Rabu, 10 Juni 2015

Politik Global dan Fenomena Terorisme

Judul buku : Pengantar Politik Global (Introduction to Global Politics)
Penulis : Richard W Manasbach & Kirsten L Rafferty
Penerjemah: Amat Asnawi
Penerbit : Nusa Media
Tebal buku : XXVIII+1060
Cetakan I: Agustus 2012
Harga : 175.000,00



Oleh : Rahman Yasin



Masih ingat kita ketika seorang pemikir politik dari Harvard, Samuel P. Huntington, yang memperkenalkan tesis The clash of civilizations (Benturan Antarperadaban) melalui karya menariknya, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order (1996) memicu banyak perdebatan politik ideologi. Gagasan besar buku ini adalah bagaimana Barat memusatkan perhatian kepada negara-negara Islam untuk menerapkan demokrasi, bahkan lebih ekstrim disebutkan peradaban Islam berpotensi mengancam demokratisasi.
Buku terbaru Richard W Manasbach & Kirsten L Rafferty berjudul Introduction to Global Politics (Pengantar Politik Global) ini membahas politik global dalam konteks persaingan politik Internasional yang melibatkan analisis kritis transformasi budaya global sebagai varian kajian gerakan terorisme global. Kajian terorisme memusatkan perhatian pada bagaimana memotret gerakan politik global berbasis budaya, yang menurut penulis gerakan terorisme lebih menonjolkan pada pertarungan ideologi politik dengan mengedepankan identitas sektoral dan mengaburkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai aspek fundamental dalam diferensiasi agama.
Isu global jadi tema sentral pembahasan buku ini ialah gejala radikalisme modern dalam kerangka politik global. Gerakan radikalisme dan fundamentalisme pada awal abad XX memasuki babak baru. Benturan nilai-nilai kemanusiaan dengan globalisasi karena tidak terkelola secara komprehensif oleh negara-negara maju dan berkembang memicu pertengkaran ideologi secara membabi buta. Padahal, semua agama yang diturunkan Tuhan ke muka bumi tujuannya sama yaitu mewujudkan keotentikan peradaban kemanusiaan melalui demokrasi.
Pemboman klub Bali (Agustus 2003), penghancuran New York World Trade Center Towers (September 2001), pemboman KA komputer di Madrid, Spanyol (Maret 2004), dan pemboman KA bawah tanah dan Bus di London (Juli 2005) merupakan contoh nyata meningkatnya bahaya terorisme terhadap keamanan warga sipil tak berdosa. Terorisme menggunakan ancaman dan kekerasan baik diorganisir oleh negara maupun oleh kelompok-kelompok militan. Terorisme modern menggunakan teknologi modern. (Hal: 395).
Munculnya identitas global menjadi ancaman adat lokal dan nasional setiap negara. Gerakan radikalisme, dan fundamentalisme dengan menggunakan Islam sebagai simbol personifikasi bahkan tidak tanggung-tanggung memanfaatkan Islam sebagai basis legitimasi pembenaran atas tindakan atasnama misi suci (tujuan agama) oleh segelintir umat manusia seringkali menimbulkan persepsi dan interpretasi tentang Islam secara keliru oleh sebagian kalangan. Tesis Huntington tentang Clas of Civilitation (benturan antar peradaban) seakan-akan menjadi suatu “kebenaran ideologi kemanusiaan universal di satu sisi” tetapi pada konteks yang berbeda tesis ini masih menjadi wacana perdebatan ilmiah.
Merebaknya radikalisme tidak lepas dari konstruksi sosial politik negara-negara di dunia yang merumuskan kepentingan politik, ekonomi, dan sosial-budaya yang tidak adil. Petualangan politik luar negeri negara adidaya setelah perang dingin 1980/1990 yang menggeser kekuatan Uni Soviet (komunis) dan kompetisi politik global tidak fair menjadi titik tolak lahirnya gerakan radikalisme. Kebijakan politik dalam dan luar negeri setiap negara yang mengabaikan kesejahteraan rakyat juga mendorong gerakan terorisme. Ketidakadilan politik luar negeri bersifat double standard juga turut melahirkan terorisme.
Dan yang tak kalah menarik ialah ketidakmampuan negara mengatasi korupsi dan kurang dinamisnya demokratisasi di negara-negara modern pun menyuburkan gerakan terorisme. Ambivalensi praktek demokrasi politik ekonomi global negara adidaya Amerika Serikat mendorong gerakan politik global menjurus pada terorisme, dan meningkatnya gejala ketidakseimbangan teologi sosial---claim of  truth dan claim of salvation pada kelompok masyarakat tertentu menjadi potensi lahirnya terorisme global.
Pada akhir pembahasan buku ini, penulis menampilkan perdebatan globalisasi sebagai tolok ukur akselerasi penerapan demokrasi di negara-negara maju dan berkembang. Penulis mengajukan analisis dengan fakta tentang perkembangan negara-negara yang menerapkan sistem demokrasi. Dari 62 negara yang diteliti rotasi demokratisasi, 10 negara yang paling global menerapkan demokrasi kecil yang sangat maju: (1) Singapura, (2) Swiss, (3) Amerika Serikat, (4) Irlandia, (5) Denmark, (6) Kanada, (7) Belanda, (8) Australia, (Austria, (10) Swedia, sebaliknya yang paling tidak global---(62) Iran, (61) India, (60) Indonesia, (59) Venezuela, (58) Bangladesh, (57) Turki, (56) Pakistan, (55) Mesir, (54) Kolombia, dan (53) Kenya (hal: 896), yang oleh penulis dikategorikan sebagai negara-negara besar yang relatif mengalami jumlah penduduk miskin dengan beberapa aspek pengecualian termasuk fase penggunaan sistem otoriter dari rezim yang berkuasa.
Standar ukuran kualitas ekonomi dan kontak pribadi Amerika Serikat menempati peringkat pertama dalam hal integrasi ekonomi. Berbeda dengan Singapura yang dalam konteks kompetisi ekonomi global dari sisi integrasi ekonomi menempati posisi pertama dan sekaligus lebih rendah dari kualitas pelibatan politik.
Kecenderungan masyarakat Internasional pada persepsi politik global pun memiliki makna variatif. Meningkatnya partisipasi politik elit dan aktor kelas menengah yang aji mumpung (berperan aktif sebatas kolektor politik) dan tidak menempatkan diri sebagai agen komunikator dan penentu kecenderungan politik global dengan menjadikan demokrasi sebagai alat politik global dalam konteks berbeda melahirkan politik ekonomi global yang tidak adil sehingga secara tidak langsung memberikan kontribusi politik global bagi terorisme.
Kearifan buku ini terlihat dari ketajaman analisis dan objektivitas kajian ilmiah penulis mengangkat tema terorisme global dari sisi politik global sebagai sebuah pengantar tanpa menimbulkan stigma negatif bagi agama tertentu. Tetapi lebih pada penekanan ketidakadilan setiap pemerintahan dan perlakuan negara terhadap warga bangsa yang semena-mena (demokrasi standard ganda alias otoriter) sebagai titik tekan kajian historis empirik. Titik tekan solusi yang ditawarkan buku ini ialah mengekspektasikan politik global sejatinya mengembalikan nilai kemanusiaan dan kehadiran umat manusia dipentas politik dunia yang mampu memberikan jaminan keamanan, ketertiban, dan kedamaian dunia. Kajian kritis terorisme lebih menekankan pada aspek ketimpangan struktural dan kesenjangan kultural akibat ketidakadilan negara-negara maju menerapkan demokrasi dan ketergantungan politik negara-negara menengah ke bawah terhadap negara maju.
                                    _____________________________

Diresensi oleh Rahman Yasin, Penulis buku Gagasan Islam tentang Demokrasi dan Menulis tentang Pemilu.