Kekacauan Sistem Norma Hukum dan Upaya Penanggulangannya
Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga
Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
Pengantar
Pada
era modern dan demokrasi yang terus memungkinkan terciptanya ruang kebebasan
bagi warga negara ternyata pada perkembangannya tidak serta-merta perubahan
yang dikehendaki ini kemudian menghasilkan suatu cara kerja negara dalam
memperkuat sistem norma hukum, norma etika sosial, maupun norma agama yang
saling melengkapi dan menopang satu sama lain, melainkan dampak dari kebebasan
yang berlebihan ini telah menimbulkan berbagai kekacauan dan ketimpangan sistem
dalam bernegara.
Praktik
korupsi di Indonesia hampir terjadi di semua lini kehidupan bernegara. Korupsi
menghancurkan sistem kehidupan sosial masyarakat. Praktik korupsi tidak hanya
menjadi budaya aji mumpung di kalangan birokrasi pemerintah tetapi telah
menjadi penyakit sosial yang menggurita. Korupsi sangat mengganggu penegakan
keadilan karena institusi-institusi dan aparatur penegak hukum dalam praktiknya
tidak menegakkan hukum berdasarkan prinsip-prinsip keadilan.
Survei
terbaru dilakukan oleh World Justice Project yang berkedudukan di Amerika Serikat
ini misalnya, dalam penegakan hukum dan korupsi di 65 negara, Indonesia
termasuk negara yang kategori tingkat korupsi yang tinggi. Indonesia menempati
posisi bawah baik secara regional dan global. Dalam ketiadaan korupsi,
Indonesia berada pada skor 0,50. Filipina pada nilai 0,57 dan Singapura
merupakan negara paling bersih di kawasan Asia Tenggara dengan skor 0,91.
Malaysia berada pada skor 0,64 dan Thailand 0,61. Survei World Justice Project
2011 Rule of Law ini menggunakan skor satu adalah yang tertinggi dan skor nol
merupakan angka paling jelek.[1]
Praktik korupsi mengancam agenda pembangunan moralitas bangsa dalam kehidupan
bernegara. Korupsi juga telah merusak sendi-sendi kehidupan dalam bernegara.
Survei
ini memasukan Indonesia dalam kawasan Asia Timur-Pasifik, Indonesia bersama
dengan Jepang, Singapura, Korea Selatan, Thailand, Vietnam dan lain-lainnya.
Negara-negara maju seperti Jepang, Australia, Singapura dan Korea Selatan
memiliki angka tinggi pada semua dimensi, sedangkan negara berkembang termasuk
Indonesia, Filipina dan Thailand mempunyai angka rendah hampir di semua dimensi
penegakan hukum.
Berbagai
usaha menuju perbaikan seperti penguatan etika kehidupan berbangsa telah
dilakukan, perubahan-perubahan tidak hanya disuarakan tetapi dituangkan secara
tertulis dalam aturan norma hukum, norma etika dan norma agama, namun hasilnya
yang dirasakan di tingkat lapangan masih nihil. Tidak kuatnya kesadaran
masyarakat mentaati norma agama, dan lemahnya norma hukum serta norma etika
turut menyebabkan kekacauan sistem etika dalam kehidupan bernegara. Norma
agama, norma hukum, dan norma etika semakin diabaikan. Norma agama, norma
hukum, dan norma etika tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya. Akibatnya,
masyarakat semakin hedonis dan tidak saling peduli satu sama lain. Dengan
demikian, pertanyaan yang muncul ialah di mana peran negara dalam mengatasi
kekacauan sistem norma tersebut?
Dalam kenyataan, kekacauan sistem norma telah
menyebabkan kerusakan tatanan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bernegara.
Oleh sebab itu, kerusakan tatanan nilai sosial ini harus cepat dicarikan jalan
keluar. Mencari konvergensi atas kekacauan sistem norma agama, norma hukum, dan
norma etika. Bagaimana agar sistem norma agama, norma hukum, dan norma etika
bisa bekerja secara komplementer agar kekacauan tatanan nilai sosial bisa
diatasi. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa agama bisa membantu memberantas
korupsi, dengan catatan metode yang dipakai itu benar. Seringkali agama
menggunakan cara yang salah. Kita mulai dengan fakta tentang statistik
negara-negara korup dan bersih di dunia.
Hukum
dan penjara pada kenyataan bukan menjadi satu-satunya aspek penyelesaian suatu permasalahan
yang timbul. Banyak penjara di Indonesia mengalami over capacity, akibatnya, penjara memunculkan banyak masalah baru,
bahkan penjara banyak dalam praktik difungsikan menjadi school of criminal. Kapasitas penjara membuat napi berpotensi
menimbulkan kekacauan termasuk praktik kejahatan peredaran narkoba. Peredaran
narkoba dilakukan sebagian napi dikarenakan fungsi penjara tidak dapat bekerja
sebagaimana mestinya. Penghuni penjara menggunakan kekerasan menghadapi suatu
masalah. Perkelahian, pertikaian dan konflik antar sesama disebabkan fasilitas
pelayanan tidak maksimal sebagaimana layaknya penjara. Implikasi negatif dari
penjara over capacity yakni,
perusakan penjara yang meningkat dengan pembakaran dilakukan orang tidak
bertanggungjawab dengan terget melarikan diri. Pada 2013 terjadi kerusuhan di
Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan, Sumatera Utara dikarenakan
kapasitas penjara yang tidak sesuai standar. Penjara yang menampung lebih dari
angka 900 persen.
Data
terbaru dari Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Ham RI misalnya, dari catatan terakhir tanggal
18 Juli 2013 jumlah penghuni napi di lokasi-lokasi telah melebih kapasitas
sekitar 500 persen. Dari berbagai sumber yang dihimpun setidaknya ada 5 penjara
yang mengalami over capacity yakni,
(1) Rutan Bagan Siapi-api Riau. Jumlah penghuni sebanyak 593 dengan kapasitas
hanya 66 orang saja. Artinya melebihi kapasitas hingga 898 persen; (2) Lapas
Banjarmasin Kalimantan Selatan, kapasitas penjara lebih besar daripada rutan
Bagan Siapi-api yakni 366 orang dan dihuni oleh 2.427 napi sehingga kelebihan
663 persen; (3) Lapas Bengkalis Riau, lapas ini dihuni 945 napi dengan
kapasitas penjara 174 orang sehingga over capacity 543 persen; (4) Lapas Anak
Martapura Kalimantan Selatan. Penjara ini didesain khusus untuk anak-anak
dengan kapasitas 180 tetapi faktanya dihuni 953 anak sehingga kelebihan 529
persen; dan (5) Lapas Jambi. Lapas ini dengan kapasitas 218 dan dihuni 1.118
narapidana, akibatnya kelebihan kapasitas hingga 510 persen.
Gejala
ini menunjukkan bahwa tingkat penanganan kejahatan sangat memprihatinkan. Oleh
sebab itu, pemahaman penyelesaian persoalan bangsa tidak hanya mengandalkan
penjara sebagai satu-satunya solusi. Penjara dan hukum tidak mengalami kemajuan
berarti dalam penyelesaian kasus. Maka paradigma penyelesaian permasalahan
sudah saatnya ditingkatkan menjadi pendekatan norma etika kehidupan berbangsa.
Etika harus dipahami sebagai sebuah metode yang efektif dalam penanganan kasus
karena hukum tidak lagi efektif.
Kemajuan ilmu dan teknologi tidak diimbangi
dengan peningkatan pemahaman orang pada nilai-nilai moral memicu tindakan tidak
berdasarkan aturan norma yang berlaku. Akibatnya, kejahatan dan perilaku
kriminal bermotif ekonomi, hukum, sosial politik, dan budaya terus meningkat.
Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi hampir di berbagai negara
belahan dunia. Penjara-penjara penuh karena semakin banyak perilaku manusia
menyimpang dari norma-norma agama, norma hukum dan norma etika.
Norma Hukum
Dalam memahami masalah norma hukum yang berlaku
ataupun yang umum diterapkan dalam sistem kehidupan sosial masyarakat, terlebih
dahulu yang dipahami adalah penafsiran norma terhadap suatu objek melalui
perilaku manusia itu sendiri dalam konteks masyarakat hukum. Selain memahami
penafsiran-penafsiran norma terhadap sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan
sosial bernegara juga yang harus menjadi landasan pemahaman atas interpretasi
norma tersebut yakni, dari pemahaman mengenai ilmu hukum karena perilaku manusia
merupakan pengejawantahan dari konteks norma hukum. Artinya, peranan ilmu hukum
menjadi legitimasi atas interpretasi perilaku manusia menjadi hal mendasar
dalam kehidupan bernegara.
Norma hukum dapat diterapkan tidak hanya dalam
arti dilaksanakan oleh organ atau dipatuhi oleh subyeknya, tetapi juga dalam
arti membentuk dasar bagi suatu penilaian spesifik untuk mengkualifikasikan
perbuatan organ, atau subyek sebagai lawful
atau unlawful. Suatu tindakan
dikualifikasikan sebagai perbuatan tertentu menurut norma, seperti tindakan
penghilangan nyawa dikualifikasikan sebagai pembunuhan. Ini adalah penilaian
spesifik tindakan (scheme of
interpretation).[2]
Hukum mengatur pembentukannya sendiri karena
norma hukum menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum yang lain, dan
sampai derajat tertentu. Maka validitas norma hukum lantaran dibuat menurut
cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya. Norma hukum lainnya ini
adalah landasan validitas norma hukum yang disebut pertama.[3]
Dengan kata lain konstitusi adalah sumber hukum utama dalam membentuk
undang-undang dan undang-undang merupakan preseden bagi peraturan
perundang-undangan yang berada di bawahnya, demikianlah seterusnya.
Ilmu hukum menjelaskan norma-norma hukum yang
menggambarkan semua aktivitas sosial manusia dalam kehidupan sosial
bermasyarakat dan bernegara. Perilaku manusia dalam kehidupan sosial bernegara
yang menunjukan memenuhi standar maupun kriteria peraturan dan
perundang-undangan yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Tindakan manusia
hendaknya mengikuti aturan-aturan baik normatif maupun empiris, yang menjadi konsensus dalam bernegara. Maka dalam
perspektif ini, tindakan dan perilaku manusia harus memperlihatkan adanya ketaatan
terhadap norma hukum. Akan tetapi yang perlu dijelaskan di sini adalah
pemahaman mengenai kalimat-kalimat yang digunakan ilmu hukum dalam menjelaskan
norma-norma serta relasinya sebagai aturan hukum yang mesti dibedakan dari
norma hukum yang merupakan hasil produk manusia melalui otoritas hukum sehingga
dalam praktik peraturan dan perundang-undangan akan dengan mudah diketahui
perilaku manusia tadi apakah mereka patuh atau tidak pada aturan hukum yang
dibuat oleh mereka sendiri.
Namun norma yang diberlakukan oleh otoritas
hukum (yang menetapkan konpensasi atas kerugian dan eksekusi perdata atas
perbuatan ingkar tersebut) tidak bisa dinyatakan benar atau salah, karena ini
bukanlah penegasan tentang suatu fakta, bukan pula penjabaran tentang sebuah
obyek, melainkan sebuah penerapan, dan dengan demikian ini merupakan obyek yang
mesti dijelaskan oleh ilmu hukum. Norma yang dibuat oleh legislator (yang
menetapkan eksekusi kepada orang yang mengingkari janji perkawinan dan tidak
mau memberikan ganti rugi), dan pernyataan yang dibuat oleh ilmu hukum dan
menjelaskan norma ini (eksekusi itu harus dilakukan terhadap orang yang
mengingkari janji perkawinannya dan tidak memberi kompensasi atas kerugian yang
ia timbulkan)–ungkapan-ungkapan ini berbeda secara logika.[4]
Aturan hukum yang dirumuskan oleh ilmu hukum
bukanlah pengulangan sederhana dari norma hukum yang diciptakan oleh otoritas
hukum. meski begitu, keberatan terhadap pernyataan bahwa aturan hukum tidaklah
berguna bukanlah suatu bantahan yang tanpa dasar, seperti halnya pendapat bahwa
ilmu alam itu tidak berguna di sisi alam, karena alam tidak mengejawantahkan
diri dalam kata-kata lisan dan tertulis, seperti yang terjadi pada hukum. Norma
hukum adalah bentuk dari pengejawantahan yang memerintahkan, menetapkan, dan
memberi izin serta wewenang bahwa sanksi terhadap setiap orang yang tidak taat
aturan atau melanggar hukum itu diberikan.[5]
Obyek ilmu hukum adalah norma hukum dan
karenanya nilai-nilai hukum juga dibentuk oleh norma-norma ini, namun aturan
hukum itu, seperti halnya hukum alam dari ilmu alam, merupakan uraian yang
bebas nilai mengenai obyeknya. Artinya, uraian tersebut tidak memiliki kaitan
dengan nilai meta-hukum dan tidak mengimplikasikan kesetujuan atau
ketidaksetujuan emosional. Norma yang merupakan nilai hukum harus dibedakan
dari norma-norma yang digunakan untuk mengevaluasi pembuatann hukum. Karena
aturan hukum dalam pengertian deskriptif, seperti halnya hukum alam (dan ilmu
alam) menjelaskan hubungan fungsi, ia juga bisa disebut hukum perundangan
(yakni hukum dalam pengertian resmi, atau yang dalam bahasa Jermannya Rechtsgesetz), yang memiliki persamaan
dengan hukum alam. Norma hukum kendati disebut sebagai hukum manakala ia
memiliki karakter umum–bukanlah hukum dalam pengertian yang senada dengan hukum
alam, karena ia bukanlah pernyataan tegas yang menjelaskan hubungan fungsi.
Norma hukum sama sekali bukan penegasan, melainkan makna dari suatu tindakan
yang melandasi ditetapkannya sesuatu yang terlebih dahulu menetapkan hubungan
fungsi antara fakta–suatu hubungan yang dijelaskan oleh aturan hukum, hukum
perundang-undangan.[6]
Maka produk suatu hukum dan perundang-undangan
yang dikeluarkan baik di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif
semestinya selalu mencerminkan nilai-nilai kepatutan yang berlaku di
masyarakat. Tetapi peraturan dan perundang-undangan yang dihasilkan hanya
memenuhi keinginan ataupun kepentingan sebagian masyarakat yang merupakan
bagian dari proses politik yang dilakukan elit maka aturan norma tersebut yang
ditetapkan tetap diberlakukan secara umum namun norma hukum seperti ini tidak
mencerminkan keadilan sosial secara menyeluruh.
Sebuah analisis dari proses konstitusional yang
menjadi dasar terciptanya sebuah undang-undang memperlihatkan bahwa tindakan
penciptaan sebuah hukum yang mengikat sekalipun sama sekali tidak perlu
mewakili kehendak apapun terhadap perilaku yang dituntut oleh undang-undang.
Undang-undang tersebut dibuat ketika mayoritas dari para legislator telah
memberi suara kepada sebuah rancangan undang-undang yang disampaikan kepada
mereka. Konten dari undang-undang tersebut bukanlah “kehendak” dari para
legislator yang memberi suara yang menentang rancangan undang-undang tersebut;
kehendak mereka justru mengekspresikan yang sebaliknya. Namun ekspresi kehendak
mereka sama sesensialnya bagi eksistensi undang-undang tersebut seperti
ekspresi kehendak dari para anggota yang memberi suara pada undang-undang itu.[7]
Hukum bisa diistilahkan sebagai perintah yang
“didepsikologisasikan.” Hal ini sebagaimana muncul dalam pertanyaan Kelsen
mengenai manusia “harus” membuat dirinya bertingkah laku menurut hukum.
disinilah letak pentingnya konsep tentang “yang harus,” di sini terlihat
pentingnya konsep norma. Sebuah norma adalah sebuah peraturan yang menyatakan
bahwa seorang individu harus berperilaku dengan cara tertentu, tetapi tidak
menegaskan bahwa perilaku semacam itu merupakan kehendak aktual dari seseorang.[8]
Teori dan
Praktik Norma Hukum
Norma secara teoritis merupakan bentuk dari
tindakan dan perilaku manusia secara individu maupun kolektif yang mengandung
makna hukum yang sebenarnya juga selalu berkaitan dengan suatu sistem hukum
dari yang lain atau semacam tata nilai dalam kehidupan sosial di komunitas
tertentu yang mengandung makna norma juga. Sebuah fakta material adalah bukan
semata-mata dijadikan sebagai argumentasi pembunuhan tetapi realisasi dari
hukuman mati adalah kualitas penanganan dan penyelesaian kasus yang secara
logika sangat sulit dimengerti. Hal ini karena boleh jadi suatu peristiwa
muncul disebabkan oleh tindakan intelek yakni, berupa konfrontasi dengan
undang-undang yang termasuk mengandung unsur kriminal maupun metode dan
prosedurnya pun bermuatan makna kriminal.[9]
Memahami sesuatu secara hukum bisa jadi hanya
memhami sesuatu tersebut sebagai hukum. tesis bahwa hanya norma-norma hukum
yang bisa menjadi objek kognisi hukum adalah tautologi, karena hukum tersebut,
satu-satunya objek kognisi hukum—adalah
norma, dan norma adalah kategori yang tidak bisa diaplikasikan di wilayah alam.
Penggolongan tindakan-tindakan yang terjadi di alam sebagai hukum hanya
menyatakan keabsahan norma yang muatannya sesuai hal tertentu dengan keabsahan
peristiwa sebenarnya. Ketika seorang hakim menetapkan fakta material kongkret
(misalnya delik), semua kognisinya pertama kali hanya diarahkan pada sesuatu
yang ada di alam.[10] Maka
dalam memastikan suatu norma hukum tentang proses pembuktian suatu peristiwa
sangat dibutuhkan fakta yang akurat. Kebenaran fakta yang mengandung makna
norma memungkinkan terjadinya determinasi atas peristiwa dalam konteks
penyelesaian masalah dengan pendekatan hukum. Kebenaran yang menguatkan makna
norma selalu dihadapkan dengan fakta maupun data-data faktual terkait peristiwa
yang menghubungkannya dengan tindakan-tindakan manusia dalam kehidupan sosial.
Dalam percakapan ilmiah mengenai kata
“keharusan” misalnya, apakah ia mengandung makna transedental atau tidak, jelas
memerlukan kajian teoritis yang mendalam. Namun, yang paling penting dalam
pembahasan ini ialah orientasi mengenai ilmu hukum dalam sebuah konsep ilmiah
dengan memasukan hukum positif serta konsep norma atau “keharusan”. Menurut
Kelsen, “selama bukan identitas norma hukum dan norma moral yang ditekankan
berulang-ulang dalam yurisprudensi, nilai moral mutlak tidak dipersoalkan
sehingga hanya nilai relatif hukum tersebut yang jelas menentang latar belakang
ini.
Namun demikian, satu-satunya fakta bahwa
yurisprudensi tidak mengabaikan eksistensi nilai mutlak, tidak menganggap diri
kompeten untuk dipersoalkan, adalah fakta yang harus memberikan reaksi pada
konsep hukum tersebut. Jika hukum dipandang sebagai norma, sebagaimana
moralitas, dan jika makna norma hukum dijabarkan dalam ‘keharusan’, sebagaimana
makna norma moral, maka nilai mutlak yang menjadi karakteristik moralitas
melekat pada konsep norma hukum dan pada ‘keharusan’ hukum.[11]
Maka setiap keputusan yang dibuat yang merupakan muatan nilai maka norma hukum
yang menjadi pijakan pembuatan atas keputusan hukum adalah mengandung makna
norma pada ‘keharusan’. Keharusan untuk memberikan sanksi dalam bentuk putusan
merupakan tanggungjawab dan kewajiban para hakim yang secara norma hukum
positif diberikan wewenang.
Oleh sebab itu, dalam putusan hakim terkait
dengan penyelesaian suatu perkara selalu bermuatan beberapa norma yang menjadi
pemahaman masyarakat sehingga apapun keputusan yang dibuat selalu berdampak
positif dan negatif namun hal tersebut tetap dianggap sebagai konsekuensi yang
harus dilaksanakan.[12]
Dengan demikian, untuk memahami karakterisisasi dari sebuah konsep hukum
sebagai norma dan atau sebagai suatu ‘keharusan’ yang diotorisasi lewat
yurisprudensi positivis dalam praktik selalu menimbulkan interpretasi hukum
positif yang mengarah pada upaya mempertahankan unsur ideologis tertentu
sebagai doktrin politik negara.
Norma hukum dapat
dibedakan antara norma hukum fakultatif dan norma hukum imperatif. Sebagaimana sebutannya,
norma hukum imperatif merujuk pada norma hukum yang bersifat memaksa sedangkan
norma hukum fakultatif adalah merujuk pada norma hukum yang mengatur dan
norma hukum yang bersifat menambah atau melengkapi. Meski demikian, kadang
dijumpai norma hukum yang sekaligus memiliki kedua sifat tersebut, yakni
bersifaf mengatur sekaligus bersifat memaksa. Selain itu terdapat pula
pembedaan antara norma hukum yang bersifat umum dan abstrak dengan norma hukum
yang bersifat konkrit dan individual.
Perlu dipahami bahwa
norma hukum yang bersifat umum merupakan ketentuan yang bersifat abstrak. Norma
hukum yang bersifat abstrak yang dimaksudkan disini adalah ketentuan tersebut
tidak menjelaskan setiap kondisi yang mungkin terjadi di mana ketentuan
tersebut akan berlaku. Hanya menyebutkan secara umum dan dianggap dapat
diberlakukan dalam setiap kondisi di mana ketentuan tersebut dapat
diberlakukan. Ketentuan tersebut ditujukan kepada semua subyek terkait tanpa
mengaitkan atau menunjuk satu kondisi atau subyek tertentu. Ketentuan tersebut
berlaku kepada semua subyek atau bersifat umum. Norma hukum individual adalah
norma hukum yang selalu bersifat konkrit. Hal ini disebabkan karena norma hukum
individual secara tegas menunjuk subyek tertentu dan atau keadaan tertentu
dimana norma hukum tersebut harus diberlakukan. Sebagai contoh adalah klausul
perjanjian antara para pihak dalam hukum perdata.
Norma hukum sebagaimana
diuraikan di atas dalam pelaksanaannya harus mendapat pengawasan dan atau
kontrol. Setidaknya terdapat 3 cara untuk melakukan kontrol terhadap hukum,
antara lain: melalui pengawasan atau pengendalian politik, melalui pengendalian
administratif dan melalui kontrol hukum. Kontrol melalui pengawasan atau
pengendalian politik dapat dilakukan oleh lembaga politik. Di Indonesia
undang-undang dibuat oleh DPR dan Presiden. Oleh karena itu, mekanisme
kontrol politik juga dapat dilakukan melalui lembaga politik tersebut. Misalnya
dengan mengadakan legislative review
terhadap peraturan perundang-undangann yang dianggap tidak dapat diberlakukan
lagi atau mungkin perlu dilakukan perubahan terhadapnya.
Kontrol melalui
pengendalian administratif dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga administratif
yang oleh peraturan perundang-undangan tersebut diberikan kewenangan untuk
melaksanakannya. Lembaga administratif tersebut dalam pelaksanaan norma atau
aturan hukum yang dimaksud dapat mengetahui kekurangan atau kelemahannya,
sehingga dapat mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Apabila
kemudian perlu dilakukan perubahan atau revisi maka lembaga administratif
tersebut dapat mengambil langkah-langkah untuk mengajukan perubahan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini disebut executive review.
Kontrol terhadap norma
hukum biasa disebut dengan legal control atau judicial control atau judicial
review apabila mekanisme kontrol tersebut dilaksanakan melalui pengadilan.
Terdapat dua bentuk kontrol dalam model legal control ini, yakni ada yang
terpusat dan ada yang terdesentralisasi (tidak terpusat). Negara yang melakukan
legal kontrol dengan metode terpusat seperti Indonesia, di mana pengujian atas
Undang-Undang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan pengujian atas
peraturan dibawah undang-undang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Negara
melakukan legal control dengan metode
tidak terpusat memberikan kewenangan kepada seluruh badan peradilannya untuk
melakukan pengujian terhadap norma atau peraturan hukum.
Keterangan:
Arsip Tulisan Lawas
[1]http://www.antikorupsi.org/id/content/ri-%E2%80%99%E2%80%99juara%E2%80%99%E2%80%99-korupsi-asia-tenggara-menurut-survei-world-justice-project
[2] Jimly Asshiddiqie, Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hal,
45.
[3] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York,
1961, hal, 124.
[4] Hans Kelsen, Pure Theory of Law, (Berkely University
of California Press, 1978), dalam (terj.), Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni; Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif, Nusa Media, Bandung, 2008, hal, 84.
[5] Ibid.
[7] Hans Kelsen, What Justice?: Justice, Politic, and Law in the Mirror of Science, dalam
(terj.), Nurulita Yusron, Dasar-Dasar
Hukum Normatif; Prinsip-prinsip Teoritis untuk Mewujudkan Keadilan dalam Hukum
dan Politik, Nusa Media, Bandung, 2009, hal, 324.
[9] Dalam perspektif
teori hukum statis dan dinamis dan relasinya dengan hirarki norma telah dibahas
secara lebih rinci oleh Hans Kelsen dalam bukunya What is Justice? : Justice, Politic, and Law in the Mirror of Science,
yang diterbitkan oleh University of California Press: 1997), dan diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia oleh Nurulita Yusron (2009), membahas mengenai teori
hukum statis dan dinamis sekaligus hubungannya dengan hirarki norma.
Berdasarkan teori hukum murni lalu Kelsen berusaha menguraikan dengan
pendekatan teoritis, bahwa teori hukum statis harus dipadukan dengan teori
hukum dinamis, dengan suatu argumen bahwa hukum tidak selalu sejalan dengan
sistem norma. Maka norma sesungguhnya lebih kuat fondasinya, namun demikian,
dalam kehidupan sosial terutama dalam kehidupan bernegara diperlukan
keseimbangan antara hukum dan norma yang kuat dalam rangka penguatan norma baik
itu norma hukum, norma etika dan norma agama melalui sebuah sistem hukum yang
kuat untuk mengatur keberlangsungan kehidupan masyarakat.
[10] Hans Kelsen, Introduction to the
Problems of Legal Theory, dalam (terj.,), Siwi Purwandari, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media,
Bandung, 2008, hal, 45
[11] Ibid,
[12] Ibid,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar