Sistem Hukum Dalam Negara Demokrasi Modern[1]
Rahman Yasin[2]
A.
Pengantar
Hukum dalam arti luas meliputi keseluruhan
aturan normatif yang mengatur dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara dengan didukung oleh sistem sanksi tertentu
terhadap setiap penyimpangan terhadapnya. Bentuk-bentuk aturan normatif seperti
itu tumbuh sendiri dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan bernegara ataupun
sengaja dibuat menurut prosedur-prosedur yang ditentukan dalam sistem
organisasi kekuasaan dalam masyarakat yang bersangkutan. Makin maju dan
kompleks kehidupan suatu masyarakat, makin berkembang pula tuntutan keteraturan
dalam pola-pola perilaku kehidupan masyarakat. Kebutuhan dan keteraturan ini
kemudian melahirkan sistem keorganisasian yang makin berkembang menjadi semacam
organizational imperative. Makin maju
suatu masyarakat, makin berkembang pula kecenderungan masyarakatnya untuk
mengikatkan diri dalam sistem keorganisasian yang teratur. Dalam sistem
pengorganisasian yang teratur itu pada gilirannya tercipta pula mekanisme tersendiri
berkenaan dengan proses pembuatan hukum, dan peradilan terhadap
penyimpangan-penyimpangan hukum dalam masyarakat yang makin terorganisasi.
Dengan demikian, bukan saja di setiap masyarakat selalu ada hukum seperti yang
dikatakan oleh Cicero, akan tetapi juga bahwa setiap tahapan perkembangan
masyarakat yang makin kompleks dan maju akan menyebabkan kompleksitas
perkembangan hukum juga makin meningkat, baik dari segi kuantitas maupun dari
segi kualitasnya.
Dalam perspektif
negara berkembang dengan stratifikasi sosial masyarakat yang heterogen, Schoorl
(1974) berpandangan, karena integrasi masyarakat semakin besar, dan juga karena
pesatnya perkembangan media komunikasi, dan karena ketergantungan antarfungsi
semakin besar, maka bertambah besarlah partisipasi kelompok-kelompok sosial
dalam proses politik. Bentuk dari partisipasi itu berbeda-beda menurut tipe
masyarakatnya. Di negara-negara totaliter partisipasi itu diperoleh dengan
adanya pengawasan yang lebih besar oleh negara atas rakyat, sedang di dalam
suatu negara demokrasi dengan pengawasan yang lebih besar oleh rakyat atas
negara.
Sejalan dengan
perspektif ini, Tom R. Burns (1987) misalnya, mengatakan, bahwa setiap sistem
aturan di dalam praktik, yang berbeda dari idealnya atau tujuannya, akan berisi
perumusan baru (aturan-aturan yang ditulis kembali), “aturan-aturan yang tidak
tertulis” dan aturan-aturan sementara, yang diketahui oleh mereka yang
menjalankan sistem yang bersangkutan. Di pihak yang lain, hal-hal ini
kebanyakan mungkin tidak diketahui atau tidak nampak bagi mereka yang berada
diluar sistem, yang tidak diberitahu tentang praktik yang sesungguhnya
(sekalipun beberapa di antara orang-orang luar ini mungkin memiliki pengetahuan
yang sangat mendalam tentang sistem ideal atau formalnya).
Oleh karena itu,
agar tidak melebar lebih jauh dari batasan pengertian mengenai hukum disini
dapat dilihat dari empat kelompok pengertian hukum, yakni sebagai berikut; Pertama, hukum yang dibuat oleh
institusi kenegaraan, dapat kita sebut sebagai sebagai Hukum Negara (The State’s Law). Misalnya,
Undang-Undang yurisprudensi, dan sebagainya; Kedua, Hukum yang dibuat oleh dan dalam dinamika kehidupan atau
yang berkembang dalam kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat, seperti
misalnya Hukum Adat (The People’s Law); Ketiga, hukum yang dibuat dan terbentuk
sebagai bagian dari perkembangan pemikiran di dunia ilmu hukum, biasanya
disebut doktrin (The Professor’s Lawa). Misalnya
teori hukum fiqh mahzab Syafii yang diberlakukan sebagai hukum bagi ummat Islam
di Indonesia; Keempat, hukum yang
berkembang dalam praktik dunia usaha dan melibatkan peranan para profesional di
bidang hukum, dapat kita sebut hukum praktik (The Professional’s Law). Misalnya, perkembangan praktik hukum
kontrak perdagangan dan pengaturan mengenai ‘venture
capital’ yang berkembang dalam praktik di kalangan konsultan hukum, serta
lembaga arbitrase dalam transaksi bisnis.[3]
Jika kita ingin
membedakan keempat kelompok hukum dalam perspektif pengertian di atas dalam
konteks dinamika relasi yang bersifat dikotomis antara state dan society (meskipun
banyak ahli yang tidak menyukai pendekatan dikotomis ini), kita dapat pula
membaginya menjadi dua, yaitu kelompok hukum negara (state) dan kelompok hukum masyarakat (society). Sedangkan yang terakhir meliputi pengertian hukum rakyat
(people’s law), hukum praktik (professional’s law), dan hukum para
ahli hukum (professor’s law) sebagaimana
telah disinggung sebelumnya.
B.
Ide Negara Hukum
Ide negara hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, memang berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam
demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma,
sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan.
Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah
norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide
kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah
Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan
prinsip “rule of law” yang berkembang
di Amerika Serikat menjadi jargon “the
rule of law, and not of man”, yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin
adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul Nomoi yang kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dengan judul The
Law, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak
lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.
Di zaman modern,
konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel
Kant, Paul Laband, Julius Sthal, dan Fichte dengan menggunakan istilah Jerman,
yaitu “rechtssaat”. Adapun dalam
tradisi Anglo Amerika, konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V.
Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut
Julius Sthal, konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen
penting, yaitu (i) perlindungan hak asasi manusia, (ii) pembatasan kekuasaan,
(iii) pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan (iv) peradilan administrasi
negara. Adapun A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap
Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “the
rule of law”, yaitu: (i) supremacy of
law, (ii) equality before the law, dan
(iii) due process of law.
Profesor
Utrecht membedakan antara negara hukum formal atau negara hukum klasik, dan
negara hukum material atau negara hukum modern. Negara hukum formal menyangkut
pengertian hukum yang bersifat formal dan sempit, yaitu dalam arti peraturan
perundang-undangan tertulis. Adapun yang kedua, yaitu negara hukum material
yang lebih mutakhir mecakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu,
Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a
Changing Society’ membedakan antara
‘rule of law’ dalam arti formal, yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule
of law’ dalam arti material, yaitu ‘the
rule of just law’. Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam
konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara
substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat
dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum
formal dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hokum material. Jika
hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan
semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit
dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif. Karena itu, di
samping istilah ‘the rule of law’ oleh
Friedman juga dikembangikan istilah ‘the
rule of just law’ untuk memastikan
bahwa dalam pengertian kita tentang ’the
rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensial daripada
sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun
istilah yang digunakan tetap ’the rule of
law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam
istilah ‘the rule of law’ yang
digunakan untuk menyebut konsepsi tentang negara hukum di zaman sekarang.
Dari
uraian-uraian di atas, menurut pendapat saya, kita dapat merumuskan kembali
adanya 12 prinsip pokok negara hukum (rechtsstaat)
yang berlaku di zaman sekarang. Kedua belas prinsip pokok tersebut merupakan
pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga
dapat disebut sebagai negara hukum (the
rue of law, ataupun rechtsstaat)
dalam arti yang sebenarnya. Ke-12 prinsip itu adalah: (i) diakuinya supremasi
hukum; (ii) adanya persamaan dalam hukum; (iii) berlakunya asas legalitas; (iv)
efektifnya pembatasan kekuasaan; (v) terjaminnya independensi fungsi kekuasaan
teknis; (vi) adanya peradilan bebas dan tidak berpihak; (vii) tersedianya
mekanisme peradilan administrasi negara, (viii) adanya mekanisme peradilan
konstitusi; (ix) dijaminnya perlindungan hak-hak asasi manusia; (x) dianutnya
sistem dan mekanisme demokrasi (democratic
rule of law, democratische rechtsstaat); (xi) berfungsi sebagai sarana
kesejahteraan rakyat; dan (xii) transparansi
dan control social.
Untuk
Indonesia, ke-12 prinsip tersebut dapat pula dilengkapi dengan prinsip
ke-13,yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang mencerminkan sila pertama dalam
Pancasila. Konsepsi negara hukum Pancasila mengandung prinsip-prinsip:
1.
Berktuhanan
Yang Maha Esa.
2.
Memperlakukan
setiap orang secara bermatabat sebagai sesama manusia dengan berkeadilan dan
berkeadaban.
3.
Menjamin
persatuan dalam kebhinekaan.
4.
Dibentuk
secara demokratis, diterapkan secara transparan dan akuntabel, serta ditegakkan
melalui proses yang bebas dan tidak memihak.
5.
Bertujuan
menegakkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam
sistem konstitusi negara kita, cita negara hukum itu menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan.
Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide negara hukum itu
tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam penjelasan ditegaskan bahwa
Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan
‘machtsstaat’. Dalam Konstitusi RIS
Tahun 1999, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam
UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum
dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001
terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini
kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1
ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Kiranya, cita
negara hukum yang mengandung 13 ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan
Pasal 1 ayar (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita
pahami.
Negara
hukum, rechtssaat, atau the rule of law yang ideal ialah negara
hukum yang demokratis atau democratic
rule of law (democratische reachtsaat). Suatu negara hukum dapat saja beridiri
tanpa diiringi oleh demokrasi. Misalnya, suatu negara dapat saja secara efektif
menegakkan hukumnya, tetapi apabila hukum yang ditegakan itu tidak dibuat
berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, maka negara hukum yang demikian,
bukanlah suatu negara hukum yang demokratis. Konsep negara hukum yang
demokratis ini, dalam tradisi Anglo Amerika disebut democratic rule of law, sedangkan menurut tradisi Eropa
Kontinental, terutama Jerman dan Belanda disebut democratische rechtssaat.[4]
Dengan
demikian, terdapat dua hubungan yang sangat kuat dan bahkan saling melengkapi
dan berpasangan antara gagasan Negara Demokrasi dan Negara Hukum. Keduanya
menyatu dalam konsepsi UUD 1945 mengenai kedaulatan negara atau kekuasaan
tertinggi dalam negara Republik Indonesia. Pengertian yang demikian itulah yang
tercermin dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3). Keseimbangan dan
hubungan saling melengkapi di antara keduanya adalah sangat penting untuk
menjamin agar gagasan negara hukum dan demokrasi itu membuahkan hasil yang
sebaik-baiknya berupa kebebasan (freedom),
keadilan (justice), dan
kesejahteraan (prosperity).[5]
C.
Norma Hukum
Indonesia
sebagai negara hukum dari perspektif Pancasila maka negara yang berketuhanan
Yang Maha Esa. Negara hukum yang berketuhanan Yang Maha Esa ini mencerminkan
kultur kebangsaan yang majemuk namun tetap dalam ikatan Pancasila dan UUD 1945.
Dengan demikian, hukum negara tidak dimaksudkan untuk dipertentangkan dengan
nilai-nilai keagamaan, tetapi sebaliknya dimaksudkan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan beragama seluruh masyarakat dan warga negara. Oleh sebab
itu, norma hukum dibangun seiring dan sejalan dengan sistem nilai dan
norma-norma yang hidup dalam keyakinan hukum masyarakat, dan bahkan ditegakan
demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai hakim tertinggi.
Dalam konsepsi negara hukum Indonesia, sistem
norma hukum, norma kesusilaan, dan norma agama difungsikan secara simultan dan
saling melengkapi satu dengan yang lain, sehingga idealitas perilaku masyarakat
dan warga negara dapat diarahkan dan dikendalikan secara efektif dan tidak
saling bertentangan.[6]
Norma-norma etika, norma hukum, dan norma agama menjadi perwujudan dalam
transformasi nilai-nilai kehidupan nyata. Tidak boleh ada pertentangan politik
ideologi atas nama demokrasi atau menggunakan terminologi Hak Asasi Manusia
(HAM) sebagai alat untuk mengaburkan makna substansi Pancasila karena Pancasila
sebagai dasar negara sudah merupakan konsensus politik hukum kita dalam
bernegara.
Negara akan menjadi kuat apabila ditopang dan
dikuatkan oleh tiang-tiang penyangga dan tiang-tiang penyangga dimaksud adalah
norma hukum, norma etika dan norma agama. Norma etika, norma hukum dan norma
akan memiliki peranan penting untuk menentukan arah dan tujuan ke mana kita
bernegara. Negara Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan
yang adil dan beradab, bersatu dalam wadah NKRI, berkerakyatan dan
bermusyawarah dalam konsep hikmah dan kebijaksaan serta berkeadilan sosial
tanpa diskriminasi satu sama lain.
Pemahaman ini
menghantarkan kita pada pertanyaan what is a constitution yang secara
sederhana dikemukakan oleh Brian Thompson dan dapat dijawab bahwa “... a
constitution is a document which contains the rules for the operation of an
organization”. Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas
strukturnya termasuk organisasi sosial politik.[7]
Maka disinilah pentingnya Pancasila menjadi asas ideologi politik organisasi
sosial politik yang resmi diakui negara. Pancasila menjadi falsafah kenegaraan
atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag
dan common platform atau kalimatun sawah di antara sesama warga
masyarakat yang dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme
menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka.[8]
Perubahan
fundamental pada UUD 1945 ialah semua warga negara memiliki hak yang sama dalam
berserikat, berkumpul, dan menyampaikan aspirasi politik sesuai peraturan dan
perundang-undangan. Kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul dan kebebasan
berpendapat tidak lagi dipasung pemerintah tetapi benar-benar dibuka. Semua
warga negara memiliki hak untuk berserikat dan memilih teman atau kawan tanpa
ada paksaan atau dilarang oleh pihak ketiga (The ability of an individual to
choose the nature of their relationships with others without interference with
third parties).[9]
Kebebasan dalam arti yang postif dan diatur oleh negara. Perubahan UUD 1945
telah membuka ruang kebebasan bagi semua warga negara dalam menggunakan hak-hak
yang merupakan naluri alamiah sebagai makhluk sosial. Prinsip kemerdekaan dalam
prinsip berserikat (freedom of association) atau kebebasan berserikat (the
right or the freedom of association) ini di Amerika umumnya dipahami
sebagai konsep yang tumbuh dari amandemen pertama UUD. Pengalaman Amerika
Serikat pertama kali melakukan amandemen terhadap konstitusinya memberikan
jaminan pada warga negaranya untuk berserikat secara damai.
Pada perubahan
konstitusi Amerika Serikat yang pertama ini oleh sebagian ahli menganggapnya
sebagai “the right of association” sebagai suatu “penumbra” amandemen
pertama (the First Amandement) yang mengandung makna the privacy of
certain kinds of organizational memberships, dan sebaian pakar menyebutnya
sebagai freedom of association yakni sebagai suatu hak alamiah (natural
right).[10]
Dalam konteks
Indonesia, perubahan telah menempatkan Pancasila dalam posisi yang kuat
sehingga Pancasila dipercaya sebagai way of life, falsafah bangsa atau
ideologi negara tidak lagi diragukan. Pancasila menjadi roh serta pikiran dari
semua anak bangsa yang terdiri dari berbagai perbedaan-perbedaan suku, bahasa,
agama, dan budaya yang membentuk pemahaman dan perilaku dan sekaligus perekat
integritas NKRI. Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap yakni dari tahun
1999 sampai tahun 2002 selama empat kali yang secara bersamaan dibentuk Komisi
Konstitusi untuk melakukan pengkajian komprehensif tentang perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang
pembentukan Komisi Konstitusi.[11]
Dalam konteks ini
tugas dan tanggungjawab generasi zaman sekarang yang perlu digerakan ialah
bagaimana terus secara aktif menggali nilai-nilai luhur dalam ajaran Pancasila
serta memahaminya sebagai suatu karya intelektual para pendiri bangsa. Bangsa
kita telah bebas dari segala bentuk pemahaman mengenai sosialisme, kapitalisme,
liberalisme, dan sistem-sistem lain dalam praktik dan implikasinya bila
Pancasila kita dengan konsisten dan terus merawat komitmen para pendiri bangsa
maka bisa dirasakan akan lebih kuat dari sistem-sistem nilai lain yang
dikembangkan negara-negara di dunia. Kita perlu membangun kesadaran berbangsa
mengenai Pancasila dan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya jika
diterapkan menjadi solusi komprehensif atas persoalan-persoalan kebangsaan yang
tengah kita hadapi. Pancasila seharusnya kita pahami dan praktekan sebagai
filsafat berpikir, filsafat dalam berperilaku sehari-hari sehingga memberikan
pengaruh baik secara sosiologis-antropologis maupun psikologi-sosial dalam
kehidupan.
Pembentukan hukum senantiasa melibatkan ideologi yang lahir dari
berbagai komponen kekuasaan sosial politik yang ada.[12]
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa ideologi hukum yang menjadi pedoman
formal suatu negara selalu dihasilkan dari sebuah proses yang sifatnya hegemonik.
Hegemoni kekuatan dan kekuasaan sosial politik yang ada. Dalam proses
pembentukan hukum tersebut baik langsung maupun tidak langsung melibatkan
kekuasaan sosial yang tentu selalu lebih dominan atau hegemonik. Hukum
merupakan sistem norma yang bersifat mengatur, memaksa, dan bersifat mengikat
yang hadir dalam bentuk berupa fatwa lembaga pengadilan, peraturan dan
perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, hukum adat dan agama serta
aturan-aturan hukum lain yang bersifat mengikat. Indonesia selain sebagai
negara hukum dan ideologi hukum yang berakar pada Pancasila dan UUD 1945 maka
dalam proses pembuatan Undang-Undang maupun peraturan perundang-undangan serta
semua putusan pengadilan sejatinya berlandaskan pada nilai-nilai dalam
Pancasila yang terdiri dari lima Sila---ketuhanan, keadilan, kemanusiaan
universal, dan dalam semangat kebhinekaan NKRI.
D.
Tugas dan Fungsi Konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat
Undang-Undang Dasar 1945 jelas tergambar bahwa
dalam rangka fungsi legislatif dan pengawasan, lembaga utamanya adalah DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat). Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menegaskan, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang”. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang
berbunyi, “Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 5 ayat (1)
ini sebelum perubahan pertama tahun 1999 berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.”
Kedua pasal
tersebut setelah perubahan pertama 1999, berubah drastis sehingga mengalihkan
pelaku kekuasaan legislatif atau kekuasaan pembentukan undang-undang itu dari
tangan presiden ke tangan DPR. Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 21 UUD
1945, setiap anggota DPR berhak pula mengajukan usul rancangan undang-undang
yang syarat-syarat dan tatacaranya diatur dalam peraturan tata tertib. Bahkan
lebih dipertegas lagi dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 ditentukan pula, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Artinya, kekuasaan
legislasi penentuan anggaran (budgeting),
dan kekuasaan pengawasan (control), berada
di Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak
yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, DPR mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”. Ayat (3)-nya
menyatakan pula, “Selain hak yang diatur
dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota DPR mempunyai
hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul, dan pendapat, serta hak imunitas.[13]
Untuk
menggambarkan kuat posisi konstitusional DPR berdasarkan UUD 1945, ditegaskan
pula dalam Pasal 7C bahwa “Presiden tidak
dapat membekukkan dan/ atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Sebaliknya, dalam Pasal 7A ditentukan, “Presiden
dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atau
usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakpidanan berat lainnya,
atau perbuatan tercela maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Di
samping itu, dalam rangka fungsinya sebagai pengawas, Pasal 11 UUD 1945
menentukan pula:
(1) Presiden
dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian,dan perjanjian
dengan negara lain.
(2) Presiden
dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukkan undang-undang harus
dengan persetujuan DPR”.
(3) Ketentuan
lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan untung-undang.
Bahkan
dalam Pasal 13 dan Pasal 14 hasil Perubahan Pertama tahun 1999 diatur pula
hal-hal lain yang bersifat menyebabkan posisi DPR menjadi lebih kuat
dibandingkan dengan sebelumnya. Pasal 13 ayat (2) menentukan, “Dalam hal mengangkat duta, Presiden
memperhatikan pertimbangan DPR”, dan ayat (3)-nya menentukan, “Presiden menerima penempatan duta negara
lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR”. Sedangkan Pasal 14 ayat (2)
menentukan, “Presiden member amnesti dan
abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.”
Untuk
lebih lengkapnya uraian mengenai kewenangan DPR itu, dapat dikutipkan disini
ketentuan UUD 1945 Pasal 20 dan Pasal 20A, yang masing-masing berisi lima ayat,
dan empat ayat. Pasal 20 menentukan bahwa:
(1) DPR
memegang kekuasaan membentuk undang-undang .
(2) Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika
rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan itu
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
(4) Presiden
mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undang-undang.
(5) Dalam
hal rancangan perundang-undangan yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Selanjutnya,ketentuan Pasal 20A berbunyi:
(1) DPR
memiliki fungsi legislasi, fungsianggara, dan fungsi pengawasan.
(2) Dalam
melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat.
(3) Selain
hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota
DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta
hak imunitas.
(4) Ketentuan
lebih lanjut tentang DPR dan hak anggota DPR diatur dalam undang-undang.
Selain
ketentuan tersebut, dalam Pasal 21 UUD 1945 juga dinyatakan bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak
mengajukan usul rancangan undang-undang”. Anggota DPR itu sendiri,
menurut ketentuan Pasal 19 ayat (1)
dipilih melalui pemilihan umum. Dalam ayat (2)–nya ditentukan bahwa susunan DPR
itu diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam PAsal 22B diatur pula bahwa “Anggota DPR dapat diberhentikan dari
jabatannya yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”.
Proses pembentukan hukum dan institusi-institusi pembuat hukum
yang dikenal dalam ilmu hukum, dengan demikian, proses pembuatan hukum tidak
boleh dipahami dalam pengertian yang sempit yakni seakan-akan hanya
terkonsentrasi pada proses politik di lingkungan parlemen semata. Hal inilah
yang selalu berkembang selama ini. Padahal, pemahaman yang sempit ini tidak
menghasilkan suatu pemikiran kritis dan rasional, karena suatu pemikiran
politik hukum bisa dibangun melalui suatu metode ilmiah yakni adanya ide atau gagasan
intelektual tentang hukum dari seorang ilmuan tentang hukum yang mampu
mempengaruhi pemikiran masyarakat untuk mengembangkannya sebagai landasan politik
hukum dalam masyarakat.
Proses pembentukan hukum sangat ditentukan oleh bentuk hukum
yang dibuat. Dengan demikian, hukum dapat dilihat sebagai norma aturan yang
bersifat tertulis, tetapi juga bersifat tidak tertulis sebagaimana yang
dipahami dalam perspektif hukum adat. Bentuk hukum tertulis juga beragam mulai
dari tingkatannya yang paling tinggi, yaitu hukum dasar atau biasa disebut
dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar), sampai ke tingkatannya yang paling
rendah, misalnya, Peraturan Desa. Namun yang perlu menjadi pemahaman ilmiah
ialah bahwa semua proses pembentukan hukum tersebut mempunyai mekanisme
pembentukannya yang tersendiri dengan melibatkan peran institusi-institusi yang
berbeda-beda menurut derajat tingkatannya.[14]
E.
Negara Hukum dan Demokrasi Modern
Sifat hukum semestinya
lahir dari hakikat-hakikat yang senantiasa melekatkan dirinya pada kultur dan
norma-norma kehidupan manusia selaku makhluk yang dibekali akal fikiran. Hal
ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Montesquieu dalam karya bukunya
berjudul De I’Esprit des Lois, hukum
secara substansial adalah menyangkut penjelasan-penjelasan mengenai tabiat yang
penting. Maka tugas negara dalam membangun sistem keadilan dalam hukum
proseduralistik harus memberikan tempat khusus yang memungkinkan terjadinya
intrepretasi dan penjelasan-penjelasan ilmiah dalam rangka menertibkan
mekanisme penegakan hukum.
Keadilan hukum dalam sistem bernegara merupakan hal utama untuk memupuk
kepercayaan. Integritas bernegara sangat diperlukan adanya mekanisme hukum yang
adil. Peradilan tanpa keadilan maka akan menciptakan disintegrasi sosial karena
memicu konflik antar sesama masyarakat. Peradilan tidak menegakkan keadilan
sebagaimana digariskan dalam norma hukum maka akan menciptakan konflik.
Masyarakat saling bertengkar, saling memusuhi satu sama lain dan pada
gilirannya menimbulkan sikap saling curiga.
Konflik vertikal maupun horizontal yang terjadi dalam masyarakat di masa
lampau memunculkan gagasan untuk merumuskan hukum positif yang dalam
perbincangan akademik mengenai hukum antara lain : a) hukum bangsa-bangsa (the
law of nation) yang menganut hubungan antarbangsa. b) hukum politik (political
law), yang mengatur hubungan antara individu, atau antara satu daerah
dengan daerah lainnya dalam satu masyarakat/bangsa. 3), hukum sipil (civil law).
Negara demokrasi modern sebenarnya mengutamakan pendekatan distribusi
kekuasaan dengan memilih pemimpin-pemimpin bangsa yang berkarakter untuk duduk
di posisi strategis pada institusi pemerintahan. Negara memiliki tanggungjawab
memainkan peran fungsional untuk menempatkan pemimpin-pemimpin pada struktur
kekuasaan negara dengan menggunakan kriteria mengutamakan kepribadian/karakter
individu yang betul-betul memiliki integritas moral yang tinggi. Sikap dan sifat ketertutupan adalah pertanda
kelemahan dan kesesatan yang menganggap diri sempurna serta tidak dapat
menerima pendapat orang lain, betapapun benar dan berbahaya pendapat itu, hal
itu merupakan satu cara untuk mrnutupi kelemahan yang terdapat dalam diri kita
sendiri. Jika sifat dan sikap keterbukaan ini kita terapkan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka kita tidak perlu khawatir untuk
menyampaikan kebenaran karena adanya jaminan hukum bahwa yang benar itu adalah
benar walaupun pahit untuk diterima pemimpin atau pemuka masyarakat harus mau
dan mampu untuk memberikan contoh walaupun yang berbuat tidak baik dan tidak
benar itu adalah diri sendiri.
Hal
ini mencerminkan adanya jaminan hukum dan jaminan keadilan dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa. Apabila hal ini dapat kita tumbuhkembangkan,
terhadap tumbuhnya masyarakat yang madani. Jadi, jelas bagi kita, apabila kita
mampu menyadari bahwa makhluk ciptaan Tuhan maka masing-masing mempunyai
kelemahan dan kelebihan. Kita bersedia untuk memberi dan menerima pikiran dan
perasaan serta pendapat orang lain. Hal ini hendaknya tampil dalam kehidupan
sehari-hari, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tentunya
tidak lepas dari adanya jaminan hukum dan keadilan. Terutama dari aparat
penegak hukum itu sendiri., bukan jaminan hukum dan keadilan orang/golongan
kelompok tertentu saja. Kita semua sebagai makhluk ciptaannya dapat dan mampu berpartisipasi
dalam upaya peningkatan jaminan hukum dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari,
baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai warga Negara kesatuan Republik
Indonesia.
Dalam
konteks sejarah perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana diketahui bersama penuh dengan
pertentangan politik ideologi. Pertentangan politik ideologi mengenai dasar
negara NKRI. Paham-paham ideologi politik multikultural ikut mewarnai
pengesahan dasar NKRI. Di antaranya ialah paham demokrasi, sosialisme,
liberalisme, komunisme, agama, dan Pancasila, namun dengan semangat dan
kebersamaan sebagai bangsa yang dijajah muncul suatu tekad bersama untuk
memproklamasikan kemerdekaan NKRI. Tanggal 17 Agustus adalah tonggak sejarah di
mana Indonesia merdeka dari penjajahan kolonial Belanda.
Pada faktanya
Pancasila telah menjadi dasar ideologi politik yang oleh pemerintahan Orde Baru
disebut sebagai ideologi terbuka dan senantiasa hidup untuk
dikontekstualisasikan sesuai tuntutan zaman. Maka perubahan UUD 1945 sejak
reformasi merupakan gerakan yang didasari oleh kesadaran intelektual anak
bangsa untuk mengartikulasikan Pancasila sebagaimana orisinalitasnya. Sidang
Istimewa MPR tahun 1998 Nomor XVIII/MPR/1998 yang ditandai pencabutan P-4 dan
Pancasila menjadi satu-satunya asas bagi semua organisasi sosial politik
(partai politik) adalah merupakan gerakan ideologis substantif yang modern
dengan mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai dasar NKRI. Gerakan
fundamental dalam reformasi juga menghasilkan karya intelektual generasi abad
modern seperti mencabut mandat MPR yang diberikan kepada Presiden tentang
kewenangannya dalam mentradisikan nilai-nilai etika sosial dan moralitas
kebangsaan melalui P-4 dan asas tunggal Pancasila.
***
Daftar Pustaka
Asshiddiqie,
Jimly, 2005, Hukum Tata Negara dan
Pilar-Pilar Demokrasi; Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Konstitusi
Press, Jakarta.
_______________, 2010, Konstitusi
Ekonomi, Kompas, Jakarta, 2010.
_______________,
2012, Prinsip-prinsip Negara Hukum
Indonesia, dalam (karya)Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, Prenada,
Jakarta.
_______________,
2005, Kemerdekaan Berserikat; Pembubaran
Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta.
_______________, 2006, Sengketa
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2006,
hal, 78.
Bello, C.K.L., Petrus, 2013, Ideologi Hukum: Refleksi Filsafat atas
Ideologi di Balik Hukum, Insan Merdeka, Bogor.
Burns, R. Tom, 1981, Man, Decisions, Society dalam (terj.),
Soewono Hadisoemarto, Manusia, Keputusan,
Masyarakat, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Schoorl,
J.W., 1981, Modernisasi; Pengantar
Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang, Gramedia, Jakarta.
[1] Makalah ini merupakan
hasil resume dari beberapa karya
tulis seperti buku dan makalah-makalah dari Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.,
oleh karena itu, tulisan ini secara substansi hampir merupakan bagian dari
kutipan beberapa karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., yang tidak bisa
dinafikan menyimpan aspek kekurangan baik dari sisi konten/isi maupun struktur
kalimat berdasarkan keotentikannya, tulisan ini hanyalah bagian dari upaya saya
untuk mendalami ide-ide mengenai konsep hukum dan penegakannya di Indonesia
menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Pilihan meresume atau semacam
mempelajari gagasan dan konsep pemikiran hukum Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,
S.H., adalah salah satunya karena selain sebagai pakar Hukum Tata Negara maupun
sebagai pelopor berdirinya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan merupakan
pertama kali menjadi ketua (2003-2005) sehingga secara disiplin keilmuan dan
pengalaman praktik sangat lebih memungkinkan untuk menjadi referensi.
[2] Mahasiswa Pasca Sarjana
Komunikasi Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta, pegiat masalah pemilihan
umum, pemerhati masalah sosial politik dan hukum di Indonesia. Mantan aktivis
DPP KNPI Pusat 2008-2011 dan aktivis di beberapa LSM serta editor profesional
beberapa diantaranya, Politik Hukum
Legalistik; Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Paradigma Politik Pemuda
Indonesia; Demokrasi Baghdad dan Jakarta; Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu
Di Indonesia; Restorasi Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia; Demokratisasi Di
Internal Partai Golkar; Dedikasi Politisi Muda Untuk Partai Golkar; menulis
buku Gagasan Islam tentang Demokrasi; dan
aktif menulis di beberapa media cetak lokal dan nasional serta mempunyai blog
sendiri/www.jujuradil.blogspot.com.
[3] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi;
Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Konstitusi Press, Jakarta, 2005,
hal, 4.
[4] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Kompas, Jakarta, 2010, hal, 362.
[5] Ibid,
[6] Jimly Asshiddiqie, Prinsip-prinsip Negara Hukum Indonesia, dalam
(karya)Muhammad Tahir Azhary, Beberapa
Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, Prenada, Jakarta,
2012, hal, 31.
[7] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Edisi Pertama-Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal, 284.
[9] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat; Pembubaran Partai
Politik dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal, 22.
[10] Op, cit, Jimly Asshiddiqie, hal,
23.
[12]
Petrus C.K.L. Bello, Ideologi
Hukum: Refleksi Filsafat atas Ideologi di Balik Hukum, Insan Merdeka,
Bogor, 2013, hal, 54.
[13] Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi
Press, Jakarta, 2006, hal, 78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar