Selasa, 25 September 2018

Pemberantasan Korupsi Dengan Pendekatan Norma

Penguatan Sistem Etika Dalam Pemberantasan Korupsi Oleh: Rahman Yasin (Dosen di Universitas Islam As-Syafi’iyyah Jakarta) Mengapa korupsi tidak mudah diberantas? Mungkinkah agama memberantas korupsi sedangkan dalam organisasi agama pun terjadi korupsi? Mungkinkah lembaga penegakan hukum dan peradilan memberantas korupsi sedangkan dalam organisasi mereka juga terjadi korupsi yang paling hebat? Dapatkah organisasi pemerintahan menjadi bersih sedangkan pemimpin dan pemerintah itu korup? Lalu apa relevansinya pembangunan sistem etika (kode etik) dalam praktik kehidupan bernegara di dunia modern sekarang ini? pertanyaan-pertanyaan ini memang boleh dikatakan sangat profokatif, namun sekurang-kurangnya pertanyaan-pertanyaan tersebut mengajak kita semua untuk berpikir secara kritis dan melakukan refleksi sosial terhadap problematika sosial kebangsaan kita sekarang yang dirasakan semakin jauh dari nilai-nilai etika kehidupan berbangsa. Tulisan ini tentu tidak secara utuh mengulas jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas, akan tetapi saya ingin mengetuk pintu hati kita semua dan mencoba mengajak kita semua untuk sedikit melihat kondisi faktual terkait krisis kehampaan etika sosial dan secara bersama-sama mengajak kita semua mencarikan jalan keluar untuk mengatasinya tentu dengan perspektif pemahaman kita mengenai sistem etika dalam kehidupan bernegara. Agama bisa membantu memberantas korupsi, dengan catatan metode yang dipakai itu benar. Seringkali agama menggunakan cara yang salah. Kita mulai dengan fakta tentang statistik negara-negara korup dan bersih di dunia. Yang lebih menggelisahkan, manakala kita mencermati para koruptor, kita melihat mereka gemar berbaju dan berbahasa religius, seolah hidupnya bersih. Mungkin agama bagi mereka hanya sekadar kedok untuk menutupi keburukan perilaku mereka. Mungkin juga perilaku yang nampak agamis tetapi sekadar jadi hiburan yang menenteramkan pikiran para pelaku koruptor. Malah mungkin saja ada koruptor yang berpura-pura religius; mencoba menipu Tuhan dan menipu dirinya seakan dosanya bisa diampuni dengan kegiatan amal dan perilaku religius serta menyumbang sebagian hasil korupsi untuk amal. Padahal, Tuhan tidak bisa ditipu. Memang, meskipun kita semua sepakat korupsi merupakan hal yang negatif, sejumlah peneliti menemukan “manfaat” dari praktek korupsi bagi masyarakat. Menurut Sun Yan, ahli politik Asia di City University of New York, di banyak negara Asia, terutama China, korupsi membuka jalan bagi kelompok-kelompok masyarakat marjinal untuk mengakses dan memperoleh bagian dari sumber-sumber daya negara. Sebagaimana ditulis Britta Hilstrom dalam Effects of Corruption on Democracies in Asia, Latin America, and Russia (September 1997), Sun Yan mengungkapkan, “Korupsi menyajikan ruang gerak dengan menawarkan perangkat bagi orang-orang yang berada di luar sistem, baik untuk menghindari kontrol pemerintah maupun untuk mencari keuntungan dari kontrol pemerintah ini.” Karena dirasa ada manfaatnya, pendapat Sun Yan itu lalu dijadikan pembenar atau legitimasi. Malah yang lebih ngeri, legitimasi itu kadang juga dicari-cari tambahannya dari sumber agama meskipun semua agama sebenarnya mengutuk korupsi. Para koruptor mempunyai penafsiran sendiri akan keyakinan agamanya untuk membenarkan praktek korupsi yang telah dan akan dilakukan. Banyak koruptor kita entah muslim atau kristiani mempunyai keyakinan bahwa dosa akibat korupsi mereka bisa diputihkan atau diampuni Tuhan, semisal dengan tindakan ritual atau amal. Dalam konteks ini, tepat pendapat cendekiawan muslim Abdul Munir Mulkan bahwa kekayaan ilmu agama sering mempermudah seseorang memanipulasi tindakan kesalehan hanya untuk memutihkan perilaku maksiat dengan matematika pahalanya. Jadi, para koruptor yang agamis semacam itu justru kurang ajar sekali karena sepertinya mereka malah berani menyuap Tuhan sendiri. Jelas penafsiran akan model pemutihan seperti itu merupakan penafsiran sangat banal sehingga korupsi, seperti kata aslinya dalam bahasa Latin corrumpere (berarti membusukkan), benar-benar akan membusukkan mentalitas dan spritualitas kita yang masih mencoba memakai nalar sehat. Prognosis Syed Hussein Alatas, korupsi yang menggurita dan melembaga akhirnya hanya akan membusukkan, menggerogoti habis, dan menghancurkan masyarakatnya sendiri (self-destruction). Ideologi uang yang begitu dominan telah membuat sebagian orang Indonesia, di antaranya para koruptor, tidak lagi menyakini sila pertama Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebaliknya berkeyakinan pada “keuangan yang mahakuasa”. Pendapat seperti itu sebenarnya bukan baru lagi, karena sejak era Yunani kuno, para filsuf sudah mengingatkan the love of all money is the root of all evil atau cinta akan uang merupakan akar dari semua kejahatan (Bdk I Timothy 6:10). Anthony Simson dalam The Midas Touch (1991) membeberkan sesungguhnya posisi agama konvensional saat ini suka atau tidak memang telah dipinggirkan oleh agama uang (religion of money). Karena itu, boleh jadi agama yang dianut para koruptor memang agama uang, bukan agama sejati seperti Islam atau Kristen. Agama sejati seharusnya menjadi inspirasi agar perilaku kita bersih, ada satunya kata dan perbuatan. Namun, agama tak bisa dipersalahkan dalam masalah korupsi ini. Bahkan, mungkin agama tidak ada kaitannya dengan maraknya korupsi di negeri ini. Solusi utama pemberantasan korupsi ada pada penegakan hukum positif kita. Namun, bila orang tidak takut dan menghormati hukum positif ini, ya kita serahkan para koruptor pada hukum Tuhan pada saat mereka meninggal nanti. Pelaksanaan pidana penjara di Indonesia yang diatur dalam Undang-undang No. 15 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan merupakan perubahan secara yuridis filosofis dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Namun dalam kenyataannya, pidana penjara yang merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan sebagai sarana menaggulangi masalah kejahatan dewasa ini posisinya cenderung mengalami degradasi, karena mendapat tantangan dan tekanan dari berbagai kalangan. Pidana penjara sekarang mulai pudar pamornya, justru akibat yang ditimbulkan, seperti mencetak penjahat-penjahat baru dan lebih berbahaya, selain itu pidana penjara juga menunjukkan kelemahan-kelemahan, yaitu menciptakan dehumanisasi maupun desosialisasi, yang dialami mantan narapidana. Dalam Islam sendiri esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah pertama, pencegahan serta pembalasan (ar-rad'u wa az-zajru) dan kedua, adalah perbaikan dan pengajaran (al-i amplah wa al-tahzib). Berangkat dari paradigma diatas maka menghasilkan pemahaman bahwa pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan adalah sesuai dengan tujuan pidana dalam hukum pidana Islam dan pelaksanaan pidana penjara yang berlaku di Indonesia belumlah se-efektif yang diinginkan, ini terbukti dengan semakin menigkatnya tindak kejahatan dimasyarakat dan masih besarnya kesan buruk masyarakat terhadap para mantan narapidana. Reartikulasi Nilai-nilai Etika dan Moral dalam Praktik Kehidupan Berbangsa Dalam diskursus nilai moral setidaknya terdapat dua pendapat yang berkembang tentang nilai moral, yakni moral dan nonmoral. Nilai moral merupakan manifestasi dari kejujuran, tanggungjawab, dan keadilan yang menuntut setiap pribadi untuk berkewajiban menunaikan semacam jani apabila berjanji, membayar hutang apabila berhutang, mengurus tanggungjawab sosial serta senantiasa ditekankan berlaku adil dalam suatu urusan yang berhubungan dengan orang lain maupun lingkungan dimanapun orang itu berada. Nilai moral selalu menekankan apa yang seharusnya kita lakukan sesuai nurani dan apa yang dilakukan harus betul-betul sejalan dengan nilai-nilai kebaikan meskipun itu bertentangan dengan keinginan yang pribadi yang bersangkutan. Sedangan pemahaman nilai dalam pengertian nonmoral secara filosofis empirik tidak mengandung mengenai adanya suatu keharusan atau semacam kewajiban untuk melakukan sesuatu berdasarkan nurani. Nilai nonmoral menekankan pada dimensi keinginan dan kebutuhan, dan dengan demikian nilai nonmoral tidak mewajibkan suatu perbuatan yang didasarkan pada nurani. Dalam hal ini boleh jadi seseorang sangat berkeinginan main sepak bola atau menyaksikan pameran namun tidak diwajibkan seseorang harus melakukannya. Itulah yang membedakan antara nilai moral dan nilai nonmoral. Nilai moral lebih menekankan dimensi nurani sedangkan nilai nonmoral lebih mengedepankan aspek kebutuhan dan keinginan. Nilai-nilai moral bersifat wajib sedangkan nilai nonmoral sebaliknya. Nilai moral dibagi menjadi dua kategori, pertama kategori universal dan kedua kategori nonuniversal. Nilai universal menuntut setiap kita untuk senantiasa berlaku adil terhadap sesama yang didalamnya memuat adanya kesetaraan, kebebasan, kemandirian, dan sifatnya mengikat bagi siapapun dan dimanapun untuk mengutamakan kemanusiaan karena kemanusiaan sebagai wujud dari manifestasi atas harga diri yang fundamental. Penguatan Sistem Etika dalam Kehidupan Berbangsa Tahun 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan sebuah pengakuan atas validitas nilai-nilai moral dasar dengan mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sebuah “dokumen mahal ini secara substantif menegaskan bahwa setiap warga negara dari setiap negara memiliki hak untuk: hidup bebas dan merdeka dari penindasan, bebas dari perbudakan, bebas dari penganiayaan, bebas memilih agama dan mengikuti hati nurani, bebas berekspresi, bebas memiliki privasi, keluarga, dan berhubungan dengan pihak lain, bebas berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, pendidikan, dan mendapatkan standar kehidupan yang memadai untuk memelihara kesehatandan kesejahteraan. Jika dicermati dan direnungkan dengan baik, maka semangat untuk mentransformasikan nilai-nilai moral bagi semua negara sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tersebut dalam praktik mengalami kegagalan-kegagalan di sana sini namun yang patut dipahami bahwa kegagalan tersebut bukan merupakan suatu bentuk penyangkalan terhadap validitas nilai-nilai moral yang melatarbelakangi dokumen historis tersebut melainkan lebih disebabkan ketidaksiapan banyak negara dalam mengelola sistem budaya masing-masing untuk menyesuaikannya dengan tuntutan zaman. Sebaliknya, nilai-nilai moral nonuniversal tidak mengandung suatu keharusan untuk wajib bertindak sesuai hati nurani atau tidak ada kewajiban moral yang sifatnya universal. Dalam konteks pemahaman moral juga terjadi bias interpretasi sehingga usaha menginstitusionalisasikan nilai-nilai moral selalu dianggap bertentangan dengan kebebasan. Padahal Aristoteles yang mengatakan manusia sebagai makhluk sosial (zoon politican) kemudian oleh Plato yang mengatakan bahwa manusia dalam hidup pada khodratnya memiliki tujuan untuk mencapai kesenangan dan kebahagiaan. Kesenangan dan kebahagiaan yang bersifat indrawi dan ide. Plato bahkan konsisten dengan gagasannya tentang the transcendent good. Etika selalu berhubungan dengan persoalan-persoalan nilai karena etika berkaitan dengan predikat nilai dan hal-hal bersifat susila dan tidak susila. Kualitas kebajikan yang merupakan berlawanan dengan keburukan. Sigmund Freud mengemukakan manusia memiliki potensi konstruktif dan destruktif. Sedangkan untuk memahami sifat moral terjadi perdebatan yang memicu kontroversial. Setidaknya dalam perspektif memahami sifat moral muncul dua pemikiran yakni pertama perspektif objektivistik-universal dan kedua perspektif realativistik-kontekstual. Terlepas dari perdebatan ilmiah, perlu kita pahami bersama bahwa persoalan kekinian yang tengah melanda kehidupan dunia modern ialah persoalan moral. Artinya, persoalan moral telah menjadi salah satu embrio bagi problem-problem lainnya karena moral menjadi sumber dari timbulnya persoalan-persoalan yang ada. Maka jangan pernah berharap ada perbaikan kualitas kehidupan berbangsa yang bagus tanpa adanya reformasi pemikiran akademis yang komprehensif karena dari gagasan atau meminjam istilah Plato tentang kebahagiaan dicapai melalui ide maka kita bisa merancang dan memformulasi suatu sistem yang mengarah pada bagaimana bangsa besar ini mengedepankan karakter kebangsaan (nation and character building). Dalam konteks hubungannya dengan moral dan ilmu pengetahuan sebenarnya negara-negara maju dan berkembang sudah mempunyai suatu konsensus seperti yang pernah dibicarakan dalam Majelis Pengetahuan pada tahun 1947 dan kemudian tahun 1949 di Majelis Internasional di Genewa yang diberi nama “Recontres international di Genewa” dalam acara tunggal “Progres techniquet progres moral”. Forum ini sempat melahirkan perdebatan ilmiah seputar apakah ilmu pengetahuan a-moral atau im-moral, atau bahkan moralist. Tidak saja ilmu pengetahuan yang mendapat kritik tajam tapi juga kritik yang sama terjadi ketika orang membincangkan persoalan moral dengan agama. “moral agama” pernah dikritik dalam sebuah kongres Freethinkers pada tahun 1912 di Munchen. Bahkan kongres Freethinkers ini menghasilkan ketetapan yang kontroversial di mana butir-butir ketetapan diantaranya memuat mengenai kesopanan yang berdasarkan agama merupakan sesuatu yang dipandang tidak sopan, bahkan lebih ekstrim lagi salah satu bunyi ketetapan mengatakan bahwa setiap urusan yang melibatkan intervensi agama dan kesopanan agama hendaknya dianggap sebagai hal yang merugikan. Sesungguhnya pemahaman sebagaimana digambarkan di atas adalah konstruksi pemikiran yang keliru. Dalam bukunya “Religion and Modern man, John B. Magee mengatakan, zaman modern tanpa agama dan moral sebenarnya sudah berjalan sejak 300 tahun lamanya yakni sejak generasi Galileo tahun 1632 hingga zaman Hitler 1933 (The 300 years from the publication of Galileo’s Dialogue in 1632 to Hitler’s appointment as Chancellor of Germany in 1933 represent in round numbers the epoch I have called modernity). Bahkan kediktatoran Hitler dan Nazinya telah meluluhlantakan sistem nilai-nilai kemanusiaan universal termasuk sistem politik di negara-negara yang ketika itu mengalami rotasi demokratisasi. Hitler digambarkan Henry C. Link dalam bukunya “The rediscovery of moral’s membenarkan perspektif Magee yang mengatakan, Hitler sebenarnya berusaha menghancurkan moral internasional dengan menggunakan terminologi (...... should be the first in modern times to reject international morality with the cynical world “a scrap of paper”). Dalam perspektif pemahaman menegani moral ini semakin diminati bahkan terus menjadi perhatian masyarakat modern sehingga pada titik tertentu negara dalam menghadapi persoalan-persoalan etika dan moral tetap dipandang sebagai bagian dari usaha untuk mewujudkan sistem kehidupan berbangsa yang berperadaban. Al Gazali dalam teorinya mengatakan, manusia atau suatu entitas masyarakat yang telah mempunyai konsensus bersama untuk hidup bersama jelas membutuhkan semacam rumah yang canggih dan modern yang di dalamnya terisi berbagai perabot kebutuhan manusia yang menghuninya. Al Gazali menggunakan istilah “bilad” atau “balad” (negeri) yang tentu menjadi prasyarat utama terbentuknya sebuah negara. Dengan demikian, negeri yang kemudian mengalami evolusi sesuai perkembangan zaman berubah menjadi negara dan dengan sistem kenegaraan maka secara formal negeri atau negara memerlukan institusi-institusi dengan tujuan mengatur keselamatan-keselamatan masyarakat baik bersifat pribadi maupun kolektif. Itulah sebabnya kita mengenal istilah misahah dalam urusan pembagian tanah pada rakyat dan distribusi kekuasaan politik secara adil, dan ada istilah lain yaitu jundiyah yakni memberikan perlindungan bagi semua warga negara, dan tentu semua itu dilakukan lewat suatu pemerintahan. Pemerintahan negara yang memiliki standar hukum (fiqih). Hukum ditujukan untuk mengatur dengan menetapkan, menjatuhkan sanksi bagi setiap warga negara yang melanggar baik norma hukum, norma etika, dan norma-norma budaya negara bersangkutan guna menciptakan ketertiban dan kedamaian bersama. Dalam menciptakan suasana ketertiban dan kenyamanan bernegara jelas diperlukan kemauan kuat serta tekad yang sungguh-sungguh dari semua elit masyarakat termasuk stake-holders yang ada. Kesadaran kolektif yang bersifat ethical principle atau sebagai asas etis untuk mewujudkan kedamaian. Kesadaran dalam ethical rationalism atau rasionalisme etis seperti yang canangkan Socrates, Plato, dan Aristoteles. Manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki fungsi akal dan mempunyai tujuan utama dalam kehidupan akalnya. Dalam perspektif ini maka sistem metafisis sebagaimana dikemukakan Plato dan Aristoteles yang menekankan dimensi watak rasional dari realitas bagi manusia rasional untuk memahaminya. Dengan demikian, seiring terus berjalannya waktu, perkembangan ilmu dan pengetahuan terus mengalami peningkatan dan berbagai riset, pendalaman keilmuan pun terus dilakukan sehingga dengan pendekatan ikhtiar penelitian, konsep etika dan moral kemudian dipahami sebagai sesuatu yang bersifat personal namun tetap menjadi kesatuan dari etika sosial. Itulah sebabnya kita mengenal ada etika privat dan etika publik. Penguatan Norma Hukum dalam Praktik Bernegara Dalam memahami masalah norma hukum yang berlaku atau pun yang secara umum diterapkan dalam sistem kehidupan sosial masyarakat maka terlebih dahulu yang dipahami adalah penafsiran norma terhadap suatu objek melalui perilaku manusia itu sendiri dalam konteks masyarakat hukum. selain memahami penafsiran-penafsiran norma terhadap sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan sosial bernegara juga yang harus menjadi landasan pemahaman atas interpretasi norma tersebut harus dari pemahaman mengenai ilmu hukum karena perilaku manusia merupakan pengejawantahan dari konteks norma hukum. Artinya, peranan ilmu hukum menjadi legitimasi atas interpretasi perilaku manusia menjadi hal yang mendasar dalam kehidupan sosial bernegara. Kesadaran masyarakat mengikuti aturan hukum dalam kehidupan sosial merupakan bagian dari perwujudan negara menciptakan tatanan sosial yang lebih berdasarkan pada norma hukum. Masyarakat akan menjalankan norma hukum dengan konsisten manakalah ada keteladanan elit politik seperti pejabat negara dalam mengikuti aturan norma hukum yang telah disepakati. Maka akibat logis dari kedaulatan hukum dapat digambarkan sebagai berikut; hukum mengatur pembentukannya sendiri karena norma hukum menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum yang lain, dan sampai derajat tertentu, menentukan isi norma lainnya. Dengan demikian validitas norma hukum lantaran dibuat menurut cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya. Norma hukum lainnya ini adalah landasan validitas norma hukum yang disebut pertama. Dengan kata lain, konstitusi adalah sumber hukum utama dalam membentuk undang-undang dan undang-undang merupakan preseden bagi peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya, dan seterusnya. Dalam kaitan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, Maurice Hauriou seorang sarjana berkebangsaan Prancis ini mengatakan: “Under the rule of a national constitution, no public authority is sovereign in the sense that is cannot be controlled in exercise of its power or in the performance of its function ..... Uncontrollable sovereignty lies only in the nation and is not delegated at all. All delegated sovereignty is controllable”. Di bawah peraturan konstitusi nasional maka tidak ada otoritas publik yang berdaulat dalam arti kewenangan tidak dapat dikontrol pada tahap implementasinya atau pada tingkat menjalankan fungsinya. Artinya tidak ada kedaulatan yang dapat dikontrol terkecuali kedaulatan rakyat, tetapi kedaulatan rakyat yang didelegasikan dalam sistem peraturan dan perundang-undangan maka wewenangnya tetap harus dikontrol. Ilmu hukum menjelaskan norma-norma hukum yang menggambarkan semua aktivitas sosial manusia dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan bernegara. Perilaku manusia dalam kehidupan sosial bernegara yang menunjukan memenuhi standar maupun kriteria peraturan dan perundang-undangan yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Tindakan manusia hendaknya mengikuti aturan-aturan baik normatif maupun empiris yang sudah menjadi konsensus dalam bernegara. Maka dalam perspektif ini, tindakan dan perilaku manusia harus memperlihatkan adanya ketaatan terhadap norma hukum. Akan tetapi yang perlu dijelaskan di sini adalah pemahaman mengenai kalimat-kalimat yang digunakan ilmu hukum dalam menjelaskan norma-norma serta relasinya sebagai aturan hukum yang mesti dibedakan dari norma hukum yang merupakan hasil produk manusia melalui otoritas hukum sehingga dalam praktik peraturan dan perundang-undangan dalam kehidupan sosial bernegara akan dengan mudah terkonfirmasi perilaku manusia tadi apakah mereka patuh atau tidak pada aturan hukum yang dibuat oleh mereka sendiri. Namun norma yang diberlakukan oleh otoritas hukum (yang menetapkan konpensasi atas kerugian dan eksekusi perdata atas perbuatan ingkar tersebut) tidak bisa dinyatakan benar atau salah, karena ini bukanlah penegasan tentang suatu fakta, bukan pula penjabaran tentang sebuah obyek, melainkan sebuah penerapan, dan dengan demikian ini merupakan obyek yang mesti dijelaskan oleh ilmu hukum. norma yang dibuat oleh legislator (yang menetapkan eksekusi kepada orang yang mengingkari janji perkawinan dan tidak mau memberikan ganti rugi), dan pernyataan yang dibuat oleh ilmu hukum dan menjelaskan norma ini (eksekusi itu harus dilakukan terhadap orang yang mengingkari janji perkawinannya dan tidak memberi kompensasi atas kerugian yang ia timbulkan) – ungkapan-ungkapan ini berbeda secara logika. Aturan hukum yang dirumuskan oleh ilmu hukum bukanlah pengulangan sederhana dari norma hukum yang diciptakan oleh otoritas hukum. meski begitu, keberatan terhadap pernyataan bahwa aturan hukum tidaklah berguna bukanlah suatu bantahan yang tanpa dasar, seperti halnya pendapat bahwa ilmu alam itu tidak berguna di sisi alam, karena alam tidak mengejawantahkan diri dalam kata-kata lisan dan tertulis, seperti yang terjadi pada hukum. norma hukum adalah bentuk dari pengejawantahan yang memerintahkan, menetapkan, dan memberi izin serta wewenang bahwa sanksi terhadap setiap orang yang tidak taat aturan atau melanggar hukum itu diberikan. Obyek ilmu hukum adalah norma hukum dan karenanya nilai-nilai hukum juga dibentuk oleh norma-norma ini, namun aturan hukum itu, seperti halnya hukum alam dari ilmu alam, merupakan uraian yang bebas nilai mengenai obyeknya. Artinya, uraian tersebut tidak memiliki kaitan dengan nilai meta-hukum dan tidak mengimplikasikan kesetujuan atau ketidaksetujuan emosional. Norma yang merupakan nilai hukum harus dibedakan dari norma-norma yang digunakan untuk mengevaluasi pembuatann hukum. Karena aturan hukum dalam pengertian deskriptif, seperti halnya hukum alam (dan ilmu alam) menjelaskan hubungan fungsi, ia juga bisa disebut hukum perundangan (yakni hukum dalam pengertian resmi, atau yang dalam bahasa Jermannya Rechtsgesetz), yang memiliki persamaan dengan hukum alam. Norma hukum kendati disebut sebagai hukum manakala ia memiliki karakter umum---bukanlah hukum dalam pengertian yang senada dengan hukum alam, karena ia bukanlah pernyataan tegas yang menjelaskan hubungan fungsi. Norma hukum sama sekali bukan penegasan, melainkan makna dari suatu tindakan yang melandasi ditetapkannya sesuatu yang terlebih dahulu menetapkan hubungan fungsi antara fakta—suatu hubungan yang dijelaskan oleh aturan hukum, hukum perundang-undangan. Maka produk suatu hukum dan perundang-undangan yang dikeluarkan baik di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif semestinya selalu mencerminkan nilai-nilai kepatutan yang berlaku di masyarakat. Tetapi peraturan dan perundang-undangan yang dihasilkan hanya memenuhi keinginan ataupun kepentingan sebagian masyarakat yang merupakan bagian dari proses politik yang dilakukan elit maka aturan norma tersebut yang ditetapkan tetap diberlakukan secara umum namun norma hukum seperti ini tidak mencerminkan keadilan sosial secara menyeluruh. Sebuah analisis dari proses konstitusional yang menjadi dasar terciptanya sebuah undang-undang memperlihatkan bahwa tindakan penciptaan sebuah hukum yang mengikat sekalipun sama sekali tidak perlu mewakili kehendak apapun terhadap perilaku yang dituntut oleh undang-undang. Undang-undang tersebut dibuat ketika mayoritas dari para legislator telah memberi suara kepada sebuah rancangan undang-undang yang disampaikan kepada mereka. Konten dari undang-undang tersebut bukanlah “kehendak” dari para legislator yang memberi suara yang menentang rancangan undang-undang tersebut; kehendak mereka justru mengekspresikan yang sebaliknya. Namun ekspresi kehendak mereka sama sesensialnya bagi eksistensi undang-undang tersebut seperti ekspresi kehendak dari para anggota yang memberi suara pada undang-undang itu. Hukum bisa diistilahkan sebagai perintah yang “didepsikologisasikan.” Hal ini sebagaimana muncul dalam pertanyaan Kelsen mengenai manusia “harus” membuat dirinya bertingkah laku menurut hukum. disinilah letak pentingnya konsep tentang “yang harus,” di sini terlihat pentingnya konsep norma. Sebuah norma adalah sebuah peraturan yang menyatakan bahwa seorang individu harus berperilaku dengan cara tertentu, tetapi tidak menegaskan bahwa perilaku semacam itu merupakan kehendak aktual dari seseorang. Norma secara teoritis merupakan bentuk dari tindakan dan perilaku manusia secara individu maupun kolektif yang mengandung makna hukum yang sebenarnya juga selalu berkaitan dengan suatu sistem hukum dari yang lain atau semacam tata nilai dalam kehidupan sosial di komunitas tertentu yang mengandung makna norma juga. Sebuah fakta material adalah bukan semata-mata dijadikan sebagai argumentasi pembunuhan tetapi realisasi dari hukuman mati adalah kualitas penanganan dan penyelesaian kasus yang secara logika sangat sulit dimengerti. Hal ini karena boleh jadi suatu peristiwa muncul disebabkan oleh tindakan intelek yakni, berupa konfrontasi dengan undang-undang yang termasuk mengandung unsur kriminal maupun metode dan prosedurnya pun bermuatan makna kriminal. Memahami sesuatu secara hukum bisa jadi hanya memhami sesuatu tersebut sebagai hukum. tesis bahwa hanya norma-norma hukum yang bisa menjadi objek kognisi hukum adalah tautologi, karena hukum tersebut, satu-satunya objek kognisi hukum---adalah norma, dan norma adalah kategori yang tidak bisa diaplikasikan di wilayah alam. Penggolongan tindakan-tindakan yang terjadi di alam sebagai hukum hanya menyatakan keabsahan norma yang muatannya sesuai hal tertentu dengan keabsahan peristiwa sebenarnya. Ketika seorang hakim menetapkan fakta material kongkret (misalnya delik), semua kognisinya pertama kali hanya diarahkan pada sesuatu yang ada di alam. Maka dalam memastikan suatu norma hukum tentang proses pembuktian suatu peristiwa sangat dibutuhkan fakta yang akurat. Kebenaran fakta yang mengandung makna norma memungkinkan terjadinya determinasi atas peristiwa dalam konteks penyelesaian masalah dengan pendekatan hukum. Kebenaran yang menguatkan makna norma selalu dihadapkan dengan fakta maupun data-data faktual terkait peristiwa yang menghubungkannya dengan tindakan-tindakan manusia dalam kehidupan sosial. Dalam percakapan ilmiah mengenai kata “keharusan” misalnya, apakah ia mengandung makna transedental atau tidak, jelas memerlukan kajian teoritis yang mendalam. Namun, yang paling penting dalam pembahasan ini ialah orientasi mengenai ilmu hukum dalam sebuah konsep ilmiah dengan memasukan hukum positif serta konsep norma atau “keharusan”. Menurut Kelsen (1996) “selama bukan identitas norma hukum dan norma moral yang ditekankan berulang-ulang dalam yurisprudensi, nilai moral mutlak tidak dipersoalkan sehingga hanya nilai relatif hukum tersebut yang jelas menentang latar belakang ini. Namun demikian, satu-satunya fakta bahwa yurisprudensi tidak mengabaikan eksistensi nilai mutlak, tidak menganggap diri kompeten untuk dipersoalkan, adalah fakta yang harus memberikan reaksi pada konsep hukum tersebut. Jika hukum dipandang sebagai norma, sebagaimana moralitas, dan jika makna norma hukum dijabarkan dalam ‘keharusan’, sebagaimana makna norma moral, maka nilai mutlak yang menjadi karakteristik moralitas melekat pada konsep norma hukum dan pada ‘keharusan’ hukum. Maka setiap keputusan yang dibuat yang merupakan muatan nilai maka norma hukum yang menjadi pijakan pembuatan atas keputusan hukum adalah mengandung makna norma pada ‘keharusan’. Keharusan untuk memberikan sanksi dalam bentuk putusan merupakan tanggungjawab dan kewajiban para hakim yang secara norma hukum positif diberikan wewenang. Oleh karena itu, dalam putusan hakim terkait dengan penyelesaian suatu perkara selalu bermuatan beberapa norma yang menjadi pemahaman masyarakat sehingga apapun keputusan yang dibuat selalu berdampak positif dan negatif namun hal tersebut tetap dianggap sebagai konsekuensi yang harus dilaksanakan. Dan dengan demikian, untuk memahami karakterisisasi dari sebuah konsep hukum sebagai norma dan atau sebagai suatu ‘keharusan’ yang diotorisasi lewat yurisprudensi positivis dalam praktik selalu menimbulkan interpretasi hukum positif yang mengarah pada upaya mempertahankan unsur ideologis tertentu sebagai doktrin politik negara. Norma hukum dapat dibedakan antara norma hukum fakultatif dan norma hukum imperatif. Sebagaimana sebutannya, norma hukum imperatif merujuk pada norma hukum yang bersifat memaksa sedangkan norma hukum fakultatif adalah merujuk pada norma hukum yang mengatur dan norma hukum yang bersifat menambah atau melengkapi. Meski demikian, kadang dijumpai norma hukum yang sekaligus memiliki kedua sifat tersebut, yakni bersifaf mengatur sekaligus bersifat memaksa. Selain itu terdapat pula pembedaan antara norma hukum yang bersifat umum dan abstrak dengan norma hukum yang bersifat konkrit dan individual. Perlu dipahami bahwa norma hukum yang bersifat umum merupakan ketentuan yang bersifat abstrak. Norma hukum yang bersifat abstrak yang dimaksudkan disini adalah ketentuan tersebut tidak menjelaskan setiap kondisi yang mungkin terjadi dimana ketentuan tersebut akan berlaku. Hanya menyebutkan secara umum dan dianggap dapat diberlakukan dalam setiap kondisi dimana ketentuan tersebut dapat diberlakukan. Ketentuan tersebut ditujukan kepada semua subyek terkait tanpa mengaitkan atau menunjuk satu kondisi atau subyek tertentu. Ketentuan tersebut berlaku kepada semua subyek atau bersifat umum. Norma hukum individual adalah norma hukum yang selalu bersifat konkrit. Hal ini disebabkan karena norma hukum individual secara tegas menunjuk subyek tertentu dan atau keadaan tertentu dimana norma hukum tersebut harus diberlakukan. Sebagai contoh adalah klausul perjanjian antara para pihak dalam hukum perdata. Norma hukum sebagaimana telah diuraikan daitas dalam pelaksanaannya harus mendapat pengawasan dan atau kontrol. Setidaknya terdapat 3 cara untuk melakukan kontrol terhadap hukum, antara lain: melalui pengawasan atau pengendalian politik, melalui pengendalian administratif dan melalui kontrol hukum. Kontrol melalui pengawasan atau pengendalian politik dapat dilakukan oleh lembaga politik. Di Indonesia undang-undang dibuat oleh DPR-RI dan Presiden. Oleh karena itu, mekanisme kontrol politik juga dapat dilakukan melalui lembaga politik tersebut. Misalnya dengan mengadakan legislative review terhadap peraturan perundang-undangann yang dianggap tidak dapat diberlakukan lagi atau mungkin perlu dilakukan perubahan terhadapnya. Kontrol melalui pengendalian administratif dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga administratif yang oleh peraturan perundang-undangan tersebut diberikan kewenangan untuk melaksanakannya. Lembaga administratif tersebut dalam pelaksanaan norma atau aturan hukum yang dimaksud dapat mengetahui kekurangan atau kelemahannya, sehingga dapat mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Apabila kemudian perlu dilakukan perubahan atau revisi maka lembaga administratif tersebut dapat mengambil langkah-langkah untuk mengajukan perubahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini disebut executive review. Kontrol terhadap norma hukum biasa disebut dengan legal control atau judicial control atau judicial review apabila mekanisme kontrol tersebut dilaksanakan melalui pengadilan. Terdapat dua bentuk kontrol dalam model legal control ini, yakni ada yang terpusat dan ada yang terdesentralisasi (tidak terpusat). Negara yang melakukan legal control dengan metode terpusat seperti Indonesia, dimana pengujian atas Undang-Undang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan pengujian atas peraturan dibawah undang-undang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Negara yang melakukan legal control dengan metode tidak terpusat memberikan kewenangan kepada seluruh badan peradilannya untuk melakukan pengujian terhadap norma atau peraturan hukum. Dengan demikian, kepincangan sistem hukum dan sistem etika sebagai akibat dari tersumbatnya transformasi perilaku ethics dalam sistem kehidupan bernegara telah menyebabkan keruntuhan norma etika sosial dalam berbangsa. Semakin marak muncul perilaku tidak etis dan tidak bertanggungjawab pada tugas-tugas negara dari pejabat negara dan cenderung mengikuti hawa nafsu dunia turut memberikan kontribusi negatif bagi lambannya penataan sistem etika dalam bernegara. Perilaku elitis dan konsumtif dengan menjadikan kekuasaan, jabatan, pangkat, dan status sosial dari negara sebagai alat mencapai tujuan negatif jelas sangat menghambat proses perbaikan kualitas sistem bernegara. Sebaik apapun sistem yang dibangun dan dikembangkan dalam praktik kehidupan sosial bernegara bila dikendalikan oleh pejabat negara yang tidak berkarakter dan tidak memiliki pemahaman pada nilai-nilai kebangsaan maka sistem sebagus yang diharapkan untuk perubahan justru menjadi tidak bermanfaat bagi tatanan nilai-nilai etika kehidupan bernegara. ________________________________ Penulis adalah, Dosen Filsafat Agama di Universitas Islam As-Syafi’iyyah Jakarta

Rabu, 19 September 2018

Peradilan Etik Terbuka dan Profesional

Prinsip Peradilan Terbuka DKPP Oleh : Rahman Yasin (Tenaga Ahli Di DKPP) Pada masa pemerintahan Orde Baru berkuasa, politik hukum dalam konteks peradilan dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru pada permulaan memberikan harapan perubahan pada sistem peradilan yang berorientasikan pada prinsip-prinsip negara hukum. Sebuah peradilan yang bebas dan jauh dari polusi intervensi penguasa. Akan tetapi pada tahap implementasi, pemerintahan Orde Baru sebatas memberikan janji bahkan janji manis akan perubahan sistem peradilan yang mandiri ini dijadikan sebagai alat politik untuk mengkonsolidasikan kekuatan masyarakat guna mendukung pemerintahan. Dari gambaran diatas dapat diketahui bahwa wacana perubahan sistem peradilan dalam membangun negara hukum lebih merupakan strategi politik penguasa untuk mempertahankan kekuasaan. Wacana perubahan sistem peradilan yang bebas dan mandiri hanya merupakan wacana politik dalam menciptakan kontestasi ideologi termasuk di era modern sekarang ini atau apa yang disebut Pompe (1978) sebagai politik hukum peradilan yang merepresentasikan kontestasi ideologi liberal dalam menghadapi patrimonialistik. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, sebagai pengadilan, para anggota DKPP juga bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan kasus-kasus yang timbul untuk popularitas pribadi. Para anggota dilarang menikmati pujian yang timbul dari putusan, dan sebaliknya dilarang pula tersinggung atau marah karena dikritik oleh masyarakat yang tidak puas akan putusan DKPP. Pendek kata, sebagai lembaga peradilan etika, DKPP juga harus menjadi contoh mengenai perilaku etika dalam menyelenggarakan sistem peradilan etika yang menyangkut aneka kepentingan yang saling bersitegang antara para peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu atau antara masyarakat pemilih (voters) dengan penyelenggara pemilu, ataupun di antara sesama penyelenggara pemilu sendiri, khususnya antara aparat KPU dan aparat Bawaslu. Maka keberadaan lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu ini sesungguhnya menjadi penguatan bagi sistem ketatanegaraan. Karena dengan demikian, sistem ketatanegaraan kita didukung oleh sistem hukum dan sistem etik yang bersifat fungsional. Sistem demokrasi yang dibangun diharapkan dapat ditopang oleh tegak dan dihormatinya hukum dan etika secara bersamaan. Membangun demokrasi yang sehat dengan ditopang oleh ‘the rule of law and the rule of ethics’ secara bersamaan. “the rule of law” bekerja berdasarkan “code of law”, sedangkan “the rule of ethics” bekerja berdasarkan “code of ethics”, yang penegakannya dilakukan melalui proses peradilan yang independen, imparsial, dan terbuka, yaitu peradilan hukum (court of law) untuk masalah hukum, dan peradilan etika (court of ethics) untuk masalah etika. Secara umum, independen peradilan bisa dilihat dari dua perspektif. Pertama, independensi personal hakim dan yang kedua independensi institusional yakni lembaga peradilan yang bersangkutan. Independensi personal hakim (functional independable) sangat diperlukan dalam proses peradilan yang bebas dan bermartabat, karena dengan independensi personal tersebut, seorang hakim bisa dikontrol dari gangguan eksternal terutama aktor-aktor politik yang menggunakan kewenangan dan kekuasaan melakukan intervensi. Sedangkan independensi institusional (structural independece) merupakan usaha untuk menjaga kehormatan kelembagaan peradilan dari segala bentuk gangguan campur tangan eksternal terhadap lembaga pengadilan. Pada era reformasi, tuntutan akan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pun akhirnya dapat dipenuhi pemerintahan reformasi. Semangat perubahan menuntut reformasi sistem hukum termasuk lewat lembaga peradilan dengan tujuan mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dalam praktik. Terobosan menarik dalam perubahan UUD 1945 ini memungkinkan dibentuknya suatu lembaga sebagaimana dalam UU No. 35 Tahun 1999 mengenai majelis kehormatan hakim yang difungsikan melakukan kontrol terhadap lembaga peradilan guna menghindari perilaku koruptif dan tindakan tirani lembaga yudikatif. Dibentuknya Komisi Yudisial (KY) tahun 2004. Komisi Yudisial merupakan produk reformasi dari hasil perubahan UUD 1945 yang kedua. Sejak reformasi digulirkan dan pembentukan lembaga-lembaga baru dalam peradilan pun terus bermunculan, akan tetapi reformasi sejak 1998 hingga memasuki awal tahun 2000 perubahan dan penataan lembaga peradilan tidak berjalan sesuai cita-cita reformasi sistem hukum. Reformasi sistem peradilan dilakukan namun secara substansi tidak menyentuh sampai pada hal-hal yang dianggap mendasar. Sepanjang tahun 1999 sampai 2002 terdapat 4 undang-undang bidang peradilan diberlakukan pada tahun 2004. Keempat undang-undang ini adalah sebagai berikut; i) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti dari UU No. 35 Tahun 1999; ii) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung sebagai pengganti dari UU No. 14 Tahun 1985; iii) UU No. 8 Tahun 2004 yang mengubah UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; dan iv) UU No. 9 Tahun 2004 tentang Tata Usaha Negara yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1986. Meski lahirnya keempat undang-undang tersebut dipandang sebagai sikap responsif pemerintahan reformasi tetapi bila ditelaah lebih jauh maka banyak ketentuan dari keempat undang-undang tersebut masih banyak kekurangan. Lahirnya keempat undang-undang ini meski meneguhkan negara hukum tetapi kurang memberikan arah baru yang baik sehingga tidak menjadi penyempurna terhadap UU No. 34 Tahun 1999. Hal ini bisa dipahami karena dominasi pemahaman politik hukum model peradilan tertutup masih mewarnai pemikiran para pembentuk Undang-Undang. Tujuan menjadikan lembaga peradilan hukum di Indonesia sebagai bagian dari proses penataan pemerintahan berbasis good governance baik pada era orde lama dan orde baru berkuasa boleh dikatakan belum mampu memberikan kontribusi yang prospektif. Peradilan hukum di Indonesia termasuk pada era reformasi masih sarat dengan intervensi dan intimidasi politik sehingga para hakim kita pun kerapkali tidak bersikap netral dan agaknya sulit kita mengharapkan suatu kebebasan yang betul-betul mandiri dari sebuah peradilan hukum. Gerakan pembaruan sistem hukum tidak akan mampu memberikan harapan bagi rakyat yang menggembirakan, apabila mentalitas para pemimpin kita tidak berubah khususnya dalam mempolitisasikan lembaga-lembaga peradilan. Konsep peradilan yang bebas dan mandiri serta netral atau dengan kata lain tidak ada campur tangan negara dalam peradilan dalam negara hukum nampaknya sulit diwujudkan karena fakta menunjukan betapa pemimpin menggunakan wewenang peradilan sehingga mengganggu netralitas institusi peradilan baik personal maupun kelembagaan. Di era reformasi, praktik kekuasaan kehakiman, prinsip dasar dalam peradilan sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 menyangkut prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka (independensi peradilan), kelembagaan peradilan yang terdiri dari Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya yang terdiri dari peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi, serta badan-badan lain yang diatur undang-undang, dan Komisi Yudisial yang secara tegas dan jelas dikatakan sebagai peradilan yang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat dan perilaku hakim dalam praktek masih ada saja manipulasi dan distorsi nilai-nilai keadilan dalam hukum. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum dilihat dari konteks peradilan maka lembaga ini merupakan peradilan etika pertama kali di Indonesia bahkan di dunia. Peradilan etika pertama yang membedakannya dengan lembaga-lembaga penegakan kode etik profesi lainnya yakni bisa dilihat dari lembaga ini tugas dan fungsi dan wewenangnya dilakukan dengan terbuka. Salah satunya ialah persidangan Kode Etik yang dilaksanakan secara terbuka ialah proses persidangan dilakukan dengan terbuka untuk umum. Hal ini menjadi titik tekan nilai politik kita pada zaman modern yang serba kemajuan ilmu dan teknologi serta pesatnya transformasi informasi dalam memenuhi tuntutan akan semangat keterbukaan dan pertanggungjawaban kita pada publik sebagai pemilik saham terbesar dalam demokrasi. DKPP berdasarkan ketentuan UU No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan melalui prinsip-prinsip layaknya sebuah peradilan menempatkan Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No. 13 Tahun 2012, No. 11 Tahun 2012, dan No. 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai "hukum materiil"-nya, serta Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai "hukum formil"-nya. Artinya, lembaga ethics ini menempatkan eksistensi kewenangan, tugas, dan fungsi tidak saja secara transparan, dan akuntabel tetapi menjadi suatu model demokrasi modern yang sangat berbeda dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki penegakan kode etik namun tidak dilaksanakan secara terbuka. Dengan demikian, DKPP yang merupakan embrio awal dari prestasi DK KPU menjadi tonggak perubahan sistem demokrasi yang mengarah pada penerapan good governance dan pendorong percepatan implementasi sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih bermartabat. Keberadaan DKPP juga sebetulnya bukan merupakan barang baru karena sebelumnya sudah ada namanaya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU). Cakupan wewenang DK KPU sangat terbatas. Selain bersifat ad hock lembaga ini juga hanya menjadi rekomendir pada KPU sehingga dari sisi kepastian penyelesaian pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu ditentukan oleh KPU. Problem DK KPU selaian wewenang juga keanggotaan yang didominasi oleh KPU sehingga sangat tergantung pada KPU. Betapapun demikian, kerja keras, kerja cerdas, dan kesungguhan dalam tugas sebagai tanggungjawab pada bangsa, DK KPU tetap bekerja profesional, akuntabel tanpa menyerah. DK KPU berkomitmen memberikan kontribusi positif bagi pembangunan etika berbangsa. Dan hasil positif yang diterima ialah lembaga etik ini kemudian ditingkatkan kapasitas wewenangnya yakni dari ad hoc menjadi permanen, dari rekomendiri menjadi eksekutor, dari yang semula bergantung pada KPU sekarang berperan langsung memberikan sanksi baik sanksi ringan, peringatan keras, pemberhentian sementara hingga pemberhentian tetap. Dan sesuai amanat UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, lembaga ini memiliki wewenang membuat putusan yang bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, lembaga peradilan etik ini selain dari prosedur dan mekanisme kerjanya yang transparan dan akuntabel juga memiliki wewenang putusan yang final dan mengikat diharapkan menjadi model dan modal dalam sistem kehidupan bernegara kita.

Jumat, 14 September 2018

Pilkada Provinsi DKI Jakarta Yang Demokratis

Bercermin dari Pemilukada DKI Jakarta Oleh :Rahman Yasin (“Tenaga Ahli di DKPP RI) Pasangan pemenang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) putaran kedua Provinsi DKI Jakarta 2012 Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) kemarin Senin (15/10) secara resmi dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Upacara pengambilan sumpah atau janji jabatan serta pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI periode 2012-2017 di Gedung DPRD Provinsi DKI berjalan cukup khidmat. Warga Jakarta telah melewati sebuah fase perbaikan kualitas penyelenggaraan Pemilu yang cukup baik. Fase di mana proses penyelenggaraan Pemilu Kada Provinsi DKI Jakarta yang secara umum berakhir dengan aman, tertib, dan damai. Publik cukup puas atas proses dan hasil Pemilu Kada, meski masih ada kekurangan, ketimpangan hingga penyimpangan kinerja Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi DKI terutama dalam memastikan Daftar PemilihTetap (DPT) putaran pertama. Bicara masalah penanganan kasus DPT tentu amat menarik. Karena kasus ini selain menjadi sumber penyimpangan hak konstitusional warga juga menyangkut netralitas dan profesionalisme. Independensi memerlukan kemauan sekaligus tekad kuat semua pemangku kepentingan untuk secara kontinyu memperbaiki kualitas pemilu. Kualitas tidak hanya perbaikan sistem tetapi kesadaran politik etik individu dalam struktur sosial. Profesionalitas kelembagaan tidak menjamin proses maupun hasil pemilu berintegritas. Karena kebijakan lembaga penyelenggara pemilu kerap menimbulkan kegaduhan dan cenderung memicu pertengkaran politik. Ketidaktertibanpengelolaan DPT Pemilu Kada Provinsi Jawa Timur berakibat fatal sehingga pasangan calon incumbent (petahana) Soekarwo dengan wakilnya Syaifullah Yusuf digugat pasangan Khofifah Indar Parawansyah dan Mudjiono ke Mahkamah Konstitusi (MK) (2/2/2009). Kasus DPT ganda Pemilu Kada Kotawaringin Barat, Kalimantan Barat, 5 Juni 2010 silam pun tidak saja menimbulkan konflik horisontal berkepanjangan tetapi ketidakadmampuan dan ketidakberdayaan KPUD Kobar melepaskan diri dari intervensi politik sangat mengganggu proses penataan demokrasi di tingkat daerah. Artinya, KPU sesungguhnya selalu ada dalam kubangan politik praktis karena ruang gerak penyimpangan selalu ada cela. Umumnya, kasus DPT di sebagian besar Pemilu Kada di Indonesia selalu bermuara dari ketidakcermatan KPU, dan oleh karena itu, seharusnya menjadi catatan tersendiri bagi KPU, DPR, Pemerintah, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sebagai stakeholder paling berkepentingan dalam menentukan apakah pemilu demokratis atautidak? Dalam konteks perbaikan yang lebih konstruktif, maka kasus DPT Pemilu Kada DKI putaran pertama yang menghilangkan hak politik warga tidak boleh terjadi di pemilu 2014 yang sekarang tengah memasuki tahapan verifikasi faktual partai politik. Komitmen DPR, KPU, Kemendagri, danBawaslu, menjadikan Pemilu Kada sebagai tolok ukur Pemilu 2014 harus diterjemahkan secara praktik nyata. Problem ketidakteraturan pengelolaan DPT lebih disebabkan ketidakhati-hatian KPU memverifikasi data pemilih pada tahapan DP4 di satusisi, dan pada sisi lain, penyelenggara sering terjebak dengan patokan data yang disodorkan pemerintah. Ekspektasi Masyarakat Perhatian masyarakat Indonesia terhadap perhelatan demokrasi lokal DKI Jakarta terlihat cukup kuat. Tingkat partisipasi pengawasan Pemilu Kada pun amat tinggi. Tidak semata diawasi pelaksanaannya oleh Bawaslu, Panwaslu Kada tetapi masyarakat luas mengambil peran amat terasa. Partisipasi warga Jakarta putaran pertama relatif rendah, hal ini terlihat dari tingkat partisipasi pemilih yang hanya terkonfirmasi dalam DPT sebanyak 6.962.348, yang menggunakan hak suara secara sah 4.336.486, dari jumlah partisipasi pemilih sebanyak 4.407.141. putaran pertama masing-masing calon mengantongi perolehan suara sebagai berikut; pasangan Jokowi-Ahok, 1.847.157 (42,60%), Foke-Nara, 1.476.648 (34,05%), pasangan Hidayat-Didik, 508.113 (11,72%), pasangan Faisal-Biem, 215.935 (4,89%), pasangan Alex-Nono, 202.643 (4,67%), dan pasangan Hendardji-Riza hanya meraih 85.990 (1,98%). Pertarungan Pilkada DKI telah usai setelah KPUD Provinsi menetapkan pasangan calon terpilih putaran kedua pada Hari Sabtu (29/9) melalui rapat pleno yang digelar di Hotel Borobudur, Jakarta. Pasangan Jokowi-Ahok menang secara meyakinkan dengan memperoleh dukungan kuat dari wilayah Jakarta Barat meraih 577.232 dengan total DPT 1.510.159, Jakarta Timur, 695.220 dari DPT 1.999.040, Jakarta Selatan 507.257 (DPT 1.512.913), Jakarta Utara 432.714 (DPT 1.168.988), Jakarta Pusat 256.529 (DPT 789.484), dan Kepulauan Seribu 3.178 (DPT 16.367) dengan total perolehan suara sebanyak 2.472.130 dan mengalahkan Foke-Nara yang mendapatkan suara secara keseluruhan sebanyak 2.120.815. Nuansa demokratisasi relatif kondusif, dan momentum ini sepatutnya kita jadikan sebagai titik tekan mengawal suksesi kepemimpinan 2014. Penyelenggaraan Pemilu Kada mendapat perhatian begitu besar dari Pers dan lembaga-lembaga pemantau sehingga menarik menjadi bahan pelajaran bagi pemerintah. Booming partisipasi warga menggunakan preferensi sebagai bentuk kesadaran politik masyarakat yang secara bersamaan ikut mengawasi pelaksanaan menunjukkan instrumen demokrasi bekerja aktif karenasikap proaktif instrumen-instrumen demokrasi mendorong pelbagai kekuatan politik untuk mengambil peran positif. Dalam perspektif ini, Pemilu Kada DKI tidak saja berjalan aman, tertib, dan damai, tetapi dari kerangka penyelenggaraannya berdasarkan penilaian umum relatif demokratis. Yang patut jadi pelajaran dari Pemilu Kada DKI ialah sikap kesatria dan bijak dari pasangan incunbent Fauzi Bowo yang secara jiwa besar menerima hasil tanpa menonjolkan arogansi kepemimpinan. Sikap kesatria ini harus kita akui sangat langkah terjadi dalam tradisi perhelatan Pemilu Kada di Indonesia. Dan pengalaman ini setidaknya menjadi peristiwa mahal yang harus diteladani oleh para pemimpin yang hendak berkompetisi merebut kekuasaan. Terobosan Positif Selama ini dimensi penegakkan hukum Pemilu selalu memicu perdebatan politik yang tidak produktif sehingga seringkali muncul ketidakpastian hukum dalam suatu penyelesaian kasus Pilkada. Ketidakmenentuan suatu putusan penyelesaian Pilkada dalam konteks penegakkan hukum Pemilu acap dijadikan alasan politik calon tertentu untuk memperpanjang ritma petualangan kekuasaan. Dalam konteks itulah, revisi UU Nomor 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu menjadi UU Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu menghadirkan instrumen demokrasi baru yakni Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Lembaga etic yang semula berstatus ad hoc menjadi permanen dan komposisi keanggotaan yang proporsional dan difungsikan secara netral (independent police). Eksistensi lembaga baru ini berdasarkan UU diorientasikan untuk memastikan penegakkan hukum secara pasti (the role of law) dan berperan mengawal kehormatan penyelenggara Pemilu the role of law and the of etic dari perspektif etika kepemiluan dalam era demokrasi modern. DKPP tiga kali menyidangkan kasus dugaan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan Ketua KPUD DKI hingga pada tahap pemberian sangsi tertulis secara psikologi politik menjadi motivasi KPUD DKI. Sidang di KPU Pusat (27/7) dan (3/7/2012), dan sidang yang dilakukan di Bawaslu Sabtu (7/7/2012) tersebut mengeluarkan sangsi tertulis kepada Ketua KPUD Provinsi DKI sangat membawah dampak positif bagi perbaikan DPT. Implikasi putusan DKPP terhadap Ketua KPUD DKI memberikan kontribusi yang cukup efektif dalam perbaikan kualitas Pemilu Kada DKI putaran kedua. Sangsi tertulis DKPP mampu mendorong sikap KPUD untuk merapikan tertib administrasi DPT putarankedua. Bangsa Indonesia dalam kerangka Pemilu Kada DKI setidaknya telah memulai dari sebuah proses yang baik. Ekspektasi publik untuk mensukseskan Pemilu Kada cukup tinggi. Kehadiran lembaga DKPP dalam konteks perbaikan kualitas penyelenggaraan Pemilu amat berarti dan oleh karenanya bagaimanapun patut diapresiasi. DKPP diamanatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu dalam Pasal 111 ayat (3) ditugaskan menerima pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, dan melakukan penyelidikan, pemeriksaan, menyidangkan, hingga menetapkan putusan dan menyampaikannya secara terbuka pada publik. Pada ayat (4) DKPP secara kelembagaan berwenang memanggil penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik penyelenggara pemilu untuk memberikan penjelasan sekaligus memberi kesempatan pembelaan hingga menjatuhkan sangsi pada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Sebagai institusi baru dan merupakan bagian dari penegakkan kode etik penyelenggara Pemilu, DKPP di bawah kepemimpinan Jimly Ashhiddiqie ini sekurang-kurangnya telah berperan positif konstruktif. Fenomena wacana demokratisasi Pemilu Kada DKI memperlihatkan pada masyarakat di mana ada semangat baru dan kemauan kolektif membenahi kualitas demokrasi. Namun demikian, betapapun performa proses dan hasil Pemilu Kada DKI Jakarta dinilai banyak pihak berhasil, akan tetapi KPU, DPR, Pemerintah, dan Bawaslu tidak lengah apalagi terbuai. Karena keberhasilan Pemilu Kada DKI putaran kedua tidak lepas dari peran optimal pemantau pemilu juga kalangancivil society. Publik tidak boleh menafikan realitas sosial di mana kuatnya kesadaran masyarakat dalam Pemilu Kada DKI. ___________________________________ Penulis adalah Tenaga Ahli di DKPP dan Dosen Filsafat Agama di Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta. Catatan: Tulisan ini dimuat di Koran Harian Kendari Ekspres dalam dua kali tulisan, tanggal, 15 dan 16 Oktober 2012

Rabu, 15 Agustus 2018

Prinsip Nilai-nilai Etika Dalam Tindakan

Prinsip Etika Dalam Tindakan Individu dan Sosial Oleh :Rahman Yasin (Tenaga Ahli Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) Etika ialah ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan. Pandangan ini secara normatif memberikan pengertian etika secara operasional yakni, etika membicarakan kesusilaan secara ilmiah. Gejala atau lebih tepat kumpulan gejala yang dinamakan kesusilaan, moral atau etika dapat juga ditinjau secara lain. Setiap orang menghadapi masalah-masalah kesusilaan, yang barangkali, direnungkannya. Umpamanya, ia mendengar terjadinya suatu peristiwa bunuh diri yang sangat mengharukan; ia merenungkannya dan mempertanyakannya dalam hati, apakah bunuh diri itu sesungguhnya diperbolehkan. Jika ia melakukan hal semacam itu, maka ia telah berurusan dengan etika, meskipun hanya secara kebetulan, secara sepotong-sepotong atau secara sistematik, dengan pemikiran secara prailmiah. Juga masalah-masalah kesusilaan yang lain merangsangnya untuk merenungkannya; mungkin sekali ia memperbandingkan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dengan kesimpulan orang lain. Dapat terjadi bahwa ia menuliskan hasil pertimbangannya --- meskipun untuk sementara masih tidak begitu saling berhubungan secara longgar --- sedikit banyak bersifat aforistik. Kita memiliki berbagai kumpulan aforisma kesusilaan yang berasal dari Yunani Kuno. Ajaran-ajaran kesusilaan tersebut tercampur dengan nasihat-nasihat bagaimana manusia dapat mencapai hidup yang memuaskan. Yang membedakan etika dari segenap cara pendekatan mengenai masalah kesusilaan ialah, etika membahas masalah kesusilaan secara ilmiah. Ungkapan ini nanti akan menjadi jelas. Pernyataan yang menyebutkan etika sebagai ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan membawa akibat bahwa hendaknya dipilahkan antara etika dengan kesusilaan, yaitu sebagai obyek ilmu pengetahuan tersebut. Kiranya ada baiknya kita berpegang teguh pada pemilahan ini. Secara demikian, kita menggalakkan pemakaian bahasa yang murni dan menghindari terjadinya kerancauan pengertian. Sering terjadi, orang memakai kata-kata “etik” dan “susila” secara saling dipertautkan, yang satu dijumbuhkan dengan yang lain. Acap kali orang mengatakan “etik”, sedangkan yang dimaksudkan ialah “susila” atau bermoral. Orang berbicara mengenai manusia yang tinggi martabatnya ditinjau dari segi etik, perilaku etik, motif-motif etik, sedangkan yang seharusnya dipakai ialah kata-kata “susila”. Demikian pula kadang-kadang orang berbicara mengenai etika yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama atau etika yang terkandung dalam Khotbah Gunung, seolah-olah Injil mengandung ilmu pengetahuan, sedangkan yang dimaksudkan ialah moral yang terkandung dalam Injil. Pengetahuan kita tentang nilai-nilai dan norma dari etik bangsa Indonesia yang mula-mula hanya merupakan hasil rekonstruksi dari cara-cara hidup mereka sebelum muncul pengaruh budaya Hindu, Islam, dan Barat. Yang mempunyai arti adalah bagian terakhir dari masa Neolitik dan zaman Megalitik, karena dalam masa inilah munculnya kebudayaan yang tertentu tingkatnya. Mereka bukan lagi bangsa yang berpindah-pindah, cara kehidupan telah menunjukkan adanya organisasi masyarakat yang teratur. Gotong royong menjadi dasar hidupnya, sampai sekarang pun suatu pekerjaan besar di desa dilakukan secara gotong royong. Kepercayaan anisme dan dinamisme pada hakekatnya ialah untuk menjaga agar jiwa, semangat itu selalu merasa senang kepada orang yang menyediakan “sesuatu” (misalnya sesajian) dan untuk tidak menjadikannya marah. Sisa etik bangsa Indonesia yang mula-mula itu masih kita lihat sekarang pada berbagai upcara di dalam berbagai peristiwa hidup yang penting-penting, selamatan, penghormatan pada roh nenek moyang, dan sebagainya. Weihrich dan Koontz sebagaimana dikutip Nana Rukmana dalam bukunya Etika dan Integritas, mendefenisikan etika sebagai “the dicipline dealing with what is good and bad and with moral duty and obligation”. Secara lebih spesifik Collins Cobuild (1990: 480) mendefenisikan etika sebagai “an idea or moral belief that influences the behaviour, attitudes and philosophy of life of a group of people”. Oleh karena itu konsep etika sering digunakan sinonim dengan moral. Ricocur (1990) mendefenisikan etika sebagai tujuan hidup yang baik bersama dan untuk orang lain di dalam institusi yang adil. Dengan demikian, etika lebih dipahami sebagai refleksi atas baik/buruk, benar/salah yang harus dilakukan atau bagaimana melakukan yang baik atau benar, sedangkan moral mengacu pada kewajiban untuk melakukan yang baik atau apa yang seharusnya dilakukan. Menurut Azyumardi Azra (2012), etika juga dipandang sebagai karakter atau etos individu/kelompopk berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma luhur. Dengan pengertian ini menurut Azyumardi Azra, etika tumpang tindih dengan moralitas dan/atau akhlak dan/atau social decorum (kepantasan sosial) yaitu seperangkat nilai dan norma yang bisa diterima masyarakat, bangsa dan negara secara keseluruhan. Dalam pengertian teoritik sebagaimana dikemukakan dalam pengertian di atas, maka etika sesungguhnya dapat dipahami sebagai wujud karakter setiap individu dalam melakukan suatu tindakan, apakah itu tindakan yang bersifat individu maupun dalam konteks kehidupan sosial. Etika lebih mengandung pengertian yang lebih spesifik di mana menggambarkan watak atau karakter seseorang yang menimbulkan refleksi sosial dalam konteks perilaku kehidupan bersama dalam suatu komunitas. Itulah sebabnya, pengertian etika dalam kajian ilmiah senantiasa dikaitkan dengan nilai-nilai kesusilaan. Kesusilaan memberikan gambaran bagaimana sikap dan tindakan setiap orang dalam kehidupan sosial. Kesusilan mengidentifikasikan perilaku yang setidaknya memberikan gambaran perilaku moral dalam pergaulan sosial. Maka etika memancarkan kebaikan perilaku seseorang sedangkan moral dan kesusilaan mencerminkan kebaikan sosial dari perilaku etik setiap orang. Khaerul Umam dalam bukunya Perilaku Organisasi (2010: 153) memberikan uraian mengenai pengertian etika dan moral dalam praktik kehidupan sehari-hari yang sekaligus membedakan kedua makna tersebut. Dengan menggunakan pengertian Solomon, Umam mengutipnya sebagai berikut: a. Etika pada dasarnya merujuk pada dua hal. (1) Etika berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya. Dalam hal ini, etika merupakan salah satu cabang filsafat. (2) Etika merupakan pokok permasalahan dalam disiplin ilmu itu sendiri, yaitu nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. b. Moral, dalam pengertian umum menekankan karakter atau sifat-sifat individu yang khusus, di luar ketaatan pada aturan. Dengan demikian, moral merujuk pada tingkah laku yang bresifat spontan, seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa, dan sebagainya. c. Moralitas mempunyai makna yang lebih khusus sebagai bagian dari etika. Moralitas berfokus pada hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang abstrak dan bebas. Dalam sejarah peradaban manusia sejak abad ke-4 Sebelum Masehi, para pemikir telah mencoba menjabarkan berbagai corak landasan etika sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Dalam hubungan itu, sedikitnya terdapat dua belas macam “ide agung” (great ideas) yang merupakan landasan moralitas. Great Ideas: a Syntopicion of Great Books of Western World” yang diterbitkan pada tahun 1952. Dalam buku Alder, dua belas gagasan atau “ide agung” tersebut diringkas menjadi enam prinsip, yang dapat dikatakan merupakan landasan prinsip dari etika. Prinsip-prinsip etika tersebut adalah (a) Prinsip keindahan (beauty), (b) Prinsip persamaan (equality), (c) Prinsip kebaikan (goodness), (d) Prinsip keadilan (justice), (e) Prinsip kebebasan (liberty), dan (f) Prinsip kebenaran (truth). Keenam prinsip etika tersebut secara gamblang memberikan suatu defenisi ilmiah yang juga merupakan secara umum menggambarkan perilaku etik dan moralitas setiap individu dalam kehidupan kolektif. Etika menekankan pada dimensi perilaku sedangkan moral memfokuskan pada tindakan-tindakan dalam praktik kehidupan sosial. Dengan demikian, etika merefleksikan tindakan pribadi seseorangan di dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai kehidupan bersama. Karakter atau kesusilaan dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dalam kehidupan bersama, dimensi etik dan karakter atau kesusilaan ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial. Karakter dan kesusilaan mencerminkan sifat-sifat individu didalam mentaati aturan berupa hukum yang telah menjadi kesepakatan bersama. Hukum dibuat berdasarkan prinsip-prinsip etika, yang mana etika berangkat dari nilai-nilai kemanusiaan yang merupakan ide dasar dari norma agama. Itulah sebabnya, dalam praktik kehidupan bersama, norma agama, norma hukum, dan norma etika tidak dapat dipisahkan, karena ketiga norma tersebut saling menopang, saling, memperkuat satu sama lain.

Minggu, 29 April 2018

Peran Budaya

Optimalisasi Peran Budaya Dalam Rangka Memperkuat Kapasitas Demokrasi Oleh :Rahman Yasin (Tenaga Ahli Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) Demokrasi Secara etimologis dan harfiyah demokrasi berasal dari kata yunani kuno yang tepatnya diutarakan di Athena Kuno pada abad ke-5 SM, yang asal katanya rakyat berkuasa dan terbagi dalam dua kata “demos” dan “kratos/cratein”. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara. Demos yang berarti rakyat dan kratos/cratein yang berarti kekuasaan/pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Di praktikan dalam bentuk demokrasi langsung di Negara polis (Negara kota). Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Hal itu dapat dimengerti karena demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yangg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan. Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warga negara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih). Kedaulatan rakyat yang dimaksud disini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola sebagai tokoh impian ratu adil, bukan sistem pemerintahan yang baik. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana). Tipe demokratis menunjukkan kenyataan akan adanya garis pemisah antara lapisan yang sifatnya mobil (berpindah) sekali. Kelahiran tidak menentukan seseorang, yang terpenting adalah kemampuan dan kadang-kadang faktor keberuntungan. Tipe seperti ini terbukti dari anggota-anggota partai politik. Yang dalam suatu masyarakat demokratis dapat mencapai kedudukan-kedudukan tertentu melalui partai. Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut. Secara struktural sisitem politik demokrasi secara ideal adalah demokrasi yang memungkinkan perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara individu, dengan kelompok. Demokrasi hanya akan mentolelir konflik yang tidak menghancurkan sistem. Sistem demokrasi menyediakan mekanisme dan prosedur yang mengantur konflik. Selain itu sistem demokrasi pun menyalurkan konflik serta penyelesaiannya dalam bentuk konsensus. Selanjutnya prinsip ini yang mendasari pembentukan identitas bersama, hubungan kekuasaan, legitimasi, kewenangan, dan hubungan politik ekonomi. Sistem politik demokrasi yaitu sistem politik yang memegang kekuasaan banyak orang, berdasarkan kehendak rakyat, kekuasaannya terbatas dan bertanggung jawab kepada rakyat. Dengan kata lain, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pengertian Demokrasi Menurut Para Ahli : Bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintahan negara tersebut. Menurut Abraham Lincoln Demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Menurut Charles Costello Demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara. Menurut John L. Esposito Demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat. Oleh karenanya, semuanya berhak untuk berpartisipasi, secara aktif ataupun dapat terlibat langsung dalam mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan yang jelas antara unsur eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Menurut Hans Kelsen Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Keyakinan yang penuh sudah terjalin oleh rakyat bahwa kepentingan dan segala kehendak rakyat akan selalu diperhatikan oleh wakil rakyat dalam melaksanakan kekuasaan negara. Menurut CF. Strong Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang mengikut sertakan mayoritas anggota dewan dari masyarakat dalam politik yang didasari oleh sistem perwakilan yang akan mengatur pemerintahan. Pada akhirnya pemerintah akan mempertanggungjawabkan tindakan tindakan pada mayoritas tersbut (Anggota Dewan). Menurut Hannry B. Mayo Sistem politik menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana dimana terjadi kebebasan politik. Menurut Merriem Demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan. Menurut Samuel Huntington Demokrasi ada jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sebuah sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir seluruh penduduk dewasa dapat memberikan suara. Menurut Sidney Hook Demokrasi dapat diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang mengambil keputusan-keputusan mayoritas pemerintah atau kebijakan (penting) berdasarkan secara langsung dan tidak langsung mengenai kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. Menurut Josefh A. Schmeter Demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sedangkan menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl Demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara tersebut, jadi yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah terpilih. Dari Pendapat para pakar diatas terdapat benang merah atau titik singgung tentang Pengertian Demokrasi adalah rakyat sebagai penentu, pemegang kekuasaan dan pembuat keputusan dan kebijakan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilakukan secara langsung oleh rakyat atau mewakilinya melalui lembaga perwakilan. Oleh karena itu negara menggunakan sistem demokrasi diselenggarakan, yang didasarkan pada kehendak dan kemauan rakyat mayoritas dan juga tidak mengesampingkan kaum minoritas. Menurut Mahfud MD Kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat, dalam hal ini ada 3 hal penting yang harus kita ketahui, yaitu: 1. Pemerintah dari rakyat (government of the people) 2. Pemerintahan oleh rakyat (government by people) 3. Pemerintahan untuk rakyat (government for people) Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara mengandung arti bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk di dalam menilai kebijakan negara, oleh karenanya kebijakan tersebut menentukan kehidupan rakyat. Dari sudut organisasi, demokrasi diartikan sebagai pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat. Menurut Masykuri Abdillah prinsip-prinsip demokrasi terdiri dari kebebasan, persamaan dan pluralisme. Prinsip persamaan memberikan penegasan bahwa setiap warga negara baik rakyat biasa atau pejabat mempunyai persamaan kesempatan dan kesamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan. Begitu pun dengan prinsip kebebasan yang menegaskan bahwa setiap individu warga negara atau rakyat memiliki kebebasan menyampaikan pendapat dan membentuk perserikatan. Dalam prinsip pluralisme memberikan penegasan dan pengakuan bahwa keragaman budaya, etnis, agama, bahasa, pemikiran dan sebagainya merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Macam-macam Demokrasi Kita mengenal macam-macam istilah demokrasi. Ada yang dinamakan demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi soviet, demokrasi nasional dan sebagainya. Semua konsep ini menggunakan kata demokrasi, yang apabila diambil dari asal katanya yaitu demos dan kratos artinya adalah rakyat berkuasa atau goverment or rule by people. Sesudah perang Dunia II kita melihat gejala bahwa secara formil demokrasi adalah dasar dari kebanyakan negara di dunia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh UNESCO dalam tahun 1949 maka "Mungkin untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung pendukung yang berpengaruh (probably for the firs time in history democracy is claimed as the proper ideal description of all systems of political and social organizations advocated by influential proponents). Dan UNESCO mengemukakan kesimpulan tentang demokrasi yaitu sebagai sebuah ide yang dianggap ambiguous (ambigu) atau tidak memiliki arti-dua, sekurang kurangnya ada ambiguity atau ketaktentuan mengenai lembaga lembaga atau cara cara yang dipakai unuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kultural serta sejarah yang mempengaruhi istilah, ide, dan praktek demokrasi (Either in the institutions or devices employed to effect the idea or in the cultural or historical circumstances by which word, idea and practice are conditioned). Namun diantara sekian banyak aliran pemikiran yang dinamakan demokrasi ada dua kelompok aliran yang paling penting, yaitu demokrasi kosntitusionil dan satu kelompok aliran yang menamakan dirinya "demokrasi", tetapi yang pada hakekatnya mendasarkan dirinya atas komunisme. Kedua kelompok aliran demokrasi mula-mula berasal dari Eropa, tetapi setelah perang dunia II sepertinya juga support oleh beberapa negara seperti India, Pakistan, Filipina, dan Indonesia yang mencita-citakan demokrasi konstitusionil, sekalipun terdapat macam macam bentuk pemerintahan maupun gaya hidup dalam negara negara tersebut. Di lain pihak ada negara negara baru di Asia yang mendasarkan diri atas asas-asas komunisme, yaitu R.R.C., korea Utara dan sebagainya. Macam-macam demokrasi ditinjau dari penyaluran kehendak rakyat 1. Demokrasi Langsung: Demokrasi langsung merupakan sistem demokrasi yang mengikutsertakan seluruh rakyat secara langsung dalam membicarakan atau menentukan urusan negara. Hal ini terjadi pada zaman Yunani kuno karena penduduknya masih sedikit. 2. Demokrasi Tidak Langsung: Demokrasi tidak langsung/perwakilan merupakan sistem demokrasi yang untuk menyalurkan kemauannya, rakyat memilih wakil-wakilnya untuk menjabat dalam parlemen. Aspirasi rakyat diutarakan melalui wakil-wakilnya di parlemen. Macam-macam demokrasi ditinjau dari hubungan antar-alat kelengkapan Negara: 1. Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum merupakan macam demokrasi dimana rakyat memilih perwakilan untuk menjabat di parlemen, tetapi tetap dikontrol oleh pengaruh rakyat dengan sistem referendum. 2. Demokrasi perwakilan dengan sistem parlementer merupakan demokrasi dimana terjadi adanya koneksi yang kuat antara badan eksekutif dan legislatif. Menteri menteri yang menjalankan kekuasaan eksekutif diangkat atas usul legislatif, sehingga memiliki tanggung jawab kepada parlemen. Jabatan presiden atau raja sebagai kepala negara yang tidak menjalankan pemerintahan. Eksekutif dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan pedoman atau program kerja yang telah disetujui oleh parlemen. Selama eksekutif menjalankan tugasnya sesuai dengan program tersebut, kedudukan eksekutif akan stabil dan mendapat dukungan dan parlemen. Jika eksekutif melakukan penyimpangan, parlemen bisa menjatuhkan kabinet dengan mengajukan mosi tidak percaya, yang berarti para menteri harus meletakkan jabatannya. Kedudukan eksekutif berada di bawah parlemen dan sangat bergantung pada dukungan parlemen. 3. Demokrasi perwakilan dengan sistem pemisahan kekuasaan adalah macam demokrasi dimana posisi legislatif terpisah dari jabatan eksekutif, sehingga kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam demokrasi parlementer. Menteri-menteri diangkat oleh presiden dan berkedudukan sebagai pembantu presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Kedudukan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Jabatan presiden dan menteri-menteri tidak tergantung pada dukungan parlemen dan tidak dapat diberhentikan oleh parlemen. 4. Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum dan inisiatif rakyat adalah gabungan antara demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung. Badan perwakilan tetap ada, tetapi dikontrol oleh rakyat, baik melalui referendum yang bersifat obligator maupun fakultatif. Macam-macam demokrasi yang didasarkan oleh prinsip ideologi: 1. Demokrasi Liberal: Kebebasan individu merupakan hal yang dominan pada demokrasi liberal akan tetapi, kepentingan umun sering terabaikan. 2. Demokrasi Rakyat: Paham Sosialisme ataupun komunisme merupakan dasar bagi demokrasi rakyat. Demokrasi rakyat mengutamakan kepentingan umum dan kepentingan negara. 3. Demokrasi Pancasila: Sumber dari demokrasi Pancasila adalah tata sosial dan budaya Bangsa Indonesia, dan oleh karena itu Demokrasi pancasila berlaku kuat di Indonesia dengan 5 sila yang menopangnya. Musyawarah untuk mufakat dilaksanakan pada demokrasi pancasila dengan tetap mengutamakan keseimbangan antara kepentingan seluruh rakyat dan Negara Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah/ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat sifat dan ciri cirinya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Oleh karena itu, demokrasi yang dianut di Indonesia disebut demokrasi Pancasila. Tetapi tidak dapat dipungkiri adalah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusionil cukup jelas tersirat di dalam UUD 1945. Selain itu UUD kita secara eksplisit menyebut dua prinsip yang menjiwai naskah tersebut, dan yang dicantumkan dalam penjelasan mengenai sistem pemerintahan negara, yaitu: 1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtstaat). Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). 2. Sistem Konstitusionil Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (Hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (Kekuasaan yang tida terbatas). Berdasarkan dua istilah tersebut, maka jelaslah bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari UUD 1945 adalah demokrasi konstitusionil. Di samping itu corak khas demokrasi indonesia yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. dimuat dalam pembukaan UUD. Demokrasi Pancasila Demokrasi Pancasila adalah suatu paham demokrasi yang bersumber pada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri yaitu Pancasila. Mengenai rumusan singkat demokrasi Pancasila, tercantum dalam sila keempat Pancasila. Rumusan tersebut pada dasarnya merupakan rangkaian yang bulat dan utuh antara sila satu dengan sila yang lainnya. Terdapat beberapa ahli yang mengemukakan pendapat mengenai pengertian demokrasi Pancasila. Beberapa pengertian tersebut yaitu: 1. Menurut Ensiklopedia Indonesia Demokrasi Indonesia berdasarkan Pancasila yang meliputi bidang-bidang politik, sosial dan ekonomi, serta yang dalam penyelesaian masalah-masalah nasional berusaha sejauh mungkin menempuh jalan permusyawaratan untuk mencapai mufakat. 2. Menurut Prof. Dardji Darmadihardja, S.H. Demokrasi Pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber pada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia, yang perwujudannya seperti dalam ketentuan-ketentuan Pembukaan UUD 1945. 3. Menurut Prof. Dr. Drs. Notonegoro, S.H. Demokrasi Pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang ber-Ketuhanan Yang Maha esa, yang berperi-kemanusiaan yang adil dan beradab, yang mempersatukan Indonesia, dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari beberapa pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pada hakikatnya demokrasi Pancasila merupakan sarana atau alat bagi bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan negara. Tujuan negara tersebut sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Inti dari demokrasi Pancasila adalah paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Sistem Pemerintahan Demokratis Sistem pemerintahan adalah sistem yang dimiliki suatu negara dalam mengatur pemerintahannya. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintah politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Jadi dapat di tarik kesimpulan bahwa Sistem pemerintahan Demokrasi adalah sistem pemerintahan suatu negara yang kekuasaannya mutlak di tentukan oleh rakyat/melalui perwakilan rakyat. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatorandan pemerintahan otoriterlainnya dapat dihindari. Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal terbentuknya belum semua orang dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja. Sementara itu, wanita, budak, orang asing dan penduduk yang orang tuanya bukan orang setempat tidak memiliki hak untuk itu. Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan. Masalah keadilan menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai hal tersebut. Hakikat Sistem Pemerintahan 1. Pengertian Sistem Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh. Dalam sistem terkandung unsur-unsur: a. Seperangkat elemen, komponen, dan bagian. b. Saling berkaitan dan bergantung. c. Kesatuan yang terintegerasi (terkait dan menyatu). d. Memiliki peranan dan tujuan tertentu. 2. Pengertian Pemerintahan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pemerintahan diartikan pertama, sebagai proses, cara, perbuatan pemerintah. Kedua, segala urusan yang dilakukan negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara. Berikut pengertian pemerintahan menurut berbagai ahli: a. Utrecht 1. Pemerintahan sebagai gabungan dari semua badan kenegaraan yang berkuasa memerintah. 2. Pemerintahan sebagai gabungan badan-badan kenegaraan tertinggi yan berkuasa memerintah di wilayah satu negara. 3. Pemerintahan dalam arti kepala negara (Presiden) bersama dengan kabinetnya. b. Austin Ranney Pemerintahan adalah proses kegiatan pemerintah, yaitu proses membuat dan menegakkan hukum dalam suatu negara. 3. Pengertian Sistem Pemerintahan Menurut doktri hukum tata negara, pengertian sistem pemerintahan negara dapat dibagi ke dalam tiga pengertian, yaitu sebagai berikut: a. Sistem Pemerintahan Negara dalam Arti Paling Luas Tatanan yang berupa struktur dari suatu negara dengan menitikberatkan hubungan antara negara dan rakyat. Pengertian seperti ini akan menimbulkan model pemerintahan monarki, aristrokasi, dan demokrasi. b. Sistem Pemerintahan Negara dalam Arti Luas Suatu tatanan atau struktur pemerintahan negara yang bertitik tolak dari hubungan antarsemua organ negara, termasuk hubungn antara pemerintah pusat (central government) dan bagian-bagian c. Sistem Pemerintahan Negara dalam Arti Sempit. Suatu tatanan atau struktur pemerintah yang bertitik tolak dari hubungan sebagai organ negara di tingkat pusat,khususnya antara eksekutif dan legislatif. 1) Sistem parlementer, yaitu parlemen (legialatif) mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada eksekutif. Contoh negara yan menetapkan sistem ini antara lain : Prancis, Belgia, Inggris, Jepang, India, Belanda, New Zeland, Sudan, Portugal, dan Italia. 2) Sistem pemisahan kekuasaan (presidensil), yaitu parlemen (legislatif) dan pemerintah (eksekutif) mempunyai kedudukan yang sama dan saling melakukkan kontrol (chech and ). Contohnya : Amerika Serikat, Indonesia, Paraguay, Brunai Darusalam, Peru, dan Swedia. 3) Sistem pemerintahan dengan pengawasan langsung oleh rakyat, yaitu pemerintahan (eksekutif), pada hakikatnya adalah badan pekerja dari parlemen (legislatif), dengan fakta lain eksekutif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari legislatif. Pada masyarakat modern, pola pemerintah dapat dikembangkan sesuai dengan karakter masing-masing. Pertimbangan yang digunakan terutama menyangkut hal-hal sebagai berikut: a. Kompleksitas b. Dinamika c. Keanekaragaman Menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga negara. Demos menyiratkan makna diskriminatif atau bukan rakyat keseluruhan, tetapi hanya populus tertentu, yaitu mereka yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan formal mengontrol akses ke sumber-sumber kekuasaan dan bisa mengklaim kepemilikan atas hak-hak prerogratif dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan urusan publik atau pemerintahan. Dalam perkembangan zaman modern, ketika kehidupan memasuki skala luas, tidak lagi berformat lokal, demokrasi tidak mungkin lagi direalisasikan dalam wujud partisipasi langsung, masalah diskriminasi dalam kegiatan politik tetap berlangsung meskipun prakteknya berbeda dari pengalaman yang terjadi di masa Yunani kuno. Tidak semua warga negara dapat langsung terlibat dalam perwakilan. Hanya mereka yang karena sebab tertentu seperti kemampuan membangun pengaruh dan menguasai suara politik yang terpilih sebagai wakil. Sementara sebagian besar rakyat hanya dapat puas jika kepentingannya terwakili. Mereka tak memiliki kemampuan dan kesempatan yang sama untuk mengefektifkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Seorang negarawan dari Athena yang hidup pada tahun 430 SM bernama Pericles menguraikan beberapa kriteria penting mengenai konsep demokrasi, diantaranya: 1. Pemerintah suatu negara dibangun dari dukungan dan partisipasi yang mayoritas secara langsung. 2. Adanya kesamaan warga negara di bawah hukum. 3. Adanya penghargaan dan perlindungan terhadap pemenuhan HAM. Ada tiga prinsip dasar dalam sistem politik yang demokratis, yaitu: 1. Ditegakkannya etika dan moralitas dalam politik sebagai landasan kerja sistem politik, ekonomi, sosial di dalam negara. 2. Dipakainya prinsip konstitusionalisme dengan tegas dalam pelaksanaannya serta adanya kepatuhan terhadap supremasi hukum yang berlaku. 3. Pemberlakuan akuntabilitas publik. Memposisikan orang-orang yang memegang jabatan publik dan pemerintahan sebagai pemegang amanat dari rakyat yang dapat dimintai pertanggung-jawabannya oleh rakyat. Sistem Politik Demokrasi 1. Adanya pembagian kekuasaan 2. Pemerintahan konstitusional atau berdasarkan hukum 3. Pemerintahan mayoritas 4. Pemilu bebas atau demokratis 5. Parpol lebih dari satu 6. Managemen terbuka 7. Pers bebas 8. Perlindungan terhadap HAM dan adanya jaminan Hak minoritas 9. Peradilan bebas tidak memihak 10. Penempatan pejabat pemerintahan dengan Merit sistem 11. Kebiaksanaan pemerintah dibuat badan perwakilan politik tanpa paksaan 12. Konstitusi atau UUD yang demokratis. 13. Penyelesain masalah secara damai melalui musyawarah atau perundingan