Rabu, 16 April 2014

Artikel Hukum



Sistem Hukum Dalam Negara Demokrasi Modern[1]

Rahman Yasin[2]

A.    Pengantar
Hukum dalam arti luas meliputi keseluruhan aturan normatif yang mengatur dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan didukung oleh sistem sanksi tertentu terhadap setiap penyimpangan terhadapnya. Bentuk-bentuk aturan normatif seperti itu tumbuh sendiri dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan bernegara ataupun sengaja dibuat menurut prosedur-prosedur yang ditentukan dalam sistem organisasi kekuasaan dalam masyarakat yang bersangkutan. Makin maju dan kompleks kehidupan suatu masyarakat, makin berkembang pula tuntutan keteraturan dalam pola-pola perilaku kehidupan masyarakat. Kebutuhan dan keteraturan ini kemudian melahirkan sistem keorganisasian yang makin berkembang menjadi semacam organizational imperative. Makin maju suatu masyarakat, makin berkembang pula kecenderungan masyarakatnya untuk mengikatkan diri dalam sistem keorganisasian yang teratur. Dalam sistem pengorganisasian yang teratur itu pada gilirannya tercipta pula mekanisme tersendiri berkenaan dengan proses pembuatan hukum, dan peradilan terhadap penyimpangan-penyimpangan hukum dalam masyarakat yang makin terorganisasi. Dengan demikian, bukan saja di setiap masyarakat selalu ada hukum seperti yang dikatakan oleh Cicero, akan tetapi juga bahwa setiap tahapan perkembangan masyarakat yang makin kompleks dan maju akan menyebabkan kompleksitas perkembangan hukum juga makin meningkat, baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitasnya.
Dalam perspektif negara berkembang dengan stratifikasi sosial masyarakat yang heterogen, Schoorl (1974) berpandangan, karena integrasi masyarakat semakin besar, dan juga karena pesatnya perkembangan media komunikasi, dan karena ketergantungan antarfungsi semakin besar, maka bertambah besarlah partisipasi kelompok-kelompok sosial dalam proses politik. Bentuk dari partisipasi itu berbeda-beda menurut tipe masyarakatnya. Di negara-negara totaliter partisipasi itu diperoleh dengan adanya pengawasan yang lebih besar oleh negara atas rakyat, sedang di dalam suatu negara demokrasi dengan pengawasan yang lebih besar oleh rakyat atas negara.
Sejalan dengan perspektif ini, Tom R. Burns (1987) misalnya, mengatakan, bahwa setiap sistem aturan di dalam praktik, yang berbeda dari idealnya atau tujuannya, akan berisi perumusan baru (aturan-aturan yang ditulis kembali), “aturan-aturan yang tidak tertulis” dan aturan-aturan sementara, yang diketahui oleh mereka yang menjalankan sistem yang bersangkutan. Di pihak yang lain, hal-hal ini kebanyakan mungkin tidak diketahui atau tidak nampak bagi mereka yang berada diluar sistem, yang tidak diberitahu tentang praktik yang sesungguhnya (sekalipun beberapa di antara orang-orang luar ini mungkin memiliki pengetahuan yang sangat mendalam tentang sistem ideal atau formalnya).
Oleh karena itu, agar tidak melebar lebih jauh dari batasan pengertian mengenai hukum disini dapat dilihat dari empat kelompok pengertian hukum, yakni sebagai berikut; Pertama, hukum yang dibuat oleh institusi kenegaraan, dapat kita sebut sebagai sebagai Hukum Negara (The State’s Law). Misalnya, Undang-Undang yurisprudensi, dan sebagainya; Kedua, Hukum yang dibuat oleh dan dalam dinamika kehidupan atau yang berkembang dalam kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat, seperti misalnya Hukum Adat (The People’s Law); Ketiga, hukum yang dibuat dan terbentuk sebagai bagian dari perkembangan pemikiran di dunia ilmu hukum, biasanya disebut doktrin (The Professor’s Lawa). Misalnya teori hukum fiqh mahzab Syafii yang diberlakukan sebagai hukum bagi ummat Islam di Indonesia; Keempat, hukum yang berkembang dalam praktik dunia usaha dan melibatkan peranan para profesional di bidang hukum, dapat kita sebut hukum praktik (The Professional’s Law). Misalnya, perkembangan praktik hukum kontrak perdagangan dan pengaturan mengenai ‘venture capital’ yang berkembang dalam praktik di kalangan konsultan hukum, serta lembaga arbitrase dalam transaksi bisnis.[3]
Jika kita ingin membedakan keempat kelompok hukum dalam perspektif pengertian di atas dalam konteks dinamika relasi yang bersifat dikotomis antara state dan society (meskipun banyak ahli yang tidak menyukai pendekatan dikotomis ini), kita dapat pula membaginya menjadi dua, yaitu kelompok hukum negara (state) dan kelompok hukum masyarakat (society). Sedangkan yang terakhir meliputi pengertian hukum rakyat (people’s law), hukum praktik (professional’s law), dan hukum para ahli hukum (professor’s law) sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

B.    Ide Negara Hukum
Ide negara hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, memang berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the rule of law, and not of man”, yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul Nomoi yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Law, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.
Di zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Sthal, dan Fichte dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtssaat”. Adapun dalam tradisi Anglo Amerika, konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Sthal, konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu (i) perlindungan hak asasi manusia, (ii) pembatasan kekuasaan, (iii) pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan (iv) peradilan administrasi negara. Adapun A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “the rule of law”, yaitu: (i) supremacy of law, (ii) equality before the law, dan (iii) due process of law.
                Profesor Utrecht membedakan antara negara hukum formal atau negara hukum klasik, dan negara hukum material atau negara hukum modern. Negara hukum formal menyangkut pengertian hukum yang bersifat formal dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Adapun yang kedua, yaitu negara hukum material yang lebih mutakhir mecakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti formal, yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of law’ dalam arti material, yaitu ‘the rule of just law’. Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian  hukum formal dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hokum material. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif. Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga dikembangikan istilah ‘the rule of just law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang ’the rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensial daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap ’the rule of law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang negara hukum di zaman sekarang.
                Dari uraian-uraian di atas, menurut pendapat saya, kita dapat merumuskan kembali adanya 12 prinsip pokok negara hukum (rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Kedua belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai negara hukum (the rue of law, ataupun rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya. Ke-12 prinsip itu adalah: (i) diakuinya supremasi hukum; (ii) adanya persamaan dalam hukum; (iii) berlakunya asas legalitas; (iv) efektifnya pembatasan kekuasaan; (v) terjaminnya independensi fungsi kekuasaan teknis; (vi) adanya peradilan bebas dan tidak berpihak; (vii) tersedianya mekanisme peradilan administrasi negara, (viii) adanya mekanisme peradilan konstitusi; (ix) dijaminnya perlindungan hak-hak asasi manusia; (x) dianutnya sistem dan mekanisme demokrasi (democratic rule of law, democratische rechtsstaat); (xi) berfungsi sebagai sarana kesejahteraan rakyat; dan (xii) transparansi dan control social.
                Untuk Indonesia, ke-12 prinsip tersebut dapat pula dilengkapi dengan prinsip ke-13,yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang mencerminkan sila pertama dalam Pancasila. Konsepsi negara hukum Pancasila mengandung prinsip-prinsip:

1.        Berktuhanan Yang Maha Esa.
2.        Memperlakukan setiap orang secara bermatabat sebagai sesama manusia dengan berkeadilan dan berkeadaban.
3.        Menjamin persatuan dalam kebhinekaan.
4.        Dibentuk secara demokratis, diterapkan secara transparan dan akuntabel, serta ditegakkan melalui proses yang bebas dan tidak memihak.
5.        Bertujuan menegakkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam sistem konstitusi negara kita, cita negara hukum itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’. Dalam Konstitusi RIS Tahun 1999, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan  tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Kiranya, cita negara hukum yang mengandung 13 ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayar (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.
Negara hukum, rechtssaat, atau the rule of law yang ideal ialah negara hukum yang demokratis atau democratic rule of law (democratische reachtsaat). Suatu negara hukum dapat saja beridiri tanpa diiringi oleh demokrasi. Misalnya, suatu negara dapat saja secara efektif menegakkan hukumnya, tetapi apabila hukum yang ditegakan itu tidak dibuat berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, maka negara hukum yang demikian, bukanlah suatu negara hukum yang demokratis. Konsep negara hukum yang demokratis ini, dalam tradisi Anglo Amerika disebut democratic rule of law, sedangkan menurut tradisi Eropa Kontinental, terutama Jerman dan Belanda disebut democratische rechtssaat.[4]
Dengan demikian, terdapat dua hubungan yang sangat kuat dan bahkan saling melengkapi dan berpasangan antara gagasan Negara Demokrasi dan Negara Hukum. Keduanya menyatu dalam konsepsi UUD 1945 mengenai kedaulatan negara atau kekuasaan tertinggi dalam negara Republik Indonesia. Pengertian yang demikian itulah yang tercermin dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3). Keseimbangan dan hubungan saling melengkapi di antara keduanya adalah sangat penting untuk menjamin agar gagasan negara hukum dan demokrasi itu membuahkan hasil yang sebaik-baiknya berupa kebebasan (freedom), keadilan (justice), dan kesejahteraan (prosperity).[5]

C.    Norma Hukum
Indonesia sebagai negara hukum dari perspektif Pancasila maka negara yang berketuhanan Yang Maha Esa. Negara hukum yang berketuhanan Yang Maha Esa ini mencerminkan kultur kebangsaan yang majemuk namun tetap dalam ikatan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, hukum negara tidak dimaksudkan untuk dipertentangkan dengan nilai-nilai keagamaan, tetapi sebaliknya dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan beragama seluruh masyarakat dan warga negara. Oleh sebab itu, norma hukum dibangun seiring dan sejalan dengan sistem nilai dan norma-norma yang hidup dalam keyakinan hukum masyarakat, dan bahkan ditegakan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai hakim tertinggi.
Dalam konsepsi negara hukum Indonesia, sistem norma hukum, norma kesusilaan, dan norma agama difungsikan secara simultan dan saling melengkapi satu dengan yang lain, sehingga idealitas perilaku masyarakat dan warga negara dapat diarahkan dan dikendalikan secara efektif dan tidak saling bertentangan.[6] Norma-norma etika, norma hukum, dan norma agama menjadi perwujudan dalam transformasi nilai-nilai kehidupan nyata. Tidak boleh ada pertentangan politik ideologi atas nama demokrasi atau menggunakan terminologi Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai alat untuk mengaburkan makna substansi Pancasila karena Pancasila sebagai dasar negara sudah merupakan konsensus politik hukum kita dalam bernegara.
Negara akan menjadi kuat apabila ditopang dan dikuatkan oleh tiang-tiang penyangga dan tiang-tiang penyangga dimaksud adalah norma hukum, norma etika dan norma agama. Norma etika, norma hukum dan norma akan memiliki peranan penting untuk menentukan arah dan tujuan ke mana kita bernegara. Negara Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, bersatu dalam wadah NKRI, berkerakyatan dan bermusyawarah dalam konsep hikmah dan kebijaksaan serta berkeadilan sosial tanpa diskriminasi satu sama lain.
Pemahaman ini menghantarkan kita pada pertanyaan what is a constitution yang secara sederhana dikemukakan oleh Brian Thompson dan dapat dijawab bahwa “... a constitution is a document which contains the rules for the operation of an organization”. Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya termasuk organisasi sosial politik.[7] Maka disinilah pentingnya Pancasila menjadi asas ideologi politik organisasi sosial politik yang resmi diakui negara. Pancasila menjadi falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platform atau kalimatun sawah di antara sesama warga masyarakat yang dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka.[8]
Perubahan fundamental pada UUD 1945 ialah semua warga negara memiliki hak yang sama dalam berserikat, berkumpul, dan menyampaikan aspirasi politik sesuai peraturan dan perundang-undangan. Kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul dan kebebasan berpendapat tidak lagi dipasung pemerintah tetapi benar-benar dibuka. Semua warga negara memiliki hak untuk berserikat dan memilih teman atau kawan tanpa ada paksaan atau dilarang oleh pihak ketiga (The ability of an individual to choose the nature of their relationships with others without interference with third parties).[9] Kebebasan dalam arti yang postif dan diatur oleh negara. Perubahan UUD 1945 telah membuka ruang kebebasan bagi semua warga negara dalam menggunakan hak-hak yang merupakan naluri alamiah sebagai makhluk sosial. Prinsip kemerdekaan dalam prinsip berserikat (freedom of association) atau kebebasan berserikat (the right or the freedom of association) ini di Amerika umumnya dipahami sebagai konsep yang tumbuh dari amandemen pertama UUD. Pengalaman Amerika Serikat pertama kali melakukan amandemen terhadap konstitusinya memberikan jaminan pada warga negaranya untuk berserikat secara damai.
Pada perubahan konstitusi Amerika Serikat yang pertama ini oleh sebagian ahli menganggapnya sebagai “the right of association” sebagai suatu “penumbra” amandemen pertama (the First Amandement) yang mengandung makna the privacy of certain kinds of organizational memberships, dan sebaian pakar menyebutnya sebagai freedom of association yakni sebagai suatu hak alamiah (natural right).[10]
Dalam konteks Indonesia, perubahan telah menempatkan Pancasila dalam posisi yang kuat sehingga Pancasila dipercaya sebagai way of life, falsafah bangsa atau ideologi negara tidak lagi diragukan. Pancasila menjadi roh serta pikiran dari semua anak bangsa yang terdiri dari berbagai perbedaan-perbedaan suku, bahasa, agama, dan budaya yang membentuk pemahaman dan perilaku dan sekaligus perekat integritas NKRI. Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap yakni dari tahun 1999 sampai tahun 2002 selama empat kali yang secara bersamaan dibentuk Komisi Konstitusi untuk melakukan pengkajian komprehensif tentang perubahan Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang pembentukan Komisi Konstitusi.[11]
Dalam konteks ini tugas dan tanggungjawab generasi zaman sekarang yang perlu digerakan ialah bagaimana terus secara aktif menggali nilai-nilai luhur dalam ajaran Pancasila serta memahaminya sebagai suatu karya intelektual para pendiri bangsa. Bangsa kita telah bebas dari segala bentuk pemahaman mengenai sosialisme, kapitalisme, liberalisme, dan sistem-sistem lain dalam praktik dan implikasinya bila Pancasila kita dengan konsisten dan terus merawat komitmen para pendiri bangsa maka bisa dirasakan akan lebih kuat dari sistem-sistem nilai lain yang dikembangkan negara-negara di dunia. Kita perlu membangun kesadaran berbangsa mengenai Pancasila dan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya jika diterapkan menjadi solusi komprehensif atas persoalan-persoalan kebangsaan yang tengah kita hadapi. Pancasila seharusnya kita pahami dan praktekan sebagai filsafat berpikir, filsafat dalam berperilaku sehari-hari sehingga memberikan pengaruh baik secara sosiologis-antropologis maupun psikologi-sosial dalam kehidupan.
Pembentukan hukum senantiasa melibatkan ideologi yang lahir dari berbagai komponen kekuasaan sosial politik yang ada.[12] Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa ideologi hukum yang menjadi pedoman formal suatu negara selalu dihasilkan dari sebuah proses yang sifatnya hegemonik. Hegemoni kekuatan dan kekuasaan sosial politik yang ada. Dalam proses pembentukan hukum tersebut baik langsung maupun tidak langsung melibatkan kekuasaan sosial yang tentu selalu lebih dominan atau hegemonik. Hukum merupakan sistem norma yang bersifat mengatur, memaksa, dan bersifat mengikat yang hadir dalam bentuk berupa fatwa lembaga pengadilan, peraturan dan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, hukum adat dan agama serta aturan-aturan hukum lain yang bersifat mengikat. Indonesia selain sebagai negara hukum dan ideologi hukum yang berakar pada Pancasila dan UUD 1945 maka dalam proses pembuatan Undang-Undang maupun peraturan perundang-undangan serta semua putusan pengadilan sejatinya berlandaskan pada nilai-nilai dalam Pancasila yang terdiri dari lima Sila---ketuhanan, keadilan, kemanusiaan universal, dan dalam semangat kebhinekaan NKRI.

D.   Tugas dan Fungsi Konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat
Undang-Undang Dasar 1945 jelas tergambar bahwa dalam rangka fungsi legislatif dan pengawasan, lembaga utamanya adalah DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menegaskan, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 5 ayat (1) ini sebelum perubahan pertama tahun 1999 berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Kedua pasal tersebut setelah perubahan pertama 1999, berubah drastis sehingga mengalihkan pelaku kekuasaan legislatif atau kekuasaan pembentukan undang-undang itu dari tangan presiden ke tangan DPR. Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 21 UUD 1945, setiap anggota DPR berhak pula mengajukan usul rancangan undang-undang yang syarat-syarat dan tatacaranya diatur dalam peraturan tata tertib. Bahkan lebih dipertegas lagi dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 ditentukan pula, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Artinya, kekuasaan legislasi penentuan anggaran (budgeting), dan kekuasaan pengawasan (control), berada di Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”. Ayat (3)-nya menyatakan pula, “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul, dan pendapat, serta hak imunitas.[13]
Untuk menggambarkan kuat posisi konstitusional DPR berdasarkan UUD 1945, ditegaskan pula dalam Pasal 7C bahwa “Presiden tidak dapat membekukkan dan/ atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”. Sebaliknya, dalam Pasal 7A ditentukan, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atau usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakpidanan berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Di samping itu, dalam rangka fungsinya sebagai pengawas, Pasal 11 UUD 1945 menentukan pula:
(1)     Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian,dan perjanjian dengan negara lain.
(2)     Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukkan undang-undang harus dengan persetujuan DPR”.
(3)     Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan untung-undang.
Bahkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 hasil Perubahan Pertama tahun 1999 diatur pula hal-hal lain yang bersifat menyebabkan posisi DPR menjadi lebih kuat dibandingkan dengan sebelumnya. Pasal 13 ayat (2) menentukan, “Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR”, dan ayat (3)-nya menentukan, “Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR”. Sedangkan Pasal 14 ayat (2) menentukan, “Presiden member amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.”
Untuk lebih lengkapnya uraian mengenai kewenangan DPR itu, dapat dikutipkan disini ketentuan UUD 1945 Pasal 20 dan Pasal 20A, yang masing-masing berisi lima ayat, dan empat ayat. Pasal 20 menentukan bahwa:
(1)     DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang .
(2)     Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden  untuk mendapat persetujuan bersama.
(3)     Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
(4)     Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
(5)     Dalam hal rancangan perundang-undangan yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Selanjutnya,ketentuan Pasal 20A berbunyi:
(1)     DPR memiliki fungsi legislasi, fungsianggara, dan fungsi pengawasan.
(2)     Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
(3)     Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
(4)     Ketentuan lebih lanjut tentang DPR dan hak anggota DPR diatur dalam undang-undang.
Selain ketentuan tersebut, dalam Pasal 21 UUD 1945 juga dinyatakan bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”. Anggota DPR itu sendiri, menurut  ketentuan Pasal 19 ayat (1) dipilih melalui pemilihan umum. Dalam ayat (2)–nya ditentukan bahwa susunan DPR itu diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam PAsal 22B diatur pula bahwa “Anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”.
Proses pembentukan hukum dan institusi-institusi pembuat hukum yang dikenal dalam ilmu hukum, dengan demikian, proses pembuatan hukum tidak boleh dipahami dalam pengertian yang sempit yakni seakan-akan hanya terkonsentrasi pada proses politik di lingkungan parlemen semata. Hal inilah yang selalu berkembang selama ini. Padahal, pemahaman yang sempit ini tidak menghasilkan suatu pemikiran kritis dan rasional, karena suatu pemikiran politik hukum bisa dibangun melalui suatu metode  ilmiah yakni adanya ide atau gagasan intelektual tentang hukum dari seorang ilmuan tentang hukum yang mampu mempengaruhi pemikiran masyarakat untuk mengembangkannya sebagai landasan politik hukum dalam masyarakat.
Proses pembentukan hukum sangat ditentukan oleh bentuk hukum yang dibuat. Dengan demikian, hukum dapat dilihat sebagai norma aturan yang bersifat tertulis, tetapi juga bersifat tidak tertulis sebagaimana yang dipahami dalam perspektif hukum adat. Bentuk hukum tertulis juga beragam mulai dari tingkatannya yang paling tinggi, yaitu hukum dasar atau biasa disebut dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar), sampai ke tingkatannya yang paling rendah, misalnya, Peraturan Desa. Namun yang perlu menjadi pemahaman ilmiah ialah bahwa semua proses pembentukan hukum tersebut mempunyai mekanisme pembentukannya yang tersendiri dengan melibatkan peran institusi-institusi yang berbeda-beda menurut derajat tingkatannya.[14]

E.    Negara Hukum dan Demokrasi Modern
Sifat hukum semestinya lahir dari hakikat-hakikat yang senantiasa melekatkan dirinya pada kultur dan norma-norma kehidupan manusia selaku makhluk yang dibekali akal fikiran. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Montesquieu dalam karya bukunya berjudul De I’Esprit des Lois, hukum secara substansial adalah menyangkut penjelasan-penjelasan mengenai tabiat yang penting. Maka tugas negara dalam membangun sistem keadilan dalam hukum proseduralistik harus memberikan tempat khusus yang memungkinkan terjadinya intrepretasi dan penjelasan-penjelasan ilmiah dalam rangka menertibkan mekanisme penegakan hukum.
Keadilan hukum dalam sistem bernegara merupakan hal utama untuk memupuk kepercayaan. Integritas bernegara sangat diperlukan adanya mekanisme hukum yang adil. Peradilan tanpa keadilan maka akan menciptakan disintegrasi sosial karena memicu konflik antar sesama masyarakat. Peradilan tidak menegakkan keadilan sebagaimana digariskan dalam norma hukum maka akan menciptakan konflik. Masyarakat saling bertengkar, saling memusuhi satu sama lain dan pada gilirannya menimbulkan sikap saling curiga.
Konflik vertikal maupun horizontal yang terjadi dalam masyarakat di masa lampau memunculkan gagasan untuk merumuskan hukum positif yang dalam perbincangan akademik mengenai hukum antara lain : a) hukum bangsa-bangsa (the law of nation) yang menganut hubungan antarbangsa. b) hukum politik (political law), yang mengatur hubungan antara individu, atau antara satu daerah dengan daerah lainnya dalam satu masyarakat/bangsa. 3), hukum sipil (civil law).
Negara demokrasi modern sebenarnya mengutamakan pendekatan distribusi kekuasaan dengan memilih pemimpin-pemimpin bangsa yang berkarakter untuk duduk di posisi strategis pada institusi pemerintahan. Negara memiliki tanggungjawab memainkan peran fungsional untuk menempatkan pemimpin-pemimpin pada struktur kekuasaan negara dengan menggunakan kriteria mengutamakan kepribadian/karakter individu yang betul-betul memiliki integritas moral yang tinggi. Sikap dan sifat ketertutupan adalah pertanda kelemahan dan kesesatan yang menganggap diri sempurna serta tidak dapat menerima pendapat orang lain, betapapun benar dan berbahaya pendapat itu, hal itu merupakan satu cara untuk mrnutupi kelemahan yang terdapat dalam diri kita sendiri. Jika sifat dan sikap keterbukaan ini kita terapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka kita tidak perlu khawatir untuk menyampaikan kebenaran karena adanya jaminan hukum bahwa yang benar itu adalah benar walaupun pahit untuk diterima pemimpin atau pemuka masyarakat harus mau dan mampu untuk memberikan contoh walaupun yang berbuat tidak baik dan tidak benar itu adalah diri sendiri.
                Hal ini mencerminkan adanya jaminan hukum dan jaminan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Apabila hal ini dapat kita tumbuhkembangkan, terhadap tumbuhnya masyarakat yang madani. Jadi, jelas bagi kita, apabila kita mampu menyadari bahwa makhluk ciptaan Tuhan maka masing-masing mempunyai kelemahan dan kelebihan. Kita bersedia untuk memberi dan menerima pikiran dan perasaan serta pendapat orang lain. Hal ini hendaknya tampil dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tentunya tidak lepas dari adanya jaminan hukum dan keadilan. Terutama dari aparat penegak hukum itu sendiri., bukan jaminan hukum dan keadilan orang/golongan kelompok tertentu saja. Kita semua sebagai makhluk ciptaannya dapat dan mampu berpartisipasi dalam upaya peningkatan jaminan hukum dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai warga Negara kesatuan Republik Indonesia.
                Dalam konteks sejarah perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana diketahui bersama penuh dengan pertentangan politik ideologi. Pertentangan politik ideologi mengenai dasar negara NKRI. Paham-paham ideologi politik multikultural ikut mewarnai pengesahan dasar NKRI. Di antaranya ialah paham demokrasi, sosialisme, liberalisme, komunisme, agama, dan Pancasila, namun dengan semangat dan kebersamaan sebagai bangsa yang dijajah muncul suatu tekad bersama untuk memproklamasikan kemerdekaan NKRI. Tanggal 17 Agustus adalah tonggak sejarah di mana Indonesia merdeka dari penjajahan kolonial Belanda.
Pada faktanya Pancasila telah menjadi dasar ideologi politik yang oleh pemerintahan Orde Baru disebut sebagai ideologi terbuka dan senantiasa hidup untuk dikontekstualisasikan sesuai tuntutan zaman. Maka perubahan UUD 1945 sejak reformasi merupakan gerakan yang didasari oleh kesadaran intelektual anak bangsa untuk mengartikulasikan Pancasila sebagaimana orisinalitasnya. Sidang Istimewa MPR tahun 1998 Nomor XVIII/MPR/1998 yang ditandai pencabutan P-4 dan Pancasila menjadi satu-satunya asas bagi semua organisasi sosial politik (partai politik) adalah merupakan gerakan ideologis substantif yang modern dengan mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai dasar NKRI. Gerakan fundamental dalam reformasi juga menghasilkan karya intelektual generasi abad modern seperti mencabut mandat MPR yang diberikan kepada Presiden tentang kewenangannya dalam mentradisikan nilai-nilai etika sosial dan moralitas kebangsaan melalui P-4 dan asas tunggal Pancasila.


***




Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi; Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Konstitusi Press, Jakarta.
_______________, 2010, Konstitusi Ekonomi, Kompas, Jakarta, 2010.
_______________, 2012, Prinsip-prinsip Negara Hukum Indonesia, dalam (karya)Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, Prenada, Jakarta.
_______________, 2005, Kemerdekaan Berserikat; Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta.
_______________, 2006, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal, 78.
Bello, C.K.L., Petrus, 2013, Ideologi Hukum: Refleksi Filsafat atas Ideologi di Balik Hukum, Insan Merdeka, Bogor.
Burns, R. Tom, 1981, Man, Decisions, Society dalam (terj.), Soewono Hadisoemarto, Manusia, Keputusan, Masyarakat, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Schoorl, J.W., 1981, Modernisasi; Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang, Gramedia, Jakarta.







[1] Makalah ini merupakan hasil resume dari beberapa karya tulis seperti buku dan makalah-makalah dari Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., oleh karena itu, tulisan ini secara substansi hampir merupakan bagian dari kutipan beberapa karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., yang tidak bisa dinafikan menyimpan aspek kekurangan baik dari sisi konten/isi maupun struktur kalimat berdasarkan keotentikannya, tulisan ini hanyalah bagian dari upaya saya untuk mendalami ide-ide mengenai konsep hukum dan penegakannya di Indonesia menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Pilihan meresume atau semacam mempelajari gagasan dan konsep pemikiran hukum Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., adalah salah satunya karena selain sebagai pakar Hukum Tata Negara maupun sebagai pelopor berdirinya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan merupakan pertama kali menjadi ketua (2003-2005) sehingga secara disiplin keilmuan dan pengalaman praktik sangat lebih memungkinkan untuk menjadi referensi.
[2] Mahasiswa Pasca Sarjana Komunikasi Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta, pegiat masalah pemilihan umum, pemerhati masalah sosial politik dan hukum di Indonesia. Mantan aktivis DPP KNPI Pusat 2008-2011 dan aktivis di beberapa LSM serta editor profesional beberapa diantaranya, Politik Hukum Legalistik; Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Paradigma Politik Pemuda Indonesia; Demokrasi Baghdad dan Jakarta; Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu Di Indonesia; Restorasi Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia; Demokratisasi Di Internal Partai Golkar; Dedikasi Politisi Muda Untuk Partai Golkar; menulis buku Gagasan Islam tentang Demokrasi; dan aktif menulis di beberapa media cetak lokal dan nasional serta mempunyai blog sendiri/www.jujuradil.blogspot.com.
[3] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi; Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal, 4.
[4]  Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Kompas, Jakarta, 2010, hal, 362.
[5]  Ibid,
[6] Jimly Asshiddiqie, Prinsip-prinsip Negara Hukum Indonesia, dalam (karya)Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, Prenada, Jakarta, 2012, hal, 31.
[7] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Edisi Pertama-Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal, 284.
[8] Ibid, hal, 289.
[9] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat; Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal, 22.
[10]  Op, cit, Jimly Asshiddiqie,  hal, 23.
[11] Ibid, hal, 291.
[12]  Petrus C.K.L. Bello, Ideologi Hukum: Refleksi Filsafat atas Ideologi di Balik Hukum, Insan Merdeka, Bogor, 2013, hal, 54.
[13]  Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal, 78.
[14] Op cit, Petrus C.K.L. Bello, hal, 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar