Oleh :
Rahman Yasin
I. Pengantar
Kata konstitusi berasal dari bahasa Perancis
yakni Constituer dan Constitution, yang apabila dipahami
maknanya, maka constitutio mempunyai erat kaitannya dengan kata “jus”
atau “ius” yang berarti hukum atau prinsip. Dalam perkembangan dunia
modern, kata konstitusi yang dijadikan sebagai bahasa rujukan antara lain,
bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, Portugis, dan Belanda.
Pengertian constitution dalam bahasa Inggris dan Belanda menjadi pembeda
dari penggunaan pengertian-pengertian constitution dan grondwet, dan
bahasa Jerman membedakan antara verfassung dan gerundgesetz.
Setidaknya
ada dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian konstitusi, yaitu ‘politieia’ dari perkataan Yunani kuno
dan ‘constitutio’ yang berasal dari
bahasa Latin, yang juga berkaitan dengan kata ‘jus’. Baik ‘politieia’ dan
‘constitutio’ itulah yang jadi titik
awal lahirnya gagasan konstitusionalisme yang diekspresikan oleh umat manusia
dan sekaligus merefleksikan sejarah negara-negara dalam menyusun konstitusi.
Dua istilah tersebut, ‘politieia’ merupakan
kata yang paling tua dalam sejarah konstitusi. ‘Politieia’ mengandung pengertian mencakup:
“all the innumerable characteristics which determine that state’s
peculiar nature, and these include its whole economic and social texture as
well as matters governmental in our nerrower modern sense. It is a purely
descriptive term, and as inclusive in its meaning as our own use of the word
‘constitution’ and as speak generally of a man’s constitution or of the
constitution of matter”.
Namun, dalam
bahasa Yunani kuno tidak dikenal istilah yang mencerminkan pengertian ‘jus’ ataupun ‘constitutio’ sebagaimana dalam tradisi Romawi yang datang sesudah
ada istilah ‘politiea’. Akan tetapi
secara komprehensif boleh dikatakan hampir semua filosof menggunakan kerangka
berpikir pada istilah ‘constitution’ seperti
yang dimaksudkan sekarang, tidak dikenal. Charles Howard McIIwain dalam
bukunya, Constitutionalism: Ancient and
Modern (1947) mengatakan, ‘constitution’
di zaman Kekaisaran Romawi (Roma
Empire), mula-mula digunakan istilah teknis untuk menyebut “the acts of legislation by the Emperor”. Bersamaan
dengan banyak aspek dari hukum Romawi yang dipinjam ke dalam sistem pemikiran
hukum di kalangan gereja, maka istilah teknis ‘constitution’ juga dipinjam untuk menyebut peraturan-peraturan
eklesiastik yang berlaku di seluruh gereja ataupun untuk beberapa peraturan
eklesiastik yang berlaku di gereja-gereja tertentu (eccleasistical province).[1]
Berikut
adalah beberapa pengertian yang didefenisikan para pemikir dalam kaitan
konstitusi. Charles Howard McIIwain (1947):
“In fact, the traditional notion of constitutionalism before the late
enghteenth century was of a set of principles embodied in the institutions of a
nation and neither external to these nor in existence prior to them”.
Menurut Sir
Paul Vinogradoff:
“The Greeks recognized a close analogy between the organization of the
State and the organism of the individual human being. They thought that the two
elements of body and mind, the former guided and governed by the latter, had a
parallel in two constitutive elements of the State, the rules and the ruled”.
Menurut
Aristoteles dalam bukunya Politics paling
tidak menjadi titik persinggungan yang mengaitkan pengertian kita pada
konstitusi frase “in a sense the life of
the city”. Aristoteles menyatakan:
“A constitution (or polity) may be defined as ‘the organization of a
politic, in respect of its offices generally in respect of that particular
office which is sovereign in all issues”.
Ia juga
menyatakan:
“The civic body (the politeuma, or body of persens established in
power by the polity) is every where the sovereign of the state; in fact the
civic body is the polity (or constitution) itself”.
Menurut
Cicero,
“This constitution (haec constitution) has a great measure of
aquability without which men can hardly remain free for any length of
time”...”Now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution
of the republic (constitutionem rei publicae) is the work of no single time or
no single man”.
Bahkan lebih
dari itu dalam pengertian bahasa Jerman tentang konstitusi dapat dibedakan pula
antara gerundrecht dengan gerundgesetz seperti antara grondrecht
dengan grondwet (Belanda).[2]
Dalam bahasa Perancis dikenal istilah Droit Constitutionel dalam pengertian
luas, dan pengertian secara sempit ialah konstitusi yang tertulis atau Loi
Constitutionel yang dalam konteks bahasa Indonesia dapat dipahami menjadi
undang-undang dasar dalam arti konstitusi tertulis. Namun demikian, secara
harfiah mengandung pengertian hak dasar yang dalam fase-fase perkembangan
berikutnya dipahami sebagai hak asasi manusia. Bahkan pada perkembangan
implementasi konstitusi di negara-negara seperti dikemukakan diatas secara
etimologis maupun terminologis mengalami perubahan berdasarkan tantangan dan
tuntutan zaman yang dihadapi negara-negara bersangkutan termasuk Rusia dan
Indonesia.
Konstitusi
suatu negara mencerminkan sistem ketatanegaraan negara bersangkutan. Sistem
ketatanegaraan merupakan konsep dasar yang sekaligus menjadi ideologi suatu
negara. Oleh sebab itu, dalam mempelajari konstitusi suatu negara secara
otomatis akan diketahui bentuk dari ideologi negara bersangkutan. Negara-negara
di dunia modern sekarang telah memiliki konstitusi dan ideologi negara yang
jelas dalam rangka menciptakan sistem politik dan sistem pemerintahan dalam
bernegara.
Perbincangan
mengenai negara konstitusional tidak lepas dari sejarah dan perkembangannya
dari suatu negara itu sendiri. Maka setiap peneliti yang menaruh minat pada
kajian mengenai konstitusi negara, sesungguhnya tidak sekadar mempelajari atau
mendalami suatu aspek saja seperti hanya pada institusi-institusi
konstitusional, melainkan menelaah sejarah perkembangan politik dan pergolakan
politik, menggali ide atau gagasan-gagasan di suatu negara baik itu
peristiwa-peristiwa sosial politik bersifat internal maupun eksternal yang
mendorong terbentuknya konstitusional negara. Gagasan politik kesejarahan suatu
negara sangat menentukan paradigma politik masyarakat elit yang membentuk
pemahaman tentang relevansi perjuangan dalam meneruskan konstitusi masa lalu
dalam penerapan konstitusional negara di masa-masa mendatang. Itulah sebabnya
konstitusi hukum tata negara dapat pula disebut Constitutional Law. Artinya,
dalam sistem hukum tata negara yang paling menonjol adalah konstitusi negara
karena konstitusi itu sendiri menggaambarkan selain ideologi juga sistem
politik dan pemerintahan.
Dalam
persinggungan ilmiah mengenai konstitusional suatu negara maka didalamnya akan
membahas mengenai sistem tata negara. Maka di negara manapun ketika ada gerakan
reformasi muncul seperti perubahan-perubahan konstitusi selalu menimbulkan dua
kekuatan politik yakni antara yang mendukung perubahan dan yang mempertahankan
aturan lama atau tidak mendukung perubahan. Hal ini terjadi di semua negara
termasuk di Rusia dan Indonesia.
Dalam
perspektif konstitusi, pengertian konstitusi menunjukkan identitas bangsa dalam
kerangka politik negara yang secara teknis operasional diorganisasikan oleh
hukum. Maka gelombang demokratisasi di dunia pada tahap perkembaangannya
mengangkat tema-tema perubahan sistem dalam ketatanegaraan. Mengapa perubahan
selalu dimulai dari sistem? Hal ini karena dengan perubahan sistem
ketatanegaraan, maka baik secara prematur maupun radikal akan mengarah pada
perbaikan kualitas kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara.
II.
Sejarah Konstitusionalisme
Apabila ditelaah lebih jauh mengenai teks-teks
konstitusi negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda
Swiss, Austria, Belgia, Denmark, Finlandia, Irlandia, Luxemburg dan
lain-lainnya hampir memiliki kecenderungan yang sama. Kesamaan teks konstitusi
dari negara-negara tersebut terlihat dari struktur sosial dan ekonomi yang
hampir dipastikan tidak mendapat perhatian yang wajar. Hal ini karena menurut
negara-negara ini dianggap tidak masuk dalam klasifikasi aktifitas negara.
Kecenderungan ini juga terlihat di negara-negara Asia seperti Jepang yang
hampir sama sekali tidak mencantumkan masalah sistem perekonomian. Sedangkan
dalam teks konstitusi negara-negara eks Uni Soviet, RRC, Vietnam, Cekoslovakia
(sebelum menjadi dua negara Ceko dan Slovakia), Bulgaria, Syria, Iran dan
bahkan Republik Federal Jerman (sebelum bergabung dengan Jerman Timur), memuat
ketentuan konstitusi mengenai sistem sosial da perekonomian. Dan kenyataan
seperti ini diterapkan di negara-negara Komunis.
Sedangkan
dalam tradisi Amerika Serikat dan praktik di beberapa negara liberal pada
umumnya memahami undang-undang dasar sebagai hukum tertinggi dan konstitusi
yang lebih menekankan pada aspek substansi politik semata. Namun bukan berarti
tidak ada sama sekali memuat ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan
aspek kehidupan lainnya dalam bernegara. Penekanan pada muatan substansi
mengenai aspek politik dapat dilihat dari bukunya C.F. Strong berjudul “Modern Political Constitutions” (1962)
dan “A History of Modern Political
Constitutions” (1963).[3] Karena
dalam konstitusi Amerika Serikat juga secara substansial memuat
ketentuan-ketentuan lain seperti urusan politik luar negeri, politik dalam
negeri, sistem pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah serta
ketentuan-ketentuan lain yang memuat semua aspek kehidupan bernegara.
Hal serupa
di Uni Soviet-Rusia yang dikenal berideologi sosialis-komunis ini dan dalam
praktik berkonstitusi sejak tahun 1918 Uni Sovie-Rusia telah memikirkan secara
komprehensif untuk bagaimana merumuskan ide-ide politik luar negeri yang
konstruktif dalam rangka menciptakan iklim pergaulan internasional yang lebih
baik. Uni Soviet-Rusia merupakan negara komunis yang sejak tahun 1918 bahkan
jauh sebelum itu pun sudah mulai memikirkan tentang formula konsep konstitusi
yang ideal dan memiliki kemampuan ideologis dalam memperkuat nilai-nilai
konstitusi yang merupakan warisan pemikiran generasi terdahulu.
Apabila
dilihat dari dimensi sejarah, misalnya, Rusia merupakan negara sosialis-komunis
pertama di Eropa Timur yang melakukan penataan sistem ketatanegaraan dalam
negaranya dengan memasukan ketentuan-ketentuan mengenai sistem perekonomian
nasional. Dan kita tahu bahwa, sistem ekonomi nasional suatu negara merupakan
salah satu cermin dari orientasi tujuan bersama dalam bernegara sehingga dalam
tataran pergulatan ideologi global di semua negara termasuk Rusia merasa
penting untuk diperkuat dengan dasar nilai-nilai kebangsaan yang ada dalam
negeri Rusia.
Dengan
demikian, bila Jerman yang menganut paham liberalisme saja mengadopsi ide-ide
pengaturan prinsip-prinsip kebijakan ekonomi dalam negerinya bahkan sejak tahun
1919, Jerman telah memasukan rumusan-rumusan yang menjadi ketentuan dalam
undang-undang dasar lewat apa yang disebut konstitusi Weimar, maka Rusia
sebagai negara yang menganut paham sosialis-demokrat adalah merupakan negara
pertama di kawasan Eropa Timur yang memasukan ide-ide mengenai pengaturan sistem
politik luar negeri, dan ekonomi dalam berkonstitusi yang kemudian diikuti oleh
negara-negara lain seperti Irlandia. Tradisi melakukan konstitusionalisasi
kebijakan politik luar negeri dan ekonomi Irlandia ini terlihat melalui konsep “Directive Principles Social Policy” of
(DPSP) pada tahun 1937 yang dalam perjalanan berikut diikuti negara-negara
non-komunis.
Dalam
konteks kajian pergolakan dan perkembangan ideologi modern di dunia terutama
dilihat dari aspek pergulatan ideologi politik dan ekonomi global, sesungguhnya
dapat kita lihat bagaimana semua negara di dunia sudah mulai memikirkan untuk
melakukan gerakan restorasi undang-undang dasar di masing-masing negara
termasuk Rusia. Rusia bahkan lebih dipahami sebagai negara sosialis-komunis
modern yang pada tahun 1993 melalui gejolak dalam negeri yang menyebabkan
krisis konstitusional. Krisis konstitusional umumnya bergerak melalui
pergulatan ideologi politik baik dipengaruhi oleh pihak luar atau dalam arti
gerakan politik negara lain yang berusaha mengacaukan negara tersebut maupun
gejolak politik dalam negeri. Rusia pada tahun 1999 melalui federasi Rusia yang
baru di bawah kepemimpinan Presiden Yeltsin misalnya, mengalami tekanan-tekanan
politik dalam negeri sebagai akibat transformasi ide-ide konstitusi dalam
negeri yang dianggap sebagian kalangan tidak sesuai lagi dengan ideologi
negara.
III.
Makna Konstitusi dalam Pemerintahan Modern
Dalam kamus hukum bahasa Inggris misalnya,
pengertian konstitusi juga dalam arti luas adalah Oxford Dictionary of Law, perkataan
“constitution” yang diartikan sebagai the rules and practices that
determine the composotion and functions of the organs of the central and local
government in a state and regulate the relationship between individual and the
state, yang apabila diartikan secara umum mengandung pengertian-pengertian
sebagai berikut: (a) yang dinamakan konstitusi itu tidak saja (i) aturan yang
tertulis, tetapi juga (ii) praktik-praktik, yaitu apa yang dikerjakan dalam
kegiatan penyelenggaraan negara; dan (b) yang diatur itu tidak saja berkenaan
dengan (i) organ negara beserta komposisi dan fungsinya, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat pemerintahan daerah (local government), tetapi juga
(ii) mekanisme hubungan antarnegara atau antara organ-organ satu sama lain, dan
(iii) hubungan antara organ-organ negara dengan warga negara.[4]
Meski semua
pengertian diatas menunjukkan persamaan-persamaan substansial namun yang perlu
dipahami adalah bahwa dalam praktik-praktik kehidupan sosial terlebih kehidupan
bernegara walau tidak dalam pengertian tertulis tetapi praktik-praktik yang
menunjukkan adanya sesuatu yang ada relasinya dengan tindakan hukum tetap
dipahami dalam pengertian konstitusi atau lazim dikenal konstitusi yang tidak
tertulis (ongescheven constitutie, unwritten constitution). Dari
pengertian inilah kemudian muncul pengertian lain seperti constitutional
convention atau konvensi ketatanegaraan yang bersifat tidak tertulis. Dalam
hukum tata negara, konvensi-konvensi ini dianggap sebagai sumber hukum tata
negara disamping undang-undang dasar dan peraturan perundang-undangan yang
tertulis.[5]
Semua
konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian. Hal ini karena
kekuasaan merupakan salah satu sarana yang paling efektif dalam instrumen
politik demokrasi untuk merumuskan tujuan-tujuan politik termasuk perjuangan
ideologi-ideologi yang berkembang dalam negara. Maka kekuasaan politik dalam
bernegara yang menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dibutuhkan
suatu sistem dan mekanisme yang diatur melalui konstitusi seperti pembatasan
masa jabatan kekuasaan. Inilah salah satu makna Constitutions, menurut
Ivo D. Duchacek, “indentify the sources, purposes, uses and restraints of
public power” (mengidentifikasikan sumber-sumber, tujuan-tujuan,
penggunaan-penggunaan dan pembatasan-pembatasan kekuasaan umum).
Konstitusionalisme sebagaimana digambarkan Friedrich, diartikan sebagai “an
institutionalised System of
effective, regularised restraints upon governmental actian (suatu sistem
yang terlembagakan menyangkut pembatasan yaang efektif dan teratur terhadap
tindakan-tindakan pemerintahan.
Dalam
konteks pemahaman sebagaimana dikemukakan diatas, maka semua kegiatan-kegiatan
pemerintahan yang dianggap penting dalam setiap konstitusi merupakan suatu
sistem yang mengatur mengenai pengawasan terhadap pembatasan-pembatasan
kekuasaan. Pemerintahan demokratis hendaknya dikontrol baik oleh lembaga negara
yang berwenang maupun masyarakat. Dengan pengawasan yang baik pada semua
kebijakan-kebijakan pemerintah maka secara efektif tidak menimbulkan praktik
penyalahgunaan jabatan dan wewenang selama rezim berkuasa. Oleh sebab itu,
pengawasan kebijakan pemerintah selain dilakukan oleh parlemen secara resmi
yang diberi wewenang konstitusi melakukan pengawasan (check and balances)
maka pengelolaan negara akan berjalan lebih baik. Tetapi sebaliknya, bila suatu
pemerintahan di negara demokrasi sekalipun tidak diawasi dengan mekanisme
aturan, maka kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan, jabatan, dan
wewenaang saangat tinggi. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan Lord
Acton, “Power tents to corrupt and absolute
power to corrupt absolutely (kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang
kuat pasti korup).
Dalam
praktik di negara-negara modern sekarang termasuk Rusia, penerapan sistem hukum
ketatanegaraan (Constitutiona Law) sejalan dengan kebangkitan era konstitusionalisme
dalam sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Itulah sebabnya mengapa
konstitusionalisme di setiap negara dan tak terkecuali Rusia menjadikan sistem
hukum tata negara dalam kerangka perbaikan dan penataan-penataan pemerintahan
berbasis good governance. Sistem
hukum ketatanegaraan menjadi konsep ilmiah yang menjadi sumber pengaturan
kehidupan dalam kenegaraan. Artinya, semua arah kebijakan negara didasarkan
pada konstitusi. Maka pembatasan kekuasaan pemerintahan negara juga memerlukan pengaturan
yang komprehensif dalam konstitusi. Kekuasaan atas orang atau kekuasaan atas
benda.
Dan konsep
penataan kekuasaan baik atas orang maupun benda telah lama ditumbuhkembangkan
bahkan sejak zaman Romawi kuno. Pada zaman Romawi kuno, dibedakan dalam konsep “imperium”
versus “dominium” yang merupakan
konsep mengenai “the rule over things by the individuals”, sedangkan “imperium”
merupakan konsep mengenai “the rule over all individuals by the prince”.
Perbandingan tersebut terus dikembangkan dalam perkembangan sejarah sampai
pada zaman sekarang, bahkan dalam perspektif pengertian yang ilmiah tersebut
dilembagakan dalam kajian ilmu hukum lewat pembedaan antara konsep hukum publik
dan hukum privat (rule of law and the rule of ethics).
IV.Konstitusional Rusia dan Ide Negara Modern
Secara historis dapat diketahui bahwa negara
Uni Soviet dalam mendirikan institusi politiknya tidak mengakui metode
konstitusionalisme yang dikembangkan Barat. Uni Soviet merupakan negara yang
menerapkan sistem federal. Hal ini bisa pula dilihat dalam konstitusi Stalin
tahun 1936 yang secara konsepsional dan substansial memuat aturan-aturan
yuridis formal mengenai bentuk negara federal. Fakta yang tak terbantahkan
adalah negara bekas Uni Soviet Yugoslavia yang pada tahun 1946 yang dalam
perkembangan terbarunya melakukan modifikasi konstitusi dalam negeri yang
secara konsepsional dan substansial masih saja mendasarkan pada prinsip-prinsip
konstitusional Uni Soviet.
Memang dari
perspektif kesejarahan, bahwa keotentikan konstitusi Soviet tahun 1918
merupakan konstitusi yang didesain dengan konstruktif berdasarkan geo-politik
internal dalam negara dan perkembangan politik luar negeri yang ada, namun
konstitusi Soviet yang dirancang Lenin sesungguhnya hanya diterapkan untuk
daerah Rusia di Eropa atau yang dikenal dengan Russian Soviet Federated Socialist Republic (R.S.F.S.R.).
Seiring
bersamaan dengan transisi “reunifikasi” tahun 1923, maka pada fase
“praunifikasi” bahkan termasuk salah satunya adalah Ukraina yang boleh
dikatakan sukses melakukan gerakan revolusi Soviet dan tergabungnya
republik-republik Soviet ke dalam Uni Republik-republik Soviet Sosialis yang
sebelumnya di daerah-daerah dalam wilayah sudah terbentuk melalui Kekaisaran
Rusia lama, baik di Eropa maupun Asia, konstitusi Rusia ini secara eksplisit
dan implisit menyebutkan kekuasaan otoritas federasi dan sisanya dilimpahkan
pada republik-republik federasi. Namun konstitusi Lenin ini kemudian diganti
dengan konstitusi rancangan Stalin yang kemudian diadopsi oleh Kongres Soviet
Seluruh Uni di Moskow pada tahun 1936.
Pada era
modern mulai terlihat sistem sosialis yang diterapkan di negara-negara kawasan
Eropa mulai mengalami keruntuhan yang dalam praktik nyata seperti tidak lagi
menjadi peranan yang dominan yang setara dengan hukum asal civil law dan common law.
Bila peran sosialis di Eropa pada zaman sebelumnya terlihat begitu kuat dan
dominan bagi sebagian besar wilayah Eropa Timur, tetapi pada perkembangan
modern justru mengalami krisis hebat. Sedangkan di Rusia malahan sebaliknya,
sistem sosialis yang menjadi bentuk dan prototipe sistem negara komunis ini
melainkan makin kuat. Dengan model Rusia sebagai negara dengan paham
sosialis-komunis tersebut maka konsep hukum sosialis ini kemudian mengalami
perkembangan yang cukup prospek bahkan telah menjadi minat kajian ilmiah oleh
para pemikir intelektual.
Rusia memang
memiliki sedikit perbedaan sistem pemerintahan dengan Inggris dan Amerika
Serikat. Jika di Inggris dikenal sebagai negara dengan sistem pemerintahan
negara kesatuan, akan tetapi pemerintahannya tidak semuanya tersentralisasi di
London. Jauh sebelum tahun 1972 di Inggris diperkirakan sekitar 12.000 ‘self governing local outhorities’. Namun
tahun 1972 pemerintah menetapkan pemberlakuan undang-undang Pemerintahan kemudian
untuk England dan Wales struktur pemerintahan daerahnya
diatur kembali menjadi lebih efektif dan efisien. England dibagi menjadi 6
metropolitan counties, 39 nonmetropolitan
counties dan Greater London. Selanjutnya Metropolitan districs. Non metropolitan
counties terbagi jadi 296 non
metropolitan districts dan di bawah ketuanya dibagi lagi jadi parish. Sedangkan greator London hanya terbagi menjadi 32 borought of London dan city of London. Sementara Wales dibagi menjadi 8 counties yang selanjutnya ke bawah
menjadi 37 districts yang terbagi ke
dalam communities. Yang menjadi
alasan perubahan sistem jadi local self
government atau sistem pemerintahan daerah sendiri di Inggris salah satunya
ialah efisiensi dan kebebasan yang lebih leluasa bagi daerah untuk menciptakan
kreatifitas dalam pengelolaan hasil kekayaan daerah.
Sedangkan
Amerika Serikat memiliki sistem pemerintahan negara bagian, pemerintahan kota
dan pemerintahan daerah. State Government
Amerika Serikat, maka negara adidaya ini memiliki sistem pembagian dan
pemisahan kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Adapun ciri pemerintahan negara bagian ini terlihat dari legislatif bicameral yakni Senat dan lembaga
perwakilan. Senat mempunyai ketua Wakil Gubernur dan badan perwakilan mempunyai
seorang ketua yang dipilih secara demokratis. Sedangkan pemerintahan kota
dengan negara bagian memiliki hubungan dengan negara bagian dan pemerintahan
federal. Dan sistem pemerintahan daerah di tingkat kabupaten yang terdiri dari
dua distric atau lebih dan sejumlah
kampung atau desa.
Dalam karya
Montesquieu berjudul De I’Esprit des
Lois, dikatakan setiap bentuk pemerintahan terdapat tiga kekuasaan. Tiga
kekuasaan ini yang memiliki peran dan fungsi baik dalam membuat undang-undang dan
cabang kekuasaan yang menjalankan hukum yang berkaitan dengan hukum
bangsa-bangsa (law of nations), maupun
hukum sipil (civil law). Cabang
kekuasaan pertama membuat hukum yang disebut legislatif, dan cabang kedua yaitu
eksekutif yakni yang bertugas melaksanakan hukum dan cabang ketiga yudikatif
yang bertugas mengeksekusi perintah hukum yang berkaitan dengan perselisihan
dan persengketaan baik antara warganegara dengan negara maupun sesama antara
warganegara.
Senada
dengan Montesquieu adalah Jhon Locke yang apabila ditelaah sesungguhnya
substansi pemikiran soal ini sama hanya berbeda dalam penggunaan istilah dan
susunan saja. Locke mengatakan bahwa kekuasaan itu ada tiga, yaitu kekuasaan
membuat hukum (legislatif), kekuasaan
federatif, dan kekuasaan yang ditugaskan menjalankan hukum (eksekutif). Dalam perspektif ini, Montesquieu menempatkan
kekuasaan eksekutif pada posisi kekuasaan federatif, dan menempatkan kekuasaan
yudikatif pada posisi kekuasaan eksekutif atau kekuasaan ketiga dalam pemikiran
Jhon Locke. Namun demikian kedua pemikiran tersebut tidak menjadi perdebatan
ilmiah yang kontroversial karena kedua pemikiran tersebut dalam perkembangan
sistem pemerintahan demokrasi modern yang memerlukan suasana kontrol kebijakan (check and balances) tetap digunakan
termasuk di Indonesia yang dikembangkan adalah apa yang dikemukakan Montesquie
yakni sistem kekuasaan yang terdiri dari legialatif, eksekutif, dan yudikatif (Trias Politica).
Dalam
konteks konstitusi Rusia, Rusia memiliki sistem kekuasaan yang meliputi seluruh
dimensi kehidupan bermasyarakat, yakni konstitusi yang mengatur tentang agama,
budaya, seni, sastra, ekonomi, politik dalam dan luar negeri dan lain-lain yang
dengan demikian Rusia yang merupakan warisan Uni Soviet ini menerapkan sistem
totaliter. Dengan landasan berpikir dalam bernegara yang menekankan pada aspek
konstitutionalisme maka Rusia sesungguhnya merupakan salah satu negara modern
di dunia yang dengan pemerintahnnya hampir mempunyai sarana dan hak memiliki
produksi, distribusi, transaksi ekonomi yang teratur antara negara dan swasta
sehingga dalam tataran implementasinya, negara ini tidak mengharuskan atau
sederhanya tidak mempekerjakan orang lain dalam hal produksi. Dalam konteks
ini, maka dapat dipahami bahwa negara Rusia modern merupakan negara yang bisa
dikatakan menggunakan ideologi Marx-Lenin (sosialis-komunis).
Akar
pemikiran Karl Max dan Leninis tentang gerakan sosialisme dalam kehidupan
masyarakat modern sebagai komunitas suatu negara yang hidup bersama dan di
bawah pengendalian pemerintah konstitusional dalam kaitannya dengan sistem
ekonomi politik yang digambarkannya sebagai sebuah aturan golongan yang terdiri
atas perencanaan sentral dan kepemilikan negara atas sarana-sarana produksi.
Dalam perspektif ini, Karl Max sebagaimana yang dikutip Anthony Brewer, dalam
karyanya A Guide to Marx’s Capital (1984)
mengatakan: “Kerja produktif dinyatakan sebagai kerja yang menghasilkan nilai
lebih. Setiap orang yang melakukan sesuatu fungsi yang diperlukan dalam
produksi adalah bagian dari “pekerja kolektif” dan bersifat produktif.
Walaupun, tidak dapat diidentifikasi nilai-pakai apa yang dihasilkan
orang-orang secara individual. Di pihak lain, seorang pekerja hanyalah
produktif bagi kapital, makalah ia menghasilkan nilai lebih. Bagi Marx, nilai-nilai
absolut dan relatif hanya dapat dibedakan jika kita memperhatikan perubahan
pada rate nilai lebih. Nilai lebih tidak akan ada, makalah kondisi alam
sedemikian rupa, sehingga para pekerja hanya memproduksi tidak lebih dari apa
yang mereka butuhkan untuk menyambung kehidupan mereka. Kondisi alam yang
menguntungkan tidak perlu mendorong adanya eksploitasi sama sekali...
selanjutnya ia membantah teori Ricardo dan Mill, karena keduanya mengacaukan
produksi nilai pakai dan nilai-lebih. Yang karena itu mereka mengabaikan adanya
hubungan-hubungan sosial spesifik sebagai watak dari kapitalisme.”
Jika
ditelaah lebih komprehensif, ide Marx mengenai keadilan dalam negara tidaklah
beridiri sendiri atau berangkat dari angan-angan hampa yang tanpa spirit
perubahan sosial di zamannya atau seperti yang dituduhkan oleh mereka yang
menentang ide dasar Marx seakan-akan dibuat stigma bahwa Marx hanya mimpi di
siang hari dalam membangun ide perubahan sosial dan bertolak belakang dengan
pemahaman masyarakat umum, ternyata pada fase-fase berikutnya, perkembangan ide
perubahan sosial mendapat respon positif dari dunia pemikiran sosial
kebudayaan. Hal ini karena menjadi wajar manakalah masyarakat kapitalisme
beralih menuju ke sosialisme.
Dalam
konteks ini, Edvard Kardelj dalam bukunya Socialism
and War, mengatakan bahwa Marx menyukai mekanisme pembayaran-pembayaran
dengan menggunakan benda daripada dengan menggunakan mata uang, bahkan ketika
itu ia memprediksi bahwa dalam komunisme mata uang akan hilang karena
menurutnya hal itu disebabkan oleh suatu pendekatan pembayaran dengan
pencatatan bebas sesuai kebutuhan-kebutuhan. Oleh karena itu, baik sistem
pembayaran-pembayaran dengan benda maupun penyamarataan langsung melalui cara
penyatuan negara, jelas tidak bisa memberi kontribusi ke arah akselerasi
pengembangan ideologi komunisme. Marx bahkan berpendapat, dengan menggunakan
kedua pendekatan tersebut secara langsung akan menghambat proses percepatan
komunisme karena sistem ini digunakan sebagai rem bagi akselerasi kekuatan-kekuatan
produksi dan kekuatan-kekuatan produktivitas buruh. Padahal tema yang tengah
ramai diperbincangkan masyarakat dunia ialah mengenai “kesadaran sosialis”
dalam bentuk abstrak, yang asing bagi landasan-landasan material dan
penggerak-penggerak utama dari bentuk ini, tidak lain hanya merupakan
sedu-sedan idealistis yang wajar dan tak bermakna.
Dalam
kerangka ini Marx mengatakan, perubahan tersebut merupakan periode pertama
dalam sejarah paling bawah dengan masyarakat komunis. Masyarakat komunis yang
dilihat dari penjelasan ilmiahnya tentang cara-cara produksi yang tidak
mendeterminasikan kepemilikan khusus individu-individu tetapi kepemilikan bagi
seluruh masyarakat. Pada periode ini menurutnya keadilan dan persamaan dalam
aspek sosial dan ekonomi belum bisa diharapkan. Ketidakseimbangan negara
memperlakukan warganya berdasarkan hasil keringat. Di satu sisi eksploitasi
manusia mengalami penurunan tetapi pada sisi lain distribusi barang-barang
komsumsi secara kontinyu digerakan dengan berdasarkan jumlah kerja yang
dilakukan oleh orang-orang.
Dengan
demikian, pemerintahan Rusia modern sekarang yang bercirikan pada Soviet
tertinggi dan menjadi organ kekuasaan negara tertinggi yakni badan legislatif
dengan dua kamar antara lain: (1) Soviet
of the Union, dengan sistem keanggotaan yang dipilih oleh warga Uni Soviet
melalui distrik-distrik pemerintahan dengan berdasarkan jumlah penduduk, dan
(2) Soviet of the Nationalities, yang
menggunakan sistem pemilihan keanggotaan melalui perbandingan tertentu
hendaknya menjadi sebuah model pemerintahan demokrasi modern yang mengedepankan
aspek kualitas kehidupan bermasyarakat Rusia pada abad modern sekarang bagi
perkembangan demokratisasi di dunia.
Soviet
tertinggi memilih sebuah Presidium yang merupakan suatu kepresidenan kolektif
yang terdiri dari 1 orang ketua, 1 orang sekretaris, 15 wakil ketua dan 18
anggota. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh dewan menteri yang dipilih oleh
Soviet tertinggi dengan sistem Presidium. Dengan demikian, Presidium memiliki
otoritas untuk mengganti anggota dewan menteri. Dalam membuat undang-undang,
Presidium dan dewan menteri diberi kekuasaan termasuk dekrit dan peraturan dan
oleh sebab itu kedua institusi inilah yang bertanggungjawab pada Soviet
tertinggi. Badan eksekutif dan administratif secara formal boleh dikatakan
bagian dari dewan menteri yang diketuai oleh seorang menteri yang berasal dari
partai komunis. Sedangkan badan kehakiman tertinggi dan jaksa agung dipilih dan
diberhentikan oleh Soviet tertinggi.
Rusia modern
memiliki sistem pemerintahan daerah. Krais,
Oblast, Daerah Otonomi, Okrug, Raiyon, merupakan perwujudan dari
komite-komite dan departemen-departemen termasuk badan administrasi negara atau
kota-kota distrik dan desa yang ada di daerah-daerah. Untuk komite dan
departemen diberi tanggungjawab di bidang ekonomi, politik dan sosial budaya di
masing-masing wilayah tugasnya.
Szabo
misalnya, dalam karyanya ‘International
Encyclopedia of Comparative Law’ hal. 49), dikatakan, bahwa konsep hukum
sosialis dianggap sebagai bagian dari sebuah teori ilmiah yang homogen dan
mempunyai tujuan tersendiri. Tujuan yang merupakan hasil ciptaan dari sebuah
sistem hukum baru---hukum sosialis. Sedangkan Quigley (1989) menggambarkan,
hukum sosialis sebagai ‘hukum dari negara-negara yang perintahnya secara resmi
memandang negara-negara tersebut sebagai sosialis atau sedang bergerak dari
kapitalisme menuju sosialisme, dan yang menganggap sebuah masyarakat komunistik
sebagai tujuan puncaknya’. Dan Cristine Sypnowich dalam pengantar bukunya
berjudul The Socialist Conpept of Law (1991)
mendefenisikan ‘sosialisme’ sebagai sebuah masyarakat di mana hak
kepemilikannya privat dalam bentuk modal telah dhilangkan dan digantikan dengan
kepemilikan bersama atas sarana-sarana produksi dengan tujuan kesetaraan
sosial. Oleh karena itu dalam sistem dan struktur masyarakat yang heterogen dan
menganut paham ideologi sosialis tetap membutuhkan hukum sebagai pengatur dalam
kehidupan bernegara. Namun demikian, apapun sistem pemerintahan di
negara-negara di dunia modern sekarang ini, sistem demokrasi merupakan konsep
yang boleh dianggap paling efektif daripada sistem pemerintahan lainnya yakni
sistem-sistem yang ada seperti sistem aristokrasi, demokrasi, oligarki, dan
despotisme.
Plato
menekankan pendapatnya mengenai pemerintahan negara sebaiknya di bawah kendali
orang-orang yang dianggap paling bijaksana. Orang-orang paling bijaksana dalam
mengendalikan pemerintahan itulah yang mencerminkan pemerintahan ideal. Para
pemimpin yang memiliki kemampuan dan kecerdasan intelektual serta kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual atau dalam istilah Plato disebut sebagai
pemimpin-pemimpin yang filosof. Dan dalam perspektif ini, Plato sebenarnya
secara substansial dan konsepsional mengajukan konsep aristokrasi sebagai
sistem pemerintahan yang utama, yang sedikit, namun sekaligus memiliki muatan
bijaksana.
V. Prinsip Negara Hukum
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama
dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani Kuno. Plato, pada awalnya dalam
the Republic berpendapat bahwa adalah
mungkin mewujudkan negara-negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan
kebaikan. Untuk itu, kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui
kebaikan, yaitu seorang filosof (the
philosopher). Namun, dalam bukunya the
Statesman dan the Law, Plato
menyatakan bahwa yang dapat diwujudkan adalah bentuk paling baik kedua (the second best) yang menempatkan
supremasi hukum. pemerintahan yang mampu mencegah kemerosotan kekuasaan
seseorang adalah pemerintahan oleh hukum.[6]
Plato
(429-347) dengan merajut konsepsi negara utopia, mengatakan bahwa kebutuhan
dasar manusia yang pertama adalah tempat tinggal, seperti makhluk hidup
lainnya. Kebutuhan dasar manusia yang kedua ialah kebutuhan akan pakaian, dan
selanjutnya hidup dalam interaksi sosial selaku makluk sosial yang saling
membutuhkan satu sama lain. Selain kebutuhan hidup berupa tempat tinggal,
pakaian, dan lain-lain yang menjadi kebutuhan primer maupun sekunder manusia
juga membutuhkan kerjasama dalam kehidupan yang kemudian melahirkan sikap
gotong-royong, toleransi, menciptakan lapangan pekerjaan di bidang tertentu
yang hingga memunculkan petani, tukang bangunan, tukang tenun dan tukang
sepatu. Dan semua profesi yang ada tersebut jelas dalam perkembangan dan
kemajuan ilmu dan teknologi memerlukan keterampilan dengan alat-alat tertentu.
Tujuan
negara selain menciptakan keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat juga
memberikan ketertiban dan kerukunan antarmanusia dalam kehidupan. John Locke
(1632-1704) dalam kaitan ini mengatakan: “The
state of nature has a law of nature to govern it, which obliges everyone, and
reaseon, which is that law, teaches all mind kind who will but consult it that
being all equal and independent no one ought to harm anather in his life,
health, liberty or possessions ...” Dengan demikian pemerintah sebagai
pemegang amanat kedaulatan rakyat dipercaya untuk menjalankan roda organisasi
yang dibentuk dalam pemerintahan (gecommiteerde).
Maka dalam konsep pemerintahan demokratis rakyatlah yang berdaulat dalam
pemerintahan dan pemerintah hanyalah merupakan “simply and solely a commission, an employment, in which the rules,
mere official of the sovereign, exercise in their own name the power of which
it makes them depositories.”.
Dalam sistem
demokrasi modern, sistem kekuasaan dibedakan dalam tiga wilayah, yaitu negara (state), pasar (market), dan masyarakat (civil
society). Ketiga domain kekuasaan ini mempunyai logika dan hukum-hukumnya
sendiri. Ketiganya diidealkan harus berjalan seiring dan sejalan, sama-sama
kuat dan sama-sama saling mengendalikan satu sama lain, namun tidak saling
mencampuri atau dicampuradukan.
Bila
kekuasaan negara melampaui kekuatan masyarakat (civil society) dan pasar (market),
demokrasi dinilai tidak akan tumbuh karena terlalu didikte dan dikendalikan
oleh kekuasaan negara. jika kekuasaan pasar (market)
terlalu kuat, melampaui kekuatan ‘civil
society’ dan negara, berarti kekuatan uanglah atau kaum kapitalislah yang
menentukan segalanya dalam peri kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sebaliknya, bila yang dominan adalah kekuasaan masyarakat (civil society), sedangkan negara dan pasar lemah, maka yang
terjadi adalah kehidupan bersama yang ‘chaos’,
‘messy’ ‘government-less’, yang berkembang tanpa arah yang jelas. Karena
itu yang dianggap paling ideal untuk demokrasi adalah apabila ketiga wilayah
kekuasaan ini tumbuh secara seimbang, sama-sama saling pengaruh mempengaruhi
satu sama lain dalam hubungan yang fungsional dan sinergis.
VI.Pendekatan Baru untuk Memahami Rusia yang Konstruktif
Mikhail Gorbachev dalam bukunya Perestroika, New Thinking for Our Contry and
the World, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Boesoni Sondakh
(1987: hal, 199), menyatakan sebagai berikut:
“Orang mungkin mengatakan bahwa pemikiran politik baru masih sedang mencari
dengan susah payah tempatnya dalam dunia politik. Memang hal itu benar.
Sebagian mungkin mengatakan bahwa kelambaman cara berpikir lama masih lebih
kuat dibandingkan dengan kecenderungan baru itu. Hal ini juga ada benarnya.
Namun begitu, masalah utamanya adalah bahwa tugas berat meletakkan dasar bagi
pembentukan kembali hubungan internasional sudah dikerjakan. Dan kami yakin
bahwa dunia akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik”. “Keadaan sedang
berubah.”
Berangkat
dari perbincangan-perbincangan diatas mengenai konstitusi dan
konstitusionalisme negara-negara di dunia modern sekarang, secara khusus
konstitusi Rusia yang modern, maka hemat saya Rusia sebagai negara modern tidak
ada jalan lain selain membangun dan terus memperkuat basis nilai-nilai kultural
yang menjadi identitas Rusia sebagai pedoman dalam berbangsa dan bernegara baik
dalam perspektif internal Rusia sendiri maupun dalam konteks pergaulan
internasional. Rusia merupakan negara yang memiliki rekam jejak kesejarahan
yang sangat dikagumi dunia. Dan tugas utama pemerintahan Rusia sekarang ialah
bagaimana memikirkan secara komprehensif untuk bangkit dan kembali meraih
kejayaan yang pernah dimiliki.
Hubungan
tingkat persahabatan antar negara-negara di dunia hendaknya dilandaskan pada
prinsip-prinsip konstitusi Rusia yang modern. Gelombang demokrasi dan
demokratisasi telah menembus hingga ke negara-negara terbelakang yang semula
menganut sistem otoriter. Kemajuan peradaban dunia terutama di bidang ekonomi
dan politik telah memastikan negara-negara di dunia berkompetisi secara bebas
sehingga demokrasi yang dalam tataran implementatif selain menjadi solusi namun
dalam kondisi tertentu kerap memicu konflik politik internal dan eksternal
hendaknya menjadi pelajaran bagi negara-negara modern dan tak terkecuali Rusia.
Proses
pertarungan ideologi negara-negara maju dan berkembang terus berjalan, Rusia
sebagai negara sosialis-komunis yang modern harus mengambil peran strategis dan
memastikan dapat memberikan kontribusi yang konstruktif dalam perkembangan
peradaban dunia. Sejalan dengan pemikiran-pemikiran ini sebenarnya Mikhail
Gorbachev telah mengkampanyekan beberapa visi masa depan Soviet ketika itu. Ia
mengatakan: “Meski
Soviet mendasarkan kebijakan pada cara berpikir baru, namun kami tidak berniat
memaku diri kami pada gagasan kami yang biasa dan pada paham politik yang
merupakan ciri kami. Kami tidak berniat sama sekali mengajak setiap mengikuti
Marxisme. Pemikiran politik baru dapat dan harus menyerap pengalaman dari semua
bangsa dan memastikan penyuburan dan pertemuan bersama berbagai tradisi
kebudayaan. Inti gagasan ini ialah bagaimana mengutamakan Dialog sebagai
pendekatan baru yang konstruktif dan komprehensif dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan bangsa dan dunia. Dengan konsep dialog pertentangan
ideologi-ideologi modern---komunis, sosialis, sosial demokratis, kapitalisme,
liberal, dan konservatif dapat terpecahkan. Dialog ajang belajar yang hebat
bagi kami. Dialog dapat membantu membentuk dan memperkuat hubungan
internasional yang beradab yang begitu penting dalam dunia modern”.
Rusia modern
dan tetap memegang teguh prinsip kemajuan yang berperadaban harus menjadi
agenda pembangunan nasional Rusia. Rusia harus kembali kepada pengertian
orisinal konstitusinya dengan terus membuka dan memperbaiki diri dalam
kontak-kontak internasional. Tetap berpedoman pada konstitusi Rusia dengan
tetap melakukan politik luar negeri yang jujur dan terbuka. Politik luar negeri
yang mengedepankan kejujuran, kesopanan, ketulusan hati dan senantiasa mematuhi
prinsip-prinsip konstitusi dalam semua tindakan sebagaimana diwariskan Lenin.
Rusia modern
hendaknya memikirkan dan menciptakan suasana hubungan diplomasi luar negeri
yang sehat. Mendorong parlemen dan pemerintah Rusia menjadi peserta aktif dalam
kontak internasional karena dalam suasana demokrasi sekarang sudah menjadi
suatu keniscayaan. Metode diplomasi seperti dikatakan Mikhail Gorbachev yakni,
metode diplomasi warga negara dan bukan akal muslihat. Bahkan ia mengatakan
bahwa keadaan internalnya membawah pada suatu kesadaran bahwa keseluruhan beban
perlombaan senjata dan kemungkinan-kemungkinan konsekuensi konflik
internasional terletak di pundak rakyat.
Maka bagaimana pemimpin-pemimpin Rusia termasuk Duta Besar Rusia untuk
Indonesia memikirkan dan menjelaskan serta meyakinkan dunia akan posisinya
sekarang.
Pada tahap
perkembangan politik luar negeri/diplomasi dan propaganda tingkat internasional
di era globalisasi ini merupakan dimensi kehidupan yang sarat dengan pergulatan
kepentingan politik semua negara di dunia. Kasus terkini misalnya, Amerika
Serikat dan Australia yang melakukan penyadapan terhadap negara-negara yang
masuk kategori memiliki potensi kekayaan di bidang tertentu termasuk Indonesia.
Harus diakui bahwa langkah-langkah politik luar negeri yang bertentangan dengan
prinsip keterbukaan merupakan wujud pengkhinatan pada demokrasi yang sebenarnya
mereka agung-agungkan. Para pemimpin Amerika, sibuk mengkampanyekan pentingnya
demokrasi dan demokratisasi di negara-negara yang tidak menerapkan demokrasi
menurut mereka seperti di kawasan Timur Tengah, Afrika, dan beberapa negara di
Asia Tenggara misalnya, ternyata dalam praktik mereka justru bertindak tidak
berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan modern yang demokratis. Maka sebagai
bangsa yang konsisten menjalankan prinsip-prinsip konstitusional dalam negeri
sudah saatnya mempertanyakan apakah metode politik luar negeri negara adidaya
tersebut telah memperhitungkan kepentingan semua pihak atau “politik
propaganda” ini didesain untuk menimbulkan pertentangan politik ideologi atau
bahkan berupaya menciptakan kondisi dunia yang menuju pada arah kekacauan. Jika
diamati dengan cermat, maka apa yang dilakukan Amerika sekarang dalam kasus
penyadapan dan bentuk-bentuk intervensi politik dalam negeri negara lain
atasnama demokrasi, dengan meminjam istilah Lenin, adalah merupakan “semboyan
perbuatan”, dan bukan merupakan “semboyan propaganda”.
*****
Pustaka Bacaan
Asshiddiqie, Jimly, 2004. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika.
----------, 2010. Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
----------, 2011. Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar
Grafika, Edisi Kedua.
----------, 2010. Konstitusi Ekonomi: Ekonomi Pasar, Demokrasi, dan Konstitusi, dalam
“Negarawan”, Jakarta: Jurnal
Sekretariat Negara RI, No. 16 Mei 2010.
Brower, Anthony, 1984. A Guide to Marx’s Capital, Cambridge, Eng; Melbourne.
De Cruz, Peter, 1999. Comparative Law in a Changing World, London-Sydney: Cavendish
Publishing Limited.
Gorbachev, Mikhail, 1987. Perestroika; New Thinking for Our Country and the World, dalam
(terj.), Boesoni Sondakh, Jakarta: P.T. Gelora Aksara Pratama.
Jimung, Martin, 2005. Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah dalam Perspektif Otonomi Daerah, Jakarta:
Pustaka Nusatama.
Wallace, Sir Donald, Mackenzie, 1984. RUSIA: On the Eve of War and Revolution, Princeton
University Press, Princeton, New Jersey.
Mayer, Thomas, Social-Democracy an Introduction, dalam (terj.), Imam Yudotomo, Sosial-Demokrasi dalam Teori dan Praktik, Center
For Social-Democratic Studies (CSDS), Yogyakarta.
Kardelj, Edward, 2001. Socialism and War, Yogyakarta: Tarawang Press.
[1] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi
RI, Jakarta, 2004, hal, 2.
[2] Pengertian-pengertian konstitusi beserta
teori-teori dan praktik dalam berkonstitusi di zaman klasik dan modern dapat
dibaca dalam buku “Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia” terbitan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia atas kerjasama dengan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Dalam buku ini dibahas secara lebih rinci, karena selain
mengangkat beberapa pemikiran klasik maupun gagasan modern mengenai konstitusi
dan konstitusionalisme sebagai suatu pendekatan ilmiah juga secara komprehensif
menjelaskan persoalan-persoalan seputar perkembangan politik dan
perubahan-perubahan sistem bernegara di negara-negara demokrasi modern. Pada
awal bab bukuk ini dijelaskan dengan komprehensif mengenai gagasan konstitusi
yang dilihat dari perspektif historis dan mengandung makna etimologis dan
terminologis yang berusaha menjelaskan sistem hukum dalam konstitusi di
negara-negara modern.
[3] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi: Ekonomi Pasar, Demokrasi, dan Konstitusi, dalam
“Negarawan”, Jurnal Sekretariat Negara RI, No. 16 Mei 2010, Jakarta, hal, 41.
[4] Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi Ekonomi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal, 4.
[5] Ibid,
[6] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Edisi
Kedua, Jakarta, 2011, hal, 129.