Oleh : Rahman Yasin
Pegiat dan Pemerhati Masalah Kepemiluan Di Indonesia
__________________________________________
A.
Pendahuluan
Konsep
komunikasi politik dalam transisi demokrasi menuju kemapanan sebuah negara yang
demokratis seringkali melibatkan fenomena-fenomena baru sebagai implikasi dari
pilihan bangsa dalam membangun sebuah persepsi terhadap suatu peristiwa politik
yang terbuka. Setiap negara yang tengah mengalami transisi demokrasi selalu
melewati proses-proses politik yang cenderung menimbulkan mismanajemen sistem
karena aktor politik negara yang terlibat di-dalamnya menawarkan
konsep demokrasi berdasarkan latarbelakang pemikiran dan pemahaman masing-masing
tentang idealisasi implementasi sistem demokrasi ke dalam negara. Pemerintahan
demokratis yang diimpikan oleh warga bangsa pun kadang harus melewati transisi
politik yang tidak elegan bahkan seringkali diselipi oleh praktik-praktik
politik kekuasaan yang bersifat otoriter.
Otoriterianisme dari sebuah pemerintahan adalah
wujud nyata dimana peran komunikasi politik yang dimainkan negara tidak optimal
sehingga demokrasi yang semula diproyeksikan sebagai instrumen kekuasaan
legalisti untuk bisa meminimalkan perbedaan persepsi menjadi tidak aktif.
Pemerintahan legalistik acapkali menggunakan sistem demokrasi (termasuk di era
rezim Orde Baru yang memanfaatkan Demokrasi Pancasila jadi alat legitimasi
kekuasaan) sebagai strategi penguatan kebijakan negara.
Euphoria reformasi dan menguatnya tuntutan
demokratisasi dalam struktur kekuasaan negara di semua dimensi kehidupan
menjadi ledakan emosi yang tak terkelola secara konstruktif sehingga dalam
kondisi sosial politik yang gamang, negara tidak mampu memformulasi sebuah
persepsi yang komprehensif. Aktor kekuatan politik seperti, ilmuan, dan
intelektual, kalangan buruh dan petani, kaum profesional dan akademik, serta
media massa dan pengusaha, dan tokoh masyarakat juga tidak mampu
mengidentifikasi persoalan-persoalan perbedaan pemahaman, pemikiran, termasuk
konsep demokrasi yang dikehendaki masing-masing untuk dijadikan sebagai
preferensi kebijakan.
Ledakan demokatisasi yang dipicu oleh
tindakan-tindakan politik destruktif memunculkan peristiwa-peristiwa baru yang
kurang prospektif, atau bahkan boleh jadi merupakan design alam secara alamiah sekaligus sebagai harga demokrasi yang harus
dibayar oleh negara yang tengah menjalani transisi demokrasi. Tekanan demokrasi
yang terus menguat, dan bergeraknya reformasi tanpa kendali, serta perubahan
struktur ketatanegaraan yang dipaksakan, artinya untuk yang terakhir ini,
perubahan yang tidak dilakukan tidak melalui proses persiapan yang matang sehingga
menghasilkan gejala-gejala praktik kekuasaan politik yang anti keterbukaan atas
nama demokrasi.
Analisis kritis dan analisis fenomenologis merupakan
metode pendekatan penulisan tesis yang mengangkat tentang persoalan reformasi
sistem penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dari perspektif studi kasus
peran pengawasan Pemilu yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada
Pemilu tahun 2009.
Secara teoritis, komunikasi adalah kata benda yang
statis. Akan tetapi komunikasi itu sendiri merupakan suatu siklus atau putaran (loop)
yang melibatkan paling tidak, dua orang.
Komunikasi politik yang dimainkan lembaga negara
atau instrumen demokrasi nonformal secara langsung maupun tak langsung
menimbulkan persepsi publik secara bervafiasi tentang isu yang diangkat oleh
komunikator. Opini publik akan terkonsentrasi secara kuat dan sistematis
manakala dikelola dengan baik dan komprehensif oleh kekuatan politik negara
dengan mengandalkan sumber daya manusia dalam konteks pengelolaan isu
pemberitaan sebuah media massa. Konsolidasi isu politik melalui komunikasi
media massa sangat menentukan kekuatan politik dalam proses pengambilan
kebijakan. Posisi ilmu komunikasi dalam diplomasi sangat menentukan pengaruh
kebijakan yang akan diambil oleh kedua belah pihak kepentingan.
Ilmu komunikasi yang tersistematisasikan dalam
sebuah wadah dan kelembagaan media massa dan sekaligus berperan aktif memainkan
isu-isu politik sebagai pembentukan iponi publik dalam rangka menekan
pihak-pihak yang terlibat dalam diplomasi. Opini publik bekerja aktif melalui
media massa yang memengaruhi kebijakan. Ilmu komunikasi menempatkan diri dalam
opini publik sebagai pendekatan membangun kesamaan, visi, persepsi, dan
pemahaman atas kepentingan masing-masing secara sinergis.
Fungsi lembaga Negara dalam hal ini adalah Bawaslu,
berperan aktif mendesign program pengawasan penyelenggaraan Pemilu secara
sistematis dan bertanggungjawab. Apabila pembentukan suatu lembaga tanpa
disertai dengan dukungan sumber daya yang memadai dari pemerintah, dapat
diartikan sebagai bentuk pelepasan tanggungjawab atau cuci tangan pemerintah
terhadap pengelolaan permasalahan publik tertentu.
Distorsi terhadap nilai dan substansi kebijakan
menjadi salah satu masalah yang lazim terjadi dalam implementasi sebuah
kebijakan publik. Kebijakan public tidak pernah beroperasi dalam ruang yang vacuum,
melainkan beroperasi dalam sebuah lingkungan yang kompleks yang didalamnya
terdapat banyak pemangku kepentingan yang selalu melihat substansi kebijakan
dari perspektif kepentingan masing-masing yang sempit.
Memahami hakikat kekuatan-kekuatan perubahan adalah
salah satu tugas penting manejer. Bila manajer lamban merespon kekuatan-kekuatan
ini, organisasi akan ketinggalan jauh di belakang para pesaingnya dan
efektivitasnya rendah. Kekuatan-kekuatan untuk perubahan tersebut menurut Jones
(1998: 531-546), antara lain Competitive force, Economic, political and
global Force, Demographic and social forces, dan ethical forces.
Pentingnya pengetahuan yang berawal dari informasi
sangat penting pada era reformasi. Informasi senantiasa mengisi segala aspek
kehidupan manusia, mulai dari lingkup induvidu, keluarga, sosial, hingga
lingkup kelompok dan organisasi.
Karena informasi, orang-orang di dalam suatu
organisasi memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sehingga
informasi menjadi penuntun bagi siapapun saat melakukan aktivitas
keorganisasian. Dari sinilah kemudian muncul apa yang dinamakan pengetahuan.
Menjadi sangat menarik mengkaji komunikasi politik
dalam konteks peran yang dilakukan oleh para komunikator politik baik dalam hal
mengkaji informasi yang dihadirkan dalam mempertukarkan pesan-pesan politik
maupun dalam konteks setting dan moment politik yang dihadirkan
ketika bahasa politik digunakan serta fungsi yang mereka jalankan dalam
kapasitasnya sebagai aktor atau komunikator politik.
Kebebasan pers atau media massa yang notabene
sebagai pilar keempat demokrasi dalam menerjemahkan euphoria reformasi dan
demokratisasi yang begitu kuat secara teoritis mampu melahirkan komunikasi
politik yang bebas aktif. Komunikasi media massa yang cenderung bebas aktif
secara tidak langsung melahirkan konsekuensi-konsukuensi politik baru terhadap
suatu peristiwa. Dan peristiwa konflik komunikasi yang tidak dibangun bersifat
sinergis dan komplementer antara kedua belah pihak melahirkan persepsi-persepsi
politik berdasarkan kepentingan masing-masing.
Pertanyaan kritis yang muncul ialah dimana peran dan
kontribusi ilmu komunikasi terhadap dinamika perubahan bangsa dalam transisi
demokrasi menuju kemapanan sistem negara demokratis? Bagaimana para aktor
politik yang terlibat didalam konflik kekuasaan atas nama demokrasi didalam menerapkan
komunikasi politik yang elegan dan dinamis sebagai pendekatan membangun
kesamaan persepsi atas suatu kejadian?
B.
Rumusan Masalah
Agar pesan
komunikasi politik kebijakan kelembagaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam
proses pengawasan penyelenggaraan Pemilu, dan Pemilu Kada yang berbasis pada
asas penyelenggaraan Pemilu, Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (Luber) serta
Jujur, dan Adil (Jurdil) kepada stakeholders
di X? Bagaimana respon aktor masyarakat (pilar-pilar demokrasi) terhadap
pesan komunikasi politik kebijakan kelembagaan Bawaslu di mata masyarakat X?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini berdasarkan permasalahan yang diangkat, yakni untuk menganalisis
pesan komunikasi politik kebijakan kelembagaan Bawaslu dalam kerangka peran dan
fungsi lembaga ini pada penyelenggaraan Pemilu dan Pemilu Kada di Indonesia di
X. Menganalisis pengaruh peran pesan komunikasi politik kebijakan kelembagaan
Bawaslu terhadap masyarakat X.
D.
Kegunaan Penelitian
Hasil
penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu komunikasi,
baik secara teoritis maupun secara teknis praktikal. Adapun objek penelitian dan teknik sampling yang
digunakan yaitu : partai politik, kaum cendikiawan/intelektual,
profesional, tokoh agama pemuka adat dan pers.
Teknik Sampling yang digunakan adalah Purpolisve sampling : disebut juga
judgment sampling. Satuan sampling dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu
dengan tujuan untuk memperoleh satuan sampling yang memiliki karakteristik yang
dikehendaki. Kelebihan sampling ini adalah (1) memudahkan jalannya penelitian
(2) penelitian lebih efesien (3) lebih teliti dan cermat dalam pengumpulan
data, dan (4) lebih efektif. Kerugian dari teknik ini yaitu jika sampel yang
kita gunakan tidak dapat mewakili semua karakteristik populasinya (tidak
representatif), maka hasil penelitian tersebut diperlukan teknik sampling yang
tepat, sehingga sampel yang digunakan benar-benar mewakili semua karakteristik
populasi penelitian.
E.
Analisis Deskriptif
kualitatif.
Pemilihan
Umum (Pemilu) tahun 2004 merupakan pemilu yang dilaksanakan dua kali setelah
jatuhnya rezim Orde Baru. Reformasi
dengan menghadirkan sistem Pemilu yang baru secara langsung berimplikasi pada
perubahan paradigma politik elit bangsa. Sistem penyelenggaraan pemilu diubah
sedemikiaan rupa dengan maksud perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu
menjadi lebih demokratis. Akan tetapi perubahan sistem pemilu ini dihadapkan
dengan pertentangan ideologi politik dari partai peserta pemilu sehingga
problem klasik berupa praktik manipulasi pemilu selalu saja muncul.
Pemilu tahun 2004 merupakan pemilu yang paling
berbeda sendiri dalam sistem penyelenggaraan baik dari aspek teknis operasional
maupun dari aspek substansial dengan sistem pemilu tahun 1999. Pemilu 2004
merupakan pemilu yang diselenggarakan pertama kali setelah dilakukannya
amandemen Undang-Undang Dasar (UUD 1945). Melalui amandemen, struktur hukum,
sistem politik termasuk sistem pemilu mengalami perubahan signifikan sehingga
secara politik kelembagaan turut memengaruhi proses perekrutan elit di internal
masing-masing partai politik.
Setiap kejadian yang muncul dalam dimensi apapun selalu
memicu persepsi-persepsi baru dari para aktor politik baik yang berada dalam
struktur kekuasaan formal (pemerintah) maupun kekuatan elemen masyarakat diluar
struktur kekuasaan negara (oposisi).
Peranan ilmu komunikasi sebagai isntrumen komunikasi
politik dalam proses politik yang melibatkan dua pihak dalam suatu kepentingan
berupa meraih simpati publik sangat signifikan. Peranan media massa selain sebagai
alat komunikasi massa juga menjadi bagian penting dari proses perpolitikan yang
ada untuk mendapatkan informasi dalam rangka mengambil suatu keputusan,
termasuk membangun opini publik dan pencitraan politik. Ilmu komunikasi, A.
Muis menjelaskan bahwa istilah komunikasi politik menunjuk kepada pesan sebagai
objek formalnya, sehingga titik berat konsepnya terletak pada komunikasi dan
bukan pada politik.
Fenomenologi adalah studi tentang pengetahuan yang
bersumber pada kesadaran, atau cara orang menjadi mengerti akan obyek-obyek
serta peristiwa-peristiwa dengan mengalaminya secara sadar. Studi ini melihat
obyek-obyek atau kejadian-kejadian dari sudut pandang si perceiver,
individu yang mengalami hal-hal tersebut. Sebuah fenomena merupakan tampilan
akan suatu obyek, kejadian,atau kondisi di dalam persepsi. Oleh karena itu,
realita dalam fenomenologi adalah cara bagaimana hal-hal tampak dalam persepsi
sadar dari seorang individu.
Secara terminologi, tradisi komunikasi yang bersifat
phenomenologi akan aktif manakalah dihadapkan dengan suatu peristiwa.
Fenomenologi memandang komunikasi sebagai pengalaman melalui diri sendiri atau
diri orang lain melalui dialog. Tradisi memandang manusia secara aktif
menginterpretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami
lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungan.
Tradisi fenomenologi memberikan penekanan sangat kuat pada persepsi dan
interpretasi dari pengalaman subjektif manusia.
Titik tekan
tradisi fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam suasana
yang alamiah. Tradisi fenomenologi dapat menjelaskan tentang khalayak dalam
berinteraksi dengan media. Demikian pula bagaimana proses yang berlangsung
dalam diri khalayak.
Kajian ini
tidak serta-merta melibatkan pemikiran seperti James Lull, Len Ang, atau
pemikir klasik dalam bidang imlu komunikasi seperti Edmund Husserl, atau penemu
fenomenologi modern Husserl secara teoritis maupun praktikal, tetapi kajian
dalam tugas ini menganalisis perkembangan kinerja Badan Pengawas Pemilu dalam
kaitannya dengan sosialisasi dan implementasi program pengawasan Pemilu dan
Pemilu Kada dilihat dari pespektif teori ilmu komunikasi secara umum, namun,
tetap dalam batas analisis permasalahan dengan pendekatan analisis kritis dan
fenomenologis.
Pemahaman tradisi fenomenologi juga merupakan salah
satu aliran yang berkonsentrasi pada pengalaman personal, termasuk bagaimana
individual saling mengalami satu lain.
Karena dalam
analisis ini juga tidak mengharuskan pelibatan kajian Fenomenologi
Persepsi berlawanan dengan Husser yang membatasi fenomenologi pada
objektivitas dan yang terakhir adalah Fenomenologi
Hermeneutik aliran ini selalu dihubungkan dengan Martin Heidegger dengan
landasan filosofis yang juga biasa disebut dengan Hermeneutic of dasein
yang berarti suatu “interpretasi untuk menjadi”.
Fenomenologi
berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Menurut
paham fenomenologi, ilmu bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun,
melainkan values bound, memiliki hubungan dengan nilai.
Menurut Phillipson (Walsh,1972:121) istilah fenomena
itu berkaitan dengan suatu persepsi yaitu kesadaran. Fenomenologi akan berupaya
menggambarkan fenomena kesadaran
dan bagaimana fenomena itu tersusun. Dengan adanya kesadaran ini, tidak mengherankan jika pemerhati
kebudayaan dan pelaku budaya juga memiliki kesadaran tertentu terhadap yang
mereka alami. Pengalaman yang dipengaruhi oleh kesadaran itu, pada saatnya akan
memunculkan permasalahan baru dan di antaranya akan terkait dengan ihwal seluk
beluk kebudayaan itu sendiri.
Ketika fenomenologi mulai menjelaskan bagaimana
fenomena itu tersusun, ini berarti masih fenomenologi murni. Secara alamiah
peneliti budaya akan menanyakan persepsi subyek budaya terhadap apa yang
dialaminya. Dari interaksi subyek budaya itu, baik kesadaran subyek sebagai
kesadaran makna dan fungsi dari suatu fenomena itu merupakan tonggak terjadinya
penafsiran.
Suatu konsep pemikiran pembangunan
politik yang mendasarkan pada paradigma demokratisasi bahwa jika konsep
demokrasi yang diterapkan suatu Negara mampu membangun sistem politik yang
demokratis maka menjadi keniscayaan bahwa penyelenggaraan birokrasi
pemerintahan termasuk kelembagaan penyelenggara pemilu akan bekerja efektif dan
efisien.
Analisis komparasi, yaitu dengan cara membandingkan objek penelitian dengan
konsep pembanding. Pendekatan dalam penelitian ini mencangkup analisis kolerasi
dan analisis caussal comperative. Dalam penelitian ini akan dihasilkan
dua kemungkinan (a) simpulan menyatakan bahwa konsep yang diteliti sama dengan
konsep pembandingnya, dan (b) simpulan menyatakan terdapat ketidaksamaan konsep
yang dibandingkan.
F. Peran Bawaslu Dalam Pengawasan Pemilu Dan Pemilu
Kada
Sebuah
Usaha Membangun Legitimasi Lembaga Pengawas Pemilu
1.
Pemilukada di
Indonesia
Sebuah proses penyelenggaraan pemilu yang jauh dari
polusi intervensi, jauh dari proses kontaminasi politik elit partai politik dan
kemudian mampu mewujudkan suasana psikologi politik masyarakat yang kondusif
pula. Dengan
cara tersebut, maka integritas proses dan hasil penyelenggaraan pemilu
yang adil dan demokratis akan hadir dalam benak masyarakat, dan dengan
begitu legitimasi
kepemimpinan nasional kuat adanya.
Tetapi bila
pendekatan
komunikasi politik yang terus dilakukan secara berlebihan oleh pemimpin
eksekutif terhadap lembaga-lembaga negara seperti legislatif, dan yudikatif,
maka sebaliknya peluang terbukanya ruang praktik korupsi dalam penyelenggaraan
pemilu tetap terbuka. Masyarakat merasa prihatin terhadap penyelenggaraan pemilu
pasca reformasi yang cenderung melahirkan praktik politik uang yang tidak saja
melibatkan aktor elit tetapi sampai ke tingkat bawah.
Praktik politik uang
dalam penyelenggaraan pemilu selalu jadi biang kekacauan
sistem demokrasi, bahkan menghancurkan sendi-sendi moralitas politik bangsa,
karena uang hampir menjadi sarat penentu utama kemenangan setiap calon yang
menggunakannya. Politik uang sangat berpihak kepada calon yang menggunakannya.
Kekuatan finansial masih menjadi faktor kuat pemenangan calon daripada kekuatan
ideologi sekalipun. Dengan demikian, praktik pengingkaran politik nurani
dalam
penyelenggaraan pemilu harus dihentikan dengan menegakan hukum pemilu, baik
pelanggaran administrasi maupun tindak pidana pemilu merupakan suatu
keniscayaan.
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan sarana yang paling efektif
untuk melaksanakan kedaulatan politik rakyat dalam konteks kebebasan memilih
pemimpin yang kelak menjalankan kebijakan pembangunan negara. Melalui Pemilu,
terjadi proses apa yang disebut dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1999 tentang
Pemilu—sebagai suatu cara efektif menjalankan kedaulatan rakyat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tentu tetap dalam kerangka
Pancasila dan UUD 1945. Arah kebijakan negara akan sangat ditentukan oleh calon-calon
pemimpin yang turut ambil bagian dalam pelaksanaan pemilu. Pemilu juga
merupakan sebuah konsep demokrasi yang menempatkan nilai-nilai egaliterianisme
politik masyarakat secara berperadaban.
Pemilu punya arti penting tentang bagaimana pembaruan sistem
kehidupan masyarakat itu di mulai, karena lewat pemilu, warga bangsa akan
diberikan kebebasan penuh untuk menggunakan prefrensi politik tanpa adanya
intervensi yang berarti dari rezim atau kelompok politik manapun yang
mengatasnamakan demokrasi. Tesis ini diperkuat dengan basis penerapan sistem
penyelenggaraan pemilu yang berasaskan Langsung, Umum Bebas, Rahasia (Luber),
Jujur, dan Adil (Jurdil). Titik tekan dari substansi penyelenggaraan pemilu
yang Luber dan Jurdil diatur dalam UU No. 32/2004, UU No. 22/2007, dan UU No.
10/2008 tentang sistem dan mekanisme menggunakan hak pilih masyarakat dalam
pemilu.
Sejak pemilu tahun 1955, kita tahu betapa transformasi demokrasi
mendapat legitimasi yang cukup kuat dari dunia Internasional. Sistem
multipartai baru pertama kali diterapkan dalam sebuah kondisi geo-sosio politik
yang kurang stabil, tapi fakta menunjukkan, elit politik ketika itu mampu
menghadirkan suasana demokrasi politik yang berperadaban.
Protes akibat pelanggaran pemilu pun relatif kurang meskipun ada
namun dari cara mendisegn tradisi
politik yang santun paling kurang siap kalah dan mengakui kemenangan lawan
terasa begitu kuat. Ini sangat berbeda dengan kondisi politik baik pada pemilu
1971 yang merupakan fase pertama kehadiran rezim Orde Baru dalam pentas politik
nasional maupun pemilu-pemilu berikut di era Orde Baru, bahkan hingga memasuki
fase reformasi.
Secara teoritik, pemerintahan Orde Lama menerapkan sistem
demokrasi terpimpin yang hingga memicu tersumbatnya kran demokrasi. Kegaduhan
sistem politik masa transisi demokrasi menjadi faktor kegagalan negara dalam
menyusun dan menerapkan sistem pemilu yang demokratis.
Kepemimpinan Soekarno, apa yang disebut oleh Herbert Feit (1962)
dalam karya monumentalnya, The Decline of
Constittutional Democracy in Indonesia, sebagai solidarity makers, dan administrator
atau lebih dipahami sebagai problem
solver ini kurang bersahabat dengan kultur politik bangsa. Kegagalan demokrasi parlementer era
kekuasaan rezim Orde Lama tampak jelas akibat diterapkannya sistem constitutional democracy. Sebuah
kegagalan membangun tradisi demokrasi kekuasaan yang elegan untuk membawa
bangsa ke arah peradaban politik modern.
Reformasi sistem Pemilu dan sistem politik terus dilakukan dan
pada setiap pergantian “rezim kekuasaan politik legislasi” di parlemen, hampir
perubahan terhadap UU Pemilu, UU Kepartaian, dan UU Politik tidak pernah luput
dari sikap politik partai-partai politik yang kontraproduktif.
Akan tetapi perubahan demi perubahan sampai saat ini belum mampu
mewujudkan sebuah sistem yang relevan, dan bersahabat dengan tuntutan zaman.
Apa yang disebut Plato dalam karya Republik-nya
terbukti adanya sebuah realitas bernegara dalam situsasi modern saat ini.
Oligarki merupakan sebuah sistem politik yang dibangun
berdasarkan konsep politik yang mengedepankaan kekuasaan di tangan segelintir
orang. Dalam catatan literatur modern, Robert Michels (1959), menyebutkan,
bahwa konsep oligarki kekuasaan, setidaknya telah diperlihatkan oleh beberapa
negara yang pernah menerapkan sistem kekuasaan oligarki, antara lain, Jerman
yang dipimpin Hitler, Uni Sovyet dibawah kendali Stalin, Perancis dibawah
kekuasaan Louis XIX, bahkan Soeharto pun dikategorikan sebagai bagian dari
rezim yang menjalankan sistem oligarki.
Dalam kaitan dengan gonjang-ganjing proses revisi UU No. 22/2007
tentang Penyelenggara Pemilu, terlihat dengan jelas bagaimana politik kekuasaan
gaya oligarki ini bekerja aktif. Politisi parlemen seakan-akan memanfaatkan
setiap periode “kekuasaan politik legislasi” di parlemen selama menjabat,
sebagai lahan basah untuk menghidupkan sumber pemasukan finansial partai
politik sehingga ketika revisi UU Pemilu itu dilakukan, anggota Dewan yang
merupakan mesin politik politik ini lebih mengedepankan kepentingan individu
maupun partai di mana mereka bernaung.
Fraksi partai besar seperti FD, FG, FPDIP, dan FKS, akan berbeda visi atau bisa jadi sama
kepentingan, namun secara politik kalkulatif, sama-sama memiliki kepentingan
organisasi. Akibatnya, proses pembahasan revisi UU Pemilu tidak lagi memikirkan
substansi, sejauhmana kepentingan masyarakat dalam pemilu termasuk meningkatkan
partisipasi pemilih dalam pemilu serta transformasi pendidikan politik bagi
rakyat itu bisa teragregasi dengan baik, tetapi sebaliknya para wakil rakyat
justru lebih mengutamakan bagaimana memperjuangkan kepentingan partai politik
masing-masing.
Revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang
digulirkan sejak awal tahun 2010 dan berdasarkan potret dinamika yang terjadi,
agaknya semakin memperkuat pesimistis rakyat terhadap kinerja buruk anggota
Dewan yang terhormat ini. Perjalanan penuh intrik dibalik pembahasan revisi
terbatas UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Perdebatan klasik hingga
pragmatis mewarnai pembahasan revisi UU Pemilu.
Dari persoalan calon keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan
keanggotaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pro kontra menaikan ambang batas,
persoalan jumlah keanggotaan Dewan Kehormatan KPU, terkait komposisi perwakilan
kalangan masyarakat dari kalangan profesional, soal kemandirian KPU dan
Bawaslu, serta boleh tidak kader parpol menjadi anggota KPU dan Bawaslu.
Tahun 1999 merupakan sejarah awal perpolitikan nasional dalam membangun
tradisi politik yang demokratis dalam kerangka penyelenggaraan Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sejarah baru demokratisasi ini ditandai dengan
diproklamasikannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah
yang pada perjalanannya kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pesan komunikasi politik kebijakan pemerintah yang demokratis
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang otonomi Daerah yang secara
implisit menegaskan sikap pemerintah pusat ingin mengubah sistem dan cara
penerapan Undang-Undang pemerintahan Daerah yang lebih adil dan demokratis.
Pertentangan ideologi politik antara masing-masing faksi politik
lokal, regional, dan nasional yang terjadi dalam dua (2) sampai tiga (3) dekade
dapat diredam secara elegan. Setidaknya kehadiran peraturan dan
perundang-undangan pemerintah yang baru mampu merespon gejolak politik lokal
yang cenderung menjurus pada disintegrasi bangsa.
Salah satu unsur problem yang seringkali memicu konflik politik
antara pusat dan daerah ialah sistem penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) yang secara konstitusional
menganut sistem demokrasi prosedural umum. Demokratisasi kekuasaan elit lokal
hanya dikendalikan oleh sistem yang notabene menjadi dominasi elit pusat
sehingga hal tersebut sangat mengganggu keamanan dan ketertiban bangsa.
Reformasi tahun 1998 menghasilkan perubahan kehidupan sistem
pemerintahan yang semakin demokratis daripada masa-masa sebelum. Demokrasi
prosedural di-tingkatkan menjadi demokrasi substansial yang pada intinya
menempatkan kembali kedaulatan rakyat secara proporsional sesuai semangat
Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi substansial telah menempatkan
hak-hak politik masyarakat ke-dalam sistem yang adil. Pada fase ini demokrasi
substansial kembali menghidupkan sistem penyelenggaraan Pemilu yang semakin
adil dan demokratis pula, yang di-dalamnya termasuk penyelenggaraan Pemilu Kada
di semua tingkatan.
Pemilu Kada yang dilaksanakan secara langsung merupakan salah
satu unsur fundamental yang mampu menjawab tuntutan rakyat yang selama
Pemilu-pemilu sebelumnya dianggap penuh rekayasa dan manipulasi. Pengendalian
kekuasaan dan rotasi demokrasi tidak dimainkan langsung oleh rakyat tetapi
hanya melibatkan para aktor elit politik pusat sehingga Pemilu dihadapan rakyat
sebagai rutinitas kekuasaan yang dikehendaki segelintir elit. Alasan utama
memilih judul ini adalah menganalisis secara komprehensif dan mengkaji
sejauhmana respon pilar-pilar demokrasi terhadap efektivitas pesan komunikasi
kebijakan politik Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam memaksimalkaan
kewenangan yang ada berdasarkan peraturan dan perundang-undangan.
Titik tekan kajian ini ialah mengukur seberapa kuat peran daan
fungsi lembaga pengawas Pemilu dalam proses penyelenggaraan Pemilu hingga mampu
meyakinkan publik atas keberadaan lembaga tersebut sebagai lembaga yang mandiri
dan professional.
2. Badan Pengawas Pemilu
Reformasi
telah menghasilkan begitu banyak instrumennya sebagai penopang transformasi
nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Lembaga-lembaga negara dibentuk untuk
mengakomodasi tuntutan akan realisasinya nilai-nilai demokrasi. Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) yang sebelumnya disebut Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)
adalah bagian dari lahirnya lembaga-lembaga baru.
Keberadaan Badan Pengawas Pemilu adalah sebagai instrumen inti
demokrasi yang difungsikan Undang-Undang Pemilu Nomor 22 Tahun 2007 yang
sekarang telah direvisi jadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilu ditempatkan sebagai lembaga pengawas Pemilu. Bawaslu
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses penyelenggaraan Pemilu Kada di
seluruh tanah air.
Kehadiran lembaga Bawaslu dalam sistem ketatanegaraan nasional
telah menjadi arus wacana yang menjurus pada penguatan kapasitas penyelenggara
Pemilu Kada. Bawaslu memiliki tugas dan fungsi sebagai pengawas Pemilu. Oleh
karena di-amanatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara
Pemilu sebagai pengawas Pemilu, maka Bawaslu mempunyai wewenang untuk melakukan
pengawasan terhadap semua tahapan penyelenggaraan Pemilu Kada.
Pertentangan wacana perlu tidaknya keberadaan lembaga ini
semakin menguat di awal-awal pembentukan lembaga ini. Pro maupun kontra dari
publik terhadap keberlangsungan lembaga ini terus menguat bahkan termasuk aktor
politik nasional yang melihat kinerja Bawaslu secara sepihak. Bawaslu selalu
dalam posisi yang serba sulit terutama dikalah berhadapan dengan tekanan wacana
pembubaran lembaga ini karena dianggap tidak maksimal dalam melakukan tugas
fungsi pengawasan Pemilu.
Betapapun demikian, tuntutan dan tekanan publik ini mampu
direspon secara komprehensif oleh Bawaslu. Peningkatan kinerja dan upaya
mewujudkan visi misi kelahiran lembaga ini, serta kemauan kuat untuk melakukan
perubahan secara berarti dari lembaga ini dengan menunjukan prestasi yang baik
dimata publik pada gilirannya mampu diterima oleh masyarakat khalayak terhadap
eksistensi kelembagaan Bawaslu hingga sekarang.
Dalam konteks tersebut, komunikasi politik yang dikembangkan
oleh lembaga Bawaslu dalam rangka membangun pencitraan kinerja kelembagaan
dimata publik dengan program-program strategis yang telah dirumuskan kemudian
mampu mewujudkan kepercayaan publik terhadap lembaga ini.
Dari kerangka komunikasi politik kebijakan yang akuntabel,
transparan, dan berbasis good governance
dari para anggota komisioner Bawaslu serta Sekretariat Bawaslu yang mampu
merancang teknis-teknis kegiatan secara produktif dan elegan kemudian bisa
menjawab tekanan publik untuk membubarkan lembaga ini bahkan mampu membalikan
citra publik yang semula selalu negatif menjadi positif.
Penelitian ini akan melibatkan dua variable penting yakni
variable dependen dan independen. Kedua variable inilah yang akan memandu
proses perancangan dan kajian atas permasalahan yang ada. Variable terikat akan
memfokuskan analisis internal kebijakan formal Badan Pengawas Pemilu yang
disertai dengan analisis peraturan internal Bawaslu khususnya dalam membangun
pencitraan diri sebagai lembaga yang independen. Sedangkan variable bebas lebih
diarahkan kepada bagaimana menganalisis pesan komunikasi politik kebijakan
Bawaslu dalam kaitannya dengan membangun komunikasi lintas kelembagaan.
Sementara indikator-indikator yang menjadi objek kajian ialah
terkait struktur organisasi dan pesan komunikasi politik kebijakan Bawaslu
dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Indikator keberhasilan dan kegagalan
lembaga dalam menyampaikan pesan komunikasi politik kebijakan kelembagaan dari
sisi wewenang yang diberikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggaraan Pemilu dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah,serta peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 19 Tahun 2009
Tentang tugas dan wewenang Bawaslu.
Persepsi publik semakin positif terhadap lembaga ini bahkan DPR
dan pemerintah semakin menempatkan posisi Bawaslu sebagai bagian integral
penyelenggara Pemilu. Persepsi elit dan aktor politik mengenai kinerja Bawaslu
semakin memperlihatkan keberadaan lembaga ini sebagai pengawasan Pemilu Kada.
Mengingat penyelenggaraan Pemilu dan Pemilu Kada seringkali melahirkan
kekacauan politik bahkan pelanggaran Pemilu dan Pemilu Kada selalu menjadi
problem demokrasi yang cukup akut.
Bawaslu memiliki perangkat kerja yang sistematis dalam
mengkomunikasikan program kerja lembaga ini secara kelembagaan. Kemampuan
komunikasi kelembagaan Bawaslu sekurang-kurangnya telah meraih legitimasi
publik terhadap lembaga ini semakin kuat. Peran komunikasi politik kebijakan
kelembagaan Bawaslu dirancang secara sistematis oleh komisioner dan sekretariat
dan selanjutnya Bawaslu menggandeng semua stakeholders
untuk membangun kualitas demokrasi melalui penguatan wewenang pengawasan
Pemilu dan Pemilu Kada.
Pesan komunikasi politik kebijakan kelembagaan Bawaslu dengan
melibatkan seluruh pemangku kepentingan, atau dalam hal ini ialah pilar-pilar
demokrasi seperti partai politik, kalangan profesional, kaum intelektual,
pemuka masyarakat (tokoh adat), media, dan pengusaha telah menghasilkan sebuah
persepsi yang positif dari publik tentang arti pentingnya keberadaan lembaga
ini dalam proses penyelenggaraan Pemilu dan Pemilu Kada di Indonesia.
H.
Kesimpulan
- Komunikasi pada dasarnya adalah kata
benda yang statis, namun, dalam proses seiring terus terjadinya perubahan
(siklus), maka komunikasi pun kemudian menjadi terus berkembang secara
dinamis, dengan melibatkan aktor-aktor komunikasi sebagai komunikator
dalam suatu urusan.
- Transisi demokrasi mengharuskan
perubahan sistem penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) yang lebih
demokratis, dan ilmu komunikasi menempati posisi strategis dalam struktur
komunikasi politik negara.
- Peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
dalam mengkomunikasikan program kerja secara efektif dan efisien mampu
memperkuat eksistensi kelembagaannya dihadapan publik dengan memanfaatkan
ilmu komunikasi yang parsial dan imparsialitas menunjukkan, bahwa Bawaslu
mampu melakukan transformasi isu-isu strategis khususnya menyangkut
penguatan wewenang kelembagaan pengawasan pemilu.
- Bawaslu merupakan lembaga independen
yang bertugas fungsi melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilu pada
semua tahapan.
- Kelahiran Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 Tentang Penyelenggara Pemilu sebagai hasil revisi UU No. 22 Tahun
2007 Tentang Penyelenggara Pemilu merupakan indikasi positif bahwa
eksistensi kelembagaan pengawasan pemilu (Bawaslu) mampu memperkuat legitimasi
elit terhadap lembaga ini.
- Realitas politik kekinian lebih
mengedepankan asas perubahan dengan maksud menciptakan sistem
penyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis, meski sistem pemilu
dengan UU No. 15 Tahun 2011, namun tidak kemudian mampu merespon semua
persoalan yang dihadapi pengawasan pemilu selama lembaga ini dibentuk.
Daftar
Pustaka
Craig,
Robert T. Communication
Theory As a Field. Communication
Theory 9.1999
Stephen W Littlejohn, Theories of Human Communication.
Amerika: Wedswort Publishing Company.1995. hal,
203.
Suwardi Endraswara, Metodologi Riset, Budaya-UGM Press, http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/09/25/fenomenologi-1/