Oleh : Rahman Yasin
(Direktur
Eksekutif LP2-AB)
___________________________________________
Menurut Franz Magnis
Suseno etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik berkaitan dengan
pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral. Dalam arti yang
lebih luas etika diartikan keseluruhan mengenai norma dan penelitian yang
dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya
menjalankan kehidupannya.Pada zaman Yunani (Plato) orang mengartikan baik dan
buruk itu merupakan keputusan masing-masing atau kesepakatan bersama dari pada
suatu aturan abadi. Hukum tidak abadi dan tidak berlaku umum, melainkan
berdasarkan kesepakatan dan berbeda di tempat yang berbeda.Tokoh lain yang
mengutarakan tentang pengertian etika adalah Aristoteles.
Etika menurutnya
adalah ilmu tentang tindakan tepat dalam bidang khas manusia. Objek etika
adalah alam yang berubah terutama alam manusia, oleh karena itu etika bukan
merupakan episteme atau bukan ilmu pengetahuan. Dalam
etika dibedakan antara etika deontologis dan teleologis. Etika deontologis
menekankan kualitas etis suatu tindakan bukan tergantung pada akibat tindakan
itu melainkan tindakan itu sendiri betul atau salah dalam arti moral, tanpa
melihat pada akibatnya. Sebaliknya, menurut etika teleologis tindakan itu
sendiri bersifat netral.
Tindakan menjadi betul dalam arti moral
apabila akibatnya baik, salah apabila akibatnya salah.Aliran deontologis yang
dianut oleh Immanuel Kant ternyata juga mempengaruhi pendapat Franz Magnis
tentang etika. Menurut aliran deontologis dan Franz, ini mempunyai pendapat
yang sama dalam memandang bahwa etika memberikan pengertian agar segala
tindakan moral manusia baik. Kesamaan pandangan terdapat pula pada pendapat
Franz yang menyebut bahwa akibat dari tindakan tersebut mempengaruhi pendapat
seseorang tentang kebaikan.
Seseorang hendaknya
bertindak sedemikian rupa untuk berhati-hati dan diarahkan pada kebaikan.
Secara historis etika sebagai usaha dari filsafat, yang lahir dari kerusakan
tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. pada zaman ini
pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai, maka
para filosof yang peka terhadap kondisi ini mulai mempertanyakan kembali
norma-norma dasar bagi perilaku manusia. Situasi tersebut berlaku pula pada
zaman sekarang ini. Persoalan yang muncul bukan hanya menbedakan antara
kewajiban dan yang bukan merupakan kewajiban, melainkan manakah norma-norma
untuk menentukan apa-apa yang harus dianggap sebagai kewajiban. Norma-norma
moral sendiri dipersoalkan. Misalnya di bidang etika seksual, hubungan anak dan
orang tua, kewajiban terhadap negara, etika sopan santun dan pergaulan dan
penilaian terhadap harga nyawa manusia terdapat pandangan-pandangan yang sangat
berbeda satu sama lain. Untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan
pandangan-pandanagan moral ini diperlukan refleksi kritis etika.
Pancasila sebagai Dasar Etika Kehidupan
Bernegara.
Sebagai
mana dipahami bahwa sila-sila Pancasila adalah merupakan suatu sistem nilai,
artinya setiap sila memang mempunyai
nilai akan tetapi sila saling berhubungan, saling ketergantungan secara
sistematik dan diantara nilai satu sila dengan sila lainnya memiliki
tingkatan. Oleh karena itu dalam
kaitannya dengan nilai-nilai etika yang terkandung dalam pancasila merupakan sekumpulan
nilai yang diangkat dari prinsip nilai yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Nilai-nilai tersebut berupa nilai religious, nilai adat istiadat, kebudayaan dan setelah disahkan
menjadi dasar negara terkandung di dalamnya nilai kenegaraan.
Dalam kedudukannya sebagai dasar filsafat negara,
maka nilai-nilai pancasila harus di jabarkan dalam suatu norma yang merupakan
pedoman pelaksanaan dalam penyelenggaraan kenegaraan, bahkan kebangsaan dan
kemasyarakatan. Terdapat dua macam norma dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yaitu norma hukum dan norma moral atau etika. Sebagaimana diketahui
sebagai suatu norma hukum positif, maka pancasila dijabarkan dalam suatu
peraturan perundang-undangan yang ekplisit, hal itu secara kongkrit dijabarkan
dalam tertib hukum Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya memerlukan suatu
norma moral yang merupakan dasar pijak pelaksanaan tertib hukum di Indonesia.
Bagaimanapun baiknya suatu peraturan perundang-undangan kalau tidak dilandasi
oleh moral yang luhur dalam pelaksanaannya dan penyelenggaraan negara,
maka niscahaya hukum tidak akan mencapai suatu keadilan bagi kehidupan
kemanusiaan.
Selain itu secara kausalitas bahwa nilai-nilai pancasila adalah
berifat objektif dan subjektif. Artinya esensi nilai-nilai pancasila adalah
universal yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Sehingga memungkinkan dapat diterapkan pada negara
lain barangkali namanya bukan pancasila. Artinya jika suatu negara
menggunakan prinsip filosofi bahwa negara
berketuhana, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan, maka
negara
tersebut pada hakikatnya menggunakan dasar filsafat dari nilai sila-sila
pancasila.
Nilai-nilai
pancasila bersifat objektif dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Rumusan dari sila-sila pancasila itu sendiri
sebenarnya hakikat maknanya yang terdalam menunjukkan adanya sifat-sifat umum
universal dan abstrak, karena merupakan suatu nilai.
2.
Inti nilai-nilai Pancasila akan tetap ada
sepanjang masa dalam kehidupan bangsa Indonesia dan mungkin juga pada bangsa
lain baik dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan, maupun dalam kehidupan
keagamaan.
3.
Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945, menurut ilmu hukum memenuhi syarat sebagai pokok kaidah yang fundamental negara
sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di Indonesia. Oleh karena itu
dalam hierarki suatu tertib hukum hukum Indonesia berkedudukan sebagai tertib
hukum yang tertinggi. Maka secara objektif tidak dapat diubah secara hukum
sehingga terlekat pada kelangsungan hidup negara.
Sebagai konsekuensinya jika nilai-nilai pancasila yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 itu diubah maka sama halnya dengan pembubaran negara
proklamasi 1945, hal ini sebagaimana terkandung di dalam ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966,
diperkuat Tap. No. V/MPR/1973. Jo. Tap. No. IX/MPR/1978.
Sebaliknya nilai-nilai subjektif Pancasila dapat diartikan bahwa
keberadaan nilai-nilai pancasila itu bergantung atau terlekat pada bangsa
Indonesia sendiri. Pengertian itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Nilai-nilai pancasila timbul dari bangsa
Indonesia sehingga bangsa Indonesia sebagai bangsa kausa materialis.
Nilai-nilai tersebut sebagai hasil pemikiran, penilaian kritis, serta hasil
refleksi fiosofis bangsa Indonesia.
2.
Nilai-nilai pancasila merupakan filsafat
(pandangan hidup) bangsa Indonesia sehingga merupakan jati diri bangsa, yang
diyakini sebagai sumber nilai atas nilai kebenaran, kebaikan, keadilan dan
kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
3.
Nilai-nilai pancasila di dalamnya terkandung ke
tujuh nilai-nilai kerohanian yaitu nilai kebenaran, keadilan, kebaikan,
kebijaksanaan, etis, estetis dan nilai religius
yang manifestasinya sesuai dengan budi nurani bangsa Indonesia karena bersumber
pada kepribadian bangsa.
Nilai-nilai pancasila itu bagi bangsa Indonesia menjadi landasan,
dasar serta motivasi atas segala perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari,
maupun dalam kehidupan kenegaraan. Dengan kata lain bahwa nilai-nilai pancasila
merupakan das sollen atau cita-cita
tentang kebaikan yang harus diwujudkan menjadi suatu kenyataan atau das sein.
Di era sekarang sekarang ini, tampaknya kebutuhan akan norma etika
untuk kehidupan berbangsa dan bernegara masih perlu bahkan amat penting untuk
ditetapkan. Hal ini terwujud dengan keluarnya ketetapan MPR No. VI/MPR/2001
tentang etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang merupakan
penjabaran nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berpikir, bersikap dan
bertingkah laku yang merupakan cerminan dari nilai-nilai keagamaan dan
kebudayaan yang sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat.
Etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat bertujuan
untuk:
1.
Memberikan landasan etik moral bagi seluruh
komponen bangsa dalam menjalankan kehidupan kebangsaan dalam berbagai aspek
2.
Menentukan pokok-pokok etika kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
3.
Menjadi kerangka acuan dalam mengevaluasi
pelaksanaan nilai-nilai etika dan moral dalam kehidupan berbangsa, bernegara,
dan bermasyarakat.
Referensi
Kaelan,
dan Zubaidi, Achmad, Pendidikan
Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta,
2007.
Syamsir, 2009. Buku Ajar Pendidikan kewarganegaraan, UNP-Press, Padang, 2009.
Winarno, Paradigma
Baru Pendidikan Kewarganegaraan, Bumi Aksara, Jakarta, 2006.
Suseno, Franz, Magnis, Kuasa & Moral, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2001.
Franz, Von, Magnis, Etika Dasar, Masalah-masalah pokok Filsafat Moral, Kanisius,
Yogyakarta, 1987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar