Gagasan tentang Etika Bernegara
Dari Praktek Peradilan tertutup
Sampai pada Penerapan Sistem Peradilan Terbuka
Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
A. Pendahuluan
Indonesia adalah negara
berdasarkan atas hukum. Sebagai negara demokrasi ketiga di dunia setelah
Amerika Serikat dan India, Indonesia sesungguhnya dihadapkan dengan berbagai
tantangan dan hambatan. Tantangan yang paling mengaga di depan mata kita adalah
di tengah bangsa ini secara terus menerus berupaya mewujudkan negara
berdasarkan atas hukum. Reformasi hukum merupakan kata kunci untuk membangun
kepercayaan publik di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja
lembaga-lembaga negara khususnya penegak hukum itu sendiri. Tata kelola
pemerintahan
Norma hukum, norma etika dan norma agama mengalami goncangan karena
dihadapkan dengan berbagai ketidakpastian sehingga yang sering muncul dalam
praktik kehidupan bernegara adalah perilaku yang menyimpang dari aturan yang
ada. Tulisan ini merupakan suatu usaha dalam rangka mencari penyebab dari
kekacauan sistem etika sosial dan menelaah fakta maupun peristiwa-peristiwa
kegoncangan moral bernegara dengan melakukan analisis kritis terhadap fenomena
sosial politik dari sudut pandang norma hukum dan norma etika. Pendekatan
ilmiah untuk menjelaskan permasalahan yang ditelaah tentu tetap menjadi
perhatian penulisan buku ini. Kajian ini menggunakan metode pendekatan analisis
kritis yang secara ilmiah mengkaji akar penyebab kerusakan tatanan etika
politik dan etika pemerintahan di dunia modern sekarang.
Maka pembahasan pada tulisan ini dimaksudkan sebagai pengantar
permulaan menuju ke suatu pemahaman baru mengenai pentingnya peradilan etika di
era modern. Uraian ini memberikan gambaran umum tentang masalah-masalah
kekacauan dalam dimensi etika sosial dan moralitas berbangsa dengan
mengedepankan gagasan-gagasan kritis pada aspek perbaikan kualitas demokrasi.
Pertanyaan pertama yang patut dimunculkan ialah apa itu etika? Dalam banyak
literatur tentang etika, pertanyaan ini selalu menjadi bagian penting yang
turut memberikan gambaran umum mengenai pengertian dan perkembangan etika itu
sendiri, sebagaimana dalam bukunya H. De Vos, seorang Guru Besar Groningen,
yang berjudul: Inteliding tot de Ethiek, dan
diterjemhkan dalam bahasa Indonesia oleh Seorjono Soemargono, Pengantar Etika (2002). Untuk menjawab
pertanyaan ini, tulisan ini tidak mengawali dengan jawaban secara etimologis
dengan membahas etika dari perspektif historis empiriknya dan pengertiannya
secara konsepsional tetapi sekadar menetapkan sebagaimana begitu banyak
terminologi dalam filsafat ilmiah yang memastikan, bahwa kata etika
sesungguhnya berasal dari orang Yunani. Dan yang paling penting bagi bangsa
kita dalam menghadapi tantangan kekacauan moral pada zaman sekarang ialah
bagaimana kita mengkritisi apakah yang dimaksud dengan etika dalam tahapan
perkembangan implementasinya.
Tulisan ini dimaksudkan untuk melakukan suatu kajian teoritis dan
fenomena-fenomena yang ada dengan mendalami realitas sosial politik kekinian
yang dilandasi dengan ide-ide keadilan restoratif tanpa mengabaikan
standar-standar formalitas. Suatu kajian yang menunjukkan bahwa model peradilan
umum dan peradilan khusus seperti diterapkan sekarang merupakan bentuk
peradilan klasik yang jauh dari prinsip kemajuan ilmu dan teknologi dan
bertentangan dengan modernisasi sistem demokrasi sebagaimana di beberapa negara
modern. Praktik peradilan yang mengadili pihak-pihak dalam bersilang sengketa
dengan cara tertutup menunjukkan bahwa, konfigurasi politik di Indonesia tidak
sejalan dengan prinsip keadilan. Praktik penegakan keadilan pada institusi
peradilan diselenggarakan dengan tertutup selain melawan arus kebebasan juga
bertentangan dengan keadilan.
Sistem peradilan umum di Indonesia dengan sengaja mengangkat beberapa
kasus mutakhir tentu dengan maksud untuk melengkapi studi perbandingan
reformulasi sistem etika berdasarkan teori-teori keadilan sebagai ide baru
dalam rangka penegakan kode etika profesi. Ide kebebasan (liberty) demokrasi, bagaimana mengelola sumber daya politik hukum
sebagai usaha membangun kualitas kehidupan etik dalam berbangsa. Buku ini
menekankan pembahasan, pentingnya law
enforment, equality before the law, supremasi keadilan, netralitas
kelembagaan penegakan hukum, dan bagaimana mereduksi intervensi penegakan hukum
pada peradilan serta pentingnya mentradisikan praktik kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang lebih baik.
Dari sisi konseptual menyoroti fungsi-fungsi nilai dan norma umum
kemasyarakatan dan kebangsaan ditinjau dari perspektif Pancasila. Pancasila
sebagai falsafah dan ideologi politik yang terbuka semakin tidak dianggap
sebagai pijakan utama, dengan mengajukan kasus kekacauan etika sosial politik
dan kerusakan moral dalam kehidupan masyarakat modern. Pancasila mengalami
distorsi karena ditafsirkan dengan ideologi impor sehingga dalam titik tertentu
kehilangan basis filosofis empiriknya. Pertarungan politik dalam kontestasi
kekuasaan kian tidak berbanding lurus dengan harapan rakyat dan kecenderungan
mobilisasi isu sebagai metamorfosi ideologi menunjukkan Pancasila tidak lagi
dianggap nilai fundamental.
Sistem kehidupan politik dan hukum dalam Pancasila, pergulatan wacana
reformasi sistem peradilan di Indonesia, kekacauan norma agama, norma hukum,
dan norma etika dalam pergumulan ideologi Pancasila, kapitalisme, liberalisme,
sosialisme, komunisme, dan demokrasi kian tak terbendungi. Kemenangan ideologi
komunal memaksa Indonesia mengadopsi sistem politik negara lain yang
sesungguhnya tidak sesuai dengan budaya bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Pada akhir bab buku ini selain menyoroti realitas kekinian tentang kekacauan
dan kerusakan tatanan nilai dalam bernegara juga mengajukan gagasan-gagasan
konseptual mengenai model peradilan etika modern dalam penegakan etika
penyelenggara negara. Lima tahap perkembangan etika menjadi landasan teoritik
untuk mengurai keadilan substansial dan keadilan restoratif dan mencari
konvergensi dalam rangka melakukan transformasi nilai etika bernegara
berdasarkan Pancasila.
Pertentangan ideologi politik tidak lagi melibatkan unsur-unsur
kekuatan bersifat hardwar semata
tetapi faktor kekuatan softwar pun
sebagai instrumen untuk mendapatkan legitimasi pemikiran politik termasuk
gagasan mengenai sistem hukum dan sistem etika modern. Pertentangan ideologi
hukum beranjak dari pemikiran klasik modern tentang sistem hukum yang dianggap
relevan diterapkan.
Negara-negara modern penganut sistem demokrasi menjadikan hukum sebagai
pilar utama menegakkan keadilan. Meski dalam penegakan hukum seringkali tidak
sejalan dengan esensi keadilan namun hukum telah menjadi pedoman kehidupan
bernegara. Sistem hukum selalu mengalami kerancuan dalam praktik disebabkan
dalam proses penyusunan regulasi hukum terjadi pergulatan pemikiran termasuk
kepentingan yang melatarbelakangi anggota legislatif. Kebenaran hukum
proseduralistik melekat pada konsep birokrasi yang mengutamakan pelayanan
formalitas karena tanggungjawab pada suatu pelimpahan tugas. Namun demikian,
bukan berarti konsep birokrasi tidak menghendaki pelayanan prima tetapi
sebaliknya, esensi birokrasi ialah tanggungjawab. Artinya, birokrasi menuntut adanya
sikap jujur, tanggungjawab atau profesionalitas.
Setelah reformasi dengan dibentuknya lembaga-lembaga pengadilan
seharusnya dapat memecahkan masalah yang ada. Misalnya Komisi Yudisial (KY)
dengan semangat utamanya ialah menegakkan kehormatan dan kewibawaan institusi
penegak hukum itu sendiri, namun kenyataan selalu tidak. Komisi Yudisial dalam
praktik peradilan tidak secara optimal menjalankan tugas dan fungsi bahkan
perilaku sebagian hakim semakin memperburuk kondisi kepercayaan publik pada
peradilan.
Komisi Yudisial adalah patner bagi Mahkamah Agung dalam menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Oleh karena itu,
setiap hakim berkepentingan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan hakim dan
lembaga kehakiman. Oleh sebab itu, hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung bersifat kemitraan, bukan persaingan apalagi perseteruan. Komisi Yudisial
berfungsi sebagai penjaga dan penegak kehormatan, keluhuran martabat, dan
perilaku hakim. Inilah pentingnya demokrasi diimbangi oleh ‘rule of law’, dan berkembang efektifnya ‘rule of law’ dan bahkan ‘rule
of law’ sangat tergantung pada kepercayaan aparatur penegak hukum,
khususnya para hakim. Karena itu, kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku
hakim menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan dalam sistem demokrasi
konstitusional.[1]
Sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan pengawasan kehakiman, Komisi
Yudisial semestinya bisa memainkan peran penegakan hukum secara efektif. Dari
perspektif struktural, Komisi Yudisial merupakan suatu lembaga negara yang
diatur secara khusus dalam satu bab dalam UUD 1945 yakni bab mengenai kekuasaan
kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang tidak dijalankan secara teknis seperti
dalam persidangan namun secara substansial lembaga ini mempunyai kekuasaan kehakiman
dalam konteks yang paling krusial yaitu memberikan usulan bagi pengangkatan
Hakim Agung serta memiliki wewenang menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat,
dan perilaku hakim sebagaimana tertuang dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 hasil
perubahan. Yang bersifat preventif hanya dikaitkan dengan upaya menjaga
perilaku hakim, sedangkan yang bersifat korektif hanya dikaitkan dengan upaya
menegakan kehormatan, dan keluhuran martabat hakim.
Dengan kewenangan melakukan proses seleksi dan mengusulkan pengangkatan
para hakim agung maka lembaga Komisi Yudisial hadir menjadi suatu lembaga baru
dengan memiliki mekanisme yang baru karena berbeda dengan proses seleksi dan
pengangkatan hakim agung yang sarat dengan intrik politik karena intervensi
penguasa. Artinya, dengan prosedur dan mekanisme model Komisi Yudisial maka
diharapkan, proses seleksi dan pengangkatan hakim agung akan lebih akuntabel,
transparan dan membuka adanya ruang kebebasan bagi semua calon berkompetisi
secara terbuka tentu tetap dalam konteks cita-cita menjadikan lembaga penegakan
kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku para hakim. Keberadaan lembaga
baru ini yang mengawasi perilaku hakim supaya menjadi baik (good conduct) diharapkan menjadi simbol mengenai pentingnya
infrastruktur sistem etika perilaku (good
conduct) dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945.
Komisi Yudisial merupakan suatu lembaga bersifat penunjang (auxiliary organ) dan diharapkan infrastruktur sistem etika
perilaku di semua sektor dan lapisan suprastruktur dan infrastruktur bernegara
dapat ditumbuhkembangkan sebagaimana mestinya dalam rangka mewujudkan gagasan
tata kelola pemerintahan yang bersih.
Hal ini penting sekali karena dalam praktiknya, negara hukum
sebagaimana didiktumkan dalam UUD 1945, tidak dijalankan dengan baik oleh
penyelenggara negara. Hal ini dapat dilihat dari praktik penegakan hukum pada
institusi pengadilan. Pengadilan masih diselimuti kabut hitam perilaku korup
segelintir orang sehingga hukum tidak dapat memenuhi rasa keadilan. Praktik
peradilan, banyak hakim, jaksa, polisi bertindak tidak profesional. Perilaku
menyimpang dari aturan hukum menjadi problem penegakan keadilan. Praktik jual
beli kasus, makelar kasus tumbuh dan berkembang tanpa penanganan yang baik
sehingga masyarakat merasa tersisih karena tidak mendapatkan keadilan yang
semestinya.
B. Efek
Peradilan Tertutup
Kepercayaan masyarakat (public
trust) pada hukum merupakan modal utama dalam menegakkan keadilan. Sistem
hukum bisa dengan efektif diterapkan sangat ditentukan selain dari persediaan
infrastruktur dan kualitas sumber daya manusia juga pelayanan peradilan yang
bagus. Peradilan pada dasarnya menjadi tumpuan harapan warga negara. Dalam
perkembangannya sistem hukum gagal memberikan keadilan sehingga masyarakat
kurang percaya pada lembaga-lembaga peradilan. Bahkan lembaga-lembaga peradilan
dianggap tidak dapat mewujudkan kepercayaan masyarakat meski peradilan sebagai
benteng terakhir untuk mencari keadilan dan mematahkan ketidakadilan.
Kasus-kasus korupsi kelas kakap dan menengah tidak ditangani dengan serius
sehingga peradilan tidak ada efisiensi prosedur putusan hakim karena dilakukan
tidak transparan.
Prosedur putusan hakim tidak transparan dan banyak efek putusan
menimbulkan kerugian pihak-pihak yang semestinya tidak bersalah membuat
masyarakat apatis pada hakim dan peradilan, sehingga kewibawaan hakim dan
institusi peradilan kurang dihormati karena dinilai hanya menghasilkan KKN.
Sistem hukum modern dan kelembagaan peradilan yang korup umumnya karena
dijalankan oleh para hakim bermental tidak baik. Proses pelayanan kelembagaan
peradilan baik dan buruknya sangat ditentukan oleh hakim, panitera, dan staf
admnistrasi. Oleh karenanya para hakim, panitera dan staf administrasi
sebaiknya dibekali dengan kualitas kepribadian yang kuat. Karakter hakim,
panitera dan staf administrasi yang berintegritas harus menjadi pertimbangan
utama dalam rangka perbaikan kualitas lembaga peradilan di masa mendatang.
Selain pertimbangan kualitas kepribadian juga dipikirkan ketersediaan
infrastruktur dan sistem administrasi penanganan perkara agar bisa berfungsi
dengan efektif memberikan pelayanan.
Fungsi sistem hukum dan peradilan hendaknya ditata lagi agar bisa
menciptakan suatu mekanisme peradilan yang efektif dan efisien serta dapat
dipercaya masyarakat. Sikap proaktif pengacara mengikuti prosedur beracara dan
menghargai hasil putusan hakim menjadi suatu kesadaran bersama, karena apapun
putusan pengadilan sepanjang sudah memenuhi unsur-unsur yang ada dan telah
dibuktikan dengan fakta dan data, maka pengacara harus menerima dan tidak
bertindak dengan membuat opini politik dalam penyelesaian suatu perkara.
Amanat UUD 1945 menjamin suatu pengadilan bersifat bebas maka harus jadi perhatian bersama. Perekrutan
hakim, penempatan personalia dalam struktur kelembagaan pengadilan dan
pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial dengan tujuan agar kredebilitas dan
integritas seorang hakim, panitera, dan staf administrasi betul-betul terjaga.
Selama ini, hakim, panitera dan kelembagaan pengadilan selalu dituduh bersikap
tidak independen dan tidak transparan. Dalam praktik banyak hakim yang membuka
peluang terjadinya praktik suap, dan sogok diantara para pihak yang berperkara.
Kesan hukum dijadikan sebagai komoditas dagangan begitu kuat dan tidak menutup
kemungkinan banyak hakim tidak memiliki rekam jejak yang baik, namun karena
dipilih melalui proses politik maka selalu tidak independen bahkan ada yang
berkepribadian kurang baik karena minimnya pengetahuan dan nafsu politik yang
kuat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebaik sistem apapun pengadilan, sebagus
mekanisme yang tersedia sekalipun, dan seideal konsep peradilan yang ada, namun
bila sistem dan mekanisme tersebut tidak di bawah kendali mereka yang memiliki
integritas maka sulit untuk mewujudkan proses peradilan yang semestinya. Karena
adanya perilaku hakim yang tidak baik dalam mengadili perkara dengan melibatkan
tidak hanya satu kepentingan tetapi pihak-pihak yang bertikai, kelompok-kelompok
masyarakat yang berkonflik, atau kelompok masyarakat, organisasi, perorangan
dengan negara dan sebaliknya sehingga secara etika membutuhkan hakim, jaksa,
dan polisi atau pendek kata aparatur penegak hukum yang benar-benar memiliki
karakter yang berkomitmen pada nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Dengan kata
lain, para penegak hukum hendaknya orang-orang yang tidak saja diseleksi atau
direkrut hanya karena kompetensi tertentu namun yang kemampuan seorang hakim
dan jaksa yang mau mengorbankan semua keadaan yang ada pada dirinya termasuk
berkorban untuk menegakkan kebenaran. Hakim dan jaksa yang mampu menegakkan
keadilan berdasarkan norma hukum, dan norma etika.
Hakim pengadilan umumnya mengadili suatu perkara sampai dengan
perumusan kebijakan dan putusan yang selalu berlawanan dengan keadilan meskipun
dalam proses persidangan berdasarkan fakta dan bukti yang kuat. Tindakan hakim
seperti ini sama sekali bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) karena
mengabaikan nuraninya selaku insan yang memiliki potensi kebaikan. Padahal, HAM
merupakan hak setiap individu paling mendasar karena bersifat kodrati dan unsur
kemanusiaan yang harus dihargai dan dijunjung tinggi. HAM merupakan pemberian
Tuhan Yang Maha Pencipta kepada manusia sejak lahir sehingga tidak boleh ada
kekuatan manapun mengambilnya dari setiap warga bangsa. Meski demikian, tidak
kemudian HAM bersifat individu digunakan dengan sesuka manusia. Itulah sebabnya
mengapa pentingnya negara menggunakan hak konstitusional untuk mengatur dan
menjalankan dengan baik agar tujuan hidup bernegara bisa berjalan sesuai
cita-cita bersama.
Dalam perspektif negara mengelola, mengatur dan menegakkan HAM agar
bisa tercipta kondisi tertib dalam memberikan jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum bagi warga negara maka harus sejalan dengan amanat Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Pada dasarnya hak asasi manusia terdapat dua macam yakni hak mengenai
persamaan untuk diperlakukan sama juga hak asasi dalam perspektif kebebasan (liberty). Dari bentuk Ham tersebut
kemudian melahirkan HAM yang lain. Dalam arti, tanpa kedua HAM dalam pengertian
hak persamaan dan kebebasan (liberty) tersebut
maka hak-hak yang lain tidak akan bisa ditegakan.
Pengertian konseptual hak asasi manusia dalam sejarah instrumen hukum
internasional setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi perkembangan.
Ketiga generasi perkembangan konsepsi hak asasi manusia ini meliputi generasi
pertama yakni sejak era enlightenment di
Eropa yang kemudian meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum internasional
secara resmi. Puncak perkembangan generasi pertama ini adalah peristiwa
penandatanganan naskah Universal
Declaration of Human Right. Generasi perkembangan kedua yakni, International Couvenant an Civil and
Political Rights, yang pada puncaknya pada tercapainya penandatanganan International Couvenant an Economic, Social
and Cultural Rights tahun 1966. Sedangkan generasi ketiga yakni dari tahun
1968 perkembangan konsepsi baru hak asasi manusia yang mulai ditingkatkan pada
jaminan berbagai aspek pembangunan, rights
to development. Mencakup persamaan hak dan kesempatan dalam pembangunan
untuk menikmati hasil-hasil perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan,
pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja dan lain
sebagainya.[2]
Bangsa Indonesia memahami bahwa The
Universal Declaration of Human Right yang dicetuskan tahun 1948 merupakan
pernyataan umat manusia yang mengandung nilai-nilai universal yang wajib
dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga memandang bahwa The Universal Declaration of Human
Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council tahun 1997 juga
mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi untuk melengkapi The Universal Declaration of Human Right tersebut.
Kesadaran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai
keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu
diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar atas dasar
pengertian-pengertian dasar yang dikembangkan sendiri oleh bangsa Indonesia.
C. Keadilan
Dalam Hukum
Jika ditelaah lebih dalam tentang keadilan maka selain keadilan
berdasarkan ketentuan-ketentuan norma yang terkandung dalam budaya kehidupan
umat manusia selaku utusan Tuhan di muka bumi sekaligus mencerminkan tabiat
dari setiap manusia yang sesungguhnya sebagai makhluk Tuhan yang diberi
kelebihan akal fikiran. Perilaku kehidupan sosial menitikberatkan dasar etika.
Setiap pribadi memiliki karakter dan tabiat sebagai corak identitas kepribadian
dalam kehidupan antar sesama sebagai makhluk Tuhan. Dengan memiliki potensi
akal fikiran, manusia sesungguhnya dikendalikan oleh jiwa yang bersih dan
senantiasa diasah dengan nilai-nilai filosofis. Hal ini penting sekali bagi
setiap umat manusia terlebih bagi kalangan elit yang diberi kepercayaan
menjalankan sistem kehidupan bernegara dalam masyarakat.
Manusia selaku makhluk Tuhan memiliki potensi akal tetapi sekaligus
potensi untuk bertindak tidak baik. Suatu kecenderungan berperilaku menyimpang
dari norma hukum, norma etika, dan norma agama. Tipe manusia seperti ini
umumnya karena suka mengikuti hawa nafsu dan tidak mampu menolak godaan dunia.
Maka praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) jadi bagian dari gaya hidup.
Berbeda halnya dengan karakter manusia berkepribadian baik. Karakter
ini senantiasa menggunakan potensi kebaikan untuk mereduksi segala bentuk
godaan seperti memberikan dukungan pada orang lain untuk tidak berbuat
menyimpang atau menggunakan pangkat, jabatan, wewenang untuk memerintahkan
orang lain berbuat tidak berdasarkan tabiat kepribadiannya. Oleh sebab itu,
konstruksi pemahaman politik yang ideal ialah menekankan dimensi etika sosial
sebagai pedoman sehingga lebih mendahulukan instruksi-instruksi tabiat, karena
tabiat manusia sebagaimana disinggung sebelumnya, memiliki potensi konstruktif
dan destruktif. Selain itu juga instruksi-instruksi tabiat tidak harus
dijadikan sebagai kesatuan sistem pemikiran politik yang tersentralisasi pada
akal semata.
Dengan demikian, kebijakan hukum bernegara tidak harus menyandarkan
pada aspek hukum legalistik dan proseduralistik formal yang pada akhirnya
menimbulkan keresahan masyarakat dalam mencari keadilan. Jika penegakan hukum
hanya ditafsirkan pada teks-teks normatif maka proses penegakan hukum tidak
akan memecahkan masalah karena peradilan yang bebas dan tidak memihak kenyataan
dalam praktik tidak pernah luput dari intervensi dan tekanan-tekanan politik
rezim berkuasa.
Keadilan hukum dalam peradilan semestinya jauh dari ppraktik distorsi.
Intervensi penguasa, dan tekanan-tekanan fisik maupun yang mengancam jiwa para
penegak keadilan yakni, hakim, jaksa, dan polisi baik tidak akan memberikan
jaminan bagi rakyat mendapatkan keadilan dan peradilan yang diselenggarakan dengan
mementingkan kepentingan-kepentingan aktor tertentu, maka sudah pasti akan
menciptakan disharmonisasi. Sifat hukum sejatinya lahir dari hakikat-hakikat
yang senantiasa melekatkan dirinya pada kultur dan norma-norma kehidupan
manusia selaku makhluk yang dibekali akal fikiran. Hal ini senada dengan apa
yang dikemukakan oleh Montesquieu dalam bukunya berjudul De I’Esprit des Lois, hukum secara substansial adalah menyangkut
penjelasan-penjelasan mengenai tabiat yang penting. Maka tugas negara dalam
membangun sistem keadilan dalam hukum proseduralistik harus memberikan tempat
khusus yang memungkinkan terjadinya intrepretasi dan penjelasan-penjelasan
ilmiah dalam rangka menertibkan mekanisme penegakan hukum.
Keadilan hukum dalam sistem bernegara merupakan hal utama untuk memupuk
kepercayaan. Itulah sebabnya integritas bernegara sangat diperlukan adanya
suatu mekanisme hukum yang adil. Peradilan tanpa keadilan maka akan menciptakan
disintegrasi sosial karena memicu konflik antar sesama masyarakat. Peradilan tidak
menegakkan keadilan sebagaimana digariskan dalam norma hukum maka akan
menciptakan konflik. Masyarakat saling bertengkar, saling memusuhi satu sama
lain dan pada gilirannya menimbulkan sikap saling curiga.
Negara demokrasi modern sebenarnya mengutamakan pendekatan distribusi
kekuasaan dengan memilih pemimpin-pemimpin bangsa yang berkarakter untuk duduk
di posisi strategis pada institusi pemerintahan. Negara memiliki tanggungjawab
memainkan peran fungsional untuk menempatkan pemimpin-pemimpin pada struktur
kekuasaan negara dengan menggunakan kriteria mengutamakan kepribadian/karakter
individu yang betul-betul memiliki integritas moral yang tinggi.
D. Prospek
Penegakan Hukum di Indonesia
Reformasi tidak akan
mampu menciptakan struktur kehidupan berbangsa dan bernegara secara baik
apabila reformasi tidak dimulai dari sistem. Salah satu esensi fundamental
dalam sistem kehidupan bernegara ialah konstitusi. Dengan sistem, maka kemana
negara ini mau di bawa? Sistem harus menjadi pilihan utama dalam benak pikiran
semua pengambil kebijakan, terutama legislatif dan eksekutif, karena tanpa
melakukan perubahan sistem ketatanegaraan yang mendasar, maka jangan pernah
berharap suasana kehidupan berbangsa bisa mengarah pada tatanan politik hukum
yang baik.
Tidak bisa dinafikan bahwa reformasi tanpa perubahan konstitusi
merupakan hal mustahil. Perubahan suatu rezim tanpa perubahan sistem, maka
sesungguhnya tidak akan menghasilkan sesuatu yang ideal sebagaimana
dicita-citakan para pendahulu bangsa (the
founding fathers). Maka perdebatan sistem terkadang diwarnai dengan
pertentangan ideologi tertentu yang hanya menguras energi positif kita dalam
bernegara.
Demokrasi modern dapat dikatakan sebagai cita-cita nasional. Hal ini
karena pemahaman konstitusi dipandang sebagai suatu konsep negara yang tidak
hanya dasar dari sumber hukum tertinggi dalam negara, tetapi merupakan pedoman
yang menentukan kualitas bernegara dalam berbagai aspek kehidupan. Konstitusi
memuat spirit masa lalu dan masa depan suatu bangsa yang meliputi dimensi
ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan,
ketertiban, perdamaian, dan lain-lain. Dimyati Hartono, dalam pengantar Restorasi Amandemen UUD 1945 secara
normatif mengatakan, keberadaan suatu negara dapat dilihat dari dasar filosofinya
karena melalui konstitusi dengan mudah diketahui suatu negara dibentuk.
Artinya, lahirnya suatu negara sama halnya dengan lahirnya konstitusi yang
memiliki latar belakang historisnya tersendiri atau dalam istilah popular
disebut sebagai“Situation Gebundenheit” atau
Historical Backgraound dari sejarah
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).[3]
Dalam tataran implementasi, konstitusi sejak era reformasi tahun 1998
meski telah terjadi perubahan UUD 1945 dalam empat tahap dalam satu rangkaian
dengan hasil berupa, Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000),
Perubahan Ketiga (2001), dan Perubahan Keempat (2002), sampai sekarang kita
masih merasakan betapa penataan sistem penegakan hukum masih tertatih-tatih.
Supremasi hukum masih ada intervensi pada proses pengadilan. Tindakan campur
tangan pihak-pihak dengan menggunakan wewenang kekuasaan masih saja terjadi.
Meski di era reformasi penuh dengan suasana kebebasan, namun kenyataan banyak
politisi, birokrat, pelaku dunia usaha, kalangan profesional masih menggunakan
cara-cara lama untuk menghambat proses penegakan hukum.
Dalam konteks demikian, perbaikan di bidang lembaga hukum/peraturan dan
perundang-undangan pemerintahan diperlukan merupakan suatu keharusan. Hal ini
sebagai upaya untuk mencegah praktik KKN dalam pelayanan birokrasi dengan
mendorong pemahaman kecepatan birokrasi memberikan dukungan pelayanan kerja
yang baik. Hal ini akan meminimalisir berbagai potensi transaksi kasus dan jual
beli perkara di lembaga-lemabaga peradilan hukum pidana.
Kenyataan tersebut dirasakan pada era reformasi. Dalam banyak kajian
politik modern menunjukan, praktik kekuasaan, negara seringkali disalahgunakan
bahkan banyak studi politik menghasilkan temuan baik di negara-negara demokrasi
atau pun negara yang mengalami rotasi sistem demokrasi dan meninggalkan sistem
otoriter sekalipun tidak luput dari praktik peradilan dengan model dan sistem
yang tertutup.
Oleh sebab itu, negara harus memberikan jaminan ketertiban pada
warganya melalui lembaga-lemabaga dan kelompok-kelompok kepentingan dalam
masyarakat sekaligus mengatur sistem kontrol, check and balances yang efektif sehingga penyelenggaraan
pemerintahan bisa dengan demokratis. Dengan kontrol yang kuat dari masyarakat
maka sistem bisa dipastikan berjalan sesuai diinginkan. Masyarakat modern dan
tantangan demokrasi di tengah menguatnya globalisasi suka tidak suka, mau tidak
mau pelibatan masyarakat merupakan hal penting karena masyarakat pemegang
kedaulatan dalam demokrasi tidak bisa dinafikan begitu saja. Demokrasi modern
memerlukan sikap politik tegas dari para pengambil kebijakan.
Salah satu pilar penting demokrasi ialah trias politica yang membagi tiga kekuasaan politik dalam negara,
yakni kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pembaharuan sistem
politik dalam masa transisi kekuasaan dari otoriter ke demokrasi masih
membutuhkan perbaikan. Pemerintahan demokrasi hanya dapat mewujudkan sistem
penyelenggaraan negara yang profesional, efektif, dan berwibawa apabila
dikuatkan dengan sistem etika yang kuat.
Akan tetapi yang perlu dipahami ialah, konstitusi itu sendiri tidak
serta-merta dimaksudkan untuk mengatur segala-segalanya. Dalam struktur
ketatanegaraan kita sudah jelas bahwa selain kedudukan konstitusi dan UUD 1945
merupakan sumber hukum tertinggi dalam bernegara dan secara teknis operasional,
norma-norma itu diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih rendah seperti
undang-undang atau konvensi ketatanegaraan yang tumbuh, diterima dan dipelihara
dalam praktik penyelenggaraan negara.
Indonesia semakin gencar melakukan pembenahan-pembenahan di bidang
hukum. Penegakan hukum selama rezim Orde Baru dianggap tidak mampu menjamin
rasa keadilan rakyat. Reformasi sistem hukum belum sampai pada tahap
penyempurnaan sistem penyelenggaraan negara sebagaimana diinginkan. Kekacauan
sistem ketatanegaraan terlihat pada ketidakjelasan lembaga mana yang memainkan
peran sebagai pelaksana kedaulatan. UUD 1945 mengatakan bahwa kedaulatan ada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kecenderungan
negara menjadikan kekuasaan sebagai alat legitimasi keadilan
proseduralis-legalistik berimplikasi tidak baik pada proses penataan sistem
hukum. Negara menempatkan rezim sebagai sumber hukum sehingga diperlakukan
sesuai kemauan dan keinginan yang berkuasa (i’etat
cest moi’), negara adalah aku, kata Raja Perancis, Loius XIV.
Institusi-institusi peradilan tidak lain adalah lembaga-lembaga yang sifatnya
memiliki sub-ordinasi kekuasaan hukum.
Di negara-negara maju umumnya konsisten menerapkan hukum dan penguasa
tidak tanggung-tanggung memberikan teladan atas ketaatan hukum. Negara Republik
Rakyat Cina dan Vietnam misalnya, negara yang cukup teratur menjalankan aturan
hukum. Kedua negara ini dikenal sebagai negara Komunis, bukan negara demokrasi
tetapi sangat kuat menjunjung tinggi hukum. Pemberlakuan hukuman yang keras
hingga pada tingkat hukuman mati bagi setiap pelaku kejahatan korupsi.
Sejak era reformasi telah dibatasi masa jabatan eksekutif
(Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota) menjadi dua periode. Pembatasan kekuasaan
negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian
kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai
dengan hukum besi, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan bertindak
sewenang-wenang, seperti dikemukakan Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena
itu kekuasaan harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam
cabang-cabang yang bersifat ‘checks and
balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan
mengendalikan satu sama lain.[4]
Efek perubahan melahirkan komisi-komisi negara yang merebak.
Komisi-komisi dibentuk atas perintah konstitusi antara lain, Komisi Yudisial
(KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Dewan Pertimbangan Presiden
(Wantimpres). Ketiga komisi tersebut mempunyai keberadaan yang kuat dalam
sistem ketatanegaraan karena merupakan perintah konstitusi. Lebih dari 50
lembaga-lembaga negara non kementerian yang merupakan produk hukum tertentu dan
memiliki wewenang tertentu dalam menjalankan tugas negara pun dibuat. Diantara
komisi produk undang-undang seperti ini ialah Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas Ham) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), serta
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sementara komisi yang dibentuk
berdasarkan peraturan pemerintah seperti Badan Standardisasi Nasional (BSN),
dan komisi dibentuk dengan peraturan presiden seperti Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional. Terdapat pula komisi yang dibentuk dengan keputusan presiden
misalnya Komisi Hukum Nasional (KHN) dan lain-lain.
Dalam praktik selanjutnya kita selalu dihadapkan dengan berbagai pola
dan perilaku aparatur negara dan juga lembaga-lembaga penegak hukum yang
memperlakukan hukum sebagai objek politisasi sehingga banyak fakta yang kita
temukan baik itu, Polisi, Jaksa, Hakim dalam menjalankan sistem penegakan hukum
begitu mudah diintervensi dan di kendalikan rezim. Aparat penegak hukum
cenderung memperlakukan peradilan terutama peradilan tindak pidana dalam
kasus-kasus korupsi jauh dari nilai etika dalam profesi.
Peradilan dipakai membela yang bayar dengan motif tertentu termasuk
motif karir dan materi. Jual beli perkara, transaksi kasus serta penyusunan
peraturan perundang-undangan baik di lembaga legislatif dan eksekutif terasa
sangat kuat. Maka perubahan belum mencapai pada tahap kepastian cita-cita
dasarnya. Reformasi hukum tidak menghasilkan penegakkan hukum yang ideal tetapi
menambah kekacauan dalam struktur ketatanegaraan.
Dalam teori hukum yang dipopulerkan Hans Kelsen (1957) mengenai teori
hukum murni, titik tekannya menempatkan hukum sebagai prinsip yang terbebas
dari unsur-unsur di luar hukum itu sendiri karena negara sesungguhnya adalah
norma dan bagian terpenting dari hukum. Akan tetapi faktanya selalu
memperlihatkan sangat sulit dipraktikan. Praktik penegakan hukum menjadi begitu
tidak berkeadilan.
Oleh sebab itu, dalam membangun sistem hukum yang kuat dan mandiri
berdasarkan prinsip penyelenggaraan negara good and clean government, prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang accountability,
transparancy, predictability dan participation, diperlukan perubahan paradigma pengelola
kebijakan pemerintah dengan membuat sistem hukum yang kuat dan sehat.
Reformasi sistem hukum harus dilakukan di seluruh aspek baik itu pembentuk
undang-undang—aparatur penegak
hukum maupun mewujudkan kesadaran masyarakat berkonstitusi. Pemerintah
memberikan keteladanan politik hukum dengan mengedepankan aspek keadilan
restoratif. Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang menjadikan
nilai-nilai keadilan sebagai pedoman penegakan hukum.
Sistem peradilan menuntut adanya keterbukaan agar proses peradilan bisa
berjalan efektif dan efisien. Oleh karena semua lembaga peradilan di bawah
Mahkamah Agung seperti Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan
Peradilan Tata Usaha Negara sendiri-sendiri memiliki prosedur dan mekanisme
atau prosedur beracara dan yurisdiksinya tersendiri, maka penataan sistem
peradilan menjadi peradilan modern merupakan hal yang niscayamemerlukan tekad
kuat. Artinya, pemahaman membangun tata kelola pemerintahan yang baik good
and clean governance maka dasar-dasar dari good government, clean
government dan good goverrnance ditegakkan dengan konsisten sehingga kepastian hukum dapat
dirasakan para pencari keadilan.
E. Menyiapkan
Infrastruktur Etika
Negara-negara maju di dunia hampir mengalami problem yang sama yakni
krisis kepemimpinan. Krisis keteladanan dalam kehidupan bernegara. Krisis
keteladanan mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat pada negara. Hukum
dipakai oleh kelompok yang kuat untuk menindas kelompok yang lemah. Pembangunan
di bidang hukum selalu tidak sesuai misi keadilan. Di sisi lain birokrasi
dikelola dan diarahkan penguasa untuk kepentingan politik, hal ini bisa
dipahami karena pimpinan lembaga-lembaga negara seperti eksekutif, legislatif
dipegang oleh para pimpinan partai politik.
Kekacauan sistem norma hukum pada gilirannya mengabaikan kepentingan
umum termasuk kepastian hukum bagi masyarakat. Berdasarkan gambaran ini maka
dapat disimpulkan bahwa tradisi penegakan hukum dalam negara demokrasi modern
setelah perubahan UUD 1945 tidak terlalu banyak menghasilkan perbaikan berarti.
Peradilan hukum dalam praktik selalu mengesankan lebih berpihak pada kelompok
tertentu, baik langsung maupun tidak langsung menyebabkan krisis kepercayaan
pada institusi penegak hukum. Rakyat masih sulit menemukan keadilan. Law enforcment tidak sejalan dengan keadilan karena
penegakan hukum lebih mengutamakan aspek keadilan legalistik-proseduralistik
yang pada umumnya menyimpangkan substansi nilai-nilai keadilan itu sendiri
sehingga hukum tidak berfungsi untuk mewujudkan rasa keadilan.
Problem sistem hukum terdiri dari komponen-komponen penegak hukum
hampir dapat dikatakan belum menjadi suatu kesatuan sistematis dan teratur
dalam rangka mencapai keadilan bagi warga negara. Keadilan
proseduralistik-legalistik dalam praktik tidak memberikan solusi. Oleh sebab
itu, diperlukan peradilan yang bebas dan tidak memihak. Peradilan yang bebas
dan tidak memihak (independent and
impartial judiciary) mutlak harus ada dalam setiap negara hukum.
Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya
intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik
intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari
kalangan masyarakat dan media massa. Hakim tidak boleh memihak kepada siapapun
kecuali hanya pada kebenaran dan keadilan. Dalam menjalankan tugas proses
pemeriksaan hakim harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan
menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di
tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’
undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’
keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah
masyarakat.
Memajukan peradilan modern yang terbuka dan menjadi contoh bagi
pengembangan sistem peradilan di masa-masa yang akan datang. Menjadikan
peradilan yang dapat dipercaya dan tempat masyarakat mencari keadilan. Dalam
banyak catatan, peradilan seringkali tidak memenuhi rasa keadilan rakyat
sehingga institusi pengadilan selalu dianggap tidak profesional. Dalam
mewujudkan peradilan yang bebas dan mandiri dalam negara hukum, Oemar Seno Adji
dalam bukunya Peradilan Bebas &
Contempt of Court, mengatakan, “suatu pengadilan yang bebas dan tidak
dipengaruhi merupakan syarat yang ‘indispensable’ bagi Negara Hukum. Bebas
berarti tidak ada campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif dan
legislatif dalam menjalankan fungsi judiciari. Ia tidak berarti bahwa ia berhak
untuk bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, ia “sub-ordinated”, terikat pada Hukum.[5]
Setelah reformasi berjalan 15 tahun, peradilan di Indonesia boleh
dikatakan cukup mengalami kemajuan. Di banyak instansi pemerintahan dan swasta
membentuk lembaga penegak kode etik profesi sendiri-sendiri dalam rangka
menegakkan kode etika profesi seperti di Mahkamah Konstitusi ada Majelis
Kehormatan Hakim (MKH) MK, Dewan Pers untuk etika profesi jurnalistik, di
lembaga legislatif ada Badan Kehormatan DPR dan DPD sebagaimana diatur dalam UU
tentang MPR, DPR, DPRD, sebagai lembaga penegak kode etik. Hal ini juga
dipraktikkan di partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi
keagamaan. Namun banyak juga yang masih memperlihatkan praktik peradilan tidak
selalu sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan. Institusi peradilan digunakan
tidak semestinya bahkan kerap dianggap tidak memihak pada keadilan. Setelah reformasi
dapat dirasakan betapa peradilan tidak memberikan harapan tegaknya keadilan.
Institusi peradilan selalu jadi persoalan bagi masyarakat yang mencari
keadilan. Peradilan diarahkan untuk kepentingan politik sehingga rakyat
kerapkali dihadapkan pada pilihan teknis-pragmatis. Peradilan dijadikan
instrumen pembela dan menjaga kepentingan segelintir orang yang memiliki
wewenang mengendalikan hukum. Berangkat dari pemahaman ini maka negara manapun
di dunia modern sekarang yang menganut sistem demokrasi sangat penting
menyiapkan “ethics
infra-structure in public offices” untuk
menjawab tantangan kerusakan etika dalam bernegara. Negara-negara di dunia
modern terutama negara-negara maju dan berkembang tidak sekadar mengangkat
tema-tema perbaikan kualitas etika dan moral dalam berbangsa dengan hanya
wacana tetapi membentuk instrumen-instrumen kelembagaan negara sebagai “ethics infra-structure in public offices”. Bagi sebagian kalangan intelektual dan pemikir-pemikir sosial modern,
krisis etika politik yang melanda dunia diperlukan mengambil peran untuk
membuat regulasi sistem etika politik dan etika penyelenggara negara.
Yang paling efektif dan efisien bagi terciptanya tata kelola kebijakan
pemerintahan modern yakni dengan mempersiapkan infrastruktur etika berupa peradilan
etika. Peradilan etika modern menjadi titik tekan perbaikan etika politik dan
etika pemerintahan. Karena berdasarkan realitas yang ada, institusi-institusi
peradilan termasuk peradilan kode etik profesi hampir tidak berjalan sesuai
yang diharapkan. Pembentukan lembaga peradilan etika di Indonesia tidak lain semata-mata
untuk memperketat sistem pengawasan pejabat publik dan usaha-usaha untuk
menciptakan kesadaran dalam mengelola kebijakan negara.
Dalam perspektif ini tidak saja para pemimpin di negara-negara maju dan
berkembang terdorong membentuk institusi “ethics infra-structure in public offices” tetapi gagasan ini telah lama diwacanakan
para pemikir modern agar pemimpin-pemimpin bangsa di dunia perlu mengambil
peran aktif menjawab kerusakan tatanan sosial dalam kehidupan bernegara. David H. Rosenblom misalnya, dalam
sebuah tulisannya yang dihimpun oleh Professionals Educational Foundation of
The Visyas, INC, dalam A Master’s Degre In Fiscal Administration, berjudul The
Constitution As A Basis For Public Administrative Ethics, mengatakan, bahwa
di setiap negara-negara demokrasi modern dan yang telah mapan dalam berbagai
aspek kehidupan bernegara sekalipun tetap ada kemungkinan-kemungkinan untuk
membentuk sistem etika berbasis konstitusional. David menulis:
“He argues that
since the 1970s various interpretations of the Constitution by the Supreme
Court have set some new ethical requirements for governmental administrators.
The legal upshot of this constitutionally based set of ethics is to make public
officials liable for conduct that violates constitutionally established rights.
In other words, many people who can be called stakeholders in the process of
government were granted or had extended to them various rights in Supreme Court
cases dealing with issues such as equal protection, dua process, and free speech
for public employees. Thus there now exists a Constitutional mandate that
public administrators uphold these rights—in
effect a new moral guide for administrators.”[6]
Sejar tahun 1970-an
sudah mulai terlihat ada semacam pergeseran paradigma pengelolaan pemerintahan
demokratis. Muncul berbagai interpretasi baru terhadap konstitusi di
negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Austria, dan sebagainya
tentang pentingnya memformulasi sistem etika bagi para pejabat negara dan atau
para pejabat pemerintah. Artinya, sudah mulai ada kesadaran baru untuk
melakukan perubahan pada konstitusi. Konstitusi yang memasukan nilai-nilai
etika sekaligus regulasi yang memuat penerapan sanksi bagi para pejabat negara
atau pejabat pemerintahdengan tujuan agar setiap pejabat negara dapat memahami
dan menjalankan tugas dan tanggungjawab secara baik.
Konsep pelembagaan
nilai-nilai etika politik terutama etika penyelenggaraan pemerintahan negara
diatur dalam konstitusi setiap negara sehingga dengan sistem etika berbasiskan
konstitusi maka akan dengan mudah mengikat setiap pejabat publik tidak hanya
memperhatikan pentingnya tertib administrasi pemerintahan tetapi memunculkan
kesadaran etika para pejabat negara untuk menegakkan aturan secara
bertanggungjawab.
Dengan pendekatan
sistem penegakan etika dalam bentuk peradilan etika modern, maka
lembaga-lembaga peradilan baik peradilan umum maupun peradilan khusus antara
lain Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN),
Peradilan Umum, dan peradilan kode etik seperti Badan Kehormatan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (BK DPR RI), dan peradilan-peradilan kode
etik profesi seperti Ikatan Dokter
Indonesia (IDI), kode etik Advokat, bahkan sampai sekarang sudah hampir semua
instansi penting sudah mempunyai mekanisme penegakan kode etik di tingkat
internal namun sebagian besar masih sebatas formalitas.
Sekadar menjadi
catatan, buku ini menyoroti juga peradilan kode etik profesi yang semakin
banyak diterapkan di lembaga-lembaga negara tentu tanpa menafikan satu sama
lain, mengajak pembaca melihat performa penegakan kode etik profesi di lembaga-lembaga
hampir tidak terdengar penjatuhan sanksi sampai pada tingkat pemberhentian.
Berbeda dengan yang diterapkan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. DKK
yang merupakan embrio dari Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) yang
juga selama beberapa tahun saya sebagai ketua betul-betul melakukan gerakan
perubahan etika penyelenggara pemilu secara kongkrit. Prestasi DK KPU inilah
yang mendorong DPR dan Pemerintah meningkatkan kapasitas kelembagaan penegakan
kode etik ini menjadi DKPP. DKPP sebagai institusi gerakan penegakan etika
politik dalam bernegara telah menempatkan diri sebagai model peradilan etika
yang modern karena semua proses penyelesaian dugaan pelanggaran kode etik
penyelenggaraan Pemilu dilakukan dengan terbuka.
DKPP baru berjalan
memasuki dua tahun terhitung sejak dilantik Presiden tanggal 12 Juni 2012.
Namun penegakan etika dalam kehidupan bernegara melalui aspek penyelenggaraan
pemilu hasilnya cukup prospek sehingga DKPP tidak saja menjadi modal tetapi
model baru dalam penegakan etika politik dan etika penyelenggara pemerintahan.
Belum ada lembaga negara yang tidak saja memiliki sistem dan mekanisme
penegakan etika yang diselenggarakan dengan terbuka. Oleh sebab itu, yang
paling mendasar ialah kemauan stakeholders
mau bersama-sama menggerakan kesadaran ethics dalam pengelolaan negara
dengan mengedepankan tanggungjawab.
Di Amerika Serikat,
sejak era 1978 telah mengangkat tema-tema penguatan etika politik untuk urusan
publik bagi pejabat negara dalam menjalankan tugas dan fungsi pelayanan publik.
Dalam sebuah tulisan Alexander Hamilton seperti dikutip oleh Curtis Ventriss,
dalam Reconstructing Government Ethics: A Public Philosophy of
Civic Virtue, mengggambarkan
mengenai pentingnya pemerintahan demokrasi modern membentuk suatu sistem
mekanisme tanggungjawab bagi pejabat negara melalui instrumen hukum dan etika.
Alexander menulis:
“political
writers ... have established it as a maxim, that, in continuing any system of
government, and fixing the several checks and controls of the constitution,
every man ought to be supposed a knave; and to have no other end in all his
actions but private interest. By this interest we must govem him; and by means
of it, make him cooperate to public good notwithstanding his insatiable avarice
and ambition. Without this, we shall in vain boast of the advantages of any
constitution; and shall find in the end that we have no security for our
liberties and possessions except the good will of our rules, that is, we should
have not security at all” (1969, pp. 94-95, italics added).[7]
Praktik penyimpangan
etika khususnya dalam penyelenggaraan negara berkaitan dengan tanggungjawab
publik keadministrasian menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada
pemerintah, karena pemerintah tidak menunjukkan perilaku positif yang
setidaknya bisa memberikan harapan ketertiban pada warga negara. Maka sangat
penting untuk mendorong partisipasi masyarakat dan adanya kesadaran serta
kemauan kuat DPR dan Pemerintah untuk memikirkan dan merumuskannya dalam suatu
undang-undang khusus tentang “Mahkamah Etika” atau lembaga penegakan etika
penyelenggara negara sebagai model baru dalam perbaikan etika politik dan etika
pemerintahan.
Itulah sebabnya
mengapa saya melalui berbagai kesempatan, selalu mengajak dan menghimbau agar
semua komponen masyarakat terutama pemerintah pusat maupun daerah supaya
memikirkan mulai dari sekarang untuk menyusun sistem etika bernegara secara
komprehensif. Etika bernegara yang dikonstruksikan melalui sebuah regulasi
khusus yang tujuannya tidak lain semata-mata untuk menjaga dan mengawasi
perilaku pejabat publik. Karena pejabat publik secara hukum, mereka diberikan
tugas oleh undang-undang untuk menegakkan etika dan nilai-nilai moral. Selain
untuk mendorong penegakan etika dan nilai-nilai moral juga menjadi jaminan
keberlangsungan pemerintahan yang bersih dan kuat termasuk memberikan jaminan
pada hak-hak masyarakat mendapatkan pelayanan.
Apabila hal ini
tidak dimulai dari sekarang, maka perubahan konstitusi kita pasca reformasi
yang melalui empat tahap itu tidak memiliki makna etika politik dalam
pengertian konsepsional secara nilai moral yang berarti. Dengan dibentuknya
infrastruktur etika yang kuat maka secara otomatis negara melalui pemerintah
memiliki kewajiban hukum, dan kewajiban moral untuk mengatur dan menjalankan
roda pembangunan berdasarkan nilai-nilai etika kebangsaan kita yakni Pancasila.
Tanpa melalui suatu aturan dan mekanisme yang jelas dan tegas mengenai
kewajiban moral negara dan pemerintah pada warga negaranya, maka sangat sulit
bangsa Indonesia akan mengalami perbaikan sistem demokrasi secara signifikan.
Karena demokrasi dan hukum harus dikuatkan oleh sistem etika berbangsa, dan
inilah yang selalu saya tekankan, bahwa fondasi negara akan kuat manakalah
ditopang oleh sistem hukum dan sistem etika (rule
of law dan rule of ethics) yang
secara bersamaan diterapkan.
Catatan:
Arsip
karya ilmiah ditulis pada akhir Agustus hingga
Awal
Oktober 2013.
[1] Dalam buku karya Professor Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, dan Perkembangan & Konsolidasi Lembaga
Negara Pasca Reformasi, mantan ketua pertama MK RI (2003-2008) ini, baik
secara teoritik maupun konsepsional dijelaskan secara komprehensif tentang
kedudukan Komisi Yudisial yang berdasarkan UUD 1945 ditempatkan secara
tersendiri karena keberadaan lembaga ini menjadi begitu penting khususnya dalam
mengawal dan menjaga kehormatan, keluhuran, dan martabat perilaku hakim.
Integritas setiap hakim menjadi sangat penting. Komisi Yudisial menjadi lembaga
yang dikonstruksikan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada hakim.
Penjelasan lebih rinci mengenai kedudukan, tugas dan fungsi, wewenang
lembaga-lembaga negara pasca reformasi.
[2] Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara & Pilar-pilar
Demokrasi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal, 243-245.
[3] Dimyati Hartono, Restorasi Amandemen UUD 1945, Era Global
Publisher, Jakarta, 2007, hal, 3.
[4] Jimly Asshiddiqie, 2012, Prinsip-prinsip Negara Hukum Indonesia, dalam
Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek
Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal, 32.
[5] Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas & Contempt of Court, Diadit
Media, Jakarta, 2007, hal, 13.
[6] David H. Rosenbloom, 1971, The Constitution As a Basis for Public Administrative Ethics, kumpulan
tulisan yang dihimpun dalam “Readings”, Ethics
In Public Office, oleh Professionals Educational Foundation
of The Visyas, INC, dalam A Master’s Degre In Fiscal Administration, 1994.
[7] Lihat: Curtis Ventriss, Reconstructing Government Ethics: A Public
Philosophy of Civic Virtue, yang dihimpun oleh beberapa lembaga
pengembangan demokrasi dan sistem etika di negara-negara berkembang yakni
Fiscal Administration Foundation, INC, di Mandaluyong City, dan Philippine
School of Business Administration, di Manila ini, menulis secara garis
besarnya, memberikan gambaran ilmiah tentang kemungkinan-kemungkinan negara
maju dan berkembang yang tengah mengalami berbagai gejolak dan kekacauan norma
hukum akan membentuk semacam sistem etika sebagai basis penguatan sistem
berbangsa dan bernegara. Sistem etika sangat memungkinkan bahkan menurut
lembaga pengembangan demokrasi dan sistem etika ini menjadi instrumental dalam
proses penataan sistem demokrasi modern. Dengan sistem etika yang kuat maka
negara-negara yang mengalami semacam ancaman “kebangkrutan moral” sebagai
implikasi negatif praktik penyimpangan etika sosial memikirkan untuk membentuk
sistem etika sebagai landasan norma dalam bernegara.