Sistem Pemilu Dan Etika Politik
Dalam Pergulatan Pemikiran Dan Praktik
Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI)
Perhatian para
pemikir politik mengenai kajian sistem peralihan kekuasaan dari sistem otoriter
ke sistem demokrasi mulai mengemuka sejak tahun 1970-an yang terlihat di mulai
dari Eropa Selatan (Yunani, 1974; Portugal dan Spanyol, 1975-6), tahun 1980-an
terjadi di Amerika Selatan (Argentina, Brazil, Uruguai) dan akhir 1980-an di
Eropa Timur, jauh sebelum itu Italia tahun 1922, dan puncaknya pada tahun 1942.
Perang Dunia ke II, arus demokrasi pada tahun 1962-an menempatkan 36 negara
menjadi negara demokrasi. Tetapi tahun 1960-1975 gelombang demokratisasi
mengalami surut dan pada gelombang ketiga tercatat dalam tulisan Samuel P.
Huntington terdapat 30 negara mengalami peralihan ke ara demokrasi seperti yang
dikemukakannya dalam bukunya: Gelombang Demokratisasi Ketiga (2002).
Sistem kekuasaan
otoriter semakin ditinggalkan dan sistem demokrasi secara bertahap dengan
semakin kompleksitasnya persoalan politik dan sistem kekuasaan negara-negara
yang mengalami transisi demokrasi yang kaku menimbulkan evolusi pemikiran yang
makin modern sehingga tuntutan rekonstruksi sistem politik dan sistem kekuasaan
untuk diubah menjadi demokratis tidak terbendungi lagi. Dampak dari rotasi
sistem politik dan sistem kekuasaan pemerintahan klasik ke modern tersebut
secara langsung berefek pula pada perubahan sistem Pemilihan Umum (Pemilu).
Pemilihan Umum
merupakan suatu metode konstitusional yang diterapkan oleh negara-negara
modern. Hal ini karena Pemilu merupakan instrumen fundamental dalam sistem
politik negara dalam melakukan sirkulasi kepemimpinan nasional. Pemilu menjadi
salah satu pilar penting demokrasi dan sekaligus menjadi format konstitusional
negara-negara penganut demokrasi dalam rangka mewujudkan pergantian suksesi
secara tertib, dan damai. Pemilu menjadi aspek politik formal negara dalam
melakukan transformasi sistem kehidupan bernegara dan sekaligus jadi dimensi
psikologis politik negara dalam mereduksi konflik baik konflik vertikal maupun
konflik horisontal.
Dalam perspektif
ini, Pemilu menjadi ajang pertaruhan bahkan dalam kondisi perkembangan
pemikiran sosial politik masyarakat yang masih rendah sangat berpotensi tidak saja
menimbulkan persaingan yang tidak sehat, tetapi juga jadi pertentangan politik
ideologi tertentu dari pihak-pihak yang terlibat dalam kontestasi politik
merebut kekuasaan. Maka untuk menghasilkan Pemilu berintegritas membutuhkan
kiat-kiat tidak sebatas pada tataran teori-konsepsional mengenai pengelolaan
sistem Pemilu yang efisien dan efektif namun diperlukan pemahaman yang
komprehensif tentang pentingnya mewujudkan sistem Pemilu yang berintegritas.
Pemilu yang berintegritas menjadi perhatian semua negara-negara modern di
dunia. Hal ini karena berdasarkan pengalaman maupun fakta-fakta mengenai
penyelenggaraan Pemilu kerapkali masih diwarnai dengan perilaku distortif,
manipulatif, dan sarat penyimpangan.
Untuk mewujudkan
proses dan hasil Pemilihan Umum (Pemilu) yang berintegritas maka diperlukan suatu
sistem politik yang integrated. Tanpa
adanya sistem politik dan sistem Pemilu yang kuat dan mandiri maka sulit bagi suatu
negara dalam mewujudkan Pemilu yang demokratis. Bahkan Pemilu yang
diselenggarakan meski dinilai demokratis tetapi tidak serta merta memenuhi
standar integritas. Integritas Pemilu sangat ditentukan tidak hanya
penyelenggara Pemilu tetapi juga peserta Pemilu. Karena penyelenggara yang
secara formal-kelembagaan diberikan kepercayaan wewenang melalui Undang-Undang
untuk melaksanakan tahapan-tahapan Pemilu. Pemilu berintegritas secara otomatis
memunculkan kesadaran ethics masyarakat
dan elit politik untuk mentaati standar ketentuan peraturan perundang-undangan
yang ada.
Election fraud and electoral integrity dalam beberapa dekade terakhir menjadi isu sentral dalam kajian politik
demokrasi. Sistem Pemilu yang betul-betul menjamin hak konstitusional warga
negara dan memiliki suatu metode khusus untuk mewujudkan legitimasi kekuasaan
pemerintahan yang dipilih lewat Pemilu menjadi perhatian negara-negara
demokrasi. Electoral integrity
menjadi konsentrasi kajian ilmu politik Pemilu di abad modern sekarang. Begitu
pentingnya tema mengenai Pemilu berintegritas ini kemudian memicu berbagai
kalangan ilmuan politik, cendikiawan dan intelektual termasuk lembaga-lembaga
pemantau Pemilu maupun Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menaruh minat
untuk mengkaji mengenai pentingnya negara-negara demokrasi merumuskan sistem
Pemilu dan sekaligus bagaimana menghasilkan Pemilu yang berintegritas. Hal
inilah yang dilakukan NGO Transparency Internation Sri Lanka: Building a nation
of Integrity yang menulis tentang Electoral Integrity; A Review of the Abuse of
State Resources and selected integrity issues during 2010 elections in Sri
Lanka.
Pemilu Demokratis
Perhatian negara-negara demokrasi di dunia
terhadap perbaikan kualitas Pemilihan Umum (Pemilu) semakin kuat. Demokrasi
prosedural legalistik yang diterapkan dalam beberapa dasawarsa, dalam
perkembangan mutakhir dianggap tidak mampu menjawab tuntutan dan tantangan
zaman. Demokrasi prosedural legalistik dalam penerapan pelaksanaan Pemilu
cenderung melahirkaan praktik-praktik manipulatif secara absolut. Kekuasaan absolut
digunakan secara formalitas diselewengkan oleh rezim untuk mengoptimalkan
segala sumber daya negara untuk kepentingan politik. Demokrasi prosedural
legalistik menciptakan iklim persaingan politik kekuasaan lewat Pemilu jadi
tidak sehat. Hal ini menjadi persoalan klasik di negara-negara demokrasi yang
menerapkan asas Pemilu formalitas legalistik.
Dalam
perkembangan pada akhir abad ke XIX negara-negara terutama di kawasan Amerika
Latin, Afrika Selatan, termasuk kawasan ASEAN, terinspirasi oleh konsep Pemilu
yang dimiliki negara-negara demokrasi modern. Sistem Pemilu yang mengutamakan
kualitas proses dan hasil. Isu Pemilu berintegritas dalam sistem demokrasi
substansial menjadi titik tekan bagi pemimpin-pemimpin di negara-negara
berkembang untuk beralih ke demokrasi substansial.
Sistem Pemilu
yang mencerminkan nilai-nilai keadilan bagi rakyat menjadi alternatif strategis
dalam mendorong semangat rakyat yang semula elergi dengan Pemilu karena tidak
mendapatkan keadilan partisipasi menggunakan preferensi politik mereka.
Berdasarkan data survey dalam Walter Dean Burnham, A Political Scientist and Voting-Rights Litigation: the Case of the
1966 Texas Registration Statute”, Washington University Law Quarterly (Musim
semi 1971), hal. 356-57. Burnham mengatakan “bahwa gap sebesar 10,5% antara
orang-orang yang mengatakan tentang mereka sudah menggunakan hak pilihnya dan
angka perolehan suara aktual di Amerika Serikat pada tahun 1968, maka perbedaan
angka penggunaan hak suara antara pekerjaan-pekerjaan berstatus tinggi dan
berstatus rendah jauh lebih besar ketimbang yang ditunjukkan oleh angka-angka
dalam survey ini”.
Dengan demikian,
ada peningkatan kesadaran rakyat dan kelompok masyarakat yang tergolong dalam
organisasi sosial tertentu selain menggunakan hak pilih juga memiliki
kepedulian yang tinggi untuk mewujudkan kualitas penyelenggaraan Pemilu
termasuk membuat regulasi Pemilu yang ketat guna menghasilkan Pemilu
berintegritas. Pemilu berintegritas tidak saja menjadi perhatian negara-negara
berkembang tetapi juga negara-negara yang notabene sudah tergolong mapan dalam
demokratisasinya.
Tema-tema the integrity of elections menjadi
perhatian berbagai negara-negara maju dan berkembang di belahan dunia. Bahkan
sebuah lembaga ternama seperti International IDEA (International Institute for
Democracy and Electoral Assistance pada tahun 2012 membukukan sebuah karya tulis
yang diberi judul The Integrity of
Elections: The Role of Regional Organizations.
Etika Politik
Etika politik dan praktik kekuasaan demokrasi yang
bermuatan norma moral pada era globalisasi ini kian mengalami kesenjangan dan
potensi terjadinya kekacauan budaya politik amat kuat terasa. Budaya politik
yang terkonstruksi tidak banyak mencerminkan nilai-nilai kepatutan dan
kepantasan bahkan ada kecenderungan sebagian elit yang menjadikan demokrasi
sebagai legitimasi perjuangan dengan motif-motif tertentu termasuk motif
memanfaatkan wewenang dan kekuasaan untuk kepentingan hal-hal yang bersifat
teknis-pragmatis. Gejala ini sangat mengganggu kebersamaan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Etika politik dan moralitas kehidupan bernegara tidak
lagi dianggap sebagai pijakan sehingga nilai-nilai kemanusiaan universal yang
terkandung dalam politik mengalami pergeseran di mana-mana.
Sejatinya, etika
politik tidak berhenti pada tataran teoritik dan konseptual tetapi
kajian-kajian akademik mengenai transformasi etika politik dalam sistem politik
demokrasi modern harus bisa terlembagakan ke dalam sistem pemerintahan. Sistem
etika politik yang dilembagakan tersebut menjadi legitimasi moral politik suatu
bangsa dan dengan demikian etika politik yang dikembangkan dan dipraktikan
tidak saja pada dimensi privat namun juga pada dimensi publik termasuk
tanggungjawab menegakkan nilai-nilai
etik dalam kehidupan bernegara.
Gejala
politik pada dunia modern sekarang semakin memisahkan antara politik dan moral
dari sebagian aktor politik yang sangat kuat terasa. Kegiatan-kegiatan politik
para aktor yang menduduki posisi strategis tidak berdaya manakala dihadapkan
dengan pilihan-pilihan politik yang bersifat teknis-pragmatis. Dan dalam
kondisi yang demikian idealisme tidak lagi menjadi tumpuan politik.
Pilihan-pilihan politik seperti ini bukan tidak mungkin menciptakan pemahaman
politik yang cenderung dualistik saja di satu sisi tetapi sangat berpotensi
mengasa egoisme politik manusia dalam menentukan suatu kebijakan. Akibatnya
banyak produk kebijakan yang tidak saja bertentangan dengan nilai-nilai moral
sosial sebagai sifat khodrati manusia itu sendiri tetapi juga mengenyampingkan
semangat melahirkan suatu kemanfaatan dalam berbangsa dan bernegara.
Sistem
politik negara yang dibangun mencerminkan identitas kultural suatu bangsa dan
pada umumnya hal ini terjadi di banyak negara modern yang menganut sistem
demokrasi namun pada konteks penerapan seringkali yang terjadi adalah
ketidaksinronan dan ketidaksinergi antara sistem politik nilai di tingkat
lapangan termasuk produk kebijakan. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya
pertentangan pemahaman tentang bagaimana memadukan antara semangat menerapkan
peraturan perundang-undangan dan menempatkan diri setiap aktor politik sebagai
representasi kepentingan warga negara. Kesadaran untuk mendahulukan kearifan
etika dan moral dalam mengembangkan tradisi politik yang bijak merupakan hal
yang penting dikembangkan oleh semua umat manusia terutama para aktor yang
notabene pengendali suatu kebijakan.
Globalisasi dan pertarungan ideologi global
membawa konsekuensi politik tersendiri bagi suatu bangsa dalam membangun
peradaban politik demokrasi berbasiskan pada nilai-nilai moralitas. Politik ethics dan meningkatnya rotasi
demokratisasi pada pertengahan abad XIX secara besar-besaran di negara-negara
berkembang termasuk Asia Tenggara ikut memicu krisis etika politik. Padahal,
faktor etika politik merupakan dasar kemanusiaan yang fundamental untuk menjawab
berbagai tantangan dan hambatan pembangunan suatu bangsa.
Negara-negara maju dan modern yang mengutamakan
pembangunan di sektor ekonomi politik dan mengabaikan dimensi pembangunan ethics sebagai landasan filosofis
kebangsaan maka dalam perjalanan kemudian negara bersangkutan seakan-akan
mengalami “kebangkrutan moral” dan bahkan semakin kehilangan orientasi.
Pembangunan di sektor ekonomi dengan tidak mengimbangi bidang etika dan moral
yang sesungguhnya sebagai landasan spiritual transedental pada kenyataannya
negara tersebut tidak akan menemukan sebuah identitas kebangsaan yang dianggap ethics.
Masyarakat dunia Internasional mengalami
kegamangan orientasi kehidupan terutama dalam memandang perkembangan tata
kelola negara dunia. Masyarakat dunia memahami kehidupan politik sebagai pola
pendekatan kepentingan yang ujung-ujungnya hanya merangkaikan seluruh aktivitas
untuk mengeksploitasi satu sama lain. Ketidakmampuan pemimpin dunia memberikan
jawaban pada masyarakat terkait kondisi sistem dan struktur kekuasaan politik
lembaga-lembaga negaranya masing-masing memancing masyarakat memandang kegiatan
politik negara dengan kacamata yang sinis.
Akan tetapi, krisis etika politik dan dunia
mengalami kehampaan spiritual tersebut masih terlihat di mana masyarakat dalam
entitas maupun komunitas tertentu menaruh harapan besar pada pemimpin-pemimpin
dunia untuk secara optimal terus aktif mendorong kemajuan modernitas tanpa
harus mengenyampingkan budaya politik yang ethics.
Kepemimpinan menjadi kata kunci yang sangat esensial dalam membangun
tradisi politik suatu bangsa dan hingga membentuk karakter bangsa yang
bermartabat dalam segala aktivitas politik negara.
Demokrasi Berbudaya
Sistem
demokrasi di era modern dan relasinya antara penegakkan etika kepublikan dalam
berbangsa dan bernegara kerap mengalami ketidakmenentuan. Pengelolaan
pemerintahan demokratis sejatinya mengarah pada peningkatan pelayanan publik
yang prima. Pemerintahan goog governance dan
clien governance menjadi alternatif
yang banyak digunakan negara-negara modern.
Pelayanan publik yang profesional, jaminan
kepastian hukum, serta etika kepatutan dan kelayakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan relevansinya dengan demokratisasi sebagai sebuah sistem yang
ideal dalam merespon tuntutan dan perkembangan zaman seringkali dihadapkan
dengan praktek politik kekuasaan yang distrosif. Dalam kondisi ini etika atau
nilai-nilai kepublikan tidak lagi dianggap sebagai aspek fundamental dalam
perbaikan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Transformasi budaya politik dan akselerasi
pembangunan sistem demokrasi di negara-negara maju dan berkembang pun semakin
mengalami peningkatan secara pesat, dan dalam dimensi pembangunan nilai selalu
mengalami hambatan sehingga upaya-upaya mereartikulasi konsep penyelenggaraan
pemerintahan yang baik pun mengalami berbagai dinamika. Namun demikian,
mayoritas pemimpin negara di dunia terus menggalang kekuatan dan
mengkampanyekan peradaban politik berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan universal
terutama mendorong negara-negara di dunia aktif memainkan peran secara
konstruktif dalam penataan tata kelola pemerintahan.
Di era modern terjadi pergeseran substansi
demokrasi. Krisis nilai politik memuncak pada kehampaan norma sosial universal
sehingga perdebatan akademik mengenai sistem politik modern mengalami
polarisasi secara konseptual. Dalam perspektif ini, pemikiran-pemikiran klasik
kembali mewarnai dinamika perdebatan ilmiah seputar pentingnya memasukan
nilai-nilai ethic dalam sistem politik pemerintahan. Etika harus menjadi basis
orientasi proses perumusan sebuah kebijakan bangsa dalam menerapkan peraturan
dan perundang-undangan. Setiap produk undang-undang politik sebuah negara harus
mencerminkan nilai-nilai etika universal dalam proses berbangsa dan bernegara.
Aristoteles merupakan salah satu arsitektur
pemikir dan filosof zaman klasik yang mengkonstruksi teori-teori politik nilai
atau pentingnya etika politik negara dalam mengelola kebajikan universal untuk
mencapai kebahagiaan umat manusia di dunia. Aristoteles adalah salah satu
pemikir filosof yang konsen terhadap pentingnya membangun sistem negara
berbasiskan pada nilai-nilai universal.
Pada kenyataan praktik di etape milenium ketiga, sistem demokrasi semakin mengalami kemajuan pesat.
Rotasi sistem demokrasi di negara-negara maju dan berkembang semakin kuat
termasuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara otoriter semakin
meninggalkan sistem totaliter dan kemudian memilih demokrasi sebagai sistem
pemerintahan. Rezim-rezim otoriter semakin menyadari bahkan merasakan
pentingnya mengevaluasi kembali sistem politik pemerintahan dalam bernegara
yang semula sentralistik menjadi demokratis.
Negara-negara
penganut sistem totaliterian umumnya cenderung eksplisit dan tidak inklusif
sehingga dalam membangun sistem politik dan sistem pemerintahan pun selalu
berdasarkan pada pandangan-pandangan ekslusif sehingga cenderung melahirkan
kebijakan-kebijakan parsial dan sektoral yang sangat bertentangan dengan
politik ethics. Sistem otoriterian
berusaha menghancurkan tatanan nilai dalam politik ethics dengan mengabaikan aspek etika dan moral. Dengan demikian, pemahaman mengenai pentingnya transformasi
nilai-nilai etika politik secara komprehensif bagi negara-negara modern dan
demokratis sangat diperlukan guna pengembangan kualitas politik dan demokrasi
yang lebih bermartabat.
Catatan: @Arsip
Tulisan