Senin, 31 Maret 2014

IDE PEMERINTAHAN GOOD GOVERNANCE



1.          PENDAHULUAN
Sekarang ini tampaknya ada isu yang mendua terhadap sosok dan cara kerja aparatur pemerintah dikebanyakan negara sedang berkembang. pandangan pertama menganggap bahwa birokrasi pemerintah ibarat sebuah perahu besar yang dapat menyelamatkan seluruh warga masyarakat dari bencana banjir, ekonomi maupun politik. Bagaikan dilengkapi oleh militer dan partai politik yang kuat, organisasi pemerintah merupakan dewa penyelamat dan merupakan organ yang dikagumi masyarakat. Pandangan ini didasarkan atas asumsi bahwa didalam mengolah sumber daya yang dimiliki, organisasi ini mengerahkan para intelektual dari beragam latar belakang pendidikan sehingga keberhasilannya lebih dapat terjamin. Jadi mereka berkesimpulan bahwa birokrasi pemerintah memegang peran utama, bahkan peran tunggal dalam pembangunan suatu negara. Pada sisi lain, pandangan kedua menganggap birokrasi pemerintah sering menunjukkan gejala yang kurang menyenangkan. Bahkan hampir selalu birokrasi pemerintah bertindak canggung, kurang terorganisir dan buruk koordinasinya, menyeleweng, otokratik, bahkan sering bertindak korupsi. Para aparatnya kurang dapat menyesuaikan diri dengan modernisasi orientasi pembangunan serta perilakunya kurang inovatif dan tidak dinamis. Dalam keadaan semacam ini, pemerintah biasanya mendominasi seluruh organ politik dan menjauhkan diri dari masyarakat.
Berdasarkan dari kedua pandangan tersebut diatas, bahwa pada pandangan pertama mungkin di ilhami dengan pengharapan yang muluk-muluk dan berlebihan, yang dewasa ini mungkin sudah sangat jarang ditemukan, sedangkan pada pandangan kedua merupakan suatu pandangan yang berlebihan yang didasarkan pada prasangka buruk. Bisa juga terjadi kedua pandangan tersebut bertentangan satu sama lain yang didasarkan pada pengamatan yang mendalam dan evaluasi terhadap kondisi nyata aparatur pemerintah. Sudah barang tentu kritik dan ketidakpuasan yang berlebihan terhadap peran birokrasi dalam pembangunan sangatlah tidak adil. Selalu saja jika terjadi kegagalan dalam usaha pembangunan birokrasi dipandang sebagai biang keladinya. Kegagalan pembangunan memang sebagian besar merupakan tanggungjawab birokrasi namun bukanlah semuanya. Bahkan di beberapa negara, kekurangan efisiensi administrasi negara tidak dianggap sebagai "dosa besar" terhadap ketidakmampuan pemerintah didalam memenuhi harapan pembangunan ataupun realisasi tujuan sebagaimana telah ditetapkan didalam rencana pembangunan. Hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana caranya agar ketidaksempurnaan administrasi negara itu dapat dikurangi, kalau tidak bisa dihilangkan sama sekali. Ketidaksempurnaan adaministrasi ini tidak akan dipandang sebagi situasi yang suram, jika seandainya kondisi kesemerawutan administrasi negara ini tidak merebak ke seluruh pelosok negeri, baik pada tingkat regional maupun tingkat nasional. Kondisinya di persuram lagi dengan adanya keinginan dari birokrasi pemerintah untuk mempertahankan status quo dan menerapkan pola otokratik dan otoriter. Peran pemerintah yang amat dominan dalam pembangunan sosial dan ekonomi membuat semuanya menjadi lebih parah.
Desentralisasi, yang pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1999 menandai pergeseran radikal dari model sentralisasi tata kelola pemerintahan pada tahun 1960-an yang ditandai dengan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang dan tergantung antara pemerintah pusat dan daerah, pengambilan keputusan jarak jauh, dan perumusan kebijakan yang serba sama, sehingga seringkali tidak sensitif terhadap keragaman Indonesia. Reformasi membuka jalan bagi setiap orang maupun daerah untuk menyuarakan keadilan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pelayanan. Pendekatan pembangunan yang sentralistik selama Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun ternyata telah banyak menimbulkan kesenjangan yang menimbulkan rasa ketidakadilan. Kesenjangan tersebut antara lain kesenjangan pendapatan antar daerah yang besar, kesenjangan investasi antar daerah, pendapatan daerah yang dikuasai pemerintah pusat, kesenjangan regional, dan kebijakan investasi yang terpusat. Untuk mengatasi hal tersebut, maka otonomi daerah merupakan salah satu alternatif untuk memberdayakan setiap daerah dalam memanfaatkan sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM) untuk kesejahteraan rakyatnya.
Desentralisasi di Indonesia menggabungkan dimensi-dimensi partisipatif yang kuat dalam pengambilan kebijakan daerah, yang dilakukan melalui sistem Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan), dimana para praktisi, tokoh masyarakat, warga masyarakat, pemuda dan anak-anak dapat terlibat dalam penentuan prioritas dan perencanaan pembangunan. Musrenbang berpotensi untuk menentukan pembangunan daerah. Dasar pemikiran desentralisasi tata kelola pemerintahan adalah agar pemerintah daerah dapat mengidentifikasi, memprioritaskan dan merespon ciri-ciri, isu-isu dan kendala-kendala khusus setiap daerah secara kreatif dan tepat. Oleh karena itu, berdasarkan teori, pengetahuan lokal yang disatukan dengan kewenangan legislatif dan kebijaksanaan pemerintah kabupaten/provinsi tentang proses perencanaan dan alokasi sumberdaya dapat menjadi dasar yang kuat bagi inovasi yang meningkatkan kesejahteraan& mewujudkan hak-hak masyarakat ditingkat daerah. Misalnya pendekatan daerah akan sangat penting ketika praktek-praktek dan perilaku budaya lokal memberikan tantangan, betapa pentingnya desentralisasi tersebut.
Paradigma yang berkembang sejak Reformasi 1998, selaras dengan prinsip pemerintahan demokratis. Dalam hal ini, adanya pengaturan kewenangan seimbang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Adanya desentralisasi dapat mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan. Tentunya juga mencegah munculnya pemerintahan yang otoriter dan mendorong demokratisasi ditingkat lokal. Hal itu terjadi karena rakyat lebih memiliki peluang untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan diwilayahnya masing-masing. Dilihat dari perspektif sosiokultural, desentralisasi menyebabkan kepentingan rakyat di daerah-daerah yang memiliki kekhususan tertentu dapat tertangani dengan baik. Maka, adanya desentralisasi ini dapat membuat pembangunan berjalan dengan baik dan terarah, meskipun masih ada beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, diperlukan penguatan implementasi otonomi daerah. Agar dapat memperkuat kerangka NKRI. Untuk itu, diharapkan dapat muncul sikap kemandirian yang digerakkan berdasarkan kreativitas dan inovasi daerah. Adanya kreativitas dan inovasi itu dapat mengoptimalkan berbagai potensi sumberdaya yang ada. Baik sumberdaya alam, maupun sumberdaya manusia. Selain itu, penguatan implementasi juga dapat mempererat hubungan pemerintahan. Sehingga akan lebih proporsional, harmonis, dan produktif dalam penguatan integrasi bangsa dan pembangunan nasional.

Pemahaman tentang desentralisasi dapat ditarik dari tiga sumber grand theory yakni  :
ü  Teori pendelegasian kewenangan dilihat dari ilmu administrasi publik;
ü  Teori pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan dilihat dari ilmu negara/ilmu pemerintahan
Berdasarkan teori pembagian kekuasaan/pemisahan kekuasaan menurut pandangan Montesqieu dengan trias politicanya maupun catur prajanya Van Vollen Hoven, kemudian dilakukan pembagian kekuasaan secara internal didalam tubuh negara, dengan dua model yakni di negara unitaris dan di negara federalis.
ü  Teori eklektik yang menggabungkan antara teori pembagian kekuasaan dan teori pendelegasian kewenangan.
POLA PENYERAHAN KEWENANGAN PEMERINTAHAN
DI NEGARA FEDERALIS DAN UNITARIS
NEGARA UNITARIS
PEMERINTAH PUSAT
DAERAH
OTONOM
DAERAH
OTONOM
NEGARA FEDERAL
PEMERINTAH FEDERAL
NEGARA BAGIAN/PROVINSI
NEGARA BAGIAN/PROVINSI
Gambar.1











Ø Di negara federalis, kekuasaan pemerintahan negara bagian/provinsi sangat luas mencakup kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Ø Di bawah pemerintah nasional terdapat entitas yang lebih kecil berbentuk negara bagian (seperti USA) atau provinsi (seperti Canada).

ü Di negara unitaris, kekuasaan pemerintahan yang ditransfer ke daerah/local government hanyalah kekuasaan eksekutif.
ü Dilihat dari isi transfer kewenangan pemerintahannya, negara unitaris dapat dikelompokkan menjadi tiga klaster yakni:
a.      Negara unitaris yang sentralistik (seperti China)
b.     Negara unitaris yang terdesentralisasi (seperti Peranis, Jepang)
c.      Negara unitaris yang ultra-desentralistik (seperti Indonesia, Philipina, Pakistan, Eithopia).

1.1.      Pertimbangan Perlunya Kebijakan Desentralisasi
Rondinelli & Cheema (1983:14-16) mengemukakan berbagai variasi argumentasi perlunya pendesentralisasian perencanaan pembangunan dan administrasi di negara berkembang yaitu :
1.          Menjadi sarana untuk mengatasi berbagai keterbatasan pengendalian terpusat perencanaan nasional dengan cara delegasikan kewenangan yang lebih besar untuk perencanaan pembangunan dan manajemen kepada pejabat-pejabat yang bekerja di lapangan, dekat dengan masalah.
2.          Memotong berbagai prosedur yang menghambat, ciri dari perencanaan dan manajemen terpusat.
3.          Dengan mendesentralisasikan fungsi-fungsi dan tugas pejabat pemerintah pada aras lokal, pemahaman dan kepekaan kepada masalah dan kebutuhan lokal akan dapat ditingkatkan.
4.          Memungkinkan penetrasi politik dan administrasi dengan lebih baik mengenai kebijakan pemerintah  pusat pada wilayah yang dapat dikendalikan dari pusat.
5.          Memungkinkan perwakilan yang lebih besar dari berbagai variasi politik, agama, etnik, dan kelompok suku di dalam pembuatan kebijakan pembangunan, sehingga memungkinkan keadilan yang lebih besar didalam alokasi sumberdaya dan investasi pemerintah.
6.          Membuka kesempatan pengembangan kapabilitas administrasi yang lebih besar bagi institusi pemerintahan lokal dan swasta di propinsi dan kabupaten/kota.
7.          Efisiensi pemerintah pusat dapat ditingkatkan karena pekerjaan-pekerjaan rutin dapat ditangani secara efektif oleh staf lapangan atau pejabat lokal.
8.          Memberikan sebuah struktur bagi berbagai kementerian dan lembaga pemerintah pusat untuk melakukan aktivitas pembangunan serta koordinasi dengan pemimpin lokal dan organisasi non pemerintah diberbagai daerah.
9.          Sebuah struktur pemerintahan yang terdesentralisasi diperlukan untuk melembagakan partisipasi warganegara dalam perencanaan pembangunan dan manajemen.
10.       Dengan menciptakan berbagai alat-alat alternatif pengambilan keputusan, desentralisasi barangkali dapat mempengaruhi atau mengendalikan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh elit lokal, yang biasanya tidak simpatik pada kebijakan pembangunan secara terpusat.
11.       Desentralisasi dapat membuat administrasi menjadi  lebih luwes, innovative dan kreatif.
12.       Desentralisasi perencanaan pembangunan&fungsi manajemen memungkinkan pemimpin lokal untuk  menentukan pelayanan dan fasilitas secara lebih efektif dengan komunitas.
13.       Desentralisasi dapat meningkatkan stabilitas politik dan persatuan nasional dengan memberi kesempatan kepada kelompok-kelompok yang berbeda untuk mengambil keputusan pembangunan.
14.       Desentralisasi dapat meningkatkan jumlah pemberian pelayanan barang dan jasa publik, dan dengan biaya yang lebih rendah.

1.2.      Dimensi dan Derajat Desentralisasi

Desentralisasi penting untuk[1] :
Dimensi Desentralisasi[2] :
Derajat desentralisasi[3] :
a.      Stabilitas politik;
a.    Geografis;
a.      Dekosentrasi;
b.     Pemberian pelayanan yg efektif;
b.    Fungsional;
b.     Delegasi;
c.      Pengurangan kemiskinan;
c.    Politik/administratif;
c.      Devolusi
d.      Keadilan.
d.    Fiskal


2.          TEORI DAN METODE
Ada tiga azas dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia yakni desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Menurut UU No.32 tahun 2004, desentralisasi dimaknai sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi didefinisikan sebagai pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal diwilayah tertentu. Sementara Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Bila kita mengkomparasikan ketiga azas pemerintahan daerah sebagaimana yang tertuang dalam UU No.32 tahun 2004 dengan UU Pemerintahan Daerah era orde baru (UU No.5 tahun 1974); tentunya ada perbedaan yang cukup mendasar, khususnya azas dekonsentrasi dan azas tugas pembantuan. Azas dekonsentrasi maupun tugas pembantuan bersama-sama dengan azas desentralisasi menjadi azas pemerintahan daerah khususnya untuk kabupaten dan kotamadya ketika itu. Penggunaan ketiganya secara bersamaan tentu saja menyebabkan simpang siurnya kejelasan kewenangan yang dimiliki kabupaten dan kota. Dalam prakteknya azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan justru lebih mendominasi hubungan pusat dan daerah daripada azas desentralisasi, sehingga tidak terjadi praktek otonomi daerah yang sesungguhnya karena kewenangan masih dikendalikan oleh pusat mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasannya. Daerah lebih banyak menerima dan melaksanakan kebijakan yang dibuat pusat, bahkan tidak jarang kewenangan itupun dilaksanakan oleh wakil pemerintah pusat yang ada di kabupaten/kotamadya yakni  melalui  kantor-kantor departemennya. Otonomi secara sempit diartikan sebagai “mandiri”, sedangkan dalam arti luas adalah “berdaya”. Jadi otonomi daerah yang dimaksud disini adalah pemberian kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah untuk secara mandiri atau berdaya membuat keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.

Mengenai desentralisasi, Soenobo Wirjosoegito memberikan definisi sebagai berikut:

“Desentralisasi adalah penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentinga sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari itu”[4].

Menurut Rondinelli & Cheema, mengemukakan bahwa Desentralisasi adalah: “transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau otoritas administrative dari pemerintah pusat kepada organisasinya dilapangan, unit-unit administratif lokal, organisasi semi otonom dan organisasi parastatal, pemerintahan lokal, atau organisasi nonpemerintah” [5].

Litvack&Seddon, mengemukakan bahwa desentralisasi adalah:“ transfer of authority and responsibility for public function from central to sub-ordinate or quasi-independent government organization or the private sector” [6].
Desentralisasi adalah: “penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka NKRI”. Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yg mempunyai batas daerah tertentu yang berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI [7].
Selanjutnya DWP. Ruiter mengungkapkan bahwa menurut pendapat umum desentralisasi terjadi dalam 2 (dua) bentuk, yaitu desentralisasi teritorial dan fungsional, yang dijabarkan sebagai berikut:

“Desentralisasi teritorial adalah memberi kepada kelompok yang mempunyai batas-batas teritorial suatu organisasi tersendiri, dengan demikian memberi kemungkinan suatu kebijakan sendiri dalam sistem keseluruhan pemerintahan. Sedangkan desentralisasi fungsional adalah memberi kepada suatu kelompok yang terpisah secara fungsional suatu organisasi sendiri, dengan demikian memberi kemungkinan akan suatu kebijakan sendiri dalam rangka sistem pemerintahan”[8].

Berkaitan dengan desentralisasi terotorial dan fungsional, C.W. Van Der Pot, berpendapat: Desentralisasi akan didapat apabila kewenangan mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintah tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat (central government), melainkan juga oleh kesatuan-kesatuan pemerintah yang lebih rendah yang mandiri (zelfanding), bersifat otonomi (teritorial dan fungsional) [9]. Dengan demikian, sistem desentralisasi mengandung makna pengakuan penentu kebijaksanaan pemerintah terhadap potensi dan kemampuan daerah dengan melibatkan wakil-wakil rakyat didaerah dengan menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, dengan melatih diri menggunakan hak yang seimbang dengan kewajiban masyarakat yang demokratis. Ada 2 (dua) alasan pokok dari kebijaksanaan membentuk pemerintahan di daerah. Pertama, membangun kebiasaan agar rakyat memutuskan sendiri sebagian kepentingannya yang berkaitan langsung dengan mereka. Kedua, memberi kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan yang bermacam-macam untuk membuat aturan-aturan dan programnya sendiri[10].

Dasar-dasar hubungan antara pusat dan daerah dalam kerangka desentralisasi ada 4 (empat) macam, yaitu[11]:
1.     Dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.
2.     Dasar pemeliharaan dan pengambangan prinsip-prinsip pemerintahan asli.
3.     Dasar kebhinekaan.
4.     Dasar negara hukum.

Dilihat dari segi pelaksanaan fungsi pemerintahan, bahwa desentralisasi dan otonomi itu menunjukkan[12]:
1.     Satuan-satuan desentralisasi (otonomi) lebih fleksibel dalam memenuhi perubahan-perubahan yang terjadi dangan cepat;
2.     Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas dengan efektif dan lebih efisien;
3.     Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif;
4.     Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.

Dalam  Glossary World  Bank  dikemukakan  bahwa  desentralisasi  adalah“  A process of transferring responsibility, authority, and accountability for specific or broad management functions to lower levels within an organization, system, or program” [13].
Menurut Cheema dan Rondinelli, dilihat dari sudut pandang kebijakan dan administrasi, desentralisasi dapat dimaknai sebagai:“transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau otoritas administratif dari pemerintah pusat kepada organisasinya dilapangan, unit-unit administratif lokal, organisasi semi otonom dan organisasi parastatal, pemerintahan lokal, atau organisasi nonpemerintah”[14].
Dalam konteks negara, dibedakan antara desentralisasi dinegara berbentuk federal dengan negara berbentuk kesatuan (unitaris). Dalam negara berbentuk federal, negara bagian atau provinsi dapat ada lebih dahulu dibanding negara federalnya, sehingga sumber kekuasaan justru berada dinegara bagian atau provinsinya. Pemerintah federal tidak boleh mencampuri urusan negara bagian atau provinsi kecuali yang telah ditetapkan dalam konstitusi negara federal. Dengan demikian isi urusan pemerintahan negara bagian lebih luas dibandingkan isi urusan pemerintahan negara federalnya. Urusan pemerintahan yang ditangani oleh pemerintah negara federal adalah urusan moneter, fiskal nasional, politik luar negeri, peradilan tinggi, pertahanan, keamanan nasional, teknologi tinggi. Selebihnya menjadi urusan pemerintahan negara bagian atau provinsi.
Selain definisi tentang desentralisasi, perlu juga dikemukakan berbagai prinsip ataupun ajaran yang digunakan di dalam mentransfer kewenangan pemerintahan dari pemerintah nasional ke pemerintahan subnasional dalam rangka desentralisasi. Campo dan Sundaram misalnya mengemukakan bahwa:“ In some unitary systems of government, subnational entities exercise their powers by virtue of  the ultra vires (beyond the powers) principle; their powers are specifically delegated to them by central government, which can override their decisions. In other unitary systems, local governments operate under the general competence principle, and are in principle entitled to exercise all powers that are not reserved to central government”[15].
Desentralisasi diartikan sebagai: penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, desentralisasi merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom sesuai dengan UUD yang telah ditentukan[16]. Jadi, otonomi daerah dapat diartikan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam pola pikir demikian, otonomi daerah adalah suatu instrumen politik dan instrumen administrasi/manajemen yang digunakan untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal, sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemajuan masyarakat didaerah, terutama menghadapi tantangan global, mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, dan mengembangkan demokrasi.
Yang dimaksud daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah otonom selanjutnya disebut dengan daerah[17]. Landasan hukum melaksanakan otonomi daerah adalah[18]:

1.     Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan derah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
2.     Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3.     Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
4.     Gubernur, Bupati, dan  Walikota  masing-masing  sebagai  kepala  pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
5.     Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
6.     Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7.     Susunan dan tatacara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Tujuan dari desentralisasi adalah[19] :
1.     Mencegah pemusatan keuangan;
2.     Sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
3.     Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal sehingga dapat lebih realistis.

Intisari desentralisasi :
1.     Adanya transfer kewenangan dan tanggungjawab;
2.     Mengenai fungsi-fungsi publik;
3.     Dari Pemerintah Pusat;
4.     Kepada suatu entitas, yang dapat berbentuk :
ü Organisasi pemerintah subnasional;
ü Badan pemerintah semi-otonom;
ü Organisasi dan atau Pejabat pemerintah pusat di luar ibukota Negara;
ü Organisasi nonpemerintah.
Hakikat otonomi daerah adalah: “menyelesaikan masalah setempat dengan cara setempat oleh orang setempat”.

2.1.      Konsep Dasar Good Governance
Secara sederhana, sejumlah pihak menerjemahkan governance sebagai tata pemerintahan. Tata pemerintahan disini bukan hanya dalam pengertian struktur dan manajemen lembaga yang disebut eksekutif, karena pemerintah (government) hanyalah salah satu dari tiga aktor besar yang membentuk lembaga yang disebut governance. Dua aktor lain adalah private sektor (sektor swasta) dan civil society (masyarakat madani). Karenanya memahami  governance adalah memahami bagaimana integrasi peran antara pemerintah (birokrasi), sektor swasta dan civil society dalam suatu aturan main yang disepakati bersama. Lembaga pemerintah harus mampu menciptakan lingkungan ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan keamanan yang kondusif. Sektor swasta berperan aktif dalam menumbuhkan kegiatan perekonomian yang akan memperluas lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan, sedangkan civil society harus mampu berinteraksi secara aktif dengan berbagai macam aktifitas perekonomian, sosial dan politik termasuk bagaimana melakukan kontrol terhadap jalannya aktifitas-aktifitas tersebut.
United National Development Programme (UNDP,1997) mendefinisikan governance sebagai “penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, mematuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka”.
Selanjutnya berdasarkan pemahaman kita atas pengertian governance tadi maka penambahan kata sifat good dalam governance bisa diartikan sebagai tata pemerintahan yang baik atau positif. Letak sifat baik atau positif itu adalah manakala ada pengerahan sumber daya secara maksimal dari potensi yang dimiliki dari masing-masing aktor tersebut atas dasar kesadaran dan kesepakatan bersama terhadap visi yang ingin dicapai. Governance dikatakan memiliki sifat-sifat yang good, apabila memiliki ciri-ciri atau indikator tertentu. Secara rinci World Bank memberikan 19 indikator good governance, namun para akademisi biasanya tidak menggunakan kesemua indikator tersebut untuk mengukur good governance.

2.2.     Hubungan antara Desentralisasi dan Good Governance
Desentralisasi atau pendesentralisasian governance merujuk pada suatu upaya restrukturisasi atau reorganisasi dari kewenangan yang menciptakan tanggungjawab bersama diantara lembaga-lembaga di dalam governance baik ditingkat pusat, regional maupun lokal sesuai dengan prinsip saling menunjang yang diharapkan pada akhirnya adalah suatu kualitas dan efektifitas keseluruhan dari sistem governance tersebut termasuk peningkatan kewenangan dan kemampuan dari governance di tingkat lokal (UNDP, 1997). Desentralisasi bukan sekedar memindahkan sistem politik dan ekonomi yang lama dari pusat ke daerah, tetapi pemindahan tersebut harus pula disertai oleh perubahan kultural menuju arah yang lebih demokratis dan beradab. Melalui desentralisasi diharapkan akan meningkatkan peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan yang terkait dengan masalah sosial, politik, ekonomi. Hal ini sangatlah dimungkinkan karena karena lokus pengambilan keputusan menjadi lebih dekat dengan masyarakat. Melalui proses ini maka desentralisasi diharapkan akan mampu meningkatkan penegakan hukum; meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemerintah dan sekaligus meningkatkan daya tanggap, transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah.
Beberapa pengalaman empirik memang telah membuktikan bahwa desentralisasi tidak selalu berbanding lurus dengan terwujudnya good governance. Keberhasilan beberapa pemerintah daerah dalam membangun kinerja pelayanan publiknya hingga saat ini masih bisa dihitung dengan jari. Namun demikian pilihan pada desentralisasi sesungguhnya haruslah disikapi dengan penuh optimisme dan menjadikannya sebagai sebuah tantangan. Caranya adalah melalui kampanye yang terus menerus akan pentingnya implementasi good governance di level pemerintahan daerah. Tentu saja perwujudan desentralisasi yang nyata dan bertanggung jawab serta keberhasilan good governance di daerah, diperlukan komitmen yang kuat, proses pembelajaran yang terus menerus serta kesabaran kolektif dari segenap pemangku kepentingan baik di pusat maupun di daerah.

2.3.     Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Tantangan Utama dan Dilema yang dihadapi
Desentralisasi di Indonesia menimbulkan otonomi bagi kesatuan masyarakat hukum subnasional ditingkat Propinsi, Kabupaten maupun Kota.
Otonomi daerah berisi 4 (empat) hak dasar yakni :
1.     Hak untuk memilih pemimpinnya sendiri secara bebas;
2.     Hak untuk memiliki dan mengelola sumber keuangan dan kekayaannya sendiri secara bebas;
3.     Hak untuk membuat aturan hukumnya sendiri secara bebas;
4.     Hak untuk mempunyai pegawainya sendiri secara bebas.

Kebebasan tersebut tidak bersifat mutlak melainkan dibatasi oleh:
ü Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya,
ü Kepentingan nasional;
ü Kepentingan umum.
ü Kepatutan.

Dalam pemilihan kepala daerah lebih dituntut kemampuannya untuk menaikkan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Padahal kepala daerah memegang peranan kunci didalam pembangunan berkelanjutan. Di dalam membuat aturan, daerah otonom seringkali lebih bersifat ego-kedaerahan, mengabaikan kepentingan daerah lain maupun kepentingan nasional. Wawasan kebangsaan sebagian para penyelenggara negara/daerah menunjukkan gejala penurunan. Di dalam mengelola sumber keuangan dan kekayaan daerah, yang nampak dalam pikiran pembuat kebijakan, legislator maupun para perencana adalah angka-angka yang terus meningkat, tanpa mempertimbangkan daya dukung masyarakat, kearifan lokal dan daya dukung alam. Pada sisi lain, sumberdaya alam yang dijadikan sumber keuangan jumlah dan jenisnya sangat terbatas, dan tidak bertambah banyak. Sumberdaya alam tersebut ada yang dapat diperbaharui, ada yang tidak.
Dilema yang muncul adalah :
ü Pertumbuhan ekonomi vs pelestarian lingkungan;
ü Kepentingan daerah vs kepentingan daerah lain maupun
ü Kepentingan nasional;
ü Pemenuhan fungsi vs pemenuhan gengsi;
ü Pemenuhan kebutuhan vs pemenuhan keinginan;
ü Kepentingan individu vs kepentingan umum;
ü Pandangan pragmatis vs pandangan idealis;
ü Kepentingan sesaat vs kepentingan jangka panjang;
ü Pertimbangan politis vs pertimbangan lingkungan.

Keberhasilan pembangunan daerah yang berkelanjutan dalam rangka desentralisasi, ditentukan oleh :
ü Pembuat kebijakan;
ü Legislator;
ü Perencana;
ü Pelaksana teknis;
ü Pemerhati lingkungan;
ü Pengawas lingkungan;
ü Pelaku ekonomi.

Penelitian UNICEF tahun 2010 menunjukkan pemandangan berbeda diseluruh Indonesia yang memperingatkan terhadap generalisasi. Akan tetapi, empat aspek utama desentralisasi tata kelola pemerintahan dinyatakan menghambat potensi desentralisasi.
a.      Ada keinginan untuk memperkuat tata kelola pemerintahan di semua tingkat, termasuk penanganan isu-isu tetap tentang ukuran dan kualitas birokrasi dan dalam menjelaskan dan menghentikan hubungan antara tiga tingkat pemerintahan.
b.     Lemahnya koordinasi antar pelaku dilapangan dan kurangnya harmonisasi aturan dan peraturan.
c.      Di tingkat kabupaten/ kota, ada keinginan untuk meningkatkan pengetahuan dan kapasitas agar pemerintah daerah dapat memenuhi tugas dan tanggungjawab mereka secara efektif.
d.     Potensi partisipatif desentralisasi belum dikaji dan digunakan secara tepat.

Desentralisasi belum berdampak pada kebutuhan tetap untuk meningkatkan kualitas, efisiensi dan ukuran birokrasi. Meskipun telah dilakukan sejumlah revisi terhadap undang-undang desentralisasi yang asli dan peraturan (No.32/33/2004, Peraturan Pemerintah No.39/2007), tetapi pembagian kekuasaan, tanggungjawab, dan harmonisasi yang lemah antara tiga tingkat pemerintah terus menimbulkan berbagai ketegangan. Dibawah desentralisasi, kekuasaan pengambilan keputusan dan kebijakan berbagai sektor pemerintahan dialihkan ke tingkat kabupaten. Kekuasaan ini meliputi penganggaran, perencanaan dan pengembangan pilihan-pilihan strategis efektif yang harus diterjemahkan kedalam rencana kerja tahunan, serta penyusunan dan pengesahan kerangka regulasi pendukung untuk mendukung implementasi kebijakan, program dan aksi, dan pemberian pelayanan. Munculnya provinsi, kabupaten dan kotamadya baru secara terus-menerus menambah tekanan terhadap keterbatasan sumberdaya dan hanya beberapa kabupaten baru tersebut yang sepenuhnya mampu atau siap untuk secara efektif menghadapi kompleksitas dan tuntutan tata kelola pemerintahan kabupaten/kota. Keadaan ini menimbulkan pengaruh negatif terhadap kualitas perencanaan dan pemberian pelayanan.

2.4.     Pengetahuan dan Kapasitas
Beberapa studi yang mengkaji dampak desentralisasi (misalnya analisa lanskap WHO) menunjukkan bahwa desentralisasi kewenangan memerlukan dukungan terus-menerus untuk memenuhi kewajiban dan tanggungjawab mereka dengan baik. Sejumlah kelemahan kapasitas dan pengetahuan teknis harus ditangani, termasuk:
Ø Akses ke informasi terkini tentang perkembangan hukum nasional, peraturan dan pedoman.
Ø Diseminasi atau pengarusutamaan pedoman, program dan rencana.
Ø Interpretasi instrumen/strategi/program nasional sehingga instrumen/strategi/program tersebut dapat diterapkan pada konteks lokal.
Ø Penciptaan lingkungan peraturan daerah yang memungkinkan, misalnya penyusunan peraturan daerah penyusunan pedoman.
Ø Pengembangan kapasitas
Ø Penggunaan dan pengelolaan data.
Ø Penciptaan kesadaran masyarakat tentang isu-isu penting dan dorongan perubahan perilaku.

Kesenjangan pengetahuan sebagian mencerminkan beberapa isu yang berhubungan dengan kemampuan teknis sumberdaya manusia, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dimensi lebih lanjut berhubungan dengan data dan pemantauan. Kesenjangan pengetahuan, kapasitas dan data dalam beberapa tingkat kabupaten dapat saling memperkuat dan berkontribusi untuk menciptakan sinergi negatif yang mengganggu tata kelola pemerintahan yang efektif.
Program ASIA dan studi investasi kasus memberikan contoh pendekatan inovatif pada pengembangan kapasitas dan bantuan teknis. Sebagai pengganti pendekatan ruang kelas yang difokuskan pada pelajaran teori khusus yang dipisahkan dari kebutuhan dan realitas konteks lokal, program-program ini telah mengintegrasikan pelatihan dan bantuan teknis sebagai bagian dari serangkaian kegiatan yang lebih luas dengan orientasi pada hasil praktis dan penyelesaian masalah. Ini merupakan pendekatan yang efektif pada bantuan teknis dan pengembangan kapasitas, meskipun ada resiko tinggi bahwa dampak positif akan menurun karena tingginya tingkat pergantian personil diseluruh kabupaten. Peningkatan pendekatan substantif dan holistik pada pengembangan kapasitas ditingkat kabupaten seperti pendekatan yang diadopsi oleh studi kasus investasi dan ASIA perlu dilakukan secara lebih sistematis.

2.5.     Partisipasi dan Perencanaan Pembangunan
Desentralisasi tata kelola pemerintahan memperkenalkan pendekatan baru pada perencanaan pembangunan termasuk kontribusi dari bawah ke atas (bottom up) maupun dari atas ke bawah (top down) untuk melakukan rekonsiliasi dan melengkapi satu sama lain. Akan tetapi, dimensi partisipatif perencanaan pembangunan dalam konteks desentralisasi tetap terbatas. Musrenbang harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada segenap lapisan masyarakat untuk berpartisipasi menentukan perencanaan pembangunan dengan menekankan persoalan, kebutuhan dan prioritas, tetapi Musrenbang tersebut jarang melakukannya. 
Pemerintah daerah harus memperkuat partisipasi secara efektif. Hal ini sangat penting untuk memprioritaskan dampak kebutuhan, prioritas, ide, dan inovasi dari proses musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) ditingkat desa dan kecamatan (untuk perencanaan pembangunan tingkat kabupaten) dan tingkat kecamatan (untuk perencanaan pembangunan tingkat provinsi). Penguatan Musrenbang harus meliputi pemberian bantuan teknis dan pengembangan kapasitas yang tepat kepada pemerintah kabupaten dan provinsi untuk menerjemahkan proses dan prioritas kedalam perencanaan pembangunan, khususnya perumusan rencana strategis (Renstra) kabupaten, peraturan daerah (Perda), kebijakan, anggaran, dan rencana kerja tahunan sektoral/unit dan pedoman tentang pemberian pelayanan.

2.6.     Koordinasi dan Harmonisasi
Otonomi kabupaten/kota yang lebih besar, untuk memaksimalkan kesesuaian antara konteks lokal dan pemerintah, merupakan salah satu ciri penting proses desentralisasi. Akan tetapi, di Indonesia, dua isu telah muncul: koordinasi diantara tingkat-tingkat pemerintahan yang berbeda dan harmonisasi dimana kabupaten/kota beroperasi dengan sejumlah aturan dan peraturan yang berbeda. Tidak adanya mekanisme insentif atau disinsentif untuk memastikan kepatuhan ditingkat kabupaten merupakan hambatan terhadap koordinasi. Undang-undang dan kerangka hukum, yang saling bertentangan harus disesuaikan. Kerjasama dan koordinasi antar lembaga yang berhubungan dengan isu-isu, yang cenderung tersebar diantara sejumlah besar pemangku kepentingan, perlu ditingkatkan. Selain kepemimpinan yang kuat dan komitmen pengemban tugas diberbagai tingkat, pembentukan kelompok kerja multi sektoral, komisi atau satuan tugas memainkan peran positif. Lembaga-lembaga tersebut sebaiknya berasal dari organisasi masyarakat sipil, praktisi dan pemangku kepentingan lainnya. Satuan tugas lokal harus mendapatkan dukungan yang tepat, memperoleh dana yang memadai, dan memiliki mandat yang kuat dan jangka waktu yang layak.

3.          MENGAPA DESENTRALIASI DAN TATA PEMERINTAHAN LOKAL?
Latar belakang dan asal muasal reformasi desentralisasi adalah tidak berfungsi dan gagalnya sistem pembuatan keputusan yang sentralistis dimana pemerintah pusat tidak dapat menyediakan solusi-solusi bagi tiap-tiap komunitas di tiap-tiap lokalitas yang beragam. Dalam hal ini reformasi desentralisasi mempunyai fokus pada perbedaan lokalitas dan mencoba mengembangkan kapasitas pemerintah daerah dalam memecahkan masalah-masalah ditingkat lokal. Selain itu adalah tidak efisiennya konsumsi sumberdaya lokal. Sistem alokasi yang tersentralisasi telah gagal dalam memberikan hasil yang efisien dan efektif dalam hal pengeluaran pemerintah pusat dan daerah, contohnya adalah sistem alokasi penerimaan pajak. Pajak yang ditarik secara terpusat oleh pemerintah pusat dan sistem konsumsi sumberdaya lokal merupakan sistem yang sangat menguntungkan bagi pemerintah pusat untuk mengontrol pengeluaran lokal dan pembuatan kebijakan di daerah. Tidak mengherankan apabila pada masa orde baru, salah satu mekanisme sentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat berpusat pada pengontrolan alokasi dana untuk pembangunan daerah.
Namun demikian, sistem tersebut dapat merusak hubungan antara penerimaan dan pengeluaraan didaerah dan masyarakat lokal tidak dapat mengawasi dan mengontrol keuangan pemerintah daerahnya masing-masing. Ketika masyarakat lokal cenderung untuk meminta banyak dari pemerintah daerah sehubungan dengan pelayanan publik dan lain sebagainya tanpa kesadaran akan biaya yang akan dikeluarkan oleh pemerintah daerah, tingkat kepuasan masyarakat akan aktivitas pemerintah daerah akan semakin berkurang seiring ketidakmampuan pemerintah daerah membiayai pelayanan publik yang diinginkan oleh masyarakat lokal. Hasilnya adalah kegagalan dalam alokasi sumberdaya lokal bagi masyarakat lokal itu sendiri. Yang terakhir adalah kematangan sistem pemerintahan daerah dan masyarakat sipil didaerah. Disetiap daerah, dengan adanya tradisi mengenai tata pemerintahan lokal, pemerintah daerah dan masyarakat lokal memiliki pengalaman akan praktik tata pemerintahan yang baik seseuai dengan kondisi khusus masing-masing. Sangatlah wajar jika kemudian tiap daerah telah mempunyai modal yang cukup mengenai pelaksanaan dan strategi tata pemerintahan lokal untuk kemudian memperkaya konsep otonomi daerah[20].
Jalan yang terbaik untuk meminimalisasi persoalan yang diakibatkan gagalnya sistem yang tersentraliasi adalah reformasi desentralisasi. Dengan diberlakukannya UU No.22/1999 dan amandemennya UU No.32/2004 Indonesia memasuki tahapan baru kepemerintahan. Desentralisasi dan otonomi diharapkan menjadi solusi yang tepat untuk berbagai persoalan yang ada di daerah. Asumsi dasar desentralisasi yaitu mendekatkan pelayanan dengan rakyat. Dengan sistem desentralisasi, pelayanan publik menjadi mudah direalisasikan mengingat adanya kedekatan antara penyedia layanan dan pengguna layanan. Terlebih lagi mengingat bentuk negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang sulit dijangkau dan setiap wilayah memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya. Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.

3.1.      Perubahan Tata Pemerintahan
Tata pemerintahan yang baik mengacu pada konsep sebagaimana yang sering ditekankan oleh World Bank selama dua dekade belakangan ini. Untuk mencapai tata pemerintahan lokal yang baik, terdapat beberapa prinsip utama yang harus diperhatikan.
1.     Penciptaan demokrasi lokal adalah yang utama dimana dalam hal ini mencakup lembaga Perwakilan lokal yang dipilih oleh masyarakat lokal, hak pilih bagi masyarakat lokal, partisipasi publik, dan lainnya.
2.     Efisiensi dan efektifitas dari pemerintah daerah.
3.     Prinsip rule of law termasuk di dalamnya due process of law dan prinsip keadilan.
4.     Pemberantasan korupsi.

Di era desentralisasi, tata pemerintahan yang baik adalah standar minimum bagi pemerintah daerah. Selain itu, tata pemerintahan lokal yang menjalankan desentralisasi membutuhkan lebih banyak kapasitas dan kapabilitas karena tata pemerintah lokal dalam bentuk ini mempunyai kewenangan dan sumber daya yang besar dan untuk memberdayakan kewenangan dan sumber daya tersebut dibutuhkan kapasitas dan kapabilitas reformasi Untuk itu diperlukan pembangunan dan reformasi dalam pemerintahan lokal dan masyarakat lokal. Pemerintah daerah sendiri akan sulit untuk mereformasi dirinya sendiri, sementara itu pembangunan masyarakat lokal sendiri sangat sulit dicapai jika hanya mengandalkan usaha sendiri-sendiri, oleh karena itulah diperlukan suatu hubungan saling membangun antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam penciptaan tata pemerintahan lokal yang baik.
Tata pemerintahan lokal mempunyai tahapan perubahan selayaknya evolusi dalam tiga tingkatan yaitu tata pemerintahan lokal responsif, kemudian berevolusi menjadi tata pemerintahan network, dan tahapan terakhir adalah tata pemerintahan lokal kemitraan. Lebih lanjut Nikawa (2006) menjelaskan[21]:

“The responsive local governance means the good governance of local government. Responsive local governance ought to carry out its duty of responsibility and accountability for local people, and provide the chance of citizen participation. While citizen participation is increasing, local governance begins to change to the network governance. The network governance is composed of the cooperation and responsiveness of local actors. Local actors are mutually networked and exchange their information among them. The community action group, private company, and NGOs are the actors. Also there is networking among local government and many local actors, which operate to organize the network issue and then policy network in specialized areas. This network functions in the participative decision-making process of local government, which attain more effective and efficient policy outcome. In the network governance, the actors learn and grow in the governance partnership, providing that the local people acquire maturity as an owner and user of power and control in locality, is characterized by the equal partnership between local actors and government, the cooperation of provision of public services among them, and the effective and efficient use of local resources though this cooperation. The governance partnership will keep and secure the sustainability of community.



3.2.     Reformasi Pemerintah Daerah.
Dalam menuju tata pemerintahan lokal, pemerintah daerah dan masyarakat lokal harus mengubah dirinya sendiri. Pemerintah daerah merupakan elemen penting dalam kehidupan masyarakat terutama pada era desentralisasi dan harus di tranformasikan untuk mencapai tata pemerintahan lokal yang sesuai dengan tuntutan desentralisasi. Untuk mencapai tata pemerintahan lokal oleh pemerintah daerah, harus terdapat pengembangan kapasitas pemerintah daerah yang mencakup reformasi pemerintah daerah, peningkatan kemampuan organisasional dalam perumusan pengambilan kebijakan dan pelayanan publik, kondisi finansial pemerintah daerah yang stabil dan baik, dan pembangunan kapasitas dari pegawai negeri daerah. Reformasi pemerintah daerah dalam beberapa hal mengadopsi beberapa langkah berikut yaitu pemangkasan biaya, restrukturisasi, privatisasi, indikator pelaksanaan tugas, dan evaluasi kebijakan. Dalam reformasi demikian, elemen yang harus diperhatikan adalah pegawai negeri daerah dan masyarakat lokal. Pengembangan kapasitas dua element tersebut sangat menentukan dalam berfungsinya tata pemerintahan lokal. Demi mencapai pengembangan kapasitas mereka, harus diberikan kesempatan untuk berpastisipasi dalam skema kemitraan di tata pemerintahan lokal. 
Sebagai wahana perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan suatu bangsa dalam bernegara, pengembangan sistem administrasi negara termasuk birokrasi didalamnya senantiasa didasarkan pada konstitusi negara bangsa bersangkutan. Demikian pula Indonesia. Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, didasarkan pada dan merupakan penjabaran dari UUD 1945. Seluruhnya itu mengandung makna, nilai, dan prinsip masyarakat madani dan kepemerintahan yang baik. Hal ini tak boleh diabaikan lagi dalam pengembangan sistem dan proses pemerintahan dan pembangunan bangsa dewasa ini dan dimasa datang, apabila generasi ini dan generasi-generasi mendatang benar-benar ingin membangun Indonesia seperti yang dideklarasikan, Indonesia yang dicitakan, sosok Indonesia yang diamanatkan.
Abad 21 menghadapkan lingkungan strategis nasional dan internasional yang berbeda dengan tantangan strategis yang dihadapi  pada Abad  20. Di akhir Abad 20 dan dalam dekade-dekade awal Abad 21, Indonesia menghadapi tantangan-tantangan berat di segala bidang; krisis multi dimensi, ancaman desintegrasi, dan keterpurukan ekonomi. Indikator-indikator pembangunan menunjukan bahwa posisi Indonesia berada dalam kelompok terendah dalam peta kemajuan pembangunan bangsa-bangsa, baik dilihat dari indeks pembangunan manusia, ketahanan ekonomi, struktur industri, perkembangan pertanian, sistem hukum dan peradilan, penyelenggaraan clean government, dan penyelenggaraan good governance baik pada sektor publik maupun bisnis.  Selain itu Indonesia masih dipandang sebagai negara dengan resiko tinggi dengan tingkat korupsi termasuk tertinggi, demikian pula dari besarnya hutang luar negeri. Dan perkembangan politik di Indonesia yang ditandai dengan kekasaran politik dan jumlah partai politik terbesar di dunia, menunjukan kultur politik dan kehidupan demokrasi yang belum mantap, merupakan fenomena yang memerlukan perhatian sungguh-sungguh dari setiap pemimpin bangsa. Pembangunan Masyarakat Madani merupakan opsi dari ketidak pastian paradigma yang ditempuh bangsa Indonesia dalam menghadapi permasalahan-perma-salahan besar dan mendasar yang dihadapinya di Abad 21 ini. Bangsa yang menderita krisis multi dimensi berkepanjangan sejak tahun-tahun terakhir Abad 20 dengan berbagai dampaknya yang luas dalam kehidupan masyarakat, memerlukan kejelasan, konsensus, dan komitmen bersama mengenai paradigma, sistem, dan strategi yang harus ditempuh dalam menghadapinya, dalam menghadapi krisis multi dimensi, tantangan pemulihan ekonomi, dan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bangsa dewasa ini dan di masa datang.
Masyarakat madani sebagai “paradigma dan sistem peradaban” yang memberi ruang secara seimbang kepada masyarakat dan pemerintah dalam kehidupan bernegara, telah menarik cukup perhatian sebagai opsi pendekatan dalam menghadapi permasalahan bangsa tersebut, dalam diskursus mengenai resolusi permasalahan sistem penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa dalam negara hukum yang demokratis.
Optimalisasi SDM dalam memperkuat system organisasi berbasis kinerja, mengindikasikan pandang (1) birokrasi disadari merupakan kunci bagi terselenggaranya good governance (2) Good governance merupakan salah satu pilar pendukung masyarakat madani disamping dua lainnya, yaitu masyarakat (society) dan dunia usaha (business sector); dan (3) Good governance dan masyarakat madani merupakan dua sisi dari suatu mata uang yang akan utuh nilainya apabila tidak dipecah, bahkan nilainya akan semakin tinggi apabila keduanya dikembangkan saling mengisi dan memperkuat. Adapun nilai-nilai dan prinsip dasar yang menandai masyarakat madani, antara lain adalah “ketuhanan, kemerdekaan, etika, hak asasi dan martabat manusia, supremasi hukum, kebangsaan, demokrasi, sistem checks and balances, kemajemukan, perbedaan pendapat, kebersamaan, persatuan dan kesatuan, kemitraan, kesejahteraan bersama, dan keadilan”. Sedangkan nilai dan prinsip dasar yang menandai GG secara universal antara lain adalah “kepastian hukum, transparansi, partisipasi, profesionalitas, dan pertanggung jawaban (akuntabilitas)”; yang dalam konteks nasional perlu ditambahkan dengan nilai dan prinsip “daya guna, hasil guna, bersih (clean government), desentralisasi, kebijakan yang serasi dan tepat, serta daya saing.
Secara konseptual masyarakat madani dan good governace merupakan paradigma dan sistem peradaban yang luhur dalam penyelenggaraan negara, dan untuk mewujudkannya sebagai sistem penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan bangsa, diperlukan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh setiap unsur penyelenggara negara, baik warga negara maupun aparatur pemerintahan negara, atau oleh keseluruhan pilar pendukung masyarakat madani dan  good governance yaitu “masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha”. Persyaratan tersebut pada essensinya adalah konsensus, kompetensi, komitmen dan konsistensi dalam mewujudkan dan memelihara nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan individu dan kehidupan bersama, dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang didasarkan pada keimanan dan ketaqwaan. Dalam kajian penginstitusionalisasian paradigma good governance tersebut khususnya dalam Manajemen Pemerintahan. Sebagai wahana perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan suatu bangsa dalam bernegara, pengembangan setiap sistem administrasi negara didasarkan pada konstitusi negara bangsa bersangkutan. Administration” yang sangat mendasar. Makna spiritual dalam konteks Indonesia ini mengandung makna “psiko religius dan kultural” yang kental dengan dimensi ketuhanan dan pengakuan bangsa Indonesia akan keberadaan dan peran Allah Yang Maha Kuasa dalam perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan luhur bangsa dan negara, yang sepenuhnya merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan yang fitri atau murni dan universal.
Good governance sebagai paradigma dan alternatif pendekatan untuk menata ulang sistem penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, mendeterminasikan keimanan, ketaqwaan, dan keseimbangan posisi dan peran pemerintah dan masyarakat, serta konsisten penegakan hukum, penerapan prinsip dan sendi-sendi kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara, menghormati oposisi dan perbedaan pendapat, serta menjunjung tinggi HAM dan hak-hak warga negara seluruh lapisan masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.  Sebagai sistem organisasi dan manajemen pemerintahan, diharapkan tampil dengan susunan organisasi pemerintahan yang sederhana, agenda kebijakan yang tepat, pembagian tugas kelembagaan yang jelas, kewenangan yang seimbang, personnel yang professional, prosedur pelayanaan publik yang efisien, kelembagaan pengawasan yang mantap, dan sistem pertanggung jawaban yang tegas. Sedangkan manajemen pemerintahan harus dapat secara sistematis mengembangkan dan menerapkan nilai dan prinsip good governance, serta memiliki visi, misi, strategi, dan kebijakan yang tepat dalam menghadapi berbagai permasalahan bangsa.
Dalam pada itu, “SDM didalam organisasi pemerintahan”, baik para birokrat karier mau pun political appointees, diharapkan menjiwai perannya dalam mengemban “misi perjuangan bangsa”, dan mampu melaksanakan tugasnya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara yang bertanggung jawab, bijak, efektif, efisien, adil, dan santun, baik dalam memberikan  pelayanan kepada masyarakat secara langsung, maupun dalam “pengelolaan berbagai kebijakan” dalam menghadapi permasalahan bangsa dan dalam perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa bernegara. Sejalan dengan itu, setiap warga negara dan masyarakat pun diharapkan lebih menyadari hak, kewajiban, dan tanggungjawabnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bersama dalam bernegara. Dengan demikian, reformasi sistem birokrasi dalam rangka perwujudan good governance harus menyentuh keseluruhan pilar pendukungnya dan secara substansial meliputi unsur “organisasi, manajemen, dan sumber daya manusia” yang didasarkan dan terarah.
Dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa kita, semua itu merupakan manifestasi dari dimensi-dimensi spiritual yang harus diamalkan secara konsisten dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa baik oleh aparatur negara mau pun warga masyarakat bangsa. Dalam pembangunan birokrasi, fungsi dari nilai-nilai tersebut adalah menjadi pedoman perilaku dalam bersikap, berpikir, dan bertindak, baik secara individual maupun secara institusional, yang dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi kepemerintahan dapat dijabarkan antara lain dalam format “pengelolaan pelayanan dan kebijakan prima” (excellent management of public services and policies) yang memungkinkan karya dan kinerja keseluruhan pilar dan unsur mencapai tingkat optimalitas sosial.
Permasalahan “birokrasi” (“kantor penyelenggara kewenangan tugas kepemerintahan”) yang mengemuka dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa dewasa ini antaranya adalah “tatanan organisasi dan manajemen pemerintah pusat yang belum mantap, desentralisasi yang menyulitkan koordinasi, format perangkat pemerintahan di daerah yang duplikatif, kompetensi aparatur yang memperihatinkan, dan agenda kebijakan yang tidak efektif dalam menghadapi permasalahan dan tantangan pembangunan bangsa”. Semua itu mengindikasikan diperlukannya suatu “grand strategy” dalam penataan birokrasi secara sistemik, yang mempertimbangkan bukan saja keseluruhan kondisi internal birokrasi tetapi juga permasalahan dan tantangan strategik yang dihadapkan lingkungannya.
Birokrasi Pemerintah Pusat dan Daerah (”organisasi dan manajemen, dan SDMnya”) perlu memiliki visi, misi, strategi, agenda kebijakan, kompetensi, dan komitmen pembangunan dan pelayanan yang jelas dilandasi dimensi-dimensi spiritual dan tegas terfokus pada permasalahan yang mendesak perlu di atasi, dan terarah pada perwujudan cita-cita dan tujuan bangsa bernegara, disertai kompetensi dan komitmen yang kuat dalam keseluruhan tatanan organisasinya yang tersusun secara tepat disertai pelimpahan kewenangan yang seimbang, pemerintah akan dapat mencapai kinerja yang optimal dalam menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa. Penataan Organisasi dan Tata Kerja. Penataan organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah didasarkan pada visi, misi, sasaran, strategi, agenda kebijakan, program, dan kinerja kegiatan yang terencana; dan diarahkan pada terbangunnya sosok birokrasi yang ramping, desentralistik, efisien, efektif, berpertanggung jawaban,  terbuka, dan aksesif; serta terjalin dengan jelas satu sama lain sebagai satu kesatuan birokrasi nasional.
Pemantapan Sistem Manajemen. Dengan makin meningkatnya dinamika masyarakat dalam penyelengaraan negara dan pembangunan bangsa, pengembangan sistem manajemen pemerintahan diprioritaskan pada revitalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik yang kondusif, akuntabel, pemberdayaan, `partisipasi, kemitraan, desentralisasi, transparansi, konsistensi kebijakan, kepastian hukum. Peran birokrasi lebih difokuskan sebagai agen pembaharuan, sebagai motivator dan fasilitator bagi tumbuh dan berkembangnya swakarsa dan swadaya serta meningkatnya kompetensi masyarakat dan dunia usaha. Dalam rangka peningkatan kehidupan demokrasi, pemberdayaan, perluasan partisipasi, peningkatan pembangunan daerah dan pemberian pelayanan guna meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di daerah, sekaligus juga terpeliharanya kesatuan dan persatuan bangsa, negara, dan tanah air, diperlukan pengembangan sistem dan kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah yang mantap, berfokus pada desentralisasi kewenangan tertentu dalam pengelolaan kebijakan dan penyelenggaraan tugas pelayanan pemerintah kepada masyarakat, berdasarkan pedoman berisikan norma, standar, dan prosedur nasional.
Pedoman nasional dalam pengelolaan kebijakan yang berorietasi pada meningkatnya kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah tersebut harus dapat memperlancar aparatur daerah dalam melakukan pengelolaan kebijakan dan pelayanan prima kepada masyarakat didaerah. Pemberdayaan masyarakat menyentuh nilai-nilai kemanusian dan pengakuan terhadap hak dan kewajiban masyarakat dalam negara hukum yang demokratis. Hidupnya demokrasi dalam suatu negara bangsa, dicerminkan oleh adanya pengakuan dan penghormatan negara atas hak dan kewajiban warga negara, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan mengekspresikan diri secara rasional sebagai wujud rasa tanggungjawabnya dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, serta terbukanya peluang untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembangunan.
Upaya pemberdayaan masyarakat memerlukan semangat untuk melayani masyarakat ("a spirit to servef public"), dan menjadi mitra masyarakat ("partner of society"); atau melakukan kerja sama dengan masyarakat ("co production"). Dalam pada itu pelayanan mempunyai makna pengabdian atau pengelolaan pemberian bantuan  yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang". Makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan pemerintahan negara, yang esensinya "melayani publik", harus benar-benar dihayati para penyelenggara pemerintahan negara. Desentralisasi merupakan wujud nyata pelaksanaan otonomi daerah. Perbedaan perkembangan antar daerah mempunyai implikasi yang berbeda pada macam dan intensitas peranan pemerintah, namun pada umumnya masyarakat dan dunia usaha memerlukan (a) desentralisasi dalam pemberian perizinan, dan efisiensi pelayanan birokrasi bagi kegiatan-kegiatan dunia usaha dibidang sosial ekonomi, (b) penyesuaian kebijakan pajak dan perkreditan yang lebih nyata bagi pembangunan dikawasan-kawasan tertinggal, dan sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah yang sesuai dengan kontribusi dan potensi pembangunan daerah, serta (c) ketersediaan dan kemudahan mendapatkan informasi mengenai potensi dan peluang bisnis di daerah dan di wilayah lainnya kepada daerah di dalam upaya peningkatan pembangunan daerah.
Dalam era globalisasi, dalam ekonomi yang makin terbuka, meskipun untuk meningkatkan efisiensi perekonomian harus makin diarahkan kepada ekonomi pasar, namun intervensi pemerintah harus menjamin bahwa persaingan berjalan dengan berimbang, dan pemerataan terpelihara. Yang terutama harus dicegah terjadinya proses kesenjangan yang makin melebar, karena kesempatan yang muncul dari ekonomi yang terbuka hanya dapat dimanfaatkan oleh wilayah, sektor, atau golongan ekonomi yang lebih maju. Peranan pemerintah makin dituntut untuk lebih dicurahkan pada upaya pemerataan dan pemberdayaan. Penyelenggara pemerintahan negara harus mempunyai komitmen yang kuat kepada kepentingan rakyat, kepada cita-cita keadilan sosial. Untuk itu, keserasian dan keterpaduan antar berbagai kebijaksanaan pembangunan harus diupayakan baik pada tingkat nasional maupun daerah. Pengentasan kemiskinan, kesenjangan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia pembangunan, dan pemeliharaan prasarana dasar, serta peningkatan kuantitas, kualitas, dan diversifikasi produksi yang berorientasi ekspor ataupun yang dapat mengurangi impor harus pula dijadikan prioritas dalam agenda kebijakan pembangunan nasional dan daerah. Pemerintah melalui berbagai perangkat kebijakan makro ekonomi yang tepat, dan berbagai kebijakan lainnya di sektor riil, disertai pembenahan kelembagaan yang mantap akan dapat mendorong peningkatan efisiensi, produktivitas, pemerataan alokasi dan pemanfaatan sumber daya ekonomi. Skim ini menjadi sangat penting untuk digalakkan, sebab agaknya bangsa ini tidak dapat mengatasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi dewasa ini dan dimasa datang dengan paradigma pembangunan lama yang berorientasi pada ketergantungan.
Desentralisasi merupakan inti otonomi daerah yang pada dasarnya dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan prakarsa masyarakat dalam pembangunan daerah. Sehubungan dengan itu, peletakan Otonomi Daerah pada Kabupaten/Kotamadya merupakan pilihan yang tepat. Otonomi Daerah harus lebih memungkinkan semakin tumbuhnya pemerintahan dan masyarakat daerah dalam mendorong bertumbuh kembangnya potensi sosial dan ekonomi daerah. Sebab itu desentralisasi. Perubahan dan peningkatan kualitas kelembagaan pada birokrasi pemerintah tersebut diatas perlu diikuti pula dengan semangat dan kualitas perubahan serupa pada lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat, sehingga sistem dan dinamika kelembagaan secara keseluruhan terarah pada perwujudan masyarakat madani.
Perjuangan memerlukan dukungan sistem kelembagaan yang sesuai, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun pemerintahan. Sistem kelembagaan tersebut harus dapat menjamin terpeliharanya komitmen dan konsistensi antar perilaku (sikap, kebijakan, kegiatan, tindakan) setiap warga bangsa dan aparatur negara atau pun pemerintah dan masyarakat dengan nilai-nilai masayarakat madani dapat berlangsung secara harmonis, berkelanjutan, dan mencapai kinerja yang optimal dalam setiap dan seluruh tahapannya. Sementara itu, untuk mengaktualisasikan potensi masyarakat, dan untuk mengatasi berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi bangsa, perlu dijamin berkembangnya kreativitas dan oto-aktivitas masyarakat bangsa yang terarah pada pemberdayaan, peningkatan kesejahteraan masyarakat serta ketahanan dan daya saing perekonomian bangsa.
Perubahan paradigmatik yang berorientasi pada perwujudan masyarakat madani dan good governace tersebut perlu dilakukan sebagai koreksi terhadap kekeliruan masa lalu, yang secara umum berpangkal pada kurangnya konsistensi dalam memelihara dan menegakkan prinsip dan semangat yang telah disepakati bersama dalam ”negara hukum yang demokratis”, sehingga melahirkan ketidakseimbangan antara posisi dan peran pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Krisis peradaban yang berkembang selama Abad 20, mencapai puncaknya pada awal Abad 21 dewasa ini, ditandai dengan terorisme dan anti terorisme dalam kehidupan global, yang pada hakekatnya keduanya merupakan tuntutan terhadap tegaknya nilai-nilai peradaban yang luhur dalam kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa.

3.3.     Dampak Desentralisasi
a.      Dampak Positif
Dengan luasnya kewenangan bagi daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, daerah dapat lebih leluasa untuk meraih kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan.
ü Dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang relatif lebih maju dibandingkan masa lalu, Daerah memiliki sumber dana yang relatif memadai untuk membuat masyarakat sejahtera. Masalahnya lebih terletak pada cara untuk mengalokasikan dana yang ada (manajemen pengeluaran). Selama ini pemerintah daerah lebih banyak menaruh perhatian pada manajemen penerimaan. 
ü Muncul pusat-pusat pertumbuhan baru;
ü Muncul kebanggaan kedaerahan;
ü Terpenuhinya sebagian kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, penciptaan lapangan pekerjaan, fasilitas umum dsb.
ü Terbangunnya secara bertahap sumberdaya manusia daerah yang berkualitas.

b.     Dampak Negatif
ü Pengurasan sumber daya alam dan sumber potensi masyarakat untuk mengejar pertumbuhan dan kemajuan;
ü Konflik kepentingan antar daerah;
ü Pembangunan berorientasi kepentingan jangka pendek dan berskala lokal;
ü Dominasi pertimbangan politik;
ü Kesenjangan antardaerah dan antarmasyarakat;
ü Kerusakan lingkungan yang berdampak pada timbulnya bencana alam dan munculnya varian penyakit baru.
ü Hilangnya flora dan fauna khas, yang dapat menjadi sumberdaya alam terbarukan.
ü Erosi wawasan kebangsaaan.
ü Muncul penyakit moral yang baru yakni pemborosan

3.4.     Sejarah Dasar Lahirnya Otonomi Khusus Papua
Sejarah lahirnya UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua disebabkan oleh desakan rakyat Papua dengan tuntutan Papua Merdeka mulai 1998-2000. Aspirasi ini muncul dikarenakan 3 penyebab utama yakni pertama, Persolan sejarah integrasi politik Papua, kedua, Telah terjadinya berbagai kekerasan Negara dan pelanggran HAM terhadap rakyat Papua dan ketiga, Kegagalan pembangunan dalam bidang Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi dan Infrasktruktur. Masyarakat Papua menyampaikan tuntutan Merdeka tersebut melalui aksi damai kemudian memuncak pada tahun 1999 dengan tatap muka 100 orang wakil Papua dengan Presiden B.J. Habibie di Istana Negara untuk memyampaikan Papua ingin keluar dari Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selanjutnya masyarakat Papua mengungkapkannya melalui Kongres Papua II pada tahun 2000.[22]
Sebagai jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat Papua tersebut Pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri mengeluarkan UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua sebagai kebijkan Nasional[23]. Kebijakan otonomi khusus merupakan jawaban pemerintah untuk meredusir berbagi persoalan yang muncul sejak bergabungnya Provinsi Papua dalan NKRI beserta dinamika sosial dan politik termasuk tuntutan untuk melepaskan diri dari NKRI yang sering diketahui sebagai gerakan Papua Merdeka. Semangat dasar penawaran Otonomi Khusus Papua oleh pemerintah pusat kepada rakyat Papua adalah meningkatkan kesejahteraan orang asli papua (dalam segala segi pembangunan) agar meminimalisir aspirasi politik orang Papua untuk keluar dari NKRI dan aspirasi pelanggaran (berat) HAM Papua selama 40-an tahun ini. Berdasarkan semangat itu, Otonomi Khusus Indentik dengan penyerahan semua kekuasaan pemerintahan, kecuali 5 bidang pemerintahan menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat (Pasal 4 ayat (1), UU No.21 Tahun 2001). Maka program pokok dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua adalah pemerintah Provinsi harus mengambil kebijakan :

1.     Kebijakan dan aksi keberpihakan (affirmative policy and action) terhadap orang asli papua.
2.     Kebijakan dan aksi perlindungan (protetive policy and action) terhadap orang asli papua.
3.     Kebijkan dan aksi pemberdayaan (empowermental policy and action) terhadap orang asli papua.
Inti dari ketiga bidang kebijakan tersebut adalah penetapan perdasus dan perdasi substansial untuk keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan terhadap orang asli papua.

3.5.     Potret Otsus Papua
Melalui UU Otsus Papua, pemerintah mendelegasikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah disertai kucuran dana yang juga sangat besar. Dana puluhan triliun rupiah ini di luar dana lain seperti APBD dan dekonsentrasi. Pemerintah juga baru saja mencanangkan kebijakan khusus untuk Papua melalui dua peraturan presiden (perpres) yang ditandatangani 20 September 2011. Pertama, Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua, Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Perpres itu dilengkapi dokumen rinci berjudul Rencana Aksi yang Bersifat Cepat Terwujud Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2012.
Pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), hingga 1 Januari 2011 telah memasuki tahun ke sepuluh. Jika diteropong sedikit kebelakang, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang kini menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Khusus Papua ini, ditetapkan oleh DPR RI pada 22 Oktober 2001. Kemudian oleh Presiden Megawati, UU tersebut disahkan 21 November 2001 dan dinyatakan berlaku mulai 1 Januari 2002. Secara umum, status Otonomi Khusus bagi Tanah Papua akan melekat selama 25 tahun ke depan, yakni hingga tahun 2026. Yang tertuang dalam bukunya, “Otonomi Khusus Papua mengangkat martabat orang asli papua dalam NKRI.” Filosofi dasar itulah yang telah menjadi amanat pemberlakuan Otonomi Khusus bagi wilayah yang bergabung ke dalam NKRI sejak 1 Mei 1963 silam. “Sejatinya Otsus juga menjadi suatu formula politik yang mujarab untuk meredam keluhan pembangunan dan tuntutan merdeka yang terus disuarakan orang Papua,” berharap lewat Otonomi Khusus Papua pula, ada harapan untuk membangun masa depan Papua dalam bingkai NKRI.
Dengan begitu, sejumlah aktivis Papua di luar negeri yang saat ini tidak setuju soal bergabungnya Tanah Papua ke dalam NKRI bisa kembali ke kampung halamannya untuk membangun Papua. Memang secara kasat mata, realita sepuluh tahun pelaksanaan Otonomi Khusus Papua yang kini mencakup dua provinsi bersaudara Papua dan Papua Barat, telah menunjukan adanya trend pembangunan yang kian pesat. Hanya saja, sejumlah pihak di Papua menilai pembangunan itu masih lebih sebatas aspek fisik semata. Ada kesan, proses pembangunan belum sepenuhnya menempatkan orang asli papua sebagai pelaku utama. Meski begitu, pembangunan yang telah terekam dalam beberapa tahun terakhir ini patut diapresiasi. Misalnya, sebagian besar daratan Tanah Papua yang sejak lama terisolasi oleh tutupan hutan-hutan belantara, gunung-gunung terjal, sungai-sungai besar dan laut, umumnya sudah bisa dijejali karena cukup tersedia berbagai infrastruktur perhubungan, telekomunikasi dan informasi. Kampung-kampung yang dulunya hanya bisa ditempuh dengan mengandalkan kemampuan otot kaki untuk berjalan berhari-hari atau kuatnya tangan mendayung perahu bermil-mil, kini sudah bisa diganti dengan akses transportasi jalan darat, perahu bermotor, kapal laut atau pesawat terbang.
Kebijakan desentralisasi (Otonomi Khusus) yang diterapkan di Papua, menurut Kausar (2006:2) merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang “asimetris”. Artinya, kebijakan desentralisasi yang diterapkan di papua tidaklah simetris dengan desentralisasi di provinsi lainnya di Indonesia. Pendekatan asimetris dilakukan untuk mengakomodasikan   perbedaan yang tajam antara Papua dengan daerah lainnya. Dengan pendekatan kebijakan itu, kekhususan daerah dapat diakomodasikan tanpa harus menciptakan separatisme dalam bentuk pemisahan diri dari negara induk. Dengan demikian,  pendekatan desentralisasi di Papua pada hakikatnya tetap dimaksudkan untuk mencapai tujuan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri.

4.          PEMBAHASAN
Klaim moral pertama dari dasar keberadaan negara adalah kesanggupannya melindungi warga dari mara bahaya (harm). Jika gagal memenuhi hal itu, negara tersebut kehilangan legitimasinya. Peristiwa demi peristiwa kekerasan yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini memperlihatkan sistuasi negara tidak saja gagal melindungi melindungi warganya, tetapi juga gagal melindungi dirinya sendiri. Dengan membuncahnya aneka ekspresi kekerasan tersebut, negara mengingkari demokrasi dan konstitusi. Kekerasan adalah musuh utama demokrasi, beretentangan dengan spirit dan substansinya. Tak lain karena demokrasi sebagai jalan hidup (way of life) dengan seperangkat institusinya merupakan suatu sarana non-kekerasan.[24] Dibawah kondisi demokratis, kepentingan dan kekuasaan tidak bisa diperoleh melalui jalan pemaksaan, tetapi melaui jalan konsensus yang memerlukan penghormatan publik atas rule of low. Humphrey Hawkley dalam Democracy Kill memperlihatkan potret yang mengerikan bahwa penduduk dibawah sistem demokrasi lemah otoritas berpeluang mati lebih besar ketimbang dibawah sistem kediktatoran. Praktik demokrasi yang gagal melindungi warganya dari ragam bentuk kekerasan warga atas warga; kekerasan antar sindikat; kekerasan negara atas warga; kekerasan warga atas negara; serta kekerasan antar aparat negara adalah praktik demokrasi kriminal yang tak patut dipertahankan. Demokrasi yang dirayakan dengan kekerasan tidak saja membinasakan demokrasi itu sendiri, tetapi juga mendelegitimasi negara, yang akan menjatuhkan konsepsi paripurna menjadi kekacauan paripurna.
Ada suatu pemahaman yang selama ini berkembang dikalangan para penyelenggara negara yang terlihat sangat patologis dan begitu statis yakni pemahaman mengenai semangat penerapan otonomi khusus (Otsus) baik di Papua maupun di Nanggroe Aceh Darussalam. Selama ini Otsus selalu dipandang sebagai persoalan struktur pemerintahan kedaerahan. Yang sering dilupakan kebanyakan orang, dibalik struktur pemerintahan sebenarnya terdapat suatu fungsi. Fungsi dimaksud adalah ide. Di dalam ide tersebut terdapat suatu gagasan mengen ai pembangunan yang akan dikerjakan dalam rangka mencapai cita-cita tertentu.
Ada beberapa fungsi pemerintahan yang boleh jadi menjadi rujukan penyelenggara negara dalam menata kehidupan berbangsa, diantaranya ialah bagaimana pemerintah menyediakan infratsruktur lewat institusi dasar yakni peraturan sebagai rujukan keberlangsungan sistem kehidupan termasuk menyediakan public goods bagi warga dengan sistem yang prima sehingga mudah dijangkau rakyat. Struktur pemerintahan yang berfungsi memberikan servicing atau pelayanan bagi masyarakat seefektif dan seefisien mungkin. Selain berfungsi memberikan servicing juga sebagai regulating dan empowering pada masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman pengelolaan pemerintahan sebatas pada struktur dan fungsi saja jelas tidak akan menghasilkan suatu sistem kerja organisasi pemerintahan yang baik.
Dalam perspektif ini, pemahaman mengenai desentralisasi dan dekonsentrasi kebijakan pemerintah tidak dengan serta-merta dimaknai sebagai suatu kesempatan untuk mengedepankan pembentukan struktur pemerintah dengan cara membuat institusi-institusi tertentu hanya karena menampung orang-orang dengan alasan politis. Desentralisasi dan dekonsentrasi kebijakan sejatinya dipahami dengan komprehensif yakni adanya suatu kesempatan untuk mengoptimalkan semua potensi kekayaan alam daerah dan membangun potensi sumber daya manusia dalam rangka mewujudkan kualitas kehidupan masyarakat sejahtera dalam semua aspek kehidupan. Oleh karena itu, pembentukan struktur pemerintahan diperlukan pemahaman yang komprehensif. Akan tetapi dalam praktik kehidupan bernegara di era modern ini, banyak kalangan ahli dan praktisi umumnya berhenti pada tataran fungsi dan struktur saja tanpa melihat lebih jauh hakikat ide dasar dibentuknya suatu struktur. Padahal, dalam ide ini menyimpan cita-cita mengenai apa yang hendak dituju ketika kita hendak melembagakan suatu fungsi dalam struktur pemerintahan.

Gambar. 2
Model-model Kewenangan Otonomi Khusus
Sumber :  Hasil Kajian evaluasi Imlementasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, hal. 51

Otonomi menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari dengan negeri yang mempunyai luas, penduduk, pulau terbanyak dan suku yang beraneka ragam seperti Indonesia. Otonomi sendiri dapat diartikan sebagai pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (LAN, 2007). Pengalaman Orde Baru dengan pendekatan sentralisasinya ternyata tidak mampu membendung gejolak daerah-daerah yang menginginkan keadilan antara pusat dengan daerah, dikarenakan melalui pendekatan top down tersebut setiap daerah di Indonesia hanya bisa memajukan daerahnya dengan mengikuti segala aturan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Daerah tidak dapat menggali potensi yang dimilikinya guna memajukan dan mensejahterakan masyarakat daerahnya. Kebijakan yang tersentralisasi juga belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat dan belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya di Provinsi Papua.
Dasar pemikiran kebijakan Otsus merupakan kebijakan yang bertujuan untuk memperbaiki berbagai ketertinggalan serta ketimpangan yang ada di Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan provinsi diwilayah timur Indonesia yang menghadapi berbagai persoalan mendasar terkait dengan fakta ketertinggalan wilayah. Daerah yang sebenarnya sangat kaya dengan potensi sumberdaya alam (SDA) ternyata pada tataran riil menghadapi fakta yang bertolak belakang. Ketertinggalan perekonomian masyarakat, dan minimnya penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas, jaringan infrastruktur yang masih memprihatinkan, hingga persoalan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) merupakan permasalahan mendasar di wilayah ini.
Kontradiksi seperti ini lambat laun menciptakan kesenjangan yang secara langsung sangat dirasakan oleh masyarakat Papua. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah ternyata justru membawa dampak negatif yang sangat besar, mulai dari kerusakan lingkungan hingga peminggiran hak-hak masyarakat asli. Berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan ketertinggalan Papua telah lama disuarakan oleh masyarakat. Namun lambannya respon pemerintah menyebabkan aspirasi dan tuntutan tersebut berubah menjadi resistensi masyarakat yang tidak jarang berubah menjadi konflik fisik yang mengarah pada tuntutan kemerdekaan
Merasa terharu mendengar lagu ciptaan Franky Sahilatua yang petikan lyricnya ”tanah papua tanah yang kaya, Surga kecil jatuh ke bumi, seluas tanah sebanyak batu adalah harta harapan. Hitam kulit keriting rambut aku papua biar nanti langit terbelah aku papua”. lagu ini sering diputar dibeberapa media TV swasta akhir-akhir ini. Papua ingin mardeka lewat perjuangan Gerakan Organisasi Papua Mardeka. Mengapa sulit mencapai kedamaian dan kesejahteraan di tanah Papua? Secara teoritis, konsep otonomi khusus sesungguhnya bagus. Dana otonomi khusus begitu banyak dikucurkan selama periode 2002 sampai 2010 sebesar Rp.28,8 triliun. Jabatan pemimpin (Gubernur dan Bupati) sudah diberikan kepada putra asli papua. Selain itu, orang asli papua sudah ditempatkan sebagai pelaku utama pembangunan ditanah leluhurnya sendiri. Namun apa yang salah dari semua pendekatan pembangunan ekonomi politik di tanah Papua selama ini?
Tahun 1999, Pemerintah menerbitkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri, namun dalam perjalanannya undang-undang tersebut dianggap belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat masyarakat Papua baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah Papua. Akhirnya pada Tahun 2001 Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan Otsus di Papua dengan diterbitkannya UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Kewenangan yang berarti peran dan tanggungjawab yang lebih besar dalam mengatur urusan rumah tangganya, menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Papua bagi kemakmuran rakyat papua, diharapkan dengan kebijakan ini akan dapat mengurangi kesenjangan di Provinsi Papua dan Papua Barat dengan provinsi-provinsi lainnya dengan memberikan ruang lebih bagi masyarakat lokal Papua dan Papua Barat sebagai subyek utama dalam pembangunan. Kebijakan Otonomi Khusus Papua tersebut tidak lepas dari sejarah panjang friksi yang terjadi antara daerah ini dan pusat. Sentimen atas ketidakadilan yang diterima daerah ini telah memunculkan berbagai gejolak dimasa lampau yang mengarah pada proses disintegrasi.
Ditingkat lokal, di Provinsi Papua sendiri hal tersebut menjadi salah satu alasan atas keterbelakangan pembangunan yang dirasakan masyarakat Papua. Provinsi Papua yang kaya akan hasil alam, namun ironisnya Provinsi ini merupakan Provinsi yang paling banyak penduduk miskinnya dan tertinggal pembangunanya. Kondisi tersebut tentu saja mencerminkan kelemahan negara dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan NKRI. Kelemahan inilah yang memicu tuntutan atas hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar bagi masyarakat Papua. Setelah UU No.21 Tahun 2001 diterbitkan dan mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2002, segenap bangsa Indonesia berharap dapat menyaksikan perubahan-perubahan positif yang terjadi di Papua. Gejolak yang pernah dialami, secara politis diharapkan mampu diredam melalui kebijakan tersebut. Kebijakan ini pun dianggap dapat menjawab berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan pembangunan Papua yang tertinggal. Ketimpangan pembangunan Papua yang menyulut beragam masalah harapannya juga dapat dikurangi dan masyarakat Papua menjadi lebih sejahtera.
Secara normatif, terdapat beberapa agenda utama yang ingin dicapai melalui kebijakan khusus ini. Pertama, agenda untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli melalui pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Papua yang sebelumnya dinilai belum digunakan secara optimal dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat Papua, serta pengurangan kesenjangan antara Provinsi Papua dengan Provinsi lainnya. Kedua, agenda mewujudkan keadilan, dalam konteks kebijakan khusus ini adalah keadilan ekonomi dalam hal penerimaan hasil-hasil sumberdaya alam Papua. Keadilan dalam konteks tersebut diterjemahkan dalam aspek dana perimbangan keuangan Pusat dan daerah Papua/Papua Barat. Ketiga adalah penegakan Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, serta pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar. Keempat, penerapan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas, serta dukungan kelembagaan dan kebijakan yang memungkinkan tercapainya ketiga agenda sebelumnya.
Itikad pemerintah dalam mendukung agenda otonomi khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat terindikasi kuat dari meningkatnya jumlah dana Otonomi Khusus yang dialirkan ke kedua Provinsi. Peningkatan dana otonomi khusus dari tahun ke tahun ini seyogyanya mendorong peningkatan pelaksanaan Otsus di kedua Provinsi. Setidaknya terdapat empat program prioritas yang dilaksanakan untuk memacu perkembangan pembangunan rakyat dan daerah Papua, yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, serta pembangunan infrastruktur.
Faktanya, cerita tentang Papua masih banyak didominasi atas keprihatinan yang dirasakan atas hasil-hasil pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya pelajaran positif yang dapat diambil sepanjang pelaksanaan otonomi khusus yang hampir mencapai satu dekade ini. Bagaimana pencapaian agenda utama dari kebijakan khusus ini perlu diketahui secara komprehensif. Disamping itu, penting untuk dikaji, sejauh mana Provinsi Papua dan Papua Barat mampu mengejar ketertinggalannya dengan provinsi lainnya sebagaimana diharapkan dengan adanya kebijakan otonomi khusus tersebut. Kebijakan otonomi khusus tidak serta merta menjamin terselenggaranya pemerintahan daerah yang lebih baik di Papua. Pelaksanaannya memerlukan kapasitas pemerintahan yang memadai. Titik berat otonomi khusus Papua dan Papua Barat berada pada level provinsi.
Namun demikian kabupaten/kota dalam provinsi tersebutlah yang secara riil menjadi lokus utama implementasi program pelaksanaan otonomi khusus tersebut. Disisi lain, pemerintah Pusat juga memiliki peran penting dalam kebijakan ini. Kapasitas dan hubungan antara ketiga level pemerintahan ini perlu ditingkatkan untuk terselenggaranya pemerintahan daerah yang lebih baik di Papua. Aspek yang penting dari pelaksanaan otonomi khusus adalah bagaimana kebijakan tersebut di implementasikan. Dari segi kebijakan, sejumlah kebijakan pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat dan berbagai program pembangunan telah diterapkan. Kebijakan tersebut pada akhirnya juga berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya, khususnya finansial. Apakah pilihan-pilihan kebijakan/program dan alokasi sumberdaya telah berjalan optimal, perlu terus dimonitor dan ditingkatkan.
Dalam perkembangannya, setelah 11 tahun keberlangsungan otonomi khusus di Papua ternyata belum dapat dikatakan berhasil, bila diukur dari 4 (empat) bidang pokok yang menjadi sasaran Otonomi Khusus seperti, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan pembangunan infrastruktur pada kenyataannya masih ditemukan berbagai permasalahan seperti masih banyak angka siswa putus sekolah, minimnya sarana belajar mengajar dikampung-kampung, keterbatasan tenaga pendidik hingga biaya pendidikan yang relatif mahal disejumlah wilayah akibatnya, angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua masih tetap berada di urutan menengah kebawah secara nasional, yakni dikisaran 50,0-65,9 (BPS). selanjutnya dibidang kesehatan, kondisi pelayanan kesehatan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga masih jauh dari harapan. Kasus kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir, angka gizi buruk, HIV/AIDS, TBC, ispa, malaria, kusta dan  penyakit lainya masih banyak terjadi. Disektor pemberdayaan ekonomi, pribumi Papua di Kota Jayapura dan sebagian besar kabupaten/kota di Papua masih tetap berjualan di pinggiran jalan berdebu, dibawah terik mata hari, emperan toko dan terus tergusur dari pasar yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dan pembangunan infrastruktur juga tidak banyak memberi manfaat bagi masyarakat asli Papua.
Selanjutnya, dibidang HAM, penegakan dan rekonsiliasi bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tidak pernah berjalan, karena hingga 11 (sebelas) tahun Otonomi Khusus berlaku tidak pernah terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) maupun pengadilan HAM. Kegagalan Otonomi Khusus juga disuarakan oleh berbagai lapisan masyarakat Papua, ketidakmanfaatan dari otonomi khusus yang awalnya merupakan suatu jalan dimana dapat menjadi jembatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua sepertinya tidak berjalan mulus. Seperti pernyataan Ferry Ayomi, anggota Kongres Rakyat Papua “Pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan otonomi khusus, karena kami (rakyat Papua) masih tertinggal dalam situasi kemiskinan”.[25]
Tuntutan untuk menelaah kebijakan otonomi khusus semakin mengemuka, bukan lagi dalam bentuk telaah namun evaluasi secara menyeluruh dan komprehensif terhadap pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Terdapat beberapa argumen yang mendasari pentingnya evaluasi ini dilakukan, diantaranya: Pertama,  implikasi dari dikeluarkannya UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinisi Papua sebagaimana telah diubah dengan UU No.35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Perpu No.1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otsus bagi provinsi Papua Menjadi Undang-Undang, Inpres No.5 Tahun 2007 Tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat, telah memberi ruang kewenangan yang lebih kepada Provinsi tersebut. Kedua, konsekuensi logis dari alasan diterapkannya otonomi khusus diatas berimplikasi pada pengaturan kebijakan, kelembagaan, sumberdaya, maupun program pembangunan, yang tidak hanya memerlukan pengaturan khusus yang sesuai, namun bagaimana interaksinya dengan kebijakan umum lainnya merupakan aspek-aspek yang krusial bagi terselenggaranya otonomi khusus dengan baik. Ketiga, penerapan kebijakan tidak lepas dari berbagai masalah dan tantangan yang harus dihadapi. Diperlukan pemahaman yang komprehensif atas permasalahan dan tantangan yang dihadapi sepanjang perjalanan pelaksanaan otonomi khusus yang dinamis. Keempat, otonomi khusus Papua dan Papua Barat merupakan pilihan yang masih perlu untuk terus dijalankan, khususnya untuk memperkuat integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. Namun ke depan perlu ada upaya yang tepat dan berkelanjutan untuk perbaikan pelaksanaan Otonomi Khusus dan percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat.
Masyarakat asli papua mulai mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mencari solusi berbagai persoalan mendasar di Papua. Terlebih lagi, berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat terkait dengan kekayaan alam Papua terkesan sangat eksploitatif dan justru meminggirkan peran masyarakat lokal yang berdampak pada mandegnya tingkat kesejahteraan mereka. Intensitas konflik fisik maupun tuntutan kemerdekaan yang semakin tinggi akhirnya membuat pemerintah mau tidak mau harus secara serius memperhatikan perkembangan aspirasi masyarakat Papua. Seiring dengan semakin populernya konsep desentralisasi pemerintahan sejak Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disahkan, penyelenggaraan pemerintahan yang lebih sensitif terhadap konteks lokal mulai menjadi  mainstream utama reformasi pemerintahan. Konsep desentralisasi juga mulai diterapkan oleh pemerintah untuk konteks wilayah Papua. Penyelenggaraan pemerintahan mulai dijalankan dengan pendekatan yang berbeda, yang diharapkan dapat menciptakan perbaikan kualitas penyelenggaraan pemerintahan di Papua. Lahirnya kebijakan Otonomi Khusus merupakan sebuah pilihan kebijakan pemerintah pusat dan rakyat Papua sebagai suatu bentuk langkah kompromistis antara kepentingan nasional dan desakan pemenuhan tuntutan rakyat Papua. Sebagaimana dikemukakan didepan, otonomi khusus merupakan salah satu varian konsep desentralisasi yang dikenal dengan desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization). Kebijakan otonomi khusus akhirnya diambil oleh pemerintah pusat guna menyelesaikan berbagai persoalan di Papua



Gambar. 3
Otonomi Simetris dan Otonomi Asimetris
Pemerintah Pusat
Otonomi Asimetris
Otonomi Simetris
Otonomi Simetris
Perda
Propinsi
Perdasus
Perdasi
1.       Lambang Daerah
2.       Kewenangan Daerah P rovinsi P apua
3.       Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota
4.       P emberian pertimbangan oleh gubernur
5.       Tata cara pemilihan gubernur dan wakil Gubernur
6.       Keanggotaan dan jumlah anggota MRP
7.       Tugas dan Wewenang M RP
8.       Hak MRP
9.       Kewajiban MRP
10.     Pembagian Penerimaan dalam rangka Otonomi khusus
11.     P erekonomian di Provinsi Papua
12.     P engembangan suku-Suku Terisolasi
13.     P engawasan Sosial

1.       Kewenangan Daerah kabupaten dan Kota
2.       T ata cara pemilihan anggota M RP
3.       P engaturan perang kat dan kepegawaian di Provinsi Papua
4.       Kebijakan Kepegawaian provinsi
5.       P emberian pertimbangan dan persetujuan M RP
6.       Fungsi, tugas, wewenang,  bentuk dan susunan
7.       Keanggotaan hukum Ad Hoc
8.       Ketentuan pinjaman luar negeri
9.       T ata cara penyusunan dan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja provinsi
10.     T ata cara penyertaan modal
11.     T ugas kepolisian di bidang ketentraman dan ketertiban
12.     P enyelenggaraan pendidikan di Provinsi Papua
13.     kewajiban melindungi, membina dan mengembangkan kebudayaan asli Papua
14.     Kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan
15.     Kewajiban merencanakan dan melaksanakan program perbaikan dan peningkatan giz i penduduk
16.     P enempatan penduduk
17.     Kesempatan Kerja
18.     Lingkungan Hidup
19.     Jaminan hidup layak

 



























Sumber : Hasil kajian evaluasi implementasi kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, hal.50

Keterangan :
1.        Hubungan dalam alokasi dan distribusi dana Otsus serta sinergitas penyelenggaraan kewenangan khusus
2.        Sejumlah perdasi yang harus diterbitkan
3.        Sejumlah perdasus yang harus diterbitkan

Jika kita tinjau lebih jauh penerapan kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi sekarang ini, cukup memberikan dampak positif bagi perkembangan bangsa indonesia. Dengan adanya sistem desentralisasi ini pemerintahan daerah diberi wewenang dan tanggungjawab untuk mengatur daerahnya, karena dinilai pemerintahan daerah lebih mengetahui kondisi daerahnya masing-masing. Disamping itu dengan diterapkannya sistem desentralisasi diharapkan biaya birokrasi yang lebih efisien. Hal ini merupakan beberapa pertimbangan mengapa otonomi daerah harus dilakukan. Dalam setiap kebijakan atau keputusan yang diambil pasti ada sisi positif dan sisi negatifnya. Begitu juga dengan penerapan sistem desentaralisasi ini, memiliki beberapa kelemahan dan kelebihan.
Berdasarkan wacana diatas dapat dipahami dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila Orang/badan yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudian hari. Tetapi sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila orang/badan yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi.

4.1.      Fakta Kegagalan Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dalam 10 tahun[26]
Praktek pelaksanaan Otsus Papua dari tahun 2001-2011 tidak berpolakan prinsip semangat dasar Otonomi Khusus Papua diatas sebagai implementasi dari latar belakang pemberian Otonomi Khusus Papua sebagaimana yang telah disampaikan diatas. Dana otonomi khusus lebih ditonjolkan sebagai substansi Otsus dalam pelaksanaan Otonomi Khusus. Karena itu, pemerintah dan rakyat lebih mengejar pemakaian dana otonomi khusus dari pada membuat kebijakan-kebijakan dasar diatas supaya dana otsus dipakai berdasarkan penetapan perdasus dan perdasi substansial, sehingga dapat menolong dan meningkatkan kesejahteraan orang asli papua. Selama 10 tahun implementasi Otsus di Papua, ada bengitu banyak pelanggaran terhadap pelaksanaan Otsus Papua. Pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan TNI/POLRI. Pelanggaran-pelanggaran tersebut dibuat dengan sadar dan sengaja maupun tidak sengaja.

4.1.1.  Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pada Bagian ini mengungkapkan fakta-fakta kegagalan Otsus Papua yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah.

4.1.1.1.        Pemerintah Pusat[27]
a.      Tertundanya pembentukan Lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP), sebagaimana diamanatkan oleh UU Otsus selambat-selambatnya 6 (enam) bulan UU Otsus ditetapkan, sementara PP No.54 tentang Pembentukan MRP baru dikeluarkan 23 Desember 2004.
b.     Inpres No.1/Tahun 2003 (tanggal 27 Januari 2003) ditetapkan dan terbitkan oleh Presiden sebagai perintah untuk menghidupkan Provinsi Irian Jaya Barat, walaupun bertentangan dengan pasal 76 UU No.21 Tahun 2001, dengan tujuan untuk mengobrak-abrik aspirasi Merdeka yang semakin kental dalam hati rakyat Papua.
c.      Pemerintah pusat lalai dan gagal melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2003, yang mewajibkan diterbitkannya undang-undang tentang pemekaran tentang pemekaran provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat), yang paksakan pembentukannya oleh Pemerintah Pusat.
d.     Penetapan Undang-Undang No 35 Tahun 2008, dalam rangka mengakomodir Provinsi Papua Barat dalam UU No.21 Tahuin 2001, sebagai Provinsi dalam Otsus dengan cara mencoret dan menambahkan. Cara mengakomodir dengan moncoret dan menambah tersebut melanggar UU No.21 Tahun 2001 kepada rakyat Asli papua MRP sudah mengiongatkan Wapres Jusup Kalla dan timnya tetapi nyatanya tidak diindahkan.
e.      Diberlakukan dualisme hukum antara Provinsi dan Kab/Kota didaerah Otonomi khusus di tanah Papua, dimana Provinsi melaksanakan UU No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, sedangkan Kab/Kota melaksanakan UU No.32 Tahun 2004.
f.      Tidak menerbitkan segera beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yang amanatkan didalam UU No.21 Tahun 2001, sebagai pelaksanaan UU Otsus bagi Provinsi Papua.
g.     Pencairan DANA OTSUS tiap tahun anggaran hamper selalu sebagian besar dana pada akhir tahun anggaran, sehingga dana tidak dimanfaatkan secara efektif untuk menolong dan menyelamtkan orang asli papua, selain dibagi-bagi dengan laporan keuangan fiktif.
h.     Tidak ada realisasi atas  pembagian hasil SDA Papua untuk Papua dan Jakarta sebagaimana diamanatkan dalam pasal 34 UU No.21 tahun 2001.
i.       Penetapan PP No.77 tahun 2007 tentang larangan Bendera separatis dijadikan sebagai bendera kultural. Ini bertentangan dengan amanat UU No.21 Tahun 2001, khususnya Pasal 2 ayat (2).
j.       Pemerintah Pusat mendorong dan mendukung pembentukan Barisan Merah Putih di tanah Papua dan kegiatannya, sehingga lembaga negara didaerah seperti DPRP dan MRP keberadaan dan kegiatannya terganggu serta kebijakannya dikontrol dan dikaunter oleh masyarakat, bukan oleh lembaga negara yang lebih tinggi.
k.     Penolakan perjuangan MRP atas 11 kursi Otonomi Khusus Papua versus penerimaan usul Barisan Merah Putih atas 11 kursi Otsus yang sama oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengkerdilkan lembaga MRP dan DPRP dalam materi gugatannya. Hal ini menunjukan sikap Pemerintah Pusat terhadap lembaga didaerah tidak diperhatikan dari pada organisasi (milisi) yang dibentuknya.
l.       Politisasi SK.14/MRP/2009 sehingga SK yang bertolak dari amanat UU No. 21 Tahun 2001 menjadi bola liar yang panas dipermainkan oleh siapa saja dari pusat dengan daerah. Sampai sekarang SK 14/MRP/2009 di tanggapi Pemerintah Pusat penuh curiga dan pemerintah daerah tidak sepenuh hati. Karena itu nasib SK 14/MRP/2009 sampai saat ini nampaknya terancam tidak digunakan dalam pemilukada Kab/Kota di Tanah Papua.
m.   Dalam implementasi UU Otsus Papua, Pemerintah Pusat lalai melakukan fungsi supervise (Bimbingan) dan Intermediasi (koordinasi antar institute) bagi Pemerintah Provinsi Papua dalam pelaksanaan UU Otsus Papua.
n.     Pengangkatan Kapolda dan Kajati setelah diberlakukan UU Otsus Papua, Pemerintah pusat tidak pernah memintah persetujuan dari Gubernur Papua, berdasarkan amanat UU Otsus Papua Pasal 48 ayat (5), Pasal 52 ayat (2).
o.     Pemerintah Pusat gagal melakukan perubahan terhadap UU Otsus Papua, dengan  mengeluarkan UU No.35 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU Otsus Papua, tanpa meminta persetujuan oleh seluruh rakyat papua melalui DPRP dan MRP.
p.     Pemerintah Pusat mendorong dan menetapkan terbentuknya pemekaran daerah otonom baru provinsi dan kab/kota di tanah papua yang semestinya dilakukan melalui persetujuan MRP dan DPRP, berdasarkan amanat UU Otsus pada Pasal 76.
q.     Bidang Keuangan pemerintah Pusat tidak pernah transparan dalam hal pembagian pendapatan dari pengelolaan sumberdaya alam, sesuai amanat UU Otsus Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3).
r.      Sepuluh tahun diberlakukan UU Otsus di tanah Papua, pemerintah pusat dan daerah tidak pernah melakukan evaluasi, sesuai amanat UU Otsus pada Pasal 78.
s.      Implementasi penerapan UU Otsus ini tidak dikawal oleh Presiden maupun oleh Menteri
t.      Segala bentuk kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat, tak pernah melibatkan rakyat Papua.
u.     Pemerintah pusat tak pernah sosialisasi UU Otsus Papua pada tingkat internal departemen pusat maupun daerah.
v.     Pemerintah pusat tak pernah membuat norma-norma pengelolaan anggaran.

4.1.1.2.       Pemerintah Daerah (Provinsi)[28]
Indikator yang menunjukan kegagalan pemerintah Provinsi dan Kab/Kota dalam implementasi UU Otsus Papua bagi Provinsi Papua. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :
a.      Pemerintah Provinsi dan DPRP tidak segera menetapkan Perdasi dan Perdasus selama 7 Tahun Pelaksanaan Otsus Papua, kecuali Perdasi pembagian Dana Otsus, Pembentukan MRP dan Sekretariat MRP dan Perdasus pembagian dana Dana Otsus (yang tidak berfungsi sejak ditetapkan oleh DPRP). Baru tahun 7 pelaksanaan Otsus ditetapkan 8 Perdasus pada september, oktober, dan november tahun 2008 dan sejumlah Perdasi namun semua perdasi dan perdasus tersebut belum dipergunakan dalam pengelolaan pemerintahan dan pembagunan, sesuai amanat Otsus pada Pasal 75.
b.     Tidak terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pengadilan HAM di tanah Papua sesuai amanat UU No.21 Tahun 2001 Pasal 45 dan 46 pemerintah belum menyentuhnya.
c.      Belum ditetapkan kebijakan khusus dalam rangka melaksanakan kewenangan khusus untuk keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap orang asli papua, sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 4 (ayat 2), UU No.21 Tahun 2001.
d.     Pemerintah Provinsi lalai membentuk Komisi hukum Ad Hock, yang bertugas melakukan sinkronisasi semua peraturan perundangan harus menyesuaikan dengan UU Otsus, sesuai pasal 32 ayat (1) dan (2).
e.      Pemerintah Provinsi lalai membentuk partai politik Lokal, sesuai pasal 28 UU Otsus Papua.
f.      Pemerintah daerah lalai membentuk perdasus tentang lambing dan symbol-symbol kultural, pada pasal 2 UU Otsus.
g.     Perubahan nomenkaltur DPRD menjadi DPRP sesuai amanat UU Otsus, baru terjadi pada tanggal 22 Juni 2005 yang diputuskan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi Papua No.08/2005, berdasarkan persetujuan Mendagri berdasarkan surat edaran Mendagri No.161.81/1034/SG, tanggal 3 Mei 2005.
h.     Pemerintah provinsi gagal membentuk peradilan adat di Papua, Pasal 50 ayat (2).
i.       Pembentukan Majelis Rakyat Papua, baru dapat dilakukan berdasarkan keputusan DPRP, melalui perdasi No.4 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota MRP, yang dikeluarkan pada tanggal 18 Juli 2005.
j.       Pemerintah provinsi gagal membentuk perdasi tentang pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di provinsi papua, sesuai pasal 61, ayat (1) UU Otsus Papua. Malahan, pemerintah provinsi papua barat melakukan kerjasama pemerintah provinsi jawa barat terkait penempatan transmigrasi[29].
k.     Pemerintah provinsi lalai membina, melindungi hak-hak masyarakat Papua secara bermartabat sebagai mitra Pemerintah, sesuai Pasal 47.
l.       Pemerintah provinsi Papua gagal bahkan      tidak melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi UU Otsus Papua selama kurang lebih 10 tahun ini.
m.   Rekruitmen calon Pengawai Negeri Sipil di Provinsi dan Kab/Kota belum di prioritaskan terhadap orang asli papua, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 62, UU Otsus Papua, tetapi semakin dibanjiri dan penuhi oleh orang-orang non papua yang tidak jelas latar belakang hidupnya. Orang Papua sendiri tersingkir diatas kampung dan tanah warisan leluhurnya sendiri.
n.     Pemerintah provinsi gagal dan lalai melakukan perlindungan terhadap pelaku bisnis orang asli papua sesuai mandat Otsus Papua.
o.     Pemerintah provinsi tidak melakukan restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi sesuai UU Otsus Papua.
p.     Pemerintah provinsi melakukan manajemen pemerintahan yang tidak optimal dalam (kepemimpinan, perencanaan, implementasi)

4.2.     Pendekatan Militer dan Pelanggaran HAM[30]
Sekalipun Papua telah menjadi Daerah Otonomi Khusus Papua selama 10 Tahun ini, namun realitas yang alami oleh masyarakat asli papua, tidak mengalami perubahan signifikan justru sebaliknya masyarakat sipil papua masih terus menjadi korban aparat keamanan (TNI dan POLRI). Sebagai contoh kasus: Pemebunuhan dan Penculikan Bapak Theys Hiyo Eluay, 10 November 2001 dan penghilangan sopirnya, Aristoles Masoka yang terjadi setelah sebulan diberlakukan UU Otsus Papua.
Kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi dibanyak tempat dengan berbagai modus dan bentuk baru. Beberapa bukti kongkrit pelanggaran HAM di era Otsus pada Tahun 2006-2008 :[31]
1.     Pembunuhan dan penculikan Bpk. Theys Hiyo Eluay, 10 November 2001 dan penghilangan sopirnya, Aristoles Masoka.
2.     Peristiwa Wasior Berdarah 13 Juni 2001. Pada peristiw ini aparat keamanan dari Brimob Kepolisian Daerah Papua telah melakukan penyisiran terhadap warga sipil sehingga banyak yang kehilangan nyawa, keluarga dan tempat tinggalnya.
3.     Berimbas dari pembobolan gudang senjata di Kodim 1702 Jayawijaya 4 April 2003 maka  aparat keamanan melakukan penyisiran disejumlah kampung diWamena sampai dikampung Kuyawage. Akibatnya banyak masyarakat menjadi korban.
4.     Peristiwa  penyisiran dan operasi Puncak  Jaya  berdarah  pada  tahun  2004. Masyarakat meninggal karena ditembak, ada juga meninggal ditempat pengungsian. Banyak masyarakat kehilangan keluarga dan tempat tinggal mereka.
5.     Abepura berdarah 10 Mei 2005, saat masa melakukan aksi untuk dibebaskannya Yusak Pakage dan Philip Karma di depan Pengadilan Negeri Abepura. Sebagai tanggapan atas aksi tersebut, aparat Kepolisian secara paksa membubarkan masa sehingga banyak menjadi korban. Beberapa demonstran disuntik (diduga beracun) pada bagian kepala. Akibatnya sampai saat ini ada yang sarafnya terganggu.
6.     Timika berdarah atas INRES No. 01 thn 2003, tentang Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah membuat masyarakat pro dan kontra (devide et Impera) menewaskan 6 korban warga sipil.
7.     Peristiwa pemukulan oleh Aparat kepolisian Resort Jayawijaya terhadap Obet Kossay di Kampung Wesaput-distrik Wamena Kota pada pertengahan Januari 2006. Korban dipukul di dalam kamarnya setelah pintu di kunci.
8.     Peristiwa penembakan terhadap Moses Douw (meninggal dunia) dan beberapa warga sipil menjadi korban di Wahgete pertengahan Januari 2006
9.     Penembakan oleh Aparat Kepolisian Resort Mimika terhadap, Yulianus Murip (kena tembakan peluruh pada bagian kepalah), Yohanes Wakerwa (kena tembakan persis dibagian perut) Melianus Murip dan Yohanes Tipagau. Pelurh yang keluarkan 150 buah.
10.  Penangkapan kerja sama antara Aparat keamanan dengan FBI terhadap 12 warga sipil di di Timika pada awal Januari 2006.
11.  Meningalnya Sodema Huby dan Paulus Mokarineak Kosay dan beberapa warga kena luka tembak oleh Aparat Brimob dan Kepolisian Resort Jayawijaya di kediaman mantan Bupati Jayawijaya pada 13-14 Mei 2006.
12.  Meninggalnya Yesaya Hisage karena ditembak oleh Aparat Brimob Kepolisian Daerah Papua pada 18 Maret 2007. Dan penyisiran pasca Abepura Berdarah 16 Maret 2006 dimana Asrama Mahasiswa (Asrama Nayak, Ninming, Nabire, Kerit, asrama mahasiswa Tolikara, Puncak Jaya, Timika, Yahukimo, asrama mahasiswa Universitas Cendrawasih) dihancurkan dan satu perumahan di bakar. Penyisiran difokuskan terhadap Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua sehingga banyak mahasiswa yang lari ke hutan dan tinggalkan asrama/kampus.
13.  Meninggalnya Hardi Sugumol (narapinada kasus mile 62 Timika) di dalam tahanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia pada 1 Desember 2006.
14.  Penyisiran dan pembunuhan di Puncak Jaya pasca penembakan anggota Kopasus dan Purnawirawan TNI pada Desember 2006
15.  Kamis Malam, tanggal 14 Mei beberapa anggota Koramil Kurima menyiksa seorang pemuda; rendam dalam got, ikat kaki dan tangan lapis dengan tiang bendera, membakar dengan lilin pada lidah dan kemaluan, jepit dengan tang di jari kaki dan biji kemaluan. Korban dirawat secara intensif di rumah sakit.
16.  Pada hari Kamis 18 July, 300 lebih masyarakat adat dari Kampung Tablasupa, Yaru, Sebron, keracunan makanan yang disiapkan oleh petugas.
17.  Pada 20 July 2007, aparat kepolisian membawa 3 pemuda yang sedang minum-minuman beralkohol dari rumah mereka. Sesampai di polsek mereka melakukan penyiksaan yang mengakibatkan 1 orang meninggal dunia dan 2 lainnya dirawat secara itensif di rumah sakit.
18.  Pada 2 Agustus 2007, penembakan oleh TNI Angkatan Laut terhadap Wemi Gombo. Korban luka kritis pada lengan kiri dan dirawat di RSUD Dok II, Jayapura.
19.  Pada 3 Augutus 2007, Soleman Wandikbo disiksa oleh anggota Polres Jayawijaya sampai meninggal diruang sel Polres Jayawijaya.
20.  Penembakan terhadap Opinus Tabuni oleh Aparat Keamanan pada 9 Agustus 2008, di Lapangan Sinapup Wamena.
Karena begitu banyak peristiwa ketidakadilan yang selalu terjadi dipelosok pedalaman, pegunungan, pesisir pantai, lembah dan rawa-rawa, diperbukitan, lereng gunung yang penuh salyu abadi maka hampir mustahil saya akan merekam dan membukannya pada lembaran ini. Namun saya jakin pasti suatu kelak akan terekam dan tercatat dengan baik semua isak tangis rakyat, mereka hanya merindukan keadilan, perdamaian dan kebebasan. Semoga Sang Khalik dapat mendengarkan-Nya.

4.3.     Rendahnya Tingkat Kesejahteraan Untuk Orang Asli Papua.
4.3.1.         Bidang Kesehatan
Keadaan kesehatan ibu dan anak kurun waktu tahun 2001-2009. Waupun penerapan Otonomi Khusus Bagi Papua telah berjalan selama 10 Tahun, persoalan kesehatan di Papua masih menjadi persoalan yang serius. Berdasarkan hasil survei kematian Ibu pada Tahun 2001 ditemukan sebanyak 64.471 bayi, yang seharusnya hidup di Papua. Namun demikian, hanya 51.460 bayi yang hidup dan 7.150 bayi yang meninggal. Angka kematian bayi 122/1000 kelahiran hidup. Sebanyak 47.709 balita yang hidup dan terdapat 3.751 balita yang meninggal. Angka kematian Balita yakni 64/1000 kelahiran hidup[32]. Kasus HIV dan AIDS terus meningkat, jumlah pengidap HIV dan AIDS di Tanah Papua adalah 5.555 orang, Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan Papua Barat yang dipublikasikan oleh KPA Provinsi Papua, 31 Maret 2008 menyebutkan bahwa: Provinsi Papua memiliki jumlah pengidap HIV dan AIDS adalah 3.955 orang yang terklarifikasi sebagai berikut dimana HIV:2.181 Orang, sedangkan AIDS:1.773 Orang, Sedangkan untuk Papua Barat memiliki jumlah 1600 HIV dan AIDS, dari kasus HIV/AIDS 70% adalah Orang Asli papua. Dari sisi pengalokasian anggaran Kesehatan yang tertuang dalam dokumen APBD Provinsi Papua selama 10 (sepuluh) tahun selalu menggambarkan ketidakadilan dan justru menyalahi aturan. Katakanlah hasil analisis APBD Provinsi Papua, untuk anggaran sektor Kesehatan tahun 2009 sebesar Rp.295,29 miliar (5,74% dari APBD dan 11,31% dari dana Otsus). Dari sisi presentase, belum memenuhi standar amanah Otsus untuk mendanai biaya kesehatan dan juga sesuai dengan standar WHO (World Health Organization), yang menetapkan anggaran Kesehatan 15% dari APBD maupun dari Otsus Papua.

4.3.2.      Bidang Pendidikan
Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, minimnya jumlah dan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan dan persoalan distribusi tenaga pendidik, sarana dan prasarana  pendidikan,  terutama  di  daerah-daerah  terpencil, tertinggal dan terisolir. Hal yang sama juga berlaku dialami dalam bidang kesehatan dimana  minimnya sarana pelayanan dan alat-alat kesehatan mulai dari Puskesmas hingga setingkat Rumah Sakit. Sarana pelayanan kesehatan, meski cenderung mengalami peningkatan jumlahnya, namun belum mencukupi, ditambah penyebaran tenaga kesehatan relatif tidak merata karena  sebagian  besar  hanya  ingin  berada di kota  besar. Ketiadaan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis juga menjadi catatan tersendiri bagi kedua bidang ini, yang pada akhirnya menghambat kebijakan affirmative action yang menjadi keharusan dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat.
Hasil Analisis ICS, tentang APBD Provinsi Papua tahun 2009 menyebutkan bahwa alokasi anggaran pendidikan Provinsi Papua tahun 2009 sebesar Rp 242,06 M. Jumlah ini  serata  dengan 4,71% dari APBD  atau 9,28% dari dana Otsus. Jika menggunakan ketentuan UUD 1945, UU No.20/2003, dan PP No.48/2008 yang menetapkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD, anggaran pendidikan Papua Tahun 2009 ini seharusnya minimal sebesar Rp.1,03 Triliun. Apabila menggunakan Perda No.5/2006 dengan ketentuan 30% dari dana Otsus, anggaran pendidikan Papua pada APBD tahun 2009 paling sedikit sebesar Rp.782,94 Miliar. Hal ini sama dengan dokumen APBD tahun-tahun sebelumnya. Beberapa bidang juga mengalami serupa, seperti, bidang ekonomi, pengkaplingan dan eksploritasi sumberdaya alam, marjinalisasi dan diskriminasi dll.
Kalimat yang muncul menghormati hak-hak adat, setelah dihormati apa tindak lanjutnya, apakah masyarakat adat hanya butuh penghormatan, apakah masyarakat adat makan penghormatan? kalimat selanjutnya memberikan kepastian hukum kepada pengusaha dan elit politik, lalu dimana kepastian hukum bagi masyarakat adat pemilik sumberdaya alam sebagai titipan leluhur? apa diabaikan? atau dianggap hilang? selanjutnya prinsip-prinsip pelestarian lingkungan ditetapkan dalam perdasus, masyarakat pemilik ulayat adat hanya dihormati lalu hartanya diambil tanpa imbalan seperti pencuri lalu pergi meninggalkan pemilik yang bingung karena hartanya hilang didepan matanya dan lebih tragis lagi ia mengetahui siapa yang mengambil hartanya.
Apakah yang kita harus lakukan? untuk mengurangi keterpurukan dan ketersisihan masyarakat asli papua di negerinya adalah :
1.     Mengamandemen UU No.21 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Papua.
2.     Memisahkan dana dalam rangka otonomisasi khusus dari APBD, dengan kata lain dana dalam rangka otonomisasi khusus harusnya merupakan dana terpisah dari APBD, dimana dana Otsus dikelola oleh Gubernur dan Bupati/Walikota yang dikontrol oleh MRP yang penggunaannya khusus untuk orang asli papua, sedangkan dana APBD merupakan dana belanja pemerintahan daerah yang tetap dikontrol oleh DPRP.
Kita semestinya berpikir lebih arif lagi untuk merencanakan pemekaran, apa nilai dan arti pemekaran bagi masyarakat asli papua, apakah pemekaran memberikan kesejahteraan atau menimbulkan konflik sosial baru, lebih-lebih apakah pemekaran dapat menjawab kebutuhan masyarakat atau masyarakat asli papua hanya menjadi penonton, perlu diingat bahwa dana daerah akan habis dibelanjakan dalam rangka pembentukan infrastruktur.




4.4.     Depopulasi orang asli Papua
Banyak pihak telah mengungkapkan bahaya berkurangnya jumlah penduduk orang asli papua atau ancaman menuju kepunahan etnis papua, bila dilihat dari berbagai aspek yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk papua lebih besar ditentukan oleh arus migrasi dari luar papua (masuknya pendatang), bukan akibat pertambahan penduduk karena kelahiran hidup, khususnya dikalangan orang asli papua. Program transmigrasi terencana sudah lama dilakukan di tanah papua dengan kapal laut maupun pesawat terbang, merupakan faktor penentu angka pertumbuhan penduduk papua yang berkisar 5% tiap tahunnya. Rendahnya tingkat kesejahteraan untuk orang asli papua, kasus HIV dan AIDS terus meningkat.
Diantara geliat pembangunan dan kelimpahan uang pada era Otsus, tentu masih saja ada kondisi yang kontras. Sebagian besar orang asli papua seakan masih terjerembab dalam jurang kemiskinan dan termarginal sehingga cenderung menuntut perbaikan nasib mereka. Bahkan tuntutan itu dari waktu ke waktu terus menguat menjadi aspirasi pemisahan Papua dari NKRI. Etnonasionalisme papua pun semakin subur. Banyak pihak di papua menuding Otsus tidak bisa menjawab keluhan dan permasalahan pembangunan yang dihadapi orang papua. Indikasi kegagalan Otsus Papua terlihat pada beberapa aspek seperti, masih sulitnya masyarakat di kampung-kampung dalam mengakses layanan kesehatan dan pendidikan yang baik. Hingga kini rakyat Papua masih terus bergumul dengan masalah kesehatan seperti, kasus kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir, gizi buruk, HIV/AIDS, TBC, ispa, malaria, kusta hingga penyakit lainnya. Di bidang pendidikan, masih banyak anak-anak asli papua yang tidak bisa bersekolah di daerah-daerah pedalaman, masih banyak anak putus sekolah, minimnya sarana belajar mengajar di kampung-kampung, adanya keterbatasan tenaga pendidik hingga biaya pendidikan yang relatif mahal.
Permasalahan pembangunan selama papua menjadi bagian NKRI, terjadi karena ada sesuatu yang salah (something wrong). Saya berpendapat bahwa strategi dan pendekatan pembangunan yang dilaksanakan di papua selama puluhan tahun lebih banyak di dominasi oleh kebijakan dan pendekatan politik, daripada pendekatan-pendekatan kesejahteraan. Akibat dari model pendekatan seperti itu, telah menciptakan ketergantungan yang sangat kental dikalangan masyarakat asli papua. Ketergantungan itu tampak dalam bentuk ketergantungan pemerintah daerah (kabupaten/kota) kepada pemerintah provinsi, maupun ketergantungan kabupaten/kota dan provinsi kepada pemerintah pusat. Otonomi khusus yang berlaku di papua sejak 2001 tidak berjalan sesuai harapan masyarakat asli disana. Masih banyak penyimpangan. Akibatnya tidak ada perkembangan disana, masyarakat papua sering merasa tak pernah menikmati hasil tanah kelahirannya. Padahal, pendekatan kesejahteraan diyakini adalah solusi yang paling mujarab untuk permasalahan di papua, dan itu pula yang melandasi diberlakukannya Otonomi Khusus di Papua.
Kini, pertanyaan mengenai penyaluran dana Otsus papua pun semakin terdengar dimana-mana. Dana otsus Papua sejak 2002-2010 sudah dicairkan pemerintah pusat mencapai Rp.28,8 triliun kepada Provinsi Papua dan Papua Barat. BPK hingga kini baru melakukan audit sebesar 66,27% dari keseluruhan dana tersebut (atau baru sebesar Rp19,1 triliun). Dan dari proses audit yang dilakukan telah menemukan ada indikasi penyelewengan Rp.319 miliar. Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan siap untuk mengusut dugaan penyelewangan dana Otsus Papua tersebut. Menurut penulis, perlu kemudian untuk menyamaratakan dan memberlakukan hukum yang sama terhadap elit-elit Papua yang terbukti korupsi harus diadili, tapi kalau kita lihat selama ini, mau diperiksa sedikit-sedikit keluar bahasa mardeka, sehinga pemeriksaan terhadap kasus korupsi tidak serius di papua, tujuannya supaya rakyat papua bijak dan lebih jernih melihat akar persoalan, pemerintah pusat dan elit lokal wajib mengevaluasi diri, melihat pelayanan dan korupsi yang dilakukan oleh elit di papua sendiri, sehingga membuat rakyatnya semakin miskin.

Tabel : Analisa Perubahan kependudukan di Tanah Papua
Tahun
Jumlah Penduduk
Total Penduduk
% Comparison
Annual Growht Rate

Papua
Non Papua

Papua
Non Papua
Papua
Non Papua
1971
887.000
36,000.
923,000.00
96%
4%


1990
1,215,897
414,210.
1,630,107
75%
25%


2005
1,558,795
1,087,694
2,646,489
59%
41%
1,67%
10,50%
2011
1,700,000.
1,980,000
3,680,000
47%
55%


2020
1,956,400.
4,743,600
6,700,000
29,20%
70,80%


2030
2.371.200
13.228.800
15.600.000
15,20%
84,80%


Source : Demographic Desaster in West Papua, Dr.Jim Elmslie.

Dengan demikian penambahan penduduk tidak formal terus meningkat di papua sementara rakyat asli papua semakin minoritas di atas tanahnya sendiri. Jumlah populasi penduduk papua secara menyeluruh 2,5 juta jiwa yang terdiri dari 1,3 orang asli papua dan 1,2 juta bukan asli papua. Keterangan grafik diatas bahwa terjadi penurunan yang signifikan untuk pribumi papua pada kurun waktu tahun 1971-2005 (96% menjadi 59%), sebaliknya terjadi kenaikan yang signifikan untuk penduduk non papua pada kurun yang sama (4% menjadi 41%).
Sebagian besar tokoh papua tidak sepenuhnya terlibat aktif selama pelaksanaan Otsus. Memang ada beberapa tokoh yang masih terlibat dalam penyusunan kebijakan selama pelaksanaan Otsus tetapi lebih banyak yang mengambil jarak dan pesimis terhadap pelaksanaan Otsus. Ini bisa dipahami dalam berbagai kerangka berpikir, ada tokoh yang ingin mempertahankan independesinya, ada pula kalangan akademisi yang memang berkutat dikampus dan ada pula yang memang tidak pernah dilibatkan atau diajak bicara oleh pemerintah Provinsi yang menjadi aktor utama pelaksanaan Otsus. Tetapi pada dasarnya, mereka memberikan jawaban yang hampir seragam dalam menanggapi pelaksanaan Otsus Papua. Pada awalnya Otsus dianggap sebagai berkah besar untuk masyarakat papua. Masyarakat memiliki ekpektasi yang sangat besar bahwa Otsus akan meningkatkan derajat kehidupan mereka. Tetapi dalam kenyataannya, para narasumber nyaris satu suara dalam hal ini, kenyataan yang diterima oleh masyarakat tidak sebesar ekpektasi mereka. Permasalahan mendasar Otsus, selain masalah Perdasus, berkaitan dengan rencana strategis provinsi yang tidak terkomunikasikan dengan baik dan terbuka pada seluruh masyarakat, termasuk elemen lembaga masyarakat sipil. Itu sebabnya, Otsus tidak banyak membawa perubahan derajat kehidupan untuk masyarakat Papua. Masyarakat mendengar tentang Otsus, dana Otsus dan janji-janji perbaikan kesejahteraan tetapi mereka tidak pernah merasakan manfaatnya.
Pada beberapa hal, memang ada pembangunan di papua. Tetapi proyek-proyek pembangunan tersebut hanya memperbesar cash outflow bukan cash inflow, karena miskin output yang benar-benar berasal dari papua. Inefesiensi itu selama ini memang tidak terlihat karena lagi-lagi bisa tertutupi dengan dana Otsus yang besar. Yang diuntungkan oleh Otsus adalah sebagian besar elit birokrat papua, lebih luas lagi termasuk mereka yang terlibat dalam kebijakan ini seperti DPRP, pemerintah kabupaten hingga aparat tingkat bawah. Selain elit birokrat lokal, pemerintah pusat juga diuntungkan dengan Otsus ini. Menurut mereka, setelah memberikan Otsus, pemerintah pusat seolah bisa lepas tangan dan menganggap permasalahan papua telah selesai. Pemberian Otsus memperkuat posisi politik Jakarta terhadap papua. Pemerintah pusat sekarang punya alasan logis untuk menindak setiap gerakan yang dianggap berpotensi menumbuhkan disintegrasi di papua sebab Otsus telah diberikan.
Beberapa tokoh juga menunjuk pihak swasta juga meraup untung dari Otsus ini. Selain dari proyek-proyek yang diberikan oleh pemerintah mereka juga mendapatkan peluang dari kewenangan kultural yang didapatkan kembali oleh kepala suku (Ondoafi) terhadap tanah ulayat. Realitas ini terasa kontraproduktif tetapi kenyatan itulah yang terjadi. Beberapa pihak swasta dengan mudah mendapatkan tanah ulayat untuk kepentingan usaha setelah melakukan pendekatan dengan kepala suku yang justru tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah. Kesiapan Pemerintah Dalam Era Otsus. Regulasi, struktur dan sistem pengawasan adalah hal-hal yang yang menjadi momok, karena ketidaksiapan pemerintah terutama pemerintah provinsi papua dalam melaksanakan Otsus. Ketidaksiapan regulasi tergambarkan dalam mandegnya penyusunan perdasus yang berimplikasi pada masalah implementasi Otsus. Struktur pelaksana Otsus juga tidak banyak mengalami perubahan setelah Otsus.

4.5.     UU Otonomi Khusus dan Kegagalan dalam Penerapannya
Dalam rangka menangani keluhan dan meredam dukungan bagi kemerdekaan, UU Otsus difokuskan pada pemberian kekuasaan politik dan ekonomi yang lebih besar kepada papua. Diatas kertas, langkah ini bahkan lebih jauh dari proses desentralisasi yang terjadi diseluruh wilayah Indonesia sebagai pengakuan terhadap beberapa keluhan masyarakat papua atas eksploitasi sumberdaya alam dan ancaman terhadap identitas mereka, dan pada saat yang sama tetap menjunjung tinggi integritas teritorial negara. Beberapa pasal secara eksplisit berimplikasi positif terhadap keadilan transisi.
Dalam preambul, UU Otsus mengakui: Bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di provinsi papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Berdasarkan jaminan keadilan yang lebih luas dalam amandemen UUD 45 dan hukum nasional, UU Otsus memasukkan pasal-pasal yang mewajibkan pemerintah nasional dan provinsi, dan masyarakat untuk “menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di provinsi Papua.” Dalam pasal 46 yang berjudul “Hak Asasi Manusia”, ditetapkan bahwa pemerintah provinsi harus mencapai tujuan ini melalui tiga mekanisme yang berpotensi untuk mendorong proses keadilan transisi di papua:
1)     Pembentukan Pengadilan HAM, yang mungkin dapat berkontribusi terhadap pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi.
2)     Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua untuk melakukan klarifikasi sejarah Papua, dan merumuskan serta menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.
3)     Perwakilan Komnas HAM, suatu badan yang memiliki fungsi pencarian kebenaran dan pertanggungjawaban yudisial.

Langkah-langkah diatas dimaksudkan untuk melindungi dan memberi peran lebih besar dalam pengelolaan pemerintahan bagi orang-orang asli papua. Lebih dari satu dekade kemudian, UU Otsus dianggap gagal yang disebabkan oleh dua hal yaitu lemahnya komitmen pemerintah pusat dalam pelaksanaan pasal-pasal tertentu dari UU Otsus dan kegagalan yang lebih luas dalam mendorong kebenaran, pertanggungjawaban, dan keadilan di tingkat nasional. Tanda-tanda awal yang menunjukkan kurangnya komitmen pemerintah terlihat saat Presiden Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden pada tahun 2003 yang memekarkan papua menjadi tiga provinsi. Hal ini bertentangan dengan UU Otsus yang mensyaratkan persetujuan dari MRP dan DPRP. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk papua tidak pernah dibuat, yang tampaknya disebabkan oleh dibatalkannya UU No.27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh MK pada bulan Desember 2006. Hal ini merupakan kemunduran dalam memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan rekonsiliasi nasional terkait kekerasan dimasa lalu. Tidak adanya sebuah KKR nasional menjadi alasan untuk tidak membentuk KKR di papua, walaupun telah disebutkan dalam Undang-Undang Otsus untuk wilayah tersebut.
Pemerintah juga gagal memenuhi mandat UU Otsus untuk membentuk pengadilan HAM di papua. Walau pengadilan HAM permanen di makassar telah dibentuk berdasarkan UU No.26/1999, namun pada kenyataannya, pengadilan tersebut hanya mengadili satu kasus yaitu dugaan pelanggaran di Abepura, Papua. Lemahnya implementasi kebijakan keadilan transisi di papua tidak dapat dipisahkan dari kegagalan dalam mendorong kebenaran, pertanggungjawaban, dan keadilan yang berkaitan dengan kejahatan masif di seantero Indonesia.

4.6.     Faktor Penyebab Otonomi Khusus Gagal di Papua
Pandangan para tokoh Papua terhadap realitas Otsus Papua itu memang cukup beralasan jika dicermati berdasarkan fakta yang terjadi akhir-akhir ini. Hanya saja, sebenarnya ada sejumlah pihak yang telah ikut memberikan sumbangsi pemikiran bagi perbaikan Otsus Papua dan pasang surut hubungan Papua-Jakarta. Menurut penulis ada (enam) faktor-faktor yang menyebabkan otonomi khusus gagal di papua.
Pertama, kegagalan implementasi pembangunan, terutama dibidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Diantaranya adalah rumah sakit yang minim obat dan dokternya, serta sekolah-sekolah pun masih minim guru, pelayanan publik di bidang kesehatan dan pendidikan di papua sangat mengkhawatirkan. Kedua, Permasalahan masih terjadi tumpang tindih aturan hukum yang dikeluarkan pusat dengan aturan perdasus dan perdasi. Permasalahan menyangkut dimensi institusional (kelembagaan), yakni belum terbentuknya sejumlah institusi penting yang diamanatkan dalam UU Otsus seperti, pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Hukum Ad Hoc dan peradilan adat. Permasalahan belum optimalnya sinergisitas tiga pilar utama Pemerintah Daerah (Pemprov, MRP dan DPRP) di papua. Ketiga, pemerintah pusat tidak serius, tegas dan berani untuk menyelidiki dan memeriksa elit atau pejabat pemerintahan daerah Papua yang terindikasi korupsi. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp.319 miliar dalam penggunaan dana otonomi khusus (Otsus) Papua. BPK hanya mengaudit 66,27% dana sebesar Rp.19,1 triliun, ada indikasi penyelewengan dana otsus mencapai Rp.319 miliar.
Keempat, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik orang Papua, permasalahan menyangkut dimensi politik, menyangkut proses bergabungnya tanah papua ke dalam bagian NKRI. Karena permasalahan tersebut telah menyebabkan Otsus Papua secara idiil normatif dan aktual empirik belum bisa menjadi lokomotif perubahan mendasar di tanah Papua. “Pelaksanaan Otsus juga sudah tidak relevan dengan dinamika perkembangan politik pemerintahan di tanah papua”. Kelima, diskriminasi terhadap orang asli papua dan kekerasan negara terhadap orang Papua dimasa lalu. Perlunya jalan dialog yang melibatkan komponen-komponen di papua dengan pemerintah pusat. Perlunya jalan rekonsiliasi diantara pengadilan HAM dan pengungkapan kebenaran kejahatan aparat keamanan negara terhadap orang papua dimasa lalu demi penegakan hukum dan keadilan bagi papua, terutama korban, keluarganya dan warga Indonesia secara umum. Keenam, problem menyangkut dimensi keuangan tampak pada pembagian dan pengelolaan dana Otsus sejauh ini tidak dilakukan sesuai amanat UU Otsus lewat hadirnya sebuah Perdasus. Sejauh ini pembagian dana Otsus hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota se-tanah Papua. Sementara pengelolaannya hanya didasarkan pada Permendagri (terakhir Permendagri No.59 Tahun 2006) yang dianggap tidak tepat sasaran.
Dalam struktur APBD Papua sejak pemberlakuan Otsus juga tidak ditemukan kuota dana sebesar 30% untuk pendidikan dan 15% untuk kesehatan. Pembagian dana Otsus yang besarnya 70% untuk Papua dan 30% untuk Papua Barat sejak tahun 2008 juga dilakukan dengan tanpa dasar hukum.
Mencermati berbagai persoalan otonomi khusus Papua dan Papua Barat sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, menjadi jelas bahwa permasalahan Otonomi Khusus pada dasarnya menyangkut 2 ranah yakni kebijakan dan implementasi kebijakan.  
1.     Permasalahan yang terjadi Pada Ranah/Dimensi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat menyangkut  hal-hal sebagai berikut:
a.        Terjadi disharmoni dan inkonsistensi kebijakan, sebagaimana diketahui dalam pelaksanaan Otonomi khusus Papua dan Papua Barat terdapat dua peraturan perundang-undangan yaitu UU No.32 Tahun 2004  dan UU No.21 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan UU No.35 Tahun 2008. UU generik atau  simetris berlaku di seluruh daerah dan menitikberatkan otonominya di kabupaten/kota, sementara UU  Otonomi Khusus atau asimetris menitikberatkan otonominya di level provinsi. Implikasinya, terjadi kerancuan dalam penyelenggaran pemerintahan daerah, khususnya di level pemerintah kabupaten/kota  karena di satu sisi mereka menjalankan otonomi khusus dan di sisi lain mereka harus menjalankan otonomi generik. Akibatnya, terjadi pula apa yang disebut sebagai inkonsistensi kebijakan.
b.       Belum diterbitkannya sebagian besar peraturan pelaksana UU No.21 Tahun 2001 sebagaimana diubah  dengan UU No.35 Tahun 2008 yang meliputi Perdasus dan Perdasi yakni sebanyak 13 Perdasus dan  18 Perdasi. Sebagai operasionalisasi UU No.21 Tahun 2001 dan UU No.35 Tahun 2008, terbitnya perdasus dan perdasi tersebut merupakan sebuah keharusan.  
c.        Implikasi dari ketidakjelasan penjabaran dan penafsiran secara tepat tentang manajemen  penyelenggaraan Otonomi Khusus, mengakibatkan desain kebijakan perdasus dan perdasi yang sudah diterbitkan/ditetapkan kurang bisa menjadi acuan yang tegas, jelas dan terukur. Misalnya: Perdasus bidang lingkungan hidup, belum menjadi acuan yang terukur untuk  dapat membedakan mana  urusan  yang  harus dikelola oleh provinsi atau  kabupaten/kota. Akibatnya,   kinerja  yang  dicapaibpada bidang ini menjadi tidak optimal, termasuk akuntabilitasnya.
d.       Belum ada perumusan indikator-indikator keberhasilan pelaksanaan Otonomi Khusus sebagai penafsiran atas kewenangan setiap bidang. 
2.     Permasalahan Pada Ranah/Dimensi Implementasi Kebijakan yang terjadi dalam penyelenggaraan Otonomi  Khusus Papua dan Papua Barat dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a.        Keuangan Khusus dan Pengelolaannya
Persoalan mendasar dalam implementasi keuangan Otonomi Khusus dan pengelolaannya adalah belum tersedianya peraturan pelaksana dalam bentuk perdasus yang mengatur alokasi dan distribusi dana Otonomi Khusus yang disampaikan kepada pemerintah kabupaten/kota. Amanat pasal 34 ayat (7) tersebut belum dapat dilaksanakan oleh DPRP/DPRPB, MRP dan Gubernur Provinsi Papua maupun Papua Barat. Hal ini menyebabkan pengelolaan keuangan/dana Otonomi Khusus selama ini hanya didasarkan atas Peraturan Gubernur (Pergub). Artinya, alokasi dan distribusi yang telah dilaksanakan sedemikian rupa, dimana 40:60 untuk Provinsi Papua (40% untuk Provinsi dan 60% untuk kabupaten/kota) dan 30:70 untuk Provinsi Papua Barat (30% untuk Provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota) sesungguhnya masih belum mencerminkan demokrasi  lokal karena tidak melibatkan peran DPRP/DPRPB serta MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi Papua Barat.
Persoalan krusial lainnya adalah terkait dengan keterlambatan transfer/dropping dana Otonomi Khusus dari provinsi ke kabupaten/kota, karena keterlambatan transfer dari pusat ke provinsi. Memang diakui, hal ini sudah  dicoba jalan keluarnya dengan memperbaiki pencairan dengan menggunakan sistem termin, namun ternyata belum menunjukkan hasil yang positif. Keterlambatan  pencairan dana otonomi khusus masih saja terjadi,  hal ini memaksa pemerintah daerah untuk meminjam kas DAU dan akan dikembalikan setelah dana otonomi khusus direalisasikan.
Permasalahan lain yang dihadapi dalam alokasi dan distribusi keuangan adalah menyangkut transparansi kepada publik terkait dengan jumlah atau besaran, mekanisme pembagian serta bentuk pengelolaannya. Hal ini berimplikasi pada menurunnya kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah.
Terakhir, persoalan yang membelit bidang keuangan dan pengelolaannya adalah terkait ketiadaan payung hukum yang jelas mengenai program dan kegiatan yang akan didanai dari dana otonomi khusus dimaksud. Memang, Pergub yang diterbitkan sudah cukup memberikan  arah program dan kegiatan prioritas, namun aturan ini pun belum dapat dilaksanakan secara optimal karena substansinya masih kurang lengkap dan disisi lain pemerintah kabupaten/kota cenderung tidak mematuhi ketentuan pergub karena memiliki agenda prioritas tersendiri.
b.       Kelembagaan Khusus
MRP sebagai lembaga kultural, ternyata selama ini masih disibukkan dengan ranah politik seperti rekomendasi perlunya bakal calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota harus orang asli Papua, dan lain-lain. Meskipun disatu pihak, sejumlah kalangan di Papua menilai MRP sebaiknya tidak diposisikan sebagai lembaga kultural yang semata-mata hanya mengurus hal-hal kebudayaan.
c.        Kewenangan Khusus
Kebijakan pelaksanaan kewenangan khusus sejatinya dibiayai dengan dana Otonomi Khusus, kebijakan alokasi dana Otonomi Khusus yang selama ini dilakukan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat pun tidak didasarkan atas model pelaksanaan kewenangan  khusus secara proporsional. Pembagian 40% untuk Provinsi Papua dan 30% untuk Provinsi Papua Barat tidak dibarengi dengan lingkup pelaksanaan kewenangan yang ada di provinsi. Sementara itu, dari sisi pemerintah kabupaten/kota pembagian tersebut dianggap tidak adil, karena belum sepenuhnya mempertimbangkan karakteristik dan kekhasan masalah yang ada di daerah kabupaten/kota, seperti daerah berkarakter pegunungan, dataran, pedalaman, pesisir, termasuk pertimbangan jumlah penduduk (demografi), dan sebagainya. Pembagian 40:60 dan 30:70 yang telah dilaksanakan di kedua provinsi masih menimbulkan persoalan jika dikaitkan dengan program dan kegiatan prioritas mana yang dibiayai. Bahkan, tidak jarang terjadi pemanfaatan dana otonomi khusus di kabupaten/kota yang tidak sesuai dengan ketentuan pergub dan atau amanat UU No.21 Tahun 2001.  Dalam hal perekonomian, Meskipun telah terbit Perdasus No.18 tahun 2008 tentang Perekonomian Berbasis Kerakyatan, pada kenyataannya pendanaan dan implementasi ekonomi kerakyatan belum memberikan pengaruh signifikan bagi kehidupan dan kesejahteraan  rakyat Papua. Sementara di Provinsi Papua Barat belum terbit Perdasus mengenai Perekonomian Berbasis Kerakyatan, namun hal ini telah diintegrasikan dalam rencana strategis BP3D dan menjadikannya kedalam salah satu program prioritas ekonomi kerakyatan. Namun sebagaimana  di  Provinsi  Papua,  alokasi  dana untuk bidang  kewenangan  ekonomi  kerakyatan  mendapat porsi  yang  kecil  sehingga efeknya kurang terasa dalam pembangunan perekonomian.











Gambar. 4
Jangka Pendek
Jangka Menengah
Jangka Panjang
Peningkatan Kapasitas SDM

Percepatan Penerbitan

Perbaikan Kebijakan

Strategi Perbaikan Penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat









Sumber : Hasil kajian evaluasi implementasi kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, hal.189

4.7.     Otonomi Khusus dalam Bingkai NKRI
Jadi structure follow man yang diperlukan bukan sebaliknya dengan structure follow angajman. Dalam kaitan dengan itu kita perlu melihat kembali struktur otonomi khusus pemerintahan daerah, disusun untuk mencapai fungsi tertentu yang kita jabarkan dari visi dan misi bersama. Untuk apa kita punya otonomi daerah? Dengan demikian kita akan bisa paham bahwa solusi mengatasi pelbagai kemandekan dalam pemerintahan daerah bukan sekadar membuat struktur jabatan buat menampung orang. Meski semangat pemberlakukan otonomi khusus ini dirancang untuk “melebihi otonomi biasa” sebagaimana di daerah-daerah lain namun titik tekan pemahaman yang utuh mengenai otonomi khusus ini hendaknya tidak terpaku semata-mata karena sebagai perwujudan pemerintahan pusat dalam merespon dinamika politik lokal yang selalu menimbulkan konflik tetapi pemberlakukan Otsus seharusnya dipahami sebagai upaya kita bersama dalam melakukan modernisasi sistem pemerintahan. Meski penerapan Otsus merupakan bagian dari pendekatan mereduksi konflik dari perspektif historis empirik namun dari sisi filosofis kontekstual bisa kita tanggap sebagai upaya dalam memperkuat integritas NKRI.
Kekhawatiran ini bisa timbul karena otsus terkait dengan upaya damai yang didahului oleh konflik berkepanjangan sehingga boleh jadi struktur otsus dipandang sebagai upaya menampung atau mengakomodasi orang demi untuk maksud damai. Kalau memang otsus demikian maka kita harus pahami bahwa cara berpikir seperti ini hendaknya harus diubah dalam rangka pengembangan modernisasi pemerintahan otsus dimasa depan. Jadi tidak perlu lagi ada pemahaman seperti ini. Maka sekarang kita harus kembali merenungkan maksud dan tujuan berpemerintahan ini untuk apa? Hal ini sebenarnya semata-mata untuk memudahkan kita dalam mencapai tujuan hidup bersama dalam wadah NKRI dengan instrumen pemerintahan daerah khusus di daerah otonomi khusus.
Terbentuknya pemerintahan tidak lain adalah untuk menjamin adanya ruang kebebasan, ruang kemerdekaan atau liberty. Kemerdekaan yang tidak dapat dipisahkan dari kebebasan. kemerdekaan bersifat kolektif dan kebebasan bersifat individual. Namun dalam titik ini kita perlu mengelola kebebasan dan kemerdekaan baik bersifat kolektif dalam kebangsaan maupun bersifat individual dalam konteks yang lebih konstruktif dan kompetitif yang disertai terpaan globalisasi. Hal ini perlu kita jaga dan persiapkan kualitas sumberdaya manusia yang handal. Jika kita tidak mau mengalami sebagaimana teori Gidens mengemukakan: According to the dependency theorists, global society has developed in an unevan way, such that the main core of industrialized world”.

4.8.     Tujuan Bernegara
Jadi hal mendasar yang perlu dipahami dari demokrasi yang beretika adalah pertama kebebasan. kedua, keadilan. Keadilan dalam masyarakat, keadilan dalam hubungan antara pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah lain di Indonesia dalam wadah NKRI. Yang ketiga, kemakmuran bersama. Tujuannya adalah kemakmuran yang adil dan merata bagi seluruh rakyat. Keempat, kita bercita-cita untuk hidup rukun bersama sebagai masyarakat dengan cara mengorganisasikan diri dalam pemerintahan untuk mencapai tujuan bersama dalam perikehidupan yang rukun, damai dan bersatu. Yang kelima, bahwa semua ini kita lakukan dalam upaya mewujudkan semangat pengabdian pada bangsa dan negara.
Dalam perspektif yang filosofis itulah yang kita cita-citakan sebagai bentuk manifestasi dari lima sila Pancasila. Di era modern dan globalisasi yang begitu kuat dan transformasi budaya yang pesat nilai-nilai yang termaktub dalam Pancasila mengalami goncangan luar biasa sehingga Pancasila dan UUD 1945 tidak lagi dipahami sebagai perekat kebersamaan dalam pergulatan ideologi politik, sehingga ia menjadi falsafah kehidupan berbangsa. Sebagai bangsa yang besar dan menganut pluralisme maka tugas dan tanggungjawab kita adalah bagaimana menegakkan nilai-nilai keadilan sebagaimana yang tertuang dalam falsafah bangsa kita yakni Pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi dalam bernegara. Hal yang patut kita renungkan bersama adalah hakikat keadilan. Tentu hal ini membutuhkan tidak hanya retorika politik tetapi perlu ada konsistensi (istigamah) dari kita semua untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara. 
Faktor-faktor pendukung untuk terciptanya kesadaran berbangsa dan bernegara :

1.     Tingkat ke-amanahan seorang pejabat
5.     Tegasnya hukum dan aturan pemerintahan.
2.     Pemerataan kesejahteraan setiap daerah.
6.     Rasa memiliki dan bangga berbangsa Indonesia.
3.     Keadilan dalm memberikan hak dan kewajiban semua rakyat
7.     Menyadari bahwa berbangsa dan bernegara yang satu
4.     Kepercayaan kepada wakil rakyat atau pemerintahan
8.     Mengetahui lebih banyak nilai positif dan kekayaan bangsa

9.          KESIMPULAN
Klaim moral pertama dari dasar keberadaan negara adalah kesanggupannya melindungi warga dari mara bahaya (harm). Jika gagal memenuhi hal itu, negara tersebut kehilangan legitimasinya. Dengan membuncahnya aneka ekspresi kekerasan tersebut, negara mengingkari demokrasi dan konstitusi. Kekerasan adalah musuh utama demokrasi, beretentangan dengan spirit dan substansinya. Tak lain karena demokrasi sebagai jalan hidup (way of life) dengan seperangkat institusinya merupakan suatu sarana non-kekerasan. Praktik demokrasi yang gagal melindungi warganya dari ragam bentuk kekerasan adalah praktik demokrasi kriminal yang tak patut dipertahankan. Demokrasi yang dirayakan dengan kekerasan tidak saja membinasakan demokrasi itu sendiri, tetapi juga mendelegitimasi negara, yang akan menjatuhkan konsepsi paripurna menjadi kekacauan paripurna.
Kondisi hukum di Indonesia saat ini belum mencerminkan keadilan yang sesungguhnya, merajalelanya tindakan korupsi dan tindakan pidana lainnya semakin memperlihatkan bahwa keadilan di negara kita belum merata, kehidupan yang tidak merata membuat banyak warga negara yang tidak mendapatkan keadilan sepenuhnya. Keadaan hukum yang tidak  merata di Indonesia akan berdampak buruk terhadap moral bangsa kita, oleh karena itu dalam masalah ini adapun solusi yang ditawarkan untuk membuat hukum lebih baik di negara ini sehingga semua warga negara mendapatkan keadilan hukum yang sepenuhnya. Sebuah negara itu harus mempunyai prinsip, agar bisa tercapainya segala apa yang di inginkan. Agar menjadi sebuah negara (Islam) yang baik, peganglah yang sesuai dengan apa yang diperintahkan dalam sebuah al-Qur’an dan al-Hadits. Tujuan dari suatu negara adalah mengganti kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia, serta untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat. Negara bertugas mempertahankan segala apa yang harus di jaganya.
Setiap pergantian pemerintahan dengan kurun waktu lima tahunan, ada kecenderungan -baik dari pihak eksekutif maupun legislatif -untuk mengubah undang-undang tentang pemerintahan daerah. Hal semacam itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan kebingungan bagi pelaksana di daerah. Untuk mengatasinya perlu disusun desain besar desentralisasi di Indonesia sampai tahun 2050. Disain besar (grand design) dilengkapi tahapan-tahapan untuk pelaksanaannya, sehingga ada pedoman yang jelas bagi siapapun yang sedang memerintah. Dalam disain besar desentralisasi perlu ditegaskan pilihan model desentralisasinya yakni desentralisasi berkeseimbangan (equilibrium decentralization), sebagai model eklektik yang dihasilkan dari intisari pergulatan konsep yang sudah berjalan sejak awal kemerdekaan. Model desentralisasi berkeseimbangan diyakini akan dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat, karena secara filosofis sesuai dengan Pancasila sebagai dasar negara. Melalui desentralisasi berkeseimbangan, paling tidak akan dapat dikurangi potensi konflik kepentingan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, sehingga semua energi bangsa dapat lebih diarahkan pada  upaya membangun ekonomi nasional, yang pada gilirannya akan membuat Indonesia menjadi negara yang maju serta disegani di forum internasional.
Dalam sistem organisasi modern kita dituntut untuk mengembangkan organisasi sebagai instrumen dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dari visi dan misi bersama itulah kita merumuskan fungsi yang dilembagakan dalam struktur keorganisasian. Dari titik ini kemudian kita memastikan bagaimana menata struktur organisasi dengan mengisi personil yang akan menduduki struktur dimaksud. Akan tetapi dalam tataran implementasi di negara-negara berkembang, atau negara-negara yang masih dalam kategori terbelakang, atau organisasi tradisional kita biasanya menggunakan logika berorganisasi dari ketersediaan orang. Adanya orang itulah yang menuntut kita berpikir untuk bagaimana menempatkan orang tersebut dalam struktur sehingga struktur yang dibuat hanya untuk menampung orang-orang. Padahal idealnya setelah membentuk struktur baru dipikirkan fungsi pekerjaan dari organisasi tersebut untuk apa.
Jalan keluarnya :
ü  Membangun tanpa merusak;
ü  Membangun berbasis pada sumberdaya alam yang dimiliki;
ü  Membangun dengan bersahabat dengan alam, serta berupaya sedikit mungkin memanipulasi alam;
ü  Membangun dengan menggunakan tiga modal (intelektual, sosial, kapital) secara sinergis dan harmonis.

Merujuk pada fakta selama 10 tahun, pelaksanaan Otonomi Khusus di tanah Papua gagal dilaksanakan. Pelaku utama kegagalan Otonomi Khusus Papua ialah Pemerintah (Pusat dan Daerah) sendiri. Sementara posisi rakyat Papua hanya sebagai penonton sekaligus menerima dampaknya. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir semuanya bertolak belakang dengan semangat dan jiwa Otonomi Khusus itu sendiri. Otsus Papua yang diberikan oleh pemerintah pusat lebih sebagai solusi politik ketimbang solusi kesejahteraan. Itu sebabnya yang lebih kentara dari Otsus ini adalah proses politik untuk menekan aspirasi merdeka. Jalan panjang damai dan kesejahteraan di tanah Papua mengalami komplikasi yang sangat serius. Setidaknya ada lima akar persoalan menjadi faktor-faktor penyebab gagalnya otsus di Papua. Pertama, kegagalan implementasi pembangunan, terutama dibidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Kedua, untuk penyelesain kasus Papua belum ada lagi tokoh Nasional yang dipercaya masyarakat Papua, seperti almarhum Gusdur yang lebih bisa diterima oleh rakyat Papua. Ketiga, Permasalahan masih terjadi tumpang tindih aturan hukum yang dikeluarkan pusat  dengan aturan perdasus dan perdasi. Permasalahan menyangkut dimensi institusional (kelembagaan), yakni belum terbentuknya sejumlah institusi penting yang diamanatkan dalam UU Otsus seperti, pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Hukum Ad Hoc dan peradilan adat. Permasalahan belum optimalnya sinergisitas tiga pilar utama Pemerintah Daerah (Pemprov, MRP dan DPRP) di Papua. Keempat, pemerintah pusat tidak serius, tegas dan berani untuk menyelidiki dan memeriksa elit atau pejabat pemerintahan daerah Papua yang terindikasi korupsi. Kelima, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik orang Papua, permasalahan menyangkut dimensi politik, menyangkut proses bergabungnya Tanah Papua ke dalam bagian NKRI. Keenam, problem menyangkut dimensi keuangan tampak pada pembagian dan pengelolaan dana Otsus sejauh ini tidak dilakukan sesuai amanat UU Otsus lewat hadirnya sebuah Perdasus. Sejauh ini pembagian dana Otsus hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota se-tanah Papua. Sementara pengelolaannya hanya didasarkan pada Permendagri (terakhir Permendagri No.59 Tahun 2006) yang dianggap tidak tepat sasaran. Konflik Papua tidak bisa dipertahankan, dan harus diselesaikan secara serius. Kasus Papua menjadi lampu kuning bagi pemerintah, kalau pemerintah tidak punya itikad baik dan kesungguhan maka akan sama dengan proses terbentuknya Negara Sudan Selatan yang berpisah dari Republik Sudan (Negara induk). Otsus Papua yang diberikan oleh pemerintah pusat lebih sebagai solusi politik ketimbang solusi kesejahteraan. Pada awalnya Otsus dianggap sebagai berkah besar untuk rakyat Papua, masyarakat memiliki ekspektasi yang sangat besar bahwa Otsus meningkatkan kesejahteraan, namun berubah menjadi bencana bagi rakyat karena salah kelola. 
Ibarat dua sisi mata uang logam, dibalik kewenangan ini tentu melekat berbagai tanggungjawab yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pelaksanaan otonomi khusus tersebut harus menghasilkan kinerja yang signifikan mendorong percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Berdasarkan hasil temuan berbagai kajian terdahulu dapat ditarik kesimpulan umum bahwa otonomi khusus belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal yang paling kasat mata adalah kondisi ketertinggalan Provinsi Papua dan Papua Barat yang masih sangat mencolok. Kinerja yang dipengaruhi dinamika yang terjadi di kedua Provinsi ini perlu dipantau perkembangannya seaktual mungkin.

9.1.      Solusi Persoalan Otsus Papua
Bertolak dari sejarah dan fakta kegagalan Otsus Papua sebagaimana uraian diatas, maka solusi yang mesti dilakukan pemerintah dan orang papua guna mengakhiri berbagai persoalan di Papua sebagai berikut :
1.     Dilakaukan evaluasi secara konfrensif dan menyeluruh atas pelaksanaan Otsus Papua selama 10 Tahun (2001-2011). Evaluasi ini dilakukan oleh kedua belah pihak yakni Pemerintah Pusat dan orang papua yang menyatakan Otsus gagal. Dalam evaluasi pemerintah maupun orang papua mengindentifikasi penyebab yang menghambat pelaksanaan Otsus Papua selama 10 tahun ini.
2.     Setelah dilakukan Evaluasi oleh masing-masing pihak, kemudian guna mencari solusi yang tepat dan bijak dalam penyelesaian Otsus Papua secara spesifik dan persoalan Papua lainnya secara menyeluruh dan tuntas mutlak dilakukannya dialog.
3.     Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, artinya jangan pemerintah pusat atau dalam hal ini KPK ragu-ragu untuk menangkap elit dan pejabat Papua dan meminta pertangungjawaban atas dana Otsus yang dipakai selama 10 Tahun, yang tidak menyentuh masyarakat kecil, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua.
4.     Perlunya kebijakan rekognisi untuk pemberdayaan orang asli papua.
5.     Perlunya semacam paradigma baru pembangunan yang berfokus pada pelayanan publik demi kesejahteraan orang asli papua di kampung-kampung.

5.2.     Srategi Perbaikan
Strategi perbaikan dalam memperkuat kebijakan dan implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat dapat dilasanakan berdasarkan jangka waktunya yaitu jangka pendek yang berlangsung 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) tahun kedepan, Jangka menengah yang berlangsung  3 (tiga)  sampai  5 (lima) tahun ke depan dan Jangka panjang yaitu 5 (lima) sampai dengan 10 (sepuluh) tahun ke depan. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam strategi perbaikan dapat dimulai dengan meningkatkan kemampuan para penyelenggara kebijakan Otonomi Khusus dan sekaligus memantapkan komitmen semua pihak, baik pusat maupun daerah untuk bersama-sama menjalankan kebijakan ini secara konsekuen dengan Program Pendampingan (supervisi) dari pemerintah dalam memberikan fasilitasi dan advokasi guna peningkatan kapasitas teknikal dan manajerial.
Jangka Pendek: pertama, meningkatkan kemampuan para penyelenggara kebijakan otonomi khusus dan sekaligus menggugah komitmen semua pihak, baik pusat dan daerah, untuk bersama-sama menjalankan kebijakan ini secara konsekuen; Kedua, Perlu dilakukan pendampingan teknis untuk menyelesaikan Perdasi/Perdasus yang diamanatkan UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan UU No.35 Tahun  2008; Ketiga, Setiap tahun perlu dilakukan Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Otsus sebagai amanat pelaksanaan Pasal 78 UU No.21 Tahun 2001, yang hasilnya dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk perumusan kebijakan dan implementasi otonomi khusus, serta dapat menjadi pertimbangan dalam pencairan alokasi dana otonomi khusus; dan 4) Untuk itu perlu segera disusun Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) tentang Pengelolaan Dana Otonomi Khusus.
Jangka Menengah, Strategi diarahkan untuk mendorong pemerintah pusat dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus, ataupun yang tidak diamanatkan tetapi diperlukan untuk menjalankan kewenangan khusus mengacu kepada Pasal 74 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Jangka panjang, perlu dilakukan penyempurnaan Undang-Undang Otonomi Khusus papua agar desain kebijakan lebih operasional dan mampu menjawab problem kebijakan, dengan memperhatikan perkembangan dinamika sosial politik.

                                                                _________________________________
Penulis, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Pendidikan Anak Bangsa (LP2-AB) Jakarta.



[1]   Vista-Baylon dalam Campo & Sundaram, 2001:155
[2]   Vista-Baylon dalam Campo & Sundaram, 2001:155
[3]    Ibid,.op.cit.
[4]   Soenobo Wirjosuegito, Proses & Perencanaan Perundangan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.
[5]   Cheema, GS and Rondinelli. G.A (editors) : Decentralization and Development : Policy Implementation in Developing Countries, Beverly Hills, Sage. 1983, hal 18.
[6]    Litvack , Jennie, Junaidi Achmad, and Richard Bird, Rethinking, Decentralization in developing Countries, The World Bank Washington D.C, USA, 1999.hal 2.
[7]    Pasal 1 huruf (e), Pasal 1 huruf (l) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
[8]    Victor M. Situmorang, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
[9]   C.W. Van Der Pot: Hanhoek Van Nederlandse Staatrech
[10]   Robert Reinow: Introduction to Goverment, dalam  Ni’matul Huda : Otonomi Daerah; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Pustaka   Pelajar, Yogyakarta 2005.
[11]   Bagir Manan : Hubungan antara Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta 1994.
[12]   Davied Oesborne dan Ted Goeber, dalam Soenobo Wirjosoegito: Proses & Perencanaan Perundangan, Ghalia Indonesia, Jakarta 2004.
[13]   The World Bank, Independent Evaluation Group. Decentralization in Client Countries an Evaluation of World bank Support, 1999-2007, 2008.
[14]   Cheema, GS and Rondinelli. GA (editors) : Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Beverly Hills, Sage. 1983
[15]  Campo, S. Schiavo- and P.S.A. Sundaram, To Serve and To Preserve : Improving Public Administration in A Competitive World, Asian Development Bank, 2001.
[16]   Pasal 1 Ayat (7) Undang-Undang No.32 Tahun 2005 Tentang Pemerintahan Daerah
[17]   Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
[18]   Ibid,.
[19]   Undang-Undang  No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. (Undang-Undang dimasa ORBA)
[20]   Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
[21]  Tatsuro Nikawa. 2006. “Decentralization and Local Governance : Reinforcing Democrazy and Effectiveness of Local  Government” Paper    Presented in Regional Forum on Reinventing Government in Asia Building Trust in Government: Innovations to Improve Governmence  6-8  September 2006, Seoul, Republic of Korea
[22]   Bdk. Agus Alua, materi yang disampaikan dalam komgres I, Ikatan Cendekiawan Awam Katolik se Tanah Papua (ICAKAP), Balai Sosial Kamkey, Abepura Papua, Tanggal 4 Maret 2009.
[23]  Rakyat papua menerima status otonomi khusus (otsus) pada tahun 2001, tepatnya pada tanggal 21 November 2001 melalui disahkannya UU    No.21/2001
[24]   Kompas, Selasa 30 Juli 2013
[25]   The Jakartaglobe.com
[26]   Pokok rangkuman dari materi hasil musyawarah MRP dan Orang Asli papua pada tanggal 9-10 Juni 2010. Musyawarah ini wakil orang papua dari semua unsur (agama, adat, perempuan, pemuda, dsb) yang ada ditanah papua dan luar papua. Hasil musyawarah menyatakan bahwa Otonomi Khusus Papua telah gagal total dilaksanakan ditanah papua.
[27]   Ibid.,
[28]    Pokok rangkuman dari materi hasil musyawarah MRP dan Orang Asli papua pada tanggal 9-10 Juli 2010. Musyawarah ini wakil orang papua dari semua unsur (agama, adat, perempuan, pemuda, dsb) yang ada ditanah papua dan diluar papua. Hasil musyawarah menyatakan bahwa Otonomi Khusus Papua telah gagal total dilaksanakan ditanah papua.
[29]   Vivanews.com.  Rabu 10 Februari 2010
[30]   Ibid.,
[31]   Laporan pelanggaran HAM oleh TNI/Polri kepada masyarakat asli Papua, pada tahun 2006-2008
[32] Hasil survey Foker LSM Papua tentang keadaan kesehatan di papua tahun 2005