Kamis, 24 September 2015

Artikel Pemilu


Menanti Pemilu yang Berintegritas

Oleh : Rahman Yasin


Pekan kemarin (Selasa 11/6/2013) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan ketua dan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia (DKPP) dipimpin Jimly Asshiddiqie bersama jajarannya di Istana Kepresidenan. Inti pertemuan membahas pentingnya koordinasi antara DKPP dengan Menko Polhukam, Mendagri dan Menpan dalam rangka mendorong penyelenggaraan Pemilu yang berintegritas. Kesempatan ini digunakan DKPP untuk menyampaikan perkembangan kinerja selama satu tahun sejak dibentuk tanggal 12 Juni 2012. Pertemuan ini disambut baik Presiden karena lembaga etika ini merupakan pengawal kehormatan penyelenggaraan Pemilu sehingga diharapkan bisa memainkan peran yang baik untuk Pemilu berintegritas.
Satu tahun menjalankan tugas dan fungsi penegakan kode etik penyelenggara Pemilu menghadapi berbagai tantangan dan hambatan sekaligus harapan. Tantangan, hambatan dan harapan sebagai lembaga baru dalam penegakan ethics tentu memiliki sejumlah alasan tersendiri. Namun alasan mengapa tantangan, hambatan dan harapan mengemuka ke hadapan lembaga pengadilan ethics ini menarik dalam diskursus etika politik demokrasi modern.
Ada sejumlah alasan untuk menjelaskan mengapa lembaga pengadilan ethics ini menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Salah satu tantangan dan hambatan yang dirasakan ialah keberadaannya sebagai lembaga penegakan ethics yang baru dalam struktur ketatanegaraan modern yang bersifat independen dan sangat terbuka serta adanya ketidakpuasan sebagian kalangan pada putusan yang dianggap merugikan diri mereka. Memang beberapa putusan DKPP disambut pro dan kontra sebagai konsekuensi dari perkembangan pemikiran politik ditengah kebebasan demokrasi. Beberapa putusan DKPP sempat menuimbulkan pro kontra seperti putusan memerintahkan KPU melakukan verifikasi faktual ulang terhadap 28 partai politik dan sanksi bagi sekertaris jenderal KPUyang kemudian dinilai sebagian masyarakat kurang populer bahkan dianggap melampaui wewenang yang diberikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Lazimnya dalam negara demokrasi pro kontra bagian dari proses pendewasaan berdemokrasi. Dalam perkembangan demokrasi kita kerapkali memunculkan perilaku politik yang boleh jadi wujud ekspresi kebebasan tanpa melalui pemahaman hakikat demokrasi substantif  sehingga praktik kekuasaan di sebagian institusi cenderung proseduralistik dan legalistik. Padahal, reformasi dengan empat kali amandemen UUD 1945 secara otomatis sistem demokrasi sudah mengarah pada demokrasi substansial.
Kehadiran lembaga ethics ini bukan merupakan hal baru karena sebelumnya sudah ada Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU). UU No 22 Tahun 2007 tentang Pemilu memberikan wewenang pada lembaga ini sebatas memeriksa, melakukan kajian dan putusan bersifat rekomendir pada KPU RI. Dalam hal laporan pun hanya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mempunyai legal standing. Artinya, cakupan wewenang sangat terbatas sekali karena bergantung pada KPU, sedangkan komposisi anggota DK KPU banyak didominasi KPU.
Tugas dan fungsi DK KPU sejak tahun 2008 hingga 2011 bersifat ad hoc punya wewenang melakukan eksekusi secara ethics maupun hukum pada semua anggota KPU dan jajarannya. DK KPU ditugas-fungsikan semata-mata menangani pelanggaran kode etik dilakukan seluruh anggota KPU di tanah air. Dan dalam catatan, DK KPU mampu melakukan gebrakan tugas dan fungsi penegakan ethics Pemilu dengan baik. DK KPU banyak memecat anggota penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik Pemilu termasuk memberhentikan anggota KPU RI Andi Nurpati pada pertengahan 2010. Namun banyak rekomendasi Bawaslu ketika itu yang diabaikan begitu saja oleh KPU.
Kekacauan pengelolaan tahapan Pemilu 2014 harus diantisipasi sehingga tidak memicu munculnya ketidakpercayaan publik pada Pemilu 2014 dan beberapa Pemilukada di daerah yang tengah dilaksanakan. Semua masyarakat harus ambil peran pengawasan agar praktik-praktik kejahatan dalam tahapan Pemilu baik dilakukan peserta maupun penyelenggara bisa dengan efektif dihindari. Kejahatan Pemilu bagian dari kejahatan demokrasi yang hendak dicegah. Melalui penyelenggara Pemilu praktik politik kotor kerapkali terjadi. Korupsi mengalami peningkatan.
Hasil survei terbaru memperlihatkan Indonesia melalui perilaku tidak sehat segelintir politisi bandit menempatkan Indonesia pada urutan pertama di tingkat Asia Tenggara (Lembaga Transparansi International TI red) sebagai negara terkorup. Sungguh sangat memprihatinkan kita semua sebagai bangsa yang “berideologikan Pancasila dan UUD 1945”. Salah satu kejahatan korupsi dilakukan oleh pejabat negara kita termasuk melalui Pemilu dan Pemilukada. Pemilu dan Pemilukada sarat korupsi sudah pasti melahirkan pemimpin-pemimpin yang korup.

Transformasi Nilai Etika
Lembaga ethics ini dibentuk tanggal 12 Juni 2013 berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggara Pemilu. Struktur keanggota cukup representatif karena unsur-unsur pilar demokrasi masuk. Tujuh anggota DKPP masing-masing dari unsur masyarakat/cendikian/intelektual yang terdiri tiga orang dan dipilih DPR, dua dari unsur pemerintah, dan dua lagi dari unsur penyelenggara exs officio KPU dan Bawaslu.
Dalam menjalankan tugas dan fungsi “pengadilan ethics”, lembaga harus mengutamakan manajemen organisasi berbasis sistem keadministrasian organisasi modern atau dalam dalam perspektif filsafat dikenal sebagai: “Philosophy of management “a system of thought helpful in explaining or clarifying the work of management wherever found, and regardless of the specific area of endeavor in which management is present”. Ideologi administrasi harus menyesuaikan dengan perubahan-perubahan zaman. Hal penting dipahami semua penyelenggara negara karena di zaman yang serba maju teknologi ini memerlukan sistem kerja organisasi yang cepat dan profesional. Suatu sistem kerja yang memungkinkan terciptanya suasana saling percaya serta senantiasa menimbulkan kesadaran ethics dan moral setiap orang dalam memahami dan memenuhi tanggungjawabnya pada masyarakat dan negara. 
Undang-Undang No 15 Tahun 2011 tentang Pemilu memberikan kesempatan pada semua peserta, penyelenggara Pemilu dan masyarakat baik secara perorangan, perkumpulan, organisasi yang berprofesi apapun memiliki legal standing jadi pengadu dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dan Pemilukada. Hal ini ditekankan lagi dalam Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No 13, 11, dan 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan Peraturan DKPP No 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
Maka tugas kita bagaimana menjadikan nilai (value) sebagai sistem norma yang bisa dipercayai oleh semua masyarakat. Menjadikan keberadaan DKPP sebagai suatu instrumen sosial politik dalam berbangsa dengan menarik perhatian publik atau setiap orang, atau dalam bahasa semacam “the believed capacity of any object to statistfy a human desire”. Lembaga DKPP sebagai sarana demokrasi yang mencitrakan dirinya dengan nilai kebaikan bersama tanpa ada keberpihakan.

Refleksi Kritis Politik Etik
Sebagai lembaga pengadilan ethics pertama di Indonesia yang melakukan persidangan etika secara terbuka untuk umum tentu patut jadi bahan refleksi kritis dari semua kekuatan elemen bangsa terutama penyelenggara negara. DKPP memiliki suatu metode penyelesaian berbangsa dan bernegara yang mengikuti prinsip tata kelola negara berbasis good governanve dan good public governance dengan tujuan membangun kesadaran etik bagi semua penyelenggara negara dalam menciptakan mekanisme pertanggungjawaban kerja pada masyarakat yang betul-betul transparan dan akuntabel (public accountability).
Sebagai gambaran, hamipr institusi-institusi negara yang memiliki lembaga khusus dalam penegakkan kode etik terkait dengan etika profesi tidak dilakukan secara terbuka seperti yang diterapkan di Komisi Yudisial (KY), Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (BK DPR), dan banyak lagi yang dilakukan dengan tertutup. Padahal, persidangan tertutup menimbulkan potensi ketidakjujuran untuk mengungkapkan suatu pelanggaran bahkan sangat kuat membuka peluang untuk penyelesaian secara adat. Artinya, banyak kasus pelanggaran etika yang jelas-jelas merugikan bangsa dan negara tetapi diselesaikan menurut cara dan selera para pengendali kebijakan. Hal ini tidak mencerminkan sistem demokrasi dan tidak merefleksikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Berdasarkan ketentuan Pasal 111 ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2011, tugas dan wewenang DKPP meliputi menerima pengaduan, penyelidikan, verifikasi, pemeriksaan, menetapkan, menyampaikan Putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti serta memanggil teradu dan pengadu memberikan penjelasan dan pembelaan, memanggil pelapor, saksi atau pihak-pihak terkait untuk memberikan keterangan termasuk meminta dokumen dan bukti-bukti pendukung serta berwenang memberikan sanksi peringatan keras hingga pemberhentian secara tetap bagi anggota penyelenggara yang betul-betul terbukti melanggar kode etik Pemilu.
Sejak pertengahan Juni 2012, lembaga ini dibanjiri pengaduan kode etik Pemilu sebanyak 217 perkara dan sudah 81 perkara yang diputuskan dan sebanyak 77 anggota penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) yang diberhentikan antara lain ketua dan anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, 3 anggota KIP Kabupaten Aceh Tenggara, ketua KPU Kota Depok, ketua Panwaslukada Provinsi DKI, ketua dan anggota KPU Kabupaten Deiyai Papua dan banyak lagi yang dengan kadar pelanggaran yang berbeda-beda serta 46 anggota diberikan sanksi peringatan ringan dan keras dan sebanyak 224 dinyatakan tidak terbukti sehingga direhabilitasi nama baik mereka.
pengaduan disidangkan, dengan menghasilkan putusan sebanyak 53 rehabilitasi, dan 46 pemberhentian tetap termasuk ketua dan anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, anggota KPU, 3 anggota KIP Kabupaten Aceh Tenggara, ketua KPU Depok, Ketua Panwaslukada Provinsi DKI, ketua dan anggota Kabupaten Deiyai Papua, dan masih banyak lagi.
Untuk menyesuaikan sistem kerja yang demokratis, amanat UU No 15 Tahun 2011 memerintahkan lembaga ini menyusun peraturan teknis. Peraturan ini didiskusikan dengan melibatkan tidak hanya kalangan pakar, pegiat, pemantau, akademisi, dan pemerhati Pemilu tetapi unsur pemerintah, DPR, Ormas, Parpol, dan semua stake-holders termasuk KPU dan Bawaslu dengan tujuan menciptakan peraturan yang kredibel. Peraturan teknis tersebut tertuang dalam Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No 13, 11, dan 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, dan Peraturan DKPP No 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Peraturan-peraturan teknis tersebut menjadi acuan dalam proses persidangan.
Sebagai pengadilan ethics lembaga ini harus menempatkan dirinya menjadi institusi perbaikan moral dalam perpolitikan Indonesia. Selain itu dituntut mentransformasikan nilai-nilai politik yang independen dan profesional tanpa ada keberpihakan apalagi bermain-main dengan nilai-nilai kebaikan untuk kepentingan politik tertentu sehingga keberadaannya menjadi harapan baru bagi masyarakat dalam perbaikan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara terlebih ditengah krisis norma dan etika politik serta ketidakberdayaan penegakan hukum.
Keberadaan DKPP sejatinya bisa merespon kegelisahan rakyat akibat penegakan hukum yang mandul dan seringkali tidak berdaya karena berhadapan dengan aktor-aktor politik yang memiliki akses kekuasaan negara. Banyak persoalan bangsa tidak harus diselesaikan melalui aspek penegakan hukum pidana tetapi bisa melalui sistem pengadilan ethics. Dengan demikian, meminjam terminologi ketua DKPP Jimly Asshiddiqie, bagaimana memadukan konsep “rule of law and the rule of ethics” dalam penegakan sistem etika menjadi sangat penting. Dalam konteks ini, kemandirian lembaga ethics ini sangat penting guna mewujudkan penyelenggara Pemilu yang kredibel dan berintegritas.

                                                ____________________________

Penulis adalah Pegiat Masalah Sosial Politik, tinggal di Jakarta

Selasa, 22 September 2015

Artikel Politik Pilkada



Oleh: Rahman Yasin


Sebuah proses penyelenggaraan pemilihan umum akan terhindar dari intervensi, jauh dari proses kontaminasi elit partai politik manakala peran media massa dalam mengkonstruksi berita dapat dilakukan secara proporsional dan dengan metode penyampaian informasi politik yang seimbang dan bermuatan mendidik inilah kemudian mampu mewujudkan suasana psikologi politik masyarakat yang kondusif. Dengan cara tersebut, maka integritas proses dan hasilpenyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis akan hadir dalam benak masyarakat, dandengan begitu legitimasi kepemimpinan nasional kuat adanya.
Tetapi bila pendekatan komunikasi politik yang terus dilakukan secara berlebihan oleh pemimpin eksekutif terhadap lembaga-lembaga negara seperti legislatif, dan yudikatif, maka sebaliknya peluang terbukanya ruang praktik korupsi dalam penyelenggaraan pemilu tetap terbuka. Masyarakat merasa prihatin terhadap penyelenggaraan pemilu pasca reformasi yang cenderung melahirkan praktik politik uang yang tidak saja melibatkan aktor elit tetapi sampai ke tingkat bawah.
Praktik politik uang dalam penyelenggaraan pemilu selalu jadi biang kekacauan sistem demokrasi, bahkan menghancurkan sendi-sendi moralitas politik bangsa, karena uang hampir menjadi sarat penentu utama kemenangan setiap calon yang menggunakannya. Politik uang sangat berpihak kepada calon yang menggunakannya. Kekuatan finansial masih menjadi faktor kuat pemenangan calon daripada kekuatan ideologi sekalipun. Dengan demikian, praktik pengingkaranpolitik nurani dalam penyelenggaraan pemilu harus dihentikan dengan menegakan hukum pemilu, baik pelanggaran administrasi maupun tindak pidana pemilu merupakan suatu keniscayaan.
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan sarana yang paling efektif untuk melaksanakan kedaulatan politik rakyat dalam konteks kebebasan memilih pemimpin yang kelak menjalankan kebijakan pembangunan negara. Melalui Pemilu, terjadi proses apa yang disebut dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu—sebagai suatu cara efektif menjalankan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tentu tetap dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Arah kebijakan negara akan sangat ditentukan oleh calon-calon pemimpin yang turut ambil bagian dalam pelaksanaan pemilu. Pemilu juga merupakan sebuah konsep demokrasi yang menempatkan nilai-nilai egaliterianisme politik masyarakat secara berperadaban.
Pemilu punya arti penting tentang bagaimana pembaruan sistem kehidupan masyarakat itu di mulai, karena lewat pemilu, warga bangsa akan diberikan kebebasan penuh untuk menggunakan prefrensi politik tanpa adanya intervensi yang berarti dari rezim atau kelompok politik manapun yang mengatasnamakan demokrasi. Tesis ini diperkuat dengan basis penerapan sistem penyelenggaraan pemilu yang berasaskan Langsung, Umum Bebas, Rahasia (Luber), Jujur, dan Adil (Jurdil). Titik tekan dari substansi penyelenggaraan pemilu yang Luber dan Jurdil diatur dalam UU No. 32/2004, UU No. 22/2007, dan UU No. 10/2008 tentang sistem dan mekanisme menggunakan hak pilih masyarakat dalam pemilu.
Sejak pemilu tahun 1955, transformasi demokrasi mendapat legitimasi yang cukup kuat dari dunia Internasional. Sistem multipartai baru pertama kali diterapkan dalam sebuah kondisi geo-sosio politik yang kurang stabil, tapi fakta menunjukkan, elit politik ketika itu mampu menghadirkan suasana demokrasi politik yang berperadaban. Protes akibat pelanggaran pemilu pun relatif kurang meskipun ada namun dari cara mendisegn tradisi politik yang santun paling kurang siap kalah dan mengakui kemenangan lawan terasa begitu kuat. Ini sangat berbeda dengan kondisi politik baik pada pemilu 1971 yang merupakan fase pertama kehadiran rezim Orde Baru dalam pentas politik nasional maupun pemilu-pemilu berikut di era Orde Baru, bahkan hingga memasuki fase reformasi.
Secara teoritik, pemerintahan Orde Lama menerapkan sistem demokrasi terpimpin yang hingga memicu tersumbatnya kran demokrasi. Kegaduhan sistem politik masa transisi demokrasi menjadi faktor kegagalan negara dalam menyusun dan menerapkan sistem pemilu yang demokratis. Kepemimpinan Soekarno, apa yang disebut oleh Herbert Feit (1962) dalam karya monumentalnya, The Decline of Constittutional Democracy in Indonesia, sebagai solidarity makers,dan administrator atau lebih dipahami sebagai problem solver ini kurang bersahabat dengan kultur politik bangsa. Kegagalan demokrasi parlementer era kekuasaan rezim Orde Lama tampak jelas akibat diterapkannya sistem constitutional democracy. Sebuah kegagalan membangun tradisi demokrasi kekuasaan yang elegan untuk membawa bangsa ke arah peradaban politik modern.
Reformasi sistem Pemilu dan sistem politik terus dilakukan dan pada setiap pergantian “rezim kekuasaan politik legislasi” di parlemen, hampir perubahan terhadap UU Pemilu, UU Kepartaian, dan UU Politik tidak pernah luput dari sikap politik partai-partai politik yang kontraproduktif. Akan tetapi perubahan demi perubahan sampai saat ini belum mampu mewujudkan sebuah sistem yang relevan, dan bersahabat dengan tuntutan zaman. Apa yang disebut Plato dalam karya Republik-nya terbukti adanya sebuah realitas bernegara dalam situsasi modern saat ini.
Oligarki merupakan sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan konsep politik yang mengedepankaan kekuasaan di tangan segelintir orang. Dalam catatan literatur modern, Robert Michels (1959), menyebutkan, bahwa konsep oligarki kekuasaan, setidaknya telah diperlihatkan oleh beberapa negara yang pernah menerapkan sistem kekuasaan oligarki, antara lain, Jerman yang dipimpin Hitler, Uni Sovyet dibawah kendali Stalin, Perancis dibawah kekuasaan Louis XIX, bahkan Soeharto pun dikategorikan sebagai bagian dari rezim yang menjalankan sistem oligarki.
Dalam kaitan dengan gonjang-ganjing proses revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, terlihat dengan jelas bagaimana politik kekuasaan gaya oligarki ini bekerja aktif. Politisi parlemen seakan-akan memanfaatkan setiap periode “kekuasaan politik legislasi” di parlemen selama menjabat, sebagai lahan basah untuk menghidupkan sumber pemasukan finansial partai politik sehingga ketika revisi UU Pemilu itu dilakukan, anggota Dewan yang merupakan mesin politik politik ini lebih mengedepankan kepentingan individu maupun partai di mana mereka bernaung.
Fraksi partai besar seperti FD, FG, FPDIP, dan FKS,  akan berbeda visi atau bisa jadi sama kepentingan, namun secara politik kalkulatif, sama-sama memiliki kepentingan organisasi. Akibatnya, proses pembahasan revisi UU Pemilu tidak lagi memikirkan substansi, sejauhmana kepentingan masyarakat dalam pemilu termasuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu serta transformasi pendidikan politik bagi rakyat itu bisa teragregasi dengan baik, tetapi sebaliknya para wakil rakyat justru lebih mengutamakan bagaimana memperjuangkan kepentingan partai politik masing-masing.
Revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang digulirkan sejak awal tahun 2010 dan berdasarkan potret dinamika yang terjadi, agaknya semakin memperkuat pesimistis rakyat terhadap kinerja buruk anggota Dewan yang terhormat ini. Perjalanan penuh intrik dibalik pembahasan revisi terbatas UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Perdebatan klasik hingga pragmatis mewarnai pembahasan revisi UU Pemilu.
Dari persoalan calon keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan keanggotaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pro kontra menaikan ambang batas, persoalan jumlah keanggotaan Dewan Kehormatan KPU, terkait komposisi perwakilan kalangan masyarakat dari kalangan profesional, soal kemandirian KPU dan Bawaslu, serta boleh tidak kader parpol menjadi anggota KPU dan Bawaslu.
Tahun 1999 merupakan sejarah awal perpolitikan nasional dalam membangun tradisi politik yang demokratis dalam kerangka penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sejarah baru demokratisasi ini ditandai dengan diproklamasikannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang pada perjalanannya kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pesan komunikasi politik kebijakan pemerintah yang demokratis dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang otonomi Daerah yang secara implisit menegaskan sikap pemerintah pusat ingin mengubah sistem dan cara penerapan Undang-Undang pemerintahan Daerah yang lebih adil dan demokratis. Pertentangan ideologi politik antara masing-masing faksi politik lokal, regional, dan nasional yang terjadi dalam dua (2) sampai tiga (3) dekade dapat diredam secara elegan. Setidaknya kehadiran peraturan dan perundang-undangan pemerintah yang baru mampu merespon gejolak politik lokal yang cenderung menjurus pada disintegrasi bangsa.
Salah satu unsur problem yang seringkali memicu konflik politik antara pusat dan daerah ialah sistem penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) yang secara konstitusional menganut sistem demokrasi prosedural umum. Demokratisasi kekuasaan elit lokal hanya dikendalikan oleh sistem yang notabene menjadi dominasi elit pusat sehingga hal tersebut sangat mengganggu keamanan dan ketertiban bangsa.
Reformasi tahun 1998 menghasilkan perubahan kehidupan sistem pemerintahan yang semakin demokratis daripada masa-masa sebelum. Demokrasi prosedural di-tingkatkan menjadi demokrasi substansial yang pada intinya menempatkan kembali kedaulatan rakyat secara proporsional sesuai semangat Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi substansial telah menempatkan hak-hak politik masyarakat ke-dalam sistem yang adil. Pada fase ini demokrasi substansial kembali menghidupkan sistem penyelenggaraan Pemilu yang semakin adil dan demokratis pula, yang di-dalamnya termasuk penyelenggaraan Pemilu Kada di semua tingkatan.
Pemilu Kada yang dilaksanakan secara langsung merupakan salah satu unsur fundamental yang mampu menjawab tuntutan rakyat yang selama Pemilu-pemilu sebelumnya dianggap penuh rekayasa dan manipulasi. Pengendalian kekuasaan dan rotasi demokrasi tidak dimainkan langsung oleh rakyat tetapi hanya melibatkan para aktor elit politik pusat sehingga Pemilu dihadapan rakyat sebagai rutinitas kekuasaan yang dikehendaki segelintir elit.

Netralitas “Politik Media”
Media condong memihak pemilik saham dan lebih mengedepankan aspek keuntungan daripada menampilkan netralitas dan idealisme politik. Kekuatan ekonomi menentukan arus kekuatan politik, dan begitu juga sebaliknya. Antara kekuatan ekonomi dan politik saling bergantungan sehingga dalam perspektif pengembangan media sebagai sarana pendidikan budaya bangsa dalam segala dimensi kehidupan tidak berjalan sesuai cita-cita pembangunan nasional.
Tidak bisa dipungkiri, kekuatan modal sangat menentukan kebijakan yang notabene pemilik modal utama sebuah media massa yang mengarah pada diversity media. Kompetisi politik global menyebabkan pertarungan ideologi dengan keras dan tajam. Keberadaan media massa turut melegitimasi perang  politik antar kontestan merebut kekuasaan dan di dalamnya termasuk pergulatan kepentingan ekonomi bisnis. Dalam perebutan kekuasaan, peran media tidak lagi berfungsi sebagai kontrol sosial atau memberikan pelayanan informasi dan memberikan pendidikan bagi masyarakat tetapi pada kenyataannya media lebih berperan menjadi bagian dari pergulatan merebut kekuasaan.
Diversity media massa secara politik terkonstruksi oleh diaspora pergulatan ekonomi politik dalam merebut kekuasaan. Keragaman metode dan pendekatan penyampaian informasi media massa pun sangat ditentukan oleh pengendali media massa itu sendiri. Hegemoni dan monopolistik kepemilikan media antara media yang dikendalikan penguasa dan kaum pemilik modal media seringkali memangkas hak-hak informasi masyarakat yang sesungguhnya. Konstruksi berita lebih ditekankan pada aspek pembentukan opini publik dengan tujuan meyakinkan masyarakat mengikuti keinginan media massa bersangkutan.
Masyarakat tidak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi bahkan dikotomi dan monopolistik produksi informasi ini menjadikan media menjadi tidak independen. Media berperan melakukan kampanye bahkan dalam konstelasi politik yang eskalatif, media cenderung membuat persepsi secara miring dan mengaburkan hakikat kebenaran sebuah peristiwa yang semestinya.
Era modern dan kuatnya globalisasi informasi dan komunikasi, kehadiran media komunitas yang diharapkan menjadi alternatif pengimbang informasi antara kepentingan elit penguasa dan kaum pemodal media pun kenyatannya tidak efektif. Media komunitas dengan keberagaman(diversity of ownership) dengan semangat menggantikan posisi media yang monopolisasi informasi dan pemberitaan dalam kenyataannya tidak bisa tampil sebagaimana mestinya. Media baik yang dikendalikan penguasa maupun kaum pemodal hampir tidak bisa dihindari bahwa dalam tataran praktek politik keberagaman kepemilikan (diversity of content) kerapkali menyajikan informasi yang cenderung bermuatan kepentingan sehingga substansi, content, visi terkonsentrasi pada bagaimana memaksimalkan kepentingan aktor pengendali.
Diversity of ownership dan diversity content memiliki visi untuk membuat frame informasi untuk membangun image publik atas kepentingan yang dibawah media itu sendiri. Betapapun demikian, fungsi sosial kontrol media massa tidak serta-merta diterjemahkan dalam kerangka normatif dan kontekstual dan hingga akhirnya hanya terjebak pada perspektif media yang etis dan utopis karena selalu mengambang tetapi secara rasional diakui bahwa keberagaman media dalam proses politik tetap diperlukan masyarakat.
Idealisme media menjadi sebuah utopia karena dalam pertempuran ideologi, idealisme menjadi tidak berlaku bagi sebuah media. Segala sesuatu yang ada yang merupakan produk ide atau pikiran tidak lagi digerakkan sesuai misi kemanusiaan tetapi peran budaya dan kekuatan ideologi mengesampingkan budaya idealisme dan tradisi politik positivisme.
Yang muncul dalam pertikaian ideologi, media menempatkan diri menjadi sistem kerja politik berbasis budaya dualisme, dimana proses produksi informasi dengan menggunakan cara berpikir yang bertitik tolak pada materi dan ideologi sekaligus. (Darsono, 2006: 112).

Goffman dalam dramaturgisnya menurut Doyle (1986: 42) mengatakan:

“Masalah utama yang dihadapi individu dalam pelbagai hubungan sosialnya adalah mengontrol kesan-kesan yang diberikannya pada orang lain. Pada akhirnya individu berusaha mengontrol penampilannya, keadaan fisiknya dimana mereka memainkan perannya serta perilaku perannya yang aktual dan gerak isyarat yang menyertainya”. (Lely Arrianie, 2010: 33).

Marx sebagaimana rekannya Friedrich Engels (1820-1895), menunjukkan penerimaannya akan prinsip dialektika, tetapi keduanya mengganti dasar spirit dialektika dengan dasar materi murni. (Ali Abdul Mu’ti Muhammad, 2010: 206)Filsafat Hegel memprioritaskan perkembangan akal dan pemikiran (idea). Filsafat idealisme memang memosisikan perkembangan manusia dan hubungan-hubungan sosialnya sebagai sesuatu yang dihasilkan perkembangan akal. Marx dan Engels sendiri menerima pemikiran Hegel tentang dialektika dan perkembangan terus-menerus, tetapi keduanya mengemas idealismenya.*
                        ___________________________________________

Penulis adalah, pemerhati dan pegiat masalah politik kepemiluan di Indonesia, tinggal di Jakarta.

Catatan:
Dokumen/Arsip


Kamis, 17 September 2015

Gagasan Quadru Politica

Dari Gagasan Konstitusi Sosial
hingga Ke Quadru Politica

Judul: Gagasan Konstitusi Sosial
Penulis: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Penerbit: LP3ES
Tahun: I, Juni 2015

Oleh: Rahman Yasin

Dewasa ini berkembang pemikiran baru dalam ilmu sosial dan politik yang dinamakan perspektif ‘historical institutionalism’ atau institusionalisme kesejarahan. ‘Historical Institutionalism’ dapat dipandang sebagai cara pandang baru dalam ilmu sosial yang menggunakan institusi sebagai cara untuk memahami sekuen-sekuen (sequences) perilaku politik, perilaku ekonomi, dan perilaku sosial yang terjadi dalam kurun waktu sejarah tertentu. Objek kajiannya menyangkut institusi dan semua aspek keorganisasian manusia secara lintas batas wilayah negara atau bidang kajian ilmiah dengan menitik beratkan penilaian terhadap pelbagai aneka kasus keorganisasian yang terjadi dalam sejarah. Institusi itu menurut Sven Steinmo secara sederhana tidak lain adalah aturan (rules) yang menjadi dasar bagi semua perilaku politik. Beberapa di antaranya ada yang bersifat formal seperti dalam ‘constitutional rules’, tetapi ada pula yang tidak formal seperti dalam adat istiadat dalam ‘cultural norms’. Namun menurutnya, “without institutions there could be no organized politics. Indeed absent institutions there could be no organizations at all”.
Bagi Pakar Hukum Tata Negara dan ketua pertama Mahkamah Konstitusi RI (2003-2008) Jimly Asshiddiqie, “institusionalisasi sistem norma dan strukturisasi politik kehidupan bermasyarakat terbentuk dalam dinamika sejarah dan sekaligus mempengaruhi perilaku politik yang menentukan jalannya sejalan. Perannya dalam ilmu sosial semakin disadari sehingga memicu munculnya pendekatan baru yang dinamakan ‘historical institutionalism’. Perspektif ‘historical institutionalism’ ini berkembang pesat dan bahkan mempengaruhi semua bidang ilmu pengetahuan sosial, seperti sejarah, filsafat, sosiologi, ilmu politik, dan ilmu ekonomi. Di bidang ekonomi, misalnya, berkembang pesat cabang ilmu tersendiri yang disebut ‘institutional economics’. Itulah yang tergambar secara garis besarnya dalam buku Gagasan Konstitusi Sosial: Institusionalisasi dan Konstitusionalisasi Kehidupan Sosial Masyarakat Madani karya pemikir dan intelektual terkemuka Jimly Asshiddiqie yang juga merupakan Guru Besar Universitas Indonesia.
Melalui buku ini kita dapat memahami bagaimana penulis berusaha memperkenalkan pemikiran baru perihal konstitusi sosial yang dikatakannya sebagai suatu konsep tentang sistem rujukan normatif tertinggi dalam perikehidupan bersama yang dilihat dari perspektif masyarakat sipil (civil society) atau masyarakat madani. Konstitusi Sosial tidak lain merupakan konstitusi masyarakat madani yang terkait dengan fenomena institusionalisasi dan konstitusionalisasi kehidupan sosial. Ide konstitusi sosial inilah yang pernah penulis bahas melalui disertasinya di Universitas Indonesia tahun 1991 dengan judul “Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an”.
Dari perspektif grand theory, istilah konstitusi sosial atau ‘social constitution’ ini dibedakan dari pengertian ‘socialistic constitution’ atau konstitusi yang bersifat sosialistis. Konstitusi sosialistis tidak lain merupakan konstitusi yang berorientasi keadilan sosial atau kesejahteraan sosial yang adil. Untuk pengertian yang terakhir ini, kita dapat memperkenalkan istilah “Konstitusi Keadilan Sosial” atau “Welfare Constitution”yang memuat dimensi keadilan sosial yang menjiwai ketentuan pasal-pasal dalam Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial dalam UUD 1945. Hal ini secara panjang lebar pernah diuraikan dalam bukunya “Konstitusi Ekonomi” (2010) yang disebut di atas. Dapat dikatakan, muatan ide yang terkandung di dalamnya tetap terkait dengan persoalan distribusi sumber daya ekonomi yang adil dan merata, sehingga dapat dikatakan termasuk ke dalam pengertian mengenai konstitusi ekonomi. Karena itu, gagasan yang terkandung di dalam istilah Konstitusi Keadilan Sosial atau “Welfare Constitution” dibedakan dari konsepsi yang hendak diperkenalkan dalam buku ini, yaitu “konstitusi sosial”.
Buku ini setidaknya merefleksikan realitas kehidupan kontemporer masyarakat madani (civil society) yang mencoba memotret tiga hal utama. Pertama, pentingnya memahami, menghayati dan mempraktikkan konstitusi berkeadilan sosial dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu terlihat dalam pembahasan bab kedua yang memuat mengenai konstitusi keadilan sosial dalam pengertian konsep tentang konstitusi kesejahteraan sosial, haluan kebijakan jaminan sosial nasional dan tanggungjawab sosial dan politik perusahaan. Kedua, pembahasan yang tak kalah menarik adalah pada Bab keempat. Pada bab ini, penulis menyoroti pentingnya menegakkan hak asasi manusia dalam sistem kehidupan masyarakat modern yang memuat kajian tentang sejarah hak asasi manusia, hakikat, kalsifikasi, dan kategorisasi, perlindungan internasional, pelanggaran HAM dan hubungan antar subjek kekuasaan serta instrumen nasional HAM dan hak warga masyarakat madani.
Ketiga, gagasan sentral yang metarbelakangi kajian buku ini terlihat pada bab kedelapan, yakni pentingnya negara melakukan transformasi sosial dalam pengertian institusionalisasi dan konstitusionalisasi kehidupan sosial dalam konteks institusionalisasi kesejarahan (historical institutionalism), jangkauan kekuasaan bernegara, konstitusionalisme klasik dan kontemporer, institusionalisasi dan konstitusionalisasi  dalam masyarakat madani. Dalam studi ilmu hukum, perspektif ‘historical institutionalism’ ini sangat berkaitan dengan bidang kajian hukum tatanegara yang sebagian perhatiannya tertuju kepada persoalan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan dan sistem norma yang dijadikan acuan dalam penyelenggaraan kekuasaan. Karena itu, saya sendiri berusaha memperkenalkan pendekatan ‘historical institutionalism’ ini ke dalam ruang-ruang studi ilmu hukum di Indonesia, khususnya hukum tatanegara, yang apabila tidak diperhatikan niscaya akan membuat studi hukum di fakultas-fakultas hukum di tanah air segera akan ketinggalan zaman dan terus terkungkung ke dalam logika-logika normatif, kaku, dan bahkan cenderung terjebak dalam perangkap perdebatan titik koma yang tidak berjiwa. Ilmu hukum kontemporer harus bersifat aktif dan bahkan proaktif melibatkan diri dalam pelbagai aneka perkembangan penemuan metode-metode ilmiah yang terus tumbuh dan berkembang pesat di era globalisasi pasca modern dewasa ini.
Sejak sebelum dan sesudah abad ke-20, banyak sarjana yang menjadikan institusi sebagai objek kajiannya, tetapi pengertian institusi dimaksud masih sangat terbatas pada institusi formal dan aturan formal (formal rules). Pendekatan yang dipakai biasanya juga sangat normatif dan preskriptif, seperti dalam pandangan Max Weber yang mengidealkan profesionalisasi birokrasi dalam mengembangkan negara modern. Inilah yang disebut pendekatan institusionalisme lama. Dapat dikatakan bahwa pendekatan institutionalisme baru dipicu oleh diskusi-diskusi yang dimulai oleh Samuel Huntington dalam bukunya “Political Order in Changing Societies”, Barrington Moore dengan bukunya “Social Origins of Dictatorship and Democracy”, dan lebih khusus lagi karya Theda Skocpol yang berjudul “States and Social Revolutions: A Comparative Analysis of France, Russia & China”. Buku-buku inilah yang banyak mempengaruhi sehingga muncul gagasan baru dalam melihat kedudukan dan peran institusi dalam ilmu sosial dan politik.
Dengan pendekatan baru ini, pengertian institusi diperlonggar dan diperluas maknanya, sehingga mencakup tidak saja struktur birokrasi formal tetapi juga ideologi atau bahkan aturan kebiasaan yang tidak formal. Hal baru yang paling penting dari perspektif ‘Historical Institutionalism’ ini adalah, kekuasaan tidak hanya memiliki satu sumber sebagaimana dalam pendekatan-pendekatan sebelumnya, yaitu bersumber pada negara. Dalam pendekatan baru ini, sumber kekuasaan dapat datang dari mana saja, bahkan dari segala bentuk kelompok sosial dan perilaku masyarakat. Bahkan, ‘gossip’ pun–seperti diakui oleh James Scott–mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan politik. Yang menentukan jalannya sejarah, bukan saja kelompok elit atau negara, tetapi semua kelompok masyarakat dapat berperan menentukan. Dapat dikatakan bahwa ‘historical institutionalism’ ini menghindari sikap preskriptif, dan menaruh perhatian besar pada kekayaan dan keragaman cara yang dimainkan oleh institusi-institusi dalam mendorong dan menggerakkan perubahan, terutama jika hal itu diletakkan dalam desain politik demokrasi. Bagi para sarjana institutionalist, kelembagaan di satu pihak adalah produser sejarah tetapi sekaligus juga merupakan produk sejarah itu sendiri.
Dalam kajian ilmu sosial, yang dikenal adanya 3 pendekatan ‘institutionalisme’ yang berkembang dalam praktik, yaitu pendekatan-pendekatan (i) ‘sociological institutionalism’, (ii) ‘rational choice institutionalism’, dan yang terbaru (iii) ‘historical institutionalism’. Bahkan, disimpulkan oleh Peter A. Hall, ketiganya sebenarnya sama-sama baru, “In sum, political science today is confronted with not one but three ‘new institutionslisms’”. Namun, yang paling baru memang ‘historical institutionalism’ yang mengembangkan pengertian mengenai institusi itu secara lebih luas dan longgar. Dengan pendekatan terbaru ini, institusi-insitusi yang sebelumnya memang sudah menjadi objek penelaahan dalam ilmu politik, soiologi, dan ekonomi, menjadi seakan ditemukan kembali. Dikatakan oleh Kathleen Thelen dan Sven Steinmo, “The ‘rediscovery’ of institutions has opened up an exiting research agenda in comparative politics and comparative political economy”.
Inilah oleh penulis dinamakannya sebagai ‘quadru-politica’ atau ‘the four branches of government’ atau ‘the four estates of democracy’ dalam pengertian yang baru, yaitu negara, masyarakat, dunia usaha, dan media pers bebas yang satu sama lain harus dipandang sebagai cabang-cabang kekuasaan yang terpisah dan tidak boleh dikelola oleh satu tangan untuk mencegah konflik kepentingan di antara keempatnya. Jika keempat cabang kekuasaan baru atau ‘quadru-politica’ baru tersebut tidak terpisah, tetapi berada di dalam genggaman satu tangan, maka niscaya masa depan sistem demokrasi akan mengalami kemacetan dan kembali ke era kekuasaan negara terpusat di satu tangan penguasa. Karena itu, standar-standar demokrasi di tiap-tiap kurun zaman haruslah berbeda-beda ukurannya disesuaikan dengan perkembangan-perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan baru yang muncul dalam dinamika sejarah. Apa yang dulu sudah dianggap demokratis, dengan menggunakan ukuran-ukuran yang sama belum tentu mencukupi untuk tetap dianggap demokratis dengan ukuran-ukuran baru di masa depan.

                                    _______________________________
Diresensi oleh Rahman Yasin,
Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

Catatan: Tulisan ini telah dimuat

Di Majalah Konstitusi RI, Edisi Agustus 2015