Rabu, 22 Juni 2016

Etika Politik Pemilu

Sistem Pemilu Dan Etika Politik
Dalam Pergulatan Pemikiran Dan Praktik

Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI)



Perhatian para pemikir politik mengenai kajian sistem peralihan kekuasaan dari sistem otoriter ke sistem demokrasi mulai mengemuka sejak tahun 1970-an yang terlihat di mulai dari Eropa Selatan (Yunani, 1974; Portugal dan Spanyol, 1975-6), tahun 1980-an terjadi di Amerika Selatan (Argentina, Brazil, Uruguai) dan akhir 1980-an di Eropa Timur, jauh sebelum itu Italia tahun 1922, dan puncaknya pada tahun 1942. Perang Dunia ke II, arus demokrasi pada tahun 1962-an menempatkan 36 negara menjadi negara demokrasi. Tetapi tahun 1960-1975 gelombang demokratisasi mengalami surut dan pada gelombang ketiga tercatat dalam tulisan Samuel P. Huntington terdapat 30 negara mengalami peralihan ke ara demokrasi seperti yang dikemukakannya dalam bukunya: Gelombang Demokratisasi Ketiga (2002).
Sistem kekuasaan otoriter semakin ditinggalkan dan sistem demokrasi secara bertahap dengan semakin kompleksitasnya persoalan politik dan sistem kekuasaan negara-negara yang mengalami transisi demokrasi yang kaku menimbulkan evolusi pemikiran yang makin modern sehingga tuntutan rekonstruksi sistem politik dan sistem kekuasaan untuk diubah menjadi demokratis tidak terbendungi lagi. Dampak dari rotasi sistem politik dan sistem kekuasaan pemerintahan klasik ke modern tersebut secara langsung berefek pula pada perubahan sistem Pemilihan Umum (Pemilu).
Pemilihan Umum merupakan suatu metode konstitusional yang diterapkan oleh negara-negara modern. Hal ini karena Pemilu merupakan instrumen fundamental dalam sistem politik negara dalam melakukan sirkulasi kepemimpinan nasional. Pemilu menjadi salah satu pilar penting demokrasi dan sekaligus menjadi format konstitusional negara-negara penganut demokrasi dalam rangka mewujudkan pergantian suksesi secara tertib, dan damai. Pemilu menjadi aspek politik formal negara dalam melakukan transformasi sistem kehidupan bernegara dan sekaligus jadi dimensi psikologis politik negara dalam mereduksi konflik baik konflik vertikal maupun konflik horisontal.
Dalam perspektif ini, Pemilu menjadi ajang pertaruhan bahkan dalam kondisi perkembangan pemikiran sosial politik masyarakat yang masih rendah sangat berpotensi tidak saja menimbulkan persaingan yang tidak sehat, tetapi juga jadi pertentangan politik ideologi tertentu dari pihak-pihak yang terlibat dalam kontestasi politik merebut kekuasaan. Maka untuk menghasilkan Pemilu berintegritas membutuhkan kiat-kiat tidak sebatas pada tataran teori-konsepsional mengenai pengelolaan sistem Pemilu yang efisien dan efektif namun diperlukan pemahaman yang komprehensif tentang pentingnya mewujudkan sistem Pemilu yang berintegritas. Pemilu yang berintegritas menjadi perhatian semua negara-negara modern di dunia. Hal ini karena berdasarkan pengalaman maupun fakta-fakta mengenai penyelenggaraan Pemilu kerapkali masih diwarnai dengan perilaku distortif, manipulatif, dan sarat penyimpangan.
Untuk mewujudkan proses dan hasil Pemilihan Umum (Pemilu) yang berintegritas maka diperlukan suatu sistem politik yang integrated. Tanpa adanya sistem politik dan sistem Pemilu yang kuat dan mandiri maka sulit bagi suatu negara dalam mewujudkan Pemilu yang demokratis. Bahkan Pemilu yang diselenggarakan meski dinilai demokratis tetapi tidak serta merta memenuhi standar integritas. Integritas Pemilu sangat ditentukan tidak hanya penyelenggara Pemilu tetapi juga peserta Pemilu. Karena penyelenggara yang secara formal-kelembagaan diberikan kepercayaan wewenang melalui Undang-Undang untuk melaksanakan tahapan-tahapan Pemilu. Pemilu berintegritas secara otomatis memunculkan kesadaran ethics masyarakat dan elit politik untuk mentaati standar ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.
Election fraud and electoral integrity dalam beberapa dekade terakhir menjadi isu sentral dalam kajian politik demokrasi. Sistem Pemilu yang betul-betul menjamin hak konstitusional warga negara dan memiliki suatu metode khusus untuk mewujudkan legitimasi kekuasaan pemerintahan yang dipilih lewat Pemilu menjadi perhatian negara-negara demokrasi. Electoral integrity menjadi konsentrasi kajian ilmu politik Pemilu di abad modern sekarang. Begitu pentingnya tema mengenai Pemilu berintegritas ini kemudian memicu berbagai kalangan ilmuan politik, cendikiawan dan intelektual termasuk lembaga-lembaga pemantau Pemilu maupun Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menaruh minat untuk mengkaji mengenai pentingnya negara-negara demokrasi merumuskan sistem Pemilu dan sekaligus bagaimana menghasilkan Pemilu yang berintegritas. Hal inilah yang dilakukan NGO Transparency Internation Sri Lanka: Building a nation of Integrity yang menulis tentang Electoral Integrity; A Review of the Abuse of State Resources and selected integrity issues during 2010 elections in Sri Lanka.

Pemilu Demokratis
Perhatian negara-negara demokrasi di dunia terhadap perbaikan kualitas Pemilihan Umum (Pemilu) semakin kuat. Demokrasi prosedural legalistik yang diterapkan dalam beberapa dasawarsa, dalam perkembangan mutakhir dianggap tidak mampu menjawab tuntutan dan tantangan zaman. Demokrasi prosedural legalistik dalam penerapan pelaksanaan Pemilu cenderung melahirkaan praktik-praktik manipulatif secara absolut. Kekuasaan absolut digunakan secara formalitas diselewengkan oleh rezim untuk mengoptimalkan segala sumber daya negara untuk kepentingan politik. Demokrasi prosedural legalistik menciptakan iklim persaingan politik kekuasaan lewat Pemilu jadi tidak sehat. Hal ini menjadi persoalan klasik di negara-negara demokrasi yang menerapkan asas Pemilu formalitas legalistik.
Dalam perkembangan pada akhir abad ke XIX negara-negara terutama di kawasan Amerika Latin, Afrika Selatan, termasuk kawasan ASEAN, terinspirasi oleh konsep Pemilu yang dimiliki negara-negara demokrasi modern. Sistem Pemilu yang mengutamakan kualitas proses dan hasil. Isu Pemilu berintegritas dalam sistem demokrasi substansial menjadi titik tekan bagi pemimpin-pemimpin di negara-negara berkembang untuk beralih ke demokrasi substansial.
Sistem Pemilu yang mencerminkan nilai-nilai keadilan bagi rakyat menjadi alternatif strategis dalam mendorong semangat rakyat yang semula elergi dengan Pemilu karena tidak mendapatkan keadilan partisipasi menggunakan preferensi politik mereka. Berdasarkan data survey dalam Walter Dean Burnham, A Political Scientist and Voting-Rights Litigation: the Case of the 1966 Texas Registration Statute”, Washington University Law Quarterly (Musim semi 1971), hal. 356-57. Burnham mengatakan “bahwa gap sebesar 10,5% antara orang-orang yang mengatakan tentang mereka sudah menggunakan hak pilihnya dan angka perolehan suara aktual di Amerika Serikat pada tahun 1968, maka perbedaan angka penggunaan hak suara antara pekerjaan-pekerjaan berstatus tinggi dan berstatus rendah jauh lebih besar ketimbang yang ditunjukkan oleh angka-angka dalam survey ini”.
Dengan demikian, ada peningkatan kesadaran rakyat dan kelompok masyarakat yang tergolong dalam organisasi sosial tertentu selain menggunakan hak pilih juga memiliki kepedulian yang tinggi untuk mewujudkan kualitas penyelenggaraan Pemilu termasuk membuat regulasi Pemilu yang ketat guna menghasilkan Pemilu berintegritas. Pemilu berintegritas tidak saja menjadi perhatian negara-negara berkembang tetapi juga negara-negara yang notabene sudah tergolong mapan dalam demokratisasinya.
Tema-tema the integrity of elections menjadi perhatian berbagai negara-negara maju dan berkembang di belahan dunia. Bahkan sebuah lembaga ternama seperti International IDEA (International Institute for Democracy and Electoral Assistance pada tahun 2012 membukukan sebuah karya tulis yang diberi judul The Integrity of Elections: The Role of Regional Organizations.


Etika Politik
Etika politik dan praktik kekuasaan demokrasi yang bermuatan norma moral pada era globalisasi ini kian mengalami kesenjangan dan potensi terjadinya kekacauan budaya politik amat kuat terasa. Budaya politik yang terkonstruksi tidak banyak mencerminkan nilai-nilai kepatutan dan kepantasan bahkan ada kecenderungan sebagian elit yang menjadikan demokrasi sebagai legitimasi perjuangan dengan motif-motif tertentu termasuk motif memanfaatkan wewenang dan kekuasaan untuk kepentingan hal-hal yang bersifat teknis-pragmatis. Gejala ini sangat mengganggu kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Etika politik dan moralitas kehidupan bernegara tidak lagi dianggap sebagai pijakan sehingga nilai-nilai kemanusiaan universal yang terkandung dalam politik mengalami pergeseran di mana-mana.
Sejatinya, etika politik tidak berhenti pada tataran teoritik dan konseptual tetapi kajian-kajian akademik mengenai transformasi etika politik dalam sistem politik demokrasi modern harus bisa terlembagakan ke dalam sistem pemerintahan. Sistem etika politik yang dilembagakan tersebut menjadi legitimasi moral politik suatu bangsa dan dengan demikian etika politik yang dikembangkan dan dipraktikan tidak saja pada dimensi privat namun juga pada dimensi publik termasuk tanggungjawab  menegakkan nilai-nilai etik dalam kehidupan bernegara.
Gejala politik pada dunia modern sekarang semakin memisahkan antara politik dan moral dari sebagian aktor politik yang sangat kuat terasa. Kegiatan-kegiatan politik para aktor yang menduduki posisi strategis tidak berdaya manakala dihadapkan dengan pilihan-pilihan politik yang bersifat teknis-pragmatis. Dan dalam kondisi yang demikian idealisme tidak lagi menjadi tumpuan politik. Pilihan-pilihan politik seperti ini bukan tidak mungkin menciptakan pemahaman politik yang cenderung dualistik saja di satu sisi tetapi sangat berpotensi mengasa egoisme politik manusia dalam menentukan suatu kebijakan. Akibatnya banyak produk kebijakan yang tidak saja bertentangan dengan nilai-nilai moral sosial sebagai sifat khodrati manusia itu sendiri tetapi juga mengenyampingkan semangat melahirkan suatu kemanfaatan dalam berbangsa dan bernegara.
Sistem politik negara yang dibangun mencerminkan identitas kultural suatu bangsa dan pada umumnya hal ini terjadi di banyak negara modern yang menganut sistem demokrasi namun pada konteks penerapan seringkali yang terjadi adalah ketidaksinronan dan ketidaksinergi antara sistem politik nilai di tingkat lapangan termasuk produk kebijakan. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya pertentangan pemahaman tentang bagaimana memadukan antara semangat menerapkan peraturan perundang-undangan dan menempatkan diri setiap aktor politik sebagai representasi kepentingan warga negara. Kesadaran untuk mendahulukan kearifan etika dan moral dalam mengembangkan tradisi politik yang bijak merupakan hal yang penting dikembangkan oleh semua umat manusia terutama para aktor yang notabene pengendali suatu kebijakan.
Globalisasi dan pertarungan ideologi global membawa konsekuensi politik tersendiri bagi suatu bangsa dalam membangun peradaban politik demokrasi berbasiskan pada nilai-nilai moralitas. Politik ethics dan meningkatnya rotasi demokratisasi pada pertengahan abad XIX secara besar-besaran di negara-negara berkembang termasuk Asia Tenggara ikut memicu krisis etika politik. Padahal, faktor etika politik merupakan dasar kemanusiaan yang fundamental untuk menjawab berbagai tantangan dan hambatan pembangunan suatu bangsa.
Negara-negara maju dan modern yang mengutamakan pembangunan di sektor ekonomi politik dan mengabaikan dimensi pembangunan ethics sebagai landasan filosofis kebangsaan maka dalam perjalanan kemudian negara bersangkutan seakan-akan mengalami “kebangkrutan moral” dan bahkan semakin kehilangan orientasi. Pembangunan di sektor ekonomi dengan tidak mengimbangi bidang etika dan moral yang sesungguhnya sebagai landasan spiritual transedental pada kenyataannya negara tersebut tidak akan menemukan sebuah identitas kebangsaan yang dianggap ethics.
Masyarakat dunia Internasional mengalami kegamangan orientasi kehidupan terutama dalam memandang perkembangan tata kelola negara dunia. Masyarakat dunia memahami kehidupan politik sebagai pola pendekatan kepentingan yang ujung-ujungnya hanya merangkaikan seluruh aktivitas untuk mengeksploitasi satu sama lain. Ketidakmampuan pemimpin dunia memberikan jawaban pada masyarakat terkait kondisi sistem dan struktur kekuasaan politik lembaga-lembaga negaranya masing-masing memancing masyarakat memandang kegiatan politik negara dengan kacamata yang sinis.  
Akan tetapi, krisis etika politik dan dunia mengalami kehampaan spiritual tersebut masih terlihat di mana masyarakat dalam entitas maupun komunitas tertentu menaruh harapan besar pada pemimpin-pemimpin dunia untuk secara optimal terus aktif mendorong kemajuan modernitas tanpa harus mengenyampingkan budaya politik yang ethics. Kepemimpinan menjadi kata kunci yang sangat esensial dalam membangun tradisi politik suatu bangsa dan hingga membentuk karakter bangsa yang bermartabat dalam segala aktivitas politik negara.

Demokrasi Berbudaya
Sistem demokrasi di era modern dan relasinya antara penegakkan etika kepublikan dalam berbangsa dan bernegara kerap mengalami ketidakmenentuan. Pengelolaan pemerintahan demokratis sejatinya mengarah pada peningkatan pelayanan publik yang prima. Pemerintahan goog governance dan clien governance menjadi alternatif yang banyak digunakan negara-negara modern.
Pelayanan publik yang profesional, jaminan kepastian hukum, serta etika kepatutan dan kelayakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan relevansinya dengan demokratisasi sebagai sebuah sistem yang ideal dalam merespon tuntutan dan perkembangan zaman seringkali dihadapkan dengan praktek politik kekuasaan yang distrosif. Dalam kondisi ini etika atau nilai-nilai kepublikan tidak lagi dianggap sebagai aspek fundamental dalam perbaikan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Transformasi budaya politik dan akselerasi pembangunan sistem demokrasi di negara-negara maju dan berkembang pun semakin mengalami peningkatan secara pesat, dan dalam dimensi pembangunan nilai selalu mengalami hambatan sehingga upaya-upaya mereartikulasi konsep penyelenggaraan pemerintahan yang baik pun mengalami berbagai dinamika. Namun demikian, mayoritas pemimpin negara di dunia terus menggalang kekuatan dan mengkampanyekan peradaban politik berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan universal terutama mendorong negara-negara di dunia aktif memainkan peran secara konstruktif dalam penataan tata kelola pemerintahan.
Di era modern terjadi pergeseran substansi demokrasi. Krisis nilai politik memuncak pada kehampaan norma sosial universal sehingga perdebatan akademik mengenai sistem politik modern mengalami polarisasi secara konseptual. Dalam perspektif ini, pemikiran-pemikiran klasik kembali mewarnai dinamika perdebatan ilmiah seputar pentingnya memasukan nilai-nilai ethic dalam sistem politik pemerintahan. Etika harus menjadi basis orientasi proses perumusan sebuah kebijakan bangsa dalam menerapkan peraturan dan perundang-undangan. Setiap produk undang-undang politik sebuah negara harus mencerminkan nilai-nilai etika universal dalam proses berbangsa dan bernegara.
Aristoteles merupakan salah satu arsitektur pemikir dan filosof zaman klasik yang mengkonstruksi teori-teori politik nilai atau pentingnya etika politik negara dalam mengelola kebajikan universal untuk mencapai kebahagiaan umat manusia di dunia. Aristoteles adalah salah satu pemikir filosof yang konsen terhadap pentingnya membangun sistem negara berbasiskan pada nilai-nilai universal.
Pada kenyataan praktik di etape milenium ketiga, sistem demokrasi semakin mengalami kemajuan pesat. Rotasi sistem demokrasi di negara-negara maju dan berkembang semakin kuat termasuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara otoriter semakin meninggalkan sistem totaliter dan kemudian memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Rezim-rezim otoriter semakin menyadari bahkan merasakan pentingnya mengevaluasi kembali sistem politik pemerintahan dalam bernegara yang semula sentralistik menjadi demokratis.
Negara-negara penganut sistem totaliterian umumnya cenderung eksplisit dan tidak inklusif sehingga dalam membangun sistem politik dan sistem pemerintahan pun selalu berdasarkan pada pandangan-pandangan ekslusif sehingga cenderung melahirkan kebijakan-kebijakan parsial dan sektoral yang sangat bertentangan dengan politik ethics. Sistem otoriterian berusaha menghancurkan tatanan nilai dalam politik ethics dengan mengabaikan aspek etika dan moral. Dengan demikian, pemahaman mengenai pentingnya transformasi nilai-nilai etika politik secara komprehensif bagi negara-negara modern dan demokratis sangat diperlukan guna pengembangan kualitas politik dan demokrasi yang lebih bermartabat.

Catatan: @Arsip Tulisan