Senin, 25 Agustus 2014

Akhir Dari Perseteruan Pilpres

Oleh :Rahman Yasin


Soal penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) khususnya Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) tahun 2014 yang secara konstitusional berakhir setelah melewati masa penyelesaian persidangan PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) di MK (Mahkamah Konstitusi) pada Hari Kamis (21/8) ini sangatlah menarik diperbincangkan, mengingat isu politik selama masa pelaksanaan Pilpres kerap diwarnai pelbagai ragam asumsi dan persepsi politik. Pilpres dalam maknanya secara positif atau secara substansial memberikan artikulasi politik yang dalam konteks penafsiran norma hukum dan politik. Namun Pilpres dalam pengertian teoritiknya, kecenderungannya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, siapa dan bagaimana kemudian memunculkan riak-riak politik dan sahut-sahut ketidaksiapan politisi menerima realitas politik yang terjadi. Dalam pengertian Pilpres secara positif telah memberikan daya dorong secara konstruktif pada pihak-pihak atau masyarakat di lapisan sosial tertentu dengan berdasarkan pemahaman keotentikan identitas kultural dan tradisi-tradisi pelaksanaan Pilpres selama lima tahun. Namun demikian, patut dicatat, Pilpres 2014 memiliki sistem dan performa penyelenggaraan baik dari segi organik maupun dari segi substansi hampir mendekati pada tahap perkembangan dan pertumbuhan praktik berdemokrasi yang makin baik.
MK pada Hari Kamis (21/8) mengeluarkan putusan yang mampu memberikan jawaban atas teka-teki politik tingkat elit pada masyarakat umum terkait hasil Pilpres 2014. Dengan ditolaknya semua gugatan maka klaim kemenangan, tuduhan pelanggaran, dalil dan argumentasi yuridis formal tidak terbukti secara hukum dalam pemeriksaan dan persidangan PHPU di MK, maka tertutuplah sudah upaya hukum untuk menyelesaikan persoalan Pilpres. Kalaupun ada upaya menjurus ke PTUN dan MA sekalipun tidak akan mempengaruhi legitimasi pemerintahan presiden Jokowi-JK, bahkan hal ini hanya menguras energi positif untuk memulihkan dan memantapkan agenda pembangunan Indonesia lima tahun ke depan . Tuduhan pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis, dan massif) serta klaim perolehan suara Prabowo-Hatta meraih suara sebanyak 67.139.153 dan Jokowi-JK hanya mendapatkan 66.435.124 suara yangberbeda dengan hasil penetapan resmi KPU tanggal 22 Juli yakni Prabowo-Hatta mendapatkan 62.576.444 dan Jokowi-JK mendapat sebanyak 70.139.153 suara sama sekali tidak dapat dibuktikan dalam pemeriksaan dan persidangan MK. Perihal pembukaan kotak suara oleh KPU, MK berpendapat sah dilakukan KPU karena hal itu dilakukan sebelum dikeluarkannya ketetapan MK Nomor 1/PHPUPRES/XII/2014. Hal serupa pada tuduhan atas penghilangan hak konstitusional warga dan mobilisasi massa terselubung untuk memilih pasangan Jokowi-JK. MK berpendapat, pembentukan DPTB dan DPKTb sudah sesuai peraturan-perundang-undangan sebagaimana tertuang dalam putusan MK Nomor 102 tentang hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih.
Putusan MK menolak seluruh gugatan tersebut perlu dimaknai sebagai pendekatan konstitusionalitas dalam rangka menutup semua interpretasi politik hukum dan segala persepsi yang berkembang selama dua bulan terakhir. Ditolaknya gugatan ini juga menjadi hikmah positif bagi semua pihak dalam rangka menjaga dan saling menghormati serta menunjukkan sikap kenegarawanan melalui taat pada konstitusi.
Sebagai perwujudan kelembagaan peradilan tingkat pertama dan terakhir yang memiliki kewenangan membuat putusan yang final dan mengikat sebagaimana dalam sejarahnya dimana UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 14 Tahun 1970, bahkan pada awal reformasi diubah jadi UU Nomor 35 Tahun 1999 dan kemudian pada amandemen UUD 1945, UU Nomor 35 Tahun 1999 dicabut dan diganti dengan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pencabutan UU mengenai Kekuasaan Kehakiman sebelumnya tersebut yang kemudian digunakan UU Nomor 4 Tahun 2004 memperlihatkan lebih jelas eksistensi kedua lembaga negara yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung karena keduanya memiliki UU sendiri-sendiri. MK berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi memiliki empat wewenang utama yang salah satunya adalah menyelesaikan sengketa Pemilu.
Penyelenggaraan Pilpres 2014 dalam pengertian peraturan dan perundang-undangan memang banyak menimbulkan penafsiran-penafsiran legalistik dan substansial dari kontestasi termasuk silang-sengketa penafsiran-penafsiran UU Pilpres antara penyelenggara Pemilu (Komisi Pemilihan Umum/KPU dan Badan Pengawas Pemilu/Bawaslu). Semua merasa paling benar dan paling berhak menafsirkan UU Pilpres No 42 Tahun 2008 dalam pengertian operasionalnya, sehingga sulit memang mempertemukan dua pemahaman yang berbeda dalam kepentingan baik dalam makna politik teknis-pragmatisnya maupun dalam makna tugas dan tanggungjawab menjalankan aturan. Akhirnya, keduanya bukan saling memperkuat, melainkan saling memperlebar pengertian peraturan perundang-undangan berdasarkan muatan yang pada intinya menimbulkan pertentangan makna substansialnya.
Betapapun demikian, apapun bentuk perbedaan selama dua bulan terakhir, dengan putusan MK dan DKPP pada hari Kamis (21/8/2014) maka semua pihak yang bersilang sengketa hendaknya menerima dengan jiwa besar. Putusan MK dan DKPP harus dilihat dari segi yuridis-formalnya, dimensi etiknya, dan dari aspek legal formalnya memberikan makna dalam pengertian konstitusionalitas kita yang sesungguhnya. MK dengan berdasarkan wewenang dan fungsinya sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan akhir dan dengan sifat putusan yang final dan mengikat hendaknya dihargai semua pihak. Sikap penghargaan dan kesiapan kita untuk menerima putusan MK dan DKPP inilah yang mencerminkan identitas politik kebangsaan kita dan sekaligus menjadi momentum untuk kembali rekonsiliasi nasional guna saling memperkuat dan bukan saling melemahkan satu kelompok dengan kelompok masyarakat yang ada.
Dalam konteks penyelenggaraan Pilpres, terlepas dari kekurangan dan kelemahan pada KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara, yang patut direnungkan bahwa penyelenggaraan Pilpres 2014 berkenaan dengan bulan suci Ramdhan yang dalam makna filosofisnya memberikan sumbangan positif bagi terciptanya kesadaran yang tinggi akan kebangsaan dan kebhinekaan dalam bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) cukup terasa. Kesadaran menghargai ibadah puasa yang mampu secara sosial memberikan arti positif-konstruktif pada perilaku destruktif yang disebabkan ketidakpuasan terhadap proses dan hasil Pilpres 2014.
Pilpres 2014 meliputi seluk-beluk pencerahan dan hiruk-pikuk politik dan perkembangan demokrasi modern dewasa ini yang makin maju. Bagi yang memahami demokrasi dan konstitusi sebagai bagian dari kehidupan bernegara dalam arti yang luas maka tentu memaknainya pun secara luas pula, sedangkan bagi yang memahami demokrasi dan konstitusionalitas sebagai kesatuan konsepsional dalam praktik politik kehidupan bernegara secara sempit tentu melihatnya tetap dinamis. Namun, pemahaman keduanya mengenai demokrasi dan konstitusionalitas sama-sama memberikan sumbangan positif-konstruktif bagi keberlangsungan demokrasi substansial dan kesadaran filosofis berbangsa untuk mentaati keputusan konstitusionalitas.
Dalam konteks itulah pentingnya makna kesadaran kebangsaan semua komponen masyarakat dalam memahami konstitusi yang dikaitkan dengan persoalan politik kenegaraan sebagai kontrak sosial tertinggi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pengertian ‘political constitution’ sebagaimana dikembangkan dalam tradisi masyarakat Amerika Serikat. Perlunya memahami, Pancasila dan UUD 1945 sebagai dokumen konsensus tertinggi dalam menata sistem kehidupan bernegara. Dalam perspektif inilah kemudian memunculkan kemauan etik memaknai Pancasila sebagai suatu ideologi dalam bernegara. Dalam pengertian ini, meminjam paradigma mantan ketua MK Jimly Asshiddiqie (2003-2008), dikatakan bahwa “Pancasila dan UUD 1945 hanya relevan untuk konteks kenegaraan dalam arti sempit, maka tentu yang dimaksud adalah bahwa Pancasila dan UUD 1945 itu hanya sebagai konstitusi bernegara yang tidak mencakup kehidupan bermasyarakat. Masyarakat adalah wilayah bebas yang berada di luar jangkauan kekuasaan negara”.

Etika Politik
Sebetulnya, etika kehidupan berbangsa kita sudah terbingkai dalam TAP MPR No VI Tahun 2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa. TAP MPR No VI ini semestinya menjadi sandaran etika politik setelah Pancasila dan UUD 1945. Nilai-nilai yang tercermin dalam Pancasila tidak termanifestasikan secara kongkrit dalam praktik kehidupan berbangsa. Dalam kondisi yang sama, TAP MPR No VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini semakin tidak diindahkan dalam praktik politik kenegaraan. Akibatnya bangunan kultur dan struktur kekuasaan politik bernegara dalam konteks pergumulan peran pemerintahan demokratis mengalami kelunturan moral. Kemerosotan nilai-nilai etik politik dalam praktik kekuasaan ini disebabkan oleh ketidakseimbangan modalitas pemahaman aktor demokrasi terhadap kultur dan struktur politik kenegaraan secara esensial yakni Pancasila dan UUD 1945 dan TAP MPR No VI Tahun 2001.
Elit politik dan aktor demokrasi kita kering dalam keyakinan politik nilai dalam praktik kekuasaan. Padahal, semua jalur mekanisme konstitusional telah dilewati. Proses hukum yang dilaporkan pemohon Tim pasangan Prabowo-Hatta ke MK yang sesungguhnya telah diproses secara transparan dan akuntabel pun masih saja menimbulkan sahutan-sahutan politik. MK dengan berdasarkan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah memproses perkara dugaan pelanggaran seperti yang diadukan pemohon. Dan putusan MK dinyatakan tidak menemukan adanya pelanggaran Pilpres sebagaimana dalil pelanggaran yang dimohonkan yakni telah terjadinya pelanggaran Pilpres secara TSM (terstruktur, sistematis, dan massif). Begitu juga dalam aduan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu di DKPP. Dalam proses pemeriksaan dan persidangan kode etik DKPP pun seperti dalam putusan lembaga peradilan etik tersebut dengan mengabulkan sebagian pengaduan dan menolak beberapa pengaduan sehingga dengan demikian, DKPP sebagaimana UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan Peraturan Bersama antara KPU, Bawaslu, dan DKPP No 13, 11, dan 1 Tahun 2012 memutuskan dengan memberhentikan, memberikan peringatan, hingga merehabilitasi nama baik ketua dan anggota KPU dan Bawaslu/Panwaslu berdasarkan kapasitas pelanggaran kode etik.

Rekonsiliasi
Dengan berakhirnya tahapan pelaksanaan penyelenggaraan Pilpres 2014 di MK, maka tidak ada jalan lain yang lebih baik selain melakukan rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi politik harus dilakukan pada tingkat aktor elitsemua partai politik baik koalisi Merah Putih (Prabowo-Hatta) maupun koalisi Rakyat kubu Jokowi-JK secara bijaksana dan kesatria menunjukkan sikap kenegarawanan untuk kembali memikirkan dan membangun Indonesia yang lebih kuat dan mandiri berdasarkan visi dan misi kedua pasangan calon presiden tersebut. Rekonsiliasi nasional hendaknya dimulai dari langkah-langkah kongkrit dari presiden terpilih Jokowi dan JK untuk merangkul pasangan Prabowo-Hatta dalam proses penyusunan pemerintahan baru.
Rekonsiliasi nasional dimulai dari tingkat elit politik. Elit politik tidak hanya diharapkan menunjukkan sikap kenegarawanan tetapi dituntut menghadirkan sikap bijak untuk berdamai dan bersatu dalam konteks pengertian membangun negara berdasarkan asas-asas konstitusional (Pancasila dan UUD 1945) sebagai pedoman tertinggi dalam praktik kehidupan bernegara. Dalam konteks inilah prinsip “the rule of law, not of man” yang oleh Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Peradilan Etik dan Etika Konstitusi (2014), disebut sebagai pengertian dari nomokrasi atau kekuasaan dalam pengertian nilai dan norma aturan. Inilah prinsip supremasi hukum (supremacy of law) yang dijadikan sebagai prasyarat utama dalam menegakkan negara hukum. Dengan demikian, pengertian nilai dalam konstitusi bukan para tokoh pemimpin yang menjadi sandaran utama tetapi sistem aturan hukum yang tertuang dalam konstitusi. Dengan menegakkan “the rule of law, not of man” seperti terkandung dalam prinsip ‘supremacy of law’ maka prinsip ‘equality before the law dan due process of law’ dapat disinergikan secara simultan dalam praktik.
Kesadaran akan kuat apabila ditopang oleh kesadaran mematuhi konstitusi. Norma hukum konstitusi (constitutional law) hendaknya dikuatkan dengan norma etika konstitusi (constitutional ethics). Memahami Pancasila sebagai sumber hukum (source of law) sekaligus menjadi pedoman etika (source of ethics) dalam penguatan dan penataan sistem kehidupan bernegara, dan UUD 1945 sebagai sumber hukum konstitusi (constitutional law) dan sumber hukum etika konstitusi (constitutional ethics)
Rekonsiliasi nasional sangat menentukan ekspektasi masyarakat terhadap pemerintahan lima tahun  ke depan dalam konteks membangun spirit pemerintahan berbasis etika konstitusi ‘the spirit of the constitution’. Pemerintahan yang kuat, berdaulat berdasarkan konstitusi tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan cita-cita sesama anak bangsa dalam mengembangkan kualitas berdemokrasi dan mewujudkan cita negara hukum. Pemerintahan yang dibentuk presiden Joko Widodo dan H.M. Jusuf Kalla periode 2014-2019 hendaknya merepresentasikan kebhinekaan dan kebangsaan Indonesia. Dengan demikian, pelibatan semua kekuatan politik di satu segi sangat dibutuhkan, dan pada saat bersamaan penempatan pembantu-pembantu presiden dari kalangan profesional pada kabinet pemerintahan lima tahun ke depan sangat diperlukan. Yang paling penting, semua pihak perlu memberi kesempatan kepada presiden dan wakil presiden terpilih untuk menyusun kabinet dan melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Rekonsiliasi dengan mengakhiri segala pertentangan politik dan kembali ke pangkuan hukum tertinggi yakni konstitusi karena konstitusi merupakan konsensus tertinggi dalam kehidupan bernegara.

                                    ______________________________________
Penulis adalah Peneliti di LASPI dan Pegiat Masalah Sosial Politik, tinggal di Jakarta.