Selasa, 19 Juli 2016

Penerapan Sistem Norma Hukum

Kekacauan Sistem Norma Hukum dan Upaya Penanggulangannya


Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)




Pengantar
Pada era modern dan demokrasi yang terus memungkinkan terciptanya ruang kebebasan bagi warga negara ternyata pada perkembangannya tidak serta-merta perubahan yang dikehendaki ini kemudian menghasilkan suatu cara kerja negara dalam memperkuat sistem norma hukum, norma etika sosial, maupun norma agama yang saling melengkapi dan menopang satu sama lain, melainkan dampak dari kebebasan yang berlebihan ini telah menimbulkan berbagai kekacauan dan ketimpangan sistem dalam bernegara.
Praktik korupsi di Indonesia hampir terjadi di semua lini kehidupan bernegara. Korupsi menghancurkan sistem kehidupan sosial masyarakat. Praktik korupsi tidak hanya menjadi budaya aji mumpung di kalangan birokrasi pemerintah tetapi telah menjadi penyakit sosial yang menggurita. Korupsi sangat mengganggu penegakan keadilan karena institusi-institusi dan aparatur penegak hukum dalam praktiknya tidak menegakkan hukum berdasarkan prinsip-prinsip keadilan.
Survei terbaru dilakukan oleh World Justice Project yang berkedudukan di Amerika Serikat ini misalnya, dalam penegakan hukum dan korupsi di 65 negara, Indonesia termasuk negara yang kategori tingkat korupsi yang tinggi. Indonesia menempati posisi bawah baik secara regional dan global. Dalam ketiadaan korupsi, Indonesia berada pada skor 0,50. Filipina pada nilai 0,57 dan Singapura merupakan negara paling bersih di kawasan Asia Tenggara dengan skor 0,91. Malaysia berada pada skor 0,64 dan Thailand 0,61. Survei World Justice Project 2011 Rule of Law ini menggunakan skor satu adalah yang tertinggi dan skor nol merupakan angka paling jelek.[1] Praktik korupsi mengancam agenda pembangunan moralitas bangsa dalam kehidupan bernegara. Korupsi juga telah merusak sendi-sendi kehidupan dalam bernegara.
Survei ini memasukan Indonesia dalam kawasan Asia Timur-Pasifik, Indonesia bersama dengan Jepang, Singapura, Korea Selatan, Thailand, Vietnam dan lain-lainnya. Negara-negara maju seperti Jepang, Australia, Singapura dan Korea Selatan memiliki angka tinggi pada semua dimensi, sedangkan negara berkembang termasuk Indonesia, Filipina dan Thailand mempunyai angka rendah hampir di semua dimensi penegakan hukum. 
Berbagai usaha menuju perbaikan seperti penguatan etika kehidupan berbangsa telah dilakukan, perubahan-perubahan tidak hanya disuarakan tetapi dituangkan secara tertulis dalam aturan norma hukum, norma etika dan norma agama, namun hasilnya yang dirasakan di tingkat lapangan masih nihil. Tidak kuatnya kesadaran masyarakat mentaati norma agama, dan lemahnya norma hukum serta norma etika turut menyebabkan kekacauan sistem etika dalam kehidupan bernegara. Norma agama, norma hukum, dan norma etika semakin diabaikan. Norma agama, norma hukum, dan norma etika tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya. Akibatnya, masyarakat semakin hedonis dan tidak saling peduli satu sama lain. Dengan demikian, pertanyaan yang muncul ialah di mana peran negara dalam mengatasi kekacauan sistem norma tersebut?
Dalam kenyataan, kekacauan sistem norma telah menyebabkan kerusakan tatanan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bernegara. Oleh sebab itu, kerusakan tatanan nilai sosial ini harus cepat dicarikan jalan keluar. Mencari konvergensi atas kekacauan sistem norma agama, norma hukum, dan norma etika. Bagaimana agar sistem norma agama, norma hukum, dan norma etika bisa bekerja secara komplementer agar kekacauan tatanan nilai sosial bisa diatasi. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa agama bisa membantu memberantas korupsi, dengan catatan metode yang dipakai itu benar. Seringkali agama menggunakan cara yang salah.  Kita mulai dengan fakta tentang statistik negara-negara korup dan bersih di dunia.
Hukum dan penjara pada kenyataan bukan menjadi satu-satunya aspek penyelesaian suatu permasalahan yang timbul. Banyak penjara di Indonesia mengalami over capacity, akibatnya, penjara memunculkan banyak masalah baru, bahkan penjara banyak dalam praktik difungsikan menjadi school of criminal. Kapasitas penjara membuat napi berpotensi menimbulkan kekacauan termasuk praktik kejahatan peredaran narkoba. Peredaran narkoba dilakukan sebagian napi dikarenakan fungsi penjara tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Penghuni penjara menggunakan kekerasan menghadapi suatu masalah. Perkelahian, pertikaian dan konflik antar sesama disebabkan fasilitas pelayanan tidak maksimal sebagaimana layaknya penjara. Implikasi negatif dari penjara over capacity yakni, perusakan penjara yang meningkat dengan pembakaran dilakukan orang tidak bertanggungjawab dengan terget melarikan diri. Pada 2013 terjadi kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan, Sumatera Utara dikarenakan kapasitas penjara yang tidak sesuai standar. Penjara yang menampung lebih dari angka 900 persen.
Data terbaru dari Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Ham RI misalnya, dari catatan terakhir tanggal 18 Juli 2013 jumlah penghuni napi di lokasi-lokasi telah melebih kapasitas sekitar 500 persen. Dari berbagai sumber yang dihimpun setidaknya ada 5 penjara yang mengalami over capacity yakni, (1) Rutan Bagan Siapi-api Riau. Jumlah penghuni sebanyak 593 dengan kapasitas hanya 66 orang saja. Artinya melebihi kapasitas hingga 898 persen; (2) Lapas Banjarmasin Kalimantan Selatan, kapasitas penjara lebih besar daripada rutan Bagan Siapi-api yakni 366 orang dan dihuni oleh 2.427 napi sehingga kelebihan 663 persen; (3) Lapas Bengkalis Riau, lapas ini dihuni 945 napi dengan kapasitas penjara 174 orang sehingga over capacity 543 persen; (4) Lapas Anak Martapura Kalimantan Selatan. Penjara ini didesain khusus untuk anak-anak dengan kapasitas 180 tetapi faktanya dihuni 953 anak sehingga kelebihan 529 persen; dan (5) Lapas Jambi. Lapas ini dengan kapasitas 218 dan dihuni 1.118 narapidana, akibatnya kelebihan kapasitas hingga 510 persen.
Gejala ini menunjukkan bahwa tingkat penanganan kejahatan sangat memprihatinkan. Oleh sebab itu, pemahaman penyelesaian persoalan bangsa tidak hanya mengandalkan penjara sebagai satu-satunya solusi. Penjara dan hukum tidak mengalami kemajuan berarti dalam penyelesaian kasus. Maka paradigma penyelesaian permasalahan sudah saatnya ditingkatkan menjadi pendekatan norma etika kehidupan berbangsa. Etika harus dipahami sebagai sebuah metode yang efektif dalam penanganan kasus karena hukum tidak lagi efektif.
Kemajuan ilmu dan teknologi tidak diimbangi dengan peningkatan pemahaman orang pada nilai-nilai moral memicu tindakan tidak berdasarkan aturan norma yang berlaku. Akibatnya, kejahatan dan perilaku kriminal bermotif ekonomi, hukum, sosial politik, dan budaya terus meningkat. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi hampir di berbagai negara belahan dunia. Penjara-penjara penuh karena semakin banyak perilaku manusia menyimpang dari norma-norma agama, norma hukum dan norma etika.

Norma Hukum
Dalam memahami masalah norma hukum yang berlaku ataupun yang umum diterapkan dalam sistem kehidupan sosial masyarakat, terlebih dahulu yang dipahami adalah penafsiran norma terhadap suatu objek melalui perilaku manusia itu sendiri dalam konteks masyarakat hukum. Selain memahami penafsiran-penafsiran norma terhadap sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan sosial bernegara juga yang harus menjadi landasan pemahaman atas interpretasi norma tersebut yakni, dari pemahaman mengenai ilmu hukum karena perilaku manusia merupakan pengejawantahan dari konteks norma hukum. Artinya, peranan ilmu hukum menjadi legitimasi atas interpretasi perilaku manusia menjadi hal mendasar dalam kehidupan bernegara.
Norma hukum dapat diterapkan tidak hanya dalam arti dilaksanakan oleh organ atau dipatuhi oleh subyeknya, tetapi juga dalam arti membentuk dasar bagi suatu penilaian spesifik untuk mengkualifikasikan perbuatan organ, atau subyek sebagai lawful atau unlawful. Suatu tindakan dikualifikasikan sebagai perbuatan tertentu menurut norma, seperti tindakan penghilangan nyawa dikualifikasikan sebagai pembunuhan. Ini adalah penilaian spesifik tindakan (scheme of interpretation).[2]
Hukum mengatur pembentukannya sendiri karena norma hukum menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum yang lain, dan sampai derajat tertentu. Maka validitas norma hukum lantaran dibuat menurut cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya. Norma hukum lainnya ini adalah landasan validitas norma hukum yang disebut pertama.[3] Dengan kata lain konstitusi adalah sumber hukum utama dalam membentuk undang-undang dan undang-undang merupakan preseden bagi peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya, demikianlah seterusnya.
Ilmu hukum menjelaskan norma-norma hukum yang menggambarkan semua aktivitas sosial manusia dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan bernegara. Perilaku manusia dalam kehidupan sosial bernegara yang menunjukan memenuhi standar maupun kriteria peraturan dan perundang-undangan yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Tindakan manusia hendaknya mengikuti aturan-aturan baik normatif maupun empiris, yang  menjadi konsensus dalam bernegara. Maka dalam perspektif ini, tindakan dan perilaku manusia harus memperlihatkan adanya ketaatan terhadap norma hukum. Akan tetapi yang perlu dijelaskan di sini adalah pemahaman mengenai kalimat-kalimat yang digunakan ilmu hukum dalam menjelaskan norma-norma serta relasinya sebagai aturan hukum yang mesti dibedakan dari norma hukum yang merupakan hasil produk manusia melalui otoritas hukum sehingga dalam praktik peraturan dan perundang-undangan akan dengan mudah diketahui perilaku manusia tadi apakah mereka patuh atau tidak pada aturan hukum yang dibuat oleh mereka sendiri.
Namun norma yang diberlakukan oleh otoritas hukum (yang menetapkan konpensasi atas kerugian dan eksekusi perdata atas perbuatan ingkar tersebut) tidak bisa dinyatakan benar atau salah, karena ini bukanlah penegasan tentang suatu fakta, bukan pula penjabaran tentang sebuah obyek, melainkan sebuah penerapan, dan dengan demikian ini merupakan obyek yang mesti dijelaskan oleh ilmu hukum. Norma yang dibuat oleh legislator (yang menetapkan eksekusi kepada orang yang mengingkari janji perkawinan dan tidak mau memberikan ganti rugi), dan pernyataan yang dibuat oleh ilmu hukum dan menjelaskan norma ini (eksekusi itu harus dilakukan terhadap orang yang mengingkari janji perkawinannya dan tidak memberi kompensasi atas kerugian yang ia timbulkan)–ungkapan-ungkapan ini berbeda secara logika.[4]
Aturan hukum yang dirumuskan oleh ilmu hukum bukanlah pengulangan sederhana dari norma hukum yang diciptakan oleh otoritas hukum. meski begitu, keberatan terhadap pernyataan bahwa aturan hukum tidaklah berguna bukanlah suatu bantahan yang tanpa dasar, seperti halnya pendapat bahwa ilmu alam itu tidak berguna di sisi alam, karena alam tidak mengejawantahkan diri dalam kata-kata lisan dan tertulis, seperti yang terjadi pada hukum. Norma hukum adalah bentuk dari pengejawantahan yang memerintahkan, menetapkan, dan memberi izin serta wewenang bahwa sanksi terhadap setiap orang yang tidak taat aturan atau melanggar hukum itu diberikan.[5]
Obyek ilmu hukum adalah norma hukum dan karenanya nilai-nilai hukum juga dibentuk oleh norma-norma ini, namun aturan hukum itu, seperti halnya hukum alam dari ilmu alam, merupakan uraian yang bebas nilai mengenai obyeknya. Artinya, uraian tersebut tidak memiliki kaitan dengan nilai meta-hukum dan tidak mengimplikasikan kesetujuan atau ketidaksetujuan emosional. Norma yang merupakan nilai hukum harus dibedakan dari norma-norma yang digunakan untuk mengevaluasi pembuatann hukum. Karena aturan hukum dalam pengertian deskriptif, seperti halnya hukum alam (dan ilmu alam) menjelaskan hubungan fungsi, ia juga bisa disebut hukum perundangan (yakni hukum dalam pengertian resmi, atau yang dalam bahasa Jermannya Rechtsgesetz), yang memiliki persamaan dengan hukum alam. Norma hukum kendati disebut sebagai hukum manakala ia memiliki karakter umum–bukanlah hukum dalam pengertian yang senada dengan hukum alam, karena ia bukanlah pernyataan tegas yang menjelaskan hubungan fungsi. Norma hukum sama sekali bukan penegasan, melainkan makna dari suatu tindakan yang melandasi ditetapkannya sesuatu yang terlebih dahulu menetapkan hubungan fungsi antara fakta–suatu hubungan yang dijelaskan oleh aturan hukum, hukum perundang-undangan.[6]
Maka produk suatu hukum dan perundang-undangan yang dikeluarkan baik di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif semestinya selalu mencerminkan nilai-nilai kepatutan yang berlaku di masyarakat. Tetapi peraturan dan perundang-undangan yang dihasilkan hanya memenuhi keinginan ataupun kepentingan sebagian masyarakat yang merupakan bagian dari proses politik yang dilakukan elit maka aturan norma tersebut yang ditetapkan tetap diberlakukan secara umum namun norma hukum seperti ini tidak mencerminkan keadilan sosial secara menyeluruh.
Sebuah analisis dari proses konstitusional yang menjadi dasar terciptanya sebuah undang-undang memperlihatkan bahwa tindakan penciptaan sebuah hukum yang mengikat sekalipun sama sekali tidak perlu mewakili kehendak apapun terhadap perilaku yang dituntut oleh undang-undang. Undang-undang tersebut dibuat ketika mayoritas dari para legislator telah memberi suara kepada sebuah rancangan undang-undang yang disampaikan kepada mereka. Konten dari undang-undang tersebut bukanlah “kehendak” dari para legislator yang memberi suara yang menentang rancangan undang-undang tersebut; kehendak mereka justru mengekspresikan yang sebaliknya. Namun ekspresi kehendak mereka sama sesensialnya bagi eksistensi undang-undang tersebut seperti ekspresi kehendak dari para anggota yang memberi suara pada undang-undang itu.[7]
Hukum bisa diistilahkan sebagai perintah yang “didepsikologisasikan.” Hal ini sebagaimana muncul dalam pertanyaan Kelsen mengenai manusia “harus” membuat dirinya bertingkah laku menurut hukum. disinilah letak pentingnya konsep tentang “yang harus,” di sini terlihat pentingnya konsep norma. Sebuah norma adalah sebuah peraturan yang menyatakan bahwa seorang individu harus berperilaku dengan cara tertentu, tetapi tidak menegaskan bahwa perilaku semacam itu merupakan kehendak aktual dari seseorang.[8]

Teori dan Praktik Norma Hukum
Norma secara teoritis merupakan bentuk dari tindakan dan perilaku manusia secara individu maupun kolektif yang mengandung makna hukum yang sebenarnya juga selalu berkaitan dengan suatu sistem hukum dari yang lain atau semacam tata nilai dalam kehidupan sosial di komunitas tertentu yang mengandung makna norma juga. Sebuah fakta material adalah bukan semata-mata dijadikan sebagai argumentasi pembunuhan tetapi realisasi dari hukuman mati adalah kualitas penanganan dan penyelesaian kasus yang secara logika sangat sulit dimengerti. Hal ini karena boleh jadi suatu peristiwa muncul disebabkan oleh tindakan intelek yakni, berupa konfrontasi dengan undang-undang yang termasuk mengandung unsur kriminal maupun metode dan prosedurnya pun bermuatan makna kriminal.[9]
Memahami sesuatu secara hukum bisa jadi hanya memhami sesuatu tersebut sebagai hukum. tesis bahwa hanya norma-norma hukum yang bisa menjadi objek kognisi hukum adalah tautologi, karena hukum tersebut, satu-satunya objek kognisi hukumadalah norma, dan norma adalah kategori yang tidak bisa diaplikasikan di wilayah alam. Penggolongan tindakan-tindakan yang terjadi di alam sebagai hukum hanya menyatakan keabsahan norma yang muatannya sesuai hal tertentu dengan keabsahan peristiwa sebenarnya. Ketika seorang hakim menetapkan fakta material kongkret (misalnya delik), semua kognisinya pertama kali hanya diarahkan pada sesuatu yang ada di alam.[10] Maka dalam memastikan suatu norma hukum tentang proses pembuktian suatu peristiwa sangat dibutuhkan fakta yang akurat. Kebenaran fakta yang mengandung makna norma memungkinkan terjadinya determinasi atas peristiwa dalam konteks penyelesaian masalah dengan pendekatan hukum. Kebenaran yang menguatkan makna norma selalu dihadapkan dengan fakta maupun data-data faktual terkait peristiwa yang menghubungkannya dengan tindakan-tindakan manusia dalam kehidupan sosial.
Dalam percakapan ilmiah mengenai kata “keharusan” misalnya, apakah ia mengandung makna transedental atau tidak, jelas memerlukan kajian teoritis yang mendalam. Namun, yang paling penting dalam pembahasan ini ialah orientasi mengenai ilmu hukum dalam sebuah konsep ilmiah dengan memasukan hukum positif serta konsep norma atau “keharusan”. Menurut Kelsen, “selama bukan identitas norma hukum dan norma moral yang ditekankan berulang-ulang dalam yurisprudensi, nilai moral mutlak tidak dipersoalkan sehingga hanya nilai relatif hukum tersebut yang jelas menentang latar belakang ini.
Namun demikian, satu-satunya fakta bahwa yurisprudensi tidak mengabaikan eksistensi nilai mutlak, tidak menganggap diri kompeten untuk dipersoalkan, adalah fakta yang harus memberikan reaksi pada konsep hukum tersebut. Jika hukum dipandang sebagai norma, sebagaimana moralitas, dan jika makna norma hukum dijabarkan dalam ‘keharusan’, sebagaimana makna norma moral, maka nilai mutlak yang menjadi karakteristik moralitas melekat pada konsep norma hukum dan pada ‘keharusan’ hukum.[11] Maka setiap keputusan yang dibuat yang merupakan muatan nilai maka norma hukum yang menjadi pijakan pembuatan atas keputusan hukum adalah mengandung makna norma pada ‘keharusan’. Keharusan untuk memberikan sanksi dalam bentuk putusan merupakan tanggungjawab dan kewajiban para hakim yang secara norma hukum positif diberikan wewenang.
Oleh sebab itu, dalam putusan hakim terkait dengan penyelesaian suatu perkara selalu bermuatan beberapa norma yang menjadi pemahaman masyarakat sehingga apapun keputusan yang dibuat selalu berdampak positif dan negatif namun hal tersebut tetap dianggap sebagai konsekuensi yang harus dilaksanakan.[12] Dengan demikian, untuk memahami karakterisisasi dari sebuah konsep hukum sebagai norma dan atau sebagai suatu ‘keharusan’ yang diotorisasi lewat yurisprudensi positivis dalam praktik selalu menimbulkan interpretasi hukum positif yang mengarah pada upaya mempertahankan unsur ideologis tertentu sebagai doktrin politik negara.
Norma hukum dapat dibedakan antara norma hukum fakultatif dan norma hukum imperatif. Sebagaimana sebutannya, norma hukum imperatif merujuk pada norma hukum yang bersifat memaksa sedangkan norma hukum fakultatif adalah merujuk  pada norma hukum yang mengatur dan norma hukum yang bersifat menambah atau melengkapi. Meski demikian, kadang dijumpai norma hukum yang sekaligus memiliki kedua sifat tersebut, yakni bersifaf mengatur sekaligus bersifat memaksa. Selain itu terdapat pula pembedaan antara norma hukum yang bersifat umum dan abstrak dengan norma hukum yang bersifat konkrit dan individual.
Perlu dipahami bahwa norma hukum yang bersifat umum merupakan ketentuan yang bersifat abstrak. Norma hukum yang bersifat abstrak yang dimaksudkan disini adalah ketentuan tersebut tidak menjelaskan setiap kondisi yang mungkin terjadi di mana ketentuan tersebut akan berlaku. Hanya menyebutkan secara umum dan dianggap dapat diberlakukan dalam setiap kondisi di mana ketentuan tersebut dapat diberlakukan. Ketentuan tersebut ditujukan kepada semua subyek terkait tanpa mengaitkan atau menunjuk satu kondisi atau subyek tertentu. Ketentuan tersebut berlaku kepada semua subyek atau bersifat umum. Norma hukum individual adalah norma hukum yang selalu bersifat konkrit. Hal ini disebabkan karena norma hukum individual secara tegas menunjuk subyek tertentu dan atau keadaan tertentu dimana norma hukum tersebut harus diberlakukan. Sebagai contoh adalah klausul perjanjian antara para pihak dalam hukum perdata.
Norma hukum sebagaimana diuraikan di atas dalam pelaksanaannya harus mendapat pengawasan dan atau kontrol. Setidaknya terdapat 3 cara untuk melakukan kontrol terhadap hukum, antara lain: melalui pengawasan atau pengendalian politik, melalui pengendalian administratif dan melalui kontrol hukum. Kontrol melalui pengawasan atau pengendalian politik dapat dilakukan oleh lembaga politik. Di Indonesia undang-undang dibuat  oleh DPR dan Presiden. Oleh karena itu, mekanisme kontrol politik juga dapat dilakukan melalui lembaga politik tersebut. Misalnya dengan mengadakan legislative review terhadap peraturan perundang-undangann yang dianggap tidak dapat diberlakukan lagi atau mungkin perlu dilakukan perubahan terhadapnya.
Kontrol melalui pengendalian administratif dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga administratif yang oleh peraturan perundang-undangan tersebut diberikan kewenangan untuk melaksanakannya. Lembaga administratif tersebut dalam pelaksanaan norma atau aturan hukum yang dimaksud dapat mengetahui kekurangan atau kelemahannya, sehingga dapat mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Apabila kemudian perlu dilakukan perubahan atau revisi maka lembaga administratif tersebut dapat mengambil langkah-langkah untuk mengajukan perubahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini disebut executive review.
Kontrol terhadap norma hukum biasa disebut dengan legal control atau judicial control atau judicial review apabila mekanisme kontrol tersebut dilaksanakan melalui pengadilan. Terdapat dua bentuk kontrol dalam model legal control ini, yakni ada yang terpusat dan ada yang terdesentralisasi (tidak terpusat). Negara yang melakukan legal kontrol dengan metode terpusat seperti Indonesia, di mana pengujian atas Undang-Undang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan pengujian atas peraturan dibawah undang-undang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Negara melakukan legal control dengan metode tidak terpusat memberikan kewenangan kepada seluruh badan peradilannya untuk melakukan pengujian terhadap norma atau peraturan hukum.


Keterangan:
Arsip Tulisan Lawas



[2]  Jimly Asshiddiqie, Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hal, 45.
[3]  Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1961, hal, 124.
[4]  Hans Kelsen, Pure Theory of Law, (Berkely University of California Press, 1978), dalam (terj.), Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni; Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, 2008, hal, 84.
[5]  Ibid.
[6]  Ibid, hal, 91.
[7]  Hans Kelsen, What Justice?: Justice, Politic, and Law in the Mirror of Science, dalam (terj.), Nurulita Yusron, Dasar-Dasar Hukum Normatif; Prinsip-prinsip Teoritis untuk Mewujudkan Keadilan dalam Hukum dan Politik, Nusa Media, Bandung, 2009, hal, 324.
[8] Ibdid, hal, 325.
[9] Dalam perspektif teori hukum statis dan dinamis dan relasinya dengan hirarki norma telah dibahas secara lebih rinci oleh Hans Kelsen dalam bukunya What is Justice? : Justice, Politic, and Law in the Mirror of Science, yang diterbitkan oleh University of California Press: 1997), dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Nurulita Yusron (2009), membahas mengenai teori hukum statis dan dinamis sekaligus hubungannya dengan hirarki norma. Berdasarkan teori hukum murni lalu Kelsen berusaha menguraikan dengan pendekatan teoritis, bahwa teori hukum statis harus dipadukan dengan teori hukum dinamis, dengan suatu argumen bahwa hukum tidak selalu sejalan dengan sistem norma. Maka norma sesungguhnya lebih kuat fondasinya, namun demikian, dalam kehidupan sosial terutama dalam kehidupan bernegara diperlukan keseimbangan antara hukum dan norma yang kuat dalam rangka penguatan norma baik itu norma hukum, norma etika dan norma agama melalui sebuah sistem hukum yang kuat untuk mengatur keberlangsungan kehidupan masyarakat.
[10] Hans Kelsen, Introduction to the Problems of Legal Theory, dalam (terj.,), Siwi Purwandari, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2008, hal, 45
[11] Ibid,
[12] Ibid,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar