Minggu, 20 April 2014

KOMUNIKASI KEBIJAKAN PUBLIK; Peran Humas Bawaslu Dalam Memperkuat Legitimasi Kelembagaan Pengawasan Pemilu



Oleh : Rahman Yasin
Pegiat dan Pemerhati Masalah Kepemiluan Di Indonesia
__________________________________________


A.    Pendahuluan
Konsep komunikasi politik dalam transisi demokrasi menuju kemapanan sebuah negara yang demokratis seringkali melibatkan fenomena-fenomena baru sebagai implikasi dari pilihan bangsa dalam membangun sebuah persepsi terhadap suatu peristiwa politik yang terbuka. Setiap negara yang tengah mengalami transisi demokrasi selalu melewati proses-proses politik yang cenderung menimbulkan mismanajemen sistem karena aktor politik negara yang terlibat di-dalamnya menawarkan konsep demokrasi berdasarkan latarbelakang pemikiran dan pemahaman masing-masing tentang idealisasi implementasi sistem demokrasi ke dalam negara. Pemerintahan demokratis yang diimpikan oleh warga bangsa pun kadang harus melewati transisi politik yang tidak elegan bahkan seringkali diselipi oleh praktik-praktik politik kekuasaan yang bersifat otoriter.
Otoriterianisme dari sebuah pemerintahan adalah wujud nyata dimana peran komunikasi politik yang dimainkan negara tidak optimal sehingga demokrasi yang semula diproyeksikan sebagai instrumen kekuasaan legalisti untuk bisa meminimalkan perbedaan persepsi menjadi tidak aktif. Pemerintahan legalistik acapkali menggunakan sistem demokrasi (termasuk di era rezim Orde Baru yang memanfaatkan Demokrasi Pancasila jadi alat legitimasi kekuasaan) sebagai strategi penguatan kebijakan negara.
Euphoria reformasi dan menguatnya tuntutan demokratisasi dalam struktur kekuasaan negara di semua dimensi kehidupan menjadi ledakan emosi yang tak terkelola secara konstruktif sehingga dalam kondisi sosial politik yang gamang, negara tidak mampu memformulasi sebuah persepsi yang komprehensif. Aktor kekuatan politik seperti, ilmuan, dan intelektual, kalangan buruh dan petani, kaum profesional dan akademik, serta media massa dan pengusaha, dan tokoh masyarakat juga tidak mampu mengidentifikasi persoalan-persoalan perbedaan pemahaman, pemikiran, termasuk konsep demokrasi yang dikehendaki masing-masing untuk dijadikan sebagai preferensi kebijakan.
Ledakan demokatisasi yang dipicu oleh tindakan-tindakan politik destruktif memunculkan peristiwa-peristiwa baru yang kurang prospektif, atau bahkan boleh jadi merupakan design alam secara alamiah sekaligus sebagai harga demokrasi yang harus dibayar oleh negara yang tengah menjalani transisi demokrasi. Tekanan demokrasi yang terus menguat, dan bergeraknya reformasi tanpa kendali, serta perubahan struktur ketatanegaraan yang dipaksakan, artinya untuk yang terakhir ini, perubahan yang tidak dilakukan tidak melalui proses persiapan yang matang sehingga menghasilkan gejala-gejala praktik kekuasaan politik yang anti keterbukaan atas nama demokrasi.
Analisis kritis dan analisis fenomenologis merupakan metode pendekatan penulisan tesis yang mengangkat tentang persoalan reformasi sistem penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dari perspektif studi kasus peran pengawasan Pemilu yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Pemilu tahun 2009.
Secara teoritis, komunikasi adalah kata benda yang statis. Akan tetapi komunikasi itu sendiri merupakan suatu siklus atau putaran (loop) yang melibatkan paling tidak, dua orang.[1]
Komunikasi politik yang dimainkan lembaga negara atau instrumen demokrasi nonformal secara langsung maupun tak langsung menimbulkan persepsi publik secara bervafiasi tentang isu yang diangkat oleh komunikator. Opini publik akan terkonsentrasi secara kuat dan sistematis manakala dikelola dengan baik dan komprehensif oleh kekuatan politik negara dengan mengandalkan sumber daya manusia dalam konteks pengelolaan isu pemberitaan sebuah media massa. Konsolidasi isu politik melalui komunikasi media massa sangat menentukan kekuatan politik dalam proses pengambilan kebijakan. Posisi ilmu komunikasi dalam diplomasi sangat menentukan pengaruh kebijakan yang akan diambil oleh kedua belah pihak kepentingan.
Ilmu komunikasi yang tersistematisasikan dalam sebuah wadah dan kelembagaan media massa dan sekaligus berperan aktif memainkan isu-isu politik sebagai pembentukan iponi publik dalam rangka menekan pihak-pihak yang terlibat dalam diplomasi. Opini publik bekerja aktif melalui media massa yang memengaruhi kebijakan. Ilmu komunikasi menempatkan diri dalam opini publik sebagai pendekatan membangun kesamaan, visi, persepsi, dan pemahaman atas kepentingan masing-masing secara sinergis.
Fungsi lembaga Negara dalam hal ini adalah Bawaslu, berperan aktif mendesign program pengawasan penyelenggaraan Pemilu secara sistematis dan bertanggungjawab. Apabila pembentukan suatu lembaga tanpa disertai dengan dukungan sumber daya yang memadai dari pemerintah, dapat diartikan sebagai bentuk pelepasan tanggungjawab atau cuci tangan pemerintah terhadap pengelolaan permasalahan publik tertentu.[2]
Distorsi terhadap nilai dan substansi kebijakan menjadi salah satu masalah yang lazim terjadi dalam implementasi sebuah kebijakan publik. Kebijakan public tidak pernah beroperasi dalam ruang yang vacuum, melainkan beroperasi dalam sebuah lingkungan yang kompleks yang didalamnya terdapat banyak pemangku kepentingan yang selalu melihat substansi kebijakan dari perspektif kepentingan masing-masing yang sempit.[3]
Memahami hakikat kekuatan-kekuatan perubahan adalah salah satu tugas penting manejer. Bila manajer lamban merespon kekuatan-kekuatan ini, organisasi akan ketinggalan jauh di belakang para pesaingnya dan efektivitasnya rendah. Kekuatan-kekuatan untuk perubahan tersebut menurut Jones (1998: 531-546), antara lain Competitive force, Economic, political and global Force, Demographic and social forces, dan ethical forces.[4]
Pentingnya pengetahuan yang berawal dari informasi sangat penting pada era reformasi. Informasi senantiasa mengisi segala aspek kehidupan manusia, mulai dari lingkup induvidu, keluarga, sosial, hingga lingkup kelompok dan organisasi.[5]
Karena informasi, orang-orang di dalam suatu organisasi memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sehingga informasi menjadi penuntun bagi siapapun saat melakukan aktivitas keorganisasian. Dari sinilah kemudian muncul apa yang dinamakan pengetahuan.[6]
Menjadi sangat menarik mengkaji komunikasi politik dalam konteks peran yang dilakukan oleh para komunikator politik baik dalam hal mengkaji informasi yang dihadirkan dalam mempertukarkan pesan-pesan politik maupun dalam konteks setting dan moment politik yang dihadirkan ketika bahasa politik digunakan serta fungsi yang mereka jalankan dalam kapasitasnya sebagai aktor atau komunikator politik.[7]
Kebebasan pers atau media massa yang notabene sebagai pilar keempat demokrasi dalam menerjemahkan euphoria reformasi dan demokratisasi yang begitu kuat secara teoritis mampu melahirkan komunikasi politik yang bebas aktif. Komunikasi media massa yang cenderung bebas aktif secara tidak langsung melahirkan konsekuensi-konsukuensi politik baru terhadap suatu peristiwa. Dan peristiwa konflik komunikasi yang tidak dibangun bersifat sinergis dan komplementer antara kedua belah pihak melahirkan persepsi-persepsi politik berdasarkan kepentingan masing-masing.
Pertanyaan kritis yang muncul ialah dimana peran dan kontribusi ilmu komunikasi terhadap dinamika perubahan bangsa dalam transisi demokrasi menuju kemapanan sistem negara demokratis? Bagaimana para aktor politik yang terlibat didalam konflik kekuasaan atas nama demokrasi didalam menerapkan komunikasi politik yang elegan dan dinamis sebagai pendekatan membangun kesamaan persepsi atas suatu kejadian?

B.    Rumusan Masalah
Agar pesan komunikasi politik kebijakan kelembagaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam proses pengawasan penyelenggaraan Pemilu, dan Pemilu Kada yang berbasis pada asas penyelenggaraan Pemilu, Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (Luber) serta Jujur, dan Adil (Jurdil) kepada stakeholders di X? Bagaimana respon aktor masyarakat (pilar-pilar demokrasi) terhadap pesan komunikasi politik kebijakan kelembagaan Bawaslu di mata masyarakat X?

C.    Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini berdasarkan permasalahan yang diangkat, yakni untuk menganalisis pesan komunikasi politik kebijakan kelembagaan Bawaslu dalam kerangka peran dan fungsi lembaga ini pada penyelenggaraan Pemilu dan Pemilu Kada di Indonesia di X. Menganalisis pengaruh peran pesan komunikasi politik kebijakan kelembagaan Bawaslu terhadap masyarakat X.

D.   Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu komunikasi, baik secara teoritis maupun secara teknis praktikal. Adapun objek penelitian dan teknik sampling yang digunakan yaitu : partai politik, kaum cendikiawan/intelektual, profesional, tokoh agama pemuka adat dan pers.
Teknik Sampling yang digunakan adalah Purpolisve sampling : disebut juga judgment sampling. Satuan sampling dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu dengan tujuan untuk memperoleh satuan sampling yang memiliki karakteristik yang dikehendaki. Kelebihan sampling ini adalah (1) memudahkan jalannya penelitian (2) penelitian lebih efesien (3) lebih teliti dan cermat dalam pengumpulan data, dan (4) lebih efektif. Kerugian dari teknik ini yaitu jika sampel yang kita gunakan tidak dapat mewakili semua karakteristik populasinya (tidak representatif), maka hasil penelitian tersebut diperlukan teknik sampling yang tepat, sehingga sampel yang digunakan benar-benar mewakili semua karakteristik populasi penelitian.

E.    Analisis Deskriptif kualitatif.
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2004 merupakan pemilu yang dilaksanakan dua kali setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Reformasi dengan menghadirkan sistem Pemilu yang baru secara langsung berimplikasi pada perubahan paradigma politik elit bangsa. Sistem penyelenggaraan pemilu diubah sedemikiaan rupa dengan maksud perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu menjadi lebih demokratis. Akan tetapi perubahan sistem pemilu ini dihadapkan dengan pertentangan ideologi politik dari partai peserta pemilu sehingga problem klasik berupa praktik manipulasi pemilu selalu saja muncul.
Pemilu tahun 2004 merupakan pemilu yang paling berbeda sendiri dalam sistem penyelenggaraan baik dari aspek teknis operasional maupun dari aspek substansial dengan sistem pemilu tahun 1999. Pemilu 2004 merupakan pemilu yang diselenggarakan pertama kali setelah dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar (UUD 1945). Melalui amandemen, struktur hukum, sistem politik termasuk sistem pemilu mengalami perubahan signifikan sehingga secara politik kelembagaan turut memengaruhi proses perekrutan elit di internal masing-masing partai politik.[8]
Setiap kejadian yang muncul dalam dimensi apapun selalu memicu persepsi-persepsi baru dari para aktor politik baik yang berada dalam struktur kekuasaan formal (pemerintah) maupun kekuatan elemen masyarakat diluar struktur kekuasaan negara (oposisi).
Peranan ilmu komunikasi sebagai isntrumen komunikasi politik dalam proses politik yang melibatkan dua pihak dalam suatu kepentingan berupa meraih simpati publik sangat signifikan. Peranan media massa selain sebagai alat komunikasi massa juga menjadi bagian penting dari proses perpolitikan yang ada untuk mendapatkan informasi dalam rangka mengambil suatu keputusan, termasuk membangun opini publik dan pencitraan politik. Ilmu komunikasi, A. Muis menjelaskan bahwa istilah komunikasi politik menunjuk kepada pesan sebagai objek formalnya, sehingga titik berat konsepnya terletak pada komunikasi dan bukan pada politik.[9]
Fenomenologi adalah studi tentang pengetahuan yang bersumber pada kesadaran, atau cara orang menjadi mengerti akan obyek-obyek serta peristiwa-peristiwa dengan mengalaminya secara sadar. Studi ini melihat obyek-obyek atau kejadian-kejadian dari sudut pandang si perceiver, individu yang mengalami hal-hal tersebut. Sebuah fenomena merupakan tampilan akan suatu obyek, kejadian,atau kondisi di dalam persepsi. Oleh karena itu, realita dalam fenomenologi adalah cara bagaimana hal-hal tampak dalam persepsi sadar dari seorang individu.[10]
Secara terminologi, tradisi komunikasi yang bersifat phenomenologi akan aktif manakalah dihadapkan dengan suatu peristiwa. Fenomenologi memandang komunikasi sebagai pengalaman melalui diri sendiri atau diri orang lain melalui dialog. Tradisi memandang manusia secara aktif menginterpretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungan. Tradisi fenomenologi memberikan penekanan sangat kuat pada persepsi dan interpretasi dari pengalaman subjektif manusia.[11]
Titik tekan tradisi fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam suasana yang alamiah. Tradisi fenomenologi dapat menjelaskan tentang khalayak dalam berinteraksi dengan media. Demikian pula bagaimana proses yang berlangsung dalam diri khalayak.[12]
Kajian ini tidak serta-merta melibatkan pemikiran seperti James Lull, Len Ang, atau pemikir klasik dalam bidang imlu komunikasi seperti Edmund Husserl, atau penemu fenomenologi modern Husserl secara teoritis maupun praktikal, tetapi kajian dalam tugas ini menganalisis perkembangan kinerja Badan Pengawas Pemilu dalam kaitannya dengan sosialisasi dan implementasi program pengawasan Pemilu dan Pemilu Kada dilihat dari pespektif teori ilmu komunikasi secara umum, namun, tetap dalam batas analisis permasalahan dengan pendekatan analisis kritis dan fenomenologis.
Pemahaman tradisi fenomenologi juga merupakan salah satu aliran yang berkonsentrasi pada pengalaman personal, termasuk bagaimana individual saling mengalami satu lain.[13]
Karena dalam analisis ini juga tidak mengharuskan pelibatan kajian  Fenomenologi Persepsi berlawanan dengan Husser yang membatasi fenomenologi pada objektivitas dan yang terakhir adalah Fenomenologi Hermeneutik aliran ini selalu dihubungkan dengan Martin Heidegger dengan landasan filosofis yang juga biasa disebut dengan Hermeneutic of dasein yang berarti suatu “interpretasi untuk menjadi”.
Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Menurut paham fenomenologi, ilmu bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound, memiliki hubungan dengan nilai.[14]
Menurut Phillipson (Walsh,1972:121) istilah fenomena itu berkaitan dengan suatu persepsi yaitu kesadaran. Fenomenologi akan berupaya menggambarkan fenomena kesadaran dan bagaimana fenomena itu tersusun. Dengan adanya kesadaran ini, tidak mengherankan jika pemerhati kebudayaan dan pelaku budaya juga memiliki kesadaran tertentu terhadap yang mereka alami. Pengalaman yang dipengaruhi oleh kesadaran itu, pada saatnya akan memunculkan permasalahan baru dan di antaranya akan terkait dengan ihwal seluk beluk kebudayaan itu sendiri.[15]
Ketika fenomenologi mulai menjelaskan bagaimana fenomena itu tersusun, ini berarti masih fenomenologi murni. Secara alamiah peneliti budaya akan menanyakan persepsi subyek budaya terhadap apa yang dialaminya. Dari interaksi subyek budaya itu, baik kesadaran subyek sebagai kesadaran makna dan fungsi dari suatu fenomena itu merupakan tonggak terjadinya penaf­siran.[16]
Suatu konsep pemikiran pembangunan politik yang mendasarkan pada paradigma demokratisasi bahwa jika konsep demokrasi yang diterapkan suatu Negara mampu membangun sistem politik yang demokratis maka menjadi keniscayaan bahwa penyelenggaraan birokrasi pemerintahan termasuk kelembagaan penyelenggara pemilu akan bekerja efektif dan efisien.[17]
Analisis komparasi, yaitu dengan cara membandingkan objek penelitian dengan konsep pembanding. Pendekatan dalam penelitian ini mencangkup analisis kolerasi dan analisis caussal comperative. Dalam penelitian ini akan dihasilkan dua kemungkinan (a) simpulan menyatakan bahwa konsep yang diteliti sama dengan konsep pembandingnya, dan (b) simpulan menyatakan terdapat ketidaksamaan konsep yang dibandingkan.

F.    Peran Bawaslu Dalam Pengawasan Pemilu Dan Pemilu Kada
Sebuah Usaha Membangun Legitimasi Lembaga Pengawas Pemilu

1.     Pemilukada di Indonesia 
Sebuah proses penyelenggaraan pemilu yang jauh dari polusi intervensi, jauh dari proses kontaminasi politik elit partai politik dan kemudian mampu mewujudkan suasana psikologi politik masyarakat yang kondusif pula. Dengan cara tersebut, maka integritas proses dan hasil penyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis akan hadir dalam benak masyarakat, dan dengan begitu legitimasi kepemimpinan nasional kuat adanya.
Tetapi bila pendekatan komunikasi politik yang terus dilakukan secara berlebihan oleh pemimpin eksekutif terhadap lembaga-lembaga negara seperti legislatif, dan yudikatif, maka sebaliknya peluang terbukanya ruang praktik korupsi dalam penyelenggaraan pemilu tetap terbuka. Masyarakat merasa prihatin terhadap penyelenggaraan pemilu pasca reformasi yang cenderung melahirkan praktik politik uang yang tidak saja melibatkan aktor elit tetapi sampai ke tingkat bawah.
Praktik politik uang dalam penyelenggaraan pemilu selalu jadi biang kekacauan sistem demokrasi, bahkan menghancurkan sendi-sendi moralitas politik bangsa, karena uang hampir menjadi sarat penentu utama kemenangan setiap calon yang menggunakannya. Politik uang sangat berpihak kepada calon yang menggunakannya. Kekuatan finansial masih menjadi faktor kuat pemenangan calon daripada kekuatan ideologi sekalipun. Dengan demikian, praktik pengingkaran politik nurani dalam penyelenggaraan pemilu harus dihentikan dengan menegakan hukum pemilu, baik pelanggaran administrasi maupun tindak pidana pemilu merupakan suatu keniscayaan.
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan sarana yang paling efektif untuk melaksanakan kedaulatan politik rakyat dalam konteks kebebasan memilih pemimpin yang kelak menjalankan kebijakan pembangunan negara. Melalui Pemilu, terjadi proses apa yang disebut dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1999 tentang Pemilusebagai suatu cara efektif menjalankan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tentu tetap dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Arah kebijakan negara akan sangat ditentukan oleh calon-calon pemimpin yang turut ambil bagian dalam pelaksanaan pemilu. Pemilu juga merupakan sebuah konsep demokrasi yang menempatkan nilai-nilai egaliterianisme politik masyarakat secara berperadaban.
Pemilu punya arti penting tentang bagaimana pembaruan sistem kehidupan masyarakat itu di mulai, karena lewat pemilu, warga bangsa akan diberikan kebebasan penuh untuk menggunakan prefrensi politik tanpa adanya intervensi yang berarti dari rezim atau kelompok politik manapun yang mengatasnamakan demokrasi. Tesis ini diperkuat dengan basis penerapan sistem penyelenggaraan pemilu yang berasaskan Langsung, Umum Bebas, Rahasia (Luber), Jujur, dan Adil (Jurdil). Titik tekan dari substansi penyelenggaraan pemilu yang Luber dan Jurdil diatur dalam UU No. 32/2004, UU No. 22/2007, dan UU No. 10/2008 tentang sistem dan mekanisme menggunakan hak pilih masyarakat dalam pemilu.
Sejak pemilu tahun 1955, kita tahu betapa transformasi demokrasi mendapat legitimasi yang cukup kuat dari dunia Internasional. Sistem multipartai baru pertama kali diterapkan dalam sebuah kondisi geo-sosio politik yang kurang stabil, tapi fakta menunjukkan, elit politik ketika itu mampu menghadirkan suasana demokrasi politik yang berperadaban.
Protes akibat pelanggaran pemilu pun relatif kurang meskipun ada namun dari cara mendisegn tradisi politik yang santun paling kurang siap kalah dan mengakui kemenangan lawan terasa begitu kuat. Ini sangat berbeda dengan kondisi politik baik pada pemilu 1971 yang merupakan fase pertama kehadiran rezim Orde Baru dalam pentas politik nasional maupun pemilu-pemilu berikut di era Orde Baru, bahkan hingga memasuki fase reformasi.
Secara teoritik, pemerintahan Orde Lama menerapkan sistem demokrasi terpimpin yang hingga memicu tersumbatnya kran demokrasi. Kegaduhan sistem politik masa transisi demokrasi menjadi faktor kegagalan negara dalam menyusun dan menerapkan sistem pemilu yang demokratis.
Kepemimpinan Soekarno, apa yang disebut oleh Herbert Feit (1962) dalam karya monumentalnya, The Decline of Constittutional Democracy in Indonesia, sebagai solidarity makers, dan administrator atau lebih dipahami sebagai problem solver ini kurang bersahabat dengan kultur politik bangsa. Kegagalan demokrasi parlementer era kekuasaan rezim Orde Lama tampak jelas akibat diterapkannya sistem constitutional democracy. Sebuah kegagalan membangun tradisi demokrasi kekuasaan yang elegan untuk membawa bangsa ke arah peradaban politik modern.
Reformasi sistem Pemilu dan sistem politik terus dilakukan dan pada setiap pergantian “rezim kekuasaan politik legislasi” di parlemen, hampir perubahan terhadap UU Pemilu, UU Kepartaian, dan UU Politik tidak pernah luput dari sikap politik partai-partai politik yang kontraproduktif.
Akan tetapi perubahan demi perubahan sampai saat ini belum mampu mewujudkan sebuah sistem yang relevan, dan bersahabat dengan tuntutan zaman. Apa yang disebut Plato dalam karya Republik-nya terbukti adanya sebuah realitas bernegara dalam situsasi modern saat ini.
Oligarki merupakan sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan konsep politik yang mengedepankaan kekuasaan di tangan segelintir orang. Dalam catatan literatur modern, Robert Michels (1959), menyebutkan, bahwa konsep oligarki kekuasaan, setidaknya telah diperlihatkan oleh beberapa negara yang pernah menerapkan sistem kekuasaan oligarki, antara lain, Jerman yang dipimpin Hitler, Uni Sovyet dibawah kendali Stalin, Perancis dibawah kekuasaan Louis XIX, bahkan Soeharto pun dikategorikan sebagai bagian dari rezim yang menjalankan sistem oligarki.
Dalam kaitan dengan gonjang-ganjing proses revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, terlihat dengan jelas bagaimana politik kekuasaan gaya oligarki ini bekerja aktif. Politisi parlemen seakan-akan memanfaatkan setiap periode “kekuasaan politik legislasi” di parlemen selama menjabat, sebagai lahan basah untuk menghidupkan sumber pemasukan finansial partai politik sehingga ketika revisi UU Pemilu itu dilakukan, anggota Dewan yang merupakan mesin politik politik ini lebih mengedepankan kepentingan individu maupun partai di mana mereka bernaung.
Fraksi partai besar seperti FD, FG, FPDIP, dan FKS,  akan berbeda visi atau bisa jadi sama kepentingan, namun secara politik kalkulatif, sama-sama memiliki kepentingan organisasi. Akibatnya, proses pembahasan revisi UU Pemilu tidak lagi memikirkan substansi, sejauhmana kepentingan masyarakat dalam pemilu termasuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu serta transformasi pendidikan politik bagi rakyat itu bisa teragregasi dengan baik, tetapi sebaliknya para wakil rakyat justru lebih mengutamakan bagaimana memperjuangkan kepentingan partai politik masing-masing.
Revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang digulirkan sejak awal tahun 2010 dan berdasarkan potret dinamika yang terjadi, agaknya semakin memperkuat pesimistis rakyat terhadap kinerja buruk anggota Dewan yang terhormat ini. Perjalanan penuh intrik dibalik pembahasan revisi terbatas UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Perdebatan klasik hingga pragmatis mewarnai pembahasan revisi UU Pemilu.
Dari persoalan calon keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan keanggotaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pro kontra menaikan ambang batas, persoalan jumlah keanggotaan Dewan Kehormatan KPU, terkait komposisi perwakilan kalangan masyarakat dari kalangan profesional, soal kemandirian KPU dan Bawaslu, serta boleh tidak kader parpol menjadi anggota KPU dan Bawaslu.
Tahun 1999 merupakan sejarah awal perpolitikan nasional dalam membangun tradisi politik yang demokratis dalam kerangka penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sejarah baru demokratisasi ini ditandai dengan diproklamasikannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang pada perjalanannya kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.  Pesan komunikasi politik kebijakan pemerintah yang demokratis dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang otonomi Daerah yang secara implisit menegaskan sikap pemerintah pusat ingin mengubah sistem dan cara penerapan Undang-Undang pemerintahan Daerah yang lebih adil dan demokratis.
Pertentangan ideologi politik antara masing-masing faksi politik lokal, regional, dan nasional yang terjadi dalam dua (2) sampai tiga (3) dekade dapat diredam secara elegan. Setidaknya kehadiran peraturan dan perundang-undangan pemerintah yang baru mampu merespon gejolak politik lokal yang cenderung menjurus pada disintegrasi bangsa.
Salah satu unsur problem yang seringkali memicu konflik politik antara pusat dan daerah ialah sistem penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) yang secara konstitusional menganut sistem demokrasi prosedural umum. Demokratisasi kekuasaan elit lokal hanya dikendalikan oleh sistem yang notabene menjadi dominasi elit pusat sehingga hal tersebut sangat mengganggu keamanan dan ketertiban bangsa.
Reformasi tahun 1998 menghasilkan perubahan kehidupan sistem pemerintahan yang semakin demokratis daripada masa-masa sebelum. Demokrasi prosedural di-tingkatkan menjadi demokrasi substansial yang pada intinya menempatkan kembali kedaulatan rakyat secara proporsional sesuai semangat Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi substansial telah menempatkan hak-hak politik masyarakat ke-dalam sistem yang adil. Pada fase ini demokrasi substansial kembali menghidupkan sistem penyelenggaraan Pemilu yang semakin adil dan demokratis pula, yang di-dalamnya termasuk penyelenggaraan Pemilu Kada di semua tingkatan.
Pemilu Kada yang dilaksanakan secara langsung merupakan salah satu unsur fundamental yang mampu menjawab tuntutan rakyat yang selama Pemilu-pemilu sebelumnya dianggap penuh rekayasa dan manipulasi. Pengendalian kekuasaan dan rotasi demokrasi tidak dimainkan langsung oleh rakyat tetapi hanya melibatkan para aktor elit politik pusat sehingga Pemilu dihadapan rakyat sebagai rutinitas kekuasaan yang dikehendaki segelintir elit. Alasan utama memilih judul ini adalah menganalisis secara komprehensif dan mengkaji sejauhmana respon pilar-pilar demokrasi terhadap efektivitas pesan komunikasi kebijakan politik Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam memaksimalkaan kewenangan yang ada berdasarkan peraturan dan perundang-undangan.
Titik tekan kajian ini ialah mengukur seberapa kuat peran daan fungsi lembaga pengawas Pemilu dalam proses penyelenggaraan Pemilu hingga mampu meyakinkan publik atas keberadaan lembaga tersebut sebagai lembaga yang mandiri dan professional.

2.     Badan Pengawas Pemilu
Reformasi telah menghasilkan begitu banyak instrumennya sebagai penopang transformasi nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Lembaga-lembaga negara dibentuk untuk mengakomodasi tuntutan akan realisasinya nilai-nilai demokrasi. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang sebelumnya disebut Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) adalah bagian dari lahirnya lembaga-lembaga baru.
Keberadaan Badan Pengawas Pemilu adalah sebagai instrumen inti demokrasi yang difungsikan Undang-Undang Pemilu Nomor 22 Tahun 2007 yang sekarang telah direvisi jadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu ditempatkan sebagai lembaga pengawas Pemilu. Bawaslu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses penyelenggaraan Pemilu Kada di seluruh tanah air.
Kehadiran lembaga Bawaslu dalam sistem ketatanegaraan nasional telah menjadi arus wacana yang menjurus pada penguatan kapasitas penyelenggara Pemilu Kada. Bawaslu memiliki tugas dan fungsi sebagai pengawas Pemilu. Oleh karena di-amanatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu sebagai pengawas Pemilu, maka Bawaslu mempunyai wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap semua tahapan penyelenggaraan Pemilu Kada.
Pertentangan wacana perlu tidaknya keberadaan lembaga ini semakin menguat di awal-awal pembentukan lembaga ini. Pro maupun kontra dari publik terhadap keberlangsungan lembaga ini terus menguat bahkan termasuk aktor politik nasional yang melihat kinerja Bawaslu secara sepihak. Bawaslu selalu dalam posisi yang serba sulit terutama dikalah berhadapan dengan tekanan wacana pembubaran lembaga ini karena dianggap tidak maksimal dalam melakukan tugas fungsi pengawasan Pemilu.
Betapapun demikian, tuntutan dan tekanan publik ini mampu direspon secara komprehensif oleh Bawaslu. Peningkatan kinerja dan upaya mewujudkan visi misi kelahiran lembaga ini, serta kemauan kuat untuk melakukan perubahan secara berarti dari lembaga ini dengan menunjukan prestasi yang baik dimata publik pada gilirannya mampu diterima oleh masyarakat khalayak terhadap eksistensi kelembagaan Bawaslu hingga sekarang.
Dalam konteks tersebut, komunikasi politik yang dikembangkan oleh lembaga Bawaslu dalam rangka membangun pencitraan kinerja kelembagaan dimata publik dengan program-program strategis yang telah dirumuskan kemudian mampu mewujudkan kepercayaan publik terhadap lembaga ini.
Dari kerangka komunikasi politik kebijakan yang akuntabel, transparan, dan berbasis good governance dari para anggota komisioner Bawaslu serta Sekretariat Bawaslu yang mampu merancang teknis-teknis kegiatan secara produktif dan elegan kemudian bisa menjawab tekanan publik untuk membubarkan lembaga ini bahkan mampu membalikan citra publik yang semula selalu negatif menjadi positif.
Penelitian ini akan melibatkan dua variable penting yakni variable dependen dan independen. Kedua variable inilah yang akan memandu proses perancangan dan kajian atas permasalahan yang ada. Variable terikat akan memfokuskan analisis internal kebijakan formal Badan Pengawas Pemilu yang disertai dengan analisis peraturan internal Bawaslu khususnya dalam membangun pencitraan diri sebagai lembaga yang independen. Sedangkan variable bebas lebih diarahkan kepada bagaimana menganalisis pesan komunikasi politik kebijakan Bawaslu dalam kaitannya dengan membangun komunikasi lintas kelembagaan.
Sementara indikator-indikator yang menjadi objek kajian ialah terkait struktur organisasi dan pesan komunikasi politik kebijakan Bawaslu dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Indikator keberhasilan dan kegagalan lembaga dalam menyampaikan pesan komunikasi politik kebijakan kelembagaan dari sisi wewenang yang diberikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilu dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,serta peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 19 Tahun 2009 Tentang tugas dan wewenang Bawaslu.
Persepsi publik semakin positif terhadap lembaga ini bahkan DPR dan pemerintah semakin menempatkan posisi Bawaslu sebagai bagian integral penyelenggara Pemilu. Persepsi elit dan aktor politik mengenai kinerja Bawaslu semakin memperlihatkan keberadaan lembaga ini sebagai pengawasan Pemilu Kada. Mengingat penyelenggaraan Pemilu dan Pemilu Kada seringkali melahirkan kekacauan politik bahkan pelanggaran Pemilu dan Pemilu Kada selalu menjadi problem demokrasi yang cukup akut.
Bawaslu memiliki perangkat kerja yang sistematis dalam mengkomunikasikan program kerja lembaga ini secara kelembagaan. Kemampuan komunikasi kelembagaan Bawaslu sekurang-kurangnya telah meraih legitimasi publik terhadap lembaga ini semakin kuat. Peran komunikasi politik kebijakan kelembagaan Bawaslu dirancang secara sistematis oleh komisioner dan sekretariat dan selanjutnya Bawaslu menggandeng semua stakeholders untuk membangun kualitas demokrasi melalui penguatan wewenang pengawasan Pemilu dan Pemilu Kada.
Pesan komunikasi politik kebijakan kelembagaan Bawaslu dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, atau dalam hal ini ialah pilar-pilar demokrasi seperti partai politik, kalangan profesional, kaum intelektual, pemuka masyarakat (tokoh adat), media, dan pengusaha telah menghasilkan sebuah persepsi yang positif dari publik tentang arti pentingnya keberadaan lembaga ini dalam proses penyelenggaraan Pemilu dan Pemilu Kada di Indonesia.

H. Kesimpulan
  1. Komunikasi pada dasarnya adalah kata benda yang statis, namun, dalam proses seiring terus terjadinya perubahan (siklus), maka komunikasi pun kemudian menjadi terus berkembang secara dinamis, dengan melibatkan aktor-aktor komunikasi sebagai komunikator dalam suatu urusan.
  2. Transisi demokrasi mengharuskan perubahan sistem penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) yang lebih demokratis, dan ilmu komunikasi menempati posisi strategis dalam struktur komunikasi politik negara.
  3. Peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam mengkomunikasikan program kerja secara efektif dan efisien mampu memperkuat eksistensi kelembagaannya dihadapan publik dengan memanfaatkan ilmu komunikasi yang parsial dan imparsialitas menunjukkan, bahwa Bawaslu mampu melakukan transformasi isu-isu strategis khususnya menyangkut penguatan wewenang kelembagaan pengawasan pemilu.
  4. Bawaslu merupakan lembaga independen yang bertugas fungsi melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilu pada semua tahapan.  
  5. Kelahiran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu sebagai hasil revisi UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu merupakan indikasi positif bahwa eksistensi kelembagaan pengawasan pemilu (Bawaslu) mampu memperkuat legitimasi elit terhadap lembaga ini.
  6. Realitas politik kekinian lebih mengedepankan asas perubahan dengan maksud menciptakan sistem penyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis, meski sistem pemilu dengan UU No. 15 Tahun 2011, namun tidak kemudian mampu merespon semua persoalan yang dihadapi pengawasan pemilu selama lembaga ini dibentuk.


Daftar Pustaka

Agus Dwiyanto, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi, PT. Gramedia, Jakarta, 2011.
Anwar Arifin, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila; Suatu Kajian Mengenai Pers Pancasila, Media Sejahtera, Dewan Pers, Jakarta, 1992
Bambang Istianto, Demokratisasi Birokrasi, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2011.
 Lely Arrianie, Komunikasi Politik; Politisi Dan Pencitraan di Panggung Politik, Widya Padjajaran, Bandung, 2011.
Craig, Robert T. Communication Theory As a Field. Communication Theory 9.1999
Khaerul Umam, Perilaku Organisasi, Pustaka Setia, Bandung, 2010
Fernita Darwis, Pemilihan Spekulatif; Mengungkap Fakta Seputar Pemilu 2009, Alfabeta, Bandung, 2011.
Littlejohn, Stephen W. 1995, Theories of Human Communication. Amerika:Wedswort Publishing Company
Makalah, Melompat Lebih Tinggi dan Lebih Jauh Kontemplasi Tanpa Imajinasi, Jumat, 09 Mei 2008, http://petrusandung.wordpress.com/2009/12/17/7-tradisi-teori-komunikasi/
Morissan, Teori Komunikasi Dan Paradigma Penelitian, Serta Tinjauan Terhadap Analisis Wacana dan Bingkai, Makalah
Prahastiwi Utari, Perspektif Tujuh Tradisi Dalam Teori Komunikasi, hepcore, Prahastiwi Utari
R. Funny Mustikasari Erlita, Konstruksi Sistem Komunikasi Dalam Implementasi “Knowledge  Management, dalam (penyunting.,), Atwar Bajari, Komunikasi Kontekstual, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2011.
Suwardi Endraswara, Metodologi Riset, Budaya-UGM Press,  http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/09/25/fenomenologi-1/


[1]Khaerul Umam, Perilaku Organisasi, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hal, 228.
[2]Agus Dwiyanto, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi, PT. Gramedia, Jakarta, 2011, hal, 101.
[3]Ibid, hal, 307.
[4]R. Funi Mustikasari Erlita, Konstruksi Sistem Komunikasi Dalam Implementasi “Knowledge Management”, dalam (Penyunting), Atwar Bajari, Komunikasi Kontekstual; Teori Dan Praktik Komunikasi Kontemporer, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2011, hal, 355.
[5]Ibid, hal, 357.
[6]Ibid, hal, 358.
[7]Lely Arrianie, Komunikasi Politik; Politisi Dan Pencitraan Di Panggung Politik, Widya Padjajaran, Bandung, 2011, hal, 17.
[8]Fernita Darwis, Pemilihan Spekulatif; Mengungkap Fakta Seputar Pemilu 2009, Alfabeta, Bandung, 2011, hal, 37.
[9]Anwar Arifin, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila; Suatu Kajian Mengenai Pers Pancasila, Media Sejahtera, Dewan Pers, Jakarta, 1992, hal, 9.
[10]Stephen W Littlejohn, Theories of Human Communication. Amerika: Wedswort Publishing Company.1995. hal, 203.
[11]Morissan, Teori Komunikasi Dan Paradigma Penelitian, Serta Tinjauan Terhadap Analisis Wacana dan Bingkai, Makalah.
[12]Melompat Lebih Tinggi dan Lebih Jauh; Kontemplasi Tanpa Imajinasi, Jumat, 09 Mei 2008, http://petrusandung.wordpress.com/2009/12/17/7-tradisi-teori-komunikasi/
[13]Prahastiwi Utari, Perspektif Tujuh Tradisi Dalam Teori Komunikasi, hepcore, Prahastiwi Utari
[14]Suwardi Endraswara, Metodologi Riset, Budaya-UGM Press, http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/09/25/fenomenologi-1/
[15]Ibid,
[16]Ibid,
[17]Bambang Istianto, Demokratisasi Birokrasi, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2011, hal, 13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar