Menanti
Pemilu yang Berintegritas
Oleh
: Rahman Yasin
Pekan kemarin (Selasa 11/6/2013) Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono bertemu dengan ketua dan anggota Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia (DKPP) dipimpin Jimly
Asshiddiqie bersama jajarannya di Istana Kepresidenan. Inti pertemuan membahas
pentingnya koordinasi antara DKPP dengan Menko Polhukam, Mendagri dan Menpan
dalam rangka mendorong penyelenggaraan Pemilu yang berintegritas. Kesempatan
ini digunakan DKPP untuk menyampaikan perkembangan kinerja selama satu tahun
sejak dibentuk tanggal 12 Juni 2012. Pertemuan ini disambut baik Presiden
karena lembaga etika ini merupakan pengawal kehormatan penyelenggaraan Pemilu
sehingga diharapkan bisa memainkan peran yang baik untuk Pemilu berintegritas.
Satu tahun menjalankan
tugas dan fungsi penegakan kode etik penyelenggara Pemilu menghadapi berbagai
tantangan dan hambatan sekaligus harapan. Tantangan, hambatan dan harapan
sebagai lembaga baru dalam penegakan ethics tentu memiliki sejumlah alasan
tersendiri. Namun alasan mengapa tantangan, hambatan dan harapan mengemuka ke
hadapan lembaga pengadilan ethics ini menarik dalam diskursus etika politik
demokrasi modern.
Ada sejumlah alasan
untuk menjelaskan mengapa lembaga pengadilan ethics ini menghadapi berbagai
tantangan dan hambatan. Salah satu tantangan dan hambatan yang dirasakan ialah
keberadaannya sebagai lembaga penegakan ethics yang baru dalam struktur
ketatanegaraan modern yang bersifat independen dan sangat terbuka serta adanya
ketidakpuasan sebagian kalangan pada putusan yang dianggap merugikan diri
mereka. Memang beberapa putusan DKPP disambut pro dan kontra sebagai
konsekuensi dari perkembangan pemikiran politik ditengah kebebasan demokrasi.
Beberapa putusan DKPP sempat menuimbulkan pro kontra seperti putusan
memerintahkan KPU melakukan verifikasi faktual ulang terhadap 28 partai politik
dan sanksi bagi sekertaris jenderal KPUyang kemudian dinilai sebagian
masyarakat kurang populer bahkan dianggap melampaui wewenang yang diberikan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Lazimnya dalam negara
demokrasi pro kontra bagian dari proses pendewasaan berdemokrasi. Dalam
perkembangan demokrasi kita kerapkali memunculkan perilaku politik yang boleh
jadi wujud ekspresi kebebasan tanpa melalui pemahaman hakikat demokrasi
substantif sehingga praktik kekuasaan di
sebagian institusi cenderung proseduralistik dan legalistik. Padahal, reformasi
dengan empat kali amandemen UUD 1945 secara otomatis sistem demokrasi sudah
mengarah pada demokrasi substansial.
Kehadiran lembaga ethics
ini bukan merupakan hal baru karena sebelumnya sudah ada Dewan Kehormatan
Komisi Pemilihan Umum (DK KPU). UU No 22 Tahun 2007 tentang Pemilu memberikan
wewenang pada lembaga ini sebatas memeriksa, melakukan kajian dan putusan
bersifat rekomendir pada KPU RI. Dalam hal laporan pun hanya Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) yang mempunyai legal standing. Artinya, cakupan wewenang
sangat terbatas sekali karena bergantung pada KPU, sedangkan komposisi anggota
DK KPU banyak didominasi KPU.
Tugas dan fungsi DK KPU
sejak tahun 2008 hingga 2011 bersifat ad hoc punya wewenang melakukan eksekusi
secara ethics maupun hukum pada semua anggota KPU dan jajarannya. DK KPU
ditugas-fungsikan semata-mata menangani pelanggaran kode etik dilakukan seluruh
anggota KPU di tanah air. Dan dalam catatan, DK KPU mampu melakukan gebrakan
tugas dan fungsi penegakan ethics Pemilu dengan baik. DK KPU banyak memecat
anggota penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik Pemilu termasuk
memberhentikan anggota KPU RI Andi Nurpati pada pertengahan 2010. Namun banyak
rekomendasi Bawaslu ketika itu yang diabaikan begitu saja oleh KPU.
Kekacauan pengelolaan
tahapan Pemilu 2014 harus diantisipasi sehingga tidak memicu munculnya
ketidakpercayaan publik pada Pemilu 2014 dan beberapa Pemilukada di daerah yang
tengah dilaksanakan. Semua masyarakat harus ambil peran pengawasan agar praktik-praktik
kejahatan dalam tahapan Pemilu baik dilakukan peserta maupun penyelenggara bisa
dengan efektif dihindari. Kejahatan Pemilu bagian dari kejahatan demokrasi yang
hendak dicegah. Melalui penyelenggara Pemilu praktik politik kotor kerapkali
terjadi. Korupsi mengalami peningkatan.
Hasil survei terbaru
memperlihatkan Indonesia melalui perilaku tidak sehat segelintir politisi
bandit menempatkan Indonesia pada urutan pertama di tingkat Asia Tenggara
(Lembaga Transparansi International TI red) sebagai negara terkorup. Sungguh
sangat memprihatinkan kita semua sebagai bangsa yang “berideologikan Pancasila
dan UUD 1945”. Salah satu kejahatan korupsi dilakukan oleh pejabat negara kita
termasuk melalui Pemilu dan Pemilukada. Pemilu dan Pemilukada sarat korupsi
sudah pasti melahirkan pemimpin-pemimpin yang korup.
Transformasi
Nilai Etika
Lembaga ethics ini dibentuk tanggal 12 Juni
2013 berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggara
Pemilu. Struktur keanggota cukup representatif karena unsur-unsur pilar
demokrasi masuk. Tujuh anggota DKPP masing-masing dari unsur
masyarakat/cendikian/intelektual yang terdiri tiga orang dan dipilih DPR, dua
dari unsur pemerintah, dan dua lagi dari unsur penyelenggara exs officio KPU
dan Bawaslu.
Dalam menjalankan tugas dan fungsi “pengadilan ethics”,
lembaga harus mengutamakan manajemen organisasi berbasis sistem
keadministrasian organisasi modern atau dalam dalam perspektif filsafat dikenal
sebagai: “Philosophy of management “a system of thought helpful in explaining
or clarifying the work of management wherever found, and regardless of the
specific area of endeavor in which management is present”. Ideologi
administrasi harus menyesuaikan dengan perubahan-perubahan zaman. Hal penting
dipahami semua penyelenggara negara karena di zaman yang serba maju teknologi
ini memerlukan sistem kerja organisasi yang cepat dan profesional. Suatu sistem
kerja yang memungkinkan terciptanya suasana saling percaya serta senantiasa
menimbulkan kesadaran ethics dan moral setiap orang dalam memahami dan memenuhi
tanggungjawabnya pada masyarakat dan negara.
Undang-Undang No 15
Tahun 2011 tentang Pemilu memberikan kesempatan pada semua peserta,
penyelenggara Pemilu dan masyarakat baik secara perorangan, perkumpulan,
organisasi yang berprofesi apapun memiliki legal standing jadi pengadu dugaan
pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dan Pemilukada. Hal ini ditekankan
lagi dalam Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No 13, 11, dan 1 Tahun 2012
tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan Peraturan DKPP No 2 Tahun 2012
tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
Maka tugas kita bagaimana menjadikan nilai (value)
sebagai sistem norma yang bisa dipercayai oleh semua masyarakat. Menjadikan
keberadaan DKPP sebagai suatu instrumen sosial politik dalam berbangsa dengan
menarik perhatian publik atau setiap orang, atau dalam bahasa semacam “the
believed capacity of any object to statistfy a human desire”. Lembaga DKPP
sebagai sarana demokrasi yang mencitrakan dirinya dengan nilai kebaikan bersama
tanpa ada keberpihakan.
Refleksi Kritis Politik Etik
Sebagai lembaga pengadilan ethics pertama di Indonesia
yang melakukan persidangan etika secara terbuka untuk umum tentu patut jadi
bahan refleksi kritis dari semua kekuatan elemen bangsa terutama penyelenggara
negara. DKPP memiliki suatu metode penyelesaian berbangsa dan bernegara yang
mengikuti prinsip tata kelola negara berbasis good governanve dan good public
governance dengan tujuan membangun kesadaran etik bagi semua penyelenggara
negara dalam menciptakan mekanisme pertanggungjawaban kerja pada masyarakat
yang betul-betul transparan dan akuntabel (public accountability).
Sebagai gambaran, hamipr institusi-institusi
negara yang memiliki lembaga khusus dalam penegakkan kode etik terkait dengan
etika profesi tidak dilakukan secara terbuka seperti yang diterapkan di Komisi
Yudisial (KY), Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (BK DPR), dan banyak
lagi yang dilakukan dengan tertutup. Padahal, persidangan tertutup menimbulkan
potensi ketidakjujuran untuk mengungkapkan suatu pelanggaran bahkan sangat kuat
membuka peluang untuk penyelesaian secara adat. Artinya, banyak kasus
pelanggaran etika yang jelas-jelas merugikan bangsa dan negara tetapi
diselesaikan menurut cara dan selera para pengendali kebijakan. Hal ini tidak
mencerminkan sistem demokrasi dan tidak merefleksikan nilai-nilai Pancasila dan
UUD 1945.
Berdasarkan ketentuan Pasal 111 ayat (3) dan
ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2011, tugas dan wewenang DKPP meliputi menerima
pengaduan, penyelidikan, verifikasi, pemeriksaan, menetapkan, menyampaikan
Putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti serta memanggil teradu
dan pengadu memberikan penjelasan dan pembelaan, memanggil pelapor, saksi atau
pihak-pihak terkait untuk memberikan keterangan termasuk meminta dokumen dan
bukti-bukti pendukung serta berwenang memberikan sanksi peringatan keras hingga
pemberhentian secara tetap bagi anggota penyelenggara yang betul-betul terbukti
melanggar kode etik Pemilu.
Sejak pertengahan Juni 2012, lembaga ini
dibanjiri pengaduan kode etik Pemilu sebanyak 217 perkara dan sudah 81 perkara
yang diputuskan dan sebanyak 77 anggota penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu)
yang diberhentikan antara lain ketua dan anggota KPU Provinsi Sulawesi
Tenggara, 3 anggota KIP Kabupaten Aceh Tenggara, ketua KPU Kota Depok, ketua
Panwaslukada Provinsi DKI, ketua dan anggota KPU Kabupaten Deiyai Papua dan
banyak lagi yang dengan kadar pelanggaran yang berbeda-beda serta 46 anggota
diberikan sanksi peringatan ringan dan keras dan sebanyak 224 dinyatakan tidak
terbukti sehingga direhabilitasi nama baik mereka.
pengaduan disidangkan, dengan menghasilkan
putusan sebanyak 53 rehabilitasi, dan 46 pemberhentian tetap termasuk ketua dan
anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, anggota KPU, 3 anggota KIP Kabupaten
Aceh Tenggara, ketua KPU Depok, Ketua Panwaslukada Provinsi DKI, ketua dan
anggota Kabupaten Deiyai Papua, dan masih banyak lagi.
Untuk menyesuaikan sistem kerja yang demokratis,
amanat UU No 15 Tahun 2011 memerintahkan lembaga ini menyusun peraturan teknis.
Peraturan ini didiskusikan dengan melibatkan tidak hanya kalangan pakar,
pegiat, pemantau, akademisi, dan pemerhati Pemilu tetapi unsur pemerintah, DPR,
Ormas, Parpol, dan semua stake-holders termasuk KPU dan Bawaslu dengan tujuan
menciptakan peraturan yang kredibel. Peraturan teknis tersebut tertuang dalam
Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No 13, 11, dan 1 Tahun 2012 tentang
Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, dan Peraturan DKPP No 2 Tahun 2012
tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Peraturan-peraturan
teknis tersebut menjadi acuan dalam proses persidangan.
Sebagai pengadilan ethics lembaga ini harus
menempatkan dirinya menjadi institusi perbaikan moral dalam perpolitikan
Indonesia. Selain itu dituntut mentransformasikan nilai-nilai politik yang
independen dan profesional tanpa ada keberpihakan apalagi bermain-main dengan
nilai-nilai kebaikan untuk kepentingan politik tertentu sehingga keberadaannya
menjadi harapan baru bagi masyarakat dalam perbaikan kualitas kehidupan
berbangsa dan bernegara terlebih ditengah krisis norma dan etika politik serta
ketidakberdayaan penegakan hukum.
Keberadaan DKPP sejatinya bisa merespon
kegelisahan rakyat akibat penegakan hukum yang mandul dan seringkali tidak
berdaya karena berhadapan dengan aktor-aktor politik yang memiliki akses
kekuasaan negara. Banyak persoalan bangsa tidak harus diselesaikan melalui
aspek penegakan hukum pidana tetapi bisa melalui sistem pengadilan ethics.
Dengan demikian, meminjam terminologi ketua DKPP Jimly Asshiddiqie, bagaimana
memadukan konsep “rule of law and the rule of ethics” dalam penegakan sistem
etika menjadi sangat penting. Dalam konteks ini, kemandirian lembaga ethics ini
sangat penting guna mewujudkan penyelenggara Pemilu yang kredibel dan
berintegritas.
____________________________
Penulis adalah Pegiat
Masalah Sosial Politik, tinggal di Jakarta