1.
PENDAHULUAN
Sekarang
ini tampaknya ada isu yang mendua terhadap sosok dan cara kerja aparatur
pemerintah dikebanyakan negara sedang berkembang. pandangan pertama menganggap bahwa birokrasi
pemerintah ibarat sebuah perahu besar yang dapat menyelamatkan seluruh warga
masyarakat dari bencana banjir, ekonomi maupun politik. Bagaikan dilengkapi
oleh militer dan partai politik yang kuat, organisasi pemerintah merupakan dewa
penyelamat dan merupakan organ yang dikagumi masyarakat. Pandangan ini
didasarkan atas asumsi bahwa didalam mengolah sumber daya yang dimiliki,
organisasi ini mengerahkan para intelektual dari beragam latar belakang
pendidikan sehingga keberhasilannya lebih dapat terjamin. Jadi mereka
berkesimpulan bahwa birokrasi pemerintah memegang peran utama, bahkan peran
tunggal dalam pembangunan suatu negara. Pada sisi lain, pandangan kedua menganggap birokrasi pemerintah
sering menunjukkan gejala yang kurang menyenangkan. Bahkan hampir selalu
birokrasi pemerintah bertindak canggung, kurang terorganisir dan buruk
koordinasinya, menyeleweng, otokratik, bahkan sering bertindak korupsi. Para
aparatnya kurang dapat menyesuaikan diri dengan modernisasi orientasi
pembangunan serta perilakunya kurang inovatif dan tidak dinamis. Dalam keadaan
semacam ini, pemerintah biasanya mendominasi seluruh organ politik dan
menjauhkan diri dari masyarakat.
Berdasarkan dari kedua pandangan tersebut diatas, bahwa pada
pandangan pertama mungkin di ilhami dengan pengharapan yang muluk-muluk dan
berlebihan, yang dewasa ini mungkin sudah sangat jarang ditemukan, sedangkan
pada pandangan kedua merupakan suatu pandangan yang berlebihan yang didasarkan
pada prasangka buruk. Bisa juga terjadi kedua pandangan tersebut bertentangan
satu sama lain yang didasarkan pada pengamatan yang mendalam dan evaluasi
terhadap kondisi nyata aparatur pemerintah. Sudah barang tentu kritik dan
ketidakpuasan yang berlebihan terhadap peran birokrasi dalam pembangunan
sangatlah tidak adil. Selalu saja jika terjadi kegagalan dalam usaha
pembangunan birokrasi dipandang sebagai biang keladinya. Kegagalan pembangunan
memang sebagian besar merupakan tanggungjawab birokrasi namun bukanlah
semuanya. Bahkan di beberapa negara, kekurangan efisiensi administrasi negara
tidak dianggap sebagai "dosa besar" terhadap ketidakmampuan
pemerintah didalam memenuhi harapan pembangunan ataupun realisasi tujuan
sebagaimana telah ditetapkan didalam rencana pembangunan. Hal yang harus
diperhatikan adalah bagaimana caranya agar ketidaksempurnaan administrasi
negara itu dapat dikurangi, kalau tidak bisa dihilangkan sama sekali.
Ketidaksempurnaan adaministrasi ini tidak akan dipandang sebagi situasi yang
suram, jika seandainya kondisi kesemerawutan administrasi negara ini tidak
merebak ke seluruh pelosok negeri, baik pada tingkat regional maupun tingkat
nasional. Kondisinya di persuram lagi dengan adanya keinginan dari birokrasi
pemerintah untuk mempertahankan status
quo dan menerapkan pola otokratik dan otoriter. Peran pemerintah yang amat
dominan dalam pembangunan sosial dan ekonomi membuat semuanya menjadi lebih
parah.
Desentralisasi, yang pertama kali diperkenalkan di Indonesia
pada tahun 1999 menandai pergeseran radikal dari model sentralisasi tata kelola
pemerintahan pada tahun 1960-an yang ditandai dengan hubungan kekuasaan yang
tidak seimbang dan tergantung antara pemerintah pusat dan daerah, pengambilan
keputusan jarak jauh, dan perumusan kebijakan yang serba sama, sehingga
seringkali tidak sensitif terhadap keragaman Indonesia. Reformasi membuka jalan
bagi setiap orang maupun daerah untuk menyuarakan keadilan ekonomi, politik,
sosial budaya, dan pelayanan. Pendekatan pembangunan yang sentralistik selama
Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun ternyata telah banyak menimbulkan
kesenjangan yang menimbulkan rasa ketidakadilan. Kesenjangan tersebut antara
lain kesenjangan pendapatan antar daerah yang besar, kesenjangan investasi
antar daerah, pendapatan daerah yang dikuasai pemerintah pusat, kesenjangan
regional, dan kebijakan investasi yang terpusat. Untuk mengatasi hal tersebut,
maka otonomi daerah merupakan salah satu alternatif untuk memberdayakan setiap
daerah dalam memanfaatkan sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM)
untuk kesejahteraan rakyatnya.
Desentralisasi di Indonesia menggabungkan dimensi-dimensi
partisipatif yang kuat dalam pengambilan kebijakan daerah, yang dilakukan
melalui sistem Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan), dimana para
praktisi, tokoh masyarakat, warga masyarakat, pemuda dan anak-anak dapat
terlibat dalam penentuan prioritas dan perencanaan pembangunan. Musrenbang
berpotensi untuk menentukan pembangunan daerah. Dasar pemikiran desentralisasi
tata kelola pemerintahan adalah agar pemerintah daerah dapat mengidentifikasi,
memprioritaskan dan merespon ciri-ciri, isu-isu dan kendala-kendala khusus
setiap daerah secara kreatif dan tepat. Oleh karena itu, berdasarkan teori,
pengetahuan lokal yang disatukan dengan kewenangan legislatif dan kebijaksanaan
pemerintah kabupaten/provinsi tentang proses perencanaan dan alokasi sumberdaya
dapat menjadi dasar yang kuat bagi inovasi yang meningkatkan kesejahteraan&
mewujudkan hak-hak masyarakat ditingkat daerah. Misalnya pendekatan daerah akan
sangat penting ketika praktek-praktek dan perilaku budaya lokal memberikan
tantangan, betapa pentingnya desentralisasi tersebut.
Paradigma yang berkembang sejak Reformasi 1998, selaras
dengan prinsip pemerintahan demokratis. Dalam hal ini, adanya pengaturan
kewenangan seimbang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Adanya desentralisasi
dapat mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan. Tentunya juga mencegah munculnya
pemerintahan yang otoriter dan mendorong demokratisasi ditingkat lokal. Hal itu
terjadi karena rakyat lebih memiliki peluang untuk terlibat dalam
penyelenggaraan pemerintahan diwilayahnya masing-masing. Dilihat dari
perspektif sosiokultural, desentralisasi menyebabkan kepentingan rakyat di
daerah-daerah yang memiliki kekhususan tertentu dapat tertangani dengan baik.
Maka, adanya desentralisasi ini dapat membuat pembangunan berjalan dengan baik
dan terarah, meskipun masih ada beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki. Oleh
karena itu, diperlukan penguatan implementasi otonomi daerah. Agar dapat
memperkuat kerangka NKRI. Untuk itu, diharapkan dapat muncul sikap kemandirian
yang digerakkan berdasarkan kreativitas dan inovasi daerah. Adanya kreativitas
dan inovasi itu dapat mengoptimalkan berbagai potensi sumberdaya yang ada. Baik
sumberdaya alam, maupun sumberdaya manusia. Selain itu, penguatan implementasi
juga dapat mempererat hubungan pemerintahan. Sehingga akan lebih proporsional,
harmonis, dan produktif dalam penguatan integrasi bangsa dan pembangunan
nasional.
Pemahaman
tentang desentralisasi dapat ditarik dari tiga sumber grand theory yakni :
ü
Teori pendelegasian kewenangan dilihat
dari ilmu administrasi publik;
ü
Teori pembagian kekuasaan atau
pemisahan kekuasaan dilihat dari ilmu negara/ilmu pemerintahan
Berdasarkan teori pembagian kekuasaan/pemisahan kekuasaan
menurut pandangan Montesqieu dengan trias politicanya maupun catur prajanya Van
Vollen Hoven, kemudian dilakukan pembagian kekuasaan secara internal didalam
tubuh negara, dengan dua model yakni di negara unitaris dan di negara
federalis.
ü
Teori eklektik yang menggabungkan
antara teori pembagian kekuasaan dan teori pendelegasian kewenangan.
POLA PENYERAHAN KEWENANGAN PEMERINTAHAN
DI NEGARA FEDERALIS DAN UNITARIS
|
NEGARA UNITARIS
|
PEMERINTAH PUSAT
|
DAERAH
OTONOM
|
DAERAH
OTONOM
|
NEGARA FEDERAL
|
PEMERINTAH FEDERAL
|
NEGARA BAGIAN/PROVINSI
|
NEGARA BAGIAN/PROVINSI
|
Ø
Di negara
federalis, kekuasaan pemerintahan negara bagian/provinsi sangat luas
mencakup kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Ø
Di bawah pemerintah nasional terdapat
entitas yang lebih kecil berbentuk negara bagian (seperti USA) atau provinsi
(seperti Canada).
ü
Di negara
unitaris, kekuasaan pemerintahan yang ditransfer ke daerah/local government hanyalah kekuasaan
eksekutif.
ü
Dilihat dari isi transfer kewenangan
pemerintahannya, negara unitaris dapat dikelompokkan menjadi tiga klaster
yakni:
a. Negara unitaris yang sentralistik (seperti China)
b. Negara unitaris yang terdesentralisasi (seperti Peranis,
Jepang)
c. Negara unitaris yang ultra-desentralistik (seperti
Indonesia, Philipina, Pakistan, Eithopia).
1.1.
Pertimbangan Perlunya Kebijakan Desentralisasi
Rondinelli
& Cheema (1983:14-16) mengemukakan berbagai variasi argumentasi perlunya
pendesentralisasian perencanaan pembangunan dan administrasi di negara
berkembang yaitu :
1.
Menjadi sarana untuk mengatasi berbagai
keterbatasan pengendalian terpusat perencanaan nasional dengan cara delegasikan
kewenangan yang lebih besar untuk perencanaan pembangunan dan manajemen kepada
pejabat-pejabat yang bekerja di lapangan, dekat dengan masalah.
2.
Memotong berbagai prosedur yang
menghambat, ciri dari perencanaan dan manajemen terpusat.
3.
Dengan mendesentralisasikan
fungsi-fungsi dan tugas pejabat pemerintah pada aras lokal, pemahaman dan
kepekaan kepada masalah dan kebutuhan lokal akan dapat ditingkatkan.
4.
Memungkinkan penetrasi politik dan
administrasi dengan lebih baik mengenai kebijakan pemerintah pusat pada wilayah yang dapat dikendalikan
dari pusat.
5.
Memungkinkan perwakilan yang lebih
besar dari berbagai variasi politik, agama, etnik, dan kelompok suku di dalam
pembuatan kebijakan pembangunan, sehingga memungkinkan keadilan yang lebih
besar didalam alokasi sumberdaya dan investasi pemerintah.
6.
Membuka kesempatan pengembangan
kapabilitas administrasi yang lebih besar bagi institusi pemerintahan lokal dan
swasta di propinsi dan kabupaten/kota.
7.
Efisiensi pemerintah pusat dapat
ditingkatkan karena pekerjaan-pekerjaan rutin dapat ditangani secara efektif
oleh staf lapangan atau pejabat lokal.
8.
Memberikan sebuah struktur bagi
berbagai kementerian dan lembaga pemerintah pusat untuk melakukan aktivitas
pembangunan serta koordinasi dengan pemimpin lokal dan organisasi non
pemerintah diberbagai daerah.
9.
Sebuah struktur pemerintahan yang
terdesentralisasi diperlukan untuk melembagakan partisipasi warganegara dalam
perencanaan pembangunan dan manajemen.
10. Dengan menciptakan berbagai alat-alat alternatif pengambilan
keputusan, desentralisasi barangkali dapat mempengaruhi atau mengendalikan
kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh elit lokal, yang biasanya tidak
simpatik pada kebijakan pembangunan secara terpusat.
11. Desentralisasi dapat membuat administrasi menjadi lebih luwes, innovative dan kreatif.
12. Desentralisasi perencanaan pembangunan&fungsi manajemen
memungkinkan pemimpin lokal untuk
menentukan pelayanan dan fasilitas secara lebih efektif dengan
komunitas.
13. Desentralisasi dapat meningkatkan stabilitas politik dan
persatuan nasional dengan memberi kesempatan kepada kelompok-kelompok yang
berbeda untuk mengambil keputusan pembangunan.
14. Desentralisasi dapat meningkatkan jumlah pemberian pelayanan
barang dan jasa publik, dan dengan biaya yang lebih rendah.
1.2.
Dimensi dan Derajat Desentralisasi
Desentralisasi penting untuk[1]
:
|
Dimensi Desentralisasi[2]
:
|
Derajat desentralisasi[3]
:
|
a.
Stabilitas politik;
|
a.
Geografis;
|
a.
Dekosentrasi;
|
b.
Pemberian pelayanan yg efektif;
|
b.
Fungsional;
|
b.
Delegasi;
|
c.
Pengurangan kemiskinan;
|
c.
Politik/administratif;
|
c.
Devolusi
|
d.
Keadilan.
|
d.
Fiskal
|
2.
TEORI DAN METODE
Ada tiga
azas dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia yakni desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Menurut UU No.32 tahun 2004, desentralisasi dimaknai sebagai penyerahan
wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dekonsentrasi didefinisikan sebagai pelimpahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal diwilayah tertentu. Sementara Tugas Pembantuan adalah penugasan
dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota
dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
Bila kita mengkomparasikan ketiga azas pemerintahan daerah
sebagaimana yang tertuang dalam UU No.32 tahun 2004 dengan UU Pemerintahan
Daerah era orde baru (UU No.5 tahun 1974); tentunya ada perbedaan yang cukup
mendasar, khususnya azas dekonsentrasi dan azas tugas pembantuan. Azas
dekonsentrasi maupun tugas pembantuan bersama-sama dengan azas desentralisasi
menjadi azas pemerintahan daerah khususnya untuk kabupaten dan kotamadya ketika
itu. Penggunaan ketiganya secara bersamaan tentu saja menyebabkan simpang
siurnya kejelasan kewenangan yang dimiliki kabupaten dan kota. Dalam prakteknya
azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan justru lebih mendominasi hubungan pusat
dan daerah daripada azas desentralisasi, sehingga tidak terjadi praktek otonomi
daerah yang sesungguhnya karena kewenangan masih dikendalikan oleh pusat mulai
dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasannya. Daerah lebih banyak menerima
dan melaksanakan kebijakan yang dibuat pusat, bahkan tidak jarang kewenangan
itupun dilaksanakan oleh wakil pemerintah pusat yang ada di kabupaten/kotamadya
yakni melalui kantor-kantor departemennya. Otonomi secara sempit diartikan sebagai
“mandiri”, sedangkan dalam arti luas
adalah “berdaya”. Jadi otonomi daerah
yang dimaksud disini adalah pemberian
kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah untuk secara mandiri atau
berdaya membuat keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Mengenai desentralisasi, Soenobo Wirjosoegito memberikan
definisi sebagai berikut:
“Desentralisasi
adalah penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada
badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan
pertimbangan kepentinga sendiri mengambil keputusan pengaturan dan
pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari itu”[4].
Menurut
Rondinelli & Cheema, mengemukakan bahwa Desentralisasi adalah: “transfer perencanaan, pengambilan keputusan,
atau otoritas administrative dari pemerintah pusat kepada organisasinya
dilapangan, unit-unit administratif lokal, organisasi semi otonom dan
organisasi parastatal, pemerintahan lokal, atau organisasi nonpemerintah” [5].
Litvack&Seddon, mengemukakan bahwa desentralisasi
adalah:“ transfer of authority and
responsibility for public function from central to sub-ordinate or
quasi-independent government organization or the private sector” [6].
Desentralisasi adalah: “penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka NKRI”. Daerah Otonom,
selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yg mempunyai batas
daerah tertentu yang berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI [7].
Selanjutnya DWP. Ruiter mengungkapkan bahwa menurut pendapat
umum desentralisasi terjadi dalam 2 (dua) bentuk, yaitu desentralisasi
teritorial dan fungsional, yang dijabarkan sebagai berikut:
“Desentralisasi
teritorial adalah memberi kepada kelompok yang mempunyai batas-batas teritorial
suatu organisasi tersendiri, dengan demikian memberi kemungkinan suatu
kebijakan sendiri dalam sistem keseluruhan pemerintahan. Sedangkan
desentralisasi fungsional adalah memberi kepada suatu kelompok yang terpisah
secara fungsional suatu organisasi sendiri, dengan demikian memberi kemungkinan
akan suatu kebijakan sendiri dalam rangka sistem pemerintahan”[8].
Berkaitan dengan desentralisasi terotorial dan fungsional,
C.W. Van Der Pot, berpendapat: Desentralisasi
akan didapat apabila kewenangan mengatur dan mengurus penyelenggaraan
pemerintah tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat (central
government), melainkan juga oleh kesatuan-kesatuan pemerintah yang lebih rendah
yang mandiri (zelfanding), bersifat otonomi (teritorial dan fungsional) [9].
Dengan demikian, sistem desentralisasi mengandung makna pengakuan penentu
kebijaksanaan pemerintah terhadap potensi dan kemampuan daerah dengan
melibatkan wakil-wakil rakyat didaerah dengan menyelenggarakan pemerintahan dan
pembangunan, dengan melatih diri menggunakan hak yang seimbang dengan kewajiban
masyarakat yang demokratis. Ada 2 (dua) alasan pokok dari kebijaksanaan
membentuk pemerintahan di daerah. Pertama,
membangun kebiasaan agar rakyat memutuskan sendiri sebagian kepentingannya yang
berkaitan langsung dengan mereka. Kedua,
memberi kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan yang
bermacam-macam untuk membuat aturan-aturan dan programnya sendiri[10].
Dasar-dasar hubungan antara pusat dan daerah dalam kerangka
desentralisasi ada 4 (empat) macam, yaitu[11]:
1. Dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan
negara.
2. Dasar pemeliharaan dan pengambangan prinsip-prinsip
pemerintahan asli.
3. Dasar kebhinekaan.
4. Dasar negara hukum.
Dilihat
dari segi pelaksanaan fungsi pemerintahan, bahwa desentralisasi dan otonomi itu
menunjukkan[12]:
1. Satuan-satuan desentralisasi (otonomi) lebih fleksibel dalam
memenuhi perubahan-perubahan yang terjadi dangan cepat;
2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas dengan
efektif dan lebih efisien;
3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif;
4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral
yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.
Dalam Glossary
World Bank dikemukakan
bahwa desentralisasi adalah“ A process of transferring responsibility,
authority, and accountability for specific or broad management functions to
lower levels within an organization, system, or program” [13].
Menurut Cheema dan Rondinelli, dilihat dari sudut pandang
kebijakan dan administrasi, desentralisasi dapat dimaknai sebagai:“transfer perencanaan, pengambilan keputusan,
atau otoritas administratif dari pemerintah pusat kepada organisasinya
dilapangan, unit-unit administratif lokal, organisasi semi otonom dan
organisasi parastatal, pemerintahan lokal, atau organisasi nonpemerintah”[14].
Dalam konteks negara, dibedakan antara desentralisasi
dinegara berbentuk federal dengan negara berbentuk kesatuan (unitaris). Dalam
negara berbentuk federal, negara bagian atau provinsi dapat ada lebih dahulu
dibanding negara federalnya, sehingga sumber kekuasaan justru berada dinegara
bagian atau provinsinya. Pemerintah federal tidak boleh mencampuri urusan
negara bagian atau provinsi kecuali yang telah ditetapkan dalam konstitusi
negara federal. Dengan demikian isi urusan pemerintahan negara bagian lebih
luas dibandingkan isi urusan pemerintahan negara federalnya. Urusan
pemerintahan yang ditangani oleh pemerintah negara federal adalah urusan
moneter, fiskal nasional, politik luar negeri, peradilan tinggi, pertahanan,
keamanan nasional, teknologi tinggi. Selebihnya menjadi urusan pemerintahan
negara bagian atau provinsi.
Selain definisi tentang desentralisasi, perlu juga
dikemukakan berbagai prinsip ataupun ajaran yang digunakan di dalam mentransfer
kewenangan pemerintahan dari pemerintah nasional ke pemerintahan subnasional
dalam rangka desentralisasi. Campo dan Sundaram misalnya mengemukakan bahwa:“ In some unitary systems of government,
subnational entities exercise their powers by virtue of the ultra vires (beyond the powers)
principle; their powers are specifically delegated to them by central
government, which can override their decisions. In other unitary systems, local
governments operate under the general competence principle, and are in
principle entitled to exercise all powers that are not reserved to central
government”[15].
Desentralisasi diartikan sebagai: penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Jadi, desentralisasi merupakan pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom sesuai dengan UUD yang telah
ditentukan[16].
Jadi, otonomi daerah dapat diartikan pelimpahan
kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Dalam pola pikir demikian, otonomi daerah adalah suatu instrumen politik dan instrumen administrasi/manajemen yang
digunakan untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal, sehingga dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kemajuan masyarakat didaerah, terutama menghadapi
tantangan global, mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan kreativitas,
meningkatkan peran serta masyarakat, dan mengembangkan demokrasi.
Yang dimaksud daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, yang
berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Daerah otonom selanjutnya disebut dengan daerah[17]. Landasan hukum
melaksanakan otonomi daerah adalah[18]:
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan derah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang.
2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum.
4. Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7. Susunan dan tatacara penyelenggaraan pemerintahan daerah
diatur dalam undang-undang.
Tujuan
dari desentralisasi adalah[19] :
1. Mencegah pemusatan keuangan;
2. Sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk
mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pemerintahan.
3. Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi
pada tingkat lokal sehingga dapat lebih realistis.
Intisari
desentralisasi :
1. Adanya transfer kewenangan dan tanggungjawab;
2. Mengenai fungsi-fungsi publik;
3. Dari Pemerintah Pusat;
4. Kepada suatu entitas, yang dapat berbentuk :
ü Organisasi pemerintah subnasional;
ü Badan pemerintah semi-otonom;
ü Organisasi dan atau Pejabat pemerintah pusat di luar ibukota
Negara;
ü Organisasi nonpemerintah.
Hakikat
otonomi daerah adalah: “menyelesaikan masalah setempat dengan cara setempat
oleh orang setempat”.
2.1.
Konsep Dasar Good Governance
Secara
sederhana, sejumlah pihak menerjemahkan governance sebagai tata pemerintahan.
Tata pemerintahan disini bukan hanya dalam pengertian struktur dan manajemen
lembaga yang disebut eksekutif, karena pemerintah (government) hanyalah salah satu dari tiga aktor besar yang
membentuk lembaga yang disebut governance.
Dua aktor lain adalah private sektor
(sektor swasta) dan civil society
(masyarakat madani). Karenanya memahami
governance adalah memahami bagaimana integrasi peran antara pemerintah
(birokrasi), sektor swasta dan civil society dalam suatu aturan main yang
disepakati bersama. Lembaga pemerintah harus mampu menciptakan lingkungan
ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan keamanan yang kondusif. Sektor
swasta berperan aktif dalam menumbuhkan kegiatan perekonomian yang akan
memperluas lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan, sedangkan civil society harus mampu berinteraksi
secara aktif dengan berbagai macam aktifitas perekonomian, sosial dan politik
termasuk bagaimana melakukan kontrol terhadap jalannya aktifitas-aktifitas
tersebut.
United National Development Programme (UNDP,1997)
mendefinisikan governance sebagai “penggunaan
wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara
pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan
lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan
kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, mematuhi kewajiban dan menjembatani
perbedaan-perbedaan diantara mereka”.
Selanjutnya berdasarkan pemahaman kita atas pengertian governance tadi maka penambahan kata
sifat good dalam governance bisa diartikan sebagai tata pemerintahan yang baik atau
positif. Letak sifat baik atau positif itu adalah manakala ada pengerahan
sumber daya secara maksimal dari potensi yang dimiliki dari masing-masing aktor
tersebut atas dasar kesadaran dan kesepakatan bersama terhadap visi yang ingin
dicapai. Governance dikatakan memiliki sifat-sifat yang good, apabila memiliki
ciri-ciri atau indikator tertentu. Secara rinci World Bank memberikan 19
indikator good governance, namun para
akademisi biasanya tidak menggunakan kesemua indikator tersebut untuk mengukur good governance.
2.2.
Hubungan antara Desentralisasi dan Good Governance
Desentralisasi
atau pendesentralisasian governance merujuk pada suatu upaya restrukturisasi
atau reorganisasi dari kewenangan yang menciptakan tanggungjawab bersama
diantara lembaga-lembaga di dalam governance
baik ditingkat pusat, regional maupun lokal sesuai dengan prinsip saling
menunjang yang diharapkan pada akhirnya adalah suatu kualitas dan efektifitas
keseluruhan dari sistem governance tersebut termasuk peningkatan kewenangan dan
kemampuan dari governance di tingkat lokal (UNDP, 1997). Desentralisasi bukan
sekedar memindahkan sistem politik dan ekonomi yang lama dari pusat ke daerah,
tetapi pemindahan tersebut harus pula disertai oleh perubahan kultural menuju
arah yang lebih demokratis dan beradab. Melalui desentralisasi diharapkan akan
meningkatkan peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan
kebijakan yang terkait dengan masalah sosial, politik, ekonomi. Hal ini
sangatlah dimungkinkan karena karena lokus pengambilan keputusan menjadi lebih
dekat dengan masyarakat. Melalui proses ini maka desentralisasi diharapkan akan
mampu meningkatkan penegakan hukum; meningkatkan efisiensi dan efektifitas
pemerintah dan sekaligus meningkatkan daya tanggap, transparansi dan
akuntabilitas pemerintah daerah.
Beberapa pengalaman empirik memang telah membuktikan bahwa
desentralisasi tidak selalu berbanding lurus dengan terwujudnya good governance. Keberhasilan beberapa
pemerintah daerah dalam membangun kinerja pelayanan publiknya hingga saat ini
masih bisa dihitung dengan jari. Namun demikian pilihan pada desentralisasi sesungguhnya
haruslah disikapi dengan penuh optimisme dan menjadikannya sebagai sebuah
tantangan. Caranya adalah melalui kampanye yang terus menerus akan pentingnya
implementasi good governance di level
pemerintahan daerah. Tentu saja perwujudan desentralisasi yang nyata dan
bertanggung jawab serta keberhasilan good
governance di daerah, diperlukan komitmen yang kuat, proses pembelajaran
yang terus menerus serta kesabaran kolektif dari segenap pemangku kepentingan
baik di pusat maupun di daerah.
2.3.
Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Tantangan Utama dan
Dilema yang dihadapi
Desentralisasi
di Indonesia menimbulkan otonomi bagi kesatuan masyarakat hukum subnasional
ditingkat Propinsi, Kabupaten maupun Kota.
Otonomi
daerah berisi 4 (empat) hak dasar yakni :
1. Hak untuk memilih pemimpinnya sendiri secara bebas;
2. Hak untuk memiliki dan mengelola sumber keuangan dan
kekayaannya sendiri secara bebas;
3. Hak untuk membuat aturan hukumnya sendiri secara bebas;
4. Hak untuk mempunyai pegawainya sendiri secara bebas.
Kebebasan
tersebut tidak bersifat mutlak melainkan dibatasi oleh:
ü
Peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya,
ü
Kepentingan
nasional;
ü
Kepentingan
umum.
ü
Kepatutan.
Dalam pemilihan kepala daerah lebih dituntut kemampuannya
untuk menaikkan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Padahal kepala
daerah memegang peranan kunci didalam pembangunan berkelanjutan. Di dalam
membuat aturan, daerah otonom seringkali lebih bersifat ego-kedaerahan,
mengabaikan kepentingan daerah lain maupun kepentingan nasional. Wawasan
kebangsaan sebagian para penyelenggara negara/daerah menunjukkan gejala
penurunan. Di dalam mengelola sumber keuangan dan kekayaan daerah, yang nampak
dalam pikiran pembuat kebijakan, legislator maupun para perencana adalah
angka-angka yang terus meningkat, tanpa mempertimbangkan daya dukung
masyarakat, kearifan lokal dan daya dukung alam. Pada sisi lain, sumberdaya
alam yang dijadikan sumber keuangan jumlah dan jenisnya sangat terbatas, dan
tidak bertambah banyak. Sumberdaya alam tersebut ada yang dapat diperbaharui,
ada yang tidak.
Dilema
yang muncul adalah :
ü
Pertumbuhan ekonomi vs pelestarian
lingkungan;
ü
Kepentingan daerah vs kepentingan
daerah lain maupun
ü
Kepentingan nasional;
ü
Pemenuhan fungsi vs pemenuhan gengsi;
ü
Pemenuhan kebutuhan vs pemenuhan
keinginan;
ü
Kepentingan individu vs kepentingan
umum;
ü
Pandangan pragmatis vs pandangan
idealis;
ü
Kepentingan sesaat vs kepentingan
jangka panjang;
ü
Pertimbangan politis vs pertimbangan
lingkungan.
Keberhasilan pembangunan daerah yang berkelanjutan dalam
rangka desentralisasi, ditentukan oleh :
ü
Pembuat kebijakan;
ü
Legislator;
ü
Perencana;
ü
Pelaksana teknis;
ü
Pemerhati lingkungan;
ü
Pengawas lingkungan;
ü
Pelaku ekonomi.
Penelitian UNICEF tahun 2010 menunjukkan pemandangan berbeda
diseluruh Indonesia yang memperingatkan terhadap generalisasi. Akan tetapi,
empat aspek utama desentralisasi tata kelola pemerintahan dinyatakan menghambat
potensi desentralisasi.
a. Ada keinginan untuk memperkuat tata kelola pemerintahan di
semua tingkat, termasuk penanganan isu-isu tetap tentang ukuran dan kualitas
birokrasi dan dalam menjelaskan dan menghentikan hubungan antara tiga tingkat
pemerintahan.
b. Lemahnya koordinasi antar pelaku dilapangan dan kurangnya
harmonisasi aturan dan peraturan.
c. Di tingkat kabupaten/ kota, ada keinginan untuk meningkatkan
pengetahuan dan kapasitas agar pemerintah daerah dapat memenuhi tugas dan
tanggungjawab mereka secara efektif.
d. Potensi partisipatif desentralisasi belum dikaji dan
digunakan secara tepat.
Desentralisasi belum berdampak pada kebutuhan tetap untuk
meningkatkan kualitas, efisiensi dan ukuran birokrasi. Meskipun telah dilakukan
sejumlah revisi terhadap undang-undang desentralisasi yang asli dan peraturan
(No.32/33/2004, Peraturan Pemerintah No.39/2007), tetapi pembagian kekuasaan,
tanggungjawab, dan harmonisasi yang lemah antara tiga tingkat pemerintah terus
menimbulkan berbagai ketegangan. Dibawah desentralisasi, kekuasaan pengambilan
keputusan dan kebijakan berbagai sektor pemerintahan dialihkan ke tingkat
kabupaten. Kekuasaan ini meliputi penganggaran, perencanaan dan pengembangan
pilihan-pilihan strategis efektif yang harus diterjemahkan kedalam rencana
kerja tahunan, serta penyusunan dan pengesahan kerangka regulasi pendukung
untuk mendukung implementasi kebijakan, program dan aksi, dan pemberian
pelayanan. Munculnya provinsi, kabupaten dan kotamadya baru secara
terus-menerus menambah tekanan terhadap keterbatasan sumberdaya dan hanya
beberapa kabupaten baru tersebut yang sepenuhnya mampu atau siap untuk secara
efektif menghadapi kompleksitas dan tuntutan tata kelola pemerintahan
kabupaten/kota. Keadaan ini menimbulkan pengaruh negatif terhadap kualitas
perencanaan dan pemberian pelayanan.
2.4.
Pengetahuan dan Kapasitas
Beberapa
studi yang mengkaji dampak desentralisasi (misalnya analisa lanskap WHO)
menunjukkan bahwa desentralisasi kewenangan memerlukan dukungan terus-menerus
untuk memenuhi kewajiban dan tanggungjawab mereka dengan baik. Sejumlah
kelemahan kapasitas dan pengetahuan teknis harus ditangani, termasuk:
Ø
Akses ke informasi terkini tentang
perkembangan hukum nasional, peraturan dan pedoman.
Ø
Diseminasi atau pengarusutamaan
pedoman, program dan rencana.
Ø
Interpretasi instrumen/strategi/program
nasional sehingga instrumen/strategi/program tersebut dapat diterapkan pada
konteks lokal.
Ø
Penciptaan lingkungan peraturan daerah
yang memungkinkan, misalnya penyusunan peraturan daerah penyusunan pedoman.
Ø
Pengembangan kapasitas
Ø
Penggunaan dan pengelolaan data.
Ø
Penciptaan kesadaran masyarakat tentang
isu-isu penting dan dorongan perubahan perilaku.
Kesenjangan pengetahuan sebagian mencerminkan beberapa isu
yang berhubungan dengan kemampuan teknis sumberdaya manusia, sebagaimana
disebutkan sebelumnya. Dimensi lebih lanjut berhubungan dengan data dan
pemantauan. Kesenjangan pengetahuan, kapasitas dan data dalam beberapa tingkat
kabupaten dapat saling memperkuat dan berkontribusi untuk menciptakan sinergi
negatif yang mengganggu tata kelola pemerintahan yang efektif.
Program ASIA dan studi investasi kasus memberikan contoh
pendekatan inovatif pada pengembangan kapasitas dan bantuan teknis. Sebagai
pengganti pendekatan ruang kelas yang difokuskan pada pelajaran teori khusus
yang dipisahkan dari kebutuhan dan realitas konteks lokal, program-program ini
telah mengintegrasikan pelatihan dan bantuan teknis sebagai bagian dari
serangkaian kegiatan yang lebih luas dengan orientasi pada hasil praktis dan
penyelesaian masalah. Ini merupakan pendekatan yang efektif pada bantuan teknis
dan pengembangan kapasitas, meskipun ada resiko tinggi bahwa dampak positif akan
menurun karena tingginya tingkat pergantian personil diseluruh kabupaten.
Peningkatan pendekatan substantif dan holistik pada pengembangan kapasitas
ditingkat kabupaten seperti pendekatan yang diadopsi oleh studi kasus investasi
dan ASIA perlu dilakukan secara lebih sistematis.
2.5.
Partisipasi dan Perencanaan Pembangunan
Desentralisasi
tata kelola pemerintahan memperkenalkan pendekatan baru pada perencanaan
pembangunan termasuk kontribusi dari bawah ke atas (bottom up) maupun dari atas ke bawah (top down) untuk melakukan rekonsiliasi dan melengkapi satu sama
lain. Akan tetapi, dimensi partisipatif perencanaan pembangunan dalam konteks
desentralisasi tetap terbatas. Musrenbang harus memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada segenap lapisan masyarakat untuk berpartisipasi
menentukan perencanaan pembangunan dengan menekankan persoalan, kebutuhan dan
prioritas, tetapi Musrenbang tersebut jarang melakukannya.
Pemerintah daerah harus memperkuat partisipasi secara
efektif. Hal ini sangat penting untuk memprioritaskan dampak kebutuhan,
prioritas, ide, dan inovasi dari proses musyawarah perencanaan pembangunan
(Musrenbang) ditingkat desa dan kecamatan (untuk perencanaan pembangunan
tingkat kabupaten) dan tingkat kecamatan (untuk perencanaan pembangunan tingkat
provinsi). Penguatan Musrenbang harus meliputi pemberian bantuan teknis dan
pengembangan kapasitas yang tepat kepada pemerintah kabupaten dan provinsi
untuk menerjemahkan proses dan prioritas kedalam perencanaan pembangunan,
khususnya perumusan rencana strategis (Renstra) kabupaten, peraturan daerah
(Perda), kebijakan, anggaran, dan rencana kerja tahunan sektoral/unit dan
pedoman tentang pemberian pelayanan.
2.6.
Koordinasi dan Harmonisasi
Otonomi
kabupaten/kota yang lebih besar, untuk memaksimalkan kesesuaian antara konteks
lokal dan pemerintah, merupakan salah satu ciri penting proses desentralisasi.
Akan tetapi, di Indonesia, dua isu telah muncul: koordinasi diantara
tingkat-tingkat pemerintahan yang berbeda dan harmonisasi dimana kabupaten/kota
beroperasi dengan sejumlah aturan dan peraturan yang berbeda. Tidak adanya
mekanisme insentif atau disinsentif untuk memastikan kepatuhan ditingkat
kabupaten merupakan hambatan terhadap koordinasi. Undang-undang dan kerangka
hukum, yang saling bertentangan harus disesuaikan. Kerjasama dan koordinasi
antar lembaga yang berhubungan dengan isu-isu, yang cenderung tersebar diantara
sejumlah besar pemangku kepentingan, perlu ditingkatkan. Selain kepemimpinan
yang kuat dan komitmen pengemban tugas diberbagai tingkat, pembentukan kelompok
kerja multi sektoral, komisi atau satuan tugas memainkan peran positif.
Lembaga-lembaga tersebut sebaiknya berasal dari organisasi masyarakat sipil,
praktisi dan pemangku kepentingan lainnya. Satuan tugas lokal harus mendapatkan
dukungan yang tepat, memperoleh dana yang memadai, dan memiliki mandat yang
kuat dan jangka waktu yang layak.
3.
MENGAPA DESENTRALIASI DAN TATA PEMERINTAHAN LOKAL?
Latar
belakang dan asal muasal reformasi desentralisasi adalah tidak berfungsi dan
gagalnya sistem pembuatan keputusan yang sentralistis dimana pemerintah pusat
tidak dapat menyediakan solusi-solusi bagi tiap-tiap komunitas di tiap-tiap
lokalitas yang beragam. Dalam hal ini reformasi desentralisasi mempunyai fokus
pada perbedaan lokalitas dan mencoba mengembangkan kapasitas pemerintah daerah
dalam memecahkan masalah-masalah ditingkat lokal. Selain itu adalah tidak
efisiennya konsumsi sumberdaya lokal. Sistem alokasi yang tersentralisasi telah
gagal dalam memberikan hasil yang efisien dan efektif dalam hal pengeluaran
pemerintah pusat dan daerah, contohnya adalah sistem alokasi penerimaan pajak.
Pajak yang ditarik secara terpusat oleh pemerintah pusat dan sistem konsumsi
sumberdaya lokal merupakan sistem yang sangat menguntungkan bagi pemerintah
pusat untuk mengontrol pengeluaran lokal dan pembuatan kebijakan di daerah.
Tidak mengherankan apabila pada masa orde baru, salah satu mekanisme
sentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat berpusat pada pengontrolan alokasi
dana untuk pembangunan daerah.
Namun demikian, sistem tersebut dapat merusak hubungan
antara penerimaan dan pengeluaraan didaerah dan masyarakat lokal tidak dapat
mengawasi dan mengontrol keuangan pemerintah daerahnya masing-masing. Ketika
masyarakat lokal cenderung untuk meminta banyak dari pemerintah daerah
sehubungan dengan pelayanan publik dan lain sebagainya tanpa kesadaran akan
biaya yang akan dikeluarkan oleh pemerintah daerah, tingkat kepuasan masyarakat
akan aktivitas pemerintah daerah akan semakin berkurang seiring ketidakmampuan
pemerintah daerah membiayai pelayanan publik yang diinginkan oleh masyarakat
lokal. Hasilnya adalah kegagalan dalam alokasi sumberdaya lokal bagi masyarakat
lokal itu sendiri. Yang terakhir adalah kematangan sistem pemerintahan daerah
dan masyarakat sipil didaerah. Disetiap daerah, dengan adanya tradisi mengenai
tata pemerintahan lokal, pemerintah daerah dan masyarakat lokal memiliki
pengalaman akan praktik tata pemerintahan yang baik seseuai dengan kondisi
khusus masing-masing. Sangatlah wajar jika kemudian tiap daerah telah mempunyai
modal yang cukup mengenai pelaksanaan dan strategi tata pemerintahan lokal
untuk kemudian memperkaya konsep otonomi daerah[20].
Jalan yang terbaik untuk meminimalisasi persoalan yang
diakibatkan gagalnya sistem yang tersentraliasi adalah reformasi
desentralisasi. Dengan diberlakukannya UU No.22/1999 dan amandemennya UU
No.32/2004 Indonesia memasuki tahapan baru kepemerintahan. Desentralisasi dan
otonomi diharapkan menjadi solusi yang tepat untuk berbagai persoalan yang ada
di daerah. Asumsi dasar desentralisasi yaitu mendekatkan pelayanan dengan
rakyat. Dengan sistem desentralisasi, pelayanan publik menjadi mudah
direalisasikan mengingat adanya kedekatan antara penyedia layanan dan pengguna
layanan. Terlebih lagi mengingat bentuk negara Indonesia sebagai negara
kepulauan yang sulit dijangkau dan setiap wilayah memiliki karakteristik yang
sangat berbeda. Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu
dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari
pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi
pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya. Otonomi
daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus
tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi
dewasa ini.
3.1.
Perubahan Tata Pemerintahan
Tata pemerintahan
yang baik mengacu pada konsep sebagaimana yang sering ditekankan oleh World Bank
selama dua dekade belakangan ini. Untuk mencapai tata pemerintahan lokal yang
baik, terdapat beberapa prinsip utama yang harus diperhatikan.
1. Penciptaan demokrasi lokal adalah yang utama dimana dalam
hal ini mencakup lembaga Perwakilan lokal yang dipilih oleh masyarakat lokal,
hak pilih bagi masyarakat lokal, partisipasi publik, dan lainnya.
2. Efisiensi dan efektifitas dari pemerintah daerah.
3. Prinsip rule of law
termasuk di dalamnya due process of law
dan prinsip keadilan.
4. Pemberantasan korupsi.
Di era desentralisasi, tata pemerintahan yang baik adalah
standar minimum bagi pemerintah daerah. Selain itu, tata pemerintahan lokal
yang menjalankan desentralisasi membutuhkan lebih banyak kapasitas dan
kapabilitas karena tata pemerintah lokal dalam bentuk ini mempunyai kewenangan
dan sumber daya yang besar dan untuk memberdayakan kewenangan dan sumber daya
tersebut dibutuhkan kapasitas dan kapabilitas reformasi Untuk itu diperlukan
pembangunan dan reformasi dalam pemerintahan lokal dan masyarakat lokal.
Pemerintah daerah sendiri akan sulit untuk mereformasi dirinya sendiri,
sementara itu pembangunan masyarakat lokal sendiri sangat sulit dicapai jika
hanya mengandalkan usaha sendiri-sendiri, oleh karena itulah diperlukan suatu
hubungan saling membangun antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam
penciptaan tata pemerintahan lokal yang baik.
Tata pemerintahan lokal mempunyai tahapan perubahan
selayaknya evolusi dalam tiga tingkatan yaitu tata pemerintahan lokal
responsif, kemudian berevolusi menjadi tata pemerintahan network, dan tahapan
terakhir adalah tata pemerintahan lokal kemitraan. Lebih lanjut Nikawa (2006)
menjelaskan[21]:
“The responsive
local governance means the good governance of local government. Responsive
local governance ought to carry out its duty of responsibility and
accountability for local people, and provide the chance of citizen
participation. While citizen participation is increasing, local governance
begins to change to the network governance. The network governance is composed
of the cooperation and responsiveness of local actors. Local actors are
mutually networked and exchange their information among them. The community
action group, private company, and NGOs are the actors. Also there is
networking among local government and many local actors, which operate to
organize the network issue and then policy network in specialized areas. This
network functions in the participative decision-making process of local
government, which attain more effective and efficient policy outcome. In the
network governance, the actors learn and grow in the governance partnership,
providing that the local people acquire maturity as an owner and user of power
and control in locality, is characterized by the equal partnership between
local actors and government, the cooperation of provision of public services
among them, and the effective and efficient use of local resources though this
cooperation. The governance partnership will keep and secure the sustainability
of community.
3.2.
Reformasi Pemerintah Daerah.
Dalam
menuju tata pemerintahan lokal, pemerintah daerah dan masyarakat lokal harus
mengubah dirinya sendiri. Pemerintah daerah merupakan elemen penting dalam
kehidupan masyarakat terutama pada era desentralisasi dan harus di
tranformasikan untuk mencapai tata pemerintahan lokal yang sesuai dengan
tuntutan desentralisasi. Untuk mencapai tata pemerintahan lokal oleh pemerintah
daerah, harus terdapat pengembangan kapasitas pemerintah daerah yang mencakup
reformasi pemerintah daerah, peningkatan kemampuan organisasional dalam
perumusan pengambilan kebijakan dan pelayanan publik, kondisi finansial
pemerintah daerah yang stabil dan baik, dan pembangunan kapasitas dari pegawai
negeri daerah. Reformasi pemerintah daerah dalam beberapa hal mengadopsi
beberapa langkah berikut yaitu pemangkasan biaya, restrukturisasi, privatisasi,
indikator pelaksanaan tugas, dan evaluasi kebijakan. Dalam reformasi demikian,
elemen yang harus diperhatikan adalah pegawai negeri daerah dan masyarakat
lokal. Pengembangan kapasitas dua element tersebut sangat menentukan dalam
berfungsinya tata pemerintahan lokal. Demi mencapai pengembangan kapasitas
mereka, harus diberikan kesempatan untuk berpastisipasi dalam skema kemitraan
di tata pemerintahan lokal.
Sebagai wahana perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan
suatu bangsa dalam bernegara, pengembangan sistem administrasi negara termasuk
birokrasi didalamnya senantiasa didasarkan pada konstitusi negara bangsa
bersangkutan. Demikian pula Indonesia. Sistem Administrasi Negara Kesatuan
Republik Indonesia, didasarkan pada dan merupakan penjabaran dari UUD 1945.
Seluruhnya itu mengandung makna, nilai, dan prinsip masyarakat madani dan
kepemerintahan yang baik. Hal ini tak boleh diabaikan lagi dalam pengembangan
sistem dan proses pemerintahan dan pembangunan bangsa dewasa ini dan dimasa
datang, apabila generasi ini dan generasi-generasi mendatang benar-benar ingin
membangun Indonesia seperti yang dideklarasikan, Indonesia yang dicitakan,
sosok Indonesia yang diamanatkan.
Abad 21 menghadapkan lingkungan strategis nasional dan
internasional yang berbeda dengan tantangan strategis yang dihadapi pada Abad
20. Di akhir Abad 20 dan dalam dekade-dekade awal Abad 21, Indonesia menghadapi
tantangan-tantangan berat di segala bidang; krisis multi dimensi, ancaman
desintegrasi, dan keterpurukan ekonomi. Indikator-indikator pembangunan
menunjukan bahwa posisi Indonesia berada dalam kelompok terendah dalam peta
kemajuan pembangunan bangsa-bangsa, baik dilihat dari indeks pembangunan
manusia, ketahanan ekonomi, struktur industri, perkembangan pertanian, sistem
hukum dan peradilan, penyelenggaraan clean government, dan penyelenggaraan good
governance baik pada sektor publik maupun bisnis. Selain itu Indonesia masih dipandang sebagai
negara dengan resiko tinggi dengan tingkat korupsi termasuk tertinggi, demikian
pula dari besarnya hutang luar negeri. Dan perkembangan politik di Indonesia
yang ditandai dengan kekasaran politik dan jumlah partai politik terbesar di
dunia, menunjukan kultur politik dan kehidupan demokrasi yang belum mantap,
merupakan fenomena yang memerlukan perhatian sungguh-sungguh dari setiap
pemimpin bangsa. Pembangunan Masyarakat Madani merupakan opsi dari ketidak
pastian paradigma yang ditempuh bangsa Indonesia dalam menghadapi
permasalahan-perma-salahan besar dan mendasar yang dihadapinya di Abad 21 ini.
Bangsa yang menderita krisis multi dimensi berkepanjangan sejak tahun-tahun
terakhir Abad 20 dengan berbagai dampaknya yang luas dalam kehidupan
masyarakat, memerlukan kejelasan, konsensus, dan komitmen bersama mengenai
paradigma, sistem, dan strategi yang harus ditempuh dalam menghadapinya, dalam
menghadapi krisis multi dimensi, tantangan pemulihan ekonomi, dan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bangsa dewasa ini dan di masa
datang.
Masyarakat madani sebagai “paradigma dan sistem peradaban”
yang memberi ruang secara seimbang kepada masyarakat dan pemerintah dalam
kehidupan bernegara, telah menarik cukup perhatian sebagai opsi pendekatan
dalam menghadapi permasalahan bangsa tersebut, dalam diskursus mengenai
resolusi permasalahan sistem penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa
dalam negara hukum yang demokratis.
Optimalisasi SDM dalam memperkuat system organisasi berbasis
kinerja, mengindikasikan pandang (1) birokrasi disadari merupakan kunci bagi
terselenggaranya good governance (2) Good governance merupakan salah satu pilar
pendukung masyarakat madani disamping dua lainnya, yaitu masyarakat (society) dan dunia usaha (business sector); dan (3) Good
governance dan masyarakat madani merupakan dua sisi dari suatu mata uang yang
akan utuh nilainya apabila tidak dipecah, bahkan nilainya akan semakin tinggi
apabila keduanya dikembangkan saling mengisi dan memperkuat. Adapun nilai-nilai
dan prinsip dasar yang menandai masyarakat madani, antara lain adalah
“ketuhanan, kemerdekaan, etika, hak asasi dan martabat manusia, supremasi
hukum, kebangsaan, demokrasi, sistem checks and balances, kemajemukan,
perbedaan pendapat, kebersamaan, persatuan dan kesatuan, kemitraan,
kesejahteraan bersama, dan keadilan”. Sedangkan nilai dan prinsip dasar yang
menandai GG secara universal antara lain adalah “kepastian hukum, transparansi,
partisipasi, profesionalitas, dan pertanggung jawaban (akuntabilitas)”; yang
dalam konteks nasional perlu ditambahkan dengan nilai dan prinsip “daya guna,
hasil guna, bersih (clean government),
desentralisasi, kebijakan yang serasi dan tepat, serta daya saing.
Secara konseptual masyarakat madani dan good governace
merupakan paradigma dan sistem peradaban yang luhur dalam penyelenggaraan
negara, dan untuk mewujudkannya sebagai sistem penyelenggaraan pemerintahan
negara dan pembangunan bangsa, diperlukan persyaratan tertentu yang harus
dipenuhi oleh setiap unsur penyelenggara negara, baik warga negara maupun
aparatur pemerintahan negara, atau oleh keseluruhan pilar pendukung masyarakat
madani dan good governance yaitu
“masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha”. Persyaratan tersebut pada essensinya
adalah konsensus, kompetensi, komitmen dan konsistensi dalam mewujudkan dan
memelihara nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan individu dan kehidupan
bersama, dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang didasarkan pada
keimanan dan ketaqwaan. Dalam kajian penginstitusionalisasian paradigma good
governance tersebut khususnya dalam Manajemen Pemerintahan. Sebagai wahana
perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan suatu bangsa dalam bernegara,
pengembangan setiap sistem administrasi negara didasarkan pada konstitusi
negara bangsa bersangkutan. Administration” yang sangat mendasar. Makna
spiritual dalam konteks Indonesia ini mengandung makna “psiko religius dan
kultural” yang kental dengan dimensi ketuhanan dan pengakuan bangsa Indonesia
akan keberadaan dan peran Allah Yang Maha Kuasa dalam perjuangan mewujudkan
cita-cita dan tujuan luhur bangsa dan negara, yang sepenuhnya merefleksikan
nilai-nilai kemanusiaan yang fitri atau murni dan universal.
Good governance sebagai paradigma dan alternatif pendekatan untuk menata
ulang sistem penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, mendeterminasikan
keimanan, ketaqwaan, dan keseimbangan posisi dan peran pemerintah dan
masyarakat, serta konsisten penegakan hukum, penerapan prinsip dan sendi-sendi
kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara, menghormati oposisi dan
perbedaan pendapat, serta menjunjung tinggi HAM dan hak-hak warga negara
seluruh lapisan masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Sebagai sistem organisasi dan
manajemen pemerintahan, diharapkan tampil dengan susunan organisasi
pemerintahan yang sederhana, agenda kebijakan yang tepat, pembagian tugas
kelembagaan yang jelas, kewenangan yang seimbang, personnel yang professional,
prosedur pelayanaan publik yang efisien, kelembagaan pengawasan yang mantap,
dan sistem pertanggung jawaban yang tegas. Sedangkan manajemen pemerintahan
harus dapat secara sistematis mengembangkan dan menerapkan nilai dan prinsip
good governance, serta memiliki visi, misi, strategi, dan kebijakan yang tepat
dalam menghadapi berbagai permasalahan bangsa.
Dalam pada itu, “SDM didalam organisasi pemerintahan”, baik
para birokrat karier mau pun political appointees, diharapkan menjiwai perannya
dalam mengemban “misi perjuangan bangsa”, dan mampu melaksanakan tugasnya
sebagai abdi masyarakat dan abdi negara yang bertanggung jawab, bijak, efektif,
efisien, adil, dan santun, baik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara langsung,
maupun dalam “pengelolaan berbagai kebijakan” dalam menghadapi permasalahan
bangsa dan dalam perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa bernegara.
Sejalan dengan itu, setiap warga negara dan masyarakat pun diharapkan lebih
menyadari hak, kewajiban, dan tanggungjawabnya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, dalam perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bersama dalam
bernegara. Dengan demikian, reformasi sistem birokrasi dalam rangka perwujudan
good governance harus menyentuh keseluruhan pilar pendukungnya dan secara
substansial meliputi unsur “organisasi, manajemen, dan sumber daya manusia”
yang didasarkan dan terarah.
Dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa
kita, semua itu merupakan manifestasi dari dimensi-dimensi spiritual yang harus
diamalkan secara konsisten dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa
baik oleh aparatur negara mau pun warga masyarakat bangsa. Dalam pembangunan
birokrasi, fungsi dari nilai-nilai tersebut adalah menjadi pedoman perilaku
dalam bersikap, berpikir, dan bertindak, baik secara individual maupun secara
institusional, yang dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi kepemerintahan
dapat dijabarkan antara lain dalam format “pengelolaan pelayanan dan kebijakan
prima” (excellent management of public
services and policies) yang memungkinkan karya dan kinerja keseluruhan
pilar dan unsur mencapai tingkat optimalitas sosial.
Permasalahan “birokrasi” (“kantor penyelenggara kewenangan
tugas kepemerintahan”) yang mengemuka dalam rangka penyelenggaraan negara dan
pembangunan bangsa dewasa ini antaranya adalah “tatanan organisasi dan
manajemen pemerintah pusat yang belum mantap, desentralisasi yang menyulitkan
koordinasi, format perangkat pemerintahan di daerah yang duplikatif, kompetensi
aparatur yang memperihatinkan, dan agenda kebijakan yang tidak efektif dalam
menghadapi permasalahan dan tantangan pembangunan bangsa”. Semua itu
mengindikasikan diperlukannya suatu “grand strategy” dalam penataan birokrasi
secara sistemik, yang mempertimbangkan bukan saja keseluruhan kondisi internal
birokrasi tetapi juga permasalahan dan tantangan strategik yang dihadapkan
lingkungannya.
Birokrasi Pemerintah Pusat dan Daerah (”organisasi dan
manajemen, dan SDMnya”) perlu memiliki visi, misi, strategi, agenda kebijakan,
kompetensi, dan komitmen pembangunan dan pelayanan yang jelas dilandasi
dimensi-dimensi spiritual dan tegas terfokus pada permasalahan yang mendesak perlu
di atasi, dan terarah pada perwujudan cita-cita dan tujuan bangsa bernegara,
disertai kompetensi dan komitmen yang kuat dalam keseluruhan tatanan
organisasinya yang tersusun secara tepat disertai pelimpahan kewenangan yang
seimbang, pemerintah akan dapat mencapai kinerja yang optimal dalam menghadapi
berbagai permasalahan dan tantangan dalam penyelenggaraan negara dan
pembangunan bangsa. Penataan Organisasi dan Tata Kerja. Penataan organisasi
pemerintah baik pusat maupun daerah didasarkan pada visi, misi, sasaran,
strategi, agenda kebijakan, program, dan kinerja kegiatan yang terencana; dan
diarahkan pada terbangunnya sosok birokrasi yang ramping, desentralistik,
efisien, efektif, berpertanggung jawaban,
terbuka, dan aksesif; serta terjalin dengan jelas satu sama lain sebagai
satu kesatuan birokrasi nasional.
Pemantapan Sistem Manajemen. Dengan makin meningkatnya
dinamika masyarakat dalam penyelengaraan negara dan pembangunan bangsa,
pengembangan sistem manajemen pemerintahan diprioritaskan pada revitalisasi pelaksanaan
fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik yang kondusif,
akuntabel, pemberdayaan, `partisipasi, kemitraan, desentralisasi, transparansi,
konsistensi kebijakan, kepastian hukum. Peran birokrasi lebih difokuskan
sebagai agen pembaharuan, sebagai motivator dan fasilitator bagi tumbuh dan
berkembangnya swakarsa dan swadaya serta meningkatnya kompetensi masyarakat dan
dunia usaha. Dalam rangka peningkatan kehidupan demokrasi, pemberdayaan,
perluasan partisipasi, peningkatan pembangunan daerah dan pemberian pelayanan
guna meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di daerah, sekaligus
juga terpeliharanya kesatuan dan persatuan bangsa, negara, dan tanah air,
diperlukan pengembangan sistem dan kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah
yang mantap, berfokus pada desentralisasi kewenangan tertentu dalam pengelolaan
kebijakan dan penyelenggaraan tugas pelayanan pemerintah kepada masyarakat,
berdasarkan pedoman berisikan norma, standar, dan prosedur nasional.
Pedoman nasional dalam pengelolaan kebijakan yang
berorietasi pada meningkatnya kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah
tersebut harus dapat memperlancar aparatur daerah dalam melakukan pengelolaan
kebijakan dan pelayanan prima kepada masyarakat didaerah. Pemberdayaan masyarakat
menyentuh nilai-nilai kemanusian dan pengakuan terhadap hak dan kewajiban
masyarakat dalam negara hukum yang demokratis. Hidupnya demokrasi dalam suatu
negara bangsa, dicerminkan oleh adanya pengakuan dan penghormatan negara atas
hak dan kewajiban warga negara, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan
mengekspresikan diri secara rasional sebagai wujud rasa tanggungjawabnya dalam
penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, serta terbukanya peluang untuk
berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembangunan.
Upaya pemberdayaan masyarakat memerlukan semangat untuk
melayani masyarakat ("a spirit to
servef public"), dan menjadi mitra masyarakat ("partner of society"); atau
melakukan kerja sama dengan masyarakat ("co production"). Dalam pada itu pelayanan mempunyai makna
pengabdian atau pengelolaan pemberian bantuan
yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun,
yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani",
"mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan
mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka
untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang". Makna
administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan pemerintahan negara, yang
esensinya "melayani publik", harus benar-benar dihayati para
penyelenggara pemerintahan negara. Desentralisasi merupakan wujud nyata
pelaksanaan otonomi daerah. Perbedaan perkembangan antar daerah mempunyai
implikasi yang berbeda pada macam dan intensitas peranan pemerintah, namun pada
umumnya masyarakat dan dunia usaha memerlukan (a) desentralisasi dalam
pemberian perizinan, dan efisiensi pelayanan birokrasi bagi kegiatan-kegiatan
dunia usaha dibidang sosial ekonomi, (b) penyesuaian kebijakan pajak dan
perkreditan yang lebih nyata bagi pembangunan dikawasan-kawasan tertinggal, dan
sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah yang sesuai dengan kontribusi dan
potensi pembangunan daerah, serta (c) ketersediaan dan kemudahan mendapatkan
informasi mengenai potensi dan peluang bisnis di daerah dan di wilayah lainnya
kepada daerah di dalam upaya peningkatan pembangunan daerah.
Dalam era globalisasi, dalam ekonomi yang makin terbuka,
meskipun untuk meningkatkan efisiensi perekonomian harus makin diarahkan kepada
ekonomi pasar, namun intervensi pemerintah harus menjamin bahwa persaingan
berjalan dengan berimbang, dan pemerataan terpelihara. Yang terutama harus
dicegah terjadinya proses kesenjangan yang makin melebar, karena kesempatan
yang muncul dari ekonomi yang terbuka hanya dapat dimanfaatkan oleh wilayah,
sektor, atau golongan ekonomi yang lebih maju. Peranan pemerintah makin
dituntut untuk lebih dicurahkan pada upaya pemerataan dan pemberdayaan.
Penyelenggara pemerintahan negara harus mempunyai komitmen yang kuat kepada
kepentingan rakyat, kepada cita-cita keadilan sosial. Untuk itu, keserasian dan
keterpaduan antar berbagai kebijaksanaan pembangunan harus diupayakan baik pada
tingkat nasional maupun daerah. Pengentasan kemiskinan, kesenjangan,
peningkatan kualitas sumberdaya manusia pembangunan, dan pemeliharaan prasarana
dasar, serta peningkatan kuantitas, kualitas, dan diversifikasi produksi yang
berorientasi ekspor ataupun yang dapat mengurangi impor harus pula dijadikan
prioritas dalam agenda kebijakan pembangunan nasional dan daerah. Pemerintah
melalui berbagai perangkat kebijakan makro ekonomi yang tepat, dan berbagai
kebijakan lainnya di sektor riil, disertai pembenahan kelembagaan yang mantap
akan dapat mendorong peningkatan efisiensi, produktivitas, pemerataan alokasi
dan pemanfaatan sumber daya ekonomi. Skim ini menjadi sangat penting untuk
digalakkan, sebab agaknya bangsa ini tidak dapat mengatasi permasalahan dan
tantangan yang dihadapi dewasa ini dan dimasa datang dengan paradigma
pembangunan lama yang berorientasi pada ketergantungan.
Desentralisasi merupakan inti otonomi daerah yang pada
dasarnya dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan
meningkatkan prakarsa masyarakat dalam pembangunan daerah. Sehubungan dengan
itu, peletakan Otonomi Daerah pada Kabupaten/Kotamadya merupakan pilihan yang
tepat. Otonomi Daerah harus lebih memungkinkan semakin tumbuhnya pemerintahan
dan masyarakat daerah dalam mendorong bertumbuh kembangnya potensi sosial dan
ekonomi daerah. Sebab itu desentralisasi. Perubahan dan peningkatan kualitas
kelembagaan pada birokrasi pemerintah tersebut diatas perlu diikuti pula dengan
semangat dan kualitas perubahan serupa pada lembaga-lembaga lainnya dalam
masyarakat, sehingga sistem dan dinamika kelembagaan secara keseluruhan terarah
pada perwujudan masyarakat madani.
Perjuangan memerlukan dukungan sistem kelembagaan yang
sesuai, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun pemerintahan. Sistem
kelembagaan tersebut harus dapat menjamin terpeliharanya komitmen dan
konsistensi antar perilaku (sikap, kebijakan, kegiatan, tindakan) setiap warga
bangsa dan aparatur negara atau pun pemerintah dan masyarakat dengan
nilai-nilai masayarakat madani dapat berlangsung secara harmonis,
berkelanjutan, dan mencapai kinerja yang optimal dalam setiap dan seluruh
tahapannya. Sementara itu, untuk mengaktualisasikan potensi masyarakat, dan
untuk mengatasi berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi bangsa, perlu
dijamin berkembangnya kreativitas dan oto-aktivitas masyarakat bangsa yang
terarah pada pemberdayaan, peningkatan kesejahteraan masyarakat serta ketahanan
dan daya saing perekonomian bangsa.
Perubahan paradigmatik yang berorientasi pada perwujudan
masyarakat madani dan good governace
tersebut perlu dilakukan sebagai koreksi terhadap kekeliruan masa lalu, yang
secara umum berpangkal pada kurangnya konsistensi dalam memelihara dan
menegakkan prinsip dan semangat yang telah disepakati bersama dalam ”negara
hukum yang demokratis”, sehingga melahirkan ketidakseimbangan antara posisi dan
peran pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan.
Krisis peradaban yang berkembang selama Abad 20, mencapai puncaknya pada awal
Abad 21 dewasa ini, ditandai dengan terorisme dan anti terorisme dalam
kehidupan global, yang pada hakekatnya keduanya merupakan tuntutan terhadap
tegaknya nilai-nilai peradaban yang luhur dalam kehidupan bangsa dan dalam
hubungan antar bangsa.
3.3.
Dampak Desentralisasi
a. Dampak Positif
Dengan luasnya kewenangan bagi daerah untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, daerah dapat lebih leluasa untuk
meraih kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan.
ü
Dengan adanya perimbangan keuangan
antara Pusat dan Daerah yang relatif lebih maju dibandingkan masa lalu, Daerah
memiliki sumber dana yang relatif memadai untuk membuat masyarakat sejahtera.
Masalahnya lebih terletak pada cara untuk mengalokasikan dana yang ada
(manajemen pengeluaran). Selama ini pemerintah daerah lebih banyak menaruh
perhatian pada manajemen penerimaan.
ü
Muncul pusat-pusat pertumbuhan baru;
ü
Muncul kebanggaan kedaerahan;
ü
Terpenuhinya sebagian kebutuhan dasar
masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, penciptaan lapangan pekerjaan,
fasilitas umum dsb.
ü
Terbangunnya secara bertahap sumberdaya
manusia daerah yang berkualitas.
b. Dampak Negatif
ü
Pengurasan sumber daya alam dan sumber
potensi masyarakat untuk mengejar pertumbuhan dan kemajuan;
ü
Konflik kepentingan antar daerah;
ü
Pembangunan berorientasi kepentingan
jangka pendek dan berskala lokal;
ü
Dominasi pertimbangan politik;
ü
Kesenjangan antardaerah dan
antarmasyarakat;
ü
Kerusakan lingkungan yang berdampak
pada timbulnya bencana alam dan munculnya varian penyakit baru.
ü
Hilangnya flora dan fauna khas, yang
dapat menjadi sumberdaya alam terbarukan.
ü
Erosi wawasan kebangsaaan.
ü
Muncul penyakit moral yang baru yakni
pemborosan
3.4.
Sejarah Dasar Lahirnya Otonomi Khusus Papua
Sejarah lahirnya UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus
Papua disebabkan oleh desakan rakyat Papua dengan tuntutan Papua Merdeka mulai
1998-2000. Aspirasi ini muncul dikarenakan 3 penyebab utama yakni pertama, Persolan sejarah integrasi
politik Papua, kedua, Telah
terjadinya berbagai kekerasan Negara dan pelanggran HAM terhadap rakyat Papua
dan ketiga, Kegagalan pembangunan
dalam bidang Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi dan Infrasktruktur. Masyarakat
Papua menyampaikan tuntutan Merdeka tersebut melalui aksi damai kemudian
memuncak pada tahun 1999 dengan tatap muka 100 orang wakil Papua dengan
Presiden B.J. Habibie di Istana Negara untuk memyampaikan Papua ingin keluar
dari Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selanjutnya masyarakat Papua
mengungkapkannya melalui Kongres Papua II pada tahun 2000.[22]
Sebagai jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat Papua tersebut
Pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri mengeluarkan
UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua sebagai kebijkan Nasional[23]. Kebijakan otonomi khusus
merupakan jawaban pemerintah untuk meredusir berbagi persoalan yang muncul
sejak bergabungnya Provinsi Papua dalan NKRI beserta dinamika sosial dan
politik termasuk tuntutan untuk melepaskan diri dari NKRI yang sering diketahui
sebagai gerakan Papua Merdeka. Semangat dasar penawaran Otonomi Khusus Papua
oleh pemerintah pusat kepada rakyat Papua adalah meningkatkan kesejahteraan
orang asli papua (dalam segala segi pembangunan) agar meminimalisir aspirasi
politik orang Papua untuk keluar dari NKRI dan aspirasi pelanggaran (berat) HAM
Papua selama 40-an tahun ini. Berdasarkan semangat itu, Otonomi Khusus Indentik
dengan penyerahan semua kekuasaan pemerintahan, kecuali 5 bidang pemerintahan
menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat (Pasal 4 ayat (1), UU No.21 Tahun 2001).
Maka program pokok dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua adalah pemerintah
Provinsi harus mengambil kebijakan :
1. Kebijakan dan aksi keberpihakan (affirmative policy and action) terhadap orang asli papua.
2. Kebijakan dan aksi perlindungan (protetive policy and action) terhadap orang asli papua.
3. Kebijkan dan aksi pemberdayaan (empowermental policy and action) terhadap orang asli papua.
Inti dari ketiga bidang kebijakan tersebut adalah penetapan
perdasus dan perdasi substansial untuk keberpihakan, perlindungan, dan
pemberdayaan terhadap orang asli papua.
3.5.
Potret Otsus Papua
Melalui
UU Otsus Papua, pemerintah mendelegasikan kewenangan yang besar kepada
pemerintah daerah disertai kucuran dana yang juga sangat besar. Dana puluhan
triliun rupiah ini di luar dana lain seperti APBD dan dekonsentrasi. Pemerintah
juga baru saja mencanangkan kebijakan khusus untuk Papua melalui dua peraturan
presiden (perpres) yang ditandatangani 20 September 2011. Pertama, Perpres
Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua
Barat. Kedua, Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Papua Barat. Perpres itu dilengkapi dokumen rinci berjudul
Rencana Aksi yang Bersifat Cepat Terwujud Percepatan Pembangunan Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2012.
Pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua (Provinsi Papua
dan Papua Barat), hingga 1 Januari 2011 telah memasuki tahun ke sepuluh. Jika
diteropong sedikit kebelakang, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang kini
menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Khusus Papua ini, ditetapkan oleh DPR RI pada
22 Oktober 2001. Kemudian oleh Presiden Megawati, UU tersebut disahkan 21
November 2001 dan dinyatakan berlaku mulai 1 Januari 2002. Secara umum, status
Otonomi Khusus bagi Tanah Papua akan melekat selama 25 tahun ke depan, yakni
hingga tahun 2026. Yang tertuang dalam bukunya, “Otonomi Khusus Papua
mengangkat martabat orang asli papua dalam NKRI.” Filosofi dasar itulah yang
telah menjadi amanat pemberlakuan Otonomi Khusus bagi wilayah yang bergabung ke
dalam NKRI sejak 1 Mei 1963 silam. “Sejatinya Otsus juga menjadi suatu formula
politik yang mujarab untuk meredam keluhan pembangunan dan tuntutan merdeka
yang terus disuarakan orang Papua,” berharap lewat Otonomi Khusus Papua pula,
ada harapan untuk membangun masa depan Papua dalam bingkai NKRI.
Dengan begitu, sejumlah aktivis Papua di luar negeri yang
saat ini tidak setuju soal bergabungnya Tanah Papua ke dalam NKRI bisa kembali
ke kampung halamannya untuk membangun Papua. Memang secara kasat mata, realita
sepuluh tahun pelaksanaan Otonomi Khusus Papua yang kini mencakup dua provinsi
bersaudara Papua dan Papua Barat, telah menunjukan adanya trend pembangunan
yang kian pesat. Hanya saja, sejumlah pihak di Papua menilai pembangunan itu
masih lebih sebatas aspek fisik semata. Ada kesan, proses pembangunan belum
sepenuhnya menempatkan orang asli papua sebagai pelaku utama. Meski begitu,
pembangunan yang telah terekam dalam beberapa tahun terakhir ini patut
diapresiasi. Misalnya, sebagian besar daratan Tanah Papua yang sejak lama
terisolasi oleh tutupan hutan-hutan belantara, gunung-gunung terjal,
sungai-sungai besar dan laut, umumnya sudah bisa dijejali karena cukup tersedia
berbagai infrastruktur perhubungan, telekomunikasi dan informasi.
Kampung-kampung yang dulunya hanya bisa ditempuh dengan mengandalkan kemampuan
otot kaki untuk berjalan berhari-hari atau kuatnya tangan mendayung perahu
bermil-mil, kini sudah bisa diganti dengan akses transportasi jalan darat,
perahu bermotor, kapal laut atau pesawat terbang.
Kebijakan desentralisasi (Otonomi Khusus) yang diterapkan di
Papua, menurut Kausar (2006:2) merupakan refleksi dari pendekatan
desentralisasi yang “asimetris”. Artinya, kebijakan desentralisasi yang
diterapkan di papua tidaklah simetris dengan desentralisasi di provinsi lainnya
di Indonesia. Pendekatan asimetris dilakukan untuk mengakomodasikan perbedaan yang tajam antara Papua dengan
daerah lainnya. Dengan pendekatan kebijakan itu, kekhususan daerah dapat
diakomodasikan tanpa harus menciptakan separatisme dalam bentuk pemisahan diri
dari negara induk. Dengan demikian,
pendekatan desentralisasi di Papua pada hakikatnya tetap dimaksudkan
untuk mencapai tujuan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah itu
sendiri.
4.
PEMBAHASAN
Klaim
moral pertama dari dasar keberadaan negara adalah kesanggupannya melindungi
warga dari mara bahaya (harm). Jika
gagal memenuhi hal itu, negara tersebut kehilangan legitimasinya. Peristiwa
demi peristiwa kekerasan yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara
akhir-akhir ini memperlihatkan sistuasi negara tidak saja gagal melindungi
melindungi warganya, tetapi juga gagal melindungi dirinya sendiri. Dengan
membuncahnya aneka ekspresi kekerasan tersebut, negara mengingkari demokrasi
dan konstitusi. Kekerasan adalah musuh utama demokrasi, beretentangan dengan
spirit dan substansinya. Tak lain karena demokrasi sebagai jalan hidup (way of life) dengan seperangkat
institusinya merupakan suatu sarana non-kekerasan.[24] Dibawah kondisi
demokratis, kepentingan dan kekuasaan tidak bisa diperoleh melalui jalan
pemaksaan, tetapi melaui jalan konsensus yang memerlukan penghormatan publik
atas rule of low. Humphrey Hawkley
dalam Democracy Kill memperlihatkan
potret yang mengerikan bahwa penduduk dibawah sistem demokrasi lemah otoritas
berpeluang mati lebih besar ketimbang dibawah sistem kediktatoran. Praktik
demokrasi yang gagal melindungi warganya dari ragam bentuk kekerasan warga atas
warga; kekerasan antar sindikat; kekerasan negara atas warga; kekerasan warga
atas negara; serta kekerasan antar aparat negara adalah praktik demokrasi
kriminal yang tak patut dipertahankan. Demokrasi yang dirayakan dengan
kekerasan tidak saja membinasakan demokrasi itu sendiri, tetapi juga
mendelegitimasi negara, yang akan menjatuhkan konsepsi paripurna menjadi
kekacauan paripurna.
Ada suatu pemahaman yang selama ini berkembang dikalangan
para penyelenggara negara yang terlihat sangat patologis dan begitu statis
yakni pemahaman mengenai semangat penerapan otonomi khusus (Otsus) baik di
Papua maupun di Nanggroe Aceh Darussalam. Selama ini Otsus selalu dipandang
sebagai persoalan struktur pemerintahan kedaerahan. Yang sering dilupakan
kebanyakan orang, dibalik struktur pemerintahan sebenarnya terdapat suatu
fungsi. Fungsi dimaksud adalah ide. Di dalam ide tersebut terdapat suatu
gagasan mengen ai pembangunan yang akan dikerjakan dalam rangka mencapai
cita-cita tertentu.
Ada
beberapa fungsi pemerintahan yang boleh jadi menjadi rujukan penyelenggara
negara dalam menata kehidupan berbangsa, diantaranya ialah bagaimana pemerintah
menyediakan infratsruktur lewat institusi dasar yakni peraturan sebagai rujukan
keberlangsungan sistem kehidupan termasuk menyediakan public goods bagi warga dengan sistem yang prima sehingga mudah
dijangkau rakyat. Struktur pemerintahan yang berfungsi memberikan servicing atau pelayanan bagi masyarakat
seefektif dan seefisien mungkin. Selain berfungsi memberikan servicing juga sebagai regulating dan empowering pada masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman pengelolaan
pemerintahan sebatas pada struktur dan fungsi saja jelas tidak akan
menghasilkan suatu sistem kerja organisasi pemerintahan yang baik.
Dalam perspektif ini, pemahaman mengenai desentralisasi dan
dekonsentrasi kebijakan pemerintah tidak dengan serta-merta dimaknai sebagai
suatu kesempatan untuk mengedepankan pembentukan struktur pemerintah dengan
cara membuat institusi-institusi tertentu hanya karena menampung orang-orang
dengan alasan politis. Desentralisasi dan dekonsentrasi kebijakan sejatinya
dipahami dengan komprehensif yakni adanya suatu kesempatan untuk mengoptimalkan
semua potensi kekayaan alam daerah dan membangun potensi sumber daya manusia
dalam rangka mewujudkan kualitas kehidupan masyarakat sejahtera dalam semua
aspek kehidupan. Oleh karena itu, pembentukan struktur pemerintahan diperlukan
pemahaman yang komprehensif. Akan tetapi dalam praktik kehidupan bernegara di
era modern ini, banyak kalangan ahli dan praktisi umumnya berhenti pada tataran
fungsi dan struktur saja tanpa melihat lebih jauh hakikat ide dasar dibentuknya
suatu struktur. Padahal, dalam ide ini menyimpan cita-cita mengenai apa yang
hendak dituju ketika kita hendak melembagakan suatu fungsi dalam struktur
pemerintahan.
Gambar. 2
Model-model Kewenangan
Otonomi Khusus
Sumber : Hasil Kajian
evaluasi Imlementasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, hal. 51
Otonomi menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari dengan
negeri yang mempunyai luas, penduduk, pulau terbanyak dan suku yang beraneka
ragam seperti Indonesia. Otonomi sendiri dapat diartikan sebagai pemberian hak,
wewenang, dan kewajiban kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri (LAN, 2007). Pengalaman Orde Baru dengan pendekatan sentralisasinya
ternyata tidak mampu membendung gejolak daerah-daerah yang menginginkan
keadilan antara pusat dengan daerah, dikarenakan melalui pendekatan top down tersebut setiap daerah di
Indonesia hanya bisa memajukan daerahnya dengan mengikuti segala aturan yang
diberikan oleh pemerintah pusat. Daerah tidak dapat menggali potensi yang
dimilikinya guna memajukan dan mensejahterakan masyarakat daerahnya. Kebijakan yang
tersentralisasi juga belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya
memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat dan belum sepenuhnya mendukung
terwujudnya penegakan hukum, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya
kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum
dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)
khususnya di Provinsi Papua.
Dasar pemikiran kebijakan Otsus merupakan kebijakan yang
bertujuan untuk memperbaiki berbagai ketertinggalan serta ketimpangan yang ada
di Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan provinsi diwilayah timur Indonesia
yang menghadapi berbagai persoalan mendasar terkait dengan fakta ketertinggalan
wilayah. Daerah yang sebenarnya sangat kaya dengan potensi sumberdaya alam
(SDA) ternyata pada tataran riil menghadapi fakta yang bertolak belakang. Ketertinggalan
perekonomian masyarakat, dan minimnya penyelenggaraan pelayanan publik yang
berkualitas, jaringan infrastruktur yang masih memprihatinkan, hingga persoalan
rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) merupakan permasalahan mendasar di
wilayah ini.
Kontradiksi
seperti ini lambat laun menciptakan kesenjangan yang secara langsung sangat
dirasakan oleh masyarakat Papua. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah
ternyata justru membawa dampak negatif yang sangat besar, mulai dari kerusakan
lingkungan hingga peminggiran hak-hak masyarakat asli. Berbagai aspirasi dan
tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan ketertinggalan Papua telah lama
disuarakan oleh masyarakat. Namun lambannya respon pemerintah menyebabkan
aspirasi dan tuntutan tersebut berubah menjadi resistensi masyarakat yang tidak
jarang berubah menjadi konflik fisik yang mengarah pada tuntutan kemerdekaan
Merasa terharu mendengar lagu ciptaan Franky Sahilatua yang
petikan lyricnya ”tanah papua tanah yang kaya, Surga kecil jatuh ke bumi,
seluas tanah sebanyak batu adalah harta harapan. Hitam kulit keriting rambut
aku papua biar nanti langit terbelah aku papua”. lagu ini sering diputar
dibeberapa media TV swasta akhir-akhir ini. Papua ingin mardeka lewat
perjuangan Gerakan Organisasi Papua Mardeka. Mengapa sulit mencapai kedamaian
dan kesejahteraan di tanah Papua? Secara teoritis, konsep otonomi khusus
sesungguhnya bagus. Dana otonomi khusus begitu banyak dikucurkan selama periode
2002 sampai 2010 sebesar Rp.28,8 triliun. Jabatan pemimpin (Gubernur dan
Bupati) sudah diberikan kepada putra asli papua. Selain itu, orang asli papua
sudah ditempatkan sebagai pelaku utama pembangunan ditanah leluhurnya sendiri.
Namun apa yang salah dari semua pendekatan pembangunan ekonomi politik di tanah
Papua selama ini?
Tahun 1999, Pemerintah
menerbitkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang memberikan
kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah
tangga sendiri, namun dalam perjalanannya undang-undang tersebut dianggap belum
mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat masyarakat Papua baik
dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah Papua. Akhirnya
pada Tahun 2001 Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan Otsus di Papua dengan
diterbitkannya UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Kewenangan yang berarti peran dan tanggungjawab yang lebih
besar dalam mengatur urusan rumah tangganya, menyelenggarakan pemerintahan dan
mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Papua bagi kemakmuran rakyat papua,
diharapkan dengan kebijakan ini akan dapat mengurangi kesenjangan di Provinsi
Papua dan Papua Barat dengan provinsi-provinsi lainnya dengan memberikan ruang
lebih bagi masyarakat lokal Papua dan Papua Barat sebagai subyek utama dalam
pembangunan. Kebijakan Otonomi Khusus Papua tersebut tidak lepas dari sejarah
panjang friksi yang terjadi antara daerah ini dan pusat. Sentimen atas
ketidakadilan yang diterima daerah ini telah memunculkan berbagai gejolak
dimasa lampau yang mengarah pada proses disintegrasi.
Ditingkat lokal, di Provinsi Papua sendiri hal tersebut
menjadi salah satu alasan atas keterbelakangan pembangunan yang dirasakan
masyarakat Papua. Provinsi Papua yang kaya akan hasil alam, namun ironisnya
Provinsi ini merupakan Provinsi yang paling banyak penduduk miskinnya dan
tertinggal pembangunanya. Kondisi tersebut tentu saja mencerminkan kelemahan
negara dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan NKRI. Kelemahan inilah yang memicu
tuntutan atas hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar bagi
masyarakat Papua. Setelah UU No.21 Tahun 2001 diterbitkan dan mulai
dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2002, segenap bangsa Indonesia berharap
dapat menyaksikan perubahan-perubahan positif yang terjadi di Papua. Gejolak
yang pernah dialami, secara politis diharapkan mampu diredam melalui kebijakan
tersebut. Kebijakan ini pun dianggap dapat menjawab berbagai aspirasi dan
tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan pembangunan Papua yang tertinggal.
Ketimpangan pembangunan Papua yang menyulut beragam masalah harapannya juga
dapat dikurangi dan masyarakat Papua menjadi lebih sejahtera.
Secara normatif, terdapat beberapa agenda utama yang ingin
dicapai melalui kebijakan khusus ini. Pertama,
agenda untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli melalui pengelolaan dan
pemanfaatan hasil kekayaan alam Papua yang sebelumnya dinilai belum digunakan
secara optimal dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat Papua, serta
pengurangan kesenjangan antara Provinsi Papua dengan Provinsi lainnya. Kedua, agenda mewujudkan keadilan, dalam
konteks kebijakan khusus ini adalah keadilan ekonomi dalam hal penerimaan
hasil-hasil sumberdaya alam Papua. Keadilan dalam konteks tersebut
diterjemahkan dalam aspek dana perimbangan keuangan Pusat dan daerah Papua/Papua
Barat. Ketiga adalah penegakan Hak
Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, serta pengakuan dan penghormatan
hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan
mendasar. Keempat, penerapan tata
kelola pemerintahan yang baik melalui pembagian wewenang, tugas, dan tanggung
jawab yang tegas dan jelas, serta dukungan kelembagaan dan kebijakan yang
memungkinkan tercapainya ketiga agenda sebelumnya.
Itikad pemerintah dalam mendukung agenda otonomi khusus di
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat terindikasi kuat dari meningkatnya
jumlah dana Otonomi Khusus yang dialirkan ke kedua Provinsi. Peningkatan dana
otonomi khusus dari tahun ke tahun ini seyogyanya mendorong peningkatan
pelaksanaan Otsus di kedua Provinsi. Setidaknya terdapat empat program
prioritas yang dilaksanakan untuk memacu perkembangan pembangunan rakyat dan
daerah Papua, yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, serta
pembangunan infrastruktur.
Faktanya, cerita tentang Papua masih banyak didominasi atas
keprihatinan yang dirasakan atas hasil-hasil pelaksanaan otonomi khusus Papua
dan Papua Barat. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya pelajaran
positif yang dapat diambil sepanjang pelaksanaan otonomi khusus yang hampir
mencapai satu dekade ini. Bagaimana pencapaian agenda utama dari kebijakan
khusus ini perlu diketahui secara komprehensif. Disamping itu, penting untuk
dikaji, sejauh mana Provinsi Papua dan Papua Barat mampu mengejar
ketertinggalannya dengan provinsi lainnya sebagaimana diharapkan dengan adanya
kebijakan otonomi khusus tersebut. Kebijakan otonomi khusus tidak serta merta
menjamin terselenggaranya pemerintahan daerah yang lebih baik di Papua.
Pelaksanaannya memerlukan kapasitas pemerintahan yang memadai. Titik berat
otonomi khusus Papua dan Papua Barat berada pada level provinsi.
Namun demikian kabupaten/kota dalam provinsi tersebutlah
yang secara riil menjadi lokus utama implementasi program pelaksanaan otonomi
khusus tersebut. Disisi lain, pemerintah Pusat juga memiliki peran penting
dalam kebijakan ini. Kapasitas dan hubungan antara ketiga level pemerintahan
ini perlu ditingkatkan untuk terselenggaranya pemerintahan daerah yang lebih
baik di Papua. Aspek yang penting dari pelaksanaan otonomi khusus adalah
bagaimana kebijakan tersebut di implementasikan. Dari segi kebijakan, sejumlah
kebijakan pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat dan berbagai program
pembangunan telah diterapkan. Kebijakan tersebut pada akhirnya juga berkenaan
dengan pemanfaatan sumberdaya, khususnya finansial. Apakah pilihan-pilihan
kebijakan/program dan alokasi sumberdaya telah berjalan optimal, perlu terus
dimonitor dan ditingkatkan.
Dalam perkembangannya, setelah 11 tahun keberlangsungan
otonomi khusus di Papua ternyata belum dapat dikatakan berhasil, bila diukur
dari 4 (empat) bidang pokok yang menjadi sasaran Otonomi Khusus seperti,
pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan pembangunan
infrastruktur pada kenyataannya masih ditemukan berbagai permasalahan seperti
masih banyak angka siswa putus sekolah, minimnya sarana belajar mengajar
dikampung-kampung, keterbatasan tenaga pendidik hingga biaya pendidikan yang
relatif mahal disejumlah wilayah akibatnya, angka Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) Papua masih tetap berada di urutan menengah kebawah secara nasional,
yakni dikisaran 50,0-65,9 (BPS). selanjutnya dibidang kesehatan, kondisi
pelayanan kesehatan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga masih jauh
dari harapan. Kasus kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir, angka gizi buruk,
HIV/AIDS, TBC, ispa, malaria, kusta dan
penyakit lainya masih banyak terjadi. Disektor pemberdayaan ekonomi,
pribumi Papua di Kota Jayapura dan sebagian besar kabupaten/kota di Papua masih
tetap berjualan di pinggiran jalan berdebu, dibawah terik mata hari, emperan
toko dan terus tergusur dari pasar yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dan
pembangunan infrastruktur juga tidak banyak memberi manfaat bagi masyarakat
asli Papua.
Selanjutnya, dibidang HAM, penegakan dan rekonsiliasi bagi
korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tidak pernah berjalan, karena hingga
11 (sebelas) tahun Otonomi Khusus berlaku tidak pernah terbentuk Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) maupun pengadilan HAM. Kegagalan Otonomi
Khusus juga disuarakan oleh berbagai lapisan masyarakat Papua, ketidakmanfaatan
dari otonomi khusus yang awalnya merupakan suatu jalan dimana dapat menjadi
jembatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua sepertinya tidak
berjalan mulus. Seperti pernyataan Ferry Ayomi, anggota Kongres Rakyat Papua
“Pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan pihak yang bertanggung jawab
atas kegagalan otonomi khusus, karena kami (rakyat Papua) masih tertinggal
dalam situasi kemiskinan”.[25]
Tuntutan untuk menelaah kebijakan otonomi khusus semakin
mengemuka, bukan lagi dalam bentuk telaah namun evaluasi secara menyeluruh dan
komprehensif terhadap pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat.
Terdapat beberapa argumen yang mendasari pentingnya evaluasi ini dilakukan,
diantaranya: Pertama, implikasi dari
dikeluarkannya UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinisi
Papua sebagaimana telah diubah dengan UU No.35 Tahun 2008 Tentang Penetapan
Perpu No.1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otsus
bagi provinsi Papua Menjadi Undang-Undang, Inpres No.5 Tahun 2007 Tentang
Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat, telah memberi ruang kewenangan
yang lebih kepada Provinsi tersebut. Kedua, konsekuensi logis dari alasan
diterapkannya otonomi khusus diatas berimplikasi pada pengaturan kebijakan,
kelembagaan, sumberdaya, maupun program pembangunan, yang tidak hanya
memerlukan pengaturan khusus yang sesuai, namun bagaimana interaksinya dengan
kebijakan umum lainnya merupakan aspek-aspek yang krusial bagi terselenggaranya
otonomi khusus dengan baik. Ketiga, penerapan kebijakan tidak
lepas dari berbagai masalah dan tantangan yang harus dihadapi. Diperlukan
pemahaman yang komprehensif atas permasalahan dan tantangan yang dihadapi
sepanjang perjalanan pelaksanaan otonomi khusus yang dinamis. Keempat,
otonomi khusus Papua dan Papua Barat merupakan pilihan yang masih perlu untuk
terus dijalankan, khususnya untuk memperkuat integrasi bangsa dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keragaman
kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. Namun ke depan perlu ada upaya yang
tepat dan berkelanjutan untuk perbaikan pelaksanaan Otonomi Khusus dan
percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat.
Masyarakat asli papua mulai mempertanyakan keseriusan
pemerintah dalam mencari solusi berbagai persoalan mendasar di Papua. Terlebih
lagi, berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat terkait dengan
kekayaan alam Papua terkesan sangat eksploitatif dan justru meminggirkan peran
masyarakat lokal yang berdampak pada mandegnya tingkat kesejahteraan mereka.
Intensitas konflik fisik maupun tuntutan kemerdekaan yang semakin tinggi
akhirnya membuat pemerintah mau tidak mau harus secara serius memperhatikan
perkembangan aspirasi masyarakat Papua. Seiring dengan semakin populernya
konsep desentralisasi pemerintahan sejak Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah disahkan, penyelenggaraan pemerintahan yang lebih sensitif
terhadap konteks lokal mulai menjadi
mainstream utama reformasi pemerintahan. Konsep desentralisasi juga
mulai diterapkan oleh pemerintah untuk konteks wilayah Papua. Penyelenggaraan
pemerintahan mulai dijalankan dengan pendekatan yang berbeda, yang diharapkan
dapat menciptakan perbaikan kualitas penyelenggaraan pemerintahan di Papua.
Lahirnya kebijakan Otonomi Khusus merupakan sebuah pilihan kebijakan pemerintah
pusat dan rakyat Papua sebagai suatu bentuk langkah kompromistis antara
kepentingan nasional dan desakan pemenuhan tuntutan rakyat Papua. Sebagaimana
dikemukakan didepan, otonomi khusus merupakan salah satu varian konsep
desentralisasi yang dikenal dengan desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization).
Kebijakan otonomi khusus akhirnya diambil oleh pemerintah pusat guna
menyelesaikan berbagai persoalan di Papua
Gambar. 3
Otonomi Simetris dan
Otonomi Asimetris
Pemerintah Pusat
|
Otonomi Asimetris
|
Otonomi Simetris
|
Otonomi Simetris
|
Perda
|
Propinsi
|
Perdasus
|
Perdasi
|
1.
Lambang Daerah
2.
Kewenangan Daerah P rovinsi P apua
3.
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota
4.
P emberian pertimbangan oleh gubernur
5.
Tata cara pemilihan gubernur
dan wakil Gubernur
6.
Keanggotaan dan jumlah anggota
MRP
7.
Tugas dan Wewenang M RP
8.
Hak MRP
9.
Kewajiban MRP
10.
Pembagian Penerimaan dalam rangka Otonomi khusus
11.
P erekonomian di Provinsi
Papua
12.
P engembangan suku-Suku
Terisolasi
13.
P engawasan Sosial
|
1.
Kewenangan Daerah kabupaten dan Kota
2.
T ata cara pemilihan anggota
M RP
3.
P engaturan perang kat dan kepegawaian di
Provinsi Papua
4.
Kebijakan Kepegawaian provinsi
5.
P emberian pertimbangan dan persetujuan M RP
6.
Fungsi, tugas, wewenang,
bentuk
dan susunan
7.
Keanggotaan hukum
Ad Hoc
8.
Ketentuan pinjaman luar negeri
9.
T ata cara penyusunan dan pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja provinsi
10.
T ata cara penyertaan modal
11.
T ugas kepolisian di
bidang ketentraman dan
ketertiban
12.
P enyelenggaraan pendidikan di
Provinsi
Papua
13.
kewajiban melindungi,
membina dan mengembangkan kebudayaan
asli Papua
14.
Kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan
15.
Kewajiban merencanakan
dan melaksanakan program perbaikan
dan peningkatan giz i
penduduk
16.
P enempatan penduduk
17.
Kesempatan
Kerja
18.
Lingkungan Hidup
19.
Jaminan hidup layak
|
Sumber : Hasil kajian evaluasi implementasi kebijakan
Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, hal.50
Keterangan
:
1.
Hubungan dalam alokasi dan distribusi
dana Otsus serta sinergitas penyelenggaraan kewenangan khusus
2.
Sejumlah perdasi yang harus diterbitkan
3.
Sejumlah perdasus yang harus
diterbitkan
Jika kita tinjau lebih jauh penerapan kebijakan otonomi
daerah atau desentralisasi sekarang ini, cukup memberikan dampak positif bagi
perkembangan bangsa indonesia. Dengan adanya sistem desentralisasi ini
pemerintahan daerah diberi wewenang dan tanggungjawab untuk mengatur daerahnya,
karena dinilai pemerintahan daerah lebih mengetahui kondisi daerahnya
masing-masing. Disamping itu dengan diterapkannya sistem desentralisasi
diharapkan biaya birokrasi yang lebih efisien. Hal ini merupakan beberapa
pertimbangan mengapa otonomi daerah harus dilakukan. Dalam setiap kebijakan
atau keputusan yang diambil pasti ada sisi positif dan sisi negatifnya. Begitu
juga dengan penerapan sistem desentaralisasi ini, memiliki beberapa kelemahan
dan kelebihan.
Berdasarkan wacana diatas dapat
dipahami dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan
dalam menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini
sangat akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila
Orang/badan yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu
program serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi
dikemudian hari. Tetapi sebaliknya akan berdamapak kurang baik
apabila orang/badan yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang
mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis
dampak yang akan terjadi.
4.1.
Fakta Kegagalan Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dalam 10
tahun[26]
Praktek
pelaksanaan Otsus Papua dari tahun 2001-2011 tidak berpolakan prinsip semangat
dasar Otonomi Khusus Papua diatas sebagai implementasi dari latar belakang
pemberian Otonomi Khusus Papua sebagaimana yang telah disampaikan diatas. Dana
otonomi khusus lebih ditonjolkan sebagai substansi Otsus dalam pelaksanaan
Otonomi Khusus. Karena itu, pemerintah dan rakyat lebih mengejar pemakaian dana
otonomi khusus dari pada membuat kebijakan-kebijakan dasar diatas supaya dana
otsus dipakai berdasarkan penetapan perdasus dan perdasi substansial, sehingga
dapat menolong dan meningkatkan kesejahteraan orang asli papua. Selama 10 tahun
implementasi Otsus di Papua, ada bengitu banyak pelanggaran terhadap
pelaksanaan Otsus Papua. Pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan TNI/POLRI. Pelanggaran-pelanggaran
tersebut dibuat dengan sadar dan sengaja maupun tidak sengaja.
4.1.1.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pada
Bagian ini mengungkapkan fakta-fakta kegagalan Otsus Papua yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah.
4.1.1.1.
Pemerintah Pusat[27]
a. Tertundanya pembentukan Lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP),
sebagaimana diamanatkan oleh UU Otsus selambat-selambatnya 6 (enam) bulan UU
Otsus ditetapkan, sementara PP No.54 tentang Pembentukan MRP baru dikeluarkan
23 Desember 2004.
b. Inpres No.1/Tahun 2003 (tanggal 27 Januari 2003) ditetapkan
dan terbitkan oleh Presiden sebagai perintah untuk menghidupkan Provinsi Irian
Jaya Barat, walaupun bertentangan dengan pasal 76 UU No.21 Tahun 2001, dengan
tujuan untuk mengobrak-abrik aspirasi Merdeka yang semakin kental dalam hati
rakyat Papua.
c. Pemerintah pusat lalai dan gagal melaksanakan keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2003, yang mewajibkan diterbitkannya
undang-undang tentang pemekaran tentang pemekaran provinsi Irian Jaya Barat
(sekarang Papua Barat), yang paksakan pembentukannya oleh Pemerintah Pusat.
d. Penetapan Undang-Undang No 35 Tahun 2008, dalam rangka
mengakomodir Provinsi Papua Barat dalam UU No.21 Tahuin 2001, sebagai Provinsi
dalam Otsus dengan cara mencoret dan menambahkan. Cara mengakomodir dengan
moncoret dan menambah tersebut melanggar UU No.21 Tahun 2001 kepada rakyat Asli
papua MRP sudah mengiongatkan Wapres Jusup Kalla dan timnya tetapi nyatanya
tidak diindahkan.
e. Diberlakukan dualisme hukum antara Provinsi dan Kab/Kota
didaerah Otonomi khusus di tanah Papua, dimana Provinsi melaksanakan UU No.21
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, sedangkan Kab/Kota melaksanakan UU No.32
Tahun 2004.
f. Tidak menerbitkan segera beberapa Peraturan Pemerintah (PP)
yang amanatkan didalam UU No.21 Tahun 2001, sebagai pelaksanaan UU Otsus bagi
Provinsi Papua.
g. Pencairan DANA OTSUS tiap tahun anggaran hamper selalu
sebagian besar dana pada akhir tahun anggaran, sehingga dana tidak dimanfaatkan
secara efektif untuk menolong dan menyelamtkan orang asli papua, selain
dibagi-bagi dengan laporan keuangan fiktif.
h. Tidak ada realisasi atas
pembagian hasil SDA Papua untuk Papua dan Jakarta sebagaimana
diamanatkan dalam pasal 34 UU No.21 tahun 2001.
i. Penetapan PP No.77 tahun 2007 tentang larangan Bendera
separatis dijadikan sebagai bendera kultural. Ini bertentangan dengan amanat UU
No.21 Tahun 2001, khususnya Pasal 2 ayat (2).
j. Pemerintah Pusat mendorong dan mendukung pembentukan Barisan
Merah Putih di tanah Papua dan kegiatannya, sehingga lembaga negara didaerah
seperti DPRP dan MRP keberadaan dan kegiatannya terganggu serta kebijakannya
dikontrol dan dikaunter oleh masyarakat, bukan oleh lembaga negara yang lebih tinggi.
k. Penolakan perjuangan MRP atas 11 kursi Otonomi Khusus Papua
versus penerimaan usul Barisan Merah Putih atas 11 kursi Otsus yang sama oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengkerdilkan lembaga MRP dan DPRP dalam materi
gugatannya. Hal ini menunjukan sikap Pemerintah Pusat terhadap lembaga didaerah
tidak diperhatikan dari pada organisasi (milisi) yang dibentuknya.
l. Politisasi SK.14/MRP/2009 sehingga SK yang bertolak dari
amanat UU No. 21 Tahun 2001 menjadi bola liar yang panas dipermainkan oleh
siapa saja dari pusat dengan daerah. Sampai sekarang SK 14/MRP/2009 di tanggapi
Pemerintah Pusat penuh curiga dan pemerintah daerah tidak sepenuh hati. Karena
itu nasib SK 14/MRP/2009 sampai saat ini nampaknya terancam tidak digunakan
dalam pemilukada Kab/Kota di Tanah Papua.
m. Dalam implementasi UU Otsus Papua, Pemerintah Pusat lalai
melakukan fungsi supervise
(Bimbingan) dan Intermediasi (koordinasi antar institute) bagi Pemerintah
Provinsi Papua dalam pelaksanaan UU Otsus Papua.
n. Pengangkatan Kapolda dan Kajati setelah diberlakukan UU
Otsus Papua, Pemerintah pusat tidak pernah memintah persetujuan dari Gubernur
Papua, berdasarkan amanat UU Otsus Papua Pasal 48 ayat (5), Pasal 52 ayat (2).
o. Pemerintah Pusat gagal melakukan perubahan terhadap UU Otsus
Papua, dengan mengeluarkan UU No.35
Tahun 2008 tentang perubahan atas UU Otsus Papua, tanpa meminta persetujuan
oleh seluruh rakyat papua melalui DPRP dan MRP.
p. Pemerintah Pusat mendorong dan menetapkan terbentuknya
pemekaran daerah otonom baru provinsi dan kab/kota di tanah papua yang
semestinya dilakukan melalui persetujuan MRP dan DPRP, berdasarkan amanat UU
Otsus pada Pasal 76.
q. Bidang Keuangan pemerintah Pusat tidak pernah transparan
dalam hal pembagian pendapatan dari pengelolaan sumberdaya alam, sesuai amanat
UU Otsus Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3).
r. Sepuluh tahun diberlakukan UU Otsus di tanah Papua,
pemerintah pusat dan daerah tidak pernah melakukan evaluasi, sesuai amanat UU
Otsus pada Pasal 78.
s. Implementasi penerapan UU Otsus ini tidak dikawal oleh
Presiden maupun oleh Menteri
t. Segala bentuk kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat,
tak pernah melibatkan rakyat Papua.
u. Pemerintah pusat tak pernah sosialisasi UU Otsus Papua pada
tingkat internal departemen pusat maupun daerah.
v. Pemerintah pusat tak pernah membuat norma-norma pengelolaan
anggaran.
4.1.1.2.
Pemerintah Daerah (Provinsi)[28]
Indikator
yang menunjukan kegagalan pemerintah Provinsi dan Kab/Kota dalam implementasi
UU Otsus Papua bagi Provinsi Papua. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pemerintah Provinsi dan DPRP tidak segera menetapkan Perdasi
dan Perdasus selama 7 Tahun Pelaksanaan Otsus Papua, kecuali Perdasi pembagian
Dana Otsus, Pembentukan MRP dan Sekretariat MRP dan Perdasus pembagian dana
Dana Otsus (yang tidak berfungsi sejak ditetapkan oleh DPRP). Baru tahun 7
pelaksanaan Otsus ditetapkan 8 Perdasus pada september, oktober, dan november
tahun 2008 dan sejumlah Perdasi namun semua perdasi dan perdasus tersebut belum
dipergunakan dalam pengelolaan pemerintahan dan pembagunan, sesuai amanat Otsus
pada Pasal 75.
b. Tidak terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
dan pengadilan HAM di tanah Papua sesuai amanat UU No.21 Tahun 2001 Pasal 45
dan 46 pemerintah belum menyentuhnya.
c. Belum ditetapkan kebijakan khusus dalam rangka melaksanakan
kewenangan khusus untuk keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap
orang asli papua, sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 4 (ayat 2), UU No.21
Tahun 2001.
d. Pemerintah Provinsi lalai membentuk Komisi hukum Ad Hock, yang bertugas melakukan
sinkronisasi semua peraturan perundangan harus menyesuaikan dengan UU Otsus,
sesuai pasal 32 ayat (1) dan (2).
e. Pemerintah Provinsi lalai membentuk partai politik Lokal,
sesuai pasal 28 UU Otsus Papua.
f. Pemerintah daerah lalai membentuk perdasus tentang lambing
dan symbol-symbol kultural, pada pasal 2 UU Otsus.
g. Perubahan nomenkaltur DPRD menjadi DPRP sesuai amanat UU
Otsus, baru terjadi pada tanggal 22 Juni 2005 yang diputuskan dalam rapat
paripurna DPRD Provinsi Papua No.08/2005, berdasarkan persetujuan Mendagri
berdasarkan surat edaran Mendagri No.161.81/1034/SG, tanggal 3 Mei 2005.
h. Pemerintah provinsi gagal membentuk peradilan adat di Papua,
Pasal 50 ayat (2).
i. Pembentukan Majelis Rakyat Papua, baru dapat dilakukan
berdasarkan keputusan DPRP, melalui perdasi No.4 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pemilihan Anggota MRP, yang dikeluarkan pada tanggal 18 Juli 2005.
j. Pemerintah provinsi gagal membentuk perdasi tentang
pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di
provinsi papua, sesuai pasal 61, ayat (1) UU Otsus Papua. Malahan, pemerintah
provinsi papua barat melakukan kerjasama pemerintah provinsi jawa barat terkait
penempatan transmigrasi[29].
k. Pemerintah provinsi lalai membina, melindungi hak-hak
masyarakat Papua secara bermartabat sebagai mitra Pemerintah, sesuai Pasal 47.
l. Pemerintah provinsi Papua gagal bahkan tidak melakukan evaluasi menyeluruh
terhadap implementasi UU Otsus Papua selama kurang lebih 10 tahun ini.
m. Rekruitmen calon Pengawai Negeri Sipil di Provinsi dan
Kab/Kota belum di prioritaskan terhadap orang asli papua, sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 62, UU Otsus Papua, tetapi semakin dibanjiri dan penuhi
oleh orang-orang non papua yang tidak jelas latar belakang hidupnya. Orang
Papua sendiri tersingkir diatas kampung dan tanah warisan leluhurnya sendiri.
n. Pemerintah provinsi gagal dan lalai melakukan perlindungan
terhadap pelaku bisnis orang asli papua sesuai mandat Otsus Papua.
o. Pemerintah provinsi tidak melakukan restrukturisasi,
refungsionalisasi, dan revitalisasi sesuai UU Otsus Papua.
p. Pemerintah provinsi melakukan manajemen pemerintahan yang
tidak optimal dalam (kepemimpinan, perencanaan, implementasi)
4.2.
Pendekatan Militer dan Pelanggaran HAM[30]
Sekalipun
Papua telah menjadi Daerah Otonomi Khusus Papua selama 10 Tahun ini, namun
realitas yang alami oleh masyarakat asli papua, tidak mengalami perubahan
signifikan justru sebaliknya masyarakat sipil papua masih terus menjadi korban
aparat keamanan (TNI dan POLRI). Sebagai contoh kasus: Pemebunuhan dan
Penculikan Bapak Theys Hiyo Eluay, 10 November 2001 dan penghilangan sopirnya,
Aristoles Masoka yang terjadi setelah sebulan diberlakukan UU Otsus Papua.
Kejahatan
terhadap kemanusiaan terjadi dibanyak tempat dengan berbagai modus dan bentuk
baru. Beberapa bukti kongkrit pelanggaran HAM di era Otsus pada Tahun 2006-2008
:[31]
1. Pembunuhan dan penculikan Bpk. Theys Hiyo Eluay, 10 November
2001 dan penghilangan sopirnya, Aristoles Masoka.
2. Peristiwa Wasior Berdarah 13 Juni 2001. Pada peristiw ini
aparat keamanan dari Brimob Kepolisian Daerah Papua telah melakukan penyisiran
terhadap warga sipil sehingga banyak yang kehilangan nyawa, keluarga dan tempat
tinggalnya.
3. Berimbas dari pembobolan gudang senjata di Kodim 1702
Jayawijaya 4 April 2003 maka aparat
keamanan melakukan penyisiran disejumlah kampung diWamena sampai dikampung
Kuyawage. Akibatnya banyak masyarakat menjadi korban.
4. Peristiwa penyisiran
dan operasi Puncak Jaya berdarah
pada tahun 2004. Masyarakat meninggal karena ditembak,
ada juga meninggal ditempat pengungsian. Banyak masyarakat kehilangan keluarga
dan tempat tinggal mereka.
5. Abepura berdarah 10 Mei 2005, saat masa melakukan aksi untuk
dibebaskannya Yusak Pakage dan Philip Karma di depan Pengadilan Negeri Abepura.
Sebagai tanggapan atas aksi tersebut, aparat Kepolisian secara paksa
membubarkan masa sehingga banyak menjadi korban. Beberapa demonstran disuntik
(diduga beracun) pada bagian kepala. Akibatnya sampai saat ini ada yang
sarafnya terganggu.
6. Timika berdarah atas INRES No. 01 thn 2003, tentang Provinsi
Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah membuat masyarakat pro dan kontra
(devide et Impera) menewaskan 6 korban warga sipil.
7. Peristiwa pemukulan oleh Aparat kepolisian Resort Jayawijaya
terhadap Obet Kossay di Kampung Wesaput-distrik Wamena Kota pada pertengahan
Januari 2006. Korban dipukul di dalam kamarnya setelah pintu di kunci.
8. Peristiwa penembakan terhadap Moses Douw (meninggal dunia)
dan beberapa warga sipil menjadi korban di Wahgete pertengahan Januari 2006
9. Penembakan oleh Aparat Kepolisian Resort Mimika terhadap,
Yulianus Murip (kena tembakan peluruh pada bagian kepalah), Yohanes Wakerwa
(kena tembakan persis dibagian perut) Melianus Murip dan Yohanes Tipagau.
Pelurh yang keluarkan 150 buah.
10. Penangkapan kerja sama antara Aparat keamanan dengan FBI
terhadap 12 warga sipil di di Timika pada awal Januari 2006.
11. Meningalnya Sodema Huby dan Paulus Mokarineak Kosay dan
beberapa warga kena luka tembak oleh Aparat Brimob dan Kepolisian Resort
Jayawijaya di kediaman mantan Bupati Jayawijaya pada 13-14 Mei 2006.
12. Meninggalnya Yesaya Hisage karena ditembak oleh Aparat
Brimob Kepolisian Daerah Papua pada 18 Maret 2007. Dan penyisiran pasca Abepura
Berdarah 16 Maret 2006 dimana Asrama Mahasiswa (Asrama Nayak, Ninming, Nabire,
Kerit, asrama mahasiswa Tolikara, Puncak Jaya, Timika, Yahukimo, asrama
mahasiswa Universitas Cendrawasih) dihancurkan dan satu perumahan di bakar.
Penyisiran difokuskan terhadap Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua sehingga
banyak mahasiswa yang lari ke hutan dan tinggalkan asrama/kampus.
13. Meninggalnya Hardi Sugumol (narapinada kasus mile 62 Timika)
di dalam tahanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia pada 1 Desember
2006.
14. Penyisiran dan pembunuhan di Puncak Jaya pasca penembakan
anggota Kopasus dan Purnawirawan TNI pada Desember 2006
15. Kamis Malam, tanggal 14 Mei beberapa anggota Koramil Kurima
menyiksa seorang pemuda; rendam dalam got, ikat kaki dan tangan lapis dengan
tiang bendera, membakar dengan lilin pada lidah dan kemaluan, jepit dengan tang
di jari kaki dan biji kemaluan. Korban dirawat secara intensif di rumah sakit.
16. Pada hari Kamis 18 July, 300 lebih masyarakat adat dari
Kampung Tablasupa, Yaru, Sebron, keracunan makanan yang disiapkan oleh petugas.
17. Pada 20 July 2007, aparat kepolisian membawa 3 pemuda yang
sedang minum-minuman beralkohol dari rumah mereka. Sesampai di polsek mereka
melakukan penyiksaan yang mengakibatkan 1 orang meninggal dunia dan 2 lainnya
dirawat secara itensif di rumah sakit.
18. Pada 2 Agustus 2007, penembakan oleh TNI Angkatan Laut
terhadap Wemi Gombo. Korban luka kritis pada lengan kiri dan dirawat di RSUD
Dok II, Jayapura.
19. Pada 3 Augutus 2007, Soleman Wandikbo disiksa oleh anggota
Polres Jayawijaya sampai meninggal diruang sel Polres Jayawijaya.
20. Penembakan terhadap Opinus Tabuni oleh Aparat Keamanan pada
9 Agustus 2008, di Lapangan Sinapup Wamena.
Karena begitu banyak peristiwa ketidakadilan yang selalu
terjadi dipelosok pedalaman, pegunungan, pesisir pantai, lembah dan rawa-rawa,
diperbukitan, lereng gunung yang penuh salyu abadi maka hampir mustahil saya
akan merekam dan membukannya pada lembaran ini. Namun saya jakin pasti suatu
kelak akan terekam dan tercatat dengan baik semua isak tangis rakyat, mereka
hanya merindukan keadilan, perdamaian dan kebebasan. Semoga Sang Khalik dapat
mendengarkan-Nya.
4.3.
Rendahnya Tingkat Kesejahteraan Untuk Orang Asli Papua.
4.3.1.
Bidang Kesehatan
Keadaan
kesehatan ibu dan anak kurun waktu tahun 2001-2009. Waupun penerapan Otonomi
Khusus Bagi Papua telah berjalan selama 10 Tahun, persoalan kesehatan di Papua
masih menjadi persoalan yang serius. Berdasarkan hasil survei kematian Ibu pada
Tahun 2001 ditemukan sebanyak 64.471 bayi, yang seharusnya hidup di Papua.
Namun demikian, hanya 51.460 bayi yang hidup dan 7.150 bayi yang meninggal.
Angka kematian bayi 122/1000 kelahiran hidup. Sebanyak 47.709 balita yang hidup
dan terdapat 3.751 balita yang meninggal. Angka kematian Balita yakni 64/1000
kelahiran hidup[32].
Kasus HIV dan AIDS terus meningkat, jumlah pengidap HIV dan AIDS di Tanah Papua
adalah 5.555 orang, Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan Papua Barat yang
dipublikasikan oleh KPA Provinsi Papua, 31 Maret 2008 menyebutkan bahwa:
Provinsi Papua memiliki jumlah pengidap HIV dan AIDS adalah 3.955 orang yang
terklarifikasi sebagai berikut dimana HIV:2.181 Orang, sedangkan AIDS:1.773
Orang, Sedangkan untuk Papua Barat memiliki jumlah 1600 HIV dan AIDS, dari
kasus HIV/AIDS 70% adalah Orang Asli papua. Dari sisi pengalokasian anggaran
Kesehatan yang tertuang dalam dokumen APBD Provinsi Papua selama 10 (sepuluh)
tahun selalu menggambarkan ketidakadilan dan justru menyalahi aturan.
Katakanlah hasil analisis APBD Provinsi Papua, untuk anggaran sektor Kesehatan
tahun 2009 sebesar Rp.295,29 miliar (5,74% dari APBD dan 11,31% dari dana
Otsus). Dari sisi presentase, belum memenuhi standar amanah Otsus untuk
mendanai biaya kesehatan dan juga sesuai dengan standar WHO (World Health
Organization), yang menetapkan anggaran Kesehatan 15% dari APBD maupun dari
Otsus Papua.
4.3.2.
Bidang Pendidikan
Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, minimnya
jumlah dan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan dan persoalan distribusi
tenaga pendidik, sarana dan prasarana
pendidikan, terutama di
daerah-daerah terpencil,
tertinggal dan terisolir. Hal yang sama juga berlaku dialami dalam bidang
kesehatan dimana minimnya sarana
pelayanan dan alat-alat kesehatan mulai dari Puskesmas hingga setingkat Rumah
Sakit. Sarana pelayanan kesehatan, meski cenderung mengalami peningkatan
jumlahnya, namun belum mencukupi, ditambah penyebaran tenaga kesehatan relatif
tidak merata karena sebagian besar
hanya ingin berada di kota besar. Ketiadaan petunjuk pelaksanaan atau
petunjuk teknis juga menjadi catatan tersendiri bagi kedua bidang ini, yang
pada akhirnya menghambat kebijakan affirmative
action yang menjadi keharusan dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Papua
dan Papua Barat.
Hasil Analisis ICS, tentang APBD Provinsi Papua tahun 2009
menyebutkan bahwa alokasi anggaran pendidikan Provinsi Papua tahun 2009 sebesar
Rp 242,06 M. Jumlah ini serata dengan 4,71% dari APBD atau 9,28% dari dana Otsus. Jika menggunakan
ketentuan UUD 1945, UU No.20/2003, dan PP No.48/2008 yang menetapkan alokasi
anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD, anggaran pendidikan Papua Tahun 2009
ini seharusnya minimal sebesar Rp.1,03 Triliun. Apabila menggunakan Perda
No.5/2006 dengan ketentuan 30% dari dana Otsus, anggaran pendidikan Papua pada
APBD tahun 2009 paling sedikit sebesar Rp.782,94 Miliar. Hal ini sama dengan
dokumen APBD tahun-tahun sebelumnya. Beberapa bidang juga mengalami serupa,
seperti, bidang ekonomi, pengkaplingan dan eksploritasi sumberdaya alam,
marjinalisasi dan diskriminasi dll.
Kalimat yang muncul menghormati hak-hak adat, setelah
dihormati apa tindak lanjutnya, apakah masyarakat adat hanya butuh
penghormatan, apakah masyarakat adat makan penghormatan? kalimat selanjutnya
memberikan kepastian hukum kepada pengusaha dan elit politik, lalu dimana
kepastian hukum bagi masyarakat adat pemilik sumberdaya alam sebagai titipan
leluhur? apa diabaikan? atau dianggap hilang? selanjutnya prinsip-prinsip
pelestarian lingkungan ditetapkan dalam perdasus, masyarakat pemilik ulayat
adat hanya dihormati lalu hartanya diambil tanpa imbalan seperti pencuri lalu
pergi meninggalkan pemilik yang bingung karena hartanya hilang didepan matanya
dan lebih tragis lagi ia mengetahui siapa yang mengambil hartanya.
Apakah yang kita harus lakukan? untuk mengurangi
keterpurukan dan ketersisihan masyarakat asli papua di negerinya adalah :
1. Mengamandemen UU No.21 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus
Papua.
2. Memisahkan dana dalam rangka otonomisasi khusus dari APBD,
dengan kata lain dana dalam rangka otonomisasi khusus harusnya merupakan dana
terpisah dari APBD, dimana dana Otsus dikelola oleh Gubernur dan
Bupati/Walikota yang dikontrol oleh MRP yang penggunaannya khusus untuk orang
asli papua, sedangkan dana APBD merupakan dana belanja pemerintahan daerah yang
tetap dikontrol oleh DPRP.
Kita semestinya
berpikir lebih arif lagi untuk merencanakan pemekaran, apa nilai dan arti
pemekaran bagi masyarakat asli papua, apakah pemekaran memberikan kesejahteraan
atau menimbulkan konflik sosial baru, lebih-lebih apakah pemekaran dapat
menjawab kebutuhan masyarakat atau masyarakat asli papua hanya menjadi
penonton, perlu diingat bahwa dana daerah akan habis dibelanjakan dalam rangka
pembentukan infrastruktur.
4.4.
Depopulasi orang asli Papua
Banyak
pihak telah mengungkapkan bahaya berkurangnya jumlah penduduk orang asli papua
atau ancaman menuju kepunahan etnis papua, bila dilihat dari berbagai aspek
yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk papua lebih besar ditentukan oleh arus
migrasi dari luar papua (masuknya pendatang), bukan akibat pertambahan penduduk
karena kelahiran hidup, khususnya dikalangan orang asli papua. Program
transmigrasi terencana sudah lama dilakukan di tanah papua dengan kapal laut
maupun pesawat terbang, merupakan faktor penentu angka pertumbuhan penduduk
papua yang berkisar 5% tiap tahunnya. Rendahnya tingkat kesejahteraan untuk
orang asli papua, kasus HIV dan AIDS terus meningkat.
Diantara geliat pembangunan dan kelimpahan uang pada era
Otsus, tentu masih saja ada kondisi yang kontras. Sebagian besar orang asli
papua seakan masih terjerembab dalam jurang kemiskinan dan termarginal sehingga
cenderung menuntut perbaikan nasib mereka. Bahkan tuntutan itu dari waktu ke
waktu terus menguat menjadi aspirasi pemisahan Papua dari NKRI.
Etnonasionalisme papua pun semakin subur. Banyak pihak di papua menuding Otsus
tidak bisa menjawab keluhan dan permasalahan pembangunan yang dihadapi orang
papua. Indikasi kegagalan Otsus Papua terlihat pada beberapa aspek seperti,
masih sulitnya masyarakat di kampung-kampung dalam mengakses layanan kesehatan
dan pendidikan yang baik. Hingga kini rakyat Papua masih terus bergumul dengan
masalah kesehatan seperti, kasus kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir,
gizi buruk, HIV/AIDS, TBC, ispa, malaria, kusta hingga penyakit lainnya. Di
bidang pendidikan, masih banyak anak-anak asli papua yang tidak bisa bersekolah
di daerah-daerah pedalaman, masih banyak anak putus sekolah, minimnya sarana
belajar mengajar di kampung-kampung, adanya keterbatasan tenaga pendidik hingga
biaya pendidikan yang relatif mahal.
Permasalahan pembangunan selama papua menjadi bagian NKRI,
terjadi karena ada sesuatu yang salah (something
wrong). Saya berpendapat bahwa strategi dan pendekatan pembangunan yang
dilaksanakan di papua selama puluhan tahun lebih banyak di dominasi oleh
kebijakan dan pendekatan politik, daripada pendekatan-pendekatan kesejahteraan.
Akibat dari model pendekatan seperti itu, telah menciptakan ketergantungan yang
sangat kental dikalangan masyarakat asli papua. Ketergantungan itu tampak dalam
bentuk ketergantungan pemerintah daerah (kabupaten/kota) kepada pemerintah
provinsi, maupun ketergantungan kabupaten/kota dan provinsi kepada pemerintah
pusat. Otonomi khusus yang berlaku di papua sejak 2001 tidak berjalan sesuai
harapan masyarakat asli disana. Masih banyak penyimpangan. Akibatnya tidak ada
perkembangan disana, masyarakat papua sering merasa tak pernah menikmati hasil
tanah kelahirannya. Padahal, pendekatan kesejahteraan diyakini adalah solusi
yang paling mujarab untuk permasalahan di papua, dan itu pula yang melandasi
diberlakukannya Otonomi Khusus di Papua.
Kini, pertanyaan mengenai penyaluran dana Otsus papua pun
semakin terdengar dimana-mana. Dana otsus Papua sejak 2002-2010 sudah dicairkan
pemerintah pusat mencapai Rp.28,8 triliun kepada Provinsi Papua dan Papua
Barat. BPK hingga kini baru melakukan audit sebesar 66,27% dari keseluruhan
dana tersebut (atau baru sebesar Rp19,1 triliun). Dan dari proses audit yang
dilakukan telah menemukan ada indikasi penyelewengan Rp.319 miliar. Dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan siap untuk mengusut dugaan penyelewangan
dana Otsus Papua tersebut. Menurut penulis, perlu kemudian untuk menyamaratakan
dan memberlakukan hukum yang sama terhadap elit-elit Papua yang terbukti
korupsi harus diadili, tapi kalau kita lihat selama ini, mau diperiksa
sedikit-sedikit keluar bahasa mardeka, sehinga pemeriksaan terhadap kasus
korupsi tidak serius di papua, tujuannya supaya rakyat papua bijak dan lebih
jernih melihat akar persoalan, pemerintah pusat dan elit lokal wajib
mengevaluasi diri, melihat pelayanan dan korupsi yang dilakukan oleh elit di
papua sendiri, sehingga membuat rakyatnya semakin miskin.
Tabel : Analisa Perubahan kependudukan di Tanah Papua
Tahun
|
Jumlah Penduduk
|
Total Penduduk
|
% Comparison
|
Annual Growht Rate
|
|||
Papua
|
Non Papua
|
Papua
|
Non Papua
|
Papua
|
Non Papua
|
||
1971
|
887.000
|
36,000.
|
923,000.00
|
96%
|
4%
|
||
1990
|
1,215,897
|
414,210.
|
1,630,107
|
75%
|
25%
|
||
2005
|
1,558,795
|
1,087,694
|
2,646,489
|
59%
|
41%
|
1,67%
|
10,50%
|
2011
|
1,700,000.
|
1,980,000
|
3,680,000
|
47%
|
55%
|
||
2020
|
1,956,400.
|
4,743,600
|
6,700,000
|
29,20%
|
70,80%
|
||
2030
|
2.371.200
|
13.228.800
|
15.600.000
|
15,20%
|
84,80%
|
Source : Demographic Desaster in West Papua, Dr.Jim
Elmslie.
Dengan demikian
penambahan penduduk tidak formal terus meningkat di papua sementara rakyat asli
papua semakin minoritas di atas tanahnya sendiri. Jumlah populasi penduduk
papua secara menyeluruh 2,5 juta jiwa yang terdiri dari 1,3 orang asli papua
dan 1,2 juta bukan asli papua. Keterangan grafik diatas bahwa terjadi penurunan
yang signifikan untuk pribumi papua pada kurun waktu tahun 1971-2005 (96%
menjadi 59%), sebaliknya terjadi kenaikan yang signifikan untuk penduduk non
papua pada kurun yang sama (4% menjadi 41%).
Sebagian besar tokoh papua tidak sepenuhnya terlibat aktif
selama pelaksanaan Otsus. Memang ada beberapa tokoh yang masih terlibat dalam
penyusunan kebijakan selama pelaksanaan Otsus tetapi lebih banyak yang
mengambil jarak dan pesimis terhadap pelaksanaan Otsus. Ini bisa dipahami dalam
berbagai kerangka berpikir, ada tokoh yang ingin mempertahankan independesinya,
ada pula kalangan akademisi yang memang berkutat dikampus dan ada pula yang
memang tidak pernah dilibatkan atau diajak bicara oleh pemerintah Provinsi yang
menjadi aktor utama pelaksanaan Otsus. Tetapi pada dasarnya, mereka memberikan
jawaban yang hampir seragam dalam menanggapi pelaksanaan Otsus Papua. Pada
awalnya Otsus dianggap sebagai berkah besar untuk masyarakat papua. Masyarakat
memiliki ekpektasi yang sangat besar bahwa Otsus akan meningkatkan derajat
kehidupan mereka. Tetapi dalam kenyataannya, para narasumber nyaris satu suara
dalam hal ini, kenyataan yang diterima oleh masyarakat tidak sebesar ekpektasi
mereka. Permasalahan mendasar Otsus, selain masalah Perdasus, berkaitan dengan
rencana strategis provinsi yang tidak terkomunikasikan dengan baik dan terbuka
pada seluruh masyarakat, termasuk elemen lembaga masyarakat sipil. Itu
sebabnya, Otsus tidak banyak membawa perubahan derajat kehidupan untuk
masyarakat Papua. Masyarakat mendengar tentang Otsus, dana Otsus dan
janji-janji perbaikan kesejahteraan tetapi mereka tidak pernah merasakan
manfaatnya.
Pada beberapa hal, memang ada pembangunan di papua. Tetapi
proyek-proyek pembangunan tersebut hanya memperbesar cash outflow bukan cash
inflow, karena miskin output yang benar-benar berasal dari papua.
Inefesiensi itu selama ini memang tidak terlihat karena lagi-lagi bisa
tertutupi dengan dana Otsus yang besar. Yang diuntungkan oleh Otsus adalah
sebagian besar elit birokrat papua, lebih luas lagi termasuk mereka yang
terlibat dalam kebijakan ini seperti DPRP, pemerintah kabupaten hingga aparat
tingkat bawah. Selain elit birokrat lokal, pemerintah pusat juga diuntungkan
dengan Otsus ini. Menurut mereka, setelah memberikan Otsus, pemerintah pusat
seolah bisa lepas tangan dan menganggap permasalahan papua telah selesai.
Pemberian Otsus memperkuat posisi politik Jakarta terhadap papua. Pemerintah
pusat sekarang punya alasan logis untuk menindak setiap gerakan yang dianggap
berpotensi menumbuhkan disintegrasi di papua sebab Otsus telah diberikan.
Beberapa tokoh juga menunjuk pihak swasta juga meraup untung
dari Otsus ini. Selain dari proyek-proyek yang diberikan oleh pemerintah mereka
juga mendapatkan peluang dari kewenangan kultural yang didapatkan kembali oleh
kepala suku (Ondoafi) terhadap tanah ulayat. Realitas ini terasa
kontraproduktif tetapi kenyatan itulah yang terjadi. Beberapa pihak swasta
dengan mudah mendapatkan tanah ulayat untuk kepentingan usaha setelah melakukan
pendekatan dengan kepala suku yang justru tidak mendapatkan proteksi dari
pemerintah. Kesiapan Pemerintah Dalam Era Otsus. Regulasi, struktur dan sistem
pengawasan adalah hal-hal yang yang menjadi momok, karena ketidaksiapan
pemerintah terutama pemerintah provinsi papua dalam melaksanakan Otsus.
Ketidaksiapan regulasi tergambarkan dalam mandegnya penyusunan perdasus yang
berimplikasi pada masalah implementasi Otsus. Struktur pelaksana Otsus juga
tidak banyak mengalami perubahan setelah Otsus.
4.5.
UU Otonomi Khusus dan Kegagalan dalam Penerapannya
Dalam
rangka menangani keluhan dan meredam dukungan bagi kemerdekaan, UU Otsus
difokuskan pada pemberian kekuasaan politik dan ekonomi yang lebih besar kepada
papua. Diatas kertas, langkah ini bahkan lebih jauh dari proses desentralisasi
yang terjadi diseluruh wilayah Indonesia sebagai pengakuan terhadap beberapa
keluhan masyarakat papua atas eksploitasi sumberdaya alam dan ancaman terhadap
identitas mereka, dan pada saat yang sama tetap menjunjung tinggi integritas
teritorial negara. Beberapa pasal secara eksplisit berimplikasi positif
terhadap keadilan transisi.
Dalam preambul, UU Otsus mengakui: Bahwa penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan di provinsi papua selama ini belum sepenuhnya
memenuhi rasa keadilan, memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat,
mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan
penghormatan terhadap hak asasi manusia. Berdasarkan jaminan keadilan yang
lebih luas dalam amandemen UUD 45 dan hukum nasional, UU Otsus memasukkan pasal-pasal
yang mewajibkan pemerintah nasional dan provinsi, dan masyarakat untuk
“menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di
provinsi Papua.” Dalam pasal 46 yang berjudul “Hak Asasi Manusia”, ditetapkan
bahwa pemerintah provinsi harus mencapai tujuan ini melalui tiga mekanisme yang
berpotensi untuk mendorong proses keadilan transisi di papua:
1) Pembentukan Pengadilan HAM, yang mungkin dapat berkontribusi
terhadap pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi.
2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua untuk melakukan
klarifikasi sejarah Papua, dan merumuskan serta menetapkan langkah-langkah
rekonsiliasi.
3) Perwakilan Komnas HAM, suatu badan yang memiliki fungsi
pencarian kebenaran dan pertanggungjawaban yudisial.
Langkah-langkah diatas dimaksudkan untuk melindungi dan
memberi peran lebih besar dalam pengelolaan pemerintahan bagi orang-orang asli
papua. Lebih dari satu dekade kemudian, UU Otsus dianggap gagal yang disebabkan
oleh dua hal yaitu lemahnya komitmen pemerintah pusat dalam pelaksanaan
pasal-pasal tertentu dari UU Otsus dan kegagalan yang lebih luas dalam
mendorong kebenaran, pertanggungjawaban, dan keadilan di tingkat nasional.
Tanda-tanda awal yang menunjukkan kurangnya komitmen pemerintah terlihat saat
Presiden Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden pada tahun 2003 yang
memekarkan papua menjadi tiga provinsi. Hal ini bertentangan dengan UU Otsus
yang mensyaratkan persetujuan dari MRP dan DPRP. Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi untuk papua tidak pernah dibuat, yang tampaknya disebabkan oleh
dibatalkannya UU No.27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh MK
pada bulan Desember 2006. Hal ini merupakan kemunduran dalam memperjuangkan
kebenaran, keadilan, dan rekonsiliasi nasional terkait kekerasan dimasa lalu.
Tidak adanya sebuah KKR nasional menjadi alasan untuk tidak membentuk KKR di
papua, walaupun telah disebutkan dalam Undang-Undang Otsus untuk wilayah
tersebut.
Pemerintah juga gagal memenuhi mandat UU Otsus untuk
membentuk pengadilan HAM di papua. Walau pengadilan HAM permanen di makassar
telah dibentuk berdasarkan UU No.26/1999, namun pada kenyataannya, pengadilan
tersebut hanya mengadili satu kasus yaitu dugaan pelanggaran di Abepura, Papua.
Lemahnya implementasi kebijakan keadilan transisi di papua tidak dapat
dipisahkan dari kegagalan dalam mendorong kebenaran, pertanggungjawaban, dan
keadilan yang berkaitan dengan kejahatan masif di seantero Indonesia.
4.6.
Faktor Penyebab Otonomi
Khusus Gagal di Papua
Pandangan para tokoh Papua terhadap realitas Otsus
Papua itu memang cukup beralasan jika dicermati berdasarkan fakta yang terjadi
akhir-akhir ini. Hanya saja, sebenarnya ada sejumlah pihak yang telah ikut
memberikan sumbangsi pemikiran bagi perbaikan Otsus Papua dan pasang surut
hubungan Papua-Jakarta. Menurut penulis ada (enam) faktor-faktor yang
menyebabkan otonomi khusus gagal di papua.
Pertama, kegagalan implementasi pembangunan, terutama
dibidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Diantaranya
adalah rumah sakit yang minim obat dan dokternya, serta sekolah-sekolah pun
masih minim guru, pelayanan publik di bidang kesehatan dan pendidikan di papua
sangat mengkhawatirkan. Kedua,
Permasalahan masih terjadi tumpang tindih aturan hukum yang dikeluarkan pusat
dengan aturan perdasus dan perdasi. Permasalahan menyangkut dimensi
institusional (kelembagaan), yakni belum terbentuknya sejumlah institusi
penting yang diamanatkan dalam UU Otsus seperti, pengadilan HAM, Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Hukum Ad Hoc dan peradilan adat. Permasalahan belum optimalnya
sinergisitas tiga pilar utama Pemerintah Daerah (Pemprov, MRP dan DPRP) di
papua. Ketiga, pemerintah pusat tidak
serius, tegas dan berani untuk menyelidiki dan memeriksa elit atau pejabat
pemerintahan daerah Papua yang terindikasi korupsi. Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp.319 miliar dalam penggunaan
dana otonomi khusus (Otsus) Papua. BPK hanya mengaudit 66,27% dana sebesar
Rp.19,1 triliun, ada indikasi penyelewengan dana otsus mencapai Rp.319 miliar.
Keempat, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas
politik orang Papua, permasalahan menyangkut dimensi politik, menyangkut proses
bergabungnya tanah papua ke dalam bagian NKRI. Karena permasalahan tersebut
telah menyebabkan Otsus Papua secara idiil normatif dan aktual empirik belum
bisa menjadi lokomotif perubahan mendasar di tanah Papua. “Pelaksanaan Otsus
juga sudah tidak relevan dengan dinamika perkembangan politik pemerintahan di
tanah papua”. Kelima, diskriminasi
terhadap orang asli papua dan kekerasan negara terhadap orang Papua dimasa
lalu. Perlunya jalan dialog yang melibatkan komponen-komponen di papua dengan
pemerintah pusat. Perlunya jalan rekonsiliasi diantara pengadilan HAM dan
pengungkapan kebenaran kejahatan aparat keamanan negara terhadap orang papua
dimasa lalu demi penegakan hukum dan keadilan bagi papua, terutama korban,
keluarganya dan warga Indonesia secara umum. Keenam, problem menyangkut dimensi keuangan tampak pada pembagian
dan pengelolaan dana Otsus sejauh ini tidak dilakukan sesuai amanat UU Otsus
lewat hadirnya sebuah Perdasus. Sejauh ini pembagian dana Otsus hanya dilakukan
berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota se-tanah Papua. Sementara
pengelolaannya hanya didasarkan pada Permendagri (terakhir Permendagri No.59
Tahun 2006) yang dianggap tidak tepat sasaran.
Dalam struktur APBD
Papua sejak pemberlakuan Otsus juga tidak ditemukan kuota dana sebesar 30%
untuk pendidikan dan 15% untuk kesehatan. Pembagian dana Otsus yang besarnya
70% untuk Papua dan 30% untuk Papua Barat sejak tahun 2008 juga dilakukan
dengan tanpa dasar hukum.
Mencermati berbagai persoalan otonomi khusus
Papua dan Papua Barat sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, menjadi
jelas bahwa permasalahan Otonomi Khusus pada dasarnya menyangkut 2 ranah yakni
kebijakan dan implementasi kebijakan.
1. Permasalahan yang
terjadi Pada Ranah/Dimensi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
menyangkut hal-hal sebagai berikut:
a.
Terjadi
disharmoni dan inkonsistensi kebijakan, sebagaimana diketahui dalam pelaksanaan
Otonomi khusus Papua dan Papua Barat terdapat dua peraturan perundang-undangan
yaitu UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.21
Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan UU No.35 Tahun 2008. UU generik atau simetris berlaku di seluruh daerah dan menitikberatkan
otonominya di kabupaten/kota, sementara UU
Otonomi Khusus atau asimetris menitikberatkan otonominya di level
provinsi. Implikasinya, terjadi kerancuan dalam penyelenggaran pemerintahan
daerah, khususnya di level pemerintah kabupaten/kota karena di satu sisi mereka menjalankan
otonomi khusus dan di sisi lain mereka harus menjalankan otonomi generik.
Akibatnya, terjadi pula apa yang disebut sebagai inkonsistensi kebijakan.
b. Belum diterbitkannya
sebagian besar peraturan pelaksana UU No.21 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan UU No.35 Tahun 2008 yang meliputi
Perdasus dan Perdasi yakni sebanyak 13 Perdasus dan 18 Perdasi. Sebagai operasionalisasi UU No.21
Tahun 2001 dan UU No.35 Tahun 2008, terbitnya perdasus dan perdasi tersebut
merupakan sebuah keharusan.
c.
Implikasi
dari ketidakjelasan penjabaran dan penafsiran secara tepat tentang
manajemen penyelenggaraan Otonomi
Khusus, mengakibatkan desain kebijakan perdasus dan perdasi yang sudah
diterbitkan/ditetapkan kurang bisa menjadi acuan yang tegas, jelas dan terukur.
Misalnya: Perdasus bidang lingkungan hidup, belum menjadi acuan yang terukur
untuk dapat membedakan mana urusan
yang harus dikelola oleh provinsi
atau kabupaten/kota. Akibatnya, kinerja
yang dicapaibpada bidang ini
menjadi tidak optimal, termasuk akuntabilitasnya.
d. Belum ada perumusan
indikator-indikator keberhasilan pelaksanaan Otonomi Khusus sebagai penafsiran
atas kewenangan setiap bidang.
2. Permasalahan Pada
Ranah/Dimensi Implementasi Kebijakan yang terjadi dalam penyelenggaraan
Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a.
Keuangan
Khusus dan Pengelolaannya
Persoalan mendasar
dalam implementasi keuangan Otonomi Khusus dan pengelolaannya adalah belum
tersedianya peraturan pelaksana dalam bentuk perdasus yang mengatur alokasi dan
distribusi dana Otonomi Khusus yang disampaikan kepada pemerintah
kabupaten/kota. Amanat pasal 34 ayat (7) tersebut belum dapat dilaksanakan oleh
DPRP/DPRPB, MRP dan Gubernur Provinsi Papua maupun Papua Barat. Hal ini menyebabkan
pengelolaan keuangan/dana Otonomi Khusus selama ini hanya didasarkan atas
Peraturan Gubernur (Pergub). Artinya, alokasi dan distribusi yang telah
dilaksanakan sedemikian rupa, dimana 40:60 untuk Provinsi Papua (40% untuk
Provinsi dan 60% untuk kabupaten/kota) dan 30:70 untuk Provinsi Papua Barat
(30% untuk Provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota) sesungguhnya masih belum
mencerminkan demokrasi lokal karena
tidak melibatkan peran DPRP/DPRPB serta MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi
Papua Barat.
Persoalan krusial
lainnya adalah terkait dengan keterlambatan transfer/dropping dana Otonomi
Khusus dari provinsi ke kabupaten/kota, karena keterlambatan transfer dari
pusat ke provinsi. Memang diakui, hal ini sudah
dicoba jalan keluarnya dengan memperbaiki pencairan dengan menggunakan
sistem termin, namun ternyata belum menunjukkan hasil yang positif.
Keterlambatan pencairan dana otonomi
khusus masih saja terjadi, hal ini
memaksa pemerintah daerah untuk meminjam kas DAU dan akan dikembalikan setelah
dana otonomi khusus direalisasikan.
Permasalahan lain yang
dihadapi dalam alokasi dan distribusi keuangan adalah menyangkut transparansi
kepada publik terkait dengan jumlah atau besaran, mekanisme pembagian serta
bentuk pengelolaannya. Hal ini berimplikasi pada menurunnya kepercayaan rakyat
Papua terhadap pemerintah.
Terakhir, persoalan
yang membelit bidang keuangan dan pengelolaannya adalah terkait ketiadaan
payung hukum yang jelas mengenai program dan kegiatan yang akan didanai dari
dana otonomi khusus dimaksud. Memang, Pergub yang diterbitkan sudah cukup
memberikan arah program dan kegiatan
prioritas, namun aturan ini pun belum dapat dilaksanakan secara optimal karena
substansinya masih kurang lengkap dan disisi lain pemerintah kabupaten/kota
cenderung tidak mematuhi ketentuan pergub karena memiliki agenda prioritas
tersendiri.
b. Kelembagaan Khusus
MRP sebagai lembaga
kultural, ternyata selama ini masih disibukkan dengan ranah politik seperti
rekomendasi perlunya bakal calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil
walikota harus orang asli Papua, dan lain-lain. Meskipun disatu pihak, sejumlah
kalangan di Papua menilai MRP sebaiknya tidak diposisikan sebagai lembaga
kultural yang semata-mata hanya mengurus hal-hal kebudayaan.
c.
Kewenangan
Khusus
Kebijakan pelaksanaan kewenangan
khusus sejatinya dibiayai dengan dana Otonomi Khusus, kebijakan alokasi dana
Otonomi Khusus yang selama ini dilakukan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat pun tidak didasarkan atas model pelaksanaan kewenangan khusus secara proporsional. Pembagian 40%
untuk Provinsi Papua dan 30% untuk Provinsi Papua Barat tidak dibarengi dengan
lingkup pelaksanaan kewenangan yang ada di provinsi. Sementara itu, dari sisi
pemerintah kabupaten/kota pembagian tersebut dianggap tidak adil, karena belum
sepenuhnya mempertimbangkan karakteristik dan kekhasan masalah yang ada di
daerah kabupaten/kota, seperti daerah berkarakter pegunungan, dataran,
pedalaman, pesisir, termasuk pertimbangan jumlah penduduk (demografi), dan
sebagainya. Pembagian 40:60 dan 30:70 yang telah dilaksanakan di kedua provinsi
masih menimbulkan persoalan jika dikaitkan dengan program dan kegiatan
prioritas mana yang dibiayai. Bahkan, tidak jarang terjadi pemanfaatan dana
otonomi khusus di kabupaten/kota yang tidak sesuai dengan ketentuan pergub dan
atau amanat UU No.21 Tahun 2001. Dalam
hal perekonomian, Meskipun telah terbit Perdasus No.18 tahun 2008 tentang
Perekonomian Berbasis Kerakyatan, pada kenyataannya pendanaan dan implementasi
ekonomi kerakyatan belum memberikan pengaruh signifikan bagi kehidupan dan
kesejahteraan rakyat Papua. Sementara di
Provinsi Papua Barat belum terbit Perdasus mengenai Perekonomian Berbasis
Kerakyatan, namun hal ini telah diintegrasikan dalam rencana strategis BP3D dan
menjadikannya kedalam salah satu program prioritas ekonomi kerakyatan. Namun
sebagaimana di Provinsi
Papua, alokasi dana untuk bidang kewenangan
ekonomi kerakyatan mendapat porsi yang
kecil sehingga efeknya kurang
terasa dalam pembangunan perekonomian.
Gambar. 4
Jangka
Pendek
|
Jangka
Menengah
|
Jangka
Panjang
|
Peningkatan Kapasitas SDM
|
Percepatan
Penerbitan
|
Perbaikan
Kebijakan
|
Sumber : Hasil kajian evaluasi implementasi kebijakan
Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, hal.189
4.7.
Otonomi Khusus dalam Bingkai NKRI
Jadi structure follow man yang diperlukan
bukan sebaliknya dengan structure follow
angajman. Dalam kaitan dengan itu kita perlu melihat kembali struktur
otonomi khusus pemerintahan daerah, disusun untuk mencapai fungsi tertentu yang
kita jabarkan dari visi dan misi bersama. Untuk apa kita punya otonomi daerah?
Dengan demikian kita akan bisa paham bahwa solusi mengatasi pelbagai kemandekan
dalam pemerintahan daerah bukan sekadar membuat struktur jabatan buat menampung
orang. Meski semangat pemberlakukan otonomi khusus ini dirancang untuk
“melebihi otonomi biasa” sebagaimana di daerah-daerah lain namun titik tekan
pemahaman yang utuh mengenai otonomi khusus ini hendaknya tidak terpaku
semata-mata karena sebagai perwujudan pemerintahan pusat dalam merespon
dinamika politik lokal yang selalu menimbulkan konflik tetapi pemberlakukan
Otsus seharusnya dipahami sebagai upaya kita bersama dalam melakukan
modernisasi sistem pemerintahan. Meski penerapan Otsus merupakan bagian dari
pendekatan mereduksi konflik dari perspektif historis empirik namun dari sisi
filosofis kontekstual bisa kita tanggap sebagai upaya dalam memperkuat
integritas NKRI.
Kekhawatiran ini bisa timbul karena otsus terkait dengan
upaya damai yang didahului oleh konflik berkepanjangan sehingga boleh jadi
struktur otsus dipandang sebagai upaya menampung atau mengakomodasi orang demi
untuk maksud damai. Kalau memang otsus demikian maka kita harus pahami bahwa
cara berpikir seperti ini hendaknya harus diubah dalam rangka pengembangan
modernisasi pemerintahan otsus dimasa depan. Jadi tidak perlu lagi ada pemahaman
seperti ini. Maka sekarang kita harus kembali merenungkan maksud dan tujuan
berpemerintahan ini untuk apa? Hal ini sebenarnya semata-mata untuk memudahkan
kita dalam mencapai tujuan hidup bersama dalam wadah NKRI dengan instrumen
pemerintahan daerah khusus di daerah otonomi khusus.
Terbentuknya pemerintahan tidak lain adalah untuk menjamin
adanya ruang kebebasan, ruang kemerdekaan atau liberty. Kemerdekaan yang tidak
dapat dipisahkan dari kebebasan. kemerdekaan bersifat kolektif dan kebebasan
bersifat individual. Namun dalam titik ini kita perlu mengelola kebebasan dan
kemerdekaan baik bersifat kolektif dalam kebangsaan maupun bersifat individual
dalam konteks yang lebih konstruktif dan kompetitif yang disertai terpaan
globalisasi. Hal ini perlu kita jaga dan persiapkan kualitas sumberdaya manusia
yang handal. Jika kita tidak mau mengalami sebagaimana teori Gidens
mengemukakan: According to the dependency
theorists, global society has developed in an unevan way, such that the main
core of industrialized world”.
4.8.
Tujuan Bernegara
Jadi hal
mendasar yang perlu dipahami dari demokrasi yang beretika adalah pertama
kebebasan. kedua, keadilan. Keadilan dalam masyarakat, keadilan dalam hubungan
antara pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah lain
di Indonesia dalam wadah NKRI. Yang ketiga, kemakmuran bersama. Tujuannya
adalah kemakmuran yang adil dan merata bagi seluruh rakyat. Keempat, kita
bercita-cita untuk hidup rukun bersama sebagai masyarakat dengan cara
mengorganisasikan diri dalam pemerintahan untuk mencapai tujuan bersama dalam
perikehidupan yang rukun, damai dan bersatu. Yang kelima, bahwa semua ini kita
lakukan dalam upaya mewujudkan semangat pengabdian pada bangsa dan negara.
Dalam perspektif yang filosofis itulah yang kita cita-citakan
sebagai bentuk manifestasi dari lima sila Pancasila. Di era modern dan
globalisasi yang begitu kuat dan transformasi budaya yang pesat nilai-nilai
yang termaktub dalam Pancasila mengalami goncangan luar biasa sehingga
Pancasila dan UUD 1945 tidak lagi dipahami sebagai perekat kebersamaan dalam
pergulatan ideologi politik, sehingga ia menjadi falsafah kehidupan berbangsa.
Sebagai bangsa yang besar dan menganut pluralisme maka tugas dan tanggungjawab
kita adalah bagaimana menegakkan nilai-nilai keadilan sebagaimana yang tertuang
dalam falsafah bangsa kita yakni Pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi
dalam bernegara. Hal yang patut kita renungkan bersama adalah hakikat keadilan.
Tentu hal ini membutuhkan tidak hanya retorika politik tetapi perlu ada konsistensi
(istigamah) dari kita semua untuk
memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara.
Faktor-faktor pendukung untuk terciptanya kesadaran
berbangsa dan bernegara :
1. Tingkat ke-amanahan seorang pejabat
|
5. Tegasnya hukum dan aturan
pemerintahan.
|
2. Pemerataan kesejahteraan setiap
daerah.
|
6. Rasa memiliki dan bangga berbangsa
Indonesia.
|
3. Keadilan dalm memberikan hak dan
kewajiban semua rakyat
|
7. Menyadari bahwa berbangsa dan bernegara yang satu
|
4. Kepercayaan kepada wakil rakyat
atau pemerintahan
|
8. Mengetahui lebih banyak nilai
positif dan kekayaan bangsa
|
9.
KESIMPULAN
Klaim moral
pertama dari dasar keberadaan negara adalah kesanggupannya melindungi warga
dari mara bahaya (harm). Jika gagal
memenuhi hal itu, negara tersebut kehilangan legitimasinya. Dengan membuncahnya
aneka ekspresi kekerasan tersebut, negara mengingkari demokrasi dan konstitusi.
Kekerasan adalah musuh utama demokrasi, beretentangan dengan spirit dan
substansinya. Tak lain karena demokrasi sebagai jalan hidup (way of life) dengan seperangkat
institusinya merupakan suatu sarana non-kekerasan. Praktik demokrasi yang gagal
melindungi warganya dari ragam bentuk kekerasan adalah praktik demokrasi
kriminal yang tak patut dipertahankan. Demokrasi yang dirayakan dengan
kekerasan tidak saja membinasakan demokrasi itu sendiri, tetapi juga
mendelegitimasi negara, yang akan menjatuhkan konsepsi paripurna menjadi
kekacauan paripurna.
Kondisi hukum di Indonesia saat ini belum mencerminkan
keadilan yang sesungguhnya, merajalelanya tindakan korupsi dan tindakan pidana
lainnya semakin memperlihatkan bahwa keadilan di negara kita belum merata,
kehidupan yang tidak merata membuat banyak warga negara yang tidak mendapatkan
keadilan sepenuhnya. Keadaan hukum yang tidak
merata di Indonesia akan berdampak buruk terhadap moral bangsa kita,
oleh karena itu dalam masalah ini adapun solusi yang ditawarkan untuk membuat
hukum lebih baik di negara ini sehingga semua warga negara mendapatkan keadilan
hukum yang sepenuhnya. Sebuah negara itu harus mempunyai prinsip, agar bisa
tercapainya segala apa yang di inginkan. Agar menjadi sebuah negara (Islam)
yang baik, peganglah yang sesuai dengan apa yang diperintahkan dalam sebuah
al-Qur’an dan al-Hadits. Tujuan dari suatu negara adalah mengganti kenabian
dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia, serta untuk mengusahakan
kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat. Negara
bertugas mempertahankan segala apa yang harus di jaganya.
Setiap pergantian pemerintahan dengan kurun waktu lima
tahunan, ada kecenderungan -baik dari pihak eksekutif maupun legislatif -untuk
mengubah undang-undang tentang pemerintahan daerah. Hal semacam itu menimbulkan
ketidakpastian hukum dan kebingungan bagi pelaksana di daerah. Untuk
mengatasinya perlu disusun desain besar desentralisasi di Indonesia sampai
tahun 2050. Disain besar (grand design)
dilengkapi tahapan-tahapan untuk pelaksanaannya, sehingga ada pedoman yang
jelas bagi siapapun yang sedang memerintah. Dalam disain besar desentralisasi
perlu ditegaskan pilihan model desentralisasinya yakni desentralisasi
berkeseimbangan (equilibrium
decentralization), sebagai model eklektik yang dihasilkan dari intisari
pergulatan konsep yang sudah berjalan sejak awal kemerdekaan. Model
desentralisasi berkeseimbangan diyakini akan dapat diterima oleh sebagian besar
masyarakat, karena secara filosofis sesuai dengan Pancasila sebagai dasar
negara. Melalui
desentralisasi berkeseimbangan, paling tidak akan dapat dikurangi potensi
konflik kepentingan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, sehingga
semua energi bangsa dapat lebih diarahkan pada
upaya membangun ekonomi nasional, yang pada gilirannya akan membuat
Indonesia menjadi negara yang maju serta disegani di forum internasional.
Dalam sistem organisasi modern kita dituntut untuk mengembangkan
organisasi sebagai instrumen dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dari visi
dan misi bersama itulah kita merumuskan fungsi yang dilembagakan dalam struktur
keorganisasian. Dari titik ini kemudian kita memastikan bagaimana menata
struktur organisasi dengan mengisi personil yang akan menduduki struktur
dimaksud. Akan tetapi dalam tataran implementasi di negara-negara berkembang,
atau negara-negara yang masih dalam kategori terbelakang, atau organisasi
tradisional kita biasanya menggunakan logika berorganisasi dari ketersediaan
orang. Adanya orang itulah yang menuntut kita berpikir untuk bagaimana
menempatkan orang tersebut dalam struktur sehingga struktur yang dibuat hanya
untuk menampung orang-orang. Padahal idealnya setelah membentuk struktur baru dipikirkan
fungsi pekerjaan dari organisasi tersebut untuk apa.
Jalan
keluarnya :
ü
Membangun tanpa merusak;
ü
Membangun berbasis pada sumberdaya alam
yang dimiliki;
ü
Membangun dengan bersahabat dengan
alam, serta berupaya sedikit mungkin memanipulasi alam;
ü
Membangun dengan menggunakan tiga modal
(intelektual, sosial, kapital) secara sinergis dan harmonis.
Merujuk pada fakta selama 10 tahun, pelaksanaan Otonomi
Khusus di tanah Papua gagal dilaksanakan. Pelaku utama kegagalan Otonomi Khusus
Papua ialah Pemerintah (Pusat dan Daerah) sendiri. Sementara posisi rakyat
Papua hanya sebagai penonton sekaligus menerima dampaknya. Berbagai kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir semuanya bertolak belakang dengan
semangat dan jiwa Otonomi Khusus itu sendiri. Otsus Papua yang diberikan oleh
pemerintah pusat lebih sebagai solusi politik ketimbang solusi kesejahteraan.
Itu sebabnya yang lebih kentara dari Otsus ini adalah proses politik untuk
menekan aspirasi merdeka. Jalan panjang damai dan kesejahteraan di tanah Papua
mengalami komplikasi yang sangat serius. Setidaknya ada lima akar persoalan
menjadi faktor-faktor penyebab gagalnya otsus di Papua. Pertama, kegagalan
implementasi pembangunan, terutama dibidang pendidikan, kesehatan dan
pemberdayaan ekonomi rakyat. Kedua, untuk penyelesain kasus Papua
belum ada lagi tokoh Nasional yang dipercaya masyarakat Papua, seperti almarhum
Gusdur yang lebih bisa diterima oleh rakyat Papua. Ketiga, Permasalahan
masih terjadi tumpang tindih aturan hukum yang dikeluarkan pusat dengan aturan perdasus dan perdasi.
Permasalahan menyangkut dimensi institusional (kelembagaan), yakni belum
terbentuknya sejumlah institusi penting yang diamanatkan dalam UU Otsus
seperti, pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Hukum Ad
Hoc dan peradilan adat. Permasalahan belum optimalnya sinergisitas tiga pilar
utama Pemerintah Daerah (Pemprov, MRP dan DPRP) di Papua. Keempat, pemerintah pusat
tidak serius, tegas dan berani untuk menyelidiki dan memeriksa elit atau
pejabat pemerintahan daerah Papua yang terindikasi korupsi. Kelima,
kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik orang Papua, permasalahan
menyangkut dimensi politik, menyangkut proses bergabungnya Tanah Papua ke dalam
bagian NKRI. Keenam, problem menyangkut dimensi keuangan tampak pada
pembagian dan pengelolaan dana Otsus sejauh ini tidak dilakukan sesuai amanat
UU Otsus lewat hadirnya sebuah Perdasus. Sejauh ini pembagian dana Otsus hanya
dilakukan berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota se-tanah Papua. Sementara pengelolaannya
hanya didasarkan pada Permendagri (terakhir Permendagri No.59 Tahun 2006) yang
dianggap tidak tepat sasaran. Konflik Papua tidak bisa dipertahankan, dan harus
diselesaikan secara serius. Kasus Papua menjadi lampu kuning bagi pemerintah,
kalau pemerintah tidak punya itikad baik dan kesungguhan maka akan sama dengan
proses terbentuknya Negara Sudan Selatan yang berpisah dari Republik Sudan
(Negara induk). Otsus Papua yang diberikan oleh pemerintah pusat lebih sebagai
solusi politik ketimbang solusi kesejahteraan. Pada awalnya Otsus dianggap
sebagai berkah besar untuk rakyat Papua, masyarakat memiliki ekspektasi yang
sangat besar bahwa Otsus meningkatkan kesejahteraan, namun berubah menjadi
bencana bagi rakyat karena salah kelola.
Ibarat dua sisi mata uang logam, dibalik kewenangan ini
tentu melekat berbagai tanggungjawab yang harus dilaksanakan untuk mencapai
tujuan yang diharapkan. Pelaksanaan otonomi khusus tersebut harus menghasilkan
kinerja yang signifikan mendorong percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat.
Berdasarkan hasil temuan berbagai kajian terdahulu dapat ditarik kesimpulan
umum bahwa otonomi khusus belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal yang
paling kasat mata adalah kondisi ketertinggalan Provinsi Papua dan Papua Barat yang
masih sangat mencolok. Kinerja yang dipengaruhi dinamika yang terjadi di kedua
Provinsi ini perlu dipantau perkembangannya seaktual mungkin.
9.1.
Solusi Persoalan Otsus Papua
Bertolak
dari sejarah dan fakta kegagalan Otsus Papua sebagaimana uraian diatas, maka
solusi yang mesti dilakukan pemerintah dan orang papua guna mengakhiri berbagai
persoalan di Papua sebagai berikut :
1. Dilakaukan evaluasi secara konfrensif dan menyeluruh atas
pelaksanaan Otsus Papua selama 10 Tahun (2001-2011). Evaluasi ini dilakukan
oleh kedua belah pihak yakni Pemerintah Pusat dan orang papua yang menyatakan
Otsus gagal. Dalam evaluasi pemerintah maupun orang papua mengindentifikasi
penyebab yang menghambat pelaksanaan Otsus Papua selama 10 tahun ini.
2. Setelah dilakukan Evaluasi oleh masing-masing pihak,
kemudian guna mencari solusi yang tepat dan bijak dalam penyelesaian Otsus
Papua secara spesifik dan persoalan Papua lainnya secara menyeluruh dan tuntas
mutlak dilakukannya dialog.
3. Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, artinya jangan
pemerintah pusat atau dalam hal ini KPK ragu-ragu untuk menangkap elit dan
pejabat Papua dan meminta pertangungjawaban atas dana Otsus yang dipakai selama
10 Tahun, yang tidak menyentuh masyarakat kecil, dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat Papua.
4. Perlunya kebijakan rekognisi untuk pemberdayaan orang asli
papua.
5. Perlunya semacam paradigma baru pembangunan yang berfokus
pada pelayanan publik demi kesejahteraan orang asli papua di kampung-kampung.
5.2.
Srategi Perbaikan
Strategi perbaikan dalam memperkuat kebijakan
dan implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat dapat
dilasanakan berdasarkan jangka waktunya yaitu jangka pendek yang berlangsung 1
(satu) sampai dengan 2 (dua) tahun kedepan, Jangka menengah yang berlangsung 3 (tiga)
sampai 5 (lima) tahun ke depan
dan Jangka panjang yaitu 5 (lima) sampai dengan 10 (sepuluh) tahun ke depan. Langkah-langkah
yang dapat dilakukan dalam strategi perbaikan dapat dimulai dengan meningkatkan
kemampuan para penyelenggara kebijakan Otonomi Khusus dan sekaligus memantapkan
komitmen semua pihak, baik pusat maupun daerah untuk bersama-sama menjalankan
kebijakan ini secara konsekuen dengan Program Pendampingan (supervisi) dari
pemerintah dalam memberikan fasilitasi dan advokasi guna peningkatan kapasitas
teknikal dan manajerial.
Jangka Pendek: pertama, meningkatkan kemampuan para
penyelenggara kebijakan otonomi khusus dan sekaligus menggugah komitmen semua
pihak, baik pusat dan daerah, untuk bersama-sama menjalankan kebijakan ini
secara konsekuen; Kedua, Perlu dilakukan
pendampingan teknis untuk menyelesaikan Perdasi/Perdasus yang diamanatkan UU
No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah
diubah dengan UU No.35 Tahun 2008; Ketiga, Setiap tahun perlu dilakukan
Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Otsus sebagai amanat pelaksanaan Pasal 78 UU
No.21 Tahun 2001, yang hasilnya dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk
perumusan kebijakan dan implementasi otonomi khusus, serta dapat menjadi
pertimbangan dalam pencairan alokasi dana otonomi khusus; dan 4) Untuk itu
perlu segera disusun Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) tentang
Pengelolaan Dana Otonomi Khusus.
Jangka Menengah, Strategi diarahkan untuk
mendorong pemerintah pusat dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah yang
diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus, ataupun yang tidak diamanatkan
tetapi diperlukan untuk menjalankan kewenangan khusus mengacu kepada Pasal 74
UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Jangka panjang, perlu
dilakukan penyempurnaan Undang-Undang Otonomi Khusus papua agar desain
kebijakan lebih operasional dan mampu menjawab problem kebijakan, dengan
memperhatikan perkembangan dinamika sosial politik.
_________________________________
Penulis, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Pendidikan
Anak Bangsa (LP2-AB) Jakarta.
[5] Cheema, GS and Rondinelli. G.A (editors) : Decentralization
and Development : Policy Implementation in Developing Countries, Beverly Hills,
Sage. 1983, hal 18.
[6] Litvack , Jennie, Junaidi Achmad, and
Richard Bird, Rethinking, Decentralization in developing Countries, The World
Bank Washington D.C, USA, 1999.hal 2.
[10] Robert Reinow: Introduction to Goverment,
dalam Ni’matul Huda : Otonomi Daerah;
Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2005.
[12] Davied Oesborne dan Ted Goeber, dalam Soenobo
Wirjosoegito: Proses & Perencanaan Perundangan, Ghalia Indonesia, Jakarta
2004.
[13] The World Bank, Independent Evaluation Group.
Decentralization in Client Countries –an Evaluation of World
bank Support, 1999-2007, 2008.
[14] Cheema, GS and Rondinelli. GA (editors) :
Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing
Countries, Beverly Hills, Sage. 1983
[15] Campo, S. Schiavo- and
P.S.A. Sundaram, To Serve and To Preserve : Improving Public Administration in
A Competitive World, Asian Development Bank, 2001.
[20] Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
[21] Tatsuro Nikawa. 2006.
“Decentralization and Local Governance : Reinforcing Democrazy and Effectiveness
of Local Government” Paper Presented in Regional Forum on Reinventing
Government in Asia Building Trust in Government: Innovations to Improve
Governmence 6-8 September 2006, Seoul, Republic of Korea
[22] Bdk. Agus Alua, materi yang disampaikan dalam
komgres I, Ikatan Cendekiawan Awam Katolik se Tanah Papua (ICAKAP), Balai
Sosial Kamkey, Abepura Papua, Tanggal 4 Maret 2009.
[23] Rakyat papua menerima
status otonomi khusus (otsus) pada tahun 2001, tepatnya pada tanggal 21
November 2001 melalui disahkannya UU No.21/2001
[26] Pokok rangkuman dari materi hasil musyawarah
MRP dan Orang Asli papua pada tanggal 9-10 Juni 2010. Musyawarah ini wakil
orang papua dari semua unsur (agama, adat, perempuan, pemuda, dsb) yang ada
ditanah papua dan luar papua. Hasil musyawarah menyatakan bahwa Otonomi Khusus
Papua telah gagal total dilaksanakan ditanah papua.
[28] Pokok rangkuman dari materi hasil musyawarah
MRP dan Orang Asli papua pada tanggal 9-10 Juli 2010. Musyawarah ini wakil
orang papua dari semua unsur (agama, adat, perempuan, pemuda, dsb) yang ada
ditanah papua dan diluar papua. Hasil musyawarah menyatakan bahwa Otonomi
Khusus Papua telah gagal total dilaksanakan ditanah papua.