Mengawal Kehormatan Pemilu !
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
dalam sidang putusan DKPP terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diadukan Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM-SIGMA) tentang
verifikasi faktual partai politik (parpol) menimbulkan kontroversi. Kritik
masyarakat dari yang konstruktif maupun kritik politis mewarnai polemik. Nuansa
kritik putusan DKPP pun bersifat variatif. Namun demikian, kritik apapun
sepanjang memiliki argumentasi yang kuat tentu dalam negara demokrasi merupakan
hal yang wajar.
Putusan DKPP Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012,
dengan teradu ketua dan anggota KPU pusat dinyatakan tidak terbukti mempunyai i’tikad buruk untuk
melanggar kode etik penyelenggara pemilu, dan sekaligus mengingatkan para
teradu dapat bekerja lebih profesional, transparan, jujur, adil, dan akuntabel
untuk seluruh tahapan pemilu berikutnya. Poin ketiga putusan dinyatakan,
pengaduan pengadu (Bawaslu dan SIGMA) terbukti sebagian, dan membenarkan
rekomendasi pengadu agar KPU mengikutsertakan parpol yang tidak lolos
verifikasi administrasi untuk diberi kesempatan mengikuti verifikasi faktual
sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU, dan memerintahkan kepada KPU
agar 18 (delapan belas) partai politik calon peserta pemilu, yang terdiri atas
12 (dua belas) partai politik yang direkomendasikan oleh Bawaslu ditambah 6
(enam) partai politik lainnya yang tidak lolos verifikasi administrasi tetapi
mempunyai hak konstitusional yang sama sehingga kembali diikutsertakan dalam
verifikasi faktual dengan tidak mengubah jadwal tahapan Pemilu dan kedelapan
belas partai politik tersebut di atas harus menyesuaikan dengan ketentuan
verifikasi faktual yang ditetapkan oleh KPU.
Pengaduan perkara Nomor 055/I-P/L-DKPP/2012
tanggal 31 Oktober 2012 yang
diregistrasi dengan Nomor Perkara 25/DKPP-PKE-I/2012 dan pengaduan Nomor
045/I-P/L-DKPP/2012 tanggal 29 Oktober 2012 yang diregistrasi dengan Nomor
Perkara 26/DKPP-PKE-I/2012, menjatuhkan putusan dalam perkara pengaduan yang
diajukan oleh pengadu I; Muhammad selaku ketua Bawaslu, dan pengadu II; Said
Salahuddin (SIGMA) dengan teradu Husni Kamil Manik (Ketua KPU) dan enam anggota
KPU lainnya akhirnya diputuskan dalam pleno DKPP pada hari Senin, tanggal
(26/11/2012) dan dibacakan secara terbuka dalam sidang DKPP hari Selasa,
tanggal (27/11).
Keberadaan DKPP merupakan salah satu bentuk
akumulasi keprihatinan politik terhadap proses dan hasil penyelenggaraan Pemilu
tahun 2009 yang sarat dengan stigma negatif yang begitu kuat melekat padanya.
Stigma negatif tersebut, dipicu oleh performa kinerja lembaga yang tidak
independen. Proses dan hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil
presiden menyita perhatian masyarakat, sehingga label KPU tidak netral, tidak proporsional,
dan bertindak menyimpang dari kode etik pemilu, menodorong DPR produk pemilu
2009 merevisi undang-undang Nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu.
Ada banyak kemajuan dalam revisi
undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 menjadi undang-undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang penyelenggara pemilu, diantaranya, ditingkatkannya kapasitas wewenang
lembaga DKPP untuk melakukan fungsi eksekusi pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu. Selain berperan langsung mengeksekusi pelanggaran kode
etik, peran penting penegakkan kode etik tidak hanya bagi KPU tetapi juga
Bawaslu di semua tingkatan. Perubahan hasil revisi undang-undang Nomor 22 Tahun
2007 menjadi undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 menempatkan institusi DKPP
sebagai pengadilan kode etik bagi KPU dan Bawaslu. Jadi, berbeda dengan
sebelumnya, di mana Dewan Kehormatan KPU (DK KPU) hanya menangani KPU dan itu
pun bersifat ad hock.
Selain bersifat ad hock, DK KPU juga hanya mengajukan rekomendasi kepada KPU.
Sementara DKPP tidak lagi berfungsi rekomendasi namun langsung mengeksekusi
setiap dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang terbukti secara
kuat dan meyakinkan melanggar kode etik. Undang-undang Nomor 15 tahun 2011,
Pasal 109 ayat (1-2), DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di ibu kota negara.
DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya
dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU
Provinsi/kabupaten/kota, PPK, PPS, KPPSLN, anggota Bawaslu
Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota, Panwascam, PPL, PPLN. Semenjak dibentuk secara
resmi tanggal 12 Juni 2012, DKPP telah menjalankan amanat UU No. 15/2011 Pasal
110 ayat (1-2), dimana ditugaskan untuk menyusun dan menetapkan satu kode etik
untuk menjaga kemandirian integritas, dan kredebilitas anggota KPU, dan dalam
proses penyusunan peraturan kode etik DKPP perlu melibatkan pihak-pihak lain
guna mendapatkan legitimasi.
Dalam konteks tersebut, DKPP telah
menghasilkan sebuah peraturan yang dinamakan peraturan bersama kode etik
penyelenggara pemilu. Peraturan bersama kode etik tersebut dituangkan dalam
peraturan bersama KPU, Bawaslu, DKPP Nomor 13, 11, 1, Tahun 2012 dan
ditandatangani bersama oleh ketiga lembaga.
Pasal 8 Ayat (1) Poin J, UU No. 15 Tahun 2011
tentang penyelenggara pemilu dengan tegas dikatakan, DKPP menerima
laporan/pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dari
pihak-pihak terkait. Pemilu yang adil dan demokratis membutuhkan kerjasama yang
sinergis dari berbagai pemangku kepentingan.
Pemilu Bermartabat
Tujuan menghasilkan sebuah penyelenggaraan pemilu yang demokratis kerapkali
terganggu akibat sikap dan tindak-tanduk segelintir anggota KPU-Bawaslu yang
menyimpang. Proses dan hasil pemilu tidak berintegritas sehingga sistem pemilu
yang demokratis pun akan mengalami kesulitan dalam penerapan. Perilaku individu
anggota penyelenggara pemilu yang menjadi perhatian utama DKPP dalam menegakkan
kode etik dan tidak memasuki wilayah kelembagaan. Karena tindakan etik tidak
etik seorang penyelenggara dalam proses sangat menentukan kualitas dan
integritas pemilu dan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilu
kada).
Penanganan kasus-kasus pemilu dan pemilu kada
di berbagai daerah dengan pendekatan hukum, acapkali melahirkan
kegaduhan-kegaduhan. Maklum, meminjam istilah Jimly Asshiddiqie yang juga ketua
DKPP mengatakan, hukum selalu dikonstruksikan tidak untuk keberpihakan pada
keadilan tetapi hukum seringkali dijadikan sebagai alat untuk membela
kepentingan-kepentingan tertentu. Pengakan hukum kerap lebih mengedepankan
teknis prosedurnya saja sehingga keberpihakannya kepada kemanfaatan seringkali
diabaikan. Karena selalu teknis maka hasilnya selalu pragmatis. Dan dalam
proses penegakan hukum tidak menjadikan justic
sebagai basis pijakan namun teknik prosedur penegakan yang mengutamakan
siapa kalah, siapa menang.
Penyelenggaraan pemilu berbasis pada prinsip
luber dan jurdil merupakan suatu keharusan dalam rangka menegakkan nilai-nilai
demokrasi di Indonesia. Pemilu memiliki arti penting tidak secara teknis
operasional terhadap sebuah undang-undang tetapi mempunyai makna filosofis yang
mendalam. Pemilu merupakan sebuah sarana yang tidak saja menegakkan kedaulatan
rakyat, namun pemilu adalah bentuk transformasi nilai-nilai demokrasi yang
bertujuan menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa yang bermartabat.
Integritas proses dan hasil penyelenggaraan
pemilu dan pemilu kada sangat ditentukan oleh integritas anggota dan instrumen
penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) di semua tingkatan yang berintegritas
baik. Kualitas demokrasi bisa terwujudkan apabila anggota penyelenggara pemilu
bisa menciptakan iklim kelembagaan demokrasi berjalan sesuai peraturan dan
perundang-undangan.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
penyelenggara pemilu merupakan produk politik pemerintah dan DPR dengan maksud
mengembalikan kehormatan instrumen Pemilu (KPU dan Bawaslu) supaya menjadi
lebih bermartabat dalam mengelola proses pemilu. Pemilu 2009 dan pemilu kada di
banyak daerah yang mengundang ekspektasi masyarakat secara negatif terhadap KPU
dan Bawaslu mendorong pemerintah dan DPR merevisi UU Nomor 22 Tahun 2007
Tentang penyelenggara pemilu, yang salah satu poin pentingnya ialah menaikan
status wewenang dan kelembagaan DKPP.
Kehormatan Pemilu
Keberadaan lembaga DKPP membawa misi yang sangat berat yaitu menegakan
pelaksanaan kode etik pemilu. Sejak didirikannya, DKPP telah melaksanakan
tugasnya, yakni mulai dari finalisasi draft kode etik pemilu hingga
mengeksekusi pengaduan-pengaduan terkait dugaan pelanggaran kode etik pemilu.
Sampai saat ini DKPP telah memberhentikan 22 anggota KPU
Provinsi/kabupaten/kota dan panwaslu kada provinsi/kabupaten, yang antara lain;
3 anggota KIP Aceh Tenggara, ketua KPU Kota Depok, 5 anggota KPUD Kab Tulang
Bawang, ketua dan anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, ketua panwaslu
provinsi DKI Jakarta, 2 anggota KIP Aceh Tengah, 2 anggota Panwaslu Kab
Halmahera Tengah, ketua KPU Kab Puncak, dan ketua KPU beserta 1 anggota KPU Kab
Lumajang Jawa Timur.
Pada akhirnya, perlu kesadaran baru dan
dibutuhkan aksi nyata dalam terobosan perbaikan kualitas pemilu sebagai
konsekuensi logis dari semangat membentuk lembaga ini. Kita tetap membutuhkan
penegakan hukum tindakan pidana pemilu dan penyelesaian hukum terkait
pelanggaran administrasi pemilu baik melalui Polisi, Jaksa, pengadilan PTUN,
dan MK, akan tetapi pendekatan etika juga harus menjadi suatu keharusan.
Perdebatan tidak perlu diperpanjang apalagi
mengipas polemik yang bermuara politisasi. Kebijakan DKPP tidak perlu dieksploitasi
untuk kepentingan tertentu karena DKPP hanya menjalankan amanat UU yang dibuat
DPR dan pemerintah. Tidak perlu memperpanjang ritma polemik apalagi memberikan
ruang perdebatan politik yang semestinya tidak perlu. Semua pihak harus
melihatnya sebagai terobosan penting dalam membangun kualitas demokrasi dengan
menegakan kode etik Pemilu. Penegakan hukum harus dibarengi dengan penegakan
kode etik (rule of law dan rule of ethics).
Dengan demikian, tindakan DPR meminta
penjelasan DKPP yang dikemas dalam rapat konsultasi tidak memiliki landasan
hukum filosofis hukum tetapi lebih merupakan fungsi kelembagaan politik yang
dimanfaatkan. Patutnya ini tidak boleh terjadi dalam negara demokrasi yang
menghormati proses penegakan hukum apalagi ini menyangkut pengadilan etic. Belum pernah terjadi di negara
maju manapun yang parlemennya meminta penjelasan langsung dari lembaga
pengadilan tentang suatu putusan apalagi putusan pengadilan etika.
DKPP bertekad menjadikan proses tahapan
pemilu dan pemilu kada berjalan sesuai mekanisme dan peraturan
perundang-undangan. Kehormatan pemilu merupakan bagian tugas penting DKPP. DKPP
mengawal kehormatan proses dan hasil penyelenggaraan pemilu agar tetap berjalan
profesional, transparan, dan menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa yang
bermartabat.
DKPP tetap konsisten dan terus membangun
kerjasama dengan pelbagai pemangku kepentingan termasuk media massa guna
mengawal demokrasi yang berharkat dan bermartabat. DKPP tetap memastikan bahwa
setiap laporan dugaan pelanggaran kode etik Pemilu baik dilakukan pihak
penyelenggara maupun kontestan pemilu, DKPP akan selalu memperhatikan laporan
dan memprosesnya sesuai standar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Bagaimana pun putusan DKPP menjadi pelajaran
mahal dalam penyelenggara Pemilu di seluruh tanah air. Terobosan dengan
menjatuhkan sanksi pemulangan Sekjen dan kepala biro hukum kesekjenan KPU ke
induk kementerian merupakan kebijakan tegas yang langkah terjadi, dan patut
diikuti pimpinan lembaga-lembaga negara. Tugas dan fungsi kesekjenan sebagai
fasilitasi dan administrasi sejatinya tidak serta-merta menjadikan birokrasi
sebagai pijakan kerja yang patologis.
Toh, kenyataan selalu menunjukkan birokrasi
yang akut selalu melahirkan patologi struktur kekuasaan sehingga menyebabkan
institusi tidak bergerak dinamis bahkan menghambat produktivitas perubahan.
Putusan DKPP tidak perlu dipersoalkan karena bersifat tetap dan mengikat atau
tidak bisa diganggu gugat. Semua kita harus memahami, membangun iklim politik
yang sehat dengan membersihkan sistem korup memerlukan perjuangan dan
pengorbanan yang tinggi. Toh, semua tetap diorientasikan pada semangat
membangun dan menegakan integritas, kredebilitas, dan kehormatan penyelenggara
pemilu di masa-masa mendatang.
Keterangan: Arsip Tulisan Opini Lepas
Tulisan
ini dimuat di Tabloid Lintas Indonesia, Jakarta Edisi 06 Tahun I – 2012.