Selasa, 19 Juli 2016

Penerapan Sistem Norma Hukum

Kekacauan Sistem Norma Hukum dan Upaya Penanggulangannya


Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)




Pengantar
Pada era modern dan demokrasi yang terus memungkinkan terciptanya ruang kebebasan bagi warga negara ternyata pada perkembangannya tidak serta-merta perubahan yang dikehendaki ini kemudian menghasilkan suatu cara kerja negara dalam memperkuat sistem norma hukum, norma etika sosial, maupun norma agama yang saling melengkapi dan menopang satu sama lain, melainkan dampak dari kebebasan yang berlebihan ini telah menimbulkan berbagai kekacauan dan ketimpangan sistem dalam bernegara.
Praktik korupsi di Indonesia hampir terjadi di semua lini kehidupan bernegara. Korupsi menghancurkan sistem kehidupan sosial masyarakat. Praktik korupsi tidak hanya menjadi budaya aji mumpung di kalangan birokrasi pemerintah tetapi telah menjadi penyakit sosial yang menggurita. Korupsi sangat mengganggu penegakan keadilan karena institusi-institusi dan aparatur penegak hukum dalam praktiknya tidak menegakkan hukum berdasarkan prinsip-prinsip keadilan.
Survei terbaru dilakukan oleh World Justice Project yang berkedudukan di Amerika Serikat ini misalnya, dalam penegakan hukum dan korupsi di 65 negara, Indonesia termasuk negara yang kategori tingkat korupsi yang tinggi. Indonesia menempati posisi bawah baik secara regional dan global. Dalam ketiadaan korupsi, Indonesia berada pada skor 0,50. Filipina pada nilai 0,57 dan Singapura merupakan negara paling bersih di kawasan Asia Tenggara dengan skor 0,91. Malaysia berada pada skor 0,64 dan Thailand 0,61. Survei World Justice Project 2011 Rule of Law ini menggunakan skor satu adalah yang tertinggi dan skor nol merupakan angka paling jelek.[1] Praktik korupsi mengancam agenda pembangunan moralitas bangsa dalam kehidupan bernegara. Korupsi juga telah merusak sendi-sendi kehidupan dalam bernegara.
Survei ini memasukan Indonesia dalam kawasan Asia Timur-Pasifik, Indonesia bersama dengan Jepang, Singapura, Korea Selatan, Thailand, Vietnam dan lain-lainnya. Negara-negara maju seperti Jepang, Australia, Singapura dan Korea Selatan memiliki angka tinggi pada semua dimensi, sedangkan negara berkembang termasuk Indonesia, Filipina dan Thailand mempunyai angka rendah hampir di semua dimensi penegakan hukum. 
Berbagai usaha menuju perbaikan seperti penguatan etika kehidupan berbangsa telah dilakukan, perubahan-perubahan tidak hanya disuarakan tetapi dituangkan secara tertulis dalam aturan norma hukum, norma etika dan norma agama, namun hasilnya yang dirasakan di tingkat lapangan masih nihil. Tidak kuatnya kesadaran masyarakat mentaati norma agama, dan lemahnya norma hukum serta norma etika turut menyebabkan kekacauan sistem etika dalam kehidupan bernegara. Norma agama, norma hukum, dan norma etika semakin diabaikan. Norma agama, norma hukum, dan norma etika tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya. Akibatnya, masyarakat semakin hedonis dan tidak saling peduli satu sama lain. Dengan demikian, pertanyaan yang muncul ialah di mana peran negara dalam mengatasi kekacauan sistem norma tersebut?
Dalam kenyataan, kekacauan sistem norma telah menyebabkan kerusakan tatanan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bernegara. Oleh sebab itu, kerusakan tatanan nilai sosial ini harus cepat dicarikan jalan keluar. Mencari konvergensi atas kekacauan sistem norma agama, norma hukum, dan norma etika. Bagaimana agar sistem norma agama, norma hukum, dan norma etika bisa bekerja secara komplementer agar kekacauan tatanan nilai sosial bisa diatasi. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa agama bisa membantu memberantas korupsi, dengan catatan metode yang dipakai itu benar. Seringkali agama menggunakan cara yang salah.  Kita mulai dengan fakta tentang statistik negara-negara korup dan bersih di dunia.
Hukum dan penjara pada kenyataan bukan menjadi satu-satunya aspek penyelesaian suatu permasalahan yang timbul. Banyak penjara di Indonesia mengalami over capacity, akibatnya, penjara memunculkan banyak masalah baru, bahkan penjara banyak dalam praktik difungsikan menjadi school of criminal. Kapasitas penjara membuat napi berpotensi menimbulkan kekacauan termasuk praktik kejahatan peredaran narkoba. Peredaran narkoba dilakukan sebagian napi dikarenakan fungsi penjara tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Penghuni penjara menggunakan kekerasan menghadapi suatu masalah. Perkelahian, pertikaian dan konflik antar sesama disebabkan fasilitas pelayanan tidak maksimal sebagaimana layaknya penjara. Implikasi negatif dari penjara over capacity yakni, perusakan penjara yang meningkat dengan pembakaran dilakukan orang tidak bertanggungjawab dengan terget melarikan diri. Pada 2013 terjadi kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan, Sumatera Utara dikarenakan kapasitas penjara yang tidak sesuai standar. Penjara yang menampung lebih dari angka 900 persen.
Data terbaru dari Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Ham RI misalnya, dari catatan terakhir tanggal 18 Juli 2013 jumlah penghuni napi di lokasi-lokasi telah melebih kapasitas sekitar 500 persen. Dari berbagai sumber yang dihimpun setidaknya ada 5 penjara yang mengalami over capacity yakni, (1) Rutan Bagan Siapi-api Riau. Jumlah penghuni sebanyak 593 dengan kapasitas hanya 66 orang saja. Artinya melebihi kapasitas hingga 898 persen; (2) Lapas Banjarmasin Kalimantan Selatan, kapasitas penjara lebih besar daripada rutan Bagan Siapi-api yakni 366 orang dan dihuni oleh 2.427 napi sehingga kelebihan 663 persen; (3) Lapas Bengkalis Riau, lapas ini dihuni 945 napi dengan kapasitas penjara 174 orang sehingga over capacity 543 persen; (4) Lapas Anak Martapura Kalimantan Selatan. Penjara ini didesain khusus untuk anak-anak dengan kapasitas 180 tetapi faktanya dihuni 953 anak sehingga kelebihan 529 persen; dan (5) Lapas Jambi. Lapas ini dengan kapasitas 218 dan dihuni 1.118 narapidana, akibatnya kelebihan kapasitas hingga 510 persen.
Gejala ini menunjukkan bahwa tingkat penanganan kejahatan sangat memprihatinkan. Oleh sebab itu, pemahaman penyelesaian persoalan bangsa tidak hanya mengandalkan penjara sebagai satu-satunya solusi. Penjara dan hukum tidak mengalami kemajuan berarti dalam penyelesaian kasus. Maka paradigma penyelesaian permasalahan sudah saatnya ditingkatkan menjadi pendekatan norma etika kehidupan berbangsa. Etika harus dipahami sebagai sebuah metode yang efektif dalam penanganan kasus karena hukum tidak lagi efektif.
Kemajuan ilmu dan teknologi tidak diimbangi dengan peningkatan pemahaman orang pada nilai-nilai moral memicu tindakan tidak berdasarkan aturan norma yang berlaku. Akibatnya, kejahatan dan perilaku kriminal bermotif ekonomi, hukum, sosial politik, dan budaya terus meningkat. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi hampir di berbagai negara belahan dunia. Penjara-penjara penuh karena semakin banyak perilaku manusia menyimpang dari norma-norma agama, norma hukum dan norma etika.

Norma Hukum
Dalam memahami masalah norma hukum yang berlaku ataupun yang umum diterapkan dalam sistem kehidupan sosial masyarakat, terlebih dahulu yang dipahami adalah penafsiran norma terhadap suatu objek melalui perilaku manusia itu sendiri dalam konteks masyarakat hukum. Selain memahami penafsiran-penafsiran norma terhadap sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan sosial bernegara juga yang harus menjadi landasan pemahaman atas interpretasi norma tersebut yakni, dari pemahaman mengenai ilmu hukum karena perilaku manusia merupakan pengejawantahan dari konteks norma hukum. Artinya, peranan ilmu hukum menjadi legitimasi atas interpretasi perilaku manusia menjadi hal mendasar dalam kehidupan bernegara.
Norma hukum dapat diterapkan tidak hanya dalam arti dilaksanakan oleh organ atau dipatuhi oleh subyeknya, tetapi juga dalam arti membentuk dasar bagi suatu penilaian spesifik untuk mengkualifikasikan perbuatan organ, atau subyek sebagai lawful atau unlawful. Suatu tindakan dikualifikasikan sebagai perbuatan tertentu menurut norma, seperti tindakan penghilangan nyawa dikualifikasikan sebagai pembunuhan. Ini adalah penilaian spesifik tindakan (scheme of interpretation).[2]
Hukum mengatur pembentukannya sendiri karena norma hukum menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum yang lain, dan sampai derajat tertentu. Maka validitas norma hukum lantaran dibuat menurut cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya. Norma hukum lainnya ini adalah landasan validitas norma hukum yang disebut pertama.[3] Dengan kata lain konstitusi adalah sumber hukum utama dalam membentuk undang-undang dan undang-undang merupakan preseden bagi peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya, demikianlah seterusnya.
Ilmu hukum menjelaskan norma-norma hukum yang menggambarkan semua aktivitas sosial manusia dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan bernegara. Perilaku manusia dalam kehidupan sosial bernegara yang menunjukan memenuhi standar maupun kriteria peraturan dan perundang-undangan yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Tindakan manusia hendaknya mengikuti aturan-aturan baik normatif maupun empiris, yang  menjadi konsensus dalam bernegara. Maka dalam perspektif ini, tindakan dan perilaku manusia harus memperlihatkan adanya ketaatan terhadap norma hukum. Akan tetapi yang perlu dijelaskan di sini adalah pemahaman mengenai kalimat-kalimat yang digunakan ilmu hukum dalam menjelaskan norma-norma serta relasinya sebagai aturan hukum yang mesti dibedakan dari norma hukum yang merupakan hasil produk manusia melalui otoritas hukum sehingga dalam praktik peraturan dan perundang-undangan akan dengan mudah diketahui perilaku manusia tadi apakah mereka patuh atau tidak pada aturan hukum yang dibuat oleh mereka sendiri.
Namun norma yang diberlakukan oleh otoritas hukum (yang menetapkan konpensasi atas kerugian dan eksekusi perdata atas perbuatan ingkar tersebut) tidak bisa dinyatakan benar atau salah, karena ini bukanlah penegasan tentang suatu fakta, bukan pula penjabaran tentang sebuah obyek, melainkan sebuah penerapan, dan dengan demikian ini merupakan obyek yang mesti dijelaskan oleh ilmu hukum. Norma yang dibuat oleh legislator (yang menetapkan eksekusi kepada orang yang mengingkari janji perkawinan dan tidak mau memberikan ganti rugi), dan pernyataan yang dibuat oleh ilmu hukum dan menjelaskan norma ini (eksekusi itu harus dilakukan terhadap orang yang mengingkari janji perkawinannya dan tidak memberi kompensasi atas kerugian yang ia timbulkan)–ungkapan-ungkapan ini berbeda secara logika.[4]
Aturan hukum yang dirumuskan oleh ilmu hukum bukanlah pengulangan sederhana dari norma hukum yang diciptakan oleh otoritas hukum. meski begitu, keberatan terhadap pernyataan bahwa aturan hukum tidaklah berguna bukanlah suatu bantahan yang tanpa dasar, seperti halnya pendapat bahwa ilmu alam itu tidak berguna di sisi alam, karena alam tidak mengejawantahkan diri dalam kata-kata lisan dan tertulis, seperti yang terjadi pada hukum. Norma hukum adalah bentuk dari pengejawantahan yang memerintahkan, menetapkan, dan memberi izin serta wewenang bahwa sanksi terhadap setiap orang yang tidak taat aturan atau melanggar hukum itu diberikan.[5]
Obyek ilmu hukum adalah norma hukum dan karenanya nilai-nilai hukum juga dibentuk oleh norma-norma ini, namun aturan hukum itu, seperti halnya hukum alam dari ilmu alam, merupakan uraian yang bebas nilai mengenai obyeknya. Artinya, uraian tersebut tidak memiliki kaitan dengan nilai meta-hukum dan tidak mengimplikasikan kesetujuan atau ketidaksetujuan emosional. Norma yang merupakan nilai hukum harus dibedakan dari norma-norma yang digunakan untuk mengevaluasi pembuatann hukum. Karena aturan hukum dalam pengertian deskriptif, seperti halnya hukum alam (dan ilmu alam) menjelaskan hubungan fungsi, ia juga bisa disebut hukum perundangan (yakni hukum dalam pengertian resmi, atau yang dalam bahasa Jermannya Rechtsgesetz), yang memiliki persamaan dengan hukum alam. Norma hukum kendati disebut sebagai hukum manakala ia memiliki karakter umum–bukanlah hukum dalam pengertian yang senada dengan hukum alam, karena ia bukanlah pernyataan tegas yang menjelaskan hubungan fungsi. Norma hukum sama sekali bukan penegasan, melainkan makna dari suatu tindakan yang melandasi ditetapkannya sesuatu yang terlebih dahulu menetapkan hubungan fungsi antara fakta–suatu hubungan yang dijelaskan oleh aturan hukum, hukum perundang-undangan.[6]
Maka produk suatu hukum dan perundang-undangan yang dikeluarkan baik di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif semestinya selalu mencerminkan nilai-nilai kepatutan yang berlaku di masyarakat. Tetapi peraturan dan perundang-undangan yang dihasilkan hanya memenuhi keinginan ataupun kepentingan sebagian masyarakat yang merupakan bagian dari proses politik yang dilakukan elit maka aturan norma tersebut yang ditetapkan tetap diberlakukan secara umum namun norma hukum seperti ini tidak mencerminkan keadilan sosial secara menyeluruh.
Sebuah analisis dari proses konstitusional yang menjadi dasar terciptanya sebuah undang-undang memperlihatkan bahwa tindakan penciptaan sebuah hukum yang mengikat sekalipun sama sekali tidak perlu mewakili kehendak apapun terhadap perilaku yang dituntut oleh undang-undang. Undang-undang tersebut dibuat ketika mayoritas dari para legislator telah memberi suara kepada sebuah rancangan undang-undang yang disampaikan kepada mereka. Konten dari undang-undang tersebut bukanlah “kehendak” dari para legislator yang memberi suara yang menentang rancangan undang-undang tersebut; kehendak mereka justru mengekspresikan yang sebaliknya. Namun ekspresi kehendak mereka sama sesensialnya bagi eksistensi undang-undang tersebut seperti ekspresi kehendak dari para anggota yang memberi suara pada undang-undang itu.[7]
Hukum bisa diistilahkan sebagai perintah yang “didepsikologisasikan.” Hal ini sebagaimana muncul dalam pertanyaan Kelsen mengenai manusia “harus” membuat dirinya bertingkah laku menurut hukum. disinilah letak pentingnya konsep tentang “yang harus,” di sini terlihat pentingnya konsep norma. Sebuah norma adalah sebuah peraturan yang menyatakan bahwa seorang individu harus berperilaku dengan cara tertentu, tetapi tidak menegaskan bahwa perilaku semacam itu merupakan kehendak aktual dari seseorang.[8]

Teori dan Praktik Norma Hukum
Norma secara teoritis merupakan bentuk dari tindakan dan perilaku manusia secara individu maupun kolektif yang mengandung makna hukum yang sebenarnya juga selalu berkaitan dengan suatu sistem hukum dari yang lain atau semacam tata nilai dalam kehidupan sosial di komunitas tertentu yang mengandung makna norma juga. Sebuah fakta material adalah bukan semata-mata dijadikan sebagai argumentasi pembunuhan tetapi realisasi dari hukuman mati adalah kualitas penanganan dan penyelesaian kasus yang secara logika sangat sulit dimengerti. Hal ini karena boleh jadi suatu peristiwa muncul disebabkan oleh tindakan intelek yakni, berupa konfrontasi dengan undang-undang yang termasuk mengandung unsur kriminal maupun metode dan prosedurnya pun bermuatan makna kriminal.[9]
Memahami sesuatu secara hukum bisa jadi hanya memhami sesuatu tersebut sebagai hukum. tesis bahwa hanya norma-norma hukum yang bisa menjadi objek kognisi hukum adalah tautologi, karena hukum tersebut, satu-satunya objek kognisi hukumadalah norma, dan norma adalah kategori yang tidak bisa diaplikasikan di wilayah alam. Penggolongan tindakan-tindakan yang terjadi di alam sebagai hukum hanya menyatakan keabsahan norma yang muatannya sesuai hal tertentu dengan keabsahan peristiwa sebenarnya. Ketika seorang hakim menetapkan fakta material kongkret (misalnya delik), semua kognisinya pertama kali hanya diarahkan pada sesuatu yang ada di alam.[10] Maka dalam memastikan suatu norma hukum tentang proses pembuktian suatu peristiwa sangat dibutuhkan fakta yang akurat. Kebenaran fakta yang mengandung makna norma memungkinkan terjadinya determinasi atas peristiwa dalam konteks penyelesaian masalah dengan pendekatan hukum. Kebenaran yang menguatkan makna norma selalu dihadapkan dengan fakta maupun data-data faktual terkait peristiwa yang menghubungkannya dengan tindakan-tindakan manusia dalam kehidupan sosial.
Dalam percakapan ilmiah mengenai kata “keharusan” misalnya, apakah ia mengandung makna transedental atau tidak, jelas memerlukan kajian teoritis yang mendalam. Namun, yang paling penting dalam pembahasan ini ialah orientasi mengenai ilmu hukum dalam sebuah konsep ilmiah dengan memasukan hukum positif serta konsep norma atau “keharusan”. Menurut Kelsen, “selama bukan identitas norma hukum dan norma moral yang ditekankan berulang-ulang dalam yurisprudensi, nilai moral mutlak tidak dipersoalkan sehingga hanya nilai relatif hukum tersebut yang jelas menentang latar belakang ini.
Namun demikian, satu-satunya fakta bahwa yurisprudensi tidak mengabaikan eksistensi nilai mutlak, tidak menganggap diri kompeten untuk dipersoalkan, adalah fakta yang harus memberikan reaksi pada konsep hukum tersebut. Jika hukum dipandang sebagai norma, sebagaimana moralitas, dan jika makna norma hukum dijabarkan dalam ‘keharusan’, sebagaimana makna norma moral, maka nilai mutlak yang menjadi karakteristik moralitas melekat pada konsep norma hukum dan pada ‘keharusan’ hukum.[11] Maka setiap keputusan yang dibuat yang merupakan muatan nilai maka norma hukum yang menjadi pijakan pembuatan atas keputusan hukum adalah mengandung makna norma pada ‘keharusan’. Keharusan untuk memberikan sanksi dalam bentuk putusan merupakan tanggungjawab dan kewajiban para hakim yang secara norma hukum positif diberikan wewenang.
Oleh sebab itu, dalam putusan hakim terkait dengan penyelesaian suatu perkara selalu bermuatan beberapa norma yang menjadi pemahaman masyarakat sehingga apapun keputusan yang dibuat selalu berdampak positif dan negatif namun hal tersebut tetap dianggap sebagai konsekuensi yang harus dilaksanakan.[12] Dengan demikian, untuk memahami karakterisisasi dari sebuah konsep hukum sebagai norma dan atau sebagai suatu ‘keharusan’ yang diotorisasi lewat yurisprudensi positivis dalam praktik selalu menimbulkan interpretasi hukum positif yang mengarah pada upaya mempertahankan unsur ideologis tertentu sebagai doktrin politik negara.
Norma hukum dapat dibedakan antara norma hukum fakultatif dan norma hukum imperatif. Sebagaimana sebutannya, norma hukum imperatif merujuk pada norma hukum yang bersifat memaksa sedangkan norma hukum fakultatif adalah merujuk  pada norma hukum yang mengatur dan norma hukum yang bersifat menambah atau melengkapi. Meski demikian, kadang dijumpai norma hukum yang sekaligus memiliki kedua sifat tersebut, yakni bersifaf mengatur sekaligus bersifat memaksa. Selain itu terdapat pula pembedaan antara norma hukum yang bersifat umum dan abstrak dengan norma hukum yang bersifat konkrit dan individual.
Perlu dipahami bahwa norma hukum yang bersifat umum merupakan ketentuan yang bersifat abstrak. Norma hukum yang bersifat abstrak yang dimaksudkan disini adalah ketentuan tersebut tidak menjelaskan setiap kondisi yang mungkin terjadi di mana ketentuan tersebut akan berlaku. Hanya menyebutkan secara umum dan dianggap dapat diberlakukan dalam setiap kondisi di mana ketentuan tersebut dapat diberlakukan. Ketentuan tersebut ditujukan kepada semua subyek terkait tanpa mengaitkan atau menunjuk satu kondisi atau subyek tertentu. Ketentuan tersebut berlaku kepada semua subyek atau bersifat umum. Norma hukum individual adalah norma hukum yang selalu bersifat konkrit. Hal ini disebabkan karena norma hukum individual secara tegas menunjuk subyek tertentu dan atau keadaan tertentu dimana norma hukum tersebut harus diberlakukan. Sebagai contoh adalah klausul perjanjian antara para pihak dalam hukum perdata.
Norma hukum sebagaimana diuraikan di atas dalam pelaksanaannya harus mendapat pengawasan dan atau kontrol. Setidaknya terdapat 3 cara untuk melakukan kontrol terhadap hukum, antara lain: melalui pengawasan atau pengendalian politik, melalui pengendalian administratif dan melalui kontrol hukum. Kontrol melalui pengawasan atau pengendalian politik dapat dilakukan oleh lembaga politik. Di Indonesia undang-undang dibuat  oleh DPR dan Presiden. Oleh karena itu, mekanisme kontrol politik juga dapat dilakukan melalui lembaga politik tersebut. Misalnya dengan mengadakan legislative review terhadap peraturan perundang-undangann yang dianggap tidak dapat diberlakukan lagi atau mungkin perlu dilakukan perubahan terhadapnya.
Kontrol melalui pengendalian administratif dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga administratif yang oleh peraturan perundang-undangan tersebut diberikan kewenangan untuk melaksanakannya. Lembaga administratif tersebut dalam pelaksanaan norma atau aturan hukum yang dimaksud dapat mengetahui kekurangan atau kelemahannya, sehingga dapat mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Apabila kemudian perlu dilakukan perubahan atau revisi maka lembaga administratif tersebut dapat mengambil langkah-langkah untuk mengajukan perubahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini disebut executive review.
Kontrol terhadap norma hukum biasa disebut dengan legal control atau judicial control atau judicial review apabila mekanisme kontrol tersebut dilaksanakan melalui pengadilan. Terdapat dua bentuk kontrol dalam model legal control ini, yakni ada yang terpusat dan ada yang terdesentralisasi (tidak terpusat). Negara yang melakukan legal kontrol dengan metode terpusat seperti Indonesia, di mana pengujian atas Undang-Undang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan pengujian atas peraturan dibawah undang-undang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Negara melakukan legal control dengan metode tidak terpusat memberikan kewenangan kepada seluruh badan peradilannya untuk melakukan pengujian terhadap norma atau peraturan hukum.


Keterangan:
Arsip Tulisan Lawas



[2]  Jimly Asshiddiqie, Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hal, 45.
[3]  Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1961, hal, 124.
[4]  Hans Kelsen, Pure Theory of Law, (Berkely University of California Press, 1978), dalam (terj.), Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni; Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, 2008, hal, 84.
[5]  Ibid.
[6]  Ibid, hal, 91.
[7]  Hans Kelsen, What Justice?: Justice, Politic, and Law in the Mirror of Science, dalam (terj.), Nurulita Yusron, Dasar-Dasar Hukum Normatif; Prinsip-prinsip Teoritis untuk Mewujudkan Keadilan dalam Hukum dan Politik, Nusa Media, Bandung, 2009, hal, 324.
[8] Ibdid, hal, 325.
[9] Dalam perspektif teori hukum statis dan dinamis dan relasinya dengan hirarki norma telah dibahas secara lebih rinci oleh Hans Kelsen dalam bukunya What is Justice? : Justice, Politic, and Law in the Mirror of Science, yang diterbitkan oleh University of California Press: 1997), dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Nurulita Yusron (2009), membahas mengenai teori hukum statis dan dinamis sekaligus hubungannya dengan hirarki norma. Berdasarkan teori hukum murni lalu Kelsen berusaha menguraikan dengan pendekatan teoritis, bahwa teori hukum statis harus dipadukan dengan teori hukum dinamis, dengan suatu argumen bahwa hukum tidak selalu sejalan dengan sistem norma. Maka norma sesungguhnya lebih kuat fondasinya, namun demikian, dalam kehidupan sosial terutama dalam kehidupan bernegara diperlukan keseimbangan antara hukum dan norma yang kuat dalam rangka penguatan norma baik itu norma hukum, norma etika dan norma agama melalui sebuah sistem hukum yang kuat untuk mengatur keberlangsungan kehidupan masyarakat.
[10] Hans Kelsen, Introduction to the Problems of Legal Theory, dalam (terj.,), Siwi Purwandari, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2008, hal, 45
[11] Ibid,
[12] Ibid,

Rabu, 13 Juli 2016

Teori dan Kosep Keadilan Dalam Bernegara

Reaktualisasi Nilai-nilai Keadilan
Dalam Praktik Kehidupan Bernegara

Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)




Keadilan dalam Perspektif Ilmiah Menurut Beberapa Pemikir
Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sering bersikap adil atau tidak adil terhadap seseorang, binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Sikap adil lebih berorientasi kepada kebaikan, begitu pula sebaliknya dengan sikap tidak adil yang lebih identik kepada keburukan. Dari sikap adil ini dapat tercipta suatu keadilan antara satu makhluk dengan makhluk lainnya.
Definisi adil menurut kamus modern Bahasa Indonesia adalah benar, patut, tidak memandang siapapun. Sedangkan,definisi keadilan dalam kamus modern Bahasa Indonesia adalah sikap dan sifat serta perlakuan yang tidak berat sebelah. Jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda,  maka keadilan memiliki definisi atau pengertian yang berbeda pula. Hal ini dapat ditunjukkan dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum yang memberikan definisi yang berbeda-beda mengenai keadilan.

1.    Keadilan menurut Aristoteles ada dua macam yakni :

a.       Keadilan distributif atau justitia distributiva; Keadilan distributif adalah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan antara masyarakat dengan perorangan dan berlaku dalam hukum publik serta berfokus pada distribusi, honor, kekayaan dan barang-barang lain yang sama-sama didapatkan dalam masyarakat.
b.      Keadilan kumulatif atau justitia cummulativa; Keadilan kumulatif adalah suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa mempedulikan jasa masing-masing. Keadilan ini didasarkan pada transaksi (sunallagamata) baik yang sukarela atau tidak. Keadilan ini terjadi pada lapangan hukum perdata dan pidana, misalnya dalam perjanjian tukar-menukar dan pelanggaran kesepakatan. Serta berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan.

2.    Sedangkan, Thomas Aquinas (filsuf hukum alam), membedakan keadilan dalam dua kelompok. Pertama, keadilan umum (justitia generalis); dan kedua, keadilan umum yakni keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Keadilan khusus; Keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan ini dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :

-          Keadilan distributif (justitia distributiva) adalah keadilan yang secara proporsional yang diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum.
-          Keadilan kumutatif (justitia cummulativa) adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dengan kontraprestasi.
-          Keadilan vindikativ (justitia vindicativa) adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.

3.    Keadilan menurut Notohamidjojo (1973: 12), yaitu keadilan kreatif (iustitia creativa); Keadilan kreatif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang untuk bebas menciptakan sesuatu sesuai dengan daya kreativitasnya. Keadilan protektif (iustitia protectiva); Keadilan protektif adalah keadilan yang memberikan pengayoman kepada setiap orang, yaitu perlindungan yang diperlukan dalam masyarakat.

4.    Keadilan menurut John Rawls

John Rawls yang hidup pada awal abad 21 lebih menekankan pada keadilan sosial. Hal ini terkait dengan munculnya pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan negara pada saat itu. Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah (1) jaminan stabilitas hidup manusia, dan (2) keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.
Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah struktur dasar masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan terpenuhi. Kategori struktur masyarakat ideal ini digunakan untuk:
a)      menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil atau tidak
b)      melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial.
Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidakadilan adalah situsi sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik. Koreksi atas ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for redress) masyarakat pada posisi asli (people on original position). Dalam posisi dasar inilah kemudian dibuat persetujuan asli antar (original agreement) anggota masyarakat secara sederajat.
Ada tiga syarat suapaya manusia dapat sampai pada posisi asli, yaitu:
  1. Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya, intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, dan aspek sosial yang lain.
  2. Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten untuk memegang pilihannya tersebut.
  3. Diandaikan bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu dan baru kemudian kepentingan umum. Ini adalah kecenderungan alami manusia yang harus diperhatikan dalam menemukan prinsip-prinsip keadilan.
Dalam menciptakan keadilan, prinsip utama yang digunakan adalah kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan semua pihak, dan prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang paling lemah. Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan yang adil atas kesempatan. 
Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari keadilan, yakni (1) Kebebasan yang sebesar-besarnya sebagai prioriotas; (2) perbedaan, dan (3) persamaan yang adil atas kesempatan.
Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai kepentingannya terlebih dahulu baru kemudian kepentingan umum. Hasrat ini adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran pencapaian keadilan. Maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini. Namun realitas masyarakat menunjukan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya terwujud karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat. Perbedaan ini menjadi dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila sudah ada persamaan derajat, maka semua harus memperoleh kesempatan yang sama untuk memenuhi kepentingannya. Walaupun nantinya memunculkan perbedaan, bukan suatu masalah asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama.

 

5.    Keadilan Menurut Adam Smith
Alasan Adam Smith hanya menerima satu konsep atau teori keadilan yang menurutnya keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti yaitu keadilan komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak yang lain. Keadilan legal sesungguhnya sudah terkandung dalam keadilan komutatif, karena keadilan legal sesungguhnya hanya konsekuensi lebih lanjut dari prinsip keadilan komutatif yaitu bahwa demi menegakkan keadilan komutatif negara harus bersikap netral dan memperlakukan semua pihak secara sama tanpa terkecuali. Adam Smith menolak keadilan distributif sebagai salah satu jenis keadilan. Alasannya antara lain karena apa yang disebut keadilan selalu menyangkut hak semua orang tidak boleh dirugikan haknya atau secara positif setiap orang harus diperlakukan sesuai dengan haknya.
Ada 3 prinsip pokok keadilan komutatif menurut Adam Smith, yaitu:
a. Prinsip No Harm
Menurut Adam Smith prinsip paling pokok dari keadilan adalah prinsip no harm atau prinsip tidak merugikan orang lain. Dasar dari prinsip ini adalah penghargaan atas harkat dan martabat manusia beserta hak-haknya yang melekat padanya, termasuk hak atas hidup.
b. Prinsip non intervention
Prinsip non intervention adalah prinsip tidak ikut campur tangan. Prinsip ini menuntut agar demi jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang tidak diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam kehidupan dan kegiatan orang lain.
c. Prinsip pertukaran yang adil
Prinsip keadilan tukar atau prinsip pertukaran dagang yang fair, terutama terwujud dan terungkap dalam mekanisme harga dalam pasar. Ini sesungguhnya merupakan penerapan lebih lanjut prinsip no harm secara khusus dalam pertukaran dagang antara satu pihak dengan pihak lain dalam pasar.

6.    Keadilan menurut  Ibnu Taymiyyah (661-728 H).
Ibnu Taymiyyah mengartikan keadilan sebagai sesuatu yang sifatnya memberikan sesuatu kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperolehnya tanpa diminta; tidak berat sebelah atau tidak memihak kepada salah satu pihak; mengetahui hak dan kewajiban, mengerti mana yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan tetap menurut peraturan yang telah ditetapkan. Keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan menjadi pilar bagi berbagai aspek kehidupan, baik individual, keluarga, dan masyarakat. Keadilan tidak hanya menjadi idaman setiap insan bahkan kitab suci umat Islam menjadikan keadilan sebagai tujuan risalah samawi.
Ibnu Taimiyah menyatakan , “Wahai para pemimpin Muslim, Allah memerintahkan kepada kalian untuk berlaku amanat dalam kepemimpinan kalian, tempatkanlah sesuatu pada tempat dan tuannya, jangan pernah mengambil sesuatu kecuali Allah mengizinkannya, jangan berbuat zalim, berlaku adil adalah keharusan dalam menetapkan keputusan hukum di antara manusia. Semua ini adalah perintah Allah yang ditetapkan dalam Alquran dan Sunnah. Jangan pernah melanggarnya, karena itu perbuatan dosa.”
Mengenai penegakan keadilan, Ibnu Taimiyah memperingatkan bahwa seorang pemimpin yang adil akan mampu menegakkan negara walaupun ia kafir. Namun, seorang pemimpin yang zalim malah akan menghancurkan negara walaupun ia Muslim sekalipun. Hal senada disampaikan penulis buku “Al-Hasabah”, “Negara akan tetap tegak berdiri dengan keadilan dan kekufuran, namun negara akan segera hancur dengan kezaliman dan Islam” . Untuk itu, sudah merupakan kepentingan negara Islam berlaku adil untuk warga Muslim ataupun pihak lain yang menjadi lawan komunikasinya, tak terkecuali walau bukan dari golongan Muslim sekalipun. Tidak dapat dipungkiri, al-Qur’an meningkatkan sisi keadilan dalam kehidupan manusia, baik secara kolektif maupun individual.
Dari terkaitnya beberapa pengertian kata ‘adl dengan wawasan atau sisi keadilan secara langsung itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi “warna keadilan ” mendapat tempat dalam al-Qur’an sehingga dapat dimengerti sikap kelompok Mu’tazilah dan Syi’ah untuk menempatkan keadilan (adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah) dalam keyakinan atau akidah mereka. Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum Muslim itu menunjukkan orientasi yang sangat kuat akar keadilan dalam Al-Qur’an. Demikian pula, wawasan keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro dari kehidupan warga masyarakat secara perorangan, melainkan juga lingkup makro kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya dituntut bagi kaum Muslim saja tetapi juga mereka yang beragama lain.
Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur’an itu adalah sifatnya sebagai perintah agama, bukan sekedar sebagai acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya merupakan pemenuhan kewajiban agama dan dengan demikian akan diperhitungkan dalam amal perbuatan seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak. Dengan demikian, wawasan keadilan dalam al-Qur’an mudah sekali diterima sebagai sesuatu yang ideologis, sebagaimana terbukti dari revolusi yang dibawakan Ayatullah Khomeini di Iran. Sudah tentu dengan segenap bahaya-bahaya yang ditimbulkannya, karena ternyata dalam sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani yang mengingkari keadilan itu Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal ini, bahwa sifat dasar wawasan keadilan yang dikembangkan al-Qur’an ternyata bercorak mekanistik, kurang bercorak reflektif. Macam-macam keadilan diantaranya :
1)     Keadilan Komutatif (iustitia commutativa) yaitu keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang apa yang menjadi bagiannya berdasarkan hak seseorang (diutamakan obyek tertentu yang merupakan hak seseorang).
2)     Keadilan Distributif (iustitia distributiva) yaitu keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang apa yang menjadi haknya kepada setiap orang berdasarkan asas proporsionalitas atau kesebandingan berdasarkan kecakapan, jasa atau kebutuhan.
3)     Keadilan Moral atau Keadilan Legal (iustitia Legalis), yaitu keadilan berdasarkan Undang-Undang (obyeknya tata masyarakat) yang dilindungi UU untuk kebaikan bersama (bonum Commune).
4)     Keadilan Vindikatif (iustitia vindicativa) adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang hukuman atau denda sesuai dengan pelanggaran atau kejahatannya.
5)     Keadilan Kreatif (iustitia creativa) adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang bagiannya berupa kebebasan untuk mencipta sesuai dengan kreatifitas yang dimilikinya di berbagai bidang kehidupan.
6)     Keadilan Protektif (iustitia protectiva) adalah keadilan yang memberikan perlindungan kepada pribadi-pribadi dari tindakan sewenang-wenang pihak lain.
7)     Keadilan Kodrat Alam, yaitu memberi sesuatu sesuai dengan yang diberikan orang lain kepada kita.
8)     Keadilan Perbaikan, adalah keadilan yang diberikan jika seseorang telah berusaha memulihkan nama baik orang lain yang telah tercemar.
9)     Keadilan Konvesional, adalah keadilan yang diberikan jika seorang warga negara telah menaati segala peraturan perundang-undangan yang telah diberikan.

Keadilan (a’dl) menurut Islam tidak hanya merupakan dasar dari masyarakat Muslim yang sejati, sebagaimana di masa lampau dan seharusnya di masa mendatang. Orang yang imannya benar dan berfungsi dengan baik akan selalu berlaku adil terhadap sesamanya. Hal ini tergambar dengan sangat jelas dalam surat di atas. Keadilan adalah perbuatan yang paling takwa atau keinsyafan ketuhanan dalam diri manusia.
Dalam Alquran, keadilan dinyatakan dengan istilah “‘adl” dan “qist”. Pengertian adil dalam Alquran sering terkait dengan sikap seimbang dan menengahi. Dalam semangat moderasi dan toleransi, juga dinyatakan dengan istilah “wasath” (pertengahan). “Wasath” adalah sikap berkeseimbangan antara dua ektrimitas serta realitas dalam memahami tabiat manusia, baik dengan menolak kemewahan maupun aksetisme yang berlebihan. Mendalamnya makna keadilan berdasarkan iman bisa dilihat dari kaitannya dengan amanat (amanah, titipan suci dari tuhan) kepada manusia untuk sesamanya. Khususnya amanat yang berkenaan dengan kekuasaan memerintah. Kekuasaan pemerintahan adalah sebuah keniscayaan demi ketertiban tatanan hidup kita. Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah sikap patuh dari banyak orang kepada penguasa. Kekuasaan dan ketaatan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Namun, kekuasaan yang patut dan harus ditaati hanyalah yang mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanat Tuhan.
Keadilan itu sendiri memiliki sifat yang berseberangan dengan dusta atau kecurangan. Dimana kecurangan sangat identik dengan perbuatan yang tidak baik dan tidak jujur atau dalam agama Islam lebih dikenal dengan zalim. Kecurangan pada dasarnya merupakan penyakit hati yang dapat menjadikan orang tersebut menjadi serakah, tamak, rakus, iri hati, matrealistis serta sulit untuk membedakan antara hitam dan putih lagi dan mengkesampingkan nurani dan sisi moralitas. Keadilan dan kecurangan merupakan sikap mental yang membutuhkan keberanian dan sportifitas. Keadilan dan kecurangaan atau ketidakadilan tidak akan dapat berjalan dalam waktu bersamaan karena kedua sangat bertolak belakang dan berseberangan.
Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya filsafat Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada kekuatan dan kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia.
Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu; (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness), (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya judicature), dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum suatu perkara di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate).
Sedangkan kata “adil” dalam bahasa Indonesia bahasa Arab “al ‘adl” yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan. Untuk menggambarkan keadilan juga digunakan kata-kata yang lain (sinonim) seperti qisth, hukm, dan sebagainya. Sedangkan akar kata ‘adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (misalnya “ta’dilu” dalam arti mempersekutukan Tuhan dan ‘adl dalam arti tebusan).
Beberapa kata yang memiliki arti sama dengan kata “adil” di dalam Al-Qur’an digunakan berulang ulang. Kata “al ‘adl” dalam Al qur’an dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 35 kali. Kata “al qisth” terulang sebanyak 24 kali. Kata “al wajnu” terulang sebanyak kali, dan kata “al wasth” sebanyak 5 kali.
Untuk mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat bukan merupakan kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan diasosiasikan dengan aturan hukum positif, bagaimana suatu tindakan harus dilakukan dan pendistribusian menegakkan keadilan, serta bagaimana memajukan keadilan. Namun tentu tidak demikian halnya jika ingin memainkan peran menegakkan keadilan. Perdebatan tentang keadilan telah melahirkan berbagai aliran pemikiran hukum dan teori-teori sosial lainnya. Dua titik ekstrim keadilan, adalah keadilan yang dipahami sebagai sesuatu yang irasional dan pada titik lain dipahami secara rasional. Tentu saja banyak varian-varian yang berada diantara kedua titik ekstrim tersebut.
Plato yang dikenal sebagai sosok pemikir idealis abstrak yang juga mengakui kekuatan-kekuatan diluar kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional masuk dalam filsafatnya menjelaskan keadilan sebagai suatu nilai universalisme yang harus dilaksanakan semua umat manusia. Plato berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa. Sumber ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat. Masyarakat memiliki elemen-elemen prinsipal yang harus dipertahankan, yaitu:
  1. Pemilahan kelas-kelas yang tegas; misalnya kelas penguasa yang diisi oleh para penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara tegas dengan domba manusia.
  2. Identifikasi takdir negara dengan takdir kelas penguasanya; perhatian khusus terhadap kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada persatuannya, aturan-aturan yang rigid bagi pemeliharaan dan pendidikan kelas ini, dan pengawasan yang ketat serta kolektivisasi kepentingan-kepentingan anggotanya.
Dari elemen-elemen prinsipal ini, elemen-elemen lainnya dapat diturunkan, misalnya berikut ini:
  1. Kelas penguasa punya monopoli terhadap semua hal seperti keuntungan dan latihan militer, dan hak memiliki senjata dan menerima semua bentuk pendidikan, tetapi kelas penguasa ini tidak diperkenankan berpartisipasi dalam aktivitas perekonomian, terutama dalam usaha mencari penghasilan,
  2. Harus ada sensor terhadap semua aktivitas intelektual kelas penguasa, dan propaganda terus-menerus yang bertujuan untuk menyeragamkan pikiran-pikiran mereka. Semua inovasi dalam pendidikan, peraturan, dan agama harus dicegah atau ditekan.
  3. Negara harus bersifat mandiri (self-sufficient). Negara harus bertujuan pada autarki ekonomi, jika tidak demikian, para penguasa akan bergantung pada para pedagang, atau justru para penguasa itu sendiri menjadi pedagang. Alternatif pertama akan melemahkan kekuasaan mereka, sedangkan alternatif kedua akan melemahkan persatuan kelas penguasa dan stabilitas negaranya. 

Untuk mewujudkan keadilan masyarakat harus dikembalikan pada struktur aslinya, domba menjadi domba, penggembala menjadi penggembala. Tugas ini adalah tugas negara untuk menghentikan perubahan. Dengan demikian keadilan bukan mengenai hubungan antara individu melainkan hubungan individu dan negara. Bagaimana individu melayani negara.
Keadilan juga dipahami secara metafisis keberadaannya sebagai kualitas atau fungsi smakhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia. Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia lain, di luar pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga. Oleh karena inilah Plato mengungkapkan bahwa yang memimpin negara seharusnya manusia super, yaitu the king of philosopher. Sedangkan Aristoteles adalah peletak dasar rasionalitas dan empirisme. Pemikirannya tentang keadilan diuraikan dalam bukunya yang berjudul Nicomachean Ethics. Buku ini secara keselurahan membahas aspek-aspek dasar hubungan antar manusia yang meliputi masalah-masalah hukum, keadilan, persamaan, solidaritas perkawanan, dan kebahagiaan.

Keadilan Dalam Arti Umum
Keadilan sering diartikan sebagai ssuatu sikap dan karakter. Sikap dan karakter yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan.
Pembentukan sikap dan karakter berasal dari pengamatan terhadap obyek tertentu yang bersisi ganda. Hal ini bisa berlaku dua dalil, yaitu;
  1. jika kondisi “baik” diketahui, maka kondisi buruk juga diketahui;
  2. kondisi “baik” diketahui dari sesuatu yang berada dalam kondisi “baik”
Untuk mengetahui apa itu keadilan dan ketidakadilan dengan jernih, diperlukan pengetahuan yang jernih tentang salah satu sisinya untuk menentukan secara jernih pula sisi yang lain. Jika satu sisi ambigu, maka sisi yang lain juga ambigu.
Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair (unfair), maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan fair. Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka semua tindakan pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil.
Dengan demikian keadilan bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial. Keadilan yang lengkap bukan hanya mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga kebahagian orang lain. Keadilan yang dimaknai sebagai tindakan pemenuhan kebahagiaan diri sendiri dan orang lain, adalah keadilan sebagai sebuah nilai-nilai. Keadilan dan tata nilai dalam hal ini adalah sama tetapi memiliki esensi yang berbeda. Sebagai hubungan seseorang dengan orang lain adalah keadilan, namun sebagai suatu sikap khusus tanpa kualifikasi adalah nilai. Ketidakadilan dalam hubungan sosial terkait erat dengan keserakahan sebagai ciri utama tindakan yang tidak fair.
Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas, bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dedengan hukum sebagai salah satu tata nilai sosial. Suatu kejahatan yang dilakukan adalah suatu kesalahan. Namun apabila hal tersebut bukan merupakan keserakahan tidak bisa disebut menimbulkan ketidakadilan. Sebaliknya suatu tindakan yang bukan merupakan kejahatan dapat menimbulkan ketidak adilan.

Keadilan Dalam Arti Khusus
Keadilan dalam arti khusus terkait dengan beberapa pengertian berikut ini, yaitu:
a.   Sesuatu yang terwujud dalam pembagian penghargaan atau uang atau hal lainnya kepada mereka yang memiliki bagian haknya.
Keadilan ini adalah persamaan diantara anggota masyarakat dalam suatu tindakan bersama-sama. Persamaan adalah suatu titik yang terletak diantara “yang lebih” dan “yang kurang” (intermediate). Jadi keadilan adalah titik tengan atau suatu persamaan relatif (arithmetical justice). Dasar persamaan antara anggota masyarakat sangat tergantung pada sistem yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dalam sistem demokrasi, landasan persamaan untuk memperoleh titik tengah adalah kebebasan manusia yang sederajat sejak kelahirannya. Dalam sistem oligarki dasar persamaannya adalah tingkat kesejahteraan atau kehormatan saat kelahiran. Sedangkan dalam sistem aristokrasi dasar persamaannya adalah keistimewaan (excellent). Dasar yang berbeda tersebut menjadikan keadilan lebih pada makna persamaan sebagai proporsi. Ini adalah satu spesies khusus dari keadilan, yaitu titik tengah (intermediate) dan proporsi.

b.    Perbaikan suatu bagian dalam transaksi.

Arti khusus lain dari keadilan adalah sebagai perbaikan (rectification). Perbaikan muncul karena adanya hubungan antara orang dengan orang yang dilakukan secara sukarela. Hubungan tersebut adalah sebuah keadilan apabila masing-masing memperoleh bagian sampai titik tengah (intermediate), atau suatu persamaan berdasarkan prinsip timbal balik (reciprocity). Jadi keadilan adalah persamaan, dus ketidakadilan adalah ketidaksamaan. Ketidakadilan terjadi jika satu orang memperoleh lebih dari yang lainnya dalam hubungan yang dibuat secara sederajat.
Untuk menyamakan hal tersebut hakim atau mediator melakukan tugasnya menyamakan dengan mengambil sebagian dari yang lebih dan memberikan kepada yang kurang sehingga mencapai titik tengah. Tindakan hakim ini dilakukan sebagai sebuah hukuman.
Hal ini berbeda apabila hubungan terjalin bukan atas dasar kesukarelaan masing-masing pihak. Dalam hubungan yang tidak didasari ketidaksukarelaan berlaku keadilan korektif yang memutuskan titik tengah sebagai sebuah proporsi dari yang memperoleh keuntungan dan yang kehilangan. Tindakan koreksi tidak dilakukan dengan semata-mata mengambil keuntungan yang diperoleh satu pihak diberikan kepada pihak lain dalam arti pembalasan. Seseorang yang melukai tidak diselesaikan dengan mengijinkan orang yang dilukai untuk melukai balik Timbal balik dalam konteks ini dilakukan dengan pertukaran atas nilai tertentu sehingga mencapai taraf proporsi. Untuk kepentingan pertukaran inilah digunakan uang. Keadilan dalam hal ini adalah titik tengah antara tindakan tidak adil dan diperlakukan tidak adil.
Keadilan dan ketidakadilan selalui dilakukan atas kesukarelaan. Kesukarelaan tersebut meliputi sikap dan perbuatan. Pada saat orang melakukan tindakan secara tidak sukarela, maka tindakan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tidak adil ataupun adil, kecuali dalam beberapa cara khusus. Melakukan tindakan yang dapat dikategorikan adil harus ada ruang untuk memilih sebagai tempat pertimbangan. Sehingga dalam hubungan antara manusia ada beberapa aspek untuk menilai tindakan tersebut yaitu, niat, tindakan, alat, dan hasil akhirnya. Ketika (1) kecideraan berlawanan deengan harapan rasional, adalah sebuah kesalahansasaran (misadventure), (2) ketika hal itu tidak bertentangan dengan harapan rasional, tetapi tidak menyebabkan tindak kejahatan, itu adalah sebuah kesalahan. (3) Ketika tindakan dengan pengetahuan tetapi tanpa pertimbangan, adalah tindakan ketidakadilan, dan (4) seseorang yang bertindak atas dasar pilihan, dia adalah orang yang tidak adil dan orang yang jahat.
Melakukan tindakan yang tidak adil adalah tidak sama dengan melakukan sesuatu dengan cara yang tidak adil. Tidak mungkin diperlakukan secara tidak adil apabila orang lain tidak melakukan sesuatu secara tidak adil. Mungkin seseorang rela menderita karena ketidakadilan, tetapi tidak ada seorangpun yang berharap diperlakukan secara tidak adil.
Dengan demikian memiliki makna yang cukup luas, sebagian merupakan keadilan yang telah ditentukan oleh alam, sebagian merupakan hasil ketetapan manusia (keadilan hukum). Keadilan alam berlaku universal, sedangkan keadilan yang ditetapkan manusia tisak sama di setiap tempat. Keadilan yang ditetapkan oleh manusia inilah yang disebut dengan nilai.
Akibat adanya ketidak samaan ini maka ada perbedaan kelas antara keadilan universal dan keadilan hukum yang memungkinkan pembenaran keadilan hukum. Bisa jadi semua hukum adalah universal, tetapi dalam waktu tertentu tidak mungkin untuk membuat suatu pernyataan universal yang harus benar.  Adalah sangat penting untuk berbicara secara universal, tetapi tidak mungkin melakukan sesuatu selalu benar karena hukum dalam kasus-kasus tertentu tidak terhindarkan dari kekeliruan. Saat suatu hukum memuat hal yang universal, namun kemudian suatu kasus muncul dan tidak tercantum dalam hukum tersebut. Karena itulah persamaan dan keadilan alam memperbaiki kesalahan tersebut.

Keadilan sosial
Keadilan hukum berbicara tentang penghukuman pelaku kejahatan. Keadilan sosial berbicara tentang kesejahteraan seluruh rakyat dalam negara merdeka. Keadilan yang bisa diperoleh melalui pengadilan formal di mana saja disebut “keadilan hukum.” Keadilan hukum itu cukup sederhana, yaitu apa yang sesuai dengan hukum dianggap adil sedang yang melanggar hukum dianggap tidak adil. Jika terjadi pelanggaran hukum, maka harus dilakukan pengadilan untuk memulihkan keadilan. Dalam hal terjadinya pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut “kejahatan” maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan pelanggaran pidana atau kejahatan tersebut.
Dengan demikian, keadilan hukum itu sangat sempit dan memiliki kelemahan. Misalnya, untuk kejahatan-kejahatan berat  jika yang ditegakkan keadilan hukum saja, yang terjadi hanyalah para pelaku di hadapkan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Misalnya orang-orang yang paling bertanggungjawab akan dihukum seumur hidup, pelaksana di lapangan sepuluh tahun, dan sebagainya. Tetapi keadaan para korban akan tetap saja. Orang-orang yang diperkosa tetap dalam penderitaan batin.
Mungkin karena menyadari kelemahan tersebut, ada upaya pemikiran dalam keadaan tertentu mempertimbangkan kan “keadilan sosial” sebagai pengganti keadilan hukum. Padangan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa pengadilan internasional itu memakan biaya yang sangat besar. Pengertian keadilan sosial memang jauh lebih luas daripada keadilan hukum. Keadilan sosial bukan sekadar berbicara tentang keadilan dalam arti tegaknya peraturan perundang-undangan atau hukum, tetapi berbicara lebih luas tentang hak warganegara dalam sebuah negara. Keadilan sosial adalah keadaan dalam mana kekayaan dan sumberdaya suatu negara didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat. Dalam konsep ini terkadung pengertian bahwa pemerintah dibentuk oleh rakyat untuk melayani kebutuhan seluruh rakyat, dan pemerintah yang tidak memenuhi kesejahteraan warganegaranya adalah pemerintah yang gagal dan karena itu tidak adil.
Dari perspektif keadilan sosial, keadilan hukum belum tentu adil. Misalnya menurut hukum setiap orang adalah sama, tetapi jika tidak ada keadilan sosial maka ketentuan ini bisa menimbulkan ketidakadilan. Misalnya, karena asas persamaan setiap warganegara setiap orang mendapatkan pelayanan listrik dengan harga yang sama. Tetapi karena adanya sistem kelas dalam masyarakat, orang kaya yang lebih bisa menikmatinya karena ia punya uang yang cukup untuk membayar, sedangkan orang miskin tidak atau sedikit sekali menikmatinya.
Menurut keadilan sosial, setiap orang berhak atas “kebutuhan manusia yang mendasar” tanpa memandang perbedaan “buatan manusia” seperti ekonomi, kelas, ras, etnis, agama, umur, dan sebagainya. Untuk mencapai itu antara lain harus dilakukan penghapusan kemiskinan secara mendasar, pemberantasan butahuruf, pembuatan kebijakan lingkungan yang baik, dan kesamaan kesempatan bagi perkembangan pribadi dan sosial. Inilah tugas yang harus dilaksanakan pemerintah.
Apakah Indonesia memerlukan keadilan hukum atau keadilan sosial. Keadilan hukum, yaitu pengadilan dan penghukuman bagi para pelaku kejahatan di masa pendudukan militer Indonesia diperlukan agar tragedi kekerasan seperti itu tidak terulang lagi. Agar tidak ada orang atau kelompok yang melakukan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya.
Sementara, Franz Magnis Suseno mengemukakan bahwa orang yang sama sekali tidak dapat memahami apa yang dimaksud keadilan, percuma kita dekati agar ia bertindak dengan lebih adil.[i] Perlakuan dan perbuatan yang adil harus diterapkan dan dibiasakan dalam berbagai bidang kehidupan, yaitu diantaranya:

a. Berlaku dan berbuat adil dalam bidang ekonomi
1) Memberikan upah yang sama kepada setiap orang yang sama, dan memberikan upah yang berbeda kepada setiap orang yang berbeda.
2) Pembagian-pembagian yang wajar yang bertalian dengan kesejahteraan
3) Memberikan hak dan kebebasan kepada orang lain untuk memiliki sesuatu, dan untuk menjual serta membeli sesuatu.

b. Berlaku dan berbuat adil dalam bidang politik
1) memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mengemukakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan, sesuai dengan aturan yang berlaku.
2) memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang yang sama untuk menduduki suaru jabatan tertentu.
3) pengakuan kedudukan seseorang sebagai warga yang sederajat.
4) memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga yang sama untuk ikut serta dalam pemilihan umum, dan sebagainya.

c. Berlaku dan berbuat adil dalam bidang hukum
1) memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya dan harus sama untuk setiap orang dalam situasi yang sama.
2) tidak memandang seseorang yang bersalah sebelum dibuktikan di pengadilan (tidak main hakim sendiri).
3) memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mendapatkan perlindungan hukum.

c. Berlaku dan berbuat adil dalam bidang sosial budaya
1) menghormati dan menghargai sesame manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya.
2) mau mengkritik orang lain dan menerima kritikan dari orang lain.
3) tidak merugikan orang lain.
4) mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban.
5) menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan.
6) memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.
7) menghargai dalam arti tidak menganggap rendah budaya lain.

d. Berlakunya dan berbuat adil dalam bidang agama
1) memberikan kesempatan kepada orang lain untuk beribadah.
2) tidak memaksakan agama yang kita anut kepada oaring lain.
Itulah salah satu contoh Perlakuan dan Perbuatan adil atau cara bersikap dan berbuat adil dalam berbagai bidang kehidupan manusia.
Keadilan merupakan salah satu prinsip dasar moral. Prinsip ini harus dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia terutama dalam konteks dengan manusia lain.
Beliau mengemukakan bahwa ada tiga prinsip dasar moral, yaitu:
a. prinsip sikap baik
b. prinsip keadilan
c. prinsip hormat terhadap diri sendiri
Berdasarkan hal-hal tersebut terdapat makna berlaku dan berbuat adil terhadap sesama manusia, diantaranya sebagai berikut:
a. menghormati hak yang dimiliki orang lain
b. menjunjung tinggi kehidupan sosial
e. berlaku dan berbuat manusiawi (dalam arti menghargai harkat dan martabat manusia)
c. menegakkan kebenaran
d. tidak berat sebelah/tidak memihak
f. akan melahirkan perdamaian dan ketertiban (menjauhkan diri dari pertentangan dan perselisihan)
g. kita akan diperlakukan adil oleh orang lain
h. melaksanakan salah satu prinsip dasar moral
j. ibadah (menjalankan perintah Allah)

Spirit Perjuangan Penegakkan Keadilan
1. Berani Karena Benar
                 Untuk menentukan benar tidaknya suatu perbuatan harus ada tolok ukur atau ukuran tentang kebenaran. Ketiadaan tolok ukur atau ukuran tentang kebenaran akan mengakibatkan kesimpangsiuran yang pada akhirnya akan melahirkan ketidakadilan dan ketidaktentraman. Bagi bangsa Indonesia yang dijadikan tolok ukur kebenaran adalah pandangan hidup dan dasar negara Pancasila. Karena Pancasila oleh bangsa Indonesia dijadikan sebagai sumber nilai atau sebagai Central Value dari berbagai nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia.
                 Sikap dan perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila merupakan sikap dan perbuatan yang tidak benar dan tidak dibenarkan oleh masyarakat bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu bersikap dan berbuat benar merupakan salah satu bentuk pengalaman nilai-nilai Pancasila dan juga agama.[ii] Sikap dan perbuatan yang benar menurut Pancasila yaitu sikap dan perbuatan yang berdasarkan 36 butir Pancasila beserta nilai-nilai yang tesirat di dalamnya. Ke-36 butir Pancasila tersebut yaitu:

1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa :
a. Percaya dan takwa kepada tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. Hormat mrnghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.
c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercyaannya.
d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

2. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab :
a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antar sesama manusia.
b. Saling mencintai sesama manusia
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa
d. tidak semena-mena terhadap orang lain
e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
f. Gemar melakukan  kegiatan kemanusiaan
g. Berani membela kebenaran dan keadilan
h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karerna itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

3. Sila Persatuan Indonesia :
a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan bangsa dan negara.
b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara
c. Cinta tanah air dan bangsa
d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air
e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang berBhineka Tunggal Ika

4. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan :
a. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat
b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain
c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama
d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan
e. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah
f.  Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani  yang luhur
g. Keputusan yang diambil dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan YME, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan

5. Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia :
a. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan
b. Bersikap adil
c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban
d. Menghormati hak-hak orang lain
e. Suka memberi pertolongan terhadap orang lain
f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain
g. Tidak bersikap boros
h. Tidak bergaya hidup mewah
i. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum
j. Suka bekerja keras
k. Menghargai hasil karya orang lain

l. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial
Sebagai insan Pancasila (juga insan religius) bersikap dan berbuat benar merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan secara kontinuitas. Disamping itu kita pun harus menegakkan kebenaran, menyatakan benar untuk perbuatan yang benar dan menyatakan tidak benar untuk perbuatan yang memang salah.

2. Negara dan Keadilan
Mewujudkan keadilan bukan hanya merupakan tugas perorangan, tetapi merupakan tugas dan tanggung jawab bersama antara perorangan dan negara/pemerintah.
Tujuan Pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila. Masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, kiranya dapat dibatasi sebagai masyarakat dimana:

1. Kepastian hukum dijamin dan keadilan ditegakkan
2. Tersedia bagi setiap warganya hal-hal sebagai berikut:
a. cukup sandang, pangan, dan perumahan yang layak
b. fasilitas kesehatan termasuk tenaga medis
c. kesmpatan pendidikan pada segala tingkat
d. jamunan hari tua
e. sarana perhubungan secukupnya
f. sarana komunikasi seperlunya
g. kesempatan kerja
h. kesempatan untuk menikmati dan mengembangkan kebudayaan
Masyarakat adil yang dicita-citakan dan di usahakan oleh bangsa dengan negara Indonesia adalah adil dalam berbagai bidang kehidupan manusia yang tentunya tidak terlepas dan dilandasi Pancasila, diantaranya:

1. Keadilan dalam bidang sosial ekonomi
2. Keadilan dalam bidang hukum
3. Keadilan dalam bidang politik
4. Keadilan dalam bidang agama
5. Keadilan dalam bidang pendidikan

                 Untuk mewujudkan tujuan pembangunan Nasional tersebut digunakan beberapa asas yang dapat dijadikan pegangan dalam menentukan kebijaksanaan. Salah satu asas adil dan merata. Keadilan selain merupakan tujuan pembangunan Nasional, juga merupakan asas pembangunan Nasional. Ini menunjukan betapa pentingnya keadilan, sehingga negara memandang keadilan merupakan suatu yang urgent dan selalu berusaha untuk mencapai keadilan dalam berbagai bidang. Karena pentingnya perwujudan keadilan dalam berbagai bidang, pemerintah telah mengeluarkan salah satu kebijaksanaannya yaitu tentang delapan jalur pemerataan. Semuanya itu dapat dianggap sebagai program keadilan sosial Indonesia yang cukup menyeluruh, dan semua jalur pemerataan itu penting dan harus dilaksanakan dengan baik demi terwujudnya “kesejahteraan umum” atau “masyarakat yang adil dan makmur”.

3. Pentingnya Memperjuangkan Keadilan dan Kebenaran
                 Untuk mewujudkan keadilan dapat dengan melakukan suatu tindakan yang adil atau memberantas ketidakadilan dan dapat pula dengan tidak melakukan sesuatu yang menjauhkan diri dari perbuatan yang dianggap tidak adil. Ada beberapa cara dan reaksi yang timbul dari manusia bila diperlakukan tidak adil dan tidak benar diantaranya :
-          Menyesali dan menangisi nasib dirinya
-          Mengadukan nasib dan perlakuan orang yang tidak adil/tidak benar kepada orang lain
-          Menanyakan kepada orang yang dianggap berbuat tidak adil untuk diselesaikan
-          Membalas ketidakadilan/tidak benar baik dengan fisik maupun non fisik

            Cara atau reaksi yang muncul dari seseorang akibat perlakuan yang tidak adil/tidak benar untuk menempuh penyelesaian ditegakkannya keadilan dan kebenaran merupakan perbuatan memperjuangkan keadilan dan perbuatan. Negara sebagai organisasi puncak mempunyai kewajiban untuk menegakan keadilan dan kebenaran, lebih-lebih negara kita yang mendasarkan pada keadilan sosial. Di samping itu negara/pemerintah mempunyai pengaruh paling beasr atas kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan.
            Perjuangan negara untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran dapat kita lihat dalam berbagai bidang kehidupan baik dalam kehidupan hokum, sosial, budaya, ekonomi, agama dan politik. Negara/pemerintah selalu terlibat bila dalam masyarakat terjadi tindakan ketidakadilan dan ketidakbenaran, lebih-lebih ketidakadilan sosial karena akan berakibat kemiskinan yang menimpa satu kelas atau golongan atau lapisan masyarakat yang kita kenal kemiskinan struktural. Selain negara, masyarakatpun berkewajiban untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran baik untuk kepentingan masyarakat itu sendiri yang diperlakukan tidak adil dan tidak benar maupun kepentingan masyarakat lain. Negara wajib untuk menciptakan kondisi masyarakat agar mampu berprestasi serta bertanggung jawab terhadap kemajuan dari berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
            Keterbukaan dan jaminan keadilan merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Keterbukaan( transparan) bertolak dari kejujuran dalam melaksanakan hak dan kewajiban baik sebagai warga negara ataupun sebagai pejabat Negara. Dengan keterbukaan dan jaminan keadilan, masyarakat akan lebih mudah dalam menyampaikan aspirasi dan pendapat yang membangun. Aspirasi dan pendapat itu ditampung dan diseleksi, kemudian dijadikan suatu keputusan bersama yang bermanfaat. Berbagai aspirasi yang telah menjadi keputusan bersama dapat menjadikan bangsa ini mudah mencapai suatu keadilan. Jika masyarakat suatu bangsa telah ikut berperan dan munyumbangkan aspirasi dan pendapatnya, persatuan akan lebih mudah terwujud. Hal itu dikarenakan mereka merasa mempunyai cita-cita, tujuan, dan peranan yang sama ketebukaan yang mensyaratkan kesediaan semua pihak untuk menerima kenyataan merupakan pluralitas. Selain itu, di dalamnya juga muncul perbedaan pendapat.
            Pada dasarnya kebijakan publik dan peraturan pelaksanaan yang mengikutinya memuat arahan umum serta ketentuan yang mengatur masyarakat. Sehubungan dengan itu, semua kebijaksanaan publik dan dan peraturannya membutuhkan dukungan masyarakat untuk bisa efektif. Penentangan oleh masyarakat tehadap sejumlah kebijaksanaan dan peraturan yang ada secara empirik lebih banyak dikarenakan oleh kurangnya keterlibatan publik dalam tahap kebijaksanaan. Jika hal itu dibiarkan begitu saja maka makin besar keinginan rakyat untuk selalu mengadakan pembaharuan, tetapi rakyat tidak tau arahnya sehingga mereka akan mudah kehilangan kendali dan emosianal. Rakyat cenderung ingin membentuk suatu wadah dengan kebijakan sendiri. Akibatnya, timbul konflik yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Sebaliknya, jika keterbukaan dan jaminan keadilan selalu dipupuk dan diperhatikan akan menghasilkan suatu kebijakan publik dan peratruran umum yang mengatur masyarakat dengan baik.[iii]
            Kemudian bahwa nilai-nilai persatuan yang dirintis oleh pemuda dan para pahlawan pejuang bangsa yang terkandung dalam sumpah pemuda, kurang dikaji dan dipahami dalam kehidupan sehari-hari oleh seluruh bangsa dan oleh setiap warga Negara. Nilai-nilai persatuan yang telah dirintis oleh pemuda dan pejuang bangsa semakin memudar. Sebagai akibatnya yang lebih jauh, timbul berbagai benih pemecahan dan sikap serta tindakan yang mengarah keinginan beberapa daerah Negara kesatuan Indonesia untuk melepaskan diri dari NKRI. Keberhasilan hati dan kejernihan pikiran dalam melaksanakan hak dan kewajiban dalam kehidupan sehari hari, terutama pemimpin bangsa ini, bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan, yaitu masyarakat madani.
            Misalnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat merusak kesejahteraan kehidupan bangsa yang menjadi tujuan didirikannya Negara kesatuan Republik Indonesia yang terkandung dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Menghapuskan keadilan sosial akan melahirkan ketimpangan. Kurang transparannya pelaksanaan hak dan kewajiban para pemimpin masyarakat, bangsa, dan Negara adalah penyebab utama hancurnya Negara.

4. Sikap Yang Dilakukan Untuk Mencapai Keterbukaan dan Jaminan Keadilan
Masyarakat adalah salah satu komponen yang dapat menunjang terciptanya kondisi atau iklim yang kondusif dalam rangka penegakan hukum. Tampaknya hal itu memang harus digiring dan tentunya diperhatikan contoh oleh pemimpin. Pemimpin memang harus memberi contoh dari suri tauladan yang baik, karena Negara kita ini tidak memerlukan pemimpin yang hanya bisa berteriak dan memerintah tanpa pernah sekalipun mau diperintah. Hubungan pemerintah dan rakyat harus benar-benar sasling terkait dan menyatu hendaknya jangan sampai terjadi penegakan hukum.
            Di satu sisi, masyarakat menginginkan terlaksananya penegakan hukum (supremacy of law) bukan sebaliknya. Sering tejadi antara keduanya terjadi tarik menarik yang samgat kuat sekali. Artinya,dimensi hukum di politik saling pengaruh mempengaruhi dan tidak dapat dihindari. Untuk membenahi situasi yang cenderung tidak sehat itu.maka diperlukan sosok para pemimpin yang bertanggungjawab.Memang sangatlah sulit mencari sosok yang demikian itu. Jika kita serius melakukan penyeleksian maka hasil yang baik itu akan diperoleh. Salah atu cara yang efektif adalah membenahi dan memperbaiki sistem yang sudah ada, tetapi yang dalam proses rekrutmen calon pemimpinnya.Diantara sistem juri yang sudah banyak diterapkan adalah uji kelayakan (fit and proper test) memperhatikan pendidikan formal.
            Untuk memperbaiki sistem hukum dan peradilan, masih diperlukan waktu dan perjuangan extra, karena kondisi saat ini masih memprihatinkan, dimana pengadilan sebagai tempat untuk menemukan keadilan belum mencapai tujuannya, yaitu memberi rasa keadilan kepada rakyat. Untuk memangku amanah teguhnya supremasi hukum yang didambakan diperlukan pemimpin yang mampu serta mengerti seluk beluk dunia hukum dan pengadilan. Untuk itu ,wakil rakyat mengingatkan semua kandidat ketua mahkamah agung harus lulus fit and proper test agar dikemudian hari tidak muncul istilah” membeli kucing dalam karung.” Selain itu, kandidat haruslah seseorang yang intelektual, bisa bermasyarakat dan berakhlak yang baik.
            Selain keterbukaan dalam hidup berbangsa dan bernegara, tidak kalah pentingnya adalah menciptakan keadilan. Persatuan bangsa dan keutuhan negara hanya akan terwujud jika tedapat keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Keadilan merupakan unsur yang sangat esential dalam kehidupan manusia. Semua orang berharap mendapatkan jaminan dan rasa keadilan.
            Dalam kehidupan sekarang, musuh terbesar bangsa adalah ketidakadilan. Ketidakadilan dapat menciptakan kecemburuan, kesenjangan, pertentangan dan disintegerasi bangsa. Jika kita amati lebih jauh keadaan negara kita ini, pertentangan antar suku bangsa dalam perpecahan wilayah bersumber dari ketidakadilan. Karena diperlakukan tidak adil, antara anak bangsa dapat bertikai dan antar golongan saling berseteru. Dengan demikian, keadilan adalah prasyarat bagi terwujudnya persatuan bangsa dan keutuhan negara.

5. Upaya          Peningkatan     Jaminan           Keadilan
Keterbukaan atau sikap terbuka merupakan pertanda adanya hidayah dari Tuhan bahwa manusia itu harus senantiasa bersedia mendengarkan dan menerima pendapat ornaglain dan kemudian memeriksa, menganalisis pendapat orang lain itu, mana yang baik sudah selayaknya dapat kita ambil dan diikuti, dan tidak baik atau tidak sesuai dengan norma kehidupan dalam masyarakat kita tinggalkan. Tentunya kita berpedoman pada ajaran dasar/pokok manusia sebagai makhluk Tuhan. Orang yang beriman harus mempunyai wawasan yang mendalam sesuai dengan hati nurani manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan.Pemimpin masyarakat harus mau dan mampu untuk menerima dan melaksanakan pendapat orang lain yang baik dan bermanfaat. Kita menyadari bahwa manusia banyak kelemahan dan kekurangan., apalagi sebagai pemimpin yang baik yang diharapkan oleh orang banyak dalam masyarakat.
            Sikap dan sifat ketertutupan adalah pertanda kelemahan dan kesesatan yang menganggap diri sempurna serta tidak dapat menerima pendapat orang lain , betapapun benar dan berbahaya pendapat itu, hal itu merupakan satu cara untuk mrnutupi kelemahan yang terdapat dalam diri kita sendiri. Jika sifat dan sikap keterbukaan ini kita terapkan dalam kehidupan bermasyarakat ,berbangsa dan bernegara, maka kita tidak perlu khawatir untuk menyampaikan kebenaran karena adanya jaminan hukum bahwa yang benar itu adalah benar walaupun pahit untuk diterima pemimpin atau pemuka masyarakat harus mau dan mampu untuk memberikan contoh  walaupun yang berbuat tidak baik dan tidak benar itu adalah diri sendiri.
            Hal ini mencerminkan adanya jaminan hukum dan jaminan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Apabila hal ini dapat kita tumbuhkembangkan, terhadap tumbuhnya masyarakat yang madani. Jadi, jelas bagi kita, apabila kita mampu menyadari bahwa makhluk ciptaan Tuhan maka masing-masing mempunyai kelemahan dan kelebihan. Kita bersedia untuk memberi dan menerima pikiran dan perasaan serta pendapat orang lain.Hal ini hendaknya tampil dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.
            Tentunya tidak lepas dari adanya jaminan hukum dan keadilan. Terutama dari aparat penegak hukum itu sendiri., bukan jaminan hukum dan keadilan orang/golongan kelompok tertentu saja. Kita semua sebagai makhluk ciptaannya dapat dan mampu berpartisipasi dalam upaya peningkatan jaminan hukum dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai warga Negara kesatuan Republik Indonesia.


Daftar Pustaka
Aristoteles. “Nicomachean Ethics”. Transalated by: W. D.  Ross. http://bocc.ubi.pt/ pag/Aristoteles-nicomachaen.html.
Beilharz, Peter. Ed. Teori-Teori Sosial. (Social Theory: A Guide to Central Thinkers). Diterjemahkan oleh: Sigit Jatmiko. Cetakan I. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2002.
Chand, Hari. Modern Jurisprudence. Kuala Lumpur. International Law Book Services. 1994.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 1995.
Friedmann, W. Teori Dan Filsafat Hukum. (Legal Theory). Diterjemahkan oleh: Mohamad Arifin. Susunan I. Cetakan II. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 1993.
 Gergen, Mark P. “What Renders Enrichment Unjust,e June 2001. SOURCE. Texas Law Review;Jun2001, Vol. 79 Issue 7, p1927.
Hart, H.L.A. .The Concept Of Law. Tenth Impression. London. Oxford University Press. 1961.
Kelsen, Hans. Introduction To The Problems Of Legal Theory. (Reine Rechtslehre). First Edition. Translated by: Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson. Oxford. Clarendon Press Oxford. 1996.
Munandar Soelaeman,  TEORI DAN KONSEP ILMU SOSIAL, edisi revisi, PT Eresco Bandung, 1989.
Neurath, R. Rawls’s “A Theory of Justice”. (London: Oxford University Press, 1973).
Noer, Deliar. Pemikiran Politik Di Negeri Barat. Edisi Revisi. Cetakan II. Jakarta. Pustaka Mizan. 1997.
Pengantar Filsafat Politik Kontemporer; Kajian Khusus Atas. Teori-Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Popper, Karl R. Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya. (Open Society and Its Enemies). Diterjemahkan oleh:Uzair Fauzan. Cetakan I. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2002.
Plato. The Republic. “Translated by: Benjamin Jowett”. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Brown, Gillian, dkk. ... Plato. 360 BC. Cratylus (translated by Benjamin Jowett). Putnam, Hillary. 1981
Prasetyo, Teori. Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Santoso, LH, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Surabaya: Pustaka Agung Harapan,2007
Vaggalis, Ted and Drury College. “John Rawls’s Political Liberalism”.  Academic Dialogue on Applied Ethics. 1994. Drury College. 4 May 2007.

Keterangan : Arsip Tulisan Lawas





[i] Frans, Magnis Suseno. 1985. “ Etika Dasar “ . Yogyakarta: Kanisius. Gunawan, Jiwanto. 1985.
[ii] Al Andang et.al. “Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia”, Penerbit Buku Kompas, 2004
[iii]Mohamad Arifin, Teori Dan Filsafat Hukum.  Cetakan II. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 1993.