposisi yang dianggap membahayakan pemerintah.
Selain itu, dalam protes massal
tersebut juga dinyatakan bahwa mereka akan memboikot sejumlah media massa yang
jelas-jelas berpihak kepada pemerintah, bukan berpihak kepada rakyat dan
kebenaran. Media massa yang disinyalir berpihak kepada pemerintah tersebut
adalah dua surat kabar, yakni Utusan
Malaysia (berbahasa Melayu) dan New
Straits Times (berbahasa Inggris) dan sebuah stasiun televisi, yaitu TV3. [4]
Rustam Sani, seorang juru bicara
barisan protes tersebut menyatakan keprihatinannya dengan menyatakan bahwa
koran di Malaysia telah menjadi milik dan diawasi pemerintah. Dengan demikian sangat memungkinkan
adanya liputan-liputan yang bias tentang oposisi. Sebagai contoh, pemberitaan
media massa yang dekat dengan pemerintah tersebut telah menciptakan image buruk tentang adanya peran oposisi
yang seolah-olah menyebabkan kondisi instabilitas dan kekacauan negara.
Terbentuknya
puak-puak Melayu tampaknya merupakan gejala biasa pada era Mahathir sehingga
UMNO hampir terancam hilang dalam politik Malaysia. Perlu dicatat bahwa
kepemimpinan Mahathir di UMNO bukanlah tanpa cacat. Dalam politik Malaysia, ia
dianggap telah ”mematikan” tiga generasi yang seharusnya ditandai dengan
perubahan kepemimpinan nasional. Ini dapat dilihat ketika Musa Hitam, Gafar
Baba, Anwar Ibrahim, yang ketika menjadi wakil perdana menteri, gagal menjadi
orang nomor satu di Malaysia.
Di sisi
lain, melalui Look East Policy,
Mahathir menginginkan bukan saja berbagai proyek industri raksasa, industri
otomotif Proton misalnya, tetapi juga menginginkan perubahan mentalitas
birokrat Melayu. Kedisiplinan dan kemampuan bersaing baik dalam mengatasi
ketertinggalan etnis Melayu dengan etnis lain maupun bertarung dalam dunia
internasional menjadi perhatiannya.
Terbukti,
Dasar Ekonomi Baru (New Economic Policy),
dasar kebijakan ekonomi Malaysia sejak tahun 1971, berhasil membawa perubahan.
Penguasaan ekonomi orang Melayu telah mendekati 30 persen. Meskipun hal ini
juga diperkuat oleh kebijakan-kebijakan ekonomi Mahathir yang memprioritaskan
orang Melayu, baik itu melalui perbankan, perlindungan bisnis orang Melayu
maupun bentuk-bentuk kebijakan lainnya yang sebenarnya sangat rasialis (The Malay
Dilemma :hal 124). Kini pengusaha Melayu yang sebelumnya tidak mendapat
tempat sekarang sudah patut diperhitungkan.
Meskipun
bukan murni ide Mahathir, karena sejalan dengan visi PBB, Visi 2020 sebagai
kelanjutan dari Dasar Ekonomi Baru (DEB) memperkuat posisi ekonomi Malaysia.
Perubahan besar dalam bidang ekonomi, pertanian, perbankan, dan pengembangan
infrastruktur menjadikan Malaysia berbeda sama sekali. Kehadiran Putra Jaya sebagai pusat birokrasi
Malaysia-dengan supermultimedianya-juga membuat Malaysia sebagai negara yang
efisien dan efektif.
Terbentuknya
kelas menengah sebagai keberhasilan DEB secara tidak langsung memang membawa
dampak terhadap proses pertumbuhan politik Malaysia. Salah satu yang mencolok
adalah munculnya politik uang dalam beberapa proses politik internal UMNO,
terutama dalam suksesi kepemimpinan nasional. Tanpa disadari sejak era
Mahathir-lah politik uang menjadi panglima dalam pergantian kepemimpinan
nasional. Politik uang ini bukan saja merusak sendi-sendi demokrasi, tetapi
telah mempertajam keretakan politik nasional. Dapat dikatakan hampir pada
setiap kongres UMNO, perpecahan elite Melayu selalu membayangi. Mungkin tidak
terlalu salah jika dikatakan Mahathir mampu bertahan dari kekuasaannya justru
melalui politik uang tersebut.
III. Fenomena Komunikasi Politik
Konsep
komunikasi politik merupakan salah satu konsep di dalam kajian ilmu sosial yang
cukup rumit. Bukan saja karena konsep ini berada di dalam bidang irisan antara
ilmu politik dan ilmu komunikasi, masing masing unsur konsep yaitu komunikasi dan
politik pun juga mempunyai kerumitan sendiri.
Konsep politik misalnya mengandung multi makna. Politik mengandung makna
kekuasaan dan pengaruh. Ia juga mempunyai arti yang menunjukkan proses
pembuatan keputusan untuk mengalokasi barang-barang sosial, menegakkan hukum,
hak dan kewajiban. Bagaimana proses ini dapat berjalan di dalam masyarakat maka
perlu adanya komunikasi. Politik mempunyai hubungan erat dengan komunikasi.
Politik tanpa komunikasi ibarat darah tanpa urat nadi.[5]
McNair misalnya mengatakan bahwa setiap penulis buku komunikasi politik
pasti akan mengawali tulisannya bahwa bidang kajian komunikasi politik adalah
sulit untuk didefinisikan. Walaupun demikian pendefinisian komunikasi politik
tetap dilakukan. Denton dan Woodward menyebut bahwa komunikasi politik sama
dengan diskusi publik tentang alokasi sumber-sumber publik. Selanjutnya
dikatakan: “Political communication is
public discussion about the allocation of public resources (revenues), official
authority (who is given the power to make legal, legislative and executive
decision) and official sanctions (what the state rewards or punishes).” [6]
Selanjutnya
Denton dan Woodward mencirikan komunikasi politik sebagai intensi dari pengirim
pesan untuk mempengaruhi lingkungan politik. Selanjutnya mereka mengatakan: “the
crucial factor that makes communication ‘political’ is not the source of a
message (or, we might add, referring back to their earlier emphasis on ‘public
discussion’, its form), but its content and purpose”.[7]
Secara
ringkas komunikasi politik adalah komunikasi yang mempunyai tujuan-tujuan
politik. Komunikasi semacam ini menyangkut tiga hal sebagai berikut :
All forms of
communication undertake by politicians and other political actors for the
purpose of achieving specific objective.
Communication
addressed to these actors by non-politicians such as voters and newspaper
columnists, and
Communication about
them and their activities, as contained in news reports, editorials, and other
forms of media discussion of politics.[8]
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi politik
merupakan hubungan tiga elemen yang berproses dimana aktivitas politik
diwujudkan. Ketiga elemen itu adalah (1) organisasi-organisasi politik (partai,
institusi pemerintah, kelompok penekan); (2) aktor-aktor politik yaitu
individu-individu yang memberi inspirasi melalui sarana-sarana organisasi dan
institusi untuk mempengaruhi pembuatan keputusan politik; dan (3) adalah
masyarakat dan media.[9]
Komunikasi politik merupakan fenomena yang serba hadir, ia dapat hadir
dimana-mana, diberbagai macam level termasuk di level internasional. Maka
dengan demikian, komunikasi politik pun juga dapat hadir di level komunikasi
internasional.
Disisi lain, komunikasi internasional adalah konsep yang mengacu pada
penelitian yang mencakup studi tentang berbagai ragam bentuk interaksi secara
global, termasuk komunikasi global melalui mass media, komunikasi antar budaya
dan kebijakan telekomunikasi. Selanjutnya di jelaskan:
“International communication is the name
given to a field of inquiry that includes the study of various forms of
interaction globally, including global communication via mass media,
cross-cultural communication, and telecommunications policy. Therefore, by its
very nature, international communication is an interdisciplinary field of
study, utilizing concepts, research methods, and data from areas as diverse as
political science, sociology, economics, literature, and history”.[10]
Lapangan penelitian
ini mempunyai dua dimensi yakni studi kebijakan dan mengenai studi budaya.
Studi kebijakan menyangkut analisis tentang
bagaimana aksi atau kegiatan dari unit pemerintah mempengaruhi komunikasi
internasional. Sedangkan pendekatan studi budaya lebih cenderung
meneliti hubungan antara budaya dengan komunikasi internasional.
IV. Kasus Pulau Terumbu Layang-Layang
Untuk
memudahkan, Pulau Terumbu Layang-Layang (Swallow Reef) adalah pulau
karang kecil di Kepulauan Spratly. Saat ini Pulau
Terumbu Layang-Layang sedang dikelola oleh pemerintah Malaysia sebagai
pusat ekowisata. Pusat wisata ini sedang agresif dikembangkan, dan telah
menjadi pulau pertama di Laut Cina Selatan yang dibuka untuk umum.
Pulau Terumbu Layang-Layang adalah sebuah atol
yang kadang-kadang berada di bawah permukaan laut yang terpencil di Laut Cina Selatan, 306
km di sebelah barat laut Kota Kinabalu, ibukota Sabah. Letaknya tepat pada
7°22'23.48"N dan 113°50'46.23"E. Para ahli kelautan mengatakan bahwa
di Pulau Terumbu Layang-layang terdapat 30 rangkaian karang yang membentuk atol
sepanjang 7,3 km dan lebar 2,2 km, dan merupakan bagian dari kawasan yang disebut sebagai Gugusan Semarang Peninjau (GSP).
GSP ini terdiri dari beberapa terumbu karang di Kepulauan Spratley bagian
selatan yang berada dalam kawasan Zona ekonomi Ekslusif (ZEE) Malaysia dan
berada di landas kontinen Malaysia. ZEE ini adalah ketentuan dalam United Nations Convention of Law of the Sea
tahun 1982 (UNCLOS 1982/ Konvensi PBB tentang Hukum Laut) yang menyatakan bahwa
negara pantai berhak memanfaatkan kekayaan laut tidak melebih 200 mil laut dari
garis pantai.[11]
Sejak dulu pulau ini tidak didiami manusia dan yang mendiami adalah kawanan
burung besar dari berbagai species. Pulau ini telah menjadi sarang burung sejak
ribuan tahun terutama burung layang-layang (swallow)
dan karena itu pelayar dan nelayan yang melintasi pulau ini menyebut sebagai
Pulau Layang-Layang (Swallow Island). Karena
sejumlah besar burung yang bersarang di sini, pulau ini menyuguhkan tontonan
alam yang unik dan menarik. Laut disekitar pulau ini sangat kaya akan berbagai jenis
ikan.
Malaysia
mulai menduduki Pulau Terumbu Layang-Layang sejak tahun 1983 dan menempatkan
sebuah garninsun militer untuk menjaganya. Sejak itu pembangunan infrastruktur
dikerjakan dan pada tahun 1993 landasan pesawat terbang selesai dibangun.
Perdana Menteri Mahatir Mohammad kemudian berkunjung ke sana dan bertekad
mengembangkan pulau tersebut sebagai resort pariwisata. Setahun kemudian
setelah sarana dan prasarana sebagai sebuah resort
wisata yang baru selesai dibangun, pulau ini resmi dibuka untuk umum.[12]
Pemerintah Malaysia telah membentuk sebuah cagar alam untuk melestarikan
ekologi alam dengan menyediakan burung laut dengan habitat yang cocok. Selain
itu juga menjaga kelestarian terumbu karang yang terdapat di wilayah ini. Selain
itu pemerintah Malaysia telah membangun tempat khusus menyelam
bagi wisatawan, membangun infrastruktur pariwisata antara lain penyulingan air laut
menjadi air tawar, peralatan pembangkit tenaga listrik dengan tenaga angin dan
matahari dan lain sebagainya yang menggunakan standar internasional. Selain
itu, pemerintah juga menyediakan pemandu wisata yang profesional sehingga Pulau
Terumbu Layang-Layang ini berangsur-angsur menjadi terkenal
di peta pariwisata internasional.[13] Di antara semua pulau-pulau di Laut China Selatan, Pulau terumbu Layang-Layang adalah satu-satunya pulau di mana pariwisata internasional diizinkan dibuka untuk umum, dan menghasilkan devisa buat Malaysia
serta mempunyai aspek strategis, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa Malaysia berdaulat di pulau tersebut dan
membuat sedemikian rupa sehingga pulau ini tidak menjadi pulau yang terlantar.
Pulau ini juga dimasukkan ke dalam wilayah administratif Malaysia.[14] Selain itu,
pemerintah
Malaysia
telah
secara bertahap
memperluas
wilayahnya dengan perlahan-lahan menempati beberapa pulau
di
sebelah utara
Pulau Terumbu Layang-Layang. Sekarang Malaysia sedang mempersiapkan untuk mengembangkan
pulau-pulau tersebut seperti di Pulau Terumbu Layang-Layang dan menyatakan kedaulatan
atas
pulau-pulau tersebut guna memperkuat kehadiran Malaysia di Laut Cina Selatan.[15]
Malaysia termasuk pemain baru dalam sengketa di Kepulauan Spratly. Malaysia
memasuki sengketa ini pada tahun 1979 ketika Pemerintah Malaysia menerbitkan
peta resmi yang mencakup bagian selatan Kepulauan Spratly sebagai bagian dari
landas kontinen maupun Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang masuk dalam kedaulatan
Malaysia. Kepulauan Spratly bagian selatan ini termasuk Pulau Terumbu
Layang-Layang.
Argumen Malaysia tampaknya dapat diterima berdasarkan prinsip hukum
internasional. Walaupun demikian, UNCLOS 1982 masih meninggalkan lubang yang
multitafsir. Beberapa pulau yang diklaim Malaysia berdasarkan prinsip landas
kontinen masih terbuka untuk diperdebatkan karena UNCLOS 1982 tidak memberikan
jaminan hak kedaulatan kepada negara pantai atas pulau yang berada di landas
kontinennya. Demikian pula definisi pulau menuntut UNCLOS 1982 dapat
menggugurkan Terumbu Layang-Layang sebagai pulau. UNCLOS 1982
mengatakan bahwa pulau: ”a naturally
formed area of land, surrounded by water, which is above water at high tide”.[16]
Adagium ini menunjukkan bahwa karang dan pulau buatan manusia tidak masuk dalam
pengertian pulau yang diatur dalam UNCLOS 1982 sehingga tidak dapat mempuyai
ZEE 200 mil laut.
Tidak ada yang tahu berapa banyak jumlah pulau di Kepulauan Spratly secara
persis. Kepulauan ini terdiri dari lebih 235 pulau kecil, karang dan daratan
yang berupa gundukan pasir yang 148 diantaranya telah mempunyai nama. Walaupun
Kepulauan Spratly tidak cocok untuk mendukung kehidupan manusia, wilayah ini
mempunyai tiga aspek penting sehingga menarik negara-negara di sekitarnya untuk
bersaing menyatakan kedaulatannya. Tiga aspek penting itu adalah lingkungan,
sumber-sumber alam dan lokasi geografis.
Menurut Marwyn S. Samuel, Kepulauan
Spratly dapat digolongkan menjadi tiga area. (1) area Spratly Barat; (2) Beting
Selatan; (3) adalah Daerah Bahaya. Daerah ini terdiri dari gugusan karang yang
tenggelam ketika air pasang naik sehingga sangat membahayakan kapal yang lewat.
Banyak kapal yang kandas di daerah perairan ini.[17]
Pada intinya, sengketa Kepulauan
spratly muncul karena ketidakjelasan kedaulatan dan batas-batas yurisdiksi
wilayah laut. Ketidakjelasan tersebut berakar pada sejarah yang lama, walaupun
faktor sejarah bukanlah faktor yang penting untuk mendukung klaim kedaulatan.
Wilayah ini diklaim seluruhnya oleh China, Taiwan, Vietnam dan sebagian wilayah
oleh Philipina, Brunei dan Malaysia.
Dasar klaim China, Taiwan dan
Vietnam adalah faktor sejarah. Sejak zaman dulu, berdasarkan fakta-fakta
peninggalan sejarah, pulau-pulau ini berada di wilayah kerajaan mereka. Bahkan
fakta yang dikemukakan China dan Taiwan sejak dinasti Han bahkan jauh sebelum
masehi pulau-pulau ini menjadi persinggahan nelayan kerajaan Han.[18]
Sedangkan Philipina, Malaysia dan Brunai mengklaim berdasarkan pada
ketentuan UNCLOS yakni landas kontinen dan ZEE. Philipina menambahkan pembenar
dalam mengklaim pulau tersebut dengan asas penemuan. Ketika ditemukan oleh
nelayan Philipina, pulau tersebut tidak ada penghuninya. Selain itu, Philipina
menambahkan bahwa pulau-pulau tersebut terletak lebih dekat dari segi jarak ke
Philipina ketimbang negara lainnya.[19]
V. Strategi komunikasi politik internasional
Malaysia
memasuki sengketa wilayah dengan beberapa negara tetangganya ketika tanggal 21
Desember 1979 menerbitkan peta dengan nama “Peta Baru Menunjukkan Sempadan
Perairan dan Pelantar Benua Malaysia”. Peta Baru ini menunjukkan batas wilayah
perairan Malaysia dan batas batas landas kontinennya. Peta ini juga menunjukkan
bahwa bagian selatan Kepulauan Spratly masuk dalam wilayah yurisdiksi Malaysia.
Penerbitan
Peta Baru ini semacam pengumuman baik kepada rakyat Malaysia maupun kepada
dunia internasional mengenai batas wilayah laut Malaysia. Penerbitan peta ini
kemudian disusul dengan perangkat aturan yang lebih mendetail seperti aturan
tentang ZEE.[20]
Terbitnya
Peta Baru ini kemudian membawa persengketaan dengan negara tetangga Malaysia
karena apa yang diklaim Malaysia dalam Peta Baru ternyata overlapping dengan pemilikan negara lain. Sebagai contoh mengenai pulau Sipadan dan Ligitan serta Pulau Batu Puteh.
Pulau Sipadan dan Ligitan menurut peta baru adalah milik Malaysia. Namun di
sisi lain dua pulau ini juga merupakan milik Indonesia. Sengketa antara
Malaysia dan Indonesia pun muncul. Akhirnya kedua belah pihak setuju untuk
mengakhiri sengketa dengan membawa masalah ke Mahkamah Internasional di Den
Haag yang kemudian dimenangkan oleh Malaysia. Demikian pula sengketa pulau Batu
Puteh antara Malaysia dengan Singapura. Sengketa ini kemudian dimenangkan oleh
Singapura oleh Mahkamah Internasional.
Sengketa yang belum selesai adalah
sengketa di Kepulauan Spratly. Penyelesaian sengketa yang masih mengambang dan
status quo memberi peluang bagi Malaysia untuk membangun sarana dan prasarana
di kepulauan yang disengketakan itu. Pendudukan/Pembangunan sarana dan
prasarana ini penting untuk menunjukkan bahwa Malaysia secara nyata
mengembangkan pulau tersebut sehingga tidak terlantar dan efektif menjadi
elemen penting jika seandainya kasus sengketa ini dibawa ke Mahkamah
Internasional. Ada beberapa faktor yang menggerakkan klaim Malaysia di selatan
Kepulauan Spratly. Dua faktor utama adalah keamanan nasional dan nilai ekonomi
dari sumber daya laut.
Semenjak diterbitkannya Peta Baru tahun 1979, Malaysia mempunyai sengketa
perbatasan laut dengan beberapa negara tetangga. Oleh karena itu sejak 1990,
fokus pembangunan kekuatan pertahanan Malaysia bertumpu pada matra laut
daripada di darat karena sumber ancaman telah bergeser dari darat ke laut. Seorang
analis, JN Mak, mengatakan: “the new
arena of regional tension was now the sea…. The dispute in the Spratly, to
which Malaysia is a party, seemed to emphasize the need for maritime forces”.[21]
Kerentanan
pertahanan Malaysia memang berada di laut mengingat panjangnya garis pantai
yang dimiliki baik di semenanjung maupun di Kalimantan utara. Kedua bagian ini
dipisah oleh Laut China Selatan. Faktor lainnya adalah kebutuhan untuk
monitoring dan melindungi sumberdaya laut di dalam wilayah ZEE yang mencakup
seluas 475,600 km2.[22]
Dalam Rencana Pembangunan Malaysia ke Enam (1991-1995) sebanyak 6 juta
ringgit dialokasikan untuk sektor pertahanan, sebagian untuk membiayai
kemampuan dan efisiensi negara untuk mengkontrol dan menjaga ZEE. Pada tahun 1993 alokasi dana pertahanan melompat menjadi 8,4 juta ringgit
dan mencapai 9,2 juta ringgit pada akhir rencana. Alokasi dana pertahanan ini
meningkat 53% dari alokasi semua sektor. Pada Rencana Pembangunan Ke Tujuh
(1996-2000) sebanyak 7 juta ringgit dialokasikan untuk sektor pertahanan tetapi
secara aktual pengeluarannya mencapai 9,5 juta ringgit atau meningkat 35%. Pada
Rencana Pembangunan Ke Delapan (2001-2005) dialokasikan 8,7 Juta ringgit untuk
sektor pertahanan.[23]
Faktor kedua adalah faktor ekonomi. Kepulauan Spratly
dan wilayah laut di sekitarnya dipercaya kaya akan minyak dan gas bumi. Pada
bulan Mei 1989, koran geologi China mengutip laporan penelitian yang dibuat
oleh Kementerian Geologi dan Sumber Mineral China yang mengatakan bahwa
kandungan minyak di wilayah ini mencapai 130 juta barrel. Jumlah ini dapat
dibandingkan dengan 112 juta barel di Irak yang merupakan peringkat kedua dari
cadangan minyak kedua setelah Arab Saudi. China juga mengestimasi wilayah ini mengandung
2000 trilyun kubik cadangan gas alam. Oleh karena itu China menganggap
Kepulauan Spratly dan Laut China Selatan sebagai “Teluk Persia Kedua”.[24]
Walaupun
demikian, eksistensi jumlah sumber-sumber alam masih belum diketahui secara
tepat. Pada tahun 1995, Institut Penelitian Geologi untuk Luar Negeri Rusia
mengestimasi bahwa wilayah Spratly hanya mempunyai kandungan 6 sampai 7,5 juta
barel minyak dan 70% diantaranya adalah gas alam. Penelitian lain yang
dilakukan perusahaan Norwegia TGS Nopec mengatakan bahwa wilayah Spratly
kemungkinan mengandung cadangan hidrokarbon yang cukup besar. Seberapa besar kandungan hidrokarbonnya secara tepat perlu dibuktikan
dengan mengebor dasar laut. Sayangnya, banyak kesulitan untuk mengebor karena
faktor resiko geologi dan sengketa kedaulatan di wilayah ini.[25]
Selain minyak dan gas, Kepulauan Spartly juga kaya akan guano dan fosfat
serta kaya akan jenis ikan yang mampu memasok sumber protein rakyat Malaysia,
selain itu wilayah laut-pun mempunyai keindahan akan biota laut serta
serangkaian terumbu karang, wilayah ini menjadi objek ekowisata di Malysia dan
bahkan terkenal di dunia.[26] Kamar Dagang dan
Industri Jerman pernah melaporkan pada tahun 2002 bahwa Kepulauan Spratly kaya
akan mangaan, tembaga, kobalt dan nikel. Dari letak geografis pulau-pulau yang
diklaim Malaysia ini berdekatan dengan Brunei dimana Brunei adalah penghasil
minyak, maka pulau-pulau ini diduga kuat mengandung potensi minyak dan gas
bumi.[27]
Sejak 1970 produksi migas lepas pantai di semananjung, Sabah dan Serawak
menjadi pendapatan penting bagi Malaysia dan meningkat secara signifikan. Tahun
1980 minyak dan gas bumi telah mengganti karet sebagai ekspor utama Malaysia.
Tahun 1995 sektor minyak dan gas bumi ini mencapai 33% pendapatan pemerintah.
Malaysia kemudian membangun pertahanan di sekitar pulau-pulau yang diklaimnya
tersebut untuk melindungi kepentingan ekonominya dan integritas wilayah.[28]
Tujuan dari klaim Malaysia terhadap Pulau Terumbu Layang-Layang adalah
untuk keberlangsungan eksistensi Malaysia sebagai suatu negara. Keberlangsungan
(survival) ini berangkat dari dimensi
keamanan, integritas wilayah, ekonomi dan martabat (prestise) nasional. Sebagai pembenar klaim terhadap Pulau Terumbu
Layang-Layang ada dua alasan. (1) Pulau
Terumbu Layang-Layang berada di landas kontinen Pulau Kalimantan milik
Malaysia. (2) Pulau ini masih terletak dalam jangkauan Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) Malaysia. Dua alasan inilah yang dipergunakan Malaysia untuk meyakinkan
dunia internasional bahwa pulau tersebut adalah miliknya.
Cara untuk mengkomunikasikan kebijakan pengklaiman Pulau Terumbu
Layang-Layang adalah menuangkan dalam peta resmi pada tahun 1979 dengan nama
Peta Baru. Pada Peta Baru tersebut terlihat jelas posisi Pulau Terumbu
Layang-Layang dan gugusan Kepulauan Spratly bagian selatan yang masuk dalam
wilayah Malaysia. Berdasarkan Peta Baru yang dipublikasikan terbuka ini
kemudian dibuat aturan-aturan pemerintah yang lebih rinci misalnya tentang
ketentuan ZEE.
Pengambilan keputusan untuk suatu kebijakan dilakukan oleh pemerintah.
Untuk kasus Pulau Terumbu Layang-Layang, inisiatif dan pengambilan keputusan
dilakukan oleh Kantor Perdana Menteri.
Berkaitan dengan klaim Pulau Terumbu Layang-Layang, Departemen Pertahanan
menempatkan fasilitas militer dan pasukan di pulau tersebut, sedangkan
Departemen Luar Negeri akan menangani protes yang akan dilancarkan oleh negara
tetangga akibat keputusan tersebut.
Hal yang lebih penting adalah publikasi dari keputusan tersebut. Hal ini
tidak sulit dilakukan karena pemerintah masih memegang kendali terhadap media
massa. Apa yang dilakukan pemerintah di Pulau Terumbu Layang-Layang, terutama
menjadikan tempat ekowisata diberitakan secara memadai. Lembaga-lembaga
pengkajian swasta semacam ISIS dan MIMA mempunyai peran penting dalam pembuatan
keputusan terutama dalam analisis-analisis mereka sebelum keputusan diambil.
Selain jalur media massa, keputusan yang diambil dituangkan dalam bentuk
peta maupun peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh aparat birokrasi
sehingga seluruh aparat birokrat dianggap mengetahui. Secara demikian, ketika
keputusan diambil pada level tertinggi maka level di bawahnya akan otomatis
mensosialisasi dan mengimplementasikannya.
Malaysia memandang penting penguasaan fisik terhadap wilayah yang diklaim
dan tidak berhenti ketika pembuatan peta dan pengambilan keputusan selesai.
Penguasaan fisik dalam bentuk pembangunan sarana pariwisata dan sarana militer
akan sangat bermanfaat untuk menjadi nilai tambah dan membangunan opini publik
sekaligus menjadi daya penggentar bagi negara-negara yang mempersengketakan
pemilikan pulau tersebut.
VI. Komunikasi Politik dan Strategi Politik
Komunikasi politik biasanya menggunakan dua sistem
komunikasi dominan, yaitu media massa modern dan sistem komunikasi tradisional. Untuk mempengaruhi masyarakat, maka perlu untuk memilih sarana komunikasi
yang tepat, sesuai dengan keperluan dan kepada siapa pesan politik ingin
disampaikan.
· Demokrasi
Demokrasi ala Malaysia mampu membawa ke arah
kesejahteraan karena demokrasi bukan sebagai suatu ancaman, melainkan menjadi
alat atau sistem untuk kesejahteraan rakyat. (Mahathir Mohamad).[29]
Mahathir
Mohamad mantan PM Malaysia yang juga menjadi founding fathers
perpolitikan Malaysia meramu demokrasi ala sistem monarki. Namun, walaupun
mengadopsi konsep monarchy dengan sistem kerajaan, tetapi bukan sistem
feodal seperti dahulu menurutnya.
Menurut
Mahathir, dengan sistem tersebut, demokrasi ala Malaysia itu dipahami bahwa
raja tidak mempunyai kekuasaan sama sekali, namun dalam menjalankan pemerintahannya
mendapat nasihat dari pemimpin-pemimpin pilihan rakyat. Para pemimpin tersebut,
lanjutnya, berperan menghubungkan raja dan rakyatnya agar keduanya tidak
bertentangan. Hal seperti ini juga dianut Inggris yang muara dari kekuasaan itu
untuk kesejahteraan rakyat.
Mahathir
pun secara tegas berpikir bahwa demokrasi tidak cocok dengan Malaysia jika
diterapkan secara murni (mengadopsi secara mentah nilai-nilai demokrasi dari
Barat). Harus ada upaya untuk membentuk sebuah sistem demokrasi yang sesuai
dengan kondisi Malaysia. Menuruntya, oposisi hanya omong dimulut saja akan
membentuk sistem demokrasi, tetapi setelah mereka berkuasa nanti, hal yang
sama juga akan diterapkan di Malaysia.
Bagaimanapun
juga demokrasi menurut Mahathir harus bisa membawa kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat bukan malah menyengsarakan.
VII.
Islam dalam
Politik Malaysia
Malaysia
menyuguhkan suatu pengalaman Islami yang unik. Malaysia adalah sebuah
masyarakat multietnik dan multiagama, namun mempunyai kekuatan politik dan
budaya yang dominan. Sejak priode awal, Islam mempunyai ikatan erat dengan
politik dan masyarakat. Islam merupakan sumber legitimasi bagi para Sultan yang
memengang peran sebagai pemimpin agama, pembela iman, dan pelindung hukum
Islam, sekaligus pendidikan dan nilai-nilai adat.[30]
Suatu
ciri khas dalam perkembangan politik Malaysia adalah peran Islam dalam politik
Melayu. Malaysia merupakan federasi negara-negara bagian, sebuah pemerintahan
yang resmi bersifat pluralitas dengan Islam sebagai agama resmi. Pluralisme dan
hubungan agama dengan indetitas nasional Melayu menjadi isu politik ketika
Malaysia tengah berjuang merebut kemerdekaan pada periode pasca-Perang Dunia
II. Usulan awal Inggris bagi Serikat Melayu bersatu dengan kesamaan hak warga
negara bagi semua orang ditolak oleh bangsa Melayu, yang mengkhawatirkan
pertumbuhan populasi, kekuatan ekonomi, serta pengaruh komunitas Cina dan
India, yang telah menikmati tingkat ekonomi dan pendidikan yang lebih
tinggi dibandingkan kaum muslim Melayu. Ketengagan-ketegangan internal
yang diakibatkan oleh dikotomi etnik dalam masyarakat Malaysia meledak pada
tahun 1969. Kerusuhan etnik antara orang-orang Melayu dan Cina di Kuala Lumpur
menandai titik balik dalam politik Malaysia. Sementara kaum muslimin melayu,
yang kebanyakan tinggal di pedesaan dan bertani, mendominasi pemerintahan
dan politik. Komunitas-komunitas Cina dan India yang berbasis kota meraih
kemakmuran dan menonjol dibidang ekonomi dan pendidikan. Ketegangan ekonomi
Malaysia akibat adanya kesenjangan yang begitu besar dan semakin terasa
kehadirannya, dan meningkatnya kehidupan orang-orang asing itu, menyulut
kerusuhan anti Cina.[31]
Secara
historis, Islam sudah menjadi bagian dari wilayah-wilayah tradisional Melayu
sejak zaman kesultanan Malaka. Islam sudah menjadi hak yang paten, meskipun
cenderung naik-turun. Dari zaman kolonial sampai tercapainya kemerdekaan,
Islamisasi orang-orang Melayu berlangsung secara bertahap opolusioner, tidak
merata, namun berjalan dinamis. Ini disebabkan karena pengaruh penjajahan
Inggris. Di samping itu, pengaruh modernisasi sedikitnya telah membawa sikap
pro-kolonialisme baik di kalangan mereka yang berpendidikan sekuler maupun
agama.
Di
Malaysia, tokoh pertama yang menyerah pada tekanan peradaban Barat modern dan
mudah bekerjasama dengan pemerintah kolonial adalah Abdullah Munshi
(1796-1854). Ia tidak hanya membantu para penguasa Inggris, tetapi ia juga
banyak membantu pendeta dan missionaris Kristen dalam menerjemahkan Injil ke
dalam bahasa Malaysia. Yang mengherankan, sikap pro-kolonialisme juga
diperlihatkan mereka yang berpendidikan agama dan terkenal dalam sejarah karena
sikap anti kolonialnya. Di antaranya ialah Sayid Syekh al-Hadi yang terkadang
ekstrem dalam mendukung Inggris.[32]
Pada
dekade 1970 dan 1980-an kebangkitan Islam di Malaysia semakin terasa
dimana perpaduan antara kepentingan agama, ekonomi dan kebudayaan saling
berbarengan. Pada saat itu pemerintah menjalankan program reformasi ekonomi
dengan sasaran meningkatkan usaha orang-orang Melayu dan penduduk bumi
putra. Meskipun fokus utama program itu adalah pembangunan sosio-ekonomi
Melayu, promosi bahasa dan nilai-nilai budaya melayu semakin memperkokoh ikatan
agama dan etnik. Proses yang bertumpuh pada bahasa Melayu, sejarah, kebudayaan,
dan agama, memperkuat solidaritas Melayu. Nasionalisme Melayu dan Islam
merupakan unsur terpenting dalam identitas budaya Melayu, hal ini menjadi
kekuatan ideologi dan politik yang besar.
Sebagaimana
diketahui sejak kemerdekaannya dari Inggris pada tanggal 16 September 1963,
pemerintahan dikuasai oleh Barisan Nasional sebuah koalisi beberapa partai
diantaranya yang terkuat adalah UMNO (United Malaya National Organization),[33]
yang memimpin Front Nasional menikmati politik graduasi serta memasukkan secara
selektif nilai-nilai keislaman ke dalam kebijakan pemerintah dan tetap
menjunjung tinggi konsitusi Malaysia.[34]
Peranan
politik Islam di Malaysia lebih tampak sekitar tahun 1980-an PAS,[35]
yang setiap kampaye politiknya menyerukan untuk membentuk negara Islam dan
memperjuangkan terwujudnya sebuah masyarakat dan pemerintahan yang terlaksana
di dalamnya nilai-nilai Islam, hukum-hukum menuju keridhaan Allah,
mempertahankan kesucian Islam, serta kemerdekaan dan kedaulatan negara. Para
pemimpin PAS juga sering mengemukan visi dan misinya tentang sebuah negara Islam
Malaysia yang menerapkan hukum Islam berdasarkan Alquran dan Sunnah Nabi.
Karena visi dan misinya itulah, PAS mendapat cap sebagai partai Islam
fundamentalis bahkan kelompok garis keras Islam.[36]
Partai ini banyak mendapat dukungan dari masyarakat yang dinominasi oleh
orang-orang muslim seperti di Kelantan, Trengganu, Kedah dan Perlis.
Sekalipun
sebelumnya Malaysia telah mempunyai sejumlah organisasi terkemuka, namun
perkembangan politik pasca 1961 memunculkan organisasi Islam yang mengacu
bukan hanya pada usaha untuk mengislamkan orang-orang non muslim,
melainkan juga menyuruh kepada orang-orang muslim sendiri untuk lebih
taat menjalankan ajaran agama. Orginisasi tersebut adalah Darul Arqam
yang didirikan pada tahun 1968 oleh Ustad Ashaari Muhammad dimana
menekankan pentingnya membangun suatu masyarakat Islam sebelum mendirikan
negara Islam. Sementara itu, garakan dakwah terkemuka dan yang paling efektif
dan berhasil secara politis pada 1970-an dan awal 1980-an adalah Angkatan Belia
Islam Malaysia (ABIM). Berdiri pada tahun 1971-1972 merupakan hasil pergumulan
berbagai peristiwa, isu, dan kepedulian untuk memupuk semangat
kebangkitan agama pada umumnya dan memobilisasi pemuda pada khususnya. Di
bawah kepemimpinan kharismatik salah seorang pendirinya, Anwar Ibrahim
(1974-1982).
Sebagaimana
halnya negara mantan jajahan Inggris, maka isu-isu yang dominan adalah
sekularisme. ABIM dengan tegas menolaknya dengan segala unsur dan
embel-embelnya. Menurut Anwar Ibrahim bahwa akibat penjajahan pikiran dan
penerapan sekularisme di Malaysia, agama Islam hanya menjadi agama ritual
belaka yang jauh dari aspek sosial dan politik.[37]
Seperti
gerakan-gerakan Islam di banyak bagian dunia muslim lainnya, ABIM mendukung
negara yang berorientasi Islam sebagai koreksi atas sekularisme dan
perkembangan yang berorentasi Barat. Meskipun belum mengeluarkan pernyataan
resmi mengenai berdirinya sebuah negara Islam, ia menyerukan dilaksanakannya
hukum dan nilai-nilai Islam. Namun ABIM tetap konsisten dalam pengakuan dan
penerimaan bahwa Malaysia merupakan sebuah negara multi etnik dan multi agama.[38]
Fenomena
keislaman di negeri Jiran ini, telah merasuk dalam berbagai
elemen dan segmen kehidupan sosial masyarakat. Bukti dari hal tersebut
antara lain; Pembentukan Bank Islam, sistim Asuransi Islam, Universitas Islam
Internasional, penyempurnaan administrasi keagamaan Islam dan pengadilan
syari’ah, diberlakukan aturan dan undang-undang yang mencerminkan nilai dan
ajaran Islam.[39]
Semua realitas di atas sepenuhnya didukung oleh pemerintah yang berkuasa.
Penolakan
Mahathir terhadap pandangan Barat yang membatasi agama hanya untuk kehidupan
pribadi, dan menafsirkan Islam ke arah yang lebih komprehensif, melegahkan kaum
muslim. Dengan warisan Islam, Mahathir melihat Malaysia memiliki kesempatan untuk
menawarkan model pembangunan yang berciri Islam. Dengan demikian Malaysia dapat
meraih kejayaan ekonomi, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat.
Ada
ungkapan seperti yang dikutip John L. Esposito:
“Malaysia
adalah sebuah negara dengan bendera nasional bergambar bulan sabit dan bintang,
dengan konstitusi yang menyatakan Islam sebagai agama resmi, dengan Perdana
Menteri yang memberi perioritas tertinggi untuk menyatukan kaum
muslim, dengan pemerintahan yang semua menteri utamanya beragama Islam,
dan dengan idologi nasional yang ditegaskan oleh pemerintah bahwa merupakan
“tugas suci setiap warga negara untuk membela dan mendukung” konsitusi yang
menjamin kedudukan istimewa bangsa Melayu, peranan Sultan, dan penetapan Islam
sebagai agama resmi.[40]
Dari
penjelasan di atas, dapat memberi gambaran adanya dukungan kebijakan politik
pemerintah akan penerapan hukum Islam di Malaysia. Keberhasilan Mahathir juga
dapat dilihat dalam menjadikan Islam sebagai komoditas politik dalam melawan
rivalitas politik dalam negeri. Kebijakan Islamisasi dalam perekonomian
nasional dan penguatan simbol-simbol Islam meletakkan posisi Mahathir sangat
kuat dalam politik nasional. Bahkan dalam beberapa isu yang berkaitan dengan
Islam internasional, Mahathir dengan lantang membela kepentingan Islam.
Begitu
juga dalam politik internasional, Mahathir dianggap suara yang mewakili
negara-negara berkembang dan negara-negara Islam. Mahathir telah berhasil
mengubah posisi Malaysia dalam percaturan internasional. Sikap perlawanan
Mahathir terlihat ketika awal pemerintahannya ia mencoba menantang Amerika
Serikat yang mengatakan Malaysia ingin sejajar dengan negara-negara besar
lainnya. Itulah sebabnya, Mahathir menjadi tokoh yang sangat disegani dalam
politik internasional. Perlawanannya terhadap negara-negara Barat menjadi
”indeks” dalam beberapa pernyataan politik Mahathir.
Bagi
pihak oposisi, meskipun Mahathir selalu membela kepentingan Islam, tetap
dianggap sebagai ”anti-Islam” (The Malay Dilemma :hal 218). Beberapa
kebijakannya mengikis habis politik oposisi Islam. Seperti terjadi pada partai
oposisi PAS. Di sisi lain, Mahathir memanfaatkan sosok Anwar Ibrahim sebagai
upaya ”menjinakkan” sikap-sikap kritis Islam dalam negeri.
Melalui
buku The Malay Dilemma tersebut
menyisakan beberapa catatan yang mungkin mengganjal kepemimpinan Mahathir, di
antaranya adalah apakah sebuah bangsa Malaysia yang terdiri dari multirasial
sudah terwujud? Di samping itu, konflik antara Mahathir dan Anwar Ibrahim
sebenarnya juga membuahkan pertanyaan apakah ketuanan Melayu dan politik
multirasial akan menjadi paradigma yang signifikan di Malaysia?
VIII. Kesimpulan
Meskipun
Malaysia dianggap sebagai sebuah negara muslim yang menyatakan Islam sebagai
agama resmi, namun sesungguhnya ia adalah sebuah negara pluralitas yang sekelompok
minoritas penting penduduknya adalah non muslim. Pergeseran politik Islam di
Malaysia cukup menarik untuk diamati dan diteliti, khususnya pada fenomena
politik yang dilakukan oleh UMNO pada awalnya dikenal sebagai partai sekuler,
UMNO sebagai partai penguasa yang berbasis etnis Melayu dan Islam bersaing
keras dengan PAS sebagai partai pembangkang (oposisi) yang juga berbasis etnis
Melayu dan Islam.
Sejak
terjun dalam politik tahun 1959, Mahathir memperlihatkan sikap ”kurang ajar”
yang selama ini dianggap tabu dalam politik Malaysia, bahkan ia sering keluar
dari pakem-pakem gaya kepemimpinan Melayu. Ia biasa bicara blak-blakan, bahkan
tidak jarang menyerang Barat (Amerika Serikat). Suatu hal yang hampir tidak
pernah dilakukan pemimpin Indonesia, kecuali Soekarno. Perdana Menteri Mahatir
Muhammad yang terpilih pada 1981 menempatkan UMNO/pemerintah di jalur yang
lebih berorientasi Islam, dengan memberikan tekanan yang lebih besar pada Islam
baik di dalam negeri maupun di forum Internasional. Mahathir mampu secara
cerdik menyatukam masa lampau dan masa kini, menahan dan mengkooptasi oposisi
Islam, memanfaatkan Islam dalam politik domestik, regional, dan internasional.
Nasionalisme
Mahathir dibangun dari persamaan dari satu wilayah kebangsaan Malaysia, tanpa memandang
keetnisan semuanya berada, berdiri sebagai rumpun melayu. Selama 22 tahun
kepemimpinannya, Mahathir Mohamad telah mengubah wajah Malaysia, bahkan
benar-benar merubah struktur budaya yang sangat feodal otokratis menjadi lebih
kompetitif, dan bertekad untuk menjadikan Malaysia sebagai negara modern dan
makmur. Peran besar membangun pondasi negara dan berbagai strategi telah
dilakukan dengan gaya kepemimpinan yang spektakuler, untuk menuju ke arah
tujuan yang telah ditetapkan.
Keberhasilan
Mahathir juga dapat dilihat dalam menjadikan Islam sebagai komoditas politik
dalam melawan/membungkam rivalitas politik dalam negeri, penguatan
simbol-simbol Islam yang meletakkan posisinya sangat kuat dalam politik
nasional, bahkan dalam beberapa isu Islam internasional dan berhasil mengubah
posisi Malaysia dalam percaturan internasional. Di satu sisi, Mahathir selalu
membela kepentingan Islam, namun di sisi yang lain, Mahathir tetap dianggap
sebagai ”anti-Islam”.
Untuk kasus Pulau Terumbu Layang-Layang, inisiatif dan pengambilan
keputusan dilakukan oleh Kantor Perdana Menteri. Malaysia menggunakan
jalur birokrasi dalam kasus pulau layang-layang adalah dengan cara menerbitkan
Peta Baru, perundang-undangan dan aturan hukum lainnya yang lebih rinci.
Menggunakan media massa untuk publikasi keputusan tersebut, hal itu sangat
mudah dilakukan karena media massa dikendalikan oleh pemerintah, dan yang lebih
penting adalah penguasaan fisik pulau tersebut dengan membangunan berbagai
fasilitas terutama fasilitas ekowisata dan militer. Fasilitas ekowisata untuk
menambah daya tarik wisatawan asing dan sekaligus membangun opini publik bahwa
Pulau Terumbu Layang-Layang adalah milik Malaysia. Fasilitas militer ditujukan
untuk daya penggentar bagi negara lain yang akan mempersengketakan pemilikan
pulau ini.
Tujuan dari klaim Malaysia terhadap Pulau Terumbu Layang-Layang adalah
untuk keberlangsungan eksistensi Malaysia sebagai suatu negara. Keberlangsungan
(survival) ini berangkat dari dimensi
keamanan, integritas wilayah, ekonomi dan martabat (prestise) nasional. Sebagai pembenar klaim terhadap Pulau Terumbu
Layang-Layang ada dua alasan. (1) Pulau Terumbu Layang-Layang berada di landas
kontinen Pulau Kalimantan milik Malaysia. (2) Pulau ini masih terletak dalam
jangkauan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Malaysia. Dua alasan inilah yang
dipergunakan Malaysia untuk meyakinkan dunia internasional bahwa pulau tersebut
adalah miliknya.
Salah
satu yang mencolok dampak proses pertumbuhan politik Malaysia adalah
terbentuknya kelas menengah sebagai keberhasilan DEB dan munculnya politik
uang. Tanpa disadari sejak era Mahathir-lah politik uang menjadi panglima dalam
pergantian kepemimpinan nasional. Politik uang ini bukan saja merusak
sendi-sendi demokrasi, tetapi telah mempertajam keretakan politik nasional.
Mungkin tidak terlalu salah jika dikatakan Mahathir mampu bertahan dari
kekuasaannya justru melalui politik uang tersebut.
Mahathir
memang dianggap sebagai tokoh revolusioner yang mampu mengubah mentalitas dan
kultur masyarakat Malaysia. Nasionalisme Malaysia tampaknya juga mulai tumbuh
pada era Mahathir, meskipun dalam beberapa hal semangat ini sangat semu. Namun,
corak kepemimpinannya yang visioner itu belum mampu mewujudkan bangsa Malaysia
yang besar tanpa dibayang-bayangi politik rasial, walupun ada kesan ia ingin
memformat ulang bentuk negara Malaysia menjadi sebuah negara bersatu, stabil,
dan modern.
Terbentuknya
puak-puak Melayu, sehingga UMNO hampir terancam hilang dalam politik Malaysia.
Ia dianggap telah ”mematikan” tiga generasi yang seharusnya ditandai dengan
perubahan kepemimpinan nasional. Pada era Mahathir pula benih-benih perpecahan
UMNO mulai terlihat. Selama pemerintahan Mahathir juga
terjadi ketegangan dalam hal “perang informasi” dan media massa di kendalikan
”milik” pemerintah. Dan selanjutnya terjadi penangkapan terhadap seluruh
figur/tokoh oposisi.
Di sisi
lain, melalui Look East Policy, Mahathir berhasil terbukti, dasar kebijakan
ekonomi Malaysia sejak tahun 1971, Dasar Ekonomi Baru (New Economic Policy),
sejalan dengan visi PBB, Visi 2020 berhasil membawa perubahan. Kini pengusaha
Melayu yang sebelumnya tidak mendapat tempat sekarang sudah patut
diperhitungkan. Kehadiran Putra
Jaya sebagai pusat birokrasi Malaysia-dengan supermultimedianya-juga membuat
Malaysia sebagai negara yang efisien dan efektif.
Konflik
berkepanjangan ini menyisakan pertanyaan seberapa jauh sebenarnya keberhasilan
Mahathir mewujudkan sebuah bangsa Malaysia yang besar tanpa dibayang-bayangi
politik rasial. Apa yang terjadi di Malaysia sekarang barulah pada taraf
”administratif”. Malaysia masih selalu rentan dalam berbagai isu rasial.
Kepemimpinan
politik nasional Malaysia ke depan harus mampu menyelesaikan pekerjaan besar
tersebut...!!
___________________________________
Penulis adalah Pegiat dan Pemerhati
Masalah Pemilu, dan Sosial Politik.
[5] Romarheim, Anders G. (2005). Definitions of Strategic Political Communication. Kertas Kerja
Nomor 689. Norwegian Institute of International Affairs., hal. 2.
[10] Alleyne, Mark
DaCosta. (2009). “International
Communication Theories”dalam Stephen W. Littlejohn and Karen A. Foss
(eds), Encyclopedia of Communication
Theory. London: Sage.
[11] Nguyen, Dong
Manh. (2006). “Setlement of Disputes Under the 1982 United Nations Convention
of the Sea: the Case of South china Sea
Dispute. University of Queensland
Law Journal, 25(1).
[12] Abdullah, Hasan. Mempelajari
Peningkatan Kekuatan Militer Malaysia di Kepulauan Spratley, diakses melalui situs http://www.tandef.net/mempelajari-peningkatan-kekuatan-militer-malaysia-di-kepulauan-spratley
[13] Anonim. A Brief
Introduction to Swallow Reef, diakses melalui situs http://vm.nthu.edu.tw/southsea/english.travel.html.
[14] Salleh, Asri, et.
al., (2009). “Malaysia’s Policy Towards its 1963 - 2008 Territorial
Disputes”, dalam Journal of Law and Conflict
Resolution, vol.
1(5).
[15] Abdullah, Hasan.
Mempelajari Peningkatan
Kekuatan Militer Malaysia di Kepulauan Spratley, diakses melalui situs http://www.tandef.net/mempelajari-peningkatan-kekuatan-militer-malaysia-di-kepulauan-spratley
[16] Chruchill, RR, and AV Lowe. (1999). The Law of the Sea. Manchester: Juris Publishing Manchester
University Press.
[18] Satyawan, Ign. Agung. (2010). “Komunikasi Negoisasi
China terhadap Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan”, dalam Jurnal Komunikasi Massa, Vol. 3(2).
Surakarta: Prodi Ilmu Komunikasi.
[20] Salleh, Asri, et. al., (2009). “Malaysia’s Policy Towards its 1963 - 2008 Territorial
Disputes”, dalam Journal of Law and Conflict
Resolution , Vol. 1(5).
[21] Mak, JN. (1997). “The Modernization of the Malaysian
Armed Forces”, dalam Contemporary
Southeast Asia,
hal, 37.
[22] Chruchill, RR, and AV Lowe. (1999). The Law of the Sea. Manchester: Juris Publishing Manchester
University. Press.
[23] Chung, Christopher. (2004). The Spratly Islands Dispute: Decision Units and Domestic Politics.
Disertasi Doktor. University of New South Wales (tidak diterbitkan), hal.
134-135.
[24] Satyawan, Ign. Agung. (2010). “Komunikasi Negoisasi
China terhadap Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan”, dalam Jurnal Komunikasi Massa, Vol. 3(2).
Surakarta: Prodi Ilmu Komunikasi, hal.145.
[26] Anonim. A Brief
Introduction to Swallow Reef, diakses melalui situs http://vm.nthu.edu.tw/southsea/english.travel.html.
[28] Chung, Christopher. (2004). The Spratly Islands Dispute: Decision Units and Domestic Politics.
Disertasi Doktor. University of New South Wales (tidak diterbitkan).
[30] Lihat John L. Esposito dan John O. Volt, Islam and
Democracy, diterjemahkan oleh Rahman Astuti dengan judul Demokrasi di
Nagara-Negara Muslim Problem dan Prospek (Cet. I; Bandung: Mizan, 1999), h.
166.
[32]
Lihat Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran
Islam di Malaysia Sejarah dan Pemikiran (Cet. I; Jakarta: Gema Insani
Press, 1997), h. 151..
[33] UMNO, merupakan partai yang sedang berkuasa di Malaysia,
pada awalnya cenderung menekankan peranannya sebagai pembela nasionalisme
Melayu, namun karena desakan yang begitu besar, mulai menampakkan kebijakannya
pada solidaritas Melayu Islam. Lihat ibid., hal.
183.
[34] Konstitusi Malaysia mendefinisikan orang Melayu sebagai “orang yang
mengaku memluk agama islam, terbiasa berbicara dengan bahas melayu, dan
menyesuaikan diri dengan adat istiadat Melayu”. Ibid., hal. 167.
[35] PAS merupakan partai oposisi politik Islam tertua dan
terbesar di Malaysia, didirikan pada tahun 1951 oleh kaum ulama yang keluar
dari UMNO, mulai berpartisipasi dalam pemilu tahun 1955. Lebih jauh lihat Asep
Syamsul M. Romli, Demonologi Islam Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam
(Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal. 85.
[36] Harian Kompas (28 November 1999) misalnya
menyebut PAS sebagai partai “garis keras Islam dan mayoritas beranggotakan
Melayu muslim garis keras”. Dan Fikiran Rakyat (30 November 1999)
menyebut PAS sebagai “Partai Islam Fundamentalis”.