I.
Pendahuluan
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi,
manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan
sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, dalam masyarakat
atau dimana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat
dalam komunikasi. Pentingnya suatu komunikasi bagi manusia tidaklah
dapat dipungkiri begitupula halnya bagi suatu negara. Dimana didalamnya menurut
Goetano Mosca terdapat sekelompok orang yang memerintah dan orang yang
diperintah.
Orang yang memerintah yang biasanya disebut elite politik sedangkan
orang yang diperintah adalah masyarakat atau rakyat (kelompok massa). Kelompok
elite politik jumlahnya agak sedikit, mengambil peran utama dalam hampir semua
fungsi politik nasional, memonopoli kekuatan dan menikmati keuntungan
daripadanya; sedangkan kelompok massa, dibina dan diawasi oleh yang pertama baik
secara legal atau tidak, dengan atau tanpa pedoman hukum dan kekerasan. Dengan
adanya komunikasi yang baik akan suatu pemerintahan dapat berjalan dengan baik,
lancar serta berhasil begitupula sebaliknya, kurangnya komunikasi akan
menghambat jalannya pemerintahan dan pembangunan yang pada akhirnya akan
menimbulkan kerugian yang sangat besar akan di alami oleh rakyat atau
masyarakat negara tersebut.
Definisi komunikasi yaitu suatu aktivitas yang mempunyai beberapa tahap
yang terpisah satu sama lain tetapi berhubungan[1]. Sedangkan DR. Arni Muhammad memberikan pengertian komunikasi yaitu
pertukaran pesan verbal maupun non verbal antara si pengirim pesan dengan si
penerima pesan untuk mengubah tingkah laku. Komunikasi yang efektif adalah penting bagi
semua kalangan.
Oleh karena itu, para pemimpin dan para komunikator perlu memahami dan
meyempurnakan kemampuan komunikasi mereka. Elit politik juga termasuk ke dalam
komunikator bagi suatu negara. Elit politik sangat mempengaruhi kebijakan yang
akan dibuat untuk masyarakat banyak. Oleh karena itu, komunikasi elit politik
perlu diperhatikan karena sangat berpengaruh pada penyampaian pesan kepada
masyarakat banyak. Apabila penyampaian pesan itu salah akan mengakibatkan
persepsi yang salah juga pada masyarakat.[2]
Elit politik sebagai bagian dari pemerintah harus memiliki hubungan yang
harmonis dan dinamis dengan kelompok massa, karena dengan terwujudnya hubungan
yang harmonis dan dinamis maka komunikasi antara elite politik dengan khalayak
(rakyat) dapat berjalan lancar sehingga kebijakan yang akan dikeluarkan oleh
elite politik tidak akan merugikan masyarakat (rakyat). Mosca menguraikan lebih
lanjut tentang hubungan dinamis antara elit dan massa. Menurutnya para elit
berusaha bukan hanya mengangkat dirinya sendiri di atas anggota masyarakat
lainnya, tetapi juga mempertahankan statusnya terhadap massa dibawahnya,
melalui para “sub-elite” yang terdiri dari kelompok besar dari seluruh kelompok
menengah yang baru, aparatur pemerintahan, manager, adminmistrator lainnya, ilmuwan
dan kaum intelektual lainnya.
Banyak teori yang dibuat oleh para ahli yang berhubungan dengan elite
politik klasifikasi elite menurut mosca ada dua:
a.
Elite politik yang memerintah yang
terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam pemerintahan.
b.
Elite yang tidak memerintah yang
merupakan sisa yang besar dari seluruh elite.
Kedua elite di atas masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda
dalam usaha mereka menguasai dan mempengaruhi massa. Dari banyaknya klasifikasi
elite yang dibuat para ahli, ada beberapa tipe yang ideal mengenai elite
politik.
Tipologi ideal elite tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Elite dinastik. Elite dinastik
adalah mereka yang berasal dari golongan aristokrasi, pedagang dan pemilik
tanah.
Tipe elite ini memberi kepemimpinan yang tertutup sifatnya, dengan
keanggotaanya yang umumnya berasal dari anggota keluarga, sehingga dalam
menyampaikan pesan (berkomunikasi) dengan khalayak terkesan ditutupi tidak
terbuka sehingga kebijakan yang dibuat tidak diketahui secara jelas oleh
khalayak hanya pada tatanan keluarga saja.
2.
Elite kelas menengah. Kelompok ini
merupakan elit baru yang ternyata dalam kemajuan hidupnya berdampingan dengan
elite lama. Mereka berasal dari kelompok pedagang dan pengusaha.
3.
Intelektual revolusioner.
Merupakan kelompok baru yang muncul mengambil alih kepemimpinan nasional dan
menyingkirkan elit lama dan mungkin juga budaya lama yang bersifat kolononial.
Ideologi menekankan gagasan panggilan historis dan peran serta memiliki dedikasi tugas yang
tinggi.
4.
Administrator kolonial. Elite ini
mewakili dan bertanggung jawab kepada negara penjajah. Kepemimpinan mereka
lebih mengandalkan
kekuatan fisik dan ancaman daripada bujukan dan kompromi.
5.
Elite nasionalistik. Bagi elite
nasionalis dinegara berkembang, nasionalisme masih merupakan sentimen daripada
sistem pemikiran yang dijabarkan.
Tipe-tipe elite diatas dalam berkomunikasi disesuaikan dengan sistem
politik yang dianut oleh negara dimana elite tersebut berada. Untuk negara
Indonesia paling tidak kita sedikit mempunyai gambaran atau paling tidak sudah
meraba-raba seperti apa tipe elit yang memimpin Indonesia.
Dengan pola seperti itu, akan terlihat bagaimana proses komunikasi
politik berlangsung, baik proses komunikasi secara vertikal yakni antara
masyarakat dengan elit politik mapun proses komunikasi secara horisontal yakni
antara elite politik dengan elite politik yang berada dalam struktur politik. Oleh karena banyaknya tipe-tipe elite yang
memimpin suatu pemerintahan, maka juga akan berpengaruh pada bagaimana para
elite politik menyampaikan pesan pada khalayak (rakyat) sebagai kelompok mayoritas
dalam kata lain bagaimana komunikasi antara (meminjam istilah Mosca) elite dan
massa.
II.
Bentuk-bentuk Komunikasi yang Mendominasi Komunikasi Politik
Kampanye pada
dasarnya pidato, kampanye, dan propaganda merupakan bentuk-bentuk komunikasi
antar manusia (human communications)
yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan teknik
dan metode tertentu pula. Istilah kampanye berasal dari Bahasa Inggris campaign yang juga berasal dari Bahasa
Latin campus yang berarti “extensive
track of country, series of operation in a particular theactric war, an
organized series of operation, meeting canvassing”. Hal ini membawa
permasalahan ke masalah berkomunikasi populer/popularisasi tentang suatu
masalah.
Menurut Rice dan Paisley yang dikutip oleh F. Rachmadi mengatakan bahwa
kampanye adalah keinginan seseorang untuk mempengaruhi kepercayaan dan tingkah
laku orang lain dengan daya tarik yang komunikatif. Tujuan kampanye adalah
menciptakan ‘perubahan’ atau ‘perbaikan’ dalam masyarakat.[3]
Menurut Astrid S. Soesanto menyatakan bahwa prinsip dasar dalam kampanye[4]
adalah bahwa kampanye mengikuti proses komunikasi dan unsur-unsurnya, yaitu:
Proses Rasionalisasi/Emosionalitas. Proses rasional yaitu apa yang
secara harfiah disampaikan dalam suatu kegiatan komunikasi. Proses emosional
yang “sekedar” tersirat dalam penyampaian informasi. Proses rasionalitas
biasanya terjadi waktu orang membahas hal-hal yang tidak terlalu melibatkan
kepentingan pribadinya sehingga konsensus mudah tercapai. Unsur rasionalitas
adalah proses pengoperan lambang-lambang secara harfiah dan proses komunikasi
ialah proses emosionalitas yang mengiringi informasi rasional tadi. Tingkat
emosionalitas dapat dideteksi melalui : pilihan kata dan tanda penyampaian.[5]
Hal lain yang berkaitan dengan proses rasionalitas adalah anteseden yaitu sumber pengalaman yang mendahului.
Unsur
emosionalitas dan rasionalitas juga makin meningkat atau berkurang bila
dikaitkan dengan :
a.
Kemampuan ekonomi/pendidikan
b.
Relevansi dengan hidup
c.
Demi waktu/rencana memanfaatkan waktu
Proses
informasi dan proses komunikasi. Proses perumusan informasi diambil dari sumber
retreval yang tepat sumber, tepat
alinea, tepat digit. Proses komunikasi dengan retreval ditentukan oleh anteseden
atau pengalaman yang mendahului, tetapi yang terpenting ialah adanya logika
yang mengkaitkan informasi baru dengan informasi lama.
Sedangkan
pendapat F. Rachmadi bahwa dalam melaksanakan kampanye ada beberapa prinsip
yang perlu diperhatikan, antara lain : Perkiraan terlebih dahulu kebutuhan,
tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan dari khalayak sasaran.
ü Rencanakan kampanye secara sistematis.
ü Lakukan evaluasi secara terus-menerus.
ü Gunakan media massa dan komunikasi interpersonal.
ü Pilihlah media massa yang tepat untuk mencapai khalayak sasaran.[6]
Menurut Astrid
S. Soesanto secara ilmiah proses kampanye berjalan sebagai berikut: mirip
dengan iklan, tetapi lebih kuat dan agresif (catatan : iklan adalah sejenis kampanye memerlukan proses lebih
panjang dan lama) kampanye “mencegat” orang hampir di semua sudut. Tidak
menyerahkan pengaruh kepada free market /
social forces, menemui sasarannya dalam berbagai bentuk, keberhasilan
kampanye ditentukan oleh tersedianya sesuatu segera setelah pesan mencapai
sasaran, singkatnya kampanye “mengeroyok” sasaran di mana-mana dengan kata dan
kegiatan, dan tidak mengenal ragu dan sangat yakin dan meyakinkan.[7]
Selanjutnya
sebelum mengadakan program kampanye perlu diadakan terlebih dahulu
pertanyaan-pertanyaan dalam merumuskan suatu program pesan-pesan kampanye,
seperti[8] :
Ø Siapakah komunikator, kepentingannya dan sasarannya ?
Ø Apakah lingkungan mendukung ?
Ø Bagaimana ketersediaan “sesuatu” alternatif bila pesan kampanye diterima
khalayak ?
Ø Bagaimanakah masa depan “sesuatu” (yang dikampanyekan) berikut unsur
pendukung dan persaingan?
Semua topik telah diteliti, seperti sasaran, lingkungan, latar belakang
budaya, overlapping of interest (perimpitan kepentingan). Contoh overlapping of interest adalah KB
memakai perbaikan taraf hidup sebagai sasaran, yang “berimpit” dengan sasaran
dan harapan masyarakat. Apakah data secara rasional telah siap untuk merumuskan
slogan atau motto yang sesuai dan tidak memaksakan. Contoh motto BERIMAN
(Bersih Indah dan Aman); ASRI (Aman Serasi Rapi Indah) merupakan motto yang
dipaksakan.
Slogan Sumedang Tandang cukup berhasil memacu masyarakat Sumedang untuk
membangun dan setiap warga berpikir demikian tanpa adanya motto di jalan-jalan.
Dalam kampanye memungkinkan untuk dialog, karena kampanye bersifat two way traffic communication dan juga
kampanye menggunakan pendekatan modern bersifat ekspresif. Hal ini membuat
kampanye berbeda dengan propaganda. Proses kampanye mirip proses komputer (PC)
yang memiliki kemampuan strorage,
retrieval, processing, transference dan preference. Perubahan/pendekatan
kampanye selalu mengikuti atau disesuaikan tahap demi tahap dengan tingkat
perubahan yang telah dicapai.
Menurut Astrid S. Soesanto secara teknis langkah-langkah tersebut ialah[9] :
ü Pesan sama untuk khalayak yang berbeda kemampuan menyebarluaskan informasi
(share) dan memisahkan (sepaate) informasi bila tingkat IQ
khalayak berbeda mampu mengerjakan massifikasi dan juga de-massifikasi.
ü Memanfaatkan pendekatan single sensory (indera tunggal) dan multy
sensory (indera ganda). Didesak oleh waktu, dan Mengenal sikap interaktif,
yaitu :
ü Dengan khalayak,
ü Antar media, dan
ü Person to person (tetapi tidak selalu face to face).
Kesuksesan suatu kampanye selalu dipengaruhi oleh seberapa jauh suatu
kelompok atau suatu partai politik atau suatu perusahaan atau pun lembaga
pemerintah di kenal di lingkungan khalayak, dan seberapa banyak pesan kampanye
itu disebarluaskan melalui beberapa media sekaligus. Kampanye juga sangat
tergantung dari jenis saluran komunikasi yang digunakan dan juga tergantung
dari isi pesan kampanye tersebut. Isi pesan biasanya akan terhalang oleh
kepentingan khalayak terhadap pesan yang disampaikan. Juga isi pesan selalu
ditafsirkan sesuai dengan persepsi khalayak. Maka jika persepsi khalayak
berbeda dengan isi pesan sesungguhnya akan mengakibatkan boomerang effect (berbalik menentang) dan counter effect (tidak akan mengikuti/menjalankan isi pesan
kampanye).
Yang terakhir dan sangat menentukan kesuksesan dalam kampanye adalah
bahwa dalam melaksanakan suatu kampanye diperluklan juga kredibilitas juru
kampanye. Rice dan Paisley menyatakan kesuksesan suatu kampanye sangat
tergantung dari personal influence,
dalam arti para juru kampanye harus orang yang dihormati di lingkungannya dan
juru kampanye tersebut memiliki kredibilitas yang tinggi. Kredibitas yang
tinggi akan menumbuhkan wibawa para juru kampanye.
Yang perlu diingat bahwa dalam kampanye dilakukan cara-cara yang sesuai
dengan prosedur, baik prosedur secara ilmiah maupun prosedur secara etika dan
hukum. Maka kampanye tersebut disebut juga white
campaign. Apabila proses kampanye dilaksanakan tidak sesuai atau
bertentangan prosedur ilmiah dan prosedur etika hukum yang berlaku maka
kampanye itu dinamakan black campaign.[10]
Wajah Politik
Dunia politik
kini tidak lepas dari dunia komunikasi. Pasalnya, kegiatan politik dilandasi
oleh komunikasi dalam menyampaikan ide, gagasan, pendapat, dan hal-hal lain
yang berkaitan dengan negara. Menurut Almond (1960), komunikasi politik adalah
bagian dari tujuh sistem politik yang tidak berjalan sendiri, karena komunikasi
membantu sistem-sistem politik lainnya. Komunikasi politik juga ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari, karena komunikasi selalu ditemui di belahan dunia
manapun.
III.
Elit Politik
dalam Sistem Politik Indonesia
Sistem komunikasi politik kita secara vertikal terdiri dari elite
politik, media massa dan masyarakat; masing-masing merupakan subsistem yang
berfungsi selaku sumber (komunikator), saluran dan khalayak penerima
(komunikan). Dan suatu proses yang dikenal sebagai umpan balik (feed back).
Di negara–negara totaliter dengan pola komunikasi satu kepada semua,
proses komunikasi politik berlangsung dimana elite politik sebagai sumber
pesan-pesan politik (komunikator politik) yang berada pada posisi aktif,
sementara media massa sebagai saluran bagi setiap pesan politik dan masyarakat
sebagai khalayak penerima pesan yang berada pada posisi pasif.
Pesan-pesan/informasi politik secara berkesinambungan datang dari elite
politik dari media massa dan masyarakat, secara mutlak harus mentaati dan
menerimanya. Dengan
demikian proses komunikasi berlangsung dari atas ke bawah.
Proses umpan balik juga ada yakni dalam bentuk persetujuan (semu)
masyarakat terhadap apa yang datang dari atas. Sedangkan pesan maupun informasi
politik hampir sepenuhnya bersifat agitasi dan propaganda. Jadi para elite
politik itu bertindak sebagai agitator dan propagandis, sedangkan media massa
berfungsi sebagai sarana propaganda politik.
Sebagai komunikator, elite politik mengerahkan pengaruhnya ke dua arah
yaitu menentukan alokasi ganjaran (imbalan dan hukuman, atau reward and
punishment) dan mengubah atau mencegah perubahan struktur sosial/politik yang
ada. Dalam kewenangannya yang pertama, elite politik berkomunikasi
sebagai wakil dari kelompok penguasa (diktator plorelatar). Sedangkan pada
negara demokratis dengan pola komunikasi satu kepada satu, proses komunikasi
berlangsung secara vertikal dan horisontal. Di Indonesia, pola komunikasi satu
kepada yang satu lainnya hanya berlangsung pada situasi-situasi tertentu dan relatif masih berlangsung antara elite
politik dengan anggota masyarakat, elite dengan elite yang lain secara
individual maupun kelompok,
serta antar masyarakat dengan masyarakat lainnya secara individual maupun kelompok.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pembicaraan politik masih didominasi elite
politik. Selain itu media massa tidak bisa memanfaatkan sedikit
kebebasan yang dimilikinya tetap untuk
menangkap dan meyebarkan pembicaraan politik tersebut.
Mengapa FOKE-NARA kalah ??
Kekalahan yang diterima Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli menurut penghitungan
cepat disebabkan karena salah strategi sikap politik Foke-Nara. Sikap politik
tersebut sudah melekat pada karakteristik Foke sejak putaran pertama. Stigma
kegagalan periode pertama yang sudah lama melekat pada Foke membuatnya sulit
bergerak di pilkada putaran kedua. Stigma tersebut memalingkan pilihan warga
kepada wajah penantang yang dianggap mampu memberi harapan baru. Foke menjadi
sulit mengimplementasikan program-program di fase akhir jabatannya karena waktu
yang terlalu pendek untuk bersosialisasi dan mengubah stigma. Karena
kesulitannya itulah Foke terkesan kerja sebatas pencitraan saja.
Selain itu Foke memiliki kesenjangan hubungan
komunikasi politik antara dirinya dengan warga dan media massa. Kelemahan Foke
adalah kurang bisa membangun semangat komunitarian dengan warga. Akibatnya, ia
kerap terbangun pada pola hubungan antagonistik antara dirinya dengan media dan
sense of belonging warga terhadap Foke juga memudar.[11]
Pengamat komunikasi politik,
Henry Subiakto mengatakan hasil hitung cepat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta
yang mengunggulkan Joko Widodo merupakan bentuk penghukuman masyarakat terhadap
kegagalan Fauzi Bowo dalam mengurai kemacetan di ibu kota. Terutama masyarakat
kelas atas yang selama ini merasa kecewa terhadap kondisi lalu lintas Jakarta
yang selalu macet setiap saat.
Padahal Fauzi Bowo--dinilai cukup
berhasil bagi masyarakat kalangan bawah dengan program-program yang menyentuh
mereka secara langsung seperti kesehatan dan pendidikan gratis serta tunjangan
guru. Namun, masyarakat kelas atas yang setiap hari dilanda kemacetan merasa
marah dan kecewa terhadap kepemimpinan Foke. Kemarahan masyarakat Jakarta
semakin terakumulasi karena iklan politik calon petahana itu justru hanya
menampilkan keberhasilan-keberhasilannya. Di satu sisi masyarakat muak oleh
kemacetan, di saat yang sama disuguhi iklan-iklan politik Foke yang ada di
jalan-jalan. Realitas sebenarnya itulah yang menjadi kampanye yang efektif bagi
masyarakat supaya tidak memilih Foke.
Kondisi itu belum tentu terjadi
pada daerah lain yang biasanya calon incumbent memiliki modal politik yang
kuat. Contohnya Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang dinilai berhasil memimpin
provinsi itu dan dicintai warganya. Realitas di daerah lain berbeda. Sebagai
incumbent, maka Foke merupakan figur calon gubernur yang paling dikenal, tetapi
karena tidak bisa menyelesaikan masalah kemacetan di Jakarta, dia menjadi
dikenal sebagai figur yang gagal.
Ucapan Foke kepada korban kebakaran Karet,
selasa 7 Agustus 2012 lalu yang menyebar di dunia maya lewat video amatir yang
diunggah ke situs media sosial youtube. Dalam video itu, Foke menanyakan apa
pilihan politik para korban dalam Pemilihan Gubernur Jakarta. Jika korban
memilih pesaingnya, Walikota Solo Joko Widodo, Foke -entah spontan atau serius-
menyarankan korban kebakaran pindah dan membangun rumah mereka di Solo saja.
Celotehan Fauzi Bowo memang bisa dinilai kurang tepat dan merupakan pelanggaran
etika komunikasi politik. Itu keseleo lidah, dan bisa mengganggu elektabilitas
yang bersangkutan.[12]
IV.
Komunikasi “Politik”
Komunikasi Foke
Perlahan tapi pasti kandidat pasangan nomor 3 Jokowi-Ahok mengungguli
kandidat lain termasuk Foke-Nara. Hanya terdiam dan terperangah yang dapat
dilakukan memandang pertambahan grafik suara dilayar televisi. Menempatkan
Jokowi-Ahok diperingkat pertama dan Foke-Nara diperingkat kedua. Sejumlah
pertanyaanpun muncul. Mulai dari pertanggungjawaban survey, kinerja tim sukses,
hingga kepiawaian konsultan, dan lain-lain.
Sejumlah jawabanpun menjadi kawannya, margin error atau undecided voters yang tidak diperhitungkan lembaga survei,
manajemen tim sukses yang kurang tertata, konsultan yang salah membaca peta,
kaum golput yang sebetulnya pro Foke-Nara namun karena telah yakin akan menang
akhirnya melalaikan hak dan kewajibannya untuk mencoblos, dll. Terkait dengan
sejumlah pertanyaan dan jawaban diatas, kekecewaan dan ketidakpuasan karena
menganggap Foke gagal total dalam menjalankan pemerintahannya periode 2007-2012,
hingga tidak ada sedikitpun celah untuk mendiskusikan kelayakannya melanjutkan
kepemimpinannya di DKI periode mendatang. Padahal banyak pengurus Partai
Demokrat di Jakarta, mereka sudah berkali-kali memperoleh informasi mengenai
apa saja yang telah dikerjakan Foke selama masa pemerintahannya dan apa kendala
maupun hambatan yang dihadapi untuk mengeksekusi berbagai kebijakan tersebut,
serta apa saja yang akan dilanjutkannya jika terpilih kembali. Apakah informasi
ini tidak sampai kepada masyarakat Jakarta secara utuh dan menyeluruh, atau content komunikasi yang tidak mengena
kepada konstituen sebagai media kampanye incumbent.[13]
Mengelola DKI bukanlah kerja simsalabim.
Banjir misalnya, dengan 13 aliran sungai serta sebagian daratan yang berada
dibawah permukaan laut tentu membutuhkan pemikiran dan pertimbangan extra,
demikian juga dengan ketidakberimbangan pertumbuhan jalan dengan pertumbuhan
kendaraan yang berimbas kepada kemacetan. Belum lagi prilaku tidak tertib
masyarakat sebagaimana tayangan disalah satu scene mengenai banyaknya sampah dikali yang bisa jadi sebagian
diantara kita adalah pelakunya. Akan tetapi Fauzi Bowo telah membuat
sebuah cetak biru pembangunan
ibu kota, beberapa point bahkan telah dieksekusi dan telah dirasakan manfaatnya
oleh sebagian masyarakat Jakarta secara langsung. Bagi saya dibalik segala
kekurangan personal, etos kerjanya lebih baik untuk dikaji.
Keberhasilan kinerja Foke tak bisa diukur hanya
dengan satu periode saja. Calon gubernur DKI Jakarta
Fauzi Bowo alias Foke sebenarnya dinilai sukses mendongkrak perolehan suara di
putaran kedua Pilkada DKI Jakarta. Hanya saja, isu suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) yang diembuskan calon wakil gubernur Nachrowi Ramli alias
Nara saat mendekati pemungutan suara malah menjadi blunder politik. Jika
melihat hasil hitung cepat sejumlah lembaga, Foke-Nara bisa mendapat tambahan
suara hingga sekitar 13 persen di putaran kedua. Foke, telah mampu mengatasi
beban stigma kegagalan selama menjabat sebagai gubernur periode 2007-2012.
Foke mendekati para elite parpol sehingga mampu mendapat tambahan
dukungan parpol di putaran kedua. Adapun pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja
Purnama hanya mampu mendapat tambahan suara sekitar 10 persen di putaran kedua.
Tambahan 13 persen itu tidak gampang. Kalau dilihat peta, apa yang dilakukan
dia (Foke) dengan mendekati simpul-simpul suara sudah lumayan kita apresiasi.
Hanya masalahnya fase mendekati pencobosan ada blunder politik, seperti isu
SARA yang tidak kena pada lapis kelas menengah atas. Yang tidak merespons isu
SARA itu kemudian tidak empati lalu cenderung ke Jokowi-Ahok. Foke sebenarnya
unggul dalam dua debat resmi pilkada yang digelar KPU lantaran memegang data
kondisi Jakarta yang relatif lengkap.[14]
Dua calon gubernur DKI Jakarta, makin sering adu
gaya. Sayang, soal aksi di depan kamera, Foke bukan ahlinya. Jokowi jauh matang
beraksi. Tentu bukan itu saja. Lihatlah, bagaimana Jokowi begitu tangkas ketika
berhadapan dengan kamera. Foke, jauh tertinggal. Sangat terlihat bahwa
konsultan komunikasi politik dan konsultan media Foke, tidak bisa “larut” dalam
kepribadian Foke. Sebagai tokoh yang bertarung di wilayah publik, Foke
dibiarkan “jalan sendiri.”
Dalam performa media, Foke sama sekali tidak
memiliki fashion-characteristic-style. Satu-satunya fashion yang
melekat dengan Foke : kumisnya. Ini jelas berbeda dengan Jokowi. Fashion-nya
dijaga betul. Bajunya selalu kotak-kotak. Tentu saja, dengan lengan baju yang
terlipat, celana selalu jeans, atau yang sporty. Sangat jelas terlihat,
konsultan politik Jokowi begitu “larut” dalam kehidupan tokohnya. Walhasil,
Jokowi betul-betul muncul sebagai sosok yang nasionalis, merakyat, tangkas,
responsif. Ini seperti menghidupkan salah satu tokoh yang menjadi inspirasi
Bung Karno tentang nasionalisme. Marhaenisme adalah faham yang terinspirasi
dari Pak Marhaen, meski ada juga versi lain yang menyebut bahwa Marhaen juga
bisa berarti Marx, Hegel dan Lenin. Yang jelas, Jokowi berhasil. Sebagai figur
yang baru di-launching dalam pentas politik nasional, Jokowi sudah
berhasil membumi.[15]
o
Lantas, bagaimana dengan Foke?
Problem utama Foke ada di lingkaran dalamnya sendiri.[16]
Citra komunikasi politik Fauzi Bowo yang selama ini dinilai arogan dan tidak
merakyat. Buktinya, untuk memilih pakaian saja, Foke masih melihat bersama
siapa dan dengan siapa akan berjumpa. Para konsultan Foke, terlihat gagal
memahami ini. Dari berbagai pemberitaan di media, nampak jelas kedua ‘ksatria’
begitu jauh berbeda. Beberapa pengamat berpandangan, pertarungan Jokowi versus
Foke adalah pertarungan personality versus strategi, kepribadian versus
taktik pertempuran. Keunggulan Jokowi atas Foke pada putaran pertama
pilkada DKI 11 Juli silam adalah kemenangan personality, bahwa rakyat DKI terkini lebih memilih figur
pemimpin yang natural dan merakyat.
Foke lupa,
di satu sisi memang dia berusaha untuk sikap seorang pemimpin yang tegar dan
dewasa, tidak berusaha mencari kambing hitam atas kekalahan. Namun di sisi lain
publik justru semakin tidak bersimpati. Akan lebih menguntungkan bila ia
berkata, ”Sejujurnya saya cukup kaget dan tidak menyangka hasil seperti ini.
Tapi, mau gimana lagi? Inilah hasil demokrasi.”
Kejujuran, ceplas-ceplos
apa adanya, berani mengakui ‘ketololan’ diri, ini yang tak bisa didapati dari
diri Fauzi Bowo. Foke abai dengan personality.
Masih style khas pemimpin birokrat-feodal ala orba yang jumawa,
kebiasaan orang-orang yang terlalu lama duduk di kursi kekuasaan dengan sederet
atribut intelektualitas. Dalam kegalauan psikologi karena akumulasi kekecewaan,
terutama dengan gagalnya reformasi merombak tatanan
bangsa-negara, terutama kegagalan memerangi KKN, rakyat bermimpi akan kehadiran
seorang ‘dewa penyelamat. Entah itu bernama satrio paninggit, imam mahdi atau ratu adil, sah-sah
saja rakyat mencari simbol pertahan dari keputusasaan untuk tidak ‘mati
berdiri’ di negeri sendiri.
Lalu
kehadiran Jokowi dengan ‘ciri-ciri’ yang paling mendekati dengan ‘figur
khayalan’ sang penyelamat menjadi fenomena. Momentum tiba. Plus analisis
politik dan babat sejarah ‘keajaiban’ suksesnya kota Solo di bawah
kepemimpinan seorang Jokowi selama menjabat sebagai walikota semenjak 2005,
simpul jawaban pun tercipta. Sedikit belajar dari sejarah, krisis kepemimpinan bukanlah wacana baru.
Rakyat mencari figur pemimpin. Pencarian yang tak mungkin bisa dipadamkan dalam
setiap bangsa manapun di dunia, di zaman apapun, akan selalu ada. Rakyat
bermimpi, DKI bermimpi, hadir Jokowi. Pilkada DKI hanyalah
pucuk dari gelombang sejarah NKRI. Masih kebetulan pula dengan kesamaan sejarah
PDIP, PD dan Gerindra, tiga partai yang sama-sama
bernuansa demokrasi meski dengan cita rasa berbeda. Jokowi-PDIP-Gerindra
menjadi pertalian ‘kebetulan’ momentum.
Sedang Foke
dengan backing Partai Demokrat, partai yang sama-sama mengusung
demokrasi namun bercita rasa birokrat-teknokrat ‘kelas atas’ adalah simbol
penguasa, status quo, sekaligus ‘kegagalan’ pemerintah dalam menjawab
problem bangsa. Tak heran jika Foke juga gagal membaca penyebab ‘kekalahan’
suara, itu memang sudah dari sono-nya. Perpolitikan partai berkuasa (atau mungkin
mayoritas partai politik), masih tak banyak berbeda nuansa dengan masa orba.
Penuh retorika dan ‘siasat-tipu daya.’ Berstrategi sebagai politik meraih
kekuasaan, bukan berpolitik sebagai strategi meraih kepercayaan.
Politik homo
homini lupus banal abal-abal. Politik sebagai ‘perang’ berebut
kemenangan dengan saling menjatuhkan. Hanya personality ksatria yang
layak memimpin
negara. Itu bahasa penguasa. Foke lupa, atau memang tak pernah belajar dari
penderitaan rakyat (karena memang tak pernah hidup menderita), bahwa personality
adalah kepribadian yang tak bisa direkayasa. Foke (dan kubunya) lupa, bahwa personality
versinya, berbeda dengan versi rakyat. Personality pemimpin yang dicari
rakyat adalah perwatakan dan perilaku ksatria-prawira yang lebih
mengutamakan laku (aksi nyata) ketimbang lati (lidah-retorika). Personality
adalah peribadi dan peribudi-pekerti, sense of crisis, kepekaan hati
untuk mengerti kemelut hidup orang terpinggirkan, tertindas dan tergilas oleh
zaman. The
Philosopher King, menurut Plato, penguasa atau raja filsuf, pemimpin
cerdas, rasional, mengendalikan diri, cinta dengan kebijaksanaan dalam membuat
keputusan bagi masyarakat. Dan
itu tak bisa didapatkan kecuali dengan ‘turun ke bumi,’ menginjak tanah dan
bergumul di ‘kawah candradimuka’ lumpur di kampung-kampung kumuh, ndheprok
di lesehan, andhap asor ngobrol di warung kopi dan pedagang kaki lima,
berkeringat mengayuh sepeda onthel untuk mengajar keteladanan tentang
arti sederhana dan hemat energi.
Masing-masing
punya personality berbeda. Ini tak
wajib berarti yang satu lebih baik dari yang lain, sebab baik-buruk bersifat
relatif-subjektif, tergantung dari dimensi ruang dan waktu. Tapi ‘kepandiran’ rakyat,
apalagi warga DKI rasanya sudah sedikit berkurang setelah setidaknya dua kali,
sejak era reformasi, ‘tertipu’ dengan janji-janji. Namun dalam ‘ketololan,
kebodohan dan kedunguannya’ rakyat masih tetap punya “hati nurani,” hal yang
sudah tak dimiliki oleh mayoritas pemimpin di negeri ini di zaman ini. Dalam ‘kehausan’ mencari
oase pemimpin yang kini memuncak, rakyat butuh bukti nyata, bukan sekedar
suguhan data statistik dan angka-angka.
Bagi rakyat
yang sedang dalam kondisi kritis, blue print, visi atau misi mungkin
sudah tak penting lagi. Semua itu menu usang membosankan sejak berpuluh-puluh
tahun lalu. Hanya angin surga, pepesan kosong, tetap saja perut kosong wajah
melompong terbengong-bengong kayak bagong. Pada akhirnya, personality
yang tetap akan bicara. Rekam jejak bisa dilihat nyata, rakyat percaya, nah
itu dia pilihannya. Bukan strategi, bukan pula politisasi.
Barang
bagus, produk berkualitas, terbukti memuaskan, tak perlu ditawarkan pun pembeli
akan rela mengantre. Jika personality memenuhi syarat untuk rakyat
bermimpi, maka tanpa strategi pun sang pemimpin akan terpilih sendiri. Yang
jelas, Jokowi-Ahok, Foke-Nara, pilkada DKI serta parpol-parpol pengusungnya,
semua hanyalah simbol dari dua sisi kekinian perpolitikan bangsa. Nasib
Indonesia akan ditentukan oleh sinergi-chemistry rakyat dan pemimpinnya.
Sisi mana yang akan memenangi pertarungan, sisi itulah bangsa ini telah
mengambil pilihan. Apakah masih
tetap dalam status quo atau perubahan, hanya waktu yang akan memberi
jawaban.
Politik identitas begitu kentara dimainkan oleh pasangan calon gubernur
DKI Jakarta, Foke-Nara. Beberapa pernyataan Foke, juga simpatisan dan
pendukungnya memperjelas kesan bahwa pasangan incumbent ini sengaja menggunakan strategi politik
identitas. Namun, strategi politik identitas menjadi blunder bagi Foke-Nara.
Politik identitas akan mujarab bagi pemilih yang ’maaf’, kesadaran politiknya
masih bersandar pada ikatan primordial. Singkatnya, mereka yang kesadarannya
sudah melampaui perbedaan-perbedaan entah suku, ras ataupun agama akan apatis
dan beralih.
Ada keterkaitan antara mundurnya Wakil Gubernur
Prijanto yang dulu diusung PDIP, dengan tampilnya Jokowi sebagai cagub juga
diusung PDIP secara bersamaan. Tudingan-tudingan dan alasan Prijanto bahwa
dia tidak bisa bekerja sama dengan Foke diakhir-akhir masa jabatannya adalah
langkah politik untuk membusukan Foke. Dia sepenuhnya menumpahkan seluruh
kesalahan pada Foke. Ini sangat aneh jika kita analisa benar-benar. Saya
melihat ada keterkaitan antara mundurnya Prijanto, tuduhan-tuduhan Prijanto
terhadap Foke dan pencitraan terhadap Jokowi yang terjadi bersamaan. Prijanto
dan Jokowi yang diusung PDIP pun bukan satu kebetulan. Seperti diciptakan bahwa
ada pecah kongsi dalam Pemda DKI.
Prijanto seperti diciptakan menjadi destroyer bagi Foke dan pasangannya.
Prijanto tadinya mungkin berambisi menjadi gubenur, tapi sayangnya hal itu
tidak terjadi karena bisa jadi ada tuduhan-tuduhan langkah politis mengenai
kemunduran dirinya. Prijanto menjadi tidak nyaman kalau dia yang maju dan
akhirnya dia akhirnya bersedia dijadikan martir oleh PDIP. Saya juga
melihat politik ketokohan dan simbol kemeja kotak-kotak pada pasangan calon DKI
Jakarta bukan solusi mengatasi persoalan Jakarta yang sangat kompleks.
Ketokohan dan simbolik kemeja hanya strategi untuk mencuri simpati publik.
Warga terkelabui dengan simbol-simbol seperti itu, meskipun tanpa harus memiliki
program-program kerja.
Pengelabuan yang dilakukan pasangan Jokowi-Ahok
bersama tim suksesnya ini, dengan memanfaatkan rasa frustasi warga terhadap
kondisi Jakarta yang belum menunjukan perbaikan. Pada sisi lain, pasangan itu
sama sekali tak memiliki konsep maupun program membangun Jakarta. Bahkan, dalam
berbagai kesempatan, Jokowi menyatakan akan melanjutkan blue print pembangunan Jakarta yang telah dibangun Fauzi Bowo.
Ketokohan Jokowi bukan obat frustasi warga Jakarta. Cara-cara ini bukan
mmeberikan pelajaran demokrasi yang baik terhadap warga. Jika cara itu terus
terjadi maka demokrasi kita tak akan pernah dewasa. Sementara mengenai
klaim bahwa Jokowi adalah salah satu walikota terbaik, saya melihat bahwa
penilaian itu memiliki kriteria dan kriteria bagaimana cara mengelola kota
secara humanis. Kalau masyarakat mau jujur dan mengecek dimana keberhasilannya,
masyarakat pasti sulit menemukannya
Masih seputaran sosok Jokowi yang menjadi buah bibir di kalangan media masa
nasional yang akibat dari prestasinya menaklukan Jakarta, kota yang tidak ramah
bagi kalangan pendatang. Anehnya Jokowi mampu menjalaninya dengan prestasi yang
gemilang bersama wakilnya Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok. Padahal, PDIP masih
banyak tokoh nasional yang punya nilai jual di Ibu Kota. Ibaratnya dalam tinju,
petinju yang masih berkutat dalam kelas bantam diintruksikan oleh pelatih untuk
bertanding di kelas berat. Jokowi kala itu tidak menolak, bermodal prestasi
sebagai Walikota Solo, ia menerima tantangan tersebut. Menurut saya pencalonan
Jokowi ini buah dari strategi politik yang dimainkan kalangan elite PDIP,
mengingat Pilkada Jawa Tengah sebentar lagi akan berlangsung.
Pendorongan Jokowi ke DKI, agar kalangan Elite
PDIP yang mempunyai niat merebut Jateng 1 tidak mempunyai lawan yang berarti.
Mengingat sekarang ini sudah ada nama yang muncul, ada Bibit Waluyo dan Tjahyo
Kumulo. Asumsinya, jika Jokowi menang di DKI peluang untuk Jawa Tengah akan
terbuka lebar, dikarenakan pamor Jokowi di Solo dan Jateng begitu mempesona.
Mereka (Bibit dan Tjahyo), tidak akan menemui kesulitan besar untuk menelurkan
ambisinya. Andaikan Jokowi kalah di DKI sedikit banyaknya akan menggerus kekuatan
Walikota Solo tersebut di Jawa Tengah. Namun, manuver politik yang dilakukan
elite PDIP ini berhasil, mengingat peluang Jokowi untuk menang pada putaran
kedua sangat besar. Andaikan kalah, Jokowi sudah sangat lelah untuk ikut
bertarung lagi di pilgub Jawa tengah. Pilkada Jakarta sekarang ini menentukan
karir politik Jokowi jika menang ia akan menjadi superstar, jika kalah maka
karir Jokowi kemungkinan akan tamat mengingat ia sudah dua priode memipin Solo.
Kalau orang mau berpolitik harus siap semua, kalau tidak
siap, susah. Makannya politisi seharusnya paling tahan dari segala tekanan.[17]
Di balik pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang
bertarung pada Pilkada DKI Jakarta terdapat banyak konsultan politik yang
bergerak. Mereka berperan menganalisis dan memberikan rekomendasi tentang
strategi politik, mereka pula yang memoles citra para kandidat itu dengan
segala media sosialisasi dan program yang disiapkan. Jokowi-Ahok itu prinsipnya
adalah barang bagus. Barang bagus itu lebih mudah dijual. Kekuatan utama
kampanye Jokowi-Ahok ada pada sosok keduanya.
Sisanya, baru adu strategi politik. Tetapi, kalau strateginya sama
canggih, tetapi kualitas barangnya lebih baik, maka barang yang lebih baik itu
yang akan disukai. Selain itu, terbantu dengan adanya momentum di mana
masyarakat sudah mulai muak dan antipati dengan Pilkada DKI yang tidak
menawarkan perubahan. Tiba-tiba muncul nama Jokowi, masyarakat melihat ada perubahan itu.
Dengan demikian terbantu juga dengan momentum frustasi masyarakat yang
sedemikian kuatnya menghendaki perubahan.
o Pendekatan strategi cerdas
Jokowi untuk membangun Jakarta
Pada tataran
pembangunan fisik, pasangan Jokowi-Basuki bertekad membalik strategi para
pejabat atau politisi konvensional Jakarta selama ini dengan strategi
baru, yaitu: membangun Jakarta
yang dimulai dari kampung.
Jokowi sebenarnya bukan baru saja popular karena berhasil memenangkan
pilkada DKI Jakarta 2012, tetapi sejak jauh hari dia telah menjadi bahan
pembicaraan orang baik di dalam maupun luar negeri.
Satu filosofi prinsip yang menjadi pijakan Jokowi dalam membangun,
mengelola dan memimpin kota Solo adalah “melayani”. Jokowi memaknai jabatan
walikota yang diembannya sebagai pelayan rakyat. Ini yang membedakannya berbeda
dari pejabat atau politisi lain di Indonesia. Jokowi juga secara konsisten dan
konstan menterjemahkan filosofi melayani tersebut dalam semua aktifitasnya
sehari-hari secara riil. Filosofi inilah yang akan diaplikasikan oleh Jokowi
ketika dia telah resmi menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta untuk periode
2012-2017.[18]
Seperti kita ketahui, kesemrawutan pembangunan yang terjadi di Jakarta
salah satunya disebabkan oleh terabaikannya program pembangunan terhadap
kampung-kampung di Jakarta. Dengan membangun Jakarta yang dimulai dari kampung,
maka strategi ini akan mendorong terciptanya partisipasi warga yang intensif
dan efektif dalam setiap kegiatan pembangunan serta terbangunnya pola
komunikasi yang linear antara pemimpin dan rakyat. Dampaknya, rakyat merasa
diberdayakan dan diakui eksitensi secara riil, bukan saja hanya pada saat
menjelang pilkada. Dampak selanjutnya yang lebih strategis dan menjadikan
Jokowi-Basuki lebih mudah dalam membangun Jakarta adalah tumbuhnya sense of belonging warga terhadap
kota Jakarta.[19]
Jokowi dengan “kecerdasannya”
tidak ingin muncul dengan sikap antagonis dengan menjadi seorang pawang yang
lebih buas dari binatang yang akan dihadapi, sebagaimana nasehat Sutiyoso.
Sebaliknya dia akan memberdayakan rakyat Jakarta dan mengundang mereka untuk
bersama-sama menjadi “pawang” sehingga “hutan rimba” Jakarta akan lebih mudah
“ditaklukkan”.
Nampaknya community participation ini yang
selama ini absen dari kegiatan pembangunan di Jakarta. Kita sebagai rakyat
tentunya sangat senang bila memiliki seorang pemimpin yang tampil dengan sikap “nguwongke” rakyatnya. Kemenangan
Jokowi memberi pelajaran kepada partai-partai politik di Indonesia bahwa
kecenderungan masyarakat terhadap figur, untuk saat ini, lebih besar
dibandingkan kecenderungan terhadap arahan mesin-mesin partai. Tentunya ini
akan menjadi bahan evaluasi partai-partai politik yang berniat untuk mengajukan
kadernya atau seorang figur untuk bertarung dalam pemilu eksekutif 2014
mendatang.[20]
Kemenangan Jokowi juga memberi pelajaran kepada partai-partai Islam
bahwa isu-isu agama dan tausiyah-tausiyah politik tidak begitu laku sebagai
salah satu komoditi jualan. Partai-partai yang bersifat ekslusif harus
mempertimbangkan kembali isu-isu jualannya pada masa-masa mendatang. Jokowi
juga memberi pelajaran kepada elite-elite politik tentang peran sentral sosial
media sebagai alat strategi kampanye di masa mendatang. Banyaknya dukungan
terhadap Jokowi di berbagai sosial media memberi indikasi peran penting sosial
media untuk menjaring calon pemilih pemula dan kalangan menengah ke atas. Jadi,
partai atau figur yang akan bertarung di masa mendatang harus mempertimbangkan
peran dari sosial media ini. Sebab, bisa dikatakan strategi kampanye Jokowi ini
adalah sesuatu yang baru dan sangat mencerahkan di tengah-tengah strategi
kampanye yang sangat mengandalkan cara-cara konvensional, seperti pengerahan
massa, orasi, dan pemasangan “jutaan” baliho dan spanduk di seluruh pelosok dan
sudut kota.[21]
Di beberapa pemberitaan dapat dilihat bahwa Faktor SARA sangat
berpengaruh pada penentuan elektabilitas Pilkada DKI Jakarta khususnya untuk
pasangan Jokowi-Ahok, tetapi memang tim sukses Jokowi dan termasuk didalamnya
Prabowo mensiasatinya dengan mengangkat Jokowi secara berlebihan di
media ketimbang memunculkan Ahok yang rawan bisa menggagalkan kemenangan
Jokowi, Jika anda masih ingat di 2 bulan terakhir pada putaran pertama sebelum
pencoblosan begitu banyak pernyataan Ahok yang kontroversial, seperti misalnya
: Ayat Suci VS Ayat Konstitusi
(baca : blunder lagi, Ahok menghina Ayat Suci) dan beberapa pernyataan
lainnya sehingga banyak sinyalemen jika Ahok membawa bendera Liberalis Sekuler sedangkan di
Jakarta sendiri “perang” terhadap liberalis sekuler begitu besar. Sehingga
muncul salah satunya gerakan Indonesia tanpa JIL.[22]
Kemudian, apa yang dilakukan Prabowo dan tim sukses Jokowi lainnya
mensiasati kondisi ini? Berdasarkan pengamatan penulis pada proses kampanye
pilkada DKI Jakarta putaran pertama lebih tepatnya pada 3 pekan terakhir
menjelang pencoblosan Ahok seakan-akan
“disembunyikan”, Prabowo di media mengangkat Jokowi
setinggi langit dengan berbagai macam propaganda kelayakan Jokowi dipilih,
sampai-sampai ada yang bertanya “loh, kok
ahok ga muncul ya dalam iklan” selain itu Ahok tak sedikitpun
memberikan statemen di media saat 3 dan 2 pekan terakhir menjelang pencoblosan,
strategi ini digunakan tim sukses Jokowi-Ahok karena hampir semua politisi
sangat memahami bahwa “rakyat Indonesia
mudah lupa” jangankan yang 5 tahunan, 5 menit saja mudah lupa dengan
situasi dan kejadian sebelumnya, hal inipun pernah disampaikan oleh Sutan
Batugana di MetroTV “Rakyat Indonesia
Sangat Mudah Lupa“.[23]
Bahwa tim sukses Jokowi sangat memahami potensi gagalnya Jokowi di
Pilkada besar sekali jika memunculkan “Ahok”, terlebih dengan Isu SARA yang
mengakar sehingga DKM-DKM, Para Tokoh Masyarakat, Ulama, Ustadz dan sebagainya
menyampaikan memilih pemimpin yang se-iman. Awalnya strategi untuk membuat
orang takut terhadap SARA diharapkan berhasil oleh tim sukses Jokowi-Ahok
dengan diperiksanya Rhoma Irama ternyata tidak berhasil alias gagal total, hal
ini membuat kalap Prabowo dengan membuat Iklan Kampanye di 5 station TV
padahal diluar jadwal kampanye, beranikah Panwaslu menghukum Prabowo? rasanya
seperti tidak mungkin (baca : Prabowo dipanggil, Panwaslu Menggigil).
Isu SARA yang awalnya menjadi senjata oleh pendukung Jokowi-Ahok di media kini
menjadi bomerang untuk kandidat ini.
Jika anda jeli dan mengamati media karena memang kedua pasangan ini
adalah “Kekasih Media”
dan bahkan berdasarkan informan yang menyampaikan kepada penulis bahwa tim
sukses Jokowi-Ahok telah bekerjasama dengan KATAPEDIA
sebuah lembaga yang bisa melihat trend kata positif dan negatif di masyarakat
seperti apa untuk kemudian diolah oleh kandidat dalam pilkada untuk
memainkan isu sangat manjur sekali. Strategi ini dilakukan dalam kerangka
membuat masyarakat akrab dengan kata “Basuki” dan melupakan kata “Ahok”.
Alasanya karena masyarakat indonesia sangat mudah lupa terhadap apa yang pernah
terjadi, kondisi ini dimanfaatkan politisi.[24]
Kemenangan Joko Widodo (Jokowi) pada pilkada DKI beberapa waktu yang
lalu bukanlah suatu hal yang kebetulan. Dukungan pemilih yang menempatkan dia
sebagai pemenang pertama itu tidak dibangun dalam sekejap –meski memang dalam
waktu yang tidak begitu lama. Kemenangan itu adalah kombinasi momentum yang
diracik dengan strategi dan taktik yang tepat. Strategi politik yang dipilih
Jokowi untuk memenangkan persaingan menuju DKI-1 patut menjadi kajian serius
dan referensi berharga untuk para politisi yang sedang dan akan memperebutkan
jabatan-jabatan politik di masa yang akan datang.[25]
Terlepas pada akhirnya Jokowi menjadi Gubernur DKI berikutnya, sejumlah
alasan politis, patut diingat bahwa pengusaha yang lebih memilih sebutan
sebagai tukang kayu itu telah mengajarkan nilai-nilai seorang pemimpin,
negarawan dan politisi yang patut diteladani. Sebagai pemimpin, Jokowi
menggunakan konsep manajerial yang menyeimbangkan antara proses dan hasil yang
cenderung saling menyempurnakan. Jokowi adalah tipe manajer yang mampu
mengoptimalkan fungsi dan manfaat pendelegasian tugas secara efektif dan efisien.
Pencapaian pembangunan dan prestasi kota Solo sejauh ini adalah representasi
dari kerja-kerja kepemimpinan yang menempatkan sistem sebagai acuan dan
kualitas sumber daya manusia yang di-up grade, untuk menyesuaikan dengan sistem
yang telah ditetapkan. Kemudian, dalam posisinya sebagai pemimpin, Jokowi mampu
membangun irama dan sinergi harmonis dalam tarikan relasi vertikal dan
horisontal di dalam birokrasi pemerintahan. Selebihnya, dia dapat berhubungan
secara terbuka dan interaktif di lingkungan masyarakat untuk mendapatkan
afirmasi positif terkait rencana penataan dan pembangunan kota.
Jokowi juga dikenal sebagai sosok yang cerdas dalam membaca dinamika
kota, sehingga tidak terlihat asal-asalan dalam merumuskan kebijakan
pemerintahan. Dia senang dengan masukan dan kritik dari berbagai pihak agar
kebijakan yang diputuskan dapat mengakomodasi kepentingan banyak pihak,
utamanya kepentingan masyarakatnya. Sikap tegas Jokowi untuk menolak mobil
dinas baru yang beberapa kali diusulkan dalam RAPBD, selain sebagai praktik
pencitraan yang sangat produktif, juga menjelaskan bagaimana posisi dan peran
seorang negarawan yang sudah selayaknya menjadi "pelayan" untuk
warganya. Saat semua orang meributkan apakah dia layak atau tidak memimpin DKI,
Jokowi cenderung diam dan normatif dalam membuat pernyataan. Inilah salah satu
kematanan politik seorang Jokowi.[26]
Jokowi, disadari atau tidak adalah kader potensial yang akan memberi
daya ungkit bagi partai pengusungnya untuk memenangkan pemilu 2014. Oleh sebab
itu, menempatkan Jokowi sebagai calon gubernur DKI, bagi PDI Perjuangan dan
Gerindra adalah "pertarungan yang harus dimenangkan". Dari aspek
kapasitas, kapabilitas dan kredibilitas Jokowi sebagai Walikota Solo adalah
kisah sukses yang hanya jadi milik segelintir politisi. Akan tetapi benar apa
yang dinyatakan Jokowi dalam beberapa kesempatan di media massa, bahwa untuk
sebuah jabatan --seperti halnya walikota atau gubernur-- tidak perlu dikejar
dan dipaksakan. Dengan membangun komunikasi kepada semua kelompok dan golongan,
membangun rasa percaya untuk memberikan pilihan politik, hadirnya kekuatan
dukungan adalah sebuah keniscayaan.
Bagaimana pun juga--kesadaran kritis masyakarakat untuk mendapatkan
pemimpin yang berkualitas semakin menguat, sementara kesadaran pemimpin seperti
halnya Jokowi perlu dideseminasikan kepada lebih banyak calon pemimpin yang
lain. Di sinilah sinergi gagasan tentang figur pemimpin ideal Jakarta dan
keinginan Jokowi masuk ke persaingan DKI-1 menemukan relevansinya. Tim
pendukung calon gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sukses menggenggam dukungan
kelompok menengah.[27]
Mereka misalnya, berhasil menggarap kelompok sopir taksi Jakarta. Itu yang
terjadi saat Joko Widodo turun di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng,
Tangerang. Joko Widodo diserbu penumpang di terminal kedatangan dalam negeri
Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng.
Bukan
kunjungan tiba-tiba, sopir taksi merupakan salah satu kelompok yang digarap tim
sukses Jokowi sejak putaran pertama pemilihan Gubernur Jakarta, Juli lalu.
Menurut seorang politikus, tim Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo
Subianto mendekati para pengemudi ini. Sopir taksi dipilih karena merasakan
langsung kemacetan jalanan Jakarta setiap hari. Asumsinya, mereka tak akan suka
Fauzi Bowo,” menyebutkan gubernur inkumben yang berpasangan dengan Nachrowi
Ramli itu. Fauzi Bowo dituding tak berhasil mengurai kemacetan sejak ia
memimpin Jakarta pada 2007.
Hal ini dimanfaatkan penantangnya. Sentimen negatif terhadap Fauzi itu
diharapkan menular kepada penumpang taksi melalui para sopir tersebut.
Penumpang taksi, merupakan kelompok menengah yang merasakan kemacetan setiap
pergi dan pulang kerja. Sopir taksi merupakan salahsatu golongan masyarakat
yang secara sukarela membantu tim kampanye Jokowi. Yang jelas ”Keaktifan sopir
taksi itu menunjukkan strategi tim Jokowi turun ke bawah berhasil. Maka,
menurut Eep Saifullah, pertarungan sesungguhnya antara Jokowi dan Fauzi adalah
perebutan dukungan kelas menengah-bawah. Menurut sejumlah survei, kelompok ini
cenderung memilih Fauzi. Perebutan pemilih kelompok ini memanas karena isu
agama dan ras, yang marak pada bulan puasa hingga menjelang pemilihan putaran
kedua.[28]
Dalam catatan penulis, ada tiga tokoh utama yang membuat kesuksesan
Jokowi - Ahok yakni
1.
Megawati
Soekarno Putri
Megawati
Soekarno putri Mantan Presiden RI merupakan orang pertama yang menjadi tokoh
utama dibalik kesuksesan oleh Jokowi, dimana Megawatilah yang meminta kepada
Jokowi untuk datang ke Jakarta dan bersaing untuk memperebutkan DKI I.
Keputusan Megawati pada saat itu, menjadi blunder bahkan jadi bahan pembicaraan
bagi para kader-kader PDI Perjuangan terutama para kader-kader PDIP yang sudah
lama mengincar kursi DKI I. Sementara Jokowi ini bukan orang Jakarta, bahkan
tidak pernah beraktifitas di Jakarta. Tidak hanya itu, suami dari Megawati,
Taufik Kemas juga menyayangkan keputusan dari Megawati untuk memasangkan Jokowi
yang dianggap masih banyak kader PDIP yang ada di Jakarta lebih layak dibanding
Jokowi. Sehingga Megawati, sempat ragu untuk memasangkan Jokowi yang kemudian akhirnya
timbul tokoh utama lainnya Jusuf Kalla yang memberikan support agar Megawati
tetap konsisten memasangkan Jokowi.
2.
Jusuf Kalla
Keraguan yang
dialami oleh Megawati Seokarno Putri untuk memasangkan Jokowi pada Pilkada DKI
ini, membuat Jusuf Kalla memiliki peran atas majunya Jokowi menuju DKI I ini.
Sebab atas permintaan kader PDIP bahkan suami dari Megawati sendiri membuat
Megawati sempat ragu akan memasangkan Jokowi, namun dari support JK lah
akhirnya Jokowi dipasangkan untuk Pilgub DKI hasilnya pada putaran pertama
bahkan putaran kedua Jokowi tetap unggul dan bisa memenangkan Pilgub DKI ini.
Peran JK sangat besar dalam kemenangan Jokowi, tidak hanya strategi yang
diberikan oleh JK kepada Jokowi, bantuan dana, bantuan massa bahkan bantuan
timses juga diberikan JK terhadap Jokowi agar bisa memenangkan perebutan DKI I.
Hasilnya, tidak ragukan lagi Jokowi mampu menjadi yang terbaik dan itu sudah
diprediksi oleh JK yang memang berkeyakinan bahwa gaya kepemimpinan Jokowi
mampu merubah Jakarta yang merupakan miniatur kecil untuk Indonesia ini.
3.
Prabowo
Subiyanto
Nama Prabowo Subiyanto, sempat tampil dibeberapa tayangan media
elektronik yang mengajak kepada seluruh masyarakat Jakarta untuk memilih
Jokowi. Prabowo juga merupakan salah satu pilar dibalik kemenangan Jokowi,
dengan memakai partai Gerindra yang kemudian dipasangkan dengan Ahok juga hasil
keputusan dari Prabowo yang mengganggap pasangan yang pantas bagi Jokowi adalah
Ahok. Prabowo banyak memberikan masukan dan stretegi kepada Jokowi-Ahok, tidak
hanya strategi dia juga menginstruksikan agar semua kader Gerindra satu suara
untuk menyukseskan Jokowi-Ahok, bahkan Prabowo juga dengan senang hati
memberikan bantuan berupa dana untuk kemenangan Jokowi. Tiga tokoh utama ini
merupakan salah satu faktor kesuksesan dari Jokowi-Ahok, sehingga Jakarta Baru
bisa dipegang oleh Jokowi-Ahok. Semoga saja, visi dan misi yang diusung oleh
Jokowi-Ahok bisa tercapai dan menjadi sejarah bagi Indonesia, Jakarta berhasil
dibawah kepemimpinan Jokowi-Ahok.
V.
Pencitraan Kuat Faktor Utama Kemenangan Jokowi
Calon gubernur
DKI Jakarta Joko Widodo dinilai menang dari sisi pencitraan dalam hal
kepribadian, dibandingkan lawannya gubernur petahana Fauzi Bowo yang dipandang
arogan. Sebagian besar publik melihat kepada personality. Dari pencitraan, Jokowi baru masuk sekitar lima bulan
sebelum Pilkada, dan mampu mengalahkan Foke yang telah menjabat selama lima
tahun. Ini pencitraan luar biasa. Hal ini haruslah menjadi pelajaran bagi
(kontestan) pemilu maupun pemilukada berikutnya. Pencitraan itu penting.
Harus dipersiapkan sosok yang lebih humble.
Kemenangan Jokowi merupakan pembelajaran (soal) pencitraan yang cukup baik.
Keberadaan Foke dan pasangannya Nachrowi Ramli yang didukung oleh multipartai,
juga menjadi pembelajaran tersendiri. Hal ini membuktikan bahwa mesin partai
tidak bekerja secara maksimal. Bukan hanya kerja partai yang tidak maksimal.
Apa pun yang dikatakan partai, orang memilih (tetap) berdasarkan pribadi, bukan
instruksi partai. Hal ini juga menunjukkan bahwa ternyata masyarakat Jakarta
tidak menginginkan sosok militer.[29]
VI.
Kesimpulan
Jakarta telah
memilih gubernur DKI Jakarta. Hasil perhitungan cepat (quick count) dari Lingkaran Survey Indonesia menunjukkan
pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama (Jokowi-Ahok) mendapat 53.68% dan
Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) mendapat 46.32%. Hitungan cepat yang
disiarkan Metro TV menunjukkan Jokowi-Ahok 54.11% dan Foke-Nara 45.89%.
Sementara hitungan cepat MNC Research menunjukkan Jokowi-Ahok 52.63% dan
Foke-Nara 47.37%.
Ada beberapa
faktor yang menyebabkan kemenangan Jokowi-Ahok.
1.
Faktor Integritas Jokowi-Ahok. Integritas
Jokowi dinilai sangat baik oleh banyak kalangan. Integritas (mutu, sifat, atau
keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan
kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran) tersebut telah teruji dalam
memimpin Solo. Integritas Ahok, juga teruji dalam kepemimpinannya. Integritas
tak lepas dari moral kebangsaan dan keagamaan. Penilaian integritas seseorang
tidak muncul begitu saja, apalagi jika itu dilakukan dalam masa kampanye.
Integritas seseorang dinilai dari apa yang telah dilakukannya. Jati diri ini
menyatu dalam perilaku yang baik, tulus, jujur, sederhana, konsisten, tidak
cacat/korup, berupaya tepati janji, tenggang rasa, berkorban, dan
cerdas. Entitas Jokowi itu low profile (diakui Jusuf Kalla) atau good profile (istilah Mario Teguh).
2.
Faktor kepercayaan masyarakat dan momentum
yang tepat.
3.
Faktor pencitraan via baju kotak-kotak.
Filosofi baju kotak-kotak, bagi Jokowi-Ahok, adalah pengakuan terhadap adanya
perbedaan-perbedaan (suku-agama-ras-antar golongan) yang diarahkan untuk
mencapai tujuan bersama, yakni kemajuan kesejahteraan Ibukota Indonesia.
4.
Faktor Visi-Misi via Game/Tagline “Selamatkan Jakarta”. Games ini
sekaligus menjelaskan visi-misi Jokowi secara sederhana dan menarik. Seorang
filsuf pernah menyatakan bahwa kita harus selalu berpikir, jangan membiarkan
pikiran kosong, jika malas belajar, bermain game saja. Salah satu kebutuhan
manusia adalah hiburan. Hiburan yang termudah adalah bermain-main (games). Seorang yang main game
“selamatkan Jakarta” akan berperan/ mengidentifikasikan dirinya sebagai Jokowi.
Tugas pertamanya adalah menyelamatkan warga yang baik dari pejabat korup,
pengusaha hitam, preman, dan sampah. Ini sangat memikat hati. Soal preman Ibu
Kota, ada berapa banyak masyarakat Jakarta yang takut atau merasa tidak aman
terhadap preman? Kejengkelan seseorang kepada preman, akhirnya mempengaruhi
orang itu memilih Jojowi (yang dalam bermain game “selamatkan Jakarta” ia
mengidentifikasikan dirinya sebagai Jokowi, jadi wajar pilih diri sendiri).
5.
Faktor Simpati (karena difitnah, sara, dan
dikeroyok partai-partai besar).
Makna Kemenangan
1.
Kemenangan Jokowi-Ahok ini menunjukkan
masyarakat Jakarta menginginkan perubahan mendasar.
2.
Partai-partai besar/kecil yang beralih ke
Foke-Nara tidak diikuti oleh pemilih mereka. Figur lebih utama daripada partai.
3.
Isu SARA (suku-agama-ras-antar golongan)
tidak membawa kemenangan tetapi justru membawa citra negatif bagi yang
menggunakannya.
4.
Jakarta menggambarkan keberadaan Indonesia
yang berideologi Pancasila dan berkebhinekaan tunggal ika. Siapapun bisa
menjadi pemimpin di Indonesia tanpa diskriminasi SARA.
5.
Masyarakat Jakarta merindukan fungsi
pemerintahan (goverment function) yang benar-benar memberikan pelayanan publik (public service), bukan sebaliknya,
otoriter dan hanya mau dilayani/dituruti.
____________________________________
Penulis adalah Mhs. S2
Komunikasi Politik Univ. Muhammadiyah Jakarta, dan Pegiat Pemilu.*
[1] Bran D. Ruben “Communications” hal : 45
[2] DR. Arni Muhamad “Communication” hal : 60
[3] Rice dan Paisley,
“Public Relations dalam Teori dan Praktek” 1993 : 134
[4] Astri S Soesanto,
“Pendapat Umum” 1975 : 124
[5] Ibid
[6] F. Rahmadi “Public
Relation dalam teori dan Praktek (Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga
Pemerintah)” 1993 : 135
[7] Astrid S. Soesanto
“Pendapat Umum” 1975 : 126
[8] Ibid
[9] Astrid S. Soesanto
“Pendapat Umum” 1975 :136
[10] Rice dan Pasey “Public
Relation dalam teori dan Praktek” 1993 : 145
[11] Sumber : Kompas.com,
tanggal 20/09/2012
[16] Ibid
[19] Ibid
[24] Ibid
[27]Majalah Tempo, edisi
24-29 September 2012, berjudul #the
winner
Tidak ada komentar:
Posting Komentar