Rabu, 29 April 2015

KONSTITUSI RUSIA DALAM PRAKTIK PEMERINTAHAN DEMOKRASI

Oleh : Rahman Yasin


I.   Pengantar

Kata konstitusi berasal dari bahasa Perancis yakni Constituer dan Constitution, yang apabila dipahami maknanya, maka constitutio mempunyai erat kaitannya dengan kata “jus” atau “ius” yang berarti hukum atau prinsip. Dalam perkembangan dunia modern, kata konstitusi yang dijadikan sebagai bahasa rujukan antara lain, bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, Portugis, dan Belanda. Pengertian constitution dalam bahasa Inggris dan Belanda menjadi pembeda dari penggunaan pengertian-pengertian constitution dan grondwet, dan bahasa Jerman membedakan antara verfassung dan gerundgesetz.
Setidaknya ada dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian konstitusi, yaitu ‘politieia’ dari perkataan Yunani kuno dan ‘constitutio’ yang berasal dari bahasa Latin, yang juga berkaitan dengan kata ‘jus’. Baik ‘politieia’ dan ‘constitutio’ itulah yang jadi titik awal lahirnya gagasan konstitusionalisme yang diekspresikan oleh umat manusia dan sekaligus merefleksikan sejarah negara-negara dalam menyusun konstitusi. Dua istilah tersebut, ‘politieia’ merupakan kata yang paling tua dalam sejarah konstitusi. ‘Politieia’ mengandung pengertian mencakup:

“all the innumerable characteristics which determine that state’s peculiar nature, and these include its whole economic and social texture as well as matters governmental in our nerrower modern sense. It is a purely descriptive term, and as inclusive in its meaning as our own use of the word ‘constitution’ and as speak generally of a man’s constitution or of the constitution of matter”.

Namun, dalam bahasa Yunani kuno tidak dikenal istilah yang mencerminkan pengertian ‘jus’ ataupun ‘constitutio’ sebagaimana dalam tradisi Romawi yang datang sesudah ada istilah ‘politiea’. Akan tetapi secara komprehensif boleh dikatakan hampir semua filosof menggunakan kerangka berpikir pada istilah ‘constitution’ seperti yang dimaksudkan sekarang, tidak dikenal. Charles Howard McIIwain dalam bukunya, Constitutionalism: Ancient and Modern (1947) mengatakan, ‘constitution’ di zaman Kekaisaran Romawi (Roma Empire), mula-mula digunakan istilah teknis untuk menyebut “the acts of legislation by the Emperor”. Bersamaan dengan banyak aspek dari hukum Romawi yang dipinjam ke dalam sistem pemikiran hukum di kalangan gereja, maka istilah teknis ‘constitution’ juga dipinjam untuk menyebut peraturan-peraturan eklesiastik yang berlaku di seluruh gereja ataupun untuk beberapa peraturan eklesiastik yang berlaku di gereja-gereja tertentu (eccleasistical province).[1]
Berikut adalah beberapa pengertian yang didefenisikan para pemikir dalam kaitan konstitusi. Charles Howard McIIwain (1947):

“In fact, the traditional notion of constitutionalism before the late enghteenth century was of a set of principles embodied in the institutions of a nation and neither external to these nor in existence prior to them”.

Menurut Sir Paul Vinogradoff:

“The Greeks recognized a close analogy between the organization of the State and the organism of the individual human being. They thought that the two elements of body and mind, the former guided and governed by the latter, had a parallel in two constitutive elements of the State, the rules and the ruled”.

Menurut Aristoteles dalam bukunya Politics paling tidak menjadi titik persinggungan yang mengaitkan pengertian kita pada konstitusi frase “in a sense the life of the city”. Aristoteles menyatakan:

“A constitution (or polity) may be defined as ‘the organization of a politic, in respect of its offices generally in respect of that particular office which is sovereign in all issues”.

Ia juga menyatakan:

“The civic body (the politeuma, or body of persens established in power by the polity) is every where the sovereign of the state; in fact the civic body is the polity (or constitution) itself”.

Menurut Cicero,

“This constitution (haec constitution) has a great measure of aquability without which men can hardly remain free for any length of time”...”Now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (constitutionem rei publicae) is the work of no single time or no single man”.

Bahkan lebih dari itu dalam pengertian bahasa Jerman tentang konstitusi dapat dibedakan pula antara gerundrecht dengan gerundgesetz seperti antara grondrecht dengan grondwet (Belanda).[2] Dalam bahasa Perancis dikenal istilah Droit Constitutionel dalam pengertian luas, dan pengertian secara sempit ialah konstitusi yang tertulis atau Loi Constitutionel yang dalam konteks bahasa Indonesia dapat dipahami menjadi undang-undang dasar dalam arti konstitusi tertulis. Namun demikian, secara harfiah mengandung pengertian hak dasar yang dalam fase-fase perkembangan berikutnya dipahami sebagai hak asasi manusia. Bahkan pada perkembangan implementasi konstitusi di negara-negara seperti dikemukakan diatas secara etimologis maupun terminologis mengalami perubahan berdasarkan tantangan dan tuntutan zaman yang dihadapi negara-negara bersangkutan termasuk Rusia dan Indonesia.
Konstitusi suatu negara mencerminkan sistem ketatanegaraan negara bersangkutan. Sistem ketatanegaraan merupakan konsep dasar yang sekaligus menjadi ideologi suatu negara. Oleh sebab itu, dalam mempelajari konstitusi suatu negara secara otomatis akan diketahui bentuk dari ideologi negara bersangkutan. Negara-negara di dunia modern sekarang telah memiliki konstitusi dan ideologi negara yang jelas dalam rangka menciptakan sistem politik dan sistem pemerintahan dalam bernegara.
Perbincangan mengenai negara konstitusional tidak lepas dari sejarah dan perkembangannya dari suatu negara itu sendiri. Maka setiap peneliti yang menaruh minat pada kajian mengenai konstitusi negara, sesungguhnya tidak sekadar mempelajari atau mendalami suatu aspek saja seperti hanya pada institusi-institusi konstitusional, melainkan menelaah sejarah perkembangan politik dan pergolakan politik, menggali ide atau gagasan-gagasan di suatu negara baik itu peristiwa-peristiwa sosial politik bersifat internal maupun eksternal yang mendorong terbentuknya konstitusional negara. Gagasan politik kesejarahan suatu negara sangat menentukan paradigma politik masyarakat elit yang membentuk pemahaman tentang relevansi perjuangan dalam meneruskan konstitusi masa lalu dalam penerapan konstitusional negara di masa-masa mendatang. Itulah sebabnya konstitusi hukum tata negara dapat pula disebut Constitutional Law. Artinya, dalam sistem hukum tata negara yang paling menonjol adalah konstitusi negara karena konstitusi itu sendiri menggaambarkan selain ideologi juga sistem politik dan pemerintahan.
Dalam persinggungan ilmiah mengenai konstitusional suatu negara maka didalamnya akan membahas mengenai sistem tata negara. Maka di negara manapun ketika ada gerakan reformasi muncul seperti perubahan-perubahan konstitusi selalu menimbulkan dua kekuatan politik yakni antara yang mendukung perubahan dan yang mempertahankan aturan lama atau tidak mendukung perubahan. Hal ini terjadi di semua negara termasuk di Rusia dan Indonesia.
Dalam perspektif konstitusi, pengertian konstitusi menunjukkan identitas bangsa dalam kerangka politik negara yang secara teknis operasional diorganisasikan oleh hukum. Maka gelombang demokratisasi di dunia pada tahap perkembaangannya mengangkat tema-tema perubahan sistem dalam ketatanegaraan. Mengapa perubahan selalu dimulai dari sistem? Hal ini karena dengan perubahan sistem ketatanegaraan, maka baik secara prematur maupun radikal akan mengarah pada perbaikan kualitas kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara.

II.    Sejarah Konstitusionalisme

Apabila ditelaah lebih jauh mengenai teks-teks konstitusi negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda Swiss, Austria, Belgia, Denmark, Finlandia, Irlandia, Luxemburg dan lain-lainnya hampir memiliki kecenderungan yang sama. Kesamaan teks konstitusi dari negara-negara tersebut terlihat dari struktur sosial dan ekonomi yang hampir dipastikan tidak mendapat perhatian yang wajar. Hal ini karena menurut negara-negara ini dianggap tidak masuk dalam klasifikasi aktifitas negara. Kecenderungan ini juga terlihat di negara-negara Asia seperti Jepang yang hampir sama sekali tidak mencantumkan masalah sistem perekonomian. Sedangkan dalam teks konstitusi negara-negara eks Uni Soviet, RRC, Vietnam, Cekoslovakia (sebelum menjadi dua negara Ceko dan Slovakia), Bulgaria, Syria, Iran dan bahkan Republik Federal Jerman (sebelum bergabung dengan Jerman Timur), memuat ketentuan konstitusi mengenai sistem sosial da perekonomian. Dan kenyataan seperti ini diterapkan di negara-negara Komunis.
Sedangkan dalam tradisi Amerika Serikat dan praktik di beberapa negara liberal pada umumnya memahami undang-undang dasar sebagai hukum tertinggi dan konstitusi yang lebih menekankan pada aspek substansi politik semata. Namun bukan berarti tidak ada sama sekali memuat ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan aspek kehidupan lainnya dalam bernegara. Penekanan pada muatan substansi mengenai aspek politik dapat dilihat dari bukunya C.F. Strong berjudul “Modern Political Constitutions” (1962) dan “A History of Modern Political Constitutions” (1963).[3] Karena dalam konstitusi Amerika Serikat juga secara substansial memuat ketentuan-ketentuan lain seperti urusan politik luar negeri, politik dalam negeri, sistem pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah serta ketentuan-ketentuan lain yang memuat semua aspek kehidupan bernegara.
Hal serupa di Uni Soviet-Rusia yang dikenal berideologi sosialis-komunis ini dan dalam praktik berkonstitusi sejak tahun 1918 Uni Sovie-Rusia telah memikirkan secara komprehensif untuk bagaimana merumuskan ide-ide politik luar negeri yang konstruktif dalam rangka menciptakan iklim pergaulan internasional yang lebih baik. Uni Soviet-Rusia merupakan negara komunis yang sejak tahun 1918 bahkan jauh sebelum itu pun sudah mulai memikirkan tentang formula konsep konstitusi yang ideal dan memiliki kemampuan ideologis dalam memperkuat nilai-nilai konstitusi yang merupakan warisan pemikiran generasi terdahulu.
Apabila dilihat dari dimensi sejarah, misalnya, Rusia merupakan negara sosialis-komunis pertama di Eropa Timur yang melakukan penataan sistem ketatanegaraan dalam negaranya dengan memasukan ketentuan-ketentuan mengenai sistem perekonomian nasional. Dan kita tahu bahwa, sistem ekonomi nasional suatu negara merupakan salah satu cermin dari orientasi tujuan bersama dalam bernegara sehingga dalam tataran pergulatan ideologi global di semua negara termasuk Rusia merasa penting untuk diperkuat dengan dasar nilai-nilai kebangsaan yang ada dalam negeri Rusia.
Dengan demikian, bila Jerman yang menganut paham liberalisme saja mengadopsi ide-ide pengaturan prinsip-prinsip kebijakan ekonomi dalam negerinya bahkan sejak tahun 1919, Jerman telah memasukan rumusan-rumusan yang menjadi ketentuan dalam undang-undang dasar lewat apa yang disebut konstitusi Weimar, maka Rusia sebagai negara yang menganut paham sosialis-demokrat adalah merupakan negara pertama di kawasan Eropa Timur yang memasukan ide-ide mengenai pengaturan sistem politik luar negeri, dan ekonomi dalam berkonstitusi yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain seperti Irlandia. Tradisi melakukan konstitusionalisasi kebijakan politik luar negeri dan ekonomi Irlandia ini terlihat melalui konsep “Directive Principles Social Policy” of (DPSP) pada tahun 1937 yang dalam perjalanan berikut diikuti negara-negara non-komunis.
Dalam konteks kajian pergolakan dan perkembangan ideologi modern di dunia terutama dilihat dari aspek pergulatan ideologi politik dan ekonomi global, sesungguhnya dapat kita lihat bagaimana semua negara di dunia sudah mulai memikirkan untuk melakukan gerakan restorasi undang-undang dasar di masing-masing negara termasuk Rusia. Rusia bahkan lebih dipahami sebagai negara sosialis-komunis modern yang pada tahun 1993 melalui gejolak dalam negeri yang menyebabkan krisis konstitusional. Krisis konstitusional umumnya bergerak melalui pergulatan ideologi politik baik dipengaruhi oleh pihak luar atau dalam arti gerakan politik negara lain yang berusaha mengacaukan negara tersebut maupun gejolak politik dalam negeri. Rusia pada tahun 1999 melalui federasi Rusia yang baru di bawah kepemimpinan Presiden Yeltsin misalnya, mengalami tekanan-tekanan politik dalam negeri sebagai akibat transformasi ide-ide konstitusi dalam negeri yang dianggap sebagian kalangan tidak sesuai lagi dengan ideologi negara.

III.         Makna Konstitusi dalam Pemerintahan Modern

Dalam kamus hukum bahasa Inggris misalnya, pengertian konstitusi juga dalam arti luas adalah Oxford Dictionary of Law, perkataan “constitution” yang diartikan sebagai the rules and practices that determine the composotion and functions of the organs of the central and local government in a state and regulate the relationship between individual and the state, yang apabila diartikan secara umum mengandung pengertian-pengertian sebagai berikut: (a) yang dinamakan konstitusi itu tidak saja (i) aturan yang tertulis, tetapi juga (ii) praktik-praktik, yaitu apa yang dikerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan negara; dan (b) yang diatur itu tidak saja berkenaan dengan (i) organ negara beserta komposisi dan fungsinya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat pemerintahan daerah (local government), tetapi juga (ii) mekanisme hubungan antarnegara atau antara organ-organ satu sama lain, dan (iii) hubungan antara organ-organ negara dengan warga negara.[4]
Meski semua pengertian diatas menunjukkan persamaan-persamaan substansial namun yang perlu dipahami adalah bahwa dalam praktik-praktik kehidupan sosial terlebih kehidupan bernegara walau tidak dalam pengertian tertulis tetapi praktik-praktik yang menunjukkan adanya sesuatu yang ada relasinya dengan tindakan hukum tetap dipahami dalam pengertian konstitusi atau lazim dikenal konstitusi yang tidak tertulis (ongescheven constitutie, unwritten constitution). Dari pengertian inilah kemudian muncul pengertian lain seperti constitutional convention atau konvensi ketatanegaraan yang bersifat tidak tertulis. Dalam hukum tata negara, konvensi-konvensi ini dianggap sebagai sumber hukum tata negara disamping undang-undang dasar dan peraturan perundang-undangan yang tertulis.[5]
Semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian. Hal ini karena kekuasaan merupakan salah satu sarana yang paling efektif dalam instrumen politik demokrasi untuk merumuskan tujuan-tujuan politik termasuk perjuangan ideologi-ideologi yang berkembang dalam negara. Maka kekuasaan politik dalam bernegara yang menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dibutuhkan suatu sistem dan mekanisme yang diatur melalui konstitusi seperti pembatasan masa jabatan kekuasaan. Inilah salah satu makna Constitutions, menurut Ivo D. Duchacek, “indentify the sources, purposes, uses and restraints of public power” (mengidentifikasikan sumber-sumber, tujuan-tujuan, penggunaan-penggunaan dan pembatasan-pembatasan kekuasaan umum). Konstitusionalisme sebagaimana digambarkan Friedrich, diartikan sebagai “an institutionalised System of effective, regularised restraints upon governmental actian (suatu sistem yang terlembagakan menyangkut pembatasan yaang efektif dan teratur terhadap tindakan-tindakan pemerintahan.
Dalam konteks pemahaman sebagaimana dikemukakan diatas, maka semua kegiatan-kegiatan pemerintahan yang dianggap penting dalam setiap konstitusi merupakan suatu sistem yang mengatur mengenai pengawasan terhadap pembatasan-pembatasan kekuasaan. Pemerintahan demokratis hendaknya dikontrol baik oleh lembaga negara yang berwenang maupun masyarakat. Dengan pengawasan yang baik pada semua kebijakan-kebijakan pemerintah maka secara efektif tidak menimbulkan praktik penyalahgunaan jabatan dan wewenang selama rezim berkuasa. Oleh sebab itu, pengawasan kebijakan pemerintah selain dilakukan oleh parlemen secara resmi yang diberi wewenang konstitusi melakukan pengawasan (check and balances) maka pengelolaan negara akan berjalan lebih baik. Tetapi sebaliknya, bila suatu pemerintahan di negara demokrasi sekalipun tidak diawasi dengan mekanisme aturan, maka kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan, jabatan, dan wewenaang saangat tinggi. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan Lord Acton, “Power tents to corrupt and absolute power to corrupt absolutely (kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang kuat pasti korup).
Dalam praktik di negara-negara modern sekarang termasuk Rusia, penerapan sistem hukum ketatanegaraan (Constitutiona Law) sejalan dengan kebangkitan era konstitusionalisme dalam sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Itulah sebabnya mengapa konstitusionalisme di setiap negara dan tak terkecuali Rusia menjadikan sistem hukum tata negara dalam kerangka perbaikan dan penataan-penataan pemerintahan berbasis good governance. Sistem hukum ketatanegaraan menjadi konsep ilmiah yang menjadi sumber pengaturan kehidupan dalam kenegaraan. Artinya, semua arah kebijakan negara didasarkan pada konstitusi. Maka pembatasan kekuasaan pemerintahan negara juga memerlukan pengaturan yang komprehensif dalam konstitusi. Kekuasaan atas orang atau kekuasaan atas benda.
Dan konsep penataan kekuasaan baik atas orang maupun benda telah lama ditumbuhkembangkan bahkan sejak zaman Romawi kuno. Pada zaman Romawi kuno, dibedakan dalam konsep “imperium” versus “dominium” yang merupakan konsep mengenai “the rule over things by the individuals”, sedangkan “imperium” merupakan konsep mengenai “the rule over all individuals by the prince”. Perbandingan tersebut terus dikembangkan dalam perkembangan sejarah sampai pada zaman sekarang, bahkan dalam perspektif pengertian yang ilmiah tersebut dilembagakan dalam kajian ilmu hukum lewat pembedaan antara konsep hukum publik dan hukum privat (rule of law and the rule of ethics).

IV.Konstitusional Rusia dan Ide Negara Modern

Secara historis dapat diketahui bahwa negara Uni Soviet dalam mendirikan institusi politiknya tidak mengakui metode konstitusionalisme yang dikembangkan Barat. Uni Soviet merupakan negara yang menerapkan sistem federal. Hal ini bisa pula dilihat dalam konstitusi Stalin tahun 1936 yang secara konsepsional dan substansial memuat aturan-aturan yuridis formal mengenai bentuk negara federal. Fakta yang tak terbantahkan adalah negara bekas Uni Soviet Yugoslavia yang pada tahun 1946 yang dalam perkembangan terbarunya melakukan modifikasi konstitusi dalam negeri yang secara konsepsional dan substansial masih saja mendasarkan pada prinsip-prinsip konstitusional Uni Soviet.
Memang dari perspektif kesejarahan, bahwa keotentikan konstitusi Soviet tahun 1918 merupakan konstitusi yang didesain dengan konstruktif berdasarkan geo-politik internal dalam negara dan perkembangan politik luar negeri yang ada, namun konstitusi Soviet yang dirancang Lenin sesungguhnya hanya diterapkan untuk daerah Rusia di Eropa atau yang dikenal dengan Russian Soviet Federated Socialist Republic (R.S.F.S.R.).
Seiring bersamaan dengan transisi “reunifikasi” tahun 1923, maka pada fase “praunifikasi” bahkan termasuk salah satunya adalah Ukraina yang boleh dikatakan sukses melakukan gerakan revolusi Soviet dan tergabungnya republik-republik Soviet ke dalam Uni Republik-republik Soviet Sosialis yang sebelumnya di daerah-daerah dalam wilayah sudah terbentuk melalui Kekaisaran Rusia lama, baik di Eropa maupun Asia, konstitusi Rusia ini secara eksplisit dan implisit menyebutkan kekuasaan otoritas federasi dan sisanya dilimpahkan pada republik-republik federasi. Namun konstitusi Lenin ini kemudian diganti dengan konstitusi rancangan Stalin yang kemudian diadopsi oleh Kongres Soviet Seluruh Uni di Moskow pada tahun 1936.
Pada era modern mulai terlihat sistem sosialis yang diterapkan di negara-negara kawasan Eropa mulai mengalami keruntuhan yang dalam praktik nyata seperti tidak lagi menjadi peranan yang dominan yang setara dengan hukum asal civil law dan common law. Bila peran sosialis di Eropa pada zaman sebelumnya terlihat begitu kuat dan dominan bagi sebagian besar wilayah Eropa Timur, tetapi pada perkembangan modern justru mengalami krisis hebat. Sedangkan di Rusia malahan sebaliknya, sistem sosialis yang menjadi bentuk dan prototipe sistem negara komunis ini melainkan makin kuat. Dengan model Rusia sebagai negara dengan paham sosialis-komunis tersebut maka konsep hukum sosialis ini kemudian mengalami perkembangan yang cukup prospek bahkan telah menjadi minat kajian ilmiah oleh para pemikir intelektual.
Rusia memang memiliki sedikit perbedaan sistem pemerintahan dengan Inggris dan Amerika Serikat. Jika di Inggris dikenal sebagai negara dengan sistem pemerintahan negara kesatuan, akan tetapi pemerintahannya tidak semuanya tersentralisasi di London. Jauh sebelum tahun 1972 di Inggris diperkirakan sekitar 12.000 ‘self governing local outhorities’. Namun tahun 1972 pemerintah menetapkan pemberlakuan undang-undang Pemerintahan kemudian untuk England dan Wales struktur pemerintahan daerahnya diatur kembali menjadi lebih efektif dan efisien. England dibagi menjadi 6 metropolitan counties, 39 nonmetropolitan counties dan Greater London. Selanjutnya Metropolitan districs. Non metropolitan counties terbagi jadi 296 non metropolitan districts dan di bawah ketuanya dibagi lagi jadi parish. Sedangkan greator London hanya terbagi menjadi 32 borought of London dan city of London. Sementara Wales dibagi menjadi 8 counties yang selanjutnya ke bawah menjadi 37 districts yang terbagi ke dalam communities. Yang menjadi alasan perubahan sistem jadi local self government atau sistem pemerintahan daerah sendiri di Inggris salah satunya ialah efisiensi dan kebebasan yang lebih leluasa bagi daerah untuk menciptakan kreatifitas dalam pengelolaan hasil kekayaan daerah.
Sedangkan Amerika Serikat memiliki sistem pemerintahan negara bagian, pemerintahan kota dan pemerintahan daerah. State Government Amerika Serikat, maka negara adidaya ini memiliki sistem pembagian dan pemisahan kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Adapun ciri pemerintahan negara bagian ini terlihat dari legislatif bicameral yakni Senat dan lembaga perwakilan. Senat mempunyai ketua Wakil Gubernur dan badan perwakilan mempunyai seorang ketua yang dipilih secara demokratis. Sedangkan pemerintahan kota dengan negara bagian memiliki hubungan dengan negara bagian dan pemerintahan federal. Dan sistem pemerintahan daerah di tingkat kabupaten yang terdiri dari dua distric atau lebih dan sejumlah kampung atau desa.
Dalam karya Montesquieu berjudul De I’Esprit des Lois, dikatakan setiap bentuk pemerintahan terdapat tiga kekuasaan. Tiga kekuasaan ini yang memiliki peran dan fungsi baik dalam membuat undang-undang dan cabang kekuasaan yang menjalankan hukum yang berkaitan dengan hukum bangsa-bangsa (law of nations), maupun hukum sipil (civil law). Cabang kekuasaan pertama membuat hukum yang disebut legislatif, dan cabang kedua yaitu eksekutif yakni yang bertugas melaksanakan hukum dan cabang ketiga yudikatif yang bertugas mengeksekusi perintah hukum yang berkaitan dengan perselisihan dan persengketaan baik antara warganegara dengan negara maupun sesama antara warganegara.
Senada dengan Montesquieu adalah Jhon Locke yang apabila ditelaah sesungguhnya substansi pemikiran soal ini sama hanya berbeda dalam penggunaan istilah dan susunan saja. Locke mengatakan bahwa kekuasaan itu ada tiga, yaitu kekuasaan membuat hukum (legislatif), kekuasaan federatif, dan kekuasaan yang ditugaskan menjalankan hukum (eksekutif). Dalam perspektif ini, Montesquieu menempatkan kekuasaan eksekutif pada posisi kekuasaan federatif, dan menempatkan kekuasaan yudikatif pada posisi kekuasaan eksekutif atau kekuasaan ketiga dalam pemikiran Jhon Locke. Namun demikian kedua pemikiran tersebut tidak menjadi perdebatan ilmiah yang kontroversial karena kedua pemikiran tersebut dalam perkembangan sistem pemerintahan demokrasi modern yang memerlukan suasana kontrol kebijakan (check and balances) tetap digunakan termasuk di Indonesia yang dikembangkan adalah apa yang dikemukakan Montesquie yakni sistem kekuasaan yang terdiri dari legialatif, eksekutif, dan yudikatif (Trias Politica).
Dalam konteks konstitusi Rusia, Rusia memiliki sistem kekuasaan yang meliputi seluruh dimensi kehidupan bermasyarakat, yakni konstitusi yang mengatur tentang agama, budaya, seni, sastra, ekonomi, politik dalam dan luar negeri dan lain-lain yang dengan demikian Rusia yang merupakan warisan Uni Soviet ini menerapkan sistem totaliter. Dengan landasan berpikir dalam bernegara yang menekankan pada aspek konstitutionalisme maka Rusia sesungguhnya merupakan salah satu negara modern di dunia yang dengan pemerintahnnya hampir mempunyai sarana dan hak memiliki produksi, distribusi, transaksi ekonomi yang teratur antara negara dan swasta sehingga dalam tataran implementasinya, negara ini tidak mengharuskan atau sederhanya tidak mempekerjakan orang lain dalam hal produksi. Dalam konteks ini, maka dapat dipahami bahwa negara Rusia modern merupakan negara yang bisa dikatakan menggunakan ideologi Marx-Lenin (sosialis-komunis).
Akar pemikiran Karl Max dan Leninis tentang gerakan sosialisme dalam kehidupan masyarakat modern sebagai komunitas suatu negara yang hidup bersama dan di bawah pengendalian pemerintah konstitusional dalam kaitannya dengan sistem ekonomi politik yang digambarkannya sebagai sebuah aturan golongan yang terdiri atas perencanaan sentral dan kepemilikan negara atas sarana-sarana produksi. Dalam perspektif ini, Karl Max sebagaimana yang dikutip Anthony Brewer, dalam karyanya A Guide to Marx’s Capital (1984) mengatakan: “Kerja produktif dinyatakan sebagai kerja yang menghasilkan nilai lebih. Setiap orang yang melakukan sesuatu fungsi yang diperlukan dalam produksi adalah bagian dari “pekerja kolektif” dan bersifat produktif. Walaupun, tidak dapat diidentifikasi nilai-pakai apa yang dihasilkan orang-orang secara individual. Di pihak lain, seorang pekerja hanyalah produktif bagi kapital, makalah ia menghasilkan nilai lebih. Bagi Marx, nilai-nilai absolut dan relatif hanya dapat dibedakan jika kita memperhatikan perubahan pada rate nilai lebih. Nilai lebih tidak akan ada, makalah kondisi alam sedemikian rupa, sehingga para pekerja hanya memproduksi tidak lebih dari apa yang mereka butuhkan untuk menyambung kehidupan mereka. Kondisi alam yang menguntungkan tidak perlu mendorong adanya eksploitasi sama sekali... selanjutnya ia membantah teori Ricardo dan Mill, karena keduanya mengacaukan produksi nilai pakai dan nilai-lebih. Yang karena itu mereka mengabaikan adanya hubungan-hubungan sosial spesifik sebagai watak dari kapitalisme.”
Jika ditelaah lebih komprehensif, ide Marx mengenai keadilan dalam negara tidaklah beridiri sendiri atau berangkat dari angan-angan hampa yang tanpa spirit perubahan sosial di zamannya atau seperti yang dituduhkan oleh mereka yang menentang ide dasar Marx seakan-akan dibuat stigma bahwa Marx hanya mimpi di siang hari dalam membangun ide perubahan sosial dan bertolak belakang dengan pemahaman masyarakat umum, ternyata pada fase-fase berikutnya, perkembangan ide perubahan sosial mendapat respon positif dari dunia pemikiran sosial kebudayaan. Hal ini karena menjadi wajar manakalah masyarakat kapitalisme beralih menuju ke sosialisme.
Dalam konteks ini, Edvard Kardelj dalam bukunya Socialism and War, mengatakan bahwa Marx menyukai mekanisme pembayaran-pembayaran dengan menggunakan benda daripada dengan menggunakan mata uang, bahkan ketika itu ia memprediksi bahwa dalam komunisme mata uang akan hilang karena menurutnya hal itu disebabkan oleh suatu pendekatan pembayaran dengan pencatatan bebas sesuai kebutuhan-kebutuhan. Oleh karena itu, baik sistem pembayaran-pembayaran dengan benda maupun penyamarataan langsung melalui cara penyatuan negara, jelas tidak bisa memberi kontribusi ke arah akselerasi pengembangan ideologi komunisme. Marx bahkan berpendapat, dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut secara langsung akan menghambat proses percepatan komunisme karena sistem ini digunakan sebagai rem bagi akselerasi kekuatan-kekuatan produksi dan kekuatan-kekuatan produktivitas buruh. Padahal tema yang tengah ramai diperbincangkan masyarakat dunia ialah mengenai “kesadaran sosialis” dalam bentuk abstrak, yang asing bagi landasan-landasan material dan penggerak-penggerak utama dari bentuk ini, tidak lain hanya merupakan sedu-sedan idealistis yang wajar dan tak bermakna.
Dalam kerangka ini Marx mengatakan, perubahan tersebut merupakan periode pertama dalam sejarah paling bawah dengan masyarakat komunis. Masyarakat komunis yang dilihat dari penjelasan ilmiahnya tentang cara-cara produksi yang tidak mendeterminasikan kepemilikan khusus individu-individu tetapi kepemilikan bagi seluruh masyarakat. Pada periode ini menurutnya keadilan dan persamaan dalam aspek sosial dan ekonomi belum bisa diharapkan. Ketidakseimbangan negara memperlakukan warganya berdasarkan hasil keringat. Di satu sisi eksploitasi manusia mengalami penurunan tetapi pada sisi lain distribusi barang-barang komsumsi secara kontinyu digerakan dengan berdasarkan jumlah kerja yang dilakukan oleh orang-orang.
Dengan demikian, pemerintahan Rusia modern sekarang yang bercirikan pada Soviet tertinggi dan menjadi organ kekuasaan negara tertinggi yakni badan legislatif dengan dua kamar antara lain: (1) Soviet of the Union, dengan sistem keanggotaan yang dipilih oleh warga Uni Soviet melalui distrik-distrik pemerintahan dengan berdasarkan jumlah penduduk, dan (2) Soviet of the Nationalities, yang menggunakan sistem pemilihan keanggotaan melalui perbandingan tertentu hendaknya menjadi sebuah model pemerintahan demokrasi modern yang mengedepankan aspek kualitas kehidupan bermasyarakat Rusia pada abad modern sekarang bagi perkembangan demokratisasi di dunia.
Soviet tertinggi memilih sebuah Presidium yang merupakan suatu kepresidenan kolektif yang terdiri dari 1 orang ketua, 1 orang sekretaris, 15 wakil ketua dan 18 anggota. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh dewan menteri yang dipilih oleh Soviet tertinggi dengan sistem Presidium. Dengan demikian, Presidium memiliki otoritas untuk mengganti anggota dewan menteri. Dalam membuat undang-undang, Presidium dan dewan menteri diberi kekuasaan termasuk dekrit dan peraturan dan oleh sebab itu kedua institusi inilah yang bertanggungjawab pada Soviet tertinggi. Badan eksekutif dan administratif secara formal boleh dikatakan bagian dari dewan menteri yang diketuai oleh seorang menteri yang berasal dari partai komunis. Sedangkan badan kehakiman tertinggi dan jaksa agung dipilih dan diberhentikan oleh Soviet tertinggi.
Rusia modern memiliki sistem pemerintahan daerah. Krais, Oblast, Daerah Otonomi, Okrug, Raiyon, merupakan perwujudan dari komite-komite dan departemen-departemen termasuk badan administrasi negara atau kota-kota distrik dan desa yang ada di daerah-daerah. Untuk komite dan departemen diberi tanggungjawab di bidang ekonomi, politik dan sosial budaya di masing-masing wilayah tugasnya.
Szabo misalnya, dalam karyanya ‘International Encyclopedia of Comparative Law’ hal. 49), dikatakan, bahwa konsep hukum sosialis dianggap sebagai bagian dari sebuah teori ilmiah yang homogen dan mempunyai tujuan tersendiri. Tujuan yang merupakan hasil ciptaan dari sebuah sistem hukum baru---hukum sosialis. Sedangkan Quigley (1989) menggambarkan, hukum sosialis sebagai ‘hukum dari negara-negara yang perintahnya secara resmi memandang negara-negara tersebut sebagai sosialis atau sedang bergerak dari kapitalisme menuju sosialisme, dan yang menganggap sebuah masyarakat komunistik sebagai tujuan puncaknya’. Dan Cristine Sypnowich dalam pengantar bukunya berjudul The Socialist Conpept of Law (1991) mendefenisikan ‘sosialisme’ sebagai sebuah masyarakat di mana hak kepemilikannya privat dalam bentuk modal telah dhilangkan dan digantikan dengan kepemilikan bersama atas sarana-sarana produksi dengan tujuan kesetaraan sosial. Oleh karena itu dalam sistem dan struktur masyarakat yang heterogen dan menganut paham ideologi sosialis tetap membutuhkan hukum sebagai pengatur dalam kehidupan bernegara. Namun demikian, apapun sistem pemerintahan di negara-negara di dunia modern sekarang ini, sistem demokrasi merupakan konsep yang boleh dianggap paling efektif daripada sistem pemerintahan lainnya yakni sistem-sistem yang ada seperti sistem aristokrasi, demokrasi, oligarki, dan despotisme.
Plato menekankan pendapatnya mengenai pemerintahan negara sebaiknya di bawah kendali orang-orang yang dianggap paling bijaksana. Orang-orang paling bijaksana dalam mengendalikan pemerintahan itulah yang mencerminkan pemerintahan ideal. Para pemimpin yang memiliki kemampuan dan kecerdasan intelektual serta kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual atau dalam istilah Plato disebut sebagai pemimpin-pemimpin yang filosof. Dan dalam perspektif ini, Plato sebenarnya secara substansial dan konsepsional mengajukan konsep aristokrasi sebagai sistem pemerintahan yang utama, yang sedikit, namun sekaligus memiliki muatan bijaksana.

V.  Prinsip Negara Hukum

Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani Kuno. Plato, pada awalnya dalam the Republic berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara-negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan. Untuk itu, kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan, yaitu seorang filosof (the philosopher). Namun, dalam bukunya the Statesman dan the Law, Plato menyatakan bahwa yang dapat diwujudkan adalah bentuk paling baik kedua (the second best) yang menempatkan supremasi hukum. pemerintahan yang mampu mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh hukum.[6]
Plato (429-347) dengan merajut konsepsi negara utopia, mengatakan bahwa kebutuhan dasar manusia yang pertama adalah tempat tinggal, seperti makhluk hidup lainnya. Kebutuhan dasar manusia yang kedua ialah kebutuhan akan pakaian, dan selanjutnya hidup dalam interaksi sosial selaku makluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Selain kebutuhan hidup berupa tempat tinggal, pakaian, dan lain-lain yang menjadi kebutuhan primer maupun sekunder manusia juga membutuhkan kerjasama dalam kehidupan yang kemudian melahirkan sikap gotong-royong, toleransi, menciptakan lapangan pekerjaan di bidang tertentu yang hingga memunculkan petani, tukang bangunan, tukang tenun dan tukang sepatu. Dan semua profesi yang ada tersebut jelas dalam perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi memerlukan keterampilan dengan alat-alat tertentu.
Tujuan negara selain menciptakan keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat juga memberikan ketertiban dan kerukunan antarmanusia dalam kehidupan. John Locke (1632-1704) dalam kaitan ini mengatakan: “The state of nature has a law of nature to govern it, which obliges everyone, and reaseon, which is that law, teaches all mind kind who will but consult it that being all equal and independent no one ought to harm anather in his life, health, liberty or possessions ...” Dengan demikian pemerintah sebagai pemegang amanat kedaulatan rakyat dipercaya untuk menjalankan roda organisasi yang dibentuk dalam pemerintahan (gecommiteerde). Maka dalam konsep pemerintahan demokratis rakyatlah yang berdaulat dalam pemerintahan dan pemerintah hanyalah merupakan “simply and solely a commission, an employment, in which the rules, mere official of the sovereign, exercise in their own name the power of which it makes them depositories.”.
Dalam sistem demokrasi modern, sistem kekuasaan dibedakan dalam tiga wilayah, yaitu negara (state), pasar (market), dan masyarakat (civil society). Ketiga domain kekuasaan ini mempunyai logika dan hukum-hukumnya sendiri. Ketiganya diidealkan harus berjalan seiring dan sejalan, sama-sama kuat dan sama-sama saling mengendalikan satu sama lain, namun tidak saling mencampuri atau dicampuradukan.
Bila kekuasaan negara melampaui kekuatan masyarakat (civil society) dan pasar (market), demokrasi dinilai tidak akan tumbuh karena terlalu didikte dan dikendalikan oleh kekuasaan negara. jika kekuasaan pasar (market) terlalu kuat, melampaui kekuatan ‘civil society’ dan negara, berarti kekuatan uanglah atau kaum kapitalislah yang menentukan segalanya dalam peri kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebaliknya, bila yang dominan adalah kekuasaan masyarakat (civil society), sedangkan negara dan pasar lemah, maka yang terjadi adalah kehidupan bersama yang ‘chaos’, ‘messy’ ‘government-less’, yang berkembang tanpa arah yang jelas. Karena itu yang dianggap paling ideal untuk demokrasi adalah apabila ketiga wilayah kekuasaan ini tumbuh secara seimbang, sama-sama saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain dalam hubungan yang fungsional dan sinergis.

VI.Pendekatan Baru untuk Memahami Rusia yang Konstruktif

Mikhail Gorbachev dalam bukunya Perestroika, New Thinking for Our Contry and the World, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Boesoni Sondakh (1987: hal, 199), menyatakan sebagai berikut: “Orang mungkin mengatakan bahwa pemikiran politik baru masih sedang mencari dengan susah payah tempatnya dalam dunia politik. Memang hal itu benar. Sebagian mungkin mengatakan bahwa kelambaman cara berpikir lama masih lebih kuat dibandingkan dengan kecenderungan baru itu. Hal ini juga ada benarnya. Namun begitu, masalah utamanya adalah bahwa tugas berat meletakkan dasar bagi pembentukan kembali hubungan internasional sudah dikerjakan. Dan kami yakin bahwa dunia akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik”. “Keadaan sedang berubah.”
Berangkat dari perbincangan-perbincangan diatas mengenai konstitusi dan konstitusionalisme negara-negara di dunia modern sekarang, secara khusus konstitusi Rusia yang modern, maka hemat saya Rusia sebagai negara modern tidak ada jalan lain selain membangun dan terus memperkuat basis nilai-nilai kultural yang menjadi identitas Rusia sebagai pedoman dalam berbangsa dan bernegara baik dalam perspektif internal Rusia sendiri maupun dalam konteks pergaulan internasional. Rusia merupakan negara yang memiliki rekam jejak kesejarahan yang sangat dikagumi dunia. Dan tugas utama pemerintahan Rusia sekarang ialah bagaimana memikirkan secara komprehensif untuk bangkit dan kembali meraih kejayaan yang pernah dimiliki.
Hubungan tingkat persahabatan antar negara-negara di dunia hendaknya dilandaskan pada prinsip-prinsip konstitusi Rusia yang modern. Gelombang demokrasi dan demokratisasi telah menembus hingga ke negara-negara terbelakang yang semula menganut sistem otoriter. Kemajuan peradaban dunia terutama di bidang ekonomi dan politik telah memastikan negara-negara di dunia berkompetisi secara bebas sehingga demokrasi yang dalam tataran implementatif selain menjadi solusi namun dalam kondisi tertentu kerap memicu konflik politik internal dan eksternal hendaknya menjadi pelajaran bagi negara-negara modern dan tak terkecuali Rusia.
Proses pertarungan ideologi negara-negara maju dan berkembang terus berjalan, Rusia sebagai negara sosialis-komunis yang modern harus mengambil peran strategis dan memastikan dapat memberikan kontribusi yang konstruktif dalam perkembangan peradaban dunia. Sejalan dengan pemikiran-pemikiran ini sebenarnya Mikhail Gorbachev telah mengkampanyekan beberapa visi masa depan Soviet ketika itu. Ia mengatakan:  “Meski Soviet mendasarkan kebijakan pada cara berpikir baru, namun kami tidak berniat memaku diri kami pada gagasan kami yang biasa dan pada paham politik yang merupakan ciri kami. Kami tidak berniat sama sekali mengajak setiap mengikuti Marxisme. Pemikiran politik baru dapat dan harus menyerap pengalaman dari semua bangsa dan memastikan penyuburan dan pertemuan bersama berbagai tradisi kebudayaan. Inti gagasan ini ialah bagaimana mengutamakan Dialog sebagai pendekatan baru yang konstruktif dan komprehensif dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa dan dunia. Dengan konsep dialog pertentangan ideologi-ideologi modern---komunis, sosialis, sosial demokratis, kapitalisme, liberal, dan konservatif dapat terpecahkan. Dialog ajang belajar yang hebat bagi kami. Dialog dapat membantu membentuk dan memperkuat hubungan internasional yang beradab yang begitu penting dalam dunia modern”.
Rusia modern dan tetap memegang teguh prinsip kemajuan yang berperadaban harus menjadi agenda pembangunan nasional Rusia. Rusia harus kembali kepada pengertian orisinal konstitusinya dengan terus membuka dan memperbaiki diri dalam kontak-kontak internasional. Tetap berpedoman pada konstitusi Rusia dengan tetap melakukan politik luar negeri yang jujur dan terbuka. Politik luar negeri yang mengedepankan kejujuran, kesopanan, ketulusan hati dan senantiasa mematuhi prinsip-prinsip konstitusi dalam semua tindakan sebagaimana diwariskan Lenin.
Rusia modern hendaknya memikirkan dan menciptakan suasana hubungan diplomasi luar negeri yang sehat. Mendorong parlemen dan pemerintah Rusia menjadi peserta aktif dalam kontak internasional karena dalam suasana demokrasi sekarang sudah menjadi suatu keniscayaan. Metode diplomasi seperti dikatakan Mikhail Gorbachev yakni, metode diplomasi warga negara dan bukan akal muslihat. Bahkan ia mengatakan bahwa keadaan internalnya membawah pada suatu kesadaran bahwa keseluruhan beban perlombaan senjata dan kemungkinan-kemungkinan konsekuensi konflik internasional terletak di pundak rakyat.  Maka bagaimana pemimpin-pemimpin Rusia termasuk Duta Besar Rusia untuk Indonesia memikirkan dan menjelaskan serta meyakinkan dunia akan posisinya sekarang.
Pada tahap perkembangan politik luar negeri/diplomasi dan propaganda tingkat internasional di era globalisasi ini merupakan dimensi kehidupan yang sarat dengan pergulatan kepentingan politik semua negara di dunia. Kasus terkini misalnya, Amerika Serikat dan Australia yang melakukan penyadapan terhadap negara-negara yang masuk kategori memiliki potensi kekayaan di bidang tertentu termasuk Indonesia. Harus diakui bahwa langkah-langkah politik luar negeri yang bertentangan dengan prinsip keterbukaan merupakan wujud pengkhinatan pada demokrasi yang sebenarnya mereka agung-agungkan. Para pemimpin Amerika, sibuk mengkampanyekan pentingnya demokrasi dan demokratisasi di negara-negara yang tidak menerapkan demokrasi menurut mereka seperti di kawasan Timur Tengah, Afrika, dan beberapa negara di Asia Tenggara misalnya, ternyata dalam praktik mereka justru bertindak tidak berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan modern yang demokratis. Maka sebagai bangsa yang konsisten menjalankan prinsip-prinsip konstitusional dalam negeri sudah saatnya mempertanyakan apakah metode politik luar negeri negara adidaya tersebut telah memperhitungkan kepentingan semua pihak atau “politik propaganda” ini didesain untuk menimbulkan pertentangan politik ideologi atau bahkan berupaya menciptakan kondisi dunia yang menuju pada arah kekacauan. Jika diamati dengan cermat, maka apa yang dilakukan Amerika sekarang dalam kasus penyadapan dan bentuk-bentuk intervensi politik dalam negeri negara lain atasnama demokrasi, dengan meminjam istilah Lenin, adalah merupakan “semboyan perbuatan”, dan bukan merupakan “semboyan propaganda”. 

*****




Pustaka Bacaan


Asshiddiqie, Jimly, 2004. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
----------, 2010. Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
----------, 2011. Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika, Edisi Kedua.
----------, 2010. Konstitusi Ekonomi: Ekonomi Pasar, Demokrasi, dan Konstitusi, dalam “Negarawan”, Jakarta: Jurnal Sekretariat Negara RI, No. 16 Mei 2010.
Brower, Anthony, 1984. A Guide to Marx’s Capital, Cambridge, Eng; Melbourne.
De Cruz, Peter, 1999. Comparative Law in a Changing World, London-Sydney: Cavendish Publishing Limited.
Gorbachev, Mikhail, 1987. Perestroika; New Thinking for Our Country and the World, dalam (terj.), Boesoni Sondakh, Jakarta: P.T. Gelora Aksara Pratama.
Jimung, Martin, 2005. Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah dalam Perspektif Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Nusatama.
Wallace, Sir Donald, Mackenzie, 1984. RUSIA: On the Eve of War and Revolution, Princeton University Press, Princeton, New Jersey.
Mayer, Thomas, Social-Democracy an Introduction, dalam (terj.), Imam Yudotomo, Sosial-Demokrasi dalam Teori dan Praktik, Center For Social-Democratic Studies (CSDS), Yogyakarta.
Kardelj, Edward, 2001. Socialism and War, Yogyakarta: Tarawang Press.








[1]  Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2004, hal, 2.
[2]  Pengertian-pengertian konstitusi beserta teori-teori dan praktik dalam berkonstitusi di zaman klasik dan modern dapat dibaca dalam buku “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia” terbitan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atas kerjasama dengan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dalam buku ini dibahas secara lebih rinci, karena selain mengangkat beberapa pemikiran klasik maupun gagasan modern mengenai konstitusi dan konstitusionalisme sebagai suatu pendekatan ilmiah juga secara komprehensif menjelaskan persoalan-persoalan seputar perkembangan politik dan perubahan-perubahan sistem bernegara di negara-negara demokrasi modern. Pada awal bab bukuk ini dijelaskan dengan komprehensif mengenai gagasan konstitusi yang dilihat dari perspektif historis dan mengandung makna etimologis dan terminologis yang berusaha menjelaskan sistem hukum dalam konstitusi di negara-negara modern.
[3]  Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi: Ekonomi Pasar, Demokrasi, dan Konstitusi, dalam “Negarawan”, Jurnal Sekretariat Negara RI, No. 16 Mei 2010, Jakarta, hal, 41.
[4]  Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi Ekonomi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal, 4.
[5]  Ibid,
[6]  Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Edisi Kedua, Jakarta, 2011, hal, 129.