Rabu, 02 April 2014

PERAN ELIT DALAM KOMUNIKASI POLITIK (Studi Kasus Kampanye Pemilukada Provinsi DKI Jakarta 2012)



I.      Pendahuluan
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, dalam masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam komunikasi. Pentingnya suatu komunikasi bagi manusia tidaklah dapat dipungkiri begitupula halnya bagi suatu negara. Dimana didalamnya menurut Goetano Mosca terdapat sekelompok orang yang memerintah dan orang yang diperintah.
Orang yang memerintah yang biasanya disebut elite politik sedangkan orang yang diperintah adalah masyarakat atau rakyat (kelompok massa). Kelompok elite politik jumlahnya agak sedikit, mengambil peran utama dalam hampir semua fungsi politik nasional, memonopoli kekuatan dan menikmati keuntungan daripadanya; sedangkan kelompok massa, dibina dan diawasi oleh yang pertama baik secara legal atau tidak, dengan atau tanpa pedoman hukum dan kekerasan. Dengan adanya komunikasi yang baik akan suatu pemerintahan dapat berjalan dengan baik, lancar serta berhasil begitupula sebaliknya, kurangnya komunikasi akan menghambat jalannya pemerintahan dan pembangunan yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian yang sangat besar akan di alami oleh rakyat atau masyarakat negara tersebut.
Definisi komunikasi yaitu suatu aktivitas yang mempunyai beberapa tahap yang terpisah satu sama lain tetapi berhubungan[1]. Sedangkan DR. Arni Muhammad memberikan pengertian komunikasi yaitu pertukaran pesan verbal maupun non verbal antara si pengirim pesan dengan si penerima pesan untuk mengubah tingkah laku. Komunikasi yang efektif adalah penting bagi semua kalangan.
Oleh karena itu, para pemimpin dan para komunikator perlu memahami dan meyempurnakan kemampuan komunikasi mereka. Elit politik juga termasuk ke dalam komunikator bagi suatu negara. Elit politik sangat mempengaruhi kebijakan yang akan dibuat untuk masyarakat banyak. Oleh karena itu, komunikasi elit politik perlu diperhatikan karena sangat berpengaruh pada penyampaian pesan kepada masyarakat banyak. Apabila penyampaian pesan itu salah akan mengakibatkan persepsi yang salah juga pada masyarakat.[2]
Elit politik sebagai bagian dari pemerintah harus memiliki hubungan yang harmonis dan dinamis dengan kelompok massa, karena dengan terwujudnya hubungan yang harmonis dan dinamis maka komunikasi antara elite politik dengan khalayak (rakyat) dapat berjalan lancar sehingga kebijakan yang akan dikeluarkan oleh elite politik tidak akan merugikan masyarakat (rakyat). Mosca menguraikan lebih lanjut tentang hubungan dinamis antara elit dan massa. Menurutnya para elit berusaha bukan hanya mengangkat dirinya sendiri di atas anggota masyarakat lainnya, tetapi juga mempertahankan statusnya terhadap massa dibawahnya, melalui para “sub-elite” yang terdiri dari kelompok besar dari seluruh kelompok menengah yang baru, aparatur pemerintahan, manager, adminmistrator lainnya, ilmuwan dan kaum intelektual lainnya.
Banyak teori yang dibuat oleh para ahli yang berhubungan dengan elite politik klasifikasi elite menurut mosca ada dua:
a.        Elite politik yang memerintah yang terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam pemerintahan.
b.       Elite yang tidak memerintah yang merupakan sisa yang besar dari seluruh elite.

Kedua elite di atas masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda dalam usaha mereka menguasai dan mempengaruhi massa. Dari banyaknya klasifikasi elite yang dibuat para ahli, ada beberapa tipe yang ideal mengenai elite politik.
Tipologi ideal elite tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Elite dinastik. Elite dinastik adalah mereka yang berasal dari golongan aristokrasi, pedagang dan pemilik tanah.
Tipe elite ini memberi kepemimpinan yang tertutup sifatnya, dengan keanggotaanya yang umumnya berasal dari anggota keluarga, sehingga dalam menyampaikan pesan (berkomunikasi) dengan khalayak terkesan ditutupi tidak terbuka sehingga kebijakan yang dibuat tidak diketahui secara jelas oleh khalayak hanya pada tatanan keluarga saja.
2.        Elite kelas menengah. Kelompok ini merupakan elit baru yang ternyata dalam kemajuan hidupnya berdampingan dengan elite lama. Mereka berasal dari kelompok pedagang dan pengusaha.
3.        Intelektual revolusioner. Merupakan kelompok baru yang muncul mengambil alih kepemimpinan nasional dan menyingkirkan elit lama dan mungkin juga budaya lama yang bersifat kolononial. Ideologi menekankan gagasan panggilan historis dan peran serta memiliki dedikasi tugas yang tinggi.
4.        Administrator kolonial. Elite ini mewakili dan bertanggung jawab kepada negara penjajah. Kepemimpinan mereka lebih mengandalkan kekuatan fisik dan ancaman daripada bujukan dan kompromi.
5.        Elite nasionalistik. Bagi elite nasionalis dinegara berkembang, nasionalisme masih merupakan sentimen daripada sistem pemikiran yang dijabarkan.
Tipe-tipe elite diatas dalam berkomunikasi disesuaikan dengan sistem politik yang dianut oleh negara dimana elite tersebut berada. Untuk negara Indonesia paling tidak kita sedikit mempunyai gambaran atau paling tidak sudah meraba-raba seperti apa tipe elit yang memimpin Indonesia.
Dengan pola seperti itu, akan terlihat bagaimana proses komunikasi politik berlangsung, baik proses komunikasi secara vertikal yakni antara masyarakat dengan elit politik mapun proses komunikasi secara horisontal yakni antara elite politik dengan elite politik yang berada dalam struktur politik. Oleh karena banyaknya tipe-tipe elite yang memimpin suatu pemerintahan, maka juga akan berpengaruh pada bagaimana para elite politik menyampaikan pesan pada khalayak (rakyat) sebagai kelompok mayoritas dalam kata lain bagaimana komunikasi antara (meminjam istilah Mosca) elite dan massa.

II.   Bentuk-bentuk Komunikasi yang Mendominasi Komunikasi Politik
Kampanye pada dasarnya pidato, kampanye, dan propaganda merupakan bentuk-bentuk komunikasi antar manusia (human communications) yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan teknik dan metode tertentu pula. Istilah kampanye berasal dari Bahasa Inggris campaign yang juga berasal dari Bahasa Latin campus yang berarti “extensive track of country, series of operation in a particular theactric war, an organized series of operation, meeting canvassing”. Hal ini membawa permasalahan ke masalah berkomunikasi populer/popularisasi tentang suatu masalah.
Menurut Rice dan Paisley yang dikutip oleh F. Rachmadi mengatakan bahwa kampanye adalah keinginan seseorang untuk mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku orang lain dengan daya tarik yang komunikatif. Tujuan kampanye adalah menciptakan ‘perubahan’ atau ‘perbaikan’ dalam masyarakat.[3]
Menurut Astrid S. Soesanto menyatakan bahwa prinsip dasar dalam kampanye[4] adalah bahwa kampanye mengikuti proses komunikasi dan unsur-unsurnya, yaitu:
Proses Rasionalisasi/Emosionalitas. Proses rasional yaitu apa yang secara harfiah disampaikan dalam suatu kegiatan komunikasi. Proses emosional yang “sekedar” tersirat dalam penyampaian informasi. Proses rasionalitas biasanya terjadi waktu orang membahas hal-hal yang tidak terlalu melibatkan kepentingan pribadinya sehingga konsensus mudah tercapai. Unsur rasionalitas adalah proses pengoperan lambang-lambang secara harfiah dan proses komunikasi ialah proses emosionalitas yang mengiringi informasi rasional tadi. Tingkat emosionalitas dapat dideteksi melalui : pilihan kata dan tanda penyampaian.[5] Hal lain yang berkaitan dengan proses rasionalitas adalah anteseden yaitu sumber pengalaman yang mendahului.
Unsur emosionalitas dan rasionalitas juga makin meningkat atau berkurang bila dikaitkan dengan :
a.        Kemampuan ekonomi/pendidikan
b.       Relevansi dengan hidup
c.        Demi waktu/rencana memanfaatkan waktu

Proses informasi dan proses komunikasi. Proses perumusan informasi diambil dari sumber retreval yang tepat sumber, tepat alinea, tepat digit. Proses komunikasi dengan retreval ditentukan oleh anteseden atau pengalaman yang mendahului, tetapi yang terpenting ialah adanya logika yang mengkaitkan informasi baru dengan informasi lama.
Sedangkan pendapat F. Rachmadi bahwa dalam melaksanakan kampanye ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, antara lain : Perkiraan terlebih dahulu kebutuhan, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan dari khalayak sasaran.
ü  Rencanakan kampanye secara sistematis.
ü  Lakukan evaluasi secara terus-menerus.
ü  Gunakan media massa dan komunikasi interpersonal.
ü  Pilihlah media massa yang tepat untuk mencapai khalayak sasaran.[6]
Menurut Astrid S. Soesanto secara ilmiah proses kampanye berjalan sebagai berikut: mirip dengan iklan, tetapi lebih kuat dan agresif (catatan : iklan adalah sejenis kampanye memerlukan proses lebih panjang dan lama) kampanye “mencegat” orang hampir di semua sudut. Tidak menyerahkan pengaruh kepada free market / social forces, menemui sasarannya dalam berbagai bentuk, keberhasilan kampanye ditentukan oleh tersedianya sesuatu segera setelah pesan mencapai sasaran, singkatnya kampanye “mengeroyok” sasaran di mana-mana dengan kata dan kegiatan, dan tidak mengenal ragu dan sangat yakin dan meyakinkan.[7]
Selanjutnya sebelum mengadakan program kampanye perlu diadakan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan dalam merumuskan suatu program pesan-pesan kampanye, seperti[8] :
Ø  Siapakah komunikator, kepentingannya dan sasarannya ?
Ø  Apakah lingkungan mendukung ?
Ø  Bagaimana ketersediaan “sesuatu” alternatif bila pesan kampanye diterima khalayak ?
Ø  Bagaimanakah masa depan “sesuatu” (yang dikampanyekan) berikut unsur pendukung dan persaingan?

Semua topik telah diteliti, seperti sasaran, lingkungan, latar belakang budaya, overlapping of interest (perimpitan kepentingan). Contoh overlapping of interest adalah KB memakai perbaikan taraf hidup sebagai sasaran, yang “berimpit” dengan sasaran dan harapan masyarakat. Apakah data secara rasional telah siap untuk merumuskan slogan atau motto yang sesuai dan tidak memaksakan. Contoh motto BERIMAN (Bersih Indah dan Aman); ASRI (Aman Serasi Rapi Indah) merupakan motto yang dipaksakan.
Slogan Sumedang Tandang cukup berhasil memacu masyarakat Sumedang untuk membangun dan setiap warga berpikir demikian tanpa adanya motto di jalan-jalan. Dalam kampanye memungkinkan untuk dialog, karena kampanye bersifat two way traffic communication dan juga kampanye menggunakan pendekatan modern bersifat ekspresif. Hal ini membuat kampanye berbeda dengan propaganda. Proses kampanye mirip proses komputer (PC) yang memiliki kemampuan strorage, retrieval, processing, transference dan preference. Perubahan/pendekatan kampanye selalu mengikuti atau disesuaikan tahap demi tahap dengan tingkat perubahan yang telah dicapai.

Menurut Astrid S. Soesanto secara teknis langkah-langkah tersebut ialah[9] :
ü  Pesan sama untuk khalayak yang berbeda kemampuan menyebarluaskan informasi (share) dan memisahkan (sepaate) informasi bila tingkat IQ khalayak berbeda mampu mengerjakan massifikasi dan juga de-massifikasi.
ü  Memanfaatkan pendekatan single sensory (indera tunggal) dan multy sensory (indera ganda). Didesak oleh waktu, dan Mengenal sikap interaktif, yaitu :
ü  Dengan khalayak,
ü  Antar media, dan
ü  Person to person (tetapi tidak selalu face to face).

Kesuksesan suatu kampanye selalu dipengaruhi oleh seberapa jauh suatu kelompok atau suatu partai politik atau suatu perusahaan atau pun lembaga pemerintah di kenal di lingkungan khalayak, dan seberapa banyak pesan kampanye itu disebarluaskan melalui beberapa media sekaligus. Kampanye juga sangat tergantung dari jenis saluran komunikasi yang digunakan dan juga tergantung dari isi pesan kampanye tersebut. Isi pesan biasanya akan terhalang oleh kepentingan khalayak terhadap pesan yang disampaikan. Juga isi pesan selalu ditafsirkan sesuai dengan persepsi khalayak. Maka jika persepsi khalayak berbeda dengan isi pesan sesungguhnya akan mengakibatkan boomerang effect (berbalik menentang) dan counter effect (tidak akan mengikuti/menjalankan isi pesan kampanye).
Yang terakhir dan sangat menentukan kesuksesan dalam kampanye adalah bahwa dalam melaksanakan suatu kampanye diperluklan juga kredibilitas juru kampanye. Rice dan Paisley menyatakan kesuksesan suatu kampanye sangat tergantung dari personal influence, dalam arti para juru kampanye harus orang yang dihormati di lingkungannya dan juru kampanye tersebut memiliki kredibilitas yang tinggi. Kredibitas yang tinggi akan menumbuhkan wibawa para juru kampanye.
Yang perlu diingat bahwa dalam kampanye dilakukan cara-cara yang sesuai dengan prosedur, baik prosedur secara ilmiah maupun prosedur secara etika dan hukum. Maka kampanye tersebut disebut juga white campaign. Apabila proses kampanye dilaksanakan tidak sesuai atau bertentangan prosedur ilmiah dan prosedur etika hukum yang berlaku maka kampanye itu dinamakan black campaign.[10]

Wajah Politik
Dunia politik kini tidak lepas dari dunia komunikasi. Pasalnya, kegiatan politik dilandasi oleh komunikasi dalam menyampaikan ide, gagasan, pendapat, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan negara. Menurut Almond (1960), komunikasi politik adalah bagian dari tujuh sistem politik yang tidak berjalan sendiri, karena komunikasi membantu sistem-sistem politik lainnya. Komunikasi politik juga ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, karena komunikasi selalu ditemui di belahan dunia manapun.

III.     Elit Politik dalam Sistem Politik Indonesia
Sistem komunikasi politik kita secara vertikal terdiri dari elite politik, media massa dan masyarakat; masing-masing merupakan subsistem yang berfungsi selaku sumber (komunikator), saluran dan khalayak penerima (komunikan). Dan suatu proses yang dikenal sebagai umpan balik (feed back).
Di negara–negara totaliter dengan pola komunikasi satu kepada semua, proses komunikasi politik berlangsung dimana elite politik sebagai sumber pesan-pesan politik (komunikator politik) yang berada pada posisi aktif, sementara media massa sebagai saluran bagi setiap pesan politik dan masyarakat sebagai khalayak penerima pesan yang berada pada posisi pasif. Pesan-pesan/informasi politik secara berkesinambungan datang dari elite politik dari media massa dan masyarakat, secara mutlak harus mentaati dan menerimanya. Dengan demikian proses komunikasi berlangsung dari atas ke bawah.
Proses umpan balik juga ada yakni dalam bentuk persetujuan (semu) masyarakat terhadap apa yang datang dari atas. Sedangkan pesan maupun informasi politik hampir sepenuhnya bersifat agitasi dan propaganda. Jadi para elite politik itu bertindak sebagai agitator dan propagandis, sedangkan media massa berfungsi sebagai sarana propaganda politik.
Sebagai komunikator, elite politik mengerahkan pengaruhnya ke dua arah yaitu menentukan alokasi ganjaran (imbalan dan hukuman, atau reward and punishment) dan mengubah atau mencegah perubahan struktur sosial/politik yang ada. Dalam kewenangannya yang pertama, elite politik berkomunikasi sebagai wakil dari kelompok penguasa (diktator plorelatar). Sedangkan pada negara demokratis dengan pola komunikasi satu kepada satu, proses komunikasi berlangsung secara vertikal dan horisontal. Di Indonesia, pola komunikasi satu kepada yang satu lainnya hanya berlangsung pada situasi-situasi tertentu dan relatif masih berlangsung antara elite politik dengan anggota masyarakat, elite dengan elite yang lain secara individual maupun kelompok, serta antar masyarakat dengan masyarakat lainnya secara individual maupun kelompok. Secara umum dapat dikatakan bahwa pembicaraan politik masih didominasi elite politik. Selain itu media massa tidak bisa memanfaatkan sedikit kebebasan yang dimilikinya tetap untuk menangkap dan meyebarkan pembicaraan politik tersebut.

Mengapa FOKE-NARA kalah ??
Kekalahan yang diterima Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli menurut penghitungan cepat disebabkan karena salah strategi sikap politik Foke-Nara. Sikap politik tersebut sudah melekat pada karakteristik Foke sejak putaran pertama. Stigma kegagalan periode pertama yang sudah lama melekat pada Foke membuatnya sulit bergerak di pilkada putaran kedua. Stigma tersebut memalingkan pilihan warga kepada wajah penantang yang dianggap mampu memberi harapan baru. Foke menjadi sulit mengimplementasikan program-program di fase akhir jabatannya karena waktu yang terlalu pendek untuk bersosialisasi dan mengubah stigma. Karena kesulitannya itulah Foke terkesan kerja sebatas pencitraan saja.
Selain itu Foke memiliki kesenjangan hubungan komunikasi politik antara dirinya dengan warga dan media massa. Kelemahan Foke adalah kurang bisa membangun semangat komunitarian dengan warga. Akibatnya, ia kerap terbangun pada pola hubungan antagonistik antara dirinya dengan media dan sense of belonging warga terhadap Foke juga memudar.[11]
Pengamat komunikasi politik, Henry Subiakto mengatakan hasil hitung cepat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang mengunggulkan Joko Widodo merupakan bentuk penghukuman masyarakat terhadap kegagalan Fauzi Bowo dalam mengurai kemacetan di ibu kota. Terutama masyarakat kelas atas yang selama ini merasa kecewa terhadap kondisi lalu lintas Jakarta yang selalu macet setiap saat.
Padahal Fauzi Bowo--dinilai cukup berhasil bagi masyarakat kalangan bawah dengan program-program yang menyentuh mereka secara langsung seperti kesehatan dan pendidikan gratis serta tunjangan guru. Namun, masyarakat kelas atas yang setiap hari dilanda kemacetan merasa marah dan kecewa terhadap kepemimpinan Foke. Kemarahan masyarakat Jakarta semakin terakumulasi karena iklan politik calon petahana itu justru hanya menampilkan keberhasilan-keberhasilannya. Di satu sisi masyarakat muak oleh kemacetan, di saat yang sama disuguhi iklan-iklan politik Foke yang ada di jalan-jalan. Realitas sebenarnya itulah yang menjadi kampanye yang efektif bagi masyarakat supaya tidak memilih Foke.
Kondisi itu belum tentu terjadi pada daerah lain yang biasanya calon incumbent memiliki modal politik yang kuat. Contohnya Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang dinilai berhasil memimpin provinsi itu dan dicintai warganya. Realitas di daerah lain berbeda. Sebagai incumbent, maka Foke merupakan figur calon gubernur yang paling dikenal, tetapi karena tidak bisa menyelesaikan masalah kemacetan di Jakarta, dia menjadi dikenal sebagai figur yang gagal.
Ucapan Foke kepada korban kebakaran Karet, selasa 7 Agustus 2012 lalu yang menyebar di dunia maya lewat video amatir yang diunggah ke situs media sosial youtube. Dalam video itu, Foke menanyakan apa pilihan politik para korban dalam Pemilihan Gubernur Jakarta. Jika korban memilih pesaingnya, Walikota Solo Joko Widodo, Foke -entah spontan atau serius- menyarankan korban kebakaran pindah dan membangun rumah mereka di Solo saja. Celotehan Fauzi Bowo memang bisa dinilai kurang tepat dan merupakan pelanggaran etika komunikasi politik. Itu keseleo lidah, dan bisa mengganggu elektabilitas yang bersangkutan.[12]

IV.      Komunikasi “Politik” Komunikasi Foke
Perlahan tapi pasti kandidat pasangan nomor 3 Jokowi-Ahok mengungguli kandidat lain termasuk Foke-Nara. Hanya terdiam dan terperangah yang dapat dilakukan memandang pertambahan grafik suara dilayar televisi. Menempatkan Jokowi-Ahok diperingkat pertama dan Foke-Nara diperingkat kedua. Sejumlah pertanyaanpun muncul. Mulai dari pertanggungjawaban survey, kinerja tim sukses, hingga kepiawaian konsultan, dan lain-lain.
Sejumlah jawabanpun menjadi kawannya, margin error atau undecided voters yang tidak diperhitungkan lembaga survei, manajemen tim sukses yang kurang tertata, konsultan yang salah membaca peta, kaum golput yang sebetulnya pro Foke-Nara namun karena telah yakin akan menang akhirnya melalaikan hak dan kewajibannya untuk mencoblos, dll. Terkait dengan sejumlah pertanyaan dan jawaban diatas, kekecewaan dan ketidakpuasan karena menganggap Foke gagal total dalam menjalankan pemerintahannya periode 2007-2012, hingga tidak ada sedikitpun celah untuk mendiskusikan kelayakannya melanjutkan kepemimpinannya di DKI periode mendatang. Padahal banyak pengurus Partai Demokrat di Jakarta, mereka sudah berkali-kali memperoleh informasi mengenai apa saja yang telah dikerjakan Foke selama masa pemerintahannya dan apa kendala maupun hambatan yang dihadapi untuk mengeksekusi berbagai kebijakan tersebut, serta apa saja yang akan dilanjutkannya jika terpilih kembali. Apakah informasi ini tidak sampai kepada masyarakat Jakarta secara utuh dan menyeluruh, atau content komunikasi yang tidak mengena kepada konstituen sebagai media kampanye incumbent.[13]
Mengelola DKI bukanlah kerja simsalabim. Banjir misalnya, dengan 13 aliran sungai serta sebagian daratan yang berada dibawah permukaan laut tentu membutuhkan pemikiran dan pertimbangan extra, demikian juga dengan ketidakberimbangan pertumbuhan jalan dengan pertumbuhan kendaraan yang berimbas kepada kemacetan. Belum lagi prilaku tidak tertib masyarakat sebagaimana tayangan disalah satu scene mengenai banyaknya sampah dikali yang bisa jadi sebagian diantara kita adalah pelakunya. Akan tetapi Fauzi Bowo telah membuat sebuah cetak biru pembangunan ibu kota, beberapa point bahkan telah dieksekusi dan telah dirasakan manfaatnya oleh sebagian masyarakat Jakarta secara langsung. Bagi saya dibalik segala kekurangan personal, etos kerjanya lebih baik untuk dikaji.
Keberhasilan kinerja Foke tak bisa diukur hanya dengan satu periode saja. Calon gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo alias Foke sebenarnya dinilai sukses mendongkrak perolehan suara di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta. Hanya saja, isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang diembuskan calon wakil gubernur Nachrowi Ramli alias Nara saat mendekati pemungutan suara malah menjadi blunder politik. Jika melihat hasil hitung cepat sejumlah lembaga, Foke-Nara bisa mendapat tambahan suara hingga sekitar 13 persen di putaran kedua. Foke, telah mampu mengatasi beban stigma kegagalan selama menjabat sebagai gubernur periode 2007-2012.
Foke mendekati para elite parpol sehingga mampu mendapat tambahan dukungan parpol di putaran kedua. Adapun pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama hanya mampu mendapat tambahan suara sekitar 10 persen di putaran kedua. Tambahan 13 persen itu tidak gampang. Kalau dilihat peta, apa yang dilakukan dia (Foke) dengan mendekati simpul-simpul suara sudah lumayan kita apresiasi. Hanya masalahnya fase mendekati pencobosan ada blunder politik, seperti isu SARA yang tidak kena pada lapis kelas menengah atas. Yang tidak merespons isu SARA itu kemudian tidak empati lalu cenderung ke Jokowi-Ahok. Foke sebenarnya unggul dalam dua debat resmi pilkada yang digelar KPU lantaran memegang data kondisi Jakarta yang relatif lengkap.[14]
Dua calon gubernur DKI Jakarta, makin sering adu gaya. Sayang, soal aksi di depan kamera, Foke bukan ahlinya. Jokowi jauh matang beraksi. Tentu bukan itu saja. Lihatlah, bagaimana Jokowi begitu tangkas ketika berhadapan dengan kamera. Foke, jauh tertinggal. Sangat terlihat bahwa konsultan komunikasi politik dan konsultan media Foke, tidak bisa “larut” dalam kepribadian Foke. Sebagai tokoh yang bertarung di wilayah publik, Foke dibiarkan “jalan sendiri.”
Dalam performa media, Foke sama sekali tidak memiliki fashion-characteristic-style. Satu-satunya fashion yang melekat dengan Foke : kumisnya. Ini jelas berbeda dengan Jokowi. Fashion-nya dijaga betul. Bajunya selalu kotak-kotak. Tentu saja, dengan lengan baju yang terlipat, celana selalu jeans, atau yang sporty. Sangat jelas terlihat, konsultan politik Jokowi begitu “larut” dalam kehidupan tokohnya. Walhasil, Jokowi betul-betul muncul sebagai sosok yang nasionalis, merakyat, tangkas, responsif. Ini seperti menghidupkan salah satu tokoh yang menjadi inspirasi Bung Karno tentang nasionalisme. Marhaenisme adalah faham yang terinspirasi dari Pak Marhaen, meski ada juga versi lain yang menyebut bahwa Marhaen juga bisa berarti Marx, Hegel dan Lenin. Yang jelas, Jokowi berhasil. Sebagai figur yang baru di-launching dalam pentas politik nasional, Jokowi sudah berhasil membumi.[15]

o   Lantas, bagaimana dengan Foke?
Problem utama Foke ada di lingkaran dalamnya sendiri.[16] Citra komunikasi politik Fauzi Bowo yang selama ini dinilai arogan dan tidak merakyat. Buktinya, untuk memilih pakaian saja, Foke masih melihat bersama siapa dan dengan siapa akan berjumpa. Para konsultan Foke, terlihat gagal memahami ini. Dari berbagai pemberitaan di media, nampak jelas kedua ‘ksatria’ begitu jauh berbeda. Beberapa pengamat berpandangan, pertarungan Jokowi versus Foke adalah pertarungan personality versus strategi, kepribadian versus taktik pertempuran. Keunggulan Jokowi atas Foke pada putaran pertama pilkada DKI 11 Juli silam adalah kemenangan personality, bahwa rakyat DKI terkini lebih memilih figur pemimpin yang natural dan merakyat.
Foke lupa, di satu sisi memang dia berusaha untuk sikap seorang pemimpin yang tegar dan dewasa, tidak berusaha mencari kambing hitam atas kekalahan. Namun di sisi lain publik justru semakin tidak bersimpati. Akan lebih menguntungkan bila ia berkata, ”Sejujurnya saya cukup kaget dan tidak menyangka hasil seperti ini. Tapi, mau gimana lagi? Inilah hasil demokrasi.”
Kejujuran, ceplas-ceplos apa adanya, berani mengakui ‘ketololan’ diri, ini yang tak bisa didapati dari diri Fauzi Bowo. Foke abai dengan personality. Masih style khas pemimpin birokrat-feodal ala orba yang jumawa, kebiasaan orang-orang yang terlalu lama duduk di kursi kekuasaan dengan sederet atribut intelektualitas. Dalam kegalauan psikologi karena akumulasi kekecewaan, terutama dengan gagalnya reformasi merombak tatanan bangsa-negara, terutama kegagalan memerangi KKN, rakyat bermimpi akan kehadiran seorang ‘dewa penyelamat. Entah itu bernama satrio paninggit, imam mahdi atau ratu adil, sah-sah saja rakyat mencari simbol pertahan dari keputusasaan untuk tidak ‘mati berdiri’ di negeri sendiri.
Lalu kehadiran Jokowi dengan ‘ciri-ciri’ yang paling mendekati dengan ‘figur khayalan’ sang penyelamat menjadi fenomena. Momentum tiba. Plus analisis politik dan babat sejarah ‘keajaiban’ suksesnya kota Solo di bawah kepemimpinan seorang Jokowi selama menjabat sebagai walikota semenjak 2005, simpul jawaban pun tercipta. Sedikit belajar dari sejarah, krisis kepemimpinan bukanlah wacana baru. Rakyat mencari figur pemimpin. Pencarian yang tak mungkin bisa dipadamkan dalam setiap bangsa manapun di dunia, di zaman apapun, akan selalu ada. Rakyat bermimpi, DKI bermimpi, hadir Jokowi. Pilkada DKI hanyalah pucuk dari gelombang sejarah NKRI. Masih kebetulan pula dengan kesamaan sejarah PDIP, PD dan Gerindra, tiga partai yang sama-sama bernuansa demokrasi meski dengan cita rasa berbeda. Jokowi-PDIP-Gerindra menjadi pertalian ‘kebetulan’ momentum.
Sedang Foke dengan backing Partai Demokrat, partai yang sama-sama mengusung demokrasi namun bercita rasa birokrat-teknokrat ‘kelas atas’ adalah simbol penguasa, status quo, sekaligus ‘kegagalan’ pemerintah dalam menjawab problem bangsa. Tak heran jika Foke juga gagal membaca penyebab ‘kekalahan’ suara, itu memang sudah dari sono-nya. Perpolitikan partai berkuasa (atau mungkin mayoritas partai politik), masih tak banyak berbeda nuansa dengan masa orba. Penuh retorika dan ‘siasat-tipu daya.’ Berstrategi sebagai politik meraih kekuasaan, bukan berpolitik sebagai strategi meraih kepercayaan.
Politik homo homini lupus banal abal-abal. Politik sebagai ‘perang’ berebut kemenangan dengan saling menjatuhkan. Hanya personality ksatria yang layak memimpin negara. Itu bahasa penguasa. Foke lupa, atau memang tak pernah belajar dari penderitaan rakyat (karena memang tak pernah hidup menderita), bahwa personality adalah kepribadian yang tak bisa direkayasa. Foke (dan kubunya) lupa, bahwa personality versinya, berbeda dengan versi rakyat. Personality pemimpin yang dicari rakyat adalah perwatakan dan perilaku ksatria-prawira yang lebih mengutamakan laku (aksi nyata) ketimbang lati (lidah-retorika). Personality adalah peribadi dan peribudi-pekerti, sense of crisis, kepekaan hati untuk mengerti kemelut hidup orang terpinggirkan, tertindas dan tergilas oleh zaman. The Philosopher King, menurut Plato, penguasa atau raja filsuf, pemimpin cerdas, rasional, mengendalikan diri, cinta dengan kebijaksanaan dalam membuat keputusan bagi masyarakat. Dan itu tak bisa didapatkan kecuali dengan ‘turun ke bumi,’ menginjak tanah dan bergumul di ‘kawah candradimuka’ lumpur di kampung-kampung kumuh, ndheprok di lesehan, andhap asor ngobrol di warung kopi dan pedagang kaki lima, berkeringat mengayuh sepeda onthel untuk mengajar keteladanan tentang arti sederhana dan hemat energi.
Masing-masing punya personality berbeda. Ini tak wajib berarti yang satu lebih baik dari yang lain, sebab baik-buruk bersifat relatif-subjektif, tergantung dari dimensi ruang dan waktu. Tapi ‘kepandiran’ rakyat, apalagi warga DKI rasanya sudah sedikit berkurang setelah setidaknya dua kali, sejak era reformasi, ‘tertipu’ dengan janji-janji. Namun dalam ‘ketololan, kebodohan dan kedunguannya’ rakyat masih tetap punya “hati nurani,” hal yang sudah tak dimiliki oleh mayoritas pemimpin di negeri ini di zaman ini. Dalam ‘kehausan’ mencari oase pemimpin yang kini memuncak, rakyat butuh bukti nyata, bukan sekedar suguhan data statistik dan angka-angka.
Bagi rakyat yang sedang dalam kondisi kritis, blue print, visi atau misi mungkin sudah tak penting lagi. Semua itu menu usang membosankan sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Hanya angin surga, pepesan kosong, tetap saja perut kosong wajah melompong terbengong-bengong kayak bagong. Pada akhirnya, personality yang tetap akan bicara. Rekam jejak bisa dilihat nyata, rakyat percaya, nah itu dia pilihannya. Bukan strategi, bukan pula politisasi.
Barang bagus, produk berkualitas, terbukti memuaskan, tak perlu ditawarkan pun pembeli akan rela mengantre. Jika personality memenuhi syarat untuk rakyat bermimpi, maka tanpa strategi pun sang pemimpin akan terpilih sendiri. Yang jelas, Jokowi-Ahok, Foke-Nara, pilkada DKI serta parpol-parpol pengusungnya, semua hanyalah simbol dari dua sisi kekinian perpolitikan bangsa. Nasib Indonesia akan ditentukan oleh sinergi-chemistry rakyat dan pemimpinnya. Sisi mana yang akan memenangi pertarungan, sisi itulah bangsa ini telah mengambil pilihan. Apakah masih tetap dalam status quo atau perubahan, hanya waktu yang akan memberi jawaban.
Politik identitas begitu kentara dimainkan oleh pasangan calon gubernur DKI Jakarta, Foke-Nara. Beberapa pernyataan Foke, juga simpatisan dan pendukungnya memperjelas kesan bahwa pasangan incumbent ini sengaja menggunakan strategi politik identitas. Namun, strategi politik identitas menjadi blunder bagi Foke-Nara. Politik identitas akan mujarab bagi pemilih yang ’maaf’, kesadaran politiknya masih bersandar pada ikatan primordial. Singkatnya, mereka yang kesadarannya sudah melampaui perbedaan-perbedaan entah suku, ras ataupun agama akan apatis dan beralih.
Ada keterkaitan antara mundurnya Wakil Gubernur Prijanto yang dulu diusung PDIP, dengan tampilnya Jokowi sebagai cagub juga diusung PDIP secara bersamaan. Tudingan-tudingan dan alasan Prijanto bahwa dia tidak bisa bekerja sama dengan Foke diakhir-akhir masa jabatannya adalah langkah politik untuk membusukan Foke. Dia sepenuhnya menumpahkan seluruh kesalahan pada Foke. Ini sangat aneh jika kita analisa benar-benar. Saya melihat ada keterkaitan antara mundurnya Prijanto, tuduhan-tuduhan Prijanto terhadap Foke dan pencitraan terhadap Jokowi yang terjadi bersamaan. Prijanto dan Jokowi yang diusung PDIP pun bukan satu kebetulan. Seperti diciptakan bahwa ada pecah kongsi dalam Pemda DKI.
Prijanto seperti diciptakan menjadi destroyer bagi Foke dan pasangannya. Prijanto tadinya mungkin berambisi menjadi gubenur, tapi sayangnya hal itu tidak terjadi karena bisa jadi ada tuduhan-tuduhan langkah politis mengenai kemunduran dirinya. Prijanto menjadi tidak nyaman kalau dia yang maju dan akhirnya dia akhirnya bersedia dijadikan martir oleh PDIP. Saya juga melihat politik ketokohan dan simbol kemeja kotak-kotak pada pasangan calon DKI Jakarta bukan solusi mengatasi persoalan Jakarta yang sangat kompleks. Ketokohan dan simbolik kemeja hanya strategi untuk mencuri simpati publik. Warga terkelabui dengan simbol-simbol seperti itu, meskipun tanpa harus memiliki program-program kerja.
Pengelabuan yang dilakukan pasangan Jokowi-Ahok bersama tim suksesnya ini, dengan memanfaatkan rasa frustasi warga terhadap kondisi Jakarta yang belum menunjukan perbaikan. Pada sisi lain, pasangan itu sama sekali tak memiliki konsep maupun program membangun Jakarta. Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Jokowi menyatakan akan melanjutkan blue print pembangunan Jakarta yang telah dibangun Fauzi Bowo. Ketokohan Jokowi bukan obat frustasi warga Jakarta. Cara-cara ini bukan mmeberikan pelajaran demokrasi yang baik terhadap warga. Jika cara itu terus terjadi maka demokrasi kita tak akan pernah dewasa. Sementara mengenai klaim bahwa Jokowi adalah salah satu walikota terbaik, saya melihat bahwa penilaian itu memiliki kriteria dan kriteria bagaimana cara mengelola kota secara humanis. Kalau masyarakat mau jujur dan mengecek dimana keberhasilannya, masyarakat pasti sulit menemukannya

o   Jokowi, manuver elit PDIP dan penentuan karir politik
Masih seputaran sosok Jokowi yang menjadi buah bibir di kalangan media masa nasional yang akibat dari prestasinya menaklukan Jakarta, kota yang tidak ramah bagi kalangan pendatang. Anehnya Jokowi mampu menjalaninya dengan prestasi yang gemilang bersama wakilnya Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok. Padahal, PDIP masih banyak tokoh nasional yang punya nilai jual di Ibu Kota. Ibaratnya dalam tinju, petinju yang masih berkutat dalam kelas bantam diintruksikan oleh pelatih untuk bertanding di kelas berat. Jokowi kala itu tidak menolak, bermodal prestasi sebagai Walikota Solo, ia menerima tantangan tersebut. Menurut saya pencalonan Jokowi ini buah dari strategi politik yang dimainkan kalangan elite PDIP, mengingat Pilkada Jawa Tengah sebentar lagi akan berlangsung.
Pendorongan Jokowi ke DKI, agar kalangan Elite PDIP yang mempunyai niat merebut Jateng 1 tidak mempunyai lawan yang berarti. Mengingat sekarang ini sudah ada nama yang muncul, ada Bibit Waluyo dan Tjahyo Kumulo. Asumsinya, jika Jokowi menang di DKI peluang untuk Jawa Tengah akan terbuka lebar, dikarenakan pamor Jokowi di Solo dan Jateng begitu mempesona. Mereka (Bibit dan Tjahyo), tidak akan menemui kesulitan besar untuk menelurkan ambisinya. Andaikan Jokowi kalah di DKI sedikit banyaknya akan menggerus kekuatan Walikota Solo tersebut di Jawa Tengah. Namun, manuver politik yang dilakukan elite PDIP ini berhasil, mengingat peluang Jokowi untuk menang pada putaran kedua sangat besar. Andaikan kalah, Jokowi sudah sangat lelah untuk ikut bertarung lagi di pilgub Jawa tengah. Pilkada Jakarta sekarang ini menentukan karir politik Jokowi jika menang ia akan menjadi superstar, jika kalah maka karir Jokowi kemungkinan akan tamat mengingat ia sudah dua priode memipin Solo. Kalau orang mau berpolitik harus siap semua, kalau tidak siap, susah. Makannya politisi seharusnya paling tahan dari segala tekanan.[17]
Di balik pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang bertarung pada Pilkada DKI Jakarta terdapat banyak konsultan politik yang bergerak. Mereka berperan menganalisis dan memberikan rekomendasi tentang strategi politik, mereka pula yang memoles citra para kandidat itu dengan segala media sosialisasi dan program yang disiapkan. Jokowi-Ahok itu prinsipnya adalah barang bagus. Barang bagus itu lebih mudah dijual. Kekuatan utama kampanye Jokowi-Ahok ada pada sosok keduanya.
Sisanya, baru adu strategi politik. Tetapi, kalau strateginya sama canggih, tetapi kualitas barangnya lebih baik, maka barang yang lebih baik itu yang akan disukai. Selain itu, terbantu dengan adanya momentum di mana masyarakat sudah mulai muak dan antipati dengan Pilkada DKI yang tidak menawarkan perubahan. Tiba-tiba muncul nama Jokowi, masyarakat melihat ada perubahan itu. Dengan demikian terbantu juga dengan momentum frustasi masyarakat yang sedemikian kuatnya menghendaki perubahan.

o   Pendekatan strategi cerdas Jokowi untuk membangun Jakarta
Pada tataran pembangunan fisik, pasangan Jokowi-Basuki bertekad membalik strategi para pejabat atau politisi konvensional Jakarta selama ini dengan strategi baru, yaitu: membangun Jakarta yang dimulai dari kampung. Jokowi sebenarnya bukan baru saja popular karena berhasil memenangkan pilkada DKI Jakarta 2012,  tetapi sejak jauh hari dia telah menjadi bahan pembicaraan orang baik di dalam maupun luar negeri.
Satu filosofi prinsip yang menjadi pijakan Jokowi dalam membangun, mengelola dan memimpin kota Solo adalah “melayani”. Jokowi memaknai jabatan walikota yang diembannya sebagai pelayan rakyat. Ini yang membedakannya berbeda dari pejabat atau politisi lain di Indonesia. Jokowi juga secara konsisten dan konstan menterjemahkan filosofi melayani tersebut dalam semua aktifitasnya sehari-hari secara riil. Filosofi inilah yang akan diaplikasikan oleh Jokowi ketika dia telah resmi menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta untuk periode 2012-2017.[18]
Seperti kita ketahui, kesemrawutan pembangunan yang terjadi di Jakarta salah satunya disebabkan oleh terabaikannya program pembangunan terhadap kampung-kampung di Jakarta. Dengan membangun Jakarta yang dimulai dari kampung, maka strategi ini akan mendorong terciptanya partisipasi warga yang intensif dan efektif dalam setiap kegiatan pembangunan serta terbangunnya pola komunikasi yang linear antara pemimpin dan rakyat. Dampaknya, rakyat merasa diberdayakan dan diakui eksitensi secara riil, bukan saja hanya pada saat menjelang pilkada. Dampak selanjutnya yang lebih strategis dan menjadikan Jokowi-Basuki lebih mudah dalam membangun Jakarta adalah tumbuhnya sense of belonging warga terhadap kota Jakarta.[19]
                Jokowi dengan “kecerdasannya” tidak ingin muncul dengan sikap antagonis dengan menjadi seorang pawang yang lebih buas dari binatang yang akan dihadapi, sebagaimana nasehat Sutiyoso. Sebaliknya dia akan memberdayakan rakyat Jakarta dan mengundang mereka untuk bersama-sama menjadi “pawang” sehingga “hutan rimba” Jakarta akan lebih mudah “ditaklukkan”.
Nampaknya community participation ini yang selama ini absen dari kegiatan pembangunan di Jakarta. Kita sebagai rakyat tentunya sangat senang bila memiliki seorang pemimpin yang tampil dengan sikap “nguwongke” rakyatnya. Kemenangan Jokowi memberi pelajaran kepada partai-partai politik di Indonesia bahwa kecenderungan masyarakat terhadap figur, untuk saat ini, lebih besar dibandingkan kecenderungan terhadap arahan mesin-mesin partai. Tentunya ini akan menjadi bahan evaluasi partai-partai politik yang berniat untuk mengajukan kadernya atau seorang figur untuk bertarung dalam pemilu eksekutif 2014 mendatang.[20]
Kemenangan Jokowi juga memberi pelajaran kepada partai-partai Islam bahwa isu-isu agama dan tausiyah-tausiyah politik tidak begitu laku sebagai salah satu komoditi jualan. Partai-partai yang bersifat ekslusif harus mempertimbangkan kembali isu-isu jualannya pada masa-masa mendatang. Jokowi juga memberi pelajaran kepada elite-elite politik tentang peran sentral sosial media sebagai alat strategi kampanye di masa mendatang. Banyaknya dukungan terhadap Jokowi di berbagai sosial media memberi indikasi peran penting sosial media untuk menjaring calon pemilih pemula dan kalangan menengah ke atas. Jadi, partai atau figur yang akan bertarung di masa mendatang harus mempertimbangkan peran dari sosial media ini. Sebab, bisa dikatakan strategi kampanye Jokowi ini adalah sesuatu yang baru dan sangat mencerahkan di tengah-tengah strategi kampanye yang sangat mengandalkan cara-cara konvensional, seperti pengerahan massa, orasi, dan pemasangan “jutaan” baliho dan spanduk di seluruh pelosok dan sudut kota.[21]
Di beberapa pemberitaan dapat dilihat bahwa Faktor SARA  sangat berpengaruh pada penentuan elektabilitas Pilkada DKI Jakarta khususnya untuk pasangan Jokowi-Ahok, tetapi memang tim sukses Jokowi dan termasuk didalamnya Prabowo mensiasatinya dengan  mengangkat  Jokowi secara berlebihan di media ketimbang memunculkan Ahok yang rawan bisa menggagalkan kemenangan Jokowi, Jika anda masih ingat di 2 bulan terakhir pada putaran pertama sebelum pencoblosan begitu banyak pernyataan Ahok yang kontroversial, seperti misalnya : Ayat Suci VS Ayat Konstitusi (baca : blunder lagi, Ahok menghina Ayat Suci)  dan beberapa pernyataan lainnya sehingga banyak sinyalemen jika Ahok membawa bendera Liberalis Sekuler sedangkan di Jakarta sendiri “perang” terhadap liberalis sekuler begitu besar. Sehingga muncul salah satunya gerakan Indonesia tanpa JIL.[22]
Kemudian, apa yang dilakukan Prabowo dan tim sukses Jokowi lainnya mensiasati kondisi ini? Berdasarkan pengamatan penulis pada proses kampanye pilkada DKI Jakarta putaran pertama lebih tepatnya pada 3 pekan terakhir menjelang pencoblosan Ahok seakan-akan “disembunyikan”, Prabowo di media mengangkat Jokowi setinggi langit dengan berbagai macam propaganda kelayakan Jokowi dipilih, sampai-sampai ada yang bertanya “loh, kok ahok ga muncul ya dalam iklan” selain itu Ahok tak sedikitpun memberikan statemen di media saat 3 dan 2 pekan terakhir menjelang pencoblosan, strategi ini digunakan tim sukses Jokowi-Ahok karena hampir semua politisi sangat memahami bahwa “rakyat Indonesia mudah lupa” jangankan yang 5 tahunan, 5 menit saja mudah lupa dengan situasi dan kejadian sebelumnya, hal inipun pernah disampaikan oleh Sutan Batugana di MetroTV “Rakyat Indonesia Sangat Mudah Lupa“.[23]
Bahwa tim sukses Jokowi sangat memahami potensi gagalnya Jokowi di Pilkada besar sekali jika memunculkan “Ahok”, terlebih dengan Isu SARA yang mengakar sehingga DKM-DKM, Para Tokoh Masyarakat, Ulama, Ustadz dan sebagainya menyampaikan memilih pemimpin yang se-iman. Awalnya strategi untuk membuat orang takut terhadap SARA diharapkan berhasil oleh tim sukses Jokowi-Ahok dengan diperiksanya Rhoma Irama ternyata tidak berhasil alias gagal total, hal ini membuat kalap Prabowo dengan membuat Iklan Kampanye di 5 station TV  padahal diluar jadwal kampanye, beranikah Panwaslu menghukum Prabowo? rasanya seperti tidak mungkin (baca : Prabowo dipanggil, Panwaslu Menggigil). Isu SARA yang awalnya menjadi senjata oleh pendukung Jokowi-Ahok di media kini menjadi bomerang untuk kandidat ini.
Jika anda jeli dan mengamati media karena memang kedua pasangan ini adalah “Kekasih Media” dan bahkan berdasarkan informan yang menyampaikan kepada penulis bahwa tim sukses Jokowi-Ahok telah bekerjasama dengan KATAPEDIA sebuah lembaga yang bisa melihat trend kata positif dan negatif di masyarakat seperti apa untuk kemudian diolah oleh kandidat dalam pilkada  untuk memainkan isu sangat manjur sekali. Strategi ini dilakukan dalam kerangka membuat masyarakat akrab dengan kata “Basuki” dan melupakan kata “Ahok”.  Alasanya karena masyarakat indonesia sangat mudah lupa terhadap apa yang pernah terjadi, kondisi ini dimanfaatkan politisi.[24]
Kemenangan Joko Widodo (Jokowi) pada pilkada DKI beberapa waktu yang lalu bukanlah suatu hal yang kebetulan. Dukungan pemilih yang menempatkan dia sebagai pemenang pertama itu tidak dibangun dalam sekejap –meski memang dalam waktu yang tidak begitu lama. Kemenangan itu adalah kombinasi momentum yang diracik dengan strategi dan taktik yang tepat. Strategi politik yang dipilih Jokowi untuk memenangkan persaingan menuju DKI-1 patut menjadi kajian serius dan referensi berharga untuk para politisi yang sedang dan akan memperebutkan jabatan-jabatan politik di masa yang akan datang.[25]
Terlepas pada akhirnya Jokowi menjadi Gubernur DKI berikutnya, sejumlah alasan politis, patut diingat bahwa pengusaha yang lebih memilih sebutan sebagai tukang kayu itu telah mengajarkan nilai-nilai seorang pemimpin, negarawan dan politisi yang patut diteladani. Sebagai pemimpin, Jokowi menggunakan konsep manajerial yang menyeimbangkan antara proses dan hasil yang cenderung saling menyempurnakan. Jokowi adalah tipe manajer yang mampu mengoptimalkan fungsi dan manfaat pendelegasian tugas secara efektif dan efisien. Pencapaian pembangunan dan prestasi kota Solo sejauh ini adalah representasi dari kerja-kerja kepemimpinan yang menempatkan sistem sebagai acuan dan kualitas sumber daya manusia yang di-up grade, untuk menyesuaikan dengan sistem yang telah ditetapkan. Kemudian, dalam posisinya sebagai pemimpin, Jokowi mampu membangun irama dan sinergi harmonis dalam tarikan relasi vertikal dan horisontal di dalam birokrasi pemerintahan. Selebihnya, dia dapat berhubungan secara terbuka dan interaktif di lingkungan masyarakat untuk mendapatkan afirmasi positif terkait rencana penataan dan pembangunan kota.
Jokowi juga dikenal sebagai sosok yang cerdas dalam membaca dinamika kota, sehingga tidak terlihat asal-asalan dalam merumuskan kebijakan pemerintahan. Dia senang dengan masukan dan kritik dari berbagai pihak agar kebijakan yang diputuskan dapat mengakomodasi kepentingan banyak pihak, utamanya kepentingan masyarakatnya. Sikap tegas Jokowi untuk menolak mobil dinas baru yang beberapa kali diusulkan dalam RAPBD, selain sebagai praktik pencitraan yang sangat produktif, juga menjelaskan bagaimana posisi dan peran seorang negarawan yang sudah selayaknya menjadi "pelayan" untuk warganya. Saat semua orang meributkan apakah dia layak atau tidak memimpin DKI, Jokowi cenderung diam dan normatif dalam membuat pernyataan. Inilah salah satu kematanan politik seorang Jokowi.[26]
Jokowi, disadari atau tidak adalah kader potensial yang akan memberi daya ungkit bagi partai pengusungnya untuk memenangkan pemilu 2014. Oleh sebab itu, menempatkan Jokowi sebagai calon gubernur DKI, bagi PDI Perjuangan dan Gerindra adalah "pertarungan yang harus dimenangkan". Dari aspek kapasitas, kapabilitas dan kredibilitas Jokowi sebagai Walikota Solo adalah kisah sukses yang hanya jadi milik segelintir politisi. Akan tetapi benar apa yang dinyatakan Jokowi dalam beberapa kesempatan di media massa, bahwa untuk sebuah jabatan --seperti halnya walikota atau gubernur-- tidak perlu dikejar dan dipaksakan. Dengan membangun komunikasi kepada semua kelompok dan golongan, membangun rasa percaya untuk memberikan pilihan politik, hadirnya kekuatan dukungan adalah sebuah keniscayaan.
Bagaimana pun juga--kesadaran kritis masyakarakat untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas semakin menguat, sementara kesadaran pemimpin seperti halnya Jokowi perlu dideseminasikan kepada lebih banyak calon pemimpin yang lain. Di sinilah sinergi gagasan tentang figur pemimpin ideal Jakarta dan keinginan Jokowi masuk ke persaingan DKI-1 menemukan relevansinya. Tim pendukung calon gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sukses menggenggam dukungan kelompok menengah.[27] Mereka misalnya, berhasil menggarap kelompok sopir taksi Jakarta. Itu yang terjadi saat Joko Widodo turun di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Tangerang. Joko Widodo diserbu penumpang di terminal kedatangan dalam negeri Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng.
Bukan kunjungan tiba-tiba, sopir taksi merupakan salah satu kelompok yang digarap tim sukses Jokowi sejak putaran pertama pemilihan Gubernur Jakarta, Juli lalu. Menurut seorang politikus, tim Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto mendekati para pengemudi ini. Sopir taksi dipilih karena merasakan langsung kemacetan jalanan Jakarta setiap hari. Asumsinya, mereka tak akan suka Fauzi Bowo,” menyebutkan gubernur inkumben yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli itu. Fauzi Bowo dituding tak berhasil mengurai kemacetan sejak ia memimpin Jakarta pada 2007.
Hal ini dimanfaatkan penantangnya. Sentimen negatif terhadap Fauzi itu diharapkan menular kepada penumpang taksi melalui para sopir tersebut. Penumpang taksi, merupakan kelompok menengah yang merasakan kemacetan setiap pergi dan pulang kerja. Sopir taksi merupakan salahsatu golongan masyarakat yang secara sukarela membantu tim kampanye Jokowi. Yang jelas ”Keaktifan sopir taksi itu menunjukkan strategi tim Jokowi turun ke bawah berhasil. Maka, menurut Eep Saifullah, pertarungan sesungguhnya antara Jokowi dan Fauzi adalah perebutan dukungan kelas menengah-bawah. Menurut sejumlah survei, kelompok ini cenderung memilih Fauzi. Perebutan pemilih kelompok ini memanas karena isu agama dan ras, yang marak pada bulan puasa hingga menjelang pemilihan putaran kedua.[28]
Dalam catatan penulis, ada tiga tokoh utama yang membuat kesuksesan Jokowi - Ahok yakni

1.     Megawati Soekarno Putri
Megawati Soekarno putri Mantan Presiden RI merupakan orang pertama yang menjadi tokoh utama dibalik kesuksesan oleh Jokowi, dimana Megawatilah yang meminta kepada Jokowi untuk datang ke Jakarta dan bersaing untuk memperebutkan DKI I. Keputusan Megawati pada saat itu, menjadi blunder bahkan jadi bahan pembicaraan bagi para kader-kader PDI Perjuangan terutama para kader-kader PDIP yang sudah lama mengincar kursi DKI I. Sementara Jokowi ini bukan orang Jakarta, bahkan tidak pernah beraktifitas di Jakarta. Tidak hanya itu, suami dari Megawati, Taufik Kemas juga menyayangkan keputusan dari Megawati untuk memasangkan Jokowi yang dianggap masih banyak kader PDIP yang ada di Jakarta lebih layak dibanding Jokowi. Sehingga Megawati, sempat ragu untuk memasangkan Jokowi yang kemudian akhirnya timbul tokoh utama lainnya Jusuf Kalla yang memberikan support agar Megawati tetap konsisten memasangkan Jokowi.

2.     Jusuf Kalla
Keraguan yang dialami oleh Megawati Seokarno Putri untuk memasangkan Jokowi pada Pilkada DKI ini, membuat Jusuf Kalla memiliki peran atas majunya Jokowi menuju DKI I ini. Sebab atas permintaan kader PDIP bahkan suami dari Megawati sendiri membuat Megawati sempat ragu akan memasangkan Jokowi, namun dari support JK lah akhirnya Jokowi dipasangkan untuk Pilgub DKI hasilnya pada putaran pertama bahkan putaran kedua Jokowi tetap unggul dan bisa memenangkan Pilgub DKI ini. Peran JK sangat besar dalam kemenangan Jokowi, tidak hanya strategi yang diberikan oleh JK kepada Jokowi, bantuan dana, bantuan massa bahkan bantuan timses juga diberikan JK terhadap Jokowi agar bisa memenangkan perebutan DKI I. Hasilnya, tidak ragukan lagi Jokowi mampu menjadi yang terbaik dan itu sudah diprediksi oleh JK yang memang berkeyakinan bahwa gaya kepemimpinan Jokowi mampu merubah Jakarta yang merupakan miniatur kecil untuk Indonesia ini.

3.     Prabowo Subiyanto
Nama Prabowo Subiyanto, sempat tampil dibeberapa tayangan media elektronik yang mengajak kepada seluruh masyarakat Jakarta untuk memilih Jokowi. Prabowo juga merupakan salah satu pilar dibalik kemenangan Jokowi, dengan memakai partai Gerindra yang kemudian dipasangkan dengan Ahok juga hasil keputusan dari Prabowo yang mengganggap pasangan yang pantas bagi Jokowi adalah Ahok. Prabowo banyak memberikan masukan dan stretegi kepada Jokowi-Ahok, tidak hanya strategi dia juga menginstruksikan agar semua kader Gerindra satu suara untuk menyukseskan Jokowi-Ahok, bahkan Prabowo juga dengan senang hati memberikan bantuan berupa dana untuk kemenangan Jokowi. Tiga tokoh utama ini merupakan salah satu faktor kesuksesan dari Jokowi-Ahok, sehingga Jakarta Baru bisa dipegang oleh Jokowi-Ahok. Semoga saja, visi dan misi yang diusung oleh Jokowi-Ahok bisa tercapai dan menjadi sejarah bagi Indonesia, Jakarta berhasil dibawah kepemimpinan Jokowi-Ahok.

V.   Pencitraan Kuat Faktor Utama Kemenangan Jokowi
Calon gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dinilai menang dari sisi pencitraan dalam hal kepribadian, dibandingkan lawannya gubernur petahana Fauzi Bowo yang dipandang arogan. Sebagian besar publik melihat kepada personality. Dari pencitraan, Jokowi baru masuk sekitar lima bulan sebelum Pilkada, dan mampu mengalahkan Foke yang telah menjabat selama lima tahun. Ini pencitraan luar biasa. Hal ini haruslah menjadi pelajaran bagi (kontestan) pemilu maupun pemilukada berikutnya. Pencitraan itu penting.
Harus dipersiapkan sosok yang lebih humble. Kemenangan Jokowi merupakan pembelajaran (soal) pencitraan yang cukup baik. Keberadaan Foke dan pasangannya Nachrowi Ramli yang didukung oleh multipartai, juga menjadi pembelajaran tersendiri. Hal ini membuktikan bahwa mesin partai tidak bekerja secara maksimal. Bukan hanya kerja partai yang tidak maksimal. Apa pun yang dikatakan partai, orang memilih (tetap) berdasarkan pribadi, bukan instruksi partai. Hal ini juga menunjukkan bahwa ternyata masyarakat Jakarta tidak menginginkan sosok militer.[29]

VI.      Kesimpulan
Jakarta telah memilih gubernur DKI Jakarta. Hasil perhitungan cepat (quick count) dari Lingkaran Survey Indonesia menunjukkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama (Jokowi-Ahok) mendapat 53.68% dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) mendapat 46.32%. Hitungan cepat yang disiarkan Metro TV menunjukkan Jokowi-Ahok 54.11% dan Foke-Nara 45.89%. Sementara hitungan cepat MNC Research menunjukkan Jokowi-Ahok 52.63% dan Foke-Nara 47.37%.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemenangan Jokowi-Ahok.
1.        Faktor Integritas Jokowi-Ahok. Integritas Jokowi dinilai sangat baik oleh banyak kalangan. Integritas (mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran) tersebut telah teruji dalam memimpin Solo. Integritas Ahok, juga teruji dalam kepemimpinannya. Integritas tak lepas dari moral kebangsaan dan keagamaan. Penilaian integritas seseorang tidak muncul begitu saja, apalagi jika itu dilakukan dalam masa kampanye. Integritas seseorang dinilai dari apa yang telah dilakukannya. Jati diri ini menyatu dalam perilaku yang baik, tulus, jujur, sederhana, konsisten, tidak cacat/korup, berupaya tepati janji, tenggang rasa, berkorban, dan cerdas.   Entitas Jokowi itu low profile (diakui Jusuf Kalla) atau good profile (istilah Mario Teguh).
2.        Faktor kepercayaan masyarakat dan momentum yang tepat.
3.        Faktor pencitraan via baju kotak-kotak. Filosofi baju kotak-kotak, bagi Jokowi-Ahok, adalah pengakuan terhadap adanya perbedaan-perbedaan (suku-agama-ras-antar golongan) yang diarahkan untuk mencapai tujuan bersama, yakni kemajuan kesejahteraan Ibukota Indonesia.
4.        Faktor Visi-Misi via Game/Tagline “Selamatkan Jakarta”.  Games ini sekaligus menjelaskan visi-misi Jokowi secara sederhana dan menarik. Seorang filsuf pernah menyatakan bahwa kita harus selalu berpikir, jangan membiarkan pikiran kosong, jika malas belajar, bermain game saja. Salah satu kebutuhan manusia adalah hiburan. Hiburan yang termudah adalah bermain-main (games). Seorang yang main game “selamatkan Jakarta” akan berperan/ mengidentifikasikan dirinya sebagai Jokowi. Tugas pertamanya adalah menyelamatkan warga yang baik dari pejabat korup, pengusaha hitam, preman, dan sampah. Ini sangat memikat hati. Soal preman Ibu Kota, ada berapa banyak masyarakat Jakarta yang takut atau merasa tidak aman terhadap preman? Kejengkelan seseorang kepada preman, akhirnya mempengaruhi orang itu memilih Jojowi (yang dalam bermain game “selamatkan Jakarta” ia mengidentifikasikan dirinya sebagai Jokowi, jadi wajar pilih diri sendiri).
5.        Faktor Simpati (karena difitnah, sara, dan dikeroyok partai-partai besar).

Makna Kemenangan
1.        Kemenangan Jokowi-Ahok ini menunjukkan masyarakat Jakarta menginginkan perubahan mendasar.
2.        Partai-partai besar/kecil yang beralih ke Foke-Nara tidak diikuti oleh pemilih mereka. Figur lebih utama daripada partai.
3.        Isu SARA (suku-agama-ras-antar golongan) tidak membawa kemenangan tetapi justru membawa citra negatif bagi yang menggunakannya.
4.        Jakarta menggambarkan keberadaan Indonesia yang berideologi Pancasila dan berkebhinekaan tunggal ika. Siapapun bisa menjadi pemimpin di Indonesia tanpa diskriminasi SARA.
5.        Masyarakat Jakarta merindukan fungsi pemerintahan (goverment function) yang benar-benar memberikan pelayanan publik (public service), bukan sebaliknya, otoriter dan hanya mau dilayani/dituruti.



____________________________________
Penulis adalah Mhs. S2 Komunikasi Politik Univ. Muhammadiyah Jakarta, dan Pegiat Pemilu.*




[1] Bran D. Ruben “Communications” hal : 45
[2] DR. Arni Muhamad “Communication  hal : 60
[3] Rice dan Paisley, “Public Relations dalam Teori dan Praktek” 1993 : 134
[4] Astri S Soesanto, “Pendapat Umum” 1975 : 124
[5] Ibid
[6] F. Rahmadi “Public Relation dalam teori dan Praktek (Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga Pemerintah)” 1993 : 135
[7] Astrid S. Soesanto “Pendapat Umum” 1975 : 126
[8] Ibid
[9] Astrid S. Soesanto “Pendapat Umum” 1975 :136
[10] Rice dan Pasey “Public Relation dalam teori dan Praktek” 1993 : 145
[11] Sumber : Kompas.com, tanggal 20/09/2012
[12] www.republika.co.id, tanggal 11 Juli 2012
[13] http://politik.kompassiana.com, tanggal 23/08/2012
[16] Ibid
[19] Ibid
[24] Ibid
[27]Majalah Tempo, edisi 24-29 September 2012, berjudul #the winner

Tidak ada komentar:

Posting Komentar