Senin, 26 September 2016

Menjaga Integritas Pemilu

Mengawal Kehormatan Pemilu !
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam sidang putusan DKPP terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diadukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM-SIGMA) tentang verifikasi faktual partai politik (parpol) menimbulkan kontroversi. Kritik masyarakat dari yang konstruktif maupun kritik politis mewarnai polemik. Nuansa kritik putusan DKPP pun bersifat variatif. Namun demikian, kritik apapun sepanjang memiliki argumentasi yang kuat tentu dalam negara demokrasi merupakan hal yang wajar.
Putusan DKPP Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012, dengan teradu ketua dan anggota KPU pusat dinyatakan  tidak terbukti mempunyai i’tikad buruk untuk melanggar kode etik penyelenggara pemilu, dan sekaligus mengingatkan para teradu dapat bekerja lebih profesional, transparan, jujur, adil, dan akuntabel untuk seluruh tahapan pemilu berikutnya. Poin ketiga putusan dinyatakan, pengaduan pengadu (Bawaslu dan SIGMA) terbukti sebagian, dan membenarkan rekomendasi pengadu agar KPU mengikutsertakan parpol yang tidak lolos verifikasi administrasi untuk diberi kesempatan mengikuti verifikasi faktual sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU, dan memerintahkan kepada KPU agar 18 (delapan belas) partai politik calon peserta pemilu, yang terdiri atas 12 (dua belas) partai politik yang direkomendasikan oleh Bawaslu ditambah 6 (enam) partai politik lainnya yang tidak lolos verifikasi administrasi tetapi mempunyai hak konstitusional yang sama sehingga kembali diikutsertakan dalam verifikasi faktual dengan tidak mengubah jadwal tahapan Pemilu dan kedelapan belas partai politik tersebut di atas harus menyesuaikan dengan ketentuan verifikasi faktual yang ditetapkan oleh KPU. 
Pengaduan perkara Nomor 055/I-P/L-DKPP/2012 tanggal 31 Oktober  2012 yang diregistrasi dengan Nomor Perkara 25/DKPP-PKE-I/2012 dan pengaduan Nomor 045/I-P/L-DKPP/2012 tanggal 29 Oktober 2012 yang diregistrasi dengan Nomor Perkara 26/DKPP-PKE-I/2012, menjatuhkan putusan dalam perkara pengaduan yang diajukan oleh pengadu I; Muhammad selaku ketua Bawaslu, dan pengadu II; Said Salahuddin (SIGMA) dengan teradu Husni Kamil Manik (Ketua KPU) dan enam anggota KPU lainnya akhirnya diputuskan dalam pleno DKPP pada hari Senin, tanggal (26/11/2012) dan dibacakan secara terbuka dalam sidang DKPP hari Selasa, tanggal (27/11).
Keberadaan DKPP merupakan salah satu bentuk akumulasi keprihatinan politik terhadap proses dan hasil penyelenggaraan Pemilu tahun 2009 yang sarat dengan stigma negatif yang begitu kuat melekat padanya. Stigma negatif tersebut, dipicu oleh performa kinerja lembaga yang tidak independen. Proses dan hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden menyita perhatian masyarakat, sehingga label KPU tidak netral, tidak proporsional, dan bertindak menyimpang dari kode etik pemilu, menodorong DPR produk pemilu 2009 merevisi undang-undang Nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu.
Ada banyak kemajuan dalam revisi undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 menjadi undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu, diantaranya, ditingkatkannya kapasitas wewenang lembaga DKPP untuk melakukan fungsi eksekusi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Selain berperan langsung mengeksekusi pelanggaran kode etik, peran penting penegakkan kode etik tidak hanya bagi KPU tetapi juga Bawaslu di semua tingkatan. Perubahan hasil revisi undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 menjadi undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 menempatkan institusi DKPP sebagai pengadilan kode etik bagi KPU dan Bawaslu. Jadi, berbeda dengan sebelumnya, di mana Dewan Kehormatan KPU (DK KPU) hanya menangani KPU dan itu pun bersifat ad hock.
Selain bersifat ad hock, DK KPU juga hanya mengajukan rekomendasi kepada KPU. Sementara DKPP tidak lagi berfungsi rekomendasi namun langsung mengeksekusi setiap dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang terbukti secara kuat dan meyakinkan melanggar kode etik. Undang-undang Nomor 15 tahun 2011, Pasal 109 ayat (1-2), DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di ibu kota negara. DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi/kabupaten/kota, PPK, PPS, KPPSLN, anggota Bawaslu Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota, Panwascam, PPL, PPLN. Semenjak dibentuk secara resmi tanggal 12 Juni 2012, DKPP telah menjalankan amanat UU No. 15/2011 Pasal 110 ayat (1-2), dimana ditugaskan untuk menyusun dan menetapkan satu kode etik untuk menjaga kemandirian integritas, dan kredebilitas anggota KPU, dan dalam proses penyusunan peraturan kode etik DKPP perlu melibatkan pihak-pihak lain guna mendapatkan legitimasi.
Dalam konteks tersebut, DKPP telah menghasilkan sebuah peraturan yang dinamakan peraturan bersama kode etik penyelenggara pemilu. Peraturan bersama kode etik tersebut dituangkan dalam peraturan bersama KPU, Bawaslu, DKPP Nomor 13, 11, 1, Tahun 2012 dan ditandatangani bersama oleh ketiga lembaga.
Pasal 8 Ayat (1) Poin J, UU No. 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu dengan tegas dikatakan, DKPP menerima laporan/pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dari pihak-pihak terkait. Pemilu yang adil dan demokratis membutuhkan kerjasama yang sinergis dari berbagai pemangku kepentingan.

Pemilu Bermartabat
Tujuan menghasilkan sebuah penyelenggaraan pemilu yang demokratis kerapkali terganggu akibat sikap dan tindak-tanduk segelintir anggota KPU-Bawaslu yang menyimpang. Proses dan hasil pemilu tidak berintegritas sehingga sistem pemilu yang demokratis pun akan mengalami kesulitan dalam penerapan. Perilaku individu anggota penyelenggara pemilu yang menjadi perhatian utama DKPP dalam menegakkan kode etik dan tidak memasuki wilayah kelembagaan. Karena tindakan etik tidak etik seorang penyelenggara dalam proses sangat menentukan kualitas dan integritas pemilu dan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilu kada).
Penanganan kasus-kasus pemilu dan pemilu kada di berbagai daerah dengan pendekatan hukum, acapkali melahirkan kegaduhan-kegaduhan. Maklum, meminjam istilah Jimly Asshiddiqie yang juga ketua DKPP mengatakan, hukum selalu dikonstruksikan tidak untuk keberpihakan pada keadilan tetapi hukum seringkali dijadikan sebagai alat untuk membela kepentingan-kepentingan tertentu. Pengakan hukum kerap lebih mengedepankan teknis prosedurnya saja sehingga keberpihakannya kepada kemanfaatan seringkali diabaikan. Karena selalu teknis maka hasilnya selalu pragmatis. Dan dalam proses penegakan hukum tidak menjadikan justic sebagai basis pijakan namun teknik prosedur penegakan yang mengutamakan siapa kalah, siapa menang.
Penyelenggaraan pemilu berbasis pada prinsip luber dan jurdil merupakan suatu keharusan dalam rangka menegakkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Pemilu memiliki arti penting tidak secara teknis operasional terhadap sebuah undang-undang tetapi mempunyai makna filosofis yang mendalam. Pemilu merupakan sebuah sarana yang tidak saja menegakkan kedaulatan rakyat, namun pemilu adalah bentuk transformasi nilai-nilai demokrasi yang bertujuan menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa yang bermartabat.
Integritas proses dan hasil penyelenggaraan pemilu dan pemilu kada sangat ditentukan oleh integritas anggota dan instrumen penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) di semua tingkatan yang berintegritas baik. Kualitas demokrasi bisa terwujudkan apabila anggota penyelenggara pemilu bisa menciptakan iklim kelembagaan demokrasi berjalan sesuai peraturan dan perundang-undangan.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu merupakan produk politik pemerintah dan DPR dengan maksud mengembalikan kehormatan instrumen Pemilu (KPU dan Bawaslu) supaya menjadi lebih bermartabat dalam mengelola proses pemilu. Pemilu 2009 dan pemilu kada di banyak daerah yang mengundang ekspektasi masyarakat secara negatif terhadap KPU dan Bawaslu mendorong pemerintah dan DPR merevisi UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang penyelenggara pemilu, yang salah satu poin pentingnya ialah menaikan status wewenang dan kelembagaan DKPP.

Kehormatan Pemilu
Keberadaan lembaga DKPP membawa misi yang sangat berat yaitu menegakan pelaksanaan kode etik pemilu. Sejak didirikannya, DKPP telah melaksanakan tugasnya, yakni mulai dari finalisasi draft kode etik pemilu hingga mengeksekusi pengaduan-pengaduan terkait dugaan pelanggaran kode etik pemilu. Sampai saat ini DKPP telah memberhentikan 22 anggota KPU Provinsi/kabupaten/kota dan panwaslu kada provinsi/kabupaten, yang antara lain; 3 anggota KIP Aceh Tenggara, ketua KPU Kota Depok, 5 anggota KPUD Kab Tulang Bawang, ketua dan anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, ketua panwaslu provinsi DKI Jakarta, 2 anggota KIP Aceh Tengah, 2 anggota Panwaslu Kab Halmahera Tengah, ketua KPU Kab Puncak, dan ketua KPU beserta 1 anggota KPU Kab Lumajang Jawa Timur.
Pada akhirnya, perlu kesadaran baru dan dibutuhkan aksi nyata dalam terobosan perbaikan kualitas pemilu sebagai konsekuensi logis dari semangat membentuk lembaga ini. Kita tetap membutuhkan penegakan hukum tindakan pidana pemilu dan penyelesaian hukum terkait pelanggaran administrasi pemilu baik melalui Polisi, Jaksa, pengadilan PTUN, dan MK, akan tetapi pendekatan etika juga harus menjadi suatu keharusan.
Perdebatan tidak perlu diperpanjang apalagi mengipas polemik yang bermuara politisasi. Kebijakan DKPP tidak perlu dieksploitasi untuk kepentingan tertentu karena DKPP hanya menjalankan amanat UU yang dibuat DPR dan pemerintah. Tidak perlu memperpanjang ritma polemik apalagi memberikan ruang perdebatan politik yang semestinya tidak perlu. Semua pihak harus melihatnya sebagai terobosan penting dalam membangun kualitas demokrasi dengan menegakan kode etik Pemilu. Penegakan hukum harus dibarengi dengan penegakan kode etik (rule of law dan rule of ethics).
Dengan demikian, tindakan DPR meminta penjelasan DKPP yang dikemas dalam rapat konsultasi tidak memiliki landasan hukum filosofis hukum tetapi lebih merupakan fungsi kelembagaan politik yang dimanfaatkan. Patutnya ini tidak boleh terjadi dalam negara demokrasi yang menghormati proses penegakan hukum apalagi ini menyangkut pengadilan etic. Belum pernah terjadi di negara maju manapun yang parlemennya meminta penjelasan langsung dari lembaga pengadilan tentang suatu putusan apalagi putusan pengadilan etika. 
DKPP bertekad menjadikan proses tahapan pemilu dan pemilu kada berjalan sesuai mekanisme dan peraturan perundang-undangan. Kehormatan pemilu merupakan bagian tugas penting DKPP. DKPP mengawal kehormatan proses dan hasil penyelenggaraan pemilu agar tetap berjalan profesional, transparan, dan menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa yang bermartabat.
DKPP tetap konsisten dan terus membangun kerjasama dengan pelbagai pemangku kepentingan termasuk media massa guna mengawal demokrasi yang berharkat dan bermartabat. DKPP tetap memastikan bahwa setiap laporan dugaan pelanggaran kode etik Pemilu baik dilakukan pihak penyelenggara maupun kontestan pemilu, DKPP akan selalu memperhatikan laporan dan memprosesnya sesuai standar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Bagaimana pun putusan DKPP menjadi pelajaran mahal dalam penyelenggara Pemilu di seluruh tanah air. Terobosan dengan menjatuhkan sanksi pemulangan Sekjen dan kepala biro hukum kesekjenan KPU ke induk kementerian merupakan kebijakan tegas yang langkah terjadi, dan patut diikuti pimpinan lembaga-lembaga negara. Tugas dan fungsi kesekjenan sebagai fasilitasi dan administrasi sejatinya tidak serta-merta menjadikan birokrasi sebagai pijakan kerja yang patologis.
Toh, kenyataan selalu menunjukkan birokrasi yang akut selalu melahirkan patologi struktur kekuasaan sehingga menyebabkan institusi tidak bergerak dinamis bahkan menghambat produktivitas perubahan. Putusan DKPP tidak perlu dipersoalkan karena bersifat tetap dan mengikat atau tidak bisa diganggu gugat. Semua kita harus memahami, membangun iklim politik yang sehat dengan membersihkan sistem korup memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang tinggi. Toh, semua tetap diorientasikan pada semangat membangun dan menegakan integritas, kredebilitas, dan kehormatan penyelenggara pemilu di masa-masa mendatang.

Keterangan: Arsip Tulisan Opini Lepas
Tulisan ini dimuat di Tabloid Lintas Indonesia, Jakarta Edisi 06 Tahun I – 2012.


Senin, 19 September 2016

Integritas Proses dan Hasil Pemilu

Manivesto Integritas Pemilu

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)


Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Komisi 2 pada Rapat Kerja Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hari Senin tanggal 4/6/2012 sebagai tindaklanjut dari RDP sebelumnya tanggal 21/5, dimana mereka menyepakati untuk secepatnya membentuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Alhasil, momen RDP hari Senin 4/6 perkembangan yang terjadi Komisi 2 DPR mengumumkan 3 nama calon anggota DKPP.
Sebagai tindaklanjut agenda RDP, KPU dan Bawaslu langsung menggelar rapat pleno masing-masing internal dengan tujuan menetapkan nama calon anggota DKPP. KPU mengutus anggota komisioner Ida Budiarti, dan Bawaslu mengutus anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak. RDP hari Senin 4/6 Komisi 2 menyampaikan perkembangan terkait pengajuan 3 nama calon anggota DKPP dari unsur masyarakat yang merupakan hasil seleksi mereka yakni Jimly Asshiddiqie, Nur Hidayat Sardini, dan Saut Hutamongan Sirait. Jimly sosok cendikiawan yang profesional, Nur Hidayat Sardini merupakan intelektual muda yang energik dan dedikasinya pada persoalan pemilu tidak diragukan, serta mantan anggota KPU pergantian antar waktu (PAW), Saut Hutamongan Sirait yang menggantikan komisioner KPU Andi Nurpati karena dipecat sebagai sosok yang kreatif. Diumumkan 3 nama calon anggota DKPP tersebut paling tidak mampu mereduksi polemik soal ketertutupan DPR selama beberapa pekan terakhir.
Terlepas dari interpretasi dan persepsi politik apapun yang dibangun para aktor politik dan berkembang di masyarakat tentang isu politisasi atau adanya vested inters dalam proses seleksi yang dilakukan Komisi 2, namun, dengan muncul 3 nama tersebut sekurang-kurangnya membuat publik lega. Meski apa yang dilakukan DPR tidak kemudian memuaskan semua pihak. Tetapi paling tidak DPR telah mengambil sebuah keputusan politik yang produktif karena dengan waktu yang diberikan Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu bisa dijalankan secara konsisten.
DPR, KPU, dan Bawaslu sudah secara resmi mengajukan nama-nama calon anggota DKPP, tinggal pemerintah. Pemerintah diharapkan bersikap terbuka dan betul-betul mengedepankan aspek proporsionalitas dan profesionalitas dalam memilih calon anggota DKPP. Pemerintah seharusnya lebih dahulu memberikan contoh yang positif dalam mengambil keputusan yang akuntabel. Jika pemerintah memperlambat proses pembentukan DKPP maka sangat boleh jadi public menaruh curiga pada pemerintah. Semakin di molor proses ini maka semakin tidak percaya masyarakat pada pemerintah. Karena sesuai jadwal tahapan pembentukan DKPP menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 waktu yang diberikan hanya dua bulan yakni setelah komisioner KPU dan Bawaslu mengambil sumpah dan janji.
Keberadaan DKPP sangatlah diperlukan apalagi di beberapa daerah termasuk provinsi DKI Jakarta yang tengah menyelenggarakan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) sehingga kehadirannya menjadi begitu penting guna mengurangi potensi pelanggaran Pemilu Kada. Mengingat eksistensi DKPP menjadi basis kekuatan moral yang menjaga dan mengawal kehormatan Pemilu di Indonesia.
Sebetulnya pemerintah tidak perlu menunda-nunda apabila merujuk pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu, Pasal 109 ayat (3) yang memerintahkan agar DKPP dibentuk paling lama 2 (dua) bulan sejak anggota KPU dan anggota Bawaslu mengucapkan sumpah/janji. KPU dilantik pada hari kamis tanggal 12/4/2012 dengan Keppres No. 34/P/2012, dan Bawaslu dengan Keppres No. 35/P/2012 sehingga dengan demikian, jika DPR dan pemerintah komitmen berpijak pada amanat UU No. 15/2011 tersebut maka tidak ada alasan pemerintah mengulur pembentukan DKPP.
Persiapan penyelenggaraan pemilu dan pemilu Kada bagi setiap tahapan memerlukan pengawasan teknis maupun pengawasan etik yang kuat dari berbagai elemen masyarakat terutama lembaga resmi negara yang dibekali dengan peraturan dan perundang-undangan. DKPP memiliki peran strategis sekaligus jadi tumpuan masyarakat bagi terselenggaranya pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber), dan jujur, dan adil (Jurdil). Artinya, kualitas proses maupun hasil pelaksanaan Pemilu sangat ditentukan seberapa jauh peran pengawasan kode etik dari DKPP.
DKPP berperan kuat melakukan pengawasan kode etik bagi penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, pemerintah harus mempercepat proses pembentukan DKPP KPU-Bawaslu. Komitmen keseriusan pemerintah memperbaiki kualitas dan integritas demokrasi dipertanyakan publik bila presiden tidak secepatnya memutuskan 2 dari 4 nama yang sudah diajukan Kemendagri sebagai perwakilan pemerintah. Keberadaan DKPP merupakan suatu keniscayaan karena tahapan pemilu 2014 sudah di mulai sehingga memerlukan persiapan dan penyesuaian kelembagaan berdasarkan tugas dan fungsi (Tupoksi). Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu, Pasal 109 ayat (2), disebutkan, DKPP memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU pusat hingga daerah bahkan sampai pada tingkat paling bawah yakni KPPS, dan KPPSLN. Hal serupa juga di Bawaslu dari tingkat pusat hingga paling bawah yakni anggota PPL, dan PPLN.
Pengalaman empirik menunjukkan betapa kualitas proses maupun hasil penyelenggaraan pemilu pasca reformasi selalu bermuatan politisasi karena penyelenggara pemilu merupakan instrumen paling strategis. Penataan demokrasi mengalami kemacetan akibat kekurangseriusan pemerintah merespon persoalan ini. Pemilu 2009 seakan-akan menjadi sumber “kebencian politik” bagi banyak partai politik terutama partai politik yang dirugikan akibat ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu.

Integritas Pemilu
Integritas proses maupun hasil penyelenggaraan pemilu tidak lepas dari integritas keanggotaan DKPP. Karena bagaimana pun kualitas dan integritas proses dan hasil pemilu tidak hanya melahirkan legitimasi politik masyarakat luas secara kuat tetapi legitimasi moralitas induvidu dalam struktur keanggotaan DKPP menjadi sangat menentukan bagi proses dan hasil pemilu. Artinya kehormatan penyelenggaraan pemilu secara moralitas dibangun oleh kinerja dan gerakan DKPP.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 Pasal 112 ayat (11), memberikan wewenang bagi DKPP memberikan sanksi teguran tertulis, memberhentikan sementara anggota KPU dan Bawaslu di semua tingkatan, hingga pemberhentian bersifat tetap. Martabat pemilu untuk mewujudkan legitimasi moral masyarakat pada anggota KPU dan anggota Bawaslu dalam menyelenggarakan pemilu tidak bisa dipisahkan dari profesionalisme anggota DKPP baik secara individu maupun kelembagaan. Apalagi status DKPP produk Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 yang merupakan hasil revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 semakin diperkuat keberadaannya yakni dari ad hock menjadi permanen.
Dalam konteks ini, presiden dituntut benar-benar selektif, akurat, dan mengedepankan asas akuntabilitas mengambil 2 duna nama calon sebagai perwakilan pemerintah. Betapapun tuntutan kuat dari publik, dan keinginan semua pihak untuk menghasilkan calon anggota DKPP yang memiliki syarat kualifikatif tetapi tanpa didasari kemauan bijak konsisten secara moral menjalankan peraturan dan perundangan-undangan maka potensi tidak percaya publik terhadap pemerintah suatu waktu pasti akan terjadi.
Proses pemilihan 2 dari 4 nama calon anggota DKPP semestinya dilakukan dengan cara-cara yang etis dan demokratis karena kehormatan lembaga ini pada proses selanjutnya dapat diukur melalui kualitas proses politik yang terjadi pada pemerintahan sekarang. 4 nama calon yang diusulkan Kesbangpol Kemendagri ke presiden pun masih tertutup. Yang paling penting kesadaran politik pemerintah secara bijak untuk mengambil kader-kader bangsa yang memiliki kompetensi soal dunia kepemiluan di Indonesia. Pemerintah sudah saatnya, dan sudah sepatutnya memilih calon anggota yang betul-betul memiliki rekam jejak (track record) kepemiluan yang teruji secara publik.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu pada junto putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai keanggotaan DKPP terdiri dari 1 orang unsur KPU, 1 orang lagi dari unsur KPU, 2 dari unsur pemerintah, dan 3 dari unsur tokoh masyarakat. Perkembangan yang muncul kemudian adalah DPR, KPU, Bawaslu, dan pemerintah masing-masing sudah mengajukan nama sesuai proses dan mekanisme intern.

Pertaruhan DKKP
Tidak bisa dimungkiri bahwa performa kapasitas kinerja DKPP menjadi pertaruhan kredebilitas DPR dan pemerintah periode sakarang karena peran legislatif dan eksekutif begitu penting dalam proses pembentukan DKPP.  Begitu juga kualitas proses maupun hasil penyelenggaraan pemilu 2014 dan pemilu kada di seluruh Indonesia selama lima tahun ke depan. Mengingat pemilu merupakan sebuah ajang yang tidak semata menjalankan demokratisasi tetapi pemilu mengharuskan adanya sirkulasi kepemimpinan bangsa.
Oleh sebab itu, tugas penting yang harus dilakukan pemerintah ialah membuat komitmen moral dengan 2 nama calon sebagai perwakilan pemerintah  bila perlu dituangkan dalam pakta integritas untuk senantiasa mengedepankan asas kesamaan persepsi dengan tetap konsisten menjalankan ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang ada. Calon anggota DKPP perwakilan pemerintah haruslah orang yang betul-betul memiliki track record kepemiluan baik dari konteks penguasaan pemilu secara konsep maupun pengalaman mengelola pemilu secara teknis. Kemampuan menyelesaikan persoalan kepemiluan dan memiliki pengalaman panjang serta yang paling penting adalah bersosok pemimpin yang tegas namun selalu adil dalam pengambilan keputusan. Calon anggota DKPP yang diharapkan masyarakat, siap bekerja secara profesional dan penuh tanggjungwab.
DPR dan pemerintah harus kerja cerdas dan kerja produktif dalam rangka membangun ekspektasi publik mengenai calon anggota DKPP yang tentu tetap mengedepankan aspek kompetensi dan kapabilitas kepemimpinan. Anggota DKPP yang berkepemimpinan transformatif dan autokratis. Dengan gaya kepemimpinan transformatif dan autokratis maka apa yang dikatakan Ralph M. Stogdill sebagai authority (wewenang) akan mampu dijalankan secara tegas dan profesional oleh anggota DKPP. Keanggotaan DKPP hendaknya diisi oleh orang-orang yang tidak dikonstruksi oleh proses politik yang tidak fair tetapi orang-orang yang memang betul-betul dibentuk di dunia kepemiluan. Hal ini sejalan dengan konsep environmental theory yang mengatakan, leader are not born. Calon anggota DKPP siap bekerja secara kolektif kolegial dan tidak memainkan peran ganda. Karena sebagai pengawal moralitas penyelenggara pemilu dituntut senantiasa konsisten pada rambu-rambu kebenaran dan kebaikan universal. Tidak ada intrik politik sektoral karena simbol perwakilan tetapi ketika mereka menyatu dalam sistem maka yang paling penting adalah menjalankan tugas dan tanggungjawab dengan baik.
Masyarakat berharap agar pemerintah mampu melakukan terobosan berarti untuk perubahan kualitas dan integritas penyelenggaraan pemilu. Profesionalisme dan independensi seorang anggota DKPP menjadi taruhan moral DPR dan pemerintah. Karena bagaimanapun, sebagai ekses kualitas dan integritas proses maupun hasil pemilu 2014 dan pemilu kada di masa-masa yang akan datang secara otomatis tidak bisa lepas dari pertaruhan kinerja Komisi II DPR, KPU, Bawaslu, dan pemerintah sekarang. Karena Komisi II DPR dan pemerintahlah melalui Undang-Undang diberikan wewenang membentuk DKPP.

Jakarta, 7 Juli 2012


Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas

Selasa, 06 September 2016

Tahapan Verifikasi Faktual Pemilu

Mengelola Tahapan
Verifikasi Faktual Pemilu yang Tertib

Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)


Perhelatan pelaksanaan demokrasi tahun 2014 tengah melewati tahapan verifikasi partai politik di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Lebih dari 30an partai politik daftar di KPU untuk diverifikasi administrasi. Tahapan yang tidak saja menuntut penertiban sistem manajemen partai politik tetapi sekaligus memerintahkan parpol merapikan administrasi kepartaian. Kebijakan KPU memperpanjang masa pendaftaran partai peserta pemilu sudah merupakan sikap toleransi yang rasional sehingga parpol yang tidak mengindahkan kerapian administrasi hendaknya siap menerima resiko tidak lolos.
Proses pemeriksaan dokumen, kepengurusan dan keanggotaan parpol memerlukan ketelitian, keberanian sikap secara kelembagaan KPU guna mewujudkan kepastian hukum. Partai yang tidak memenuhi syarat administrasi didiskualifikasi sehingga parpol bersangkutan harus siap hadapi kenyataan. Kepastian hukum membutuhkan sikap berani dan tegas dari pihak penyelenggara pemilu. Dan KPU telah menutup pendaftaran pada (7/9) pukul 16.00 Wib dan hari ini Senin (10/9) KPU mengumumkan hasil pendaftaran.
Masyarakt menaruh harapan pada penyelenggara pemilu. Momen penyelenggaraan pemilu 2014 sejatinya tidak sekadar ornamen yang melengkapi sirkulasi kepemimpinan elit lima tahunan tetapi lebih substansial ialah transformasi nilai-nilai demokrasi dan bagaimana menghasilkan anggota DPR DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota yang berintegritas. Pemilu yang tidak semata menjadikan momentumnya sebagai ajang perebutan kekuasaan namun perhelatan yang mampu mewujudkan penyelenggaraan pemilu dengan adil dan demokratis. Dalam konteks yang lebih normatif pemilu bisa dilaksanakan dengan prinsip langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber) serta jujur, dan adil (Jurdil).
Tidak ada pilihan lain selain kemauan kuat dan i’tikad baik dari semua stakeholders yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu 2014 untuk menjadikannya sebagai momentum perbaikan kualitas proses maupun hasil pemilu. Komitmen dan konsistensi semua pemangku kepentingan sangat diperlukan guna membangun system governance dan membenahi electoral management yang lebih baik lagi.

Belajar dari Pemilu 2009
Pemilu 2009 seakan-akan menghilangkan jejak pemilu yang demokratis sebelum-sebelumnya karena potret berbagai praktek penyimpangan dan ketidakmampuan instrumen penyelenggara (KPU) dalam mengelola pemilu secara tertib. Pelanggaran pemilu dilakukan dengan berbagai modus operandi baik dilakukan kontestan maupun KPU yang sesungguhnya dipercayakan menjadi “panitia pelaksana”. Peran “panitia pelaksana” dalam mengawal pertandingan pemilu tidak fair sehingga yang ada hasil pemilu yang memilukan tidak saja kontestan pemilu tetapi berbagai elemen pemantau. Restorasi penyelenggaraan pemilu sebagai alternatif utama. Perubahan sistem pemilu harus disertai dengan perubahan perilaku penyelenggara pemilu.
KPU dan Bawaslu harus bisa memastikan penyelenggaraan pemilu 2014 akan lebih baik dari pemilu 2009. Pemilu 2009 tingkat partisipasi masyarakat mengalami penurunan dan pelanggaran administrasi dan pidana pemilu meningkat. Modus pelanggaran yang makin canggih mengancam kualitas demokrasi. Kualitas penyelenggaraan pemilu 2014 sangat ditentukan kualitas sumber daya pengelolaan pemilu dari KPU periode sekarang.
Pemilu legislatif dan presiden 2009 menyisahkan berbagai “prasangka politik”. Dalam catatan buku Sisi Gelap Pemilu 2009; Potret Aksesori Demokrasi Indonesia, diungkapkan total kasus administrasi pemilu secara nasional selama pelaksanaan pemilu 2009 sebanyak 15.341 kasus dan yang bisa diselesaikan hanya 49%. Di sisi lain, kasus pelanggaran pidana pemilu pun cukup fantastis, sebanyak 6.019 kasus yang dalam konteks penanganannya sama sekali tidak optimal. Total kasus pelanggaran pidana 6.019 yang ditindaklanjuti ke pihak penyidik sebanyak 1.646 kasus, sementara yang bisa diteruskan ke Jaksa 405 kasus, dan ke Pengadilan sebayak 260 kasus. Sementara di tingkat Pengadilan Negeri hanya 248 kasus, dan di Pengadilan Tinggi 62 kasus.
Problem klasif berupa ketidaktelitian verifikasi parpol, DP4, DPT, pelaksanaan kampanye dan Golput hingga mekanisme pemberian tanda pilih yang rumit menjadikan pemilu 2009 dirasakan sangat kacau, tentu tesis ini tanpa menafikan kinerja KPU 2009 yang membuat ekspektasi publik jadi turun. Oleh karenanya semua kita perlu membangun kesepahaman dan i’tikad baik bersama memperbaiki kualitas dengan menghasilkan integritas pemilu 2014 yang lebih baik. Tahapan pendaftaran telah ditutup sebagaimana jadwal yang ditentukan KPU di mulai tanggal 10 Agustus–7September dan tahapan verifikasi administrasi dilakukan hingga tanggal 14 September dan selanjutnya verifikasi faktual mulai tanggal 4-30 Oktober 2012 yang secara serentak melibatkan KPU semua tingkatan.
Anggota KPU dan Bawaslu di seluruh jenjang dituntut bertindak profesional. Profesionalitas dalam pengambilan keputusan serta kemauan kuat dari semua pemangku kepentingan mentaati aturan main pemilu 2014. Parpol yang tidak memenuhi syarat administrasi sudah selayaknya ditolak. Diperpanjangnya waktu pendaftaran merupakan sikap toleransi kepada kontestan pemilu untuk melengkapi syarat keadministrasian sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu.
Dalam konteks verifikasi dokumen parpol KPU harus bertindak tegas. KPU tidak boleh bertindak gegabah apalagi membuka cela pelanggaran karena dengan mentoleransi atau sekadar membuka cela pelanggaran maka potensi penyimpangan pemilu dilakukan secara kreatif oleh partai peserta pemilu.
Setiap petugas verifikator di tingkat lapangan hendaknya diikat dengan kesadaran etik yang tinggi untuk membenahi kualitas demokrasi. Karena di tahap ini peluang kecurangan sangat besar. Potensi permufakatan jahat antara verifikator dan fungsionaris parpol sangat mungkin terjadi. Dengan demikian, KPU dan Bawaslu hingga yang paling bawah harus semaksimal mungkin memainkan peran kelembagaan dalam tugas berikut yakni verifikasi faktual bahkan perlu melibatkan masyarakat terutama pemantau/pegiat/pemerhati pemilu guna mencegah pelanggaran.
Tidak jaminan bagi partai peserta pemilu yang lolos parliamentary threshold (PT) 2009 kemudian mulus memenuhi syarat administrasi. Oleh karenanya parpol yang daftar pada saat injury timetidak menjadi halangan bagi KPU jika ada ketidakpatuhan ketentuan pemilu. Masa waktu pendaftaran dari tanggal 10 Agustus–7 September 2012 termasuk masa perbaikan berkas hendaknya dimanfaatkan sebaik mungkin sehingga tidak ada kesan yang lolos PT daftar lebih awal.
Toh, putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembatalan Pasal 8 ayat (1-2), yang mengatur tentang verifikasi partai peserta pemilu serta Pasal 2008, dan Pasal 2009 ayat (1-2) tentang ambang batas (parliamentary threshold) 3,5% secara substansial sudah memenuhi hak-hak masyarakat karena dengan digunakan ketentuan tersebut secara otomatis diberlakukan 3,5% secara bertingkat, artinya diberlakukan di tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota atau dengan kata lain digunakan hanya untuk pemilihan anggota DPR pusat.
Kompleksitas penyelenggaraan Pemilu 2014 bisa menjadi lebih praktis apabila pihak penyelenggara pemilu betul-betul melibatkan partisipasi masyarakat terutama pegiat dan pemantau pemilu yang konsen pada perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu. Tanpa pelibatan publik yang lebih berarti dalam pengambilan keputusan maka kualitas proses maupun hasil pemilu 2014 akan menjadi nihil.

Basis Verifikasi
Proses verifikasi faktual berkas dan dokumen partai peserta pemilu hendaknya dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Hal ini penting guna menghindari praktek politik kong kalikong antara parpol dengan penyelenggara pemilu. Verifikasi faktual juga seyogyanya memiliki basis pemetaan yang jelas dan terukur sehingga dengan demikian KPU akan mendeteksi sedetail mungkin tingkat kerapian managamen organisasi parpol.
Verifikasi faktual kelengkapan data dan dokumen parpol hendaknya dilakukan dengan basis penekanan pada parpol maupun pertingkat provinsi sesuai ketentuan peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2012 tentang pendaftaran, verifikasi, dan penetapan parpol peserta pemilu anggota DPR/DPRD provinsi/Kabupaten/Kota. Basis provinsi KPU memprioritaskan pada jumlah kepengurusan parpol di tingkat provinsi berdasarkan jumlah provinsi yang ditentukan.
Dengan pendekatan ini maka proses verifikasi faktual KPU nanti akan bekerja efektif dan terukur karena prioritas penelitian dan pencocokan bukti-bukti syarat yang menjadi kelengkapan administrasi bisa terkonfirmasi secara akurat. KPU tidak perlu menguras energi dan sumber daya yang tidak seharusnya tepat sasaran dan tepat guna. Mengingat batas waktu verifikasi faktual hingga penetapan parpol peserta pemilu 2014 sangat berhimpitan.
Melalui metode verifikasi faktual berbasis provinsi KPU juga akan lebih fokus dan lebih mengkonsentrasikan program tahapan berikut serta fungsi koordinasi institusional dalam konteks ini akan aktif. Karena peran KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota memainkan peran aktif mengawal verifikasi faktual berbasis parpol. Pendelegasian wewenang antara KPU pusat dan KPU di masing-masing jenjang dapat membantu kecepatan kerja dan menghindari terjadinya tumpang tindih kebijakan. Hal ini tentu dilakukan dengan asas profesionalitas penyelenggaraan pemilu.
Dengan kedua basis verifikasi faktual tersebut yakni basis provinsi yang lebih menjadi konsentrasi KPU pusat serta basis parpol yang menjadi fokus KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota maka KPU pusat akan dengan mudah bisa memastikan parpol calon peserta pemilu mana yang serius mengembalikan formulir dan mana yang semestinya ditetapkan sebagai peserta pemilu.
Dengan motode verifikasi faktual seperti ini akan meminimalisir tingkat keteledoran penyelenggara pemilu dalam memutuskan dan menetapkan partai peserta pemilu sekaligus menghindari potensi gugatan hukum dan mencegah conflict of interest parpol yang tidak lolos menjadi peserta pemilu. Dengan basis verifikasi tersebut, KPU akan lebih cermat menelaah dan mencocokan bukti-bukti tertulis dengan fakta-fakta yang ada di lapangan.

Jakarta, 17 November 2012
Catatan: Arsip Tulisan


Minggu, 04 September 2016

Pilkada Provinsi DKI

Bercermin dari Pemilukada DKI Jakarta

Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)


Pasangan pemenang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) putaran kedua Provinsi DKI Jakarta 2012 Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) kemarin Senin (15/10) secara resmi dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Upacara pengambilan sumpah atau janji jabatan serta pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI periode 2012-2017 di Gedung DPRD Provinsi DKI berjalan cukup khidmat.
Warga Jakarta  telah melewati sebuah fase perbaikan kualitas penyelenggaraan Pemilu yang cukup baik. Fase di mana proses penyelenggaraan Pemilu Kada Provinsi DKI Jakarta yang secara umum berakhir dengan aman, tertib, dan damai. Publik cukup puas atas proses dan hasil Pemilu Kada, meski masih ada kekurangan, ketimpangan hingga penyimpangan kinerja Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi DKI terutama dalam memastikan Daftar PemilihTetap (DPT) putaran pertama.
Bicara masalah penanganan kasus DPT tentu amat menarik. Karena kasus ini selain menjadi sumber penyimpangan hak konstitusional warga juga menyangkut netralitas dan profesionalisme. Independensi memerlukan kemauan sekaligus tekad kuat semua pemangku kepentingan untuk secara kontinyu memperbaiki kualitas pemilu. Kualitas tidak hanya perbaikan sistem tetapi kesadaran politik etik individu dalam struktur sosial. Profesionalitas kelembagaan tidak menjamin proses maupun hasil pemilu berintegritas. Karena kebijakan lembaga penyelenggara pemilu kerap menimbulkan kegaduhan dan cenderung memicu pertengkaran politik.
Ketidaktertibanpengelolaan DPT Pemilu Kada Provinsi Jawa Timur berakibat fatal sehingga pasangan calon incumbent (petahana) Soekarwo dengan wakilnya Syaifullah Yusuf digugat pasangan Khofifah Indar Parawansyah dan Mudjiono ke Mahkamah Konstitusi (MK) (2/2/2009). Kasus DPT ganda Pemilu Kada Kotawaringin Barat, Kalimantan Barat, 5 Juni 2010 silam pun tidak saja menimbulkan konflik horisontal berkepanjangan tetapi ketidakadmampuan dan ketidakberdayaan KPUD Kobar melepaskan diri dari intervensi politik sangat mengganggu proses penataan demokrasi di tingkat daerah. Artinya, KPU sesungguhnya selalu ada dalam kubangan politik praktis karena ruang gerak penyimpangan selalu ada cela. Umumnya, kasus DPT di sebagian besar Pemilu Kada di Indonesia selalu bermuara dari ketidakcermatan KPU, dan oleh karena itu, seharusnya menjadi catatan tersendiri bagi KPU, DPR, Pemerintah, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sebagai stakeholder paling berkepentingan dalam menentukan apakah pemilu demokratis atautidak?
Dalam konteks perbaikan yang lebih konstruktif, maka kasus DPT Pemilu Kada DKI putaran pertama yang menghilangkan hak politik warga tidak boleh terjadi di pemilu 2014 yang sekarang tengah memasuki tahapan verifikasi faktual partai politik. Komitmen DPR, KPU, Kemendagri, danBawaslu, menjadikan Pemilu Kada sebagai tolok ukur Pemilu 2014 harus diterjemahkan secara praktik nyata. Problem ketidakteraturan pengelolaan DPT lebih disebabkan ketidakhati-hatian KPU memverifikasi data pemilih pada tahapan DP4 di satusisi, dan pada sisi lain, penyelenggara sering terjebak dengan patokan data yang disodorkan pemerintah.

Ekspektasi Masyarakat
Perhatian masyarakat Indonesia terhadap perhelatan demokrasi lokal DKI Jakarta terlihat cukup kuat. Tingkat partisipasi pengawasan Pemilu Kada pun amat tinggi. Tidak semata diawasi pelaksanaannya oleh Bawaslu, Panwaslu Kada tetapi masyarakat luas mengambil peran amat terasa. Partisipasi warga Jakarta putaran pertama relatif rendah, hal ini terlihat dari tingkat partisipasi pemilih yang hanya terkonfirmasi dalam DPT sebanyak 6.962.348, yang menggunakan hak suara secara sah 4.336.486, dari jumlah partisipasi pemilih sebanyak 4.407.141. putaran pertama masing-masing calon mengantongi perolehan suara sebagai berikut; pasangan Jokowi-Ahok, 1.847.157 (42,60%), Foke-Nara, 1.476.648 (34,05%), pasangan Hidayat-Didik, 508.113 (11,72%), pasangan Faisal-Biem, 215.935 (4,89%), pasangan Alex-Nono, 202.643 (4,67%), dan pasangan Hendardji-Riza hanya meraih 85.990 (1,98%).
Pertarungan Pilkada DKI telah usai setelah KPUD Provinsi menetapkan pasangan calon terpilih putaran kedua pada Hari Sabtu (29/9) melalui rapat pleno yang digelar di Hotel Borobudur, Jakarta. Pasangan Jokowi-Ahok menang secara meyakinkan dengan memperoleh dukungan kuat dari wilayah Jakarta Barat meraih 577.232 dengan total DPT 1.510.159, Jakarta Timur, 695.220 dari DPT 1.999.040, Jakarta Selatan 507.257 (DPT 1.512.913), Jakarta Utara 432.714 (DPT 1.168.988), Jakarta Pusat 256.529 (DPT 789.484), dan Kepulauan Seribu 3.178 (DPT 16.367) dengan total perolehan suara sebanyak   2.472.130 dan mengalahkan Foke-Nara yang mendapatkan suara secara keseluruhan sebanyak  2.120.815.
Nuansa demokratisasi relatif kondusif, dan momentum ini sepatutnya kita jadikan sebagai titik tekan mengawal suksesi kepemimpinan 2014. Penyelenggaraan Pemilu Kada mendapat perhatian begitu besar dari Pers dan lembaga-lembaga pemantau sehingga menarik menjadi bahan pelajaran bagi pemerintah.
Booming partisipasi warga menggunakan preferensi sebagai bentuk kesadaran politik masyarakat yang secara bersamaan ikut mengawasi pelaksanaan menunjukkan instrumen demokrasi bekerja aktif karenasikap proaktif instrumen-instrumen demokrasi mendorong pelbagai kekuatan politik untuk mengambil peran positif. Dalam perspektif ini, Pemilu Kada DKI tidak saja berjalan aman, tertib, dan damai, tetapi dari kerangka penyelenggaraannya berdasarkan penilaian umum relatif demokratis. Yang patut jadi pelajaran dari Pemilu Kada DKI ialah sikap kesatria dan bijak dari pasangan incunbent Fauzi Bowo yang secara jiwa besar menerima hasil tanpa menonjolkan arogansi kepemimpinan. Sikap kesatria ini harus kita akui sangat langkah terjadi dalam tradisi perhelatan Pemilu Kada di Indonesia. Dan pengalaman ini setidaknya menjadi peristiwa mahal yang harus diteladani oleh para pemimpin yang hendak berkompetisi merebut kekuasaan.

Terobosan
Selama ini dimensi penegakkan hukum Pemilu selalu memicu perdebatan politik yang tidak produktif sehingga seringkali muncul ketidakpastian hukum dalam suatu penyelesaian kasus Pilkada. Ketidakmenentuan suatu putusan penyelesaian Pilkada dalam konteks penegakkan hukum Pemilu acap dijadikan alasan politik calon tertentu untuk memperpanjang ritma petualangan kekuasaan. Dalam konteks itulah, revisi UU Nomor 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu menjadi UU Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu menghadirkan instrumen demokrasi baru yakni Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Lembaga etic yang semula berstatus ad hoc menjadi permanen dan komposisi keanggotaan yang proporsional dan difungsikan secara netral (independent police)
Eksistensi lembaga baru ini berdasarkan UU diorientasikan untuk memastikan penegakkan hukum secara pasti (the role of law) dan berperan mengawal kehormatan penyelenggara Pemilu the role of law and the of etic dari perspektif etika kepemiluan dalam era demokrasi modern.
DKPP tiga kali menyidangkan kasus dugaan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan Ketua KPUD DKI hingga pada tahap pemberian sangsi tertulis secara psikologi politik menjadi motivasi KPUD DKI. Sidang di KPU Pusat (27/7) dan (3/7/2012), dan sidang yang dilakukan di Bawaslu Sabtu (7/7/2012) tersebut mengeluarkan sangsi tertulis kepada Ketua KPUD Provinsi DKI sangat membawah dampak positif bagi perbaikan DPT.
Implikasi putusan DKPP terhadap Ketua KPUD DKI memberikan kontribusi yang cukup efektif dalam perbaikan kualitas Pemilu Kada DKI putaran kedua. Sangsi tertulis DKPP mampu mendorong sikap KPUD untuk merapikan tertib administrasi DPT putarankedua. Bangsa Indonesia dalam kerangka Pemilu Kada DKI setidaknya telah memulai dari sebuah proses yang baik. Ekspektasi publik untuk mensukseskan Pemilu Kada cukup tinggi. Kehadiran lembaga DKPP dalam konteks perbaikan kualitas penyelenggaraan Pemilu amat berarti dan oleh karenanya bagaimanapun patut diapresiasi. DKPP diamanatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu dalam Pasal 111 ayat (3) ditugaskan menerima pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, dan melakukan penyelidikan, pemeriksaan, menyidangkan, hingga menetapkan putusan dan menyampaikannya secara terbuka pada publik.
Pada ayat (4) DKPP secara kelembagaan berwenang memanggil penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik penyelenggara pemilu untuk memberikan penjelasan sekaligus memberi kesempatan pembelaan hingga menjatuhkan sangsi pada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Sebagai institusi baru dan merupakan bagian dari penegakkan kode etik penyelenggara Pemilu, DKPP di bawah kepemimpinan Jimly Ashhiddiqie ini sekurang-kurangnya telah berperan positif konstruktif. Fenomena wacana demokratisasi Pemilu Kada DKI memperlihatkan pada masyarakat di mana ada semangat baru dan kemauan kolektif membenahi kualitas demokrasi.
Namun demikian, betapapun performa proses dan hasil Pemilu Kada DKI Jakarta dinilai banyak pihak berhasil, akan tetapi KPU, DPR, Pemerintah, dan Bawaslu tidak lengah apalagi terbuai. Karena keberhasilan Pemilu Kada DKI putaran kedua tidak lepas dari peran optimal pemantau pemilu juga kalangancivil society. Publik tidak boleh menafikan realitas sosial di mana kuatnya kesadaran masyarakat dalam Pemilu Kada DKI.


Catatan : Arsip
Tulisan ini dimuat di Koran Harian Kendari Ekspres dalam dua kali tulisan, tanggal, 15 dan 16 Oktober 2012.