Kamis, 15 Desember 2016

“Tafsir Politik Legislasi dan Konstitusionalitas Bernegara”

Pemakzulan Presiden Di Indonesia:
“Mungkinkah Gerakan Politik Legislasi Sejalan
dengan Metode Konstitusionalitas Bernegara?”

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



Pemakzulan presiden merupakan sebuah metode pendekatan konstitusional dalam sebuah negara hukum dan demokrasi. Pemakzulan presiden dilakukan dibeberpa negara seperti Filipina, Korea Selatan, Republik Lithuania, dan Jerman, umumnya disebabkan oleh proses politik. Proses politik mempertajam silang perbedaan kepentingan dan memperlebar konflik kekuasaan yang pada gilirannya memasuki wilayah konstitusional. Ketidakseimbangan kekuasaan dalam konsep pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif acapkali menjadi problem politik tersendiri sehingga dalam kondisi tertentu menciptakan kondisi yang memungkinkan dilakukan pemakzulan presiden.
Konstitusi Filipina menentukan presiden bisa dimakzulkan karena terbukti dalam dakwaan antara lain, melanggar konstitusi (culpable of the Constitution), melakukan penghinatan (treason), penyuapan (bribery), gratifikasi (graft), dan korupsi (corruption), tindak pidana berat lainnya (other high crimes) atau pengingkaran terhadap kepercayaan publik (betrayal of public trust).
Buku berjudul Pemakzulan Presiden di Indonesia merupakan karya tulis, Hamdan Zoelva, pemikir intelektual, praktisi hukum, politisi muda yang produktif, dan sekaligus sebagai Hakim Konstitusi yang consen terhadap reformasi sistem hukum di Indonesia. Substansi kajian ilmiah, dan muatan studi perbandingan konsep negara hukum turut memperkayah teori-teori pemakzulan presiden di Indonesia.
Pemakzulan merupakan keputusan politik legislatif namun tetap dalam kerangka legal konstitusional. Ada dua sisi fundamental yang bisa menjelaskan pemakzulan presiden dilakukan oleh lembega parlemen. Pertama, pemakzulan dilihat dari aspek legalitas atau konstitusionalitas dan kedua, pemakzulan ditinjau dari aspek pertanggungjawaban politik secara kelembagaan. Secara legalitas dan konstitusional, dikemukakan Gerhard, kasus pemakzulan di Amerika serikat seringkali melibatkan pertanyaan-pertanyaan konstitusional. Sejarah pemakzulan di Amerika Serikat menunjukan ada 15 orang yang dilakukan impeachment oleh senat, dua diantaranya presiden, seorang senator, seorang Secretary of War, dan sisanya hakim federal.
Terminologi pemakzulan presiden pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi lebih tegas dari sisi teknis operasionalisasi konstitusi. Pemakzulan presiden dilakukan oleh legislatif tidak lagi disebabkan karena alasan politis. Artinya, seorang presiden baru bisa dimakzulkan dalam masa jabatannya apabila presiden secara sah, terbukti melakukan pelanggaran berupa penghianatan pada negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan perbuatan tercela, atau perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari sisi moral, dan presiden akan dimakzulkan ditengah kekuasaannya jika dianggap tidak lagi memenuhi kriteria sebagai presiden.
Pergeseran sistem dari parlementer ke presidensial semakin memperjelas pengaturan pemakzulan presiden dari aspek konstitusional. Sistem presidensil menempatkan posisi presiden semakin kuat secara konstitusional meskipun tingkat kewenangan legislatif dalam konteks check and balances cukup kuat di satu sisi, namun secara politik kemungkinan-kemungkinan proses pemakzulan dilakukan legislatif tidak serta-merta dipicu dengan argumentasi politis. Pemakzulan presiden tetap dimungkinkan apabila presiden dinyatakan secarah sah, terbukti melanggar hukum.
Buku ini setidaknya telah menempatkan Hamdan Zoelva sebagai generasi pertama di Indonesia yang menulis tentang pemakzulan presiden di Indonesia. Konsep pemakzulan presiden sesungguhnya adalah sebuah metode politik konstitusional untuk mencegah praktik konfigurasi politik kekuasaan totaliter rezim dan memperkuat sistem demokrasi modern. Buku ini tidak saja mampu memprovokasi kita secara akademik karena sarat dengan kajian ilmiah, tetapi sangat berkontribusi positif bagi kalangan politisi, praktisi hukum dan tata negara, serta pebirokrat untuk menjadikannya sebagai bahan kajian.

Catatan:
Arsip tulisan hasil resensi Buku Pemakzulan Presiden Di Indonesia,
Karya Dr. Hamdan Zoelva, S.H., MH.
Dimuat di Koran Jakarta, tanggal 05 Oktober 2011.



Senin, 12 Desember 2016

Paradok Otda

Otonomi Daerah yang Paradok

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)


Salah satu masalah besar yang hampir dihadapi oleh semua negara maju dan berkembang ialah bagaimana mewujudkan pemerintahan yang memiliki kapasitas dan kapabalitas yang memadai. Apabila hasil studi sejumlah para ilmuan sosial politik ini dijadikan referensi maka sebetulnya bisa disimpulkan bahwa hanya negara-negara maju (new state), yang hadir ketika mencairnya warisan sistem kekuasaan kolonialisme Barat di era pertengahan dasawarsa 1940-an atau 1950-an, yang mampu melahirkan apa yang di istilahkan oleh Soemarsaid Moertono sebagai “usaha bina-negara” (statecrafting). Isu ini menjadi tema sentral dalam upaya mealakukan perubahan di tengah masyarakat. Studi tentang otonomi daerah akan memasuki wilayah konsep perencanaan, kebijakan, disertai tindakan otoritatif dari pemerintah. Dalam kerangka itu, maka negara diharapkan mampu melakukan penetrasi terhadap masyarakat yang mencakup kemampuan pemerintah dalam mengatur relasi-relasi sosial, memanfaatkan, dan mengelola sumber daya alam guna kepentingan kesejahteraan rakyat berdasarkan aturan-aturan tertentu.
Dengan melakukan penetrasi secara efektif dan efisien terhadap masyarakat pemerintah diharapkan mampu memainkan peran sosial secara konstruktif dalam memberlakukan otonomi daerah atau desentralisasi. Transformasi kebijakan dalam bentuk konsep menjadi suatu tindakan  yang berimplikasi pada kewenangan dan bersifat mengikat merupakan fenomena langkah yang terjadi di negara-negara berkembang. Dalam konteks ini, meminjam istilah Gunnar Myrdal adalah “soft state” bagi negara-negara dengan kapasitas dan kapabilitas seperti itu.
Dengan demikian, fragmentasi sosial “soft state” sesungguhnya sedang terjadi di negara-negara baru secara signifikan karena dampak langsung dari proses dekolonialisasi. Dalam hal ini logika politik akomodasi, the politics of survival, akan terjadi pada pemerintah. Selain itu kepemimpinan yang terampil, kredibel, dominasi, sentralisasi, dan konsentrasi kekuasaan juga akan mewarnai dinamika politik negara. Persoalan-persoalan inilah yang merupakan suatu fenomena dalam upaya “bina-negara” di negara-negara baru tersebut.
Fenomena ini secara langsung maupun tak langsung akan memberi situasi yang saling mewarnai, bahkan secara dominan, dalam konstruksi kenegaraan dunia ketiga. Dalam proses perkembangan, dislokasi dan fragmentasi sosial ini dibutuhkan stabilitas yang relatif mengharuskan elit nasional melakukan penetrasi politik yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Kebutuhan akan terwujudnya penetrasi politik dari para elit nasional sangat diperlukan sebagaimana yang terjadi di sejarah Abad Pertengahan yakni melalui sebuah mekanisme sentralisasi kekuasaan.
Meskipun diakui bahwa fenomena politik sentralisasi dilihat dari perspektif inheren tidak relatif buruk, karena politik sentralisasi merupakan suatu solusi efektif untuk mengatasi dislokasi politik otoritas. Kerangka politik sentralisasi yang dibangun tidak sekedar untuk mengidentifikasi siapa pemegang otoritas tetapi lebih berorientasi pada materialisasi kekuasaan juga menjadi sangat mungkin. Dengan menggunakan pespektif ini maka negara dan pemerintah akan dapat bekerja.
Namun, yang menarik ialah muncul persoalan baru yang mempertanyakan tingkat sentralisasi itu sendiri. Meski siapapun pemegang rezim tidak bisa menjalankan sentralisasi secara absolut seperti yang terjadi dalam sejarah pemerintahan Perancis sejak masa Richelieu, akan tetapi konsentrasi dan sentralisasi kekuasaan selalu menjadi mitos yang tidak mengenakan bagi pemegang rezim terkait. Persoalan mendasar lain adalah persepsi tentang otoritas yang dimiliki “bawahan” (subordinates) yang bisa mendorong adanya upaya-uapaya untuk mempersoalkan lingkup dan tingkat otoritas antara “bawahan” dan “atasan” (superior).
Dalam konteks itu, maka persoalan mengenai terkonsentrasinya kekuasaan melalui sentralisasi yang melahirkan dominasi intervensi pemerintah pusat terhadap daerah masih terus terjadi. Mesin birokrasi pemerintah masih dibawah kendali pusat. Hal ini bisa dilihat dari perspektif historis, dimana sejak berdirinya Negara Republik Indonesia terlalu banyak memberikan leverage kekuasaan pada pusat. Presiden dan pihak eksekutif lebih banyak menikmati kekuasaan dibanding legislatif dan yudikatif, karena parlemen sekedar sebagai instrumen politik bahkan kepanjangan tangan eksekutif.
Pemerintah yang bersifat executive heavy, tidak saja sentralisasi dalam tataran implementasi kekuasaan tetapi terlegitimasi oleh UUD 1945. Dengan demikian, dianggap imposipol ketika reformasi menuntut di reformulasi kembali terhadap undang-undang dasar pada periode 1957-1959 menjadi tema diskusi untuk memasukan elemen-elemen pergerakan prodemokrasi ke dalam proses penyusunan undang-undang dasar. Hal ini dilatarbelakangi dengan suatu perspektif bahwa tidak sekedar merubah tatanan politik kekuasaan yang selama ini di distribusikan pemerintah ke daerah-daerah yang tidak memenuhi kriteria demokrasi tetapi bagaimana menempatkan sistem politik kekuasaan pusat benar-benar transparan, akuntabel, dan lebih proporsional di setiap cabang-cabang kekuasaan lain.
Meskipun dominasi kekuasaan pemerintah pusat terlegitimasi oleh UUD 1945 yang sentralistik  dan executive-heavy lalu pemerintah tidak memperhatikan persoalan Pemerintahan Daerah, karena secara konstitusi aturan mengenai Pemerintahan Daerah dituangkan dalam UUD 1945 pada pasal 18. Dan meskipun telah diatur dalam UUD 1945 akan tetapi dalam praktek keseharian tidak mudah bagi pemerintah menterjemahkan pasal 18 kedalam bentuk implementasi. Dalam kerangka politik desentralisasi tersebut setidaknya disatu sisi bisa diartikan sebagai political will dari para pendiri Republik dalam merespon politik daerah ditengah situasi konfigurasi politik kekuasaan nasional.
Namun, bila dilihat dari praktek kekuasaan politik pusat, rasanya mustahil untuk mendefenisikan bahwa faktor politik kekuasaan dapat memainkan peran konstruktif dalam memberi arti substansi pasal 18. Tanpa adanya faktor reformasi politik yang menghendaki demokratisasi, melibatkan kepentingan masyarakat dalam amandemen konstitusi maka akan sulit memberi implikasi secara  berkelanjutan kalau faktor keadilan dari pemerintah pusat untuk “melimpahkan” atau “menyerahkan” otoritas kekuasaan secara objektif kepada pemerintahan daerah sebagaimana yang terjadi di negara-negara yang tingkat fluktuasi demokrasinya kuat.
Karena realitas politik di Indonesia, meski demokratisasi sudah berjalan namun hegemoni kekuasaan politik pusat terhadap daerah masih terjadi. Dalam kerangka itu, wacana mengenai dekonsentrasi, desentralisasi tidak didefenisikan secara organik, sehingga makna desentralisasi bukan diartikan sebagai proses pelimpahan atau penyerahan kewenangan otoritas kekuasaan pada daerah tetapi yang terjadi bukanlah “the transference of authority, legislative, judicial or administrative, from a higher level of government to a lower,” tetapi “the mere delegation to a subordinate officer of capacity to act in the name of the superior without a transfer of authority from him.”
Dalam sejarah perjalanan kehidupan berbangsa, desentralisasi kekuasaan sudah diberlakukan sejak masa kolonial sebagaimana yang digambarkan diatas. Walaupun pemerintah kolonial memberlakukan sentralistik lalu bukan berarti pemerintah kolonial Belanda tidak melaksnakan desentralisasi dan dekonsentrasi administratif. Begitu pula yang dilakukan Jepang ketika membagi Hindia Belanda ke dalam tiga komando --- Sumatera, Jawa, dan Madura, serta di daerah-daerah lainnya. Pembagian daerah administratif ini tidak berarti melahirkan reformasi sentralisasi administratif secara total karena kenyataannya potensi intervensi kekuasaan pemerintah kolonial terbuka lebar.
Wacana mengenai desentralisasi dan dekonsentrasi terus berkembang terutama setelah Indonesia merdeka yang disertai prinsip dasar undang-undang. Adapun landasan politik desentralisasi dalam kerangka konstitusi sebagaimana yang disebut diatas yakni pada pasal 18 UUD 1945. Atas dasar itu pula dirumuskan sejumlah peraturan yang hingga melahirkan UU No. 5 Tahun 1974.
Tetapi dalam perjalanannya wacana desentralisasi tidak terkelola secara kompetitif baik di era Soekarno maupun Soeharto sehingga disperse kekuasaan tidak terjadi. Kekuasaan yang lebih terkonsentrasi ke Jakarta, lingkup kekuasaan (space of power) atau kewenangan (space of authority) tetapi tidak ada perubahan yang mendasar. Dalam konteks itu, daerah diberi kesempatan untuk memformulasi peraturan-peraturan daerah sesuai kebutuhan tetapi intervensi pusat dalam menentukan apakah layak tidaknya peraturan yang dilahirkan pemerintah daerah pun masih mewarnai dinamika pemerintahan desentralisasi. 
Desentralisasi kekuasaan juga mengambil berbagai bentuk. Kenyataan yang dihadapi bangsa kita ialah otonomi dan federasi. Beberapa daerah pasca reformasi menuntut untuk memisahkan diri NKRI tetapi hal itu berada diluar konteks dispersion of power. Oleh karena itu, untuk merespon tuntutan tersebut paling tidak menggunakan pendekatan bersifat ad hoc, respon dalam kerangka ini harus diletakan sesuai format yang sudah terlanjur “tersedia”.
                        Pengalaman desentralisasi dan dekonsentrasi yang terkesan politik pusat inilah yang mendorong lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah. Peraturan ini merupakan peraturan baru yang lebih akomodatif baik dilihat dari segi struktur maupun substansi. UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah ini sebenarnya diharapkan mampu memberikan warna baru terhadap praktek desentralisasi. Harapan ini tidak berlebihan apabila dikaitkan dengan proses pengunduran kepemimpinan nasional rezim Orde Baru yang dianggap otoriter yang mendorong terciptanya liberalisasi dan relaksasi politik.
Dengan demikian, otonomi daerah tidak perlu didefenisi secara eksklusif sehingga peraturan daerah yang dihasilkan pemerintah daerah sejauh tidak bertentangan dengan Undang-Undang maka tidak harus meminta persetujuan pusat.
Dalam konteks itu, maka harus ada aturan-aturan yang mesti dibuat berkaitan dengan otonomi daerah dan hubungannya dengan pemerintah pusat. Sekarang ini aturannya tidak sinkron karena otonomi daerah itu memungkinkan kepala daerahnya dipilih secara demokratis melalui pemilihan langsung. Artinya, kepala daerah mempunyai legitimasi yang solid. Kepala daerah juga hanya bertanggungjawab kepada para pemilih.
Dalam kondisi seperti itu mestinya peraturan yang berkaitan dengan Ketatanegaraan kita harus menghormati posisi seperti itu. Kalau itu terjadi, maka sebetulnya para kepala daerah tidak boleh dipanggil-panggil oleh Menteri Dalam Negeri apalagi ditegur atau diberhentikan.
Karena para kepala daerah memiliki pertanggungjawaban langsung kepada rakyatnya. Jadi, mereka bertanggungjawab pada pemerintah pusat. Dalam konteks ini, maka hubungan mengenai pemerintah pusat dan daerah harus diatur. Otonomi daerah juga sebenarnya melahirkan peraturan-peraturan daerah. Tetapi karena sifatnya otonom maka peraturan daerah juga harus bersifat otonom. Meskipun secara konstitusi peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. tetapi peraturan daerah tidak bisa diatur oleh peraturan Menteri Dalam Negeri. Peraturan daerah tidak boleh dianulir bahkan dibekukan oleh keputusan Menteri Dalam Negeri.
Undang-Undang dan peraturan sekarang dalam prakteknya menunjukkan seperti itu. Setidaknya sudah ada enam belas peraturan daerah yang dianulir atau dibekukan oleh Menteri Dalam Negeri. Aturan-aturan inilah yang membuat tidak sama. Kalau kita ingin menegakan otonomi daerah yang profesional maka relasi antara daerah dan pusat harus diatur. Secara gamblang kalau kita ingin memberlakukan otonomi daerah secara komprehensif maka bentuk negara kita harusnya federal dan bukan kesatuan. Sekarang ini karena sebagian orang merasa alergi dengan sistem federal lalu menganggap NKRI merupakan harga mati. Tetapi sebetulnya yang dimaksudkan dengan NKRI harga mati adalah Pancasila sebagai dasar negara. Kita bisa mempunyai pemerintahan federal tetapi sekaligus memiliki dasar Pancasila. Persoalan inilah yang hingga saat ini tidak sinkron sehingga harus menjadi perhatian pemerintah pusat.
Sebetulnya persoalan ini lebih merupakan apresiasi pemerintah pusat yang merasa karena keuasaan yang dimiliki berkurang sehingga ada semacam sebuah ketakutan dari pemerintah pusat. Sekarang ini sebetulnya kekuasaan pusat pun sudah berkurang. Walaupun menggunakan sistem NKRI tetapi kalau mau memberlakukan otonomi daerah secara profesional maka kekuasaan pusat pasti berkurang. Kenyataan desentralisasi di era reformasi menunjukkan adanya pergeseran kekuasaan pusat ke daerah seperti kementerian-kementerian mulai dikurangi, dana-dana langsung ke daerah-daerah. Maka hal ini harus dipikirkan kembali, apakah bentuk negara NKRI ini cocok dengan otonomi daerah. Hemat saya masa Orde Baru dulu lebih cocok karena sentralistis, maka kepala daerah tidak dipilih tetapi sebetulnya diangkat dan ditentukan oleh presiden. Sedangkan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) hanya mengesahkan saja dan itu tidak ada yang ditolak pemerintah pusat. Resminya dipilih oleh DPRD tetapi tetap saja campur tangan pemerintah pusat sangat kuat.
Sekarang kalau dengan sistem desentralisasi politik otonomi daerah seperti ini jelas susah, karena pada kenyataan para kepala daerah masih takut pada Menteri Dalam Negeri karena bisa ditegur, bahkan bisa dibatalkan. Padahal segala sesuatu yang berurusan dengan pemerintah daerah Menteri Dalam Negeri tidak perlu terlalu jauh ikut campur tangan. Dalam kerangka itu, maka relasi hubungan antara pusat dan daerah harus diatur lagi.
Oleh karena itu, otonomi daerah atau desentralisasi harus dimaknai secara komprehensif. Reformasi birokrasi dan penataan kembali sistem dan perencanaan program pembangunan daerah berbasis kesejahteraan rakyat. Desentralisasi dengan semangat reformasi dan menegakkan demokrasi di tingkat lokal. Dimana pemerintah daerah akan memainkan peran aktif untuk mengambil kebijakan-kebijakan politik yang lebih demokratis, sehingga proses penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan paket UU otonomi daerah mampu melahirkan solusi-solusi atas problematika sosial yang terjadi selama ini.


Catatan:
Arsip Tulisan Artikel Lepas
Jakarta, Juni 2008



Senin, 28 November 2016

Komunikasi Politik Pemilu

Komunikasi Politik Indonesia
Suatu Tinjauan Pemikiran Politik Kontemporer

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)




Pendahuluan
Pada era modernisasi dan globaalisasi yang semakin menunjukkan tingkat kompetisi global terus keras dan tajam, ilmu komunikasi dituntut untuk menyajikan nilai-nilai transedental filosofis sebagai basis moral. Ilmu komunikasi juga dituntut untuk menjembatani para aktor politik yang dalam fase tertentu mengalami kebuntuan komunikasi terutama menyangkut persoalan kekuasaan, kewenangan politik dalam negara. Namun demikian, dalam berbagai peristiwa politik, seringkali ilmu komunikasi dihadapkan dengan berbagai macam tantangan. Diantaranya, praktik politik yang cendrung berorientasi kebendaan.
Berhasil atau gagal seseorang, baik dalam konteks berpolitik maupun membangun integritas kepemimpinan ditengah masyarakat, sangat ditentukan bagaimana seseorang tersebut mampu mentransformasikan nilai-nilai komunikasi politik secara baik dan benar. Komunikasi merupakan salah satu factor penentu berhasil tidaknya orang dalam membangun citra baiknya di masyarakat. Karena melalui seni komunikasi politik yang efektif maka orang akan bisa memaksimalkan, memanfaatkan, dan menjadikan komunikasi sebagai alat membangun kepercayaan diri dengan publik luar.
Pada awal kekuasaan rezim Orde Baru, terutama sebelum ditetapkan sistem dan peraturan tentang stabilitas sosial politik, bisa terlihat secara eksplisit di mana presiden Soeharto menempatkan kebijakan pembangunan ekonomi yang begitu kuat sehingga pembangunan di bidang ini mendapatkan porsi yang besar. Pembangunan politik yang didasarkan pada stabilitas sosial politik ternyata dimanifestasikan Presiden Soeharto sebagai basis penopang kekuatan ekonomi nasional.
Alhasil, di satu sisi, terlihat akselerasi pembangunan ekonomi memenuhi target kemajuan yang kompetitif sesuai agenda Repelita yang ditetapkan pemerintah. Namun, pada sisi lain, percepatan pembangunan ekonomi yang dominan sebaliknya memperparah percepatan pembangunan di sektor lain, termasuk pembangunan di bidang pendidikan.
Akan tetapi, tidak teori apapun, tidak bisa membantah keberhasilan presiden Seoharto dalam membangun sistem perekonomian nasional. Soeharto mampu menjadikan stabilitas politik sebagai pilar utama menjaga stabilitas ekonomi bangsa. Peran strategis stabilitas politik tidak serta merta mampu memperkuat legitimasi kekuasaan rezim karena dianggap mampu menciptakan stabilitas ekonomi nasional yang kuat tetapi juga sistem komunikasi kekuasaan rezim yang secara yuridis formal mampu mempertahankan presiden Soeharto untuk berkuasa selama kurang lebih 32 tahun.

Komunikasi Politik Dalam Kajian Ilmiah
Dalam kajian ilmiah klasik telah dikenal teori komunikasi politik. Sebuah teori ilmiah yang berlandaskan pada filsafat politik, yang umumnya dikonsepsikan oleh para ilmua. Sejak zaman Cicero, dan Aristoteles telah dikenal bagaimana dasar-dasar teori komunikasi itu dibangun. Komunikasi politik kemudian berkembang seiring kemajuan zaman, menjadi sebuah kajian ilmiah.
Komunikasi politik sejak ada sejak manusia bersentuhan langsung dengan aktivitas politik. Komunikasi politik juga merupakan sebuah instrumen seni berpolitik dalam melakukan interaksi sosial antara satu aktor dengan aktor lain. Pertaanyaannya ialah apakah komunikasi politik ini telah menjadi suatu telaah ilmu secara spesifik, ataukah telah menjadi bagian dari kajian ilmu sosial politik maupun sebagai sebuah ilmu komunikasi?
Apabila ditelaah lebih jauh, maka sebenarnya kehadiran konsep ilmu komunikasi ini masih relatif muda. Sekitar 60 tahun silam, dalam proses perkembangan dan kemajuan zaman yang terus bergerak menuju transisi demokratisasi, ilmu komunikasi politik kemudian dijadikan sebagai salah satu dasar disiplin ilmu politik. Alwi Dahlan, menulis, bahwa komunikasi politik mulai berkembang dengan mengambil bentuk awal dalam kajian inti ilmu politik setelah peristiwa perang dunia I. Teori ini bisa dilihat dari perspektif umum tentang konsep konspirasi, rekayasa sosial, dan propaganda.
Sementara itu, A. Muis menjelaskan bahwa terminologi komunikasi politik menunjuk kepada pesan sebagai suatu objek formalnya. Dengan demikian, titik tekan dari implementasi nilai-nilai politik ialah tidak terletak pada praktik politik formal maupun non formal, namun lebih ditekankan pada aspek komunikasinya. Artinya, secara kontekstual, praktik komunikasi yang dilakukan para aktor politik sebenarnya memuat pesan politik.
Secara lebih spesifik dan proporsional, David V. J. Bell, mendefenisikan ilmu komunikasi sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan politik. Dalam kerangka tersebut, maka komunikasi sesungguhnya telah memasuki bidang kajian politik karena dalam nilai-nilai komunikasi tidak secara parsial mengandung makna transcendental tetapi juga meliputi pengaruh akan kebijakan negara dan masyarakat secara luas.
Melalui pendekatan komunikasi politik, aktor politik akan memainkan peran sebagai pihak apakah secara individu maupun sosial kelembagaan mempengaruhi pihak lain agar bisa mengikuti apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan yang dibawah. Komunikasi juga menjadi sarana paling efektif untuk membangun kerjasama antara masyarakat, baik yang tergabung dalam kelompok-kelompok tertentu maupun secara individu.
Dari telaah kajian ilmiah filosofis politik, komunikasi jelas memiliki keterkaitan erat antara politik praktis dan konsep komunikasi. Hal ini karena politik merupakan kumpulan dari sebuah ideologi yang kemudian melahirkan pesan politik melalui komunikasi. Maka secara teoritik, politik mengandung makna komunikasi. Perbedaan pemahaman mengenai politik pun dalam studi klasif mengandung perbedaan-perbedaan. Apakah politik memiliki sumber otoritas yang dapat menentukan kebijakan negara atau politik hanya merupakan sebuah seni menyampaikan pesan kepentingan.

Studi Pemikiran Politik Di Indonesia
Potret politik Indonesia yang masih sarat dengan politik aliran dan primordialistik acapkali memicu komunikasi politik antar calon pemimpin dalam sebuah pertarungan meraih simpati selalu mendorong terjadinya eskalasi politik. Eskalasi politik cenderung hidup dalam suasana psikologi politik masyarakat yang kurang terbuka. Akibatnya komunikasi politik massa yang dibangun senantiasa bermuara pada mobilisasi massa. Komunikasi politik berbasis mobilisasi massa dalam konteks politik di Indonesia sampai pada era reformasi ini masih dipandang sebagai salah satu faktor yang efektif.
Berbeda dengan pengalaman-pengalaman komunikasi politik di Amerika Serikat dan Eropa, meskipun seni menyampaikan komunikasi politik di Amerika Serikat dan Eropa sangat ditentukan oleh personality. Dalam konteks Barac Obama misalnya, Obama mampu membangun sebuah seni komunikasi yang cukup komprehensif. Obama sangat memhami dan mengedepankan format komunikasi politik bersifat responsif. Obama tidak saja menyampaikan nilai-nilai demokrasi berbasis normatif tetapi kontekstualisasi komunikasi politik yang dikembangkan Obama untuk mempengaruhi masyarakat sarat konsep. Obama mampu merangkaikan kalimat-kalimat serta meyakinkan audensi ketika menyampaikan visi misi pembangunan masa kepemimpinannya. Obama mampu melakukan transformasi ide dengan mengurai gagasan-gagasan prospektif kedalam pemikiran-pemikiran publik. Komunikasi politik Obama, baik bersifat audiovisual, verbal, maupun nonverbal, sangat memukau masyarakat.
Pendekatan komunikasi politik massa yang dilakukan Obama dalam kampanye sangat memicu psikologi masyarakat multikelas sehingga setiap gagasan yang disampaikan selalu mendapat perhatian yang baik dari masyarakat. Dalam menyampaikan gagasan-gagasan Obama selalu memperhatikan semua atuan main berdasarkan kondisi psikologi massa. Penyampaian visi misi kadang panjang penguraiannya, namun dalam mengambil kesimpulan, Obama sangat disiplin. Keteraturan waktu serta memanfaatkan peluang menyampaikan materi kampanye secara ringkas, padat, dan substantif sehingga umumnya pesan kampanye Obama akan lebih mudah diresapi, dan ditanggapi positif oleh publik.
Dalam konteks politik Indonesia, menurut seorang antropolog, Edward T. Hall (1979), menyebutkan bahwa, bangsa Indonesia masuk dalam kategori kelompok high contect culture dalam komunikasi. Budaya high context cendrung diberi makna yang sangat tinggi. Sebuah masyarakat yang kurang menghargai ucapan, atau bahasa verbal. Artinya, setiap tokoh yang mampu tampil penuh meyakinkan, dan berusaha menggugah pemikiran masyarakat secara konstruktif selalu dianggap sebagai calon yang aneh. Setiap cara calon dalam menyampaikan, atau mengungkapkan visi, misi, maupun program secara meyakinkan selalu dianggap kontraproduktif. Sangat berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat dan Eropa yang pada umumnya memiliki low context culture. Sebuah masyarakat yang modern --- masyarakat yang tidak saja melihat calon pemimpin dalam menyampaikan visi misi dan program bersifat komunikasi nonverbal seperti melalui audiovisual tetapi juga penyampaian secara langsung. Karena lewat pengungkapan langsung itulah masyarakat modern akan melihat eskpresi dan keinginan dari setiap calon pemimpin.
Dalam kerangka politik Indonesia, hampir tak bisa dipungkiri bahwa peta studi pemikiran politik di Indonesia tidak lepas dari hasil kajian pemikiran Herbert Feith dan Lance Castles yang menggambarkan kondisi sosiologis antropologis masyarakat Indonesia dengan berdasarkan politik aliran yang berkembang sejak pra kemerdekaan Indonesia. Dalam berbagai studi akademis, tentang pergulatan pemikiran politik di Indonesia, Feith dan Castles mampu memberikan stigma pemikiran politik di Indonesia yang kuat hingga mewarnai studi pemikiran politik Indonesia. Faith dan Castles mengklasifikasikan tiga kelompok utama yang turut aktif memainkan peran politik nasional. Ketiga kelompok tersebut, pertama kelompok yang disebut sebagai santri tradisionil, kelompok kedua santri modern, dan kelompok ketiga santri bangsawan.
Ibnu Taimiyyah dalam karyanya al-Siyasah al-Syar’iya (Sistem politik Syar’iah, Pemerintah Syari’ah), secara lebih gambling, Ibnu Taimiyyah menggunakan istilah wilayah, yang didefenisikan sebagai sebuah fungsi pertaanggungjawaban, bukan dengan menggunakan istilah tradisional yakni kekuasaan. Wilayah mengandung pengertian berupa penekanan tentang tugas dan fungsi setiap umat manusia sebagai khalifah di muka bumi. Istilah kekuasaan tentu meliputi urusan-urusan pemerintahan Negara sehingga penggunaan istilah wilayah sebetulnya lebih dimaksudkan bahwa setiap orang yang diberikan amanat dalam kapasitas apapun hendaknya dikerjakan penuh tanggungjawab.
Sedangkan teori politik Islam klasik dari perspektif teologi politik kaum Sunni mengambil bentuk dalam kondisi di masa daulat Abbasiah. Meskipun realitas sejarah dan politik dari kehidupan Khilafah sering menghadapi persoalan-persoalan perdebatan teologi politik dari kerang idea Islam, namun demikian setiap proses politik hendaknya didasarkan pada prinsip-prinsip identitas politik Islam yang tetap memiliki kaitan erat dengan syari’ah.
Ada suatu terobosan fenomenal yang selama ini mungkin dilupakan oleh kalangan pemikiran politik Islam, adalah bahwa dalam proses perjalanan, konstruksi teori politik Islam tidak pernah mengalami pergeseran. John L. Esposito, menulis dalam karyanya, politik Islam, mengatakan, konsep politik Islam yang idea meskipun pengertiannya seringkali mengaburkan banyak realitas, namun secara umum, mampu memberikan kontribusi positif terhadap generasi-generasi berikut, termasuk generasi yang menjadikan agama sebagai basis gerakan pembaruan moral bangsa.
Efek kehadiran kelompok yang mampu menggerakan semangat agama sebagai basis perbaikan system politik di setiap Negara ini juga terlihat terjadi di Indonesia. Para aktivis politik Islam berusaha keras untuk membangun citra politik Islam yang selama beberapa abad tenggelam akibat kuatnya penampilan ideologi-ideologi lain seperti kapitalisme, dan komunisme. Aktivis politik Islam terus berpacu dalam dimensi pembaruan, di mana ada semacam keinginan kuat untuk mengejar keterbelakangan dengan mempertautkan dasar-dasar politik Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di akhir abad XIX bahkan memasuki abad XX, pergulatan wacana politik Islam terkait dengan studi tentang Islam dan negara terus mengalami kemajuan pesat. Minat dan perhatian kalangan cendikiawan, dan intelektual Islam --- termasuk intelektual muda Islam Indonesia turut meramaikan perbincangan penting tidaknya kehadiran sistem negara yang menjadikan nilai-nilai sosial yang terkandung dari agama sebagai legitimasi kebijakan pembangunan negara.
Islam dan negara mendapat tempat perbincangan yang cukup dominan dari perspektif wacana pembaruan sistem politik nasional. Islam dan semangat nilai-nilai sosial yang terkandung didalamnya semakin meraih simpati kalangan intelektual muda untuk mengangkatnya sebagai wacana komprehensif dalam proses reformasis sistem politik negara. Perbincangan Islam dan negara, misalnya, diramaikan oleh tokoh intelektual muda Indonesia, antara tahun 1970-an, hingga sekarang, misalnya, M. Room, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Munawir Syadzali, hingga Azyumardi Azrah, Komaruddin Hidayat, Bachtiar Effendy, Anis Baswedan Yudi Latif, dan lain-lain.
Cak Nur misalnya, menegasikan pemikiran politiknya melalui seorang tokoh pemikir politik Islam terkemuka, yakni, Ibnu Taimiyyah. Dalam menulis kata pengantar buku Fiqih Siyasah yang ditulis, M. Iqbal (2001), Cak Nur, menyebut, negara Madinah pimpinan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana yang dikatakan Robert N Bellah, adalah sebuah negara yang mencerminkan korelasi antara agama dan negara dalam Islam. Muhammad Arkoun, seorang pemikir politik Islam kontemporer menyebut bahwa, ikhtiar Nabi Muhammad dalam membangun tradisi bernegara dalam kondisi Madinah ketika itu menunjukkan bahwa sebuah “eksperimen Madinah”. Eksperimen Madinah tersebut merupakan titik tolak bahkan menjadi suatu personifikasi Muhammad tentang sistem pemerintahan atau suatu tatanan sosial politik berdasarkan nilai-nilai Islam.
Dalam eksperimen bernegara tersebut, Muhammad memperlihatkan bagaimana suatu sistem sosial politik itu dibangun berdasarkan landasan nilai-nilai kebaikan universal yang terkandung didalam agama Islam. Dalam konsep negara Madinah terdapat adanya pendelegasian wewenang, pembagian otoritas kekuasaan yang secara konseptual terjadi pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan dimaksudkan agar tidak terjadi sentralisasi kekuasaan yang acapkali dalam praktik bernegara seringkali memicu konflik politik akibat tidak terkelola potensi konflik politik aliran.
Dalam konteks kajian politik berbasis nilai-nilai agama, maka politik sesungguhnya adalah suatu seni dan sekaligus suatu metode untuk melaksanakan tugas maupun fungsi baik secara individu maupun struktur sosial untuk mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya, keluarga, dan kalangan masyarakat luas. Politik merupakan bentuk aksi yang dilakukan para politikus, sehingga ia disebut sebagai “memolitisasi binatang untuk menggambarkan bahwa politikus menaiki dan menundukkan binatang.
Di Indonesia, sejak permulaan era Orde Lama berkuasa, komunikasi politik dalam konteks membangun kekuatan negara melalui elemen-elemen penting boleh dikatakan dapat berjalan baik, meski dalam sejarah kita temukan ada peristiwa-peristiwa polarisasi. Perbedaan ideologi negara yang semula menjadi perdebatan sengit dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dapat diselesaikan dengan penuh kekeluargaan.
Adalah komunikasi antar semua stakeholders baik dalam membangun persamaan persepsi sehingga semua perbedaan yang timbul ketika itu bisa dikelola secara komprehensif. Perbedaan tajam yang sempat mengancam integritas NKRI, yakni menyangkut konsep ideologi bangsa. Ada kelompok yang mendukung agar negara berideologikan Pancasila, dan UUD 1945, ada kelompok yang mendukung sistem pemerintahan negara yang bersifat demokratis, ada yang mendukung sistem negara liberal, ada kelompok yang memperjuangkan negara berdasarkan sistem pemerintahan feodalisme, ada lagi kelompok yang menghendaki agar Islam sebagai ideologi negara, dan ada juga yang menghendaki agar Indonesia berdasarkan sistem otokrasi.
Sikap bijak dan konsep komunikasi politik yang bijak dan komunikatif yang diterapkan Soekarno dan Muhammad Hatta serta tokoh-tokoh lain sebagai representasi masing-masing kekuatan dalam memahami perbedaan ini, mampu melahirkan kesamaan persepsi antar mereka sehingga perbedaan yang semula dianggap menjadi pemicu untuk menghambat proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi cair.
Era kekuasaan Orde Baru, komunikasi kekuasaan politik sangat tertutup. Hampir semua pusat kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, bahkan lembaga-lembaga negara tidak terlihat adanya suatu suasana komunikasi yang bersifat terbuka dan demokratis. Panglima Tertinggi Negara (Presiden) menjadi pusat utama proses transformasi komunikasi kekuasaan politik, ekonomi, pendidikan, hokum, dan sosial budaya.
Rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun menerapkan sistem kekuasaan yang sangat otoriter. Demokrasi Pancasila hanya sebagai alat pemanis politik kekuasaan rezim sehingga praktis tidak tercipta iklim demokrasi yang betul-betul menempatkan hak-hak politik rakyat secara adil dan terbuka. Demokrasi yang semula diharapkan menjadi instrumen penting untuk membangun peraadaban politik bangsa yang modern tidak dijalankan dengan baik oleh penguasa.
Komunikasi politik kekuasaan lintas lembaga pun praktis tidak berjalan baik karena sistem komunikasi satu arah, yakni hanya didominasi oleh eksekutif, lembaga legislatif dan yudikatif berperan sebagai pelengkap sistem bernegara sehingga pelanggaran-pelanggaran nilai politik pun tidak terhindari. Namun demikian, bukan berarti, pola komunikasi kekuasaan politik di masa pemerintahan Orde Baru tidak mampu melahirkan nilai-nilai kemaslahatan publik. Sisi positif yang dapat dilihat dari pola komunikasi politik kekuasaan yang efektif pada era Orde Baru ialah, kemampuan negara dalam mengorganisir semua kekuatan elemen bangsa ke dalam satu komando.
Di satu sisi, kebebasan rakyat dalam berekspresi, berkelompok, berserikat, dan menentukan preferensi politik tidak ada, tetapi di sisi lain tingkat kesejahteraan masyarakat terlihat cukup baik. Kegagalan rezim Orde Baru ialah tidak menjalankan demokrasi secara baik, sedangkan kesuksesan rezim Orde Baru yang paling diakui masyarakat ialah konsisten mengutamakan stabilitas politik sehingga stabilitas ekonomi menjadi sangat kuat. Stabilitas politik dilihat dari jargon pemerintah yang tertuang dalam Trilogi Pembangunan --- meliputi stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan.

Nasionalisme dan Komunikasi Media
Hampir setiap tahunnya, nuansa peringatan hari ulang tahun kemerdekaan republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 seringkali disertai dengan aktivitas-aktivitas seremonial yang kadang cenderung tidak memiliki nuansa filosofi historis dibalik perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Momentum hari bersejarah di tengah krisis integritas teritorial dan krisis kepercayaan rakyat terhadap para elit pemimpin bangsa nampaknya masih memperlihatkan betapa dimensi historis ini masih tetap memberikan arti ikatan emosial plus sosial politik sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tanggal 17 Agustus 1945 memiliki kisah historis-filosofis tersendiri bagi warga masyarakat Indonesia. Dimensi historis-filosofis itulah  para the founding fathers melalui Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta berusaha keras mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang tidak saja jadi harapan para pejuang tapi dambaan para pemuda yang punya rasa sense of belonging untuk membentuk negara Indonesia secara berharkat dan bermartabat. Segenap the founding fathers dan pemuda menghendaki agar kemerdekaan Indonesia segera diumumkan untuk menghindari kesan negatif kalau kemerdekaan Indonesia lebih sebabkan oleh pemberian atau hadiah dari penjajah.
         Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai simbol revolusi kemerdekaan pun dipaksa --- ditekan oleh para pemuda ketika itu yang menghendaki supaya proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan sebelum penjajah keluar dari bumi Indonesia. Detik-detik yang sangat menentukan peristiwa proklamasi kemerdekaan diwarnai perdebatan antara kelompok tua dan para kelompok muda yang sudah tidak sabar. Terbukti dua hari menjelang proklamasi, Soekarno dan Hatta diculik oleh sekelompok anak muda dan dibawah ke Rengasdengklok yang pada intinya mempercepat proses pengumuman kemerdekaan.
         Sikap para pemuda ini jelas merupakan refleksi rasa nasionalisme kebangsaan akibat penindasan dan pengeksploitasian yang dilakukan kaum penjajah sehingga memunculkan kesadaran kolektif untuk bersatu dan berdaulat dalam bingkai NKRI. Dan usaha para pemuda ini menemukan hasilnya, yakni pada tanggal 17 Agustus 1945 lewat Soekarno dan Hatta, akhirnya proklamasi kemerdekaan Indonesia pun dikumandangkan. 
         Nasionalisme kaum pemuda yang ditampilkan seperti ini sesungguhnya merupakan suatu kesadaran sekaligus awal dari sebuah proses untuk membangun komitmen moral kebangsaan yang kuat dalam mewujudkan cita-cita kehidupan nation states  yang lebih baik. Dalam catatan Ensiklopedia Britanica, dapat dipahami bahwa rasa nasionalisme merupakan jiwa, yang menempatkan setiap induvidu merasa untuk memiliki keduniawian atau konteks sekarang identik dengan paham sekuler yang menjadikan liberalisme dan kapitalisme sebagai dimensi tertinggi negara kebangsaan. Sedangkan dalam formulasi International Encyclopedia of Social Science, nasionalisme dapat dipahami sebagai suatu ikatan politik yang mampu mengikat satu kesatuan dari seluruh elemen masyrakat yang plural, modern sekaligus memberikan determinasi legitimasi terhadap tuntutan kekuasaan. Atau dalam logika Huscer dan Stevenson, nasionalisme, artinya memiliki rasa cinta yang secara natural kepada tanah air di mana setiap induvidu dilahirkan.
Pendapat lain yang dikemukakan Hans, nasionalisme sebagai wujud cita-cita bahkan bisa berupa suatu keadaan alias gejala jiwa baik secara induvidu maupun secara struktur sosial yang memiliki model maupun bentuk tertentu dari suatu entitas atau institusi politik bangsa yang merupakan sumber inspirasi akan potensi kebudayaan dalam menciptakan iklim kesejahteraan ekonomi yang lebik kondusif. Dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno memberikan pengertian nasionalisme sebagai suatu upaya terjalinnya rasa ingin bersatu, perasaan, perangai, dan nasib, serta persatuan antara orang dan tempat. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan rapuhnya rasa nasionalisme pemuda masa sekarang? Di mana peran negara dalam mengatasi krisis nasionalisme pemuda? Menjawab pertanyaan ini tentu harus dilihat dari berbagai konteks multidimensional. Karena banyak faktor yang jadi pemicu krisis nasionalisme pemuda zaman sekarang. 
Krisis multidimensional telah mampu menggerogoti dimensi nasionalisme kebangsaan pemuda terutama dalam kurun masa transisi reformasi dan demokratisasi. Demokrasi dan hak asazi manusia (Ham) telah menjadi tema sentral dalam berbagai diskurus. Keberhasilan pembangunan khususnya dalam membongkar mitos kediktatoran rezim masa lalu setidaknya memberi ruang gerak bagi demokratisasi, walau dalam hal tertentu demokrasi selalu bersikap ambigiu sehingga proses pembentukan karakter pemuda cenderung berdasarkan simbol-simbol kebebasan dan kemerdekaan yang berlebihan atau yang lazim disebut reformasi kebablasan. Perilaku menyimpang sebagai pintu masuk kerusakan moral terus mengalami peningkatan. Transformasi informasi dan komunikasi yang begitu pesat membuat para pemuda semakin kehilangan makna identitas. Kemajuan ilmu dan tekhnologi disatu sisi menguntungkan umat manusia, tetapi, di sisi lain dapat berimplikasi negatif.

Peran Media 
Perkembangan informasi dan kemajuan tekhnologi terutama melalui peran pers yakni media massa sangat menentukan bagi proses pembentukan karakter kebudayaan bangsa. Jika pers memiliki visi nasionalisme kebudayaan nasional yang tinggi maka lambat laun masyarakat termasuk pemuda akan cenderung kepada apa yang menjadi rasa tanggung jawab sosialnya terhadap bangsa dan negara. Pers sebagai salah satu pilar demokrasi semestinya mampu memainkan peran strategis konstruktif dalam membentuk karakter masyarakat. Pers sebagai lembaga sosial yang memiliki sifat-sifat kelembagaan (institusional character) sekaligus sebagai lembaga ekonomi atau perusahaan yang merupakan bagian inti suatu industri jasa seyogyanya tidak sekadar mengejar keuntungan semata tetapi bagaimana pers mampu mentransformasikan kelembagaannya sebagai institusi pendidikan yang dapat merubah pola dan perilaku masyarakat secara komprehensif. Dengan demikian, pers bisa menempatkan dirinya sebagai institusi sosial kontrol sekaligus sebagai lembaga pengemban dan pengubah sistem kehidupan yang lebih teratur dan sistematis. Tetapi, kecenderungan dan realitas sosial kontemporer justru menunjukkan fakta sebaliknya, beberapa perusahaan industri pers telah disalahgunakan oleh pemilik media tertentu. 
         Fenomena ini bisa menimbulkan krisis nasionalisme pemuda masa sekarang. Kecenderungan beberapa stasiun Televisi swasta yang menyuguhkan program hiburan berupa sinetron seringkali kurang memiliki syarat pendidikan. Nilai-nilai kebudayaan justru didistorsi melalui media yang didasari dengan keadaan pikiran yang oleh Johan Huizinga disebut sebagai “kekanak-kanakan.” Di mana manusia dewasa ini cenderung bertindak kekanak-kanakan, dalam konteks negatif berdasarkan pertumbuhan mental: hiburan sinetron yang terkesan perilaku kepalsuan dan sikap asli yang dipaksakan, rasa humor yang tidak sesuai sikap asli, kebutuhan sensasi-sensasi murahan, kecenderungan kepada parade-parade massa, bahkan personifikasi ekspresi kebencian, cinta, pujian dan kutukan juga terlihat sangat berlebihan.
Ramuan program TV menyuguhkan sinetron yang syarat dengan perilaku kekerasan rumah tangga, kekerasan sosial ekonomi bahkan kekerasan psikologis yang dipaksakan bisa menjadi akses bagi kerusakan pertumbuhan mental generasi muda bangsa. Peran ganda pers terutama media elektronik sekarang ini berpotensi menghidupkan tradisi paradigma global capitalist system yang dalam perspektif kultur mengarah pada fashioned culture yang notabene disokong oleh ideologis kapitalistik yang tidak terlepas dari peran ganda negara. Dari sisi, jelas krisis nasionalisme akan muda terjadi dan pada gilirannya memunculkan konflik ideologis parsial.
Menjadi media yang profesional tidak selalu menghadirkan program-program yang selalu bersentuhan dengan nuansa-nuansa perkembangan globalisasi demografi yang pada hakekatnya bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan kebangsaan nasional. Sayangnya, kecenderungan dan realitas perkembangan media sekarang sudah mulai berorientasi pada kompetisi keuntungan ekonomi sehingga peran profesional media yang diharapkan bisa menjadi salah satu faktor penunjang dalam mewarnai dinamika sosial kebangsaan terus mengalami degradasi. Maraknya tayangan beraroma mistik dan sinetron-sinetron dengan menampilkan kehidupan berbasis sekular-materialistik sudah barang tentu selain tidak mendidik juga sangat tidak memiliki esensi moralitas dalam membentuk eksistensi bangsa.

Peran Negara
Dalam menyikapi problematika sosial kebangsaan yang kompleks terutama krisis nasionalisme pemuda yang makin hari makin meresahkan, maka negara sebagai kesatuan tatanan (unity of order) --- kesatuan formal yang menjadi obyek dari formulasi kebijakan secara rasional-idealistik, walau dalam kesatuan tidak menciptakan substansi baru, namun dengan kekuatan kekuasaan yang legitimic harus mampu melakukan tindakan-tindakan persuasif bahkan perlu tindakan preventif (self-motivated action) guna menciptakan rasa nasionalisme akan kebangsaan.
         Secara sosio-historis, artikulasi nasionalisme yang sudah diletakan para the founding father yang notabene adalah para tokoh intelektual muda yang di awal abad 20 ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo (1908). Nasionalisme kebangsaan juga bangkit melalui gerakan yang dipelopori Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo, HOS Tjokroaminoto, hingga generasi yang lebih muda seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, SM Kartosoewirjo, Tan Malaka, dan masih terdapat banyak tokoh muda yang menginspirasi hadirnya kemerdekaan. Gerakan kaum intelektual muda menanam rasa nasionalisme juga sudah terjadi sejak tahun 1928. Di mana para pemuda berkumpul merumuskan gagasan identitas nasionalisme kebangsaan melalui dokumen Sumpah Pemuda tepatnya tanggal 28 Oktober 1928 yang hingga sekarang masih diperingati sebagai hari lahirnya sumpah pemuda.
         Dalam konteks itu, memaknai nasionalisme kebangsaan nation states, Pemerintah sebagai pembuat regulasi harus menciptakan sistem sosial yang mendukung masyarakat dalam mengartikulasi kemerdekaan dan kebebasan, termasuk pers sebagai penyebar informasi dilakukan secara konstruktif dan proprsional. Kebebasan dan kemerdekaan tidak boleh dimonopoli oleh pers tertentu yang cenderung menampilkan aneka pornografi dan pornoaksi yang pada gilirannya mengancam kerusakan moralitas pemuda masa kini ditengah kegamangan globalisasi dan westernisasi. Dalam konteks tersebut, peran dan transformasi nasionalisme pemuda atas semangat kebangsaan merupakan suatu keniscayaan agar nasionalisme kaum pemuda masa kini tidak jadi tanda tanya atau mungkin lebih radikal “digugat”. Titik sentral dekonstruksi paradigma destruktif sekaligus merekonstruksi pemikiran pemuda masa kini yang lebih bermuatan nilai-nilai kebhinekaan juga merupakan suatu keniscayaan.

                                 ___________________________________
Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Oktober 2011.




Daftar Pustaka
Ali Masykur Musa, Magnitude Komunikasi Politik Obama, http://andika-artikel.blogspot.com/2008/11/magnitude-komunikasi-politik-obama.html.
Anwar Arifin, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila; Suatu Kajian Mengenai Pers Pancasila, Penerbit, Media Sejahtera, Jakarta, 1992.
Yusuf Al-Qardhawi, Legalitas Politik, Dinamika Perspektif Nash dan Asy-Syariah, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2008.
Ibnu Taimiyyah, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, Pustaka, Bandung, 2001.
John L. Esposito, Islam dan Politik, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
Koran Republika, Kamis, 16 Juni 2011, Orde Baru, hlm. 24.




Rabu, 23 November 2016

Calon Perseorangan dan Kualitas Kepemimpinan Daerah

Menakar Calon Perseorangan dalam Pemilukada

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



Wacana pentingnya calon independen, baik dalam perspektif pemilihan umum nasional Presiden dan Wakil Presiden hingga pada tingkat lokal Gubernur/Bupati/Wali Kota yang dilakukan secara langsung, patut mendapat respons. Tuntutan masyarakat yang kadang disertai tindakan destruktif di beberapa daerah agar pemerintah dan DPR harus lebih proaktif menanggapi pencalonan perseorangan, setidaknya jadi titik tolak untuk mengukur sejauhmana instrumen demokrasi berupa parpol telah bekerja dengan baik dan komperehensif. Kehadiran calon independen akan menambah kualitas nilai demokrasi sekaligus membawa konsekuensi positif untuk mendewasakan masyarakat dalam berpolitik. Dalam kerangka ini, kualitas demokrasi dapat diketahui sejauhmana kebijakan pemerintah memberi ruang bagi semua anak bangsa untuk berekspresi sesuai aturan dan mekanisme yang ada.
Secara teoritis, calon independen lebih memiliki muatan misi kebajikan universal (civic morality plus public civility) secara sosial dibanding calon yang diusung partai politik. Calon perseorangan sudah pasti tidak memiliki konstituen tertentu yang memerlukan kontrak politik berupa perjanjian dalam bentuk hitam di atas putih sebelum terpilih. Calon independen lebih diikat oleh rasa tanggung jawab moral pada masyarakat secara  keseluruhan. Sedangkan calon pengusung parpol cenderung bermuatan politis sehingga paradigma politik yang dipasang selalu berorientasi pada teknis pragmatis --- kesempatan strategis untuk membalas budi baik parpol yang berhasil meloloskan dirinya.
Akibatnya adalah kedaulatan rakyat tidak akan dijalankan secara obyektif oleh pemimpin yang lahir dari rahim kompromi politik. Di sinilah letak persoalan yang menyebabkan tarik ulur kepentingan antara kekuatan politik yang notabene dikendalikan parpol dan para akademisi, kaum profesional yang dipandang merepresentasi calon independen. Pertanyaannya, implikasi politik apa yang akan terjadi jika calon independen diakomodasi?
Telah banyak pendapat mulai bernada argumentatif maupun deskriptif dikemukakan oleh berbagai pihak yang berbeda-beda berdasarkan kepentingan masing-masing. Terlepas dari perdebatan atas nama demokrasi atau hak asasi manusia maupun lainnya. Yang perlu menjadi tema sentral kajian wacana calon independen baik di tingkat pusat pemilu Presiden dan Wakil Presiden hingga Pilkada tingkat Gubernur/Bupati/Wali Kota, hendaknya disikapi secara realistis, dan proporsional, karena dalam fragmentasi politik demokratik memungkinkan rakyat menentukan preferensi politik secara bebas, adil, dan jujur tanpa intervensi kepentingan politik kelompok mana pun.

Dinamika Parpol Merespon Calon Independen
Polemik untuk memasukkan calon perseorangan dalam UU Politik secara formal tentu membuat para elite parpol merasa takut. Elite parpol yang secara struktur kekuasaan politik kepartaian memiliki jabatan strategis, merasa terancam jika calon independen diperbolehkan berkompetisi pada setiap momen Pilpres, ataupun pemilu Kepala Daerah tingkat Gubernur/Bupati/Wali Kota.
Fakta politik vertikal yang melibatkan elite kekuasaan politik parsial senantiasa meredusir nilai-nilai sosial kepemimpinan universal. Akibatnya rakyat kecil, meminjam istilah Eep Syaifullah Fatah, selalu jadi “kuda tunggangan” para elite politik dengan legitimasi sosial politik yang ada. Penolakan calon independen sebagaimana yang ditunjukkan oleh elite parpol tertentu jika ditarik benang hijau maka alasan menolak calon independen, selain bermuatan politis juga memiliki kecenderungan menghidupkan kembali sistem kekuasaan otoriter gaya Orde Baru.
Dalam konteks ini, penolakan calon independen memasuki arena perspektif yang miring bagi para elite parpol karena dianggap menonjolkan absurditas politik kekuasaan dengan memanfaatkan demokrasi sebagai dalih mencari selamat. Padahal yang dirasakan masyarakat akibat sistem kekuatan kekuasaan (trias political) antara eksekutif dan legislatif yang diskriminatif tidak kondusif bagi proses demokratisasi. Realitas politik pasca-reformasi, sistem politik nasional lebih didominasi oleh lembaga legislatif. Kekuasaan lembaga eksekutif dan legislatif tidak seimbang, sehingga proses pengambilan keputusan eksekutif sebagai eksekutor kebijakan selalu tidak memihak pada kepentingan rakyat yang jelas-jelas sebagai saham utama untuk seorang elite jadi pemimpin. Formulasi dan implementasi eksekusi kebijakan seringkali lebih mengedepankan kepentingan parpol karena keinginan mayoritas fraksi partai yang ada di parlemen. Maka sesuatu yang mustahil jika kepentingan rakyat bisa diselesaikan secara adil, jujur dan tulus oleh para elite parpol di parlemen selama kepentingan fundamental mereka tidak diganggu gugat, termasuk kepentingan akan kalah saing dengan calon independen.
Keengganan elite politik menerima usulan calon perseorangan telah menabrak nilai-nilai demokrasi yang pada kenyataannya telah berkonsensus memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahan negara. Elit parpol yang pragmatis semestinya tahu bahkan sadar bahwa membangun kualitas demokrasi memerlukan varian-varian yang memungkinkan bagi terciptanya masyarakat yang egaliter, modern, dan beradab, atau istilah filsafat Yunani Kuno, civic morality serta public civility sebagai landasan mewujudkan kebajikan dalam masyarakat (civic vitue), sebagai dasar membangun negara yang ideal (good state). Di mana nilai-nilai demokrasi mengajarkan adanya kesamaaan hak dalam berpartisipasi baik untuk memilih ataupun dipilih tanpa paksaan.
Sistem politik kita yang menempatkan parlemen sebagai peran utama check and balances terhadap kekuasaan eksekutif dalam kenyataan implementasinya justru menunjukkan peran ganda alias amanat kewenangan check and balances sering disalahgunakan, sehingga kepentingan masyarakat kerap terabaikan. Dikotomi dan dualisme kepemimpinan yang lebih memihak pada kepentingan parpol inilah yang menyebabkan kemarahan masyarakat terhadap peran ganda parpol, sehingga rakyat merasa untuk tidak lagi mengandalkan parpol sebagai pilihan efektif guna mentransformasi kepentingan politik mereka dalam struktur pemerintahan negara.

Kesadaran Elite Politik       
Perdebatan calon perseorangan yang terus mencuat, sepatutnya mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah dan DPR sebagai penyelenggara negara. Wacana calon independen adalah suatu keharusan dalam upaya mewujudkan kualitas demokrasi. Oleh karena itu, calon perseorangan bukan sekadar  untuk disuarakan kemudian jadi konsumsi politik para elite, tetapi bagaimana kepekaan pemerintah dan DPR serta seluruh kekuatan elemen masyarakat untuk kembali berpikir tentang pentingnya menghadirkan calon perseorangan dalam bentuk Peraturan dan Perundang-undangan.
Maka menarik jika keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang judicial review (peninjauan ulang) Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang membolehkan keikutsertaan calon independen dalam pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) supaya ditindaklanjuti pemerintah dan DPR selaku eksekutor dan perumus UU. Di sinilah pentingnya pemerintah bersama DPR mengambil langkah produktif dalam menentukan kebijakan untuk membuat undang-undang politik yang bisa memungkinkan calon perseorangan maju dalam pemilihan pemimpin, baik di tingkat Presiden dan Wakil Presiden maupun di tingkat daerah Gubernur/Bupati/Wali Kota.
Jika merujuk pada rumusan draf UU Politik yang ditawarkan pemerintah pada DPR saat ini tentu tidak memungkinkan masuknya calon perseorangan karena dalam paket UU Politik yang sedang dipergunjingkan oleh para elite, bahkan elit lebih berkonsentrasi pada perdebatan electoral threshold (ET) yang rencananya dinaikkan dari 2% jadi 3-5%.
Sebagai gambaran sederhana, sudah jelas bagaimana para elite politik mengartikulasikan kepentingan rakyat ke dalam kepentingan eksklusif mereka. Elit lebih sibuk melakukan konsolidasi dan mobilisasi besar-besaran untuk melawan kebijakan pemerintah yang dianggap mengancam eksistensi parpol dalam pemilu. Frekuensi konsolidasi kekuatan dengan mobilisasi politik massa begitu kuat dilakukan elite guna menghadang UU politik yang menetapkan standar perolehan suara. Potret kinerja buruk parpol, khususnya dalam mengartikulasi kepentingan rakyat yang masih jauh dari  apa yang diharapkan rakyat, akan berpotensi membuat masyarakat frustasi, bahkan bisa memicu tindakan destruktif dan anarkis, karena keinginan rakyat tidak direspons secara baik oleh para penyelenggara negara. Politik oportunis yang ditampilkan pemerintah secara tak langsung bisa membunuh demokratisasi yang masih seumur jagung. 
Sebagai negara demokrasi ketiga di dunia, Indonesia bisa saja menengok negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, dan beberapa negara di Eropa yang menganut sistem demokrasi. Di AS, Inggris dan Rusia, calon independen dibolehkan ikut pemilu yang secara spesifik di negara-negara bagian. Karena AS menganut sistem suara pemilih tak menyentuh secara langsung kepada kandidat bersangkutan (electoral college), sehingga potensi yang menang cenderung pada kandidat yang memiliki jumlah suara terbesar (one man one vote). Indonesia dengan sistem politik yang demokratis sebetulnya pendekatan pemilu dengan demokrasi substansial sudah mirip sistem one man one vote, sehingga tidak ada alasan jika calon independen diikutsertakan baik dalam konteks Pilpres maupun Pilkada tingkat provinsi/kabupaten/kota.


                        __________________________________

Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Oktober 2007