Senin, 28 November 2016

Komunikasi Politik Pemilu

Komunikasi Politik Indonesia
Suatu Tinjauan Pemikiran Politik Kontemporer

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)




Pendahuluan
Pada era modernisasi dan globaalisasi yang semakin menunjukkan tingkat kompetisi global terus keras dan tajam, ilmu komunikasi dituntut untuk menyajikan nilai-nilai transedental filosofis sebagai basis moral. Ilmu komunikasi juga dituntut untuk menjembatani para aktor politik yang dalam fase tertentu mengalami kebuntuan komunikasi terutama menyangkut persoalan kekuasaan, kewenangan politik dalam negara. Namun demikian, dalam berbagai peristiwa politik, seringkali ilmu komunikasi dihadapkan dengan berbagai macam tantangan. Diantaranya, praktik politik yang cendrung berorientasi kebendaan.
Berhasil atau gagal seseorang, baik dalam konteks berpolitik maupun membangun integritas kepemimpinan ditengah masyarakat, sangat ditentukan bagaimana seseorang tersebut mampu mentransformasikan nilai-nilai komunikasi politik secara baik dan benar. Komunikasi merupakan salah satu factor penentu berhasil tidaknya orang dalam membangun citra baiknya di masyarakat. Karena melalui seni komunikasi politik yang efektif maka orang akan bisa memaksimalkan, memanfaatkan, dan menjadikan komunikasi sebagai alat membangun kepercayaan diri dengan publik luar.
Pada awal kekuasaan rezim Orde Baru, terutama sebelum ditetapkan sistem dan peraturan tentang stabilitas sosial politik, bisa terlihat secara eksplisit di mana presiden Soeharto menempatkan kebijakan pembangunan ekonomi yang begitu kuat sehingga pembangunan di bidang ini mendapatkan porsi yang besar. Pembangunan politik yang didasarkan pada stabilitas sosial politik ternyata dimanifestasikan Presiden Soeharto sebagai basis penopang kekuatan ekonomi nasional.
Alhasil, di satu sisi, terlihat akselerasi pembangunan ekonomi memenuhi target kemajuan yang kompetitif sesuai agenda Repelita yang ditetapkan pemerintah. Namun, pada sisi lain, percepatan pembangunan ekonomi yang dominan sebaliknya memperparah percepatan pembangunan di sektor lain, termasuk pembangunan di bidang pendidikan.
Akan tetapi, tidak teori apapun, tidak bisa membantah keberhasilan presiden Seoharto dalam membangun sistem perekonomian nasional. Soeharto mampu menjadikan stabilitas politik sebagai pilar utama menjaga stabilitas ekonomi bangsa. Peran strategis stabilitas politik tidak serta merta mampu memperkuat legitimasi kekuasaan rezim karena dianggap mampu menciptakan stabilitas ekonomi nasional yang kuat tetapi juga sistem komunikasi kekuasaan rezim yang secara yuridis formal mampu mempertahankan presiden Soeharto untuk berkuasa selama kurang lebih 32 tahun.

Komunikasi Politik Dalam Kajian Ilmiah
Dalam kajian ilmiah klasik telah dikenal teori komunikasi politik. Sebuah teori ilmiah yang berlandaskan pada filsafat politik, yang umumnya dikonsepsikan oleh para ilmua. Sejak zaman Cicero, dan Aristoteles telah dikenal bagaimana dasar-dasar teori komunikasi itu dibangun. Komunikasi politik kemudian berkembang seiring kemajuan zaman, menjadi sebuah kajian ilmiah.
Komunikasi politik sejak ada sejak manusia bersentuhan langsung dengan aktivitas politik. Komunikasi politik juga merupakan sebuah instrumen seni berpolitik dalam melakukan interaksi sosial antara satu aktor dengan aktor lain. Pertaanyaannya ialah apakah komunikasi politik ini telah menjadi suatu telaah ilmu secara spesifik, ataukah telah menjadi bagian dari kajian ilmu sosial politik maupun sebagai sebuah ilmu komunikasi?
Apabila ditelaah lebih jauh, maka sebenarnya kehadiran konsep ilmu komunikasi ini masih relatif muda. Sekitar 60 tahun silam, dalam proses perkembangan dan kemajuan zaman yang terus bergerak menuju transisi demokratisasi, ilmu komunikasi politik kemudian dijadikan sebagai salah satu dasar disiplin ilmu politik. Alwi Dahlan, menulis, bahwa komunikasi politik mulai berkembang dengan mengambil bentuk awal dalam kajian inti ilmu politik setelah peristiwa perang dunia I. Teori ini bisa dilihat dari perspektif umum tentang konsep konspirasi, rekayasa sosial, dan propaganda.
Sementara itu, A. Muis menjelaskan bahwa terminologi komunikasi politik menunjuk kepada pesan sebagai suatu objek formalnya. Dengan demikian, titik tekan dari implementasi nilai-nilai politik ialah tidak terletak pada praktik politik formal maupun non formal, namun lebih ditekankan pada aspek komunikasinya. Artinya, secara kontekstual, praktik komunikasi yang dilakukan para aktor politik sebenarnya memuat pesan politik.
Secara lebih spesifik dan proporsional, David V. J. Bell, mendefenisikan ilmu komunikasi sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan politik. Dalam kerangka tersebut, maka komunikasi sesungguhnya telah memasuki bidang kajian politik karena dalam nilai-nilai komunikasi tidak secara parsial mengandung makna transcendental tetapi juga meliputi pengaruh akan kebijakan negara dan masyarakat secara luas.
Melalui pendekatan komunikasi politik, aktor politik akan memainkan peran sebagai pihak apakah secara individu maupun sosial kelembagaan mempengaruhi pihak lain agar bisa mengikuti apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan yang dibawah. Komunikasi juga menjadi sarana paling efektif untuk membangun kerjasama antara masyarakat, baik yang tergabung dalam kelompok-kelompok tertentu maupun secara individu.
Dari telaah kajian ilmiah filosofis politik, komunikasi jelas memiliki keterkaitan erat antara politik praktis dan konsep komunikasi. Hal ini karena politik merupakan kumpulan dari sebuah ideologi yang kemudian melahirkan pesan politik melalui komunikasi. Maka secara teoritik, politik mengandung makna komunikasi. Perbedaan pemahaman mengenai politik pun dalam studi klasif mengandung perbedaan-perbedaan. Apakah politik memiliki sumber otoritas yang dapat menentukan kebijakan negara atau politik hanya merupakan sebuah seni menyampaikan pesan kepentingan.

Studi Pemikiran Politik Di Indonesia
Potret politik Indonesia yang masih sarat dengan politik aliran dan primordialistik acapkali memicu komunikasi politik antar calon pemimpin dalam sebuah pertarungan meraih simpati selalu mendorong terjadinya eskalasi politik. Eskalasi politik cenderung hidup dalam suasana psikologi politik masyarakat yang kurang terbuka. Akibatnya komunikasi politik massa yang dibangun senantiasa bermuara pada mobilisasi massa. Komunikasi politik berbasis mobilisasi massa dalam konteks politik di Indonesia sampai pada era reformasi ini masih dipandang sebagai salah satu faktor yang efektif.
Berbeda dengan pengalaman-pengalaman komunikasi politik di Amerika Serikat dan Eropa, meskipun seni menyampaikan komunikasi politik di Amerika Serikat dan Eropa sangat ditentukan oleh personality. Dalam konteks Barac Obama misalnya, Obama mampu membangun sebuah seni komunikasi yang cukup komprehensif. Obama sangat memhami dan mengedepankan format komunikasi politik bersifat responsif. Obama tidak saja menyampaikan nilai-nilai demokrasi berbasis normatif tetapi kontekstualisasi komunikasi politik yang dikembangkan Obama untuk mempengaruhi masyarakat sarat konsep. Obama mampu merangkaikan kalimat-kalimat serta meyakinkan audensi ketika menyampaikan visi misi pembangunan masa kepemimpinannya. Obama mampu melakukan transformasi ide dengan mengurai gagasan-gagasan prospektif kedalam pemikiran-pemikiran publik. Komunikasi politik Obama, baik bersifat audiovisual, verbal, maupun nonverbal, sangat memukau masyarakat.
Pendekatan komunikasi politik massa yang dilakukan Obama dalam kampanye sangat memicu psikologi masyarakat multikelas sehingga setiap gagasan yang disampaikan selalu mendapat perhatian yang baik dari masyarakat. Dalam menyampaikan gagasan-gagasan Obama selalu memperhatikan semua atuan main berdasarkan kondisi psikologi massa. Penyampaian visi misi kadang panjang penguraiannya, namun dalam mengambil kesimpulan, Obama sangat disiplin. Keteraturan waktu serta memanfaatkan peluang menyampaikan materi kampanye secara ringkas, padat, dan substantif sehingga umumnya pesan kampanye Obama akan lebih mudah diresapi, dan ditanggapi positif oleh publik.
Dalam konteks politik Indonesia, menurut seorang antropolog, Edward T. Hall (1979), menyebutkan bahwa, bangsa Indonesia masuk dalam kategori kelompok high contect culture dalam komunikasi. Budaya high context cendrung diberi makna yang sangat tinggi. Sebuah masyarakat yang kurang menghargai ucapan, atau bahasa verbal. Artinya, setiap tokoh yang mampu tampil penuh meyakinkan, dan berusaha menggugah pemikiran masyarakat secara konstruktif selalu dianggap sebagai calon yang aneh. Setiap cara calon dalam menyampaikan, atau mengungkapkan visi, misi, maupun program secara meyakinkan selalu dianggap kontraproduktif. Sangat berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat dan Eropa yang pada umumnya memiliki low context culture. Sebuah masyarakat yang modern --- masyarakat yang tidak saja melihat calon pemimpin dalam menyampaikan visi misi dan program bersifat komunikasi nonverbal seperti melalui audiovisual tetapi juga penyampaian secara langsung. Karena lewat pengungkapan langsung itulah masyarakat modern akan melihat eskpresi dan keinginan dari setiap calon pemimpin.
Dalam kerangka politik Indonesia, hampir tak bisa dipungkiri bahwa peta studi pemikiran politik di Indonesia tidak lepas dari hasil kajian pemikiran Herbert Feith dan Lance Castles yang menggambarkan kondisi sosiologis antropologis masyarakat Indonesia dengan berdasarkan politik aliran yang berkembang sejak pra kemerdekaan Indonesia. Dalam berbagai studi akademis, tentang pergulatan pemikiran politik di Indonesia, Feith dan Castles mampu memberikan stigma pemikiran politik di Indonesia yang kuat hingga mewarnai studi pemikiran politik Indonesia. Faith dan Castles mengklasifikasikan tiga kelompok utama yang turut aktif memainkan peran politik nasional. Ketiga kelompok tersebut, pertama kelompok yang disebut sebagai santri tradisionil, kelompok kedua santri modern, dan kelompok ketiga santri bangsawan.
Ibnu Taimiyyah dalam karyanya al-Siyasah al-Syar’iya (Sistem politik Syar’iah, Pemerintah Syari’ah), secara lebih gambling, Ibnu Taimiyyah menggunakan istilah wilayah, yang didefenisikan sebagai sebuah fungsi pertaanggungjawaban, bukan dengan menggunakan istilah tradisional yakni kekuasaan. Wilayah mengandung pengertian berupa penekanan tentang tugas dan fungsi setiap umat manusia sebagai khalifah di muka bumi. Istilah kekuasaan tentu meliputi urusan-urusan pemerintahan Negara sehingga penggunaan istilah wilayah sebetulnya lebih dimaksudkan bahwa setiap orang yang diberikan amanat dalam kapasitas apapun hendaknya dikerjakan penuh tanggungjawab.
Sedangkan teori politik Islam klasik dari perspektif teologi politik kaum Sunni mengambil bentuk dalam kondisi di masa daulat Abbasiah. Meskipun realitas sejarah dan politik dari kehidupan Khilafah sering menghadapi persoalan-persoalan perdebatan teologi politik dari kerang idea Islam, namun demikian setiap proses politik hendaknya didasarkan pada prinsip-prinsip identitas politik Islam yang tetap memiliki kaitan erat dengan syari’ah.
Ada suatu terobosan fenomenal yang selama ini mungkin dilupakan oleh kalangan pemikiran politik Islam, adalah bahwa dalam proses perjalanan, konstruksi teori politik Islam tidak pernah mengalami pergeseran. John L. Esposito, menulis dalam karyanya, politik Islam, mengatakan, konsep politik Islam yang idea meskipun pengertiannya seringkali mengaburkan banyak realitas, namun secara umum, mampu memberikan kontribusi positif terhadap generasi-generasi berikut, termasuk generasi yang menjadikan agama sebagai basis gerakan pembaruan moral bangsa.
Efek kehadiran kelompok yang mampu menggerakan semangat agama sebagai basis perbaikan system politik di setiap Negara ini juga terlihat terjadi di Indonesia. Para aktivis politik Islam berusaha keras untuk membangun citra politik Islam yang selama beberapa abad tenggelam akibat kuatnya penampilan ideologi-ideologi lain seperti kapitalisme, dan komunisme. Aktivis politik Islam terus berpacu dalam dimensi pembaruan, di mana ada semacam keinginan kuat untuk mengejar keterbelakangan dengan mempertautkan dasar-dasar politik Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di akhir abad XIX bahkan memasuki abad XX, pergulatan wacana politik Islam terkait dengan studi tentang Islam dan negara terus mengalami kemajuan pesat. Minat dan perhatian kalangan cendikiawan, dan intelektual Islam --- termasuk intelektual muda Islam Indonesia turut meramaikan perbincangan penting tidaknya kehadiran sistem negara yang menjadikan nilai-nilai sosial yang terkandung dari agama sebagai legitimasi kebijakan pembangunan negara.
Islam dan negara mendapat tempat perbincangan yang cukup dominan dari perspektif wacana pembaruan sistem politik nasional. Islam dan semangat nilai-nilai sosial yang terkandung didalamnya semakin meraih simpati kalangan intelektual muda untuk mengangkatnya sebagai wacana komprehensif dalam proses reformasis sistem politik negara. Perbincangan Islam dan negara, misalnya, diramaikan oleh tokoh intelektual muda Indonesia, antara tahun 1970-an, hingga sekarang, misalnya, M. Room, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Munawir Syadzali, hingga Azyumardi Azrah, Komaruddin Hidayat, Bachtiar Effendy, Anis Baswedan Yudi Latif, dan lain-lain.
Cak Nur misalnya, menegasikan pemikiran politiknya melalui seorang tokoh pemikir politik Islam terkemuka, yakni, Ibnu Taimiyyah. Dalam menulis kata pengantar buku Fiqih Siyasah yang ditulis, M. Iqbal (2001), Cak Nur, menyebut, negara Madinah pimpinan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana yang dikatakan Robert N Bellah, adalah sebuah negara yang mencerminkan korelasi antara agama dan negara dalam Islam. Muhammad Arkoun, seorang pemikir politik Islam kontemporer menyebut bahwa, ikhtiar Nabi Muhammad dalam membangun tradisi bernegara dalam kondisi Madinah ketika itu menunjukkan bahwa sebuah “eksperimen Madinah”. Eksperimen Madinah tersebut merupakan titik tolak bahkan menjadi suatu personifikasi Muhammad tentang sistem pemerintahan atau suatu tatanan sosial politik berdasarkan nilai-nilai Islam.
Dalam eksperimen bernegara tersebut, Muhammad memperlihatkan bagaimana suatu sistem sosial politik itu dibangun berdasarkan landasan nilai-nilai kebaikan universal yang terkandung didalam agama Islam. Dalam konsep negara Madinah terdapat adanya pendelegasian wewenang, pembagian otoritas kekuasaan yang secara konseptual terjadi pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan dimaksudkan agar tidak terjadi sentralisasi kekuasaan yang acapkali dalam praktik bernegara seringkali memicu konflik politik akibat tidak terkelola potensi konflik politik aliran.
Dalam konteks kajian politik berbasis nilai-nilai agama, maka politik sesungguhnya adalah suatu seni dan sekaligus suatu metode untuk melaksanakan tugas maupun fungsi baik secara individu maupun struktur sosial untuk mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya, keluarga, dan kalangan masyarakat luas. Politik merupakan bentuk aksi yang dilakukan para politikus, sehingga ia disebut sebagai “memolitisasi binatang untuk menggambarkan bahwa politikus menaiki dan menundukkan binatang.
Di Indonesia, sejak permulaan era Orde Lama berkuasa, komunikasi politik dalam konteks membangun kekuatan negara melalui elemen-elemen penting boleh dikatakan dapat berjalan baik, meski dalam sejarah kita temukan ada peristiwa-peristiwa polarisasi. Perbedaan ideologi negara yang semula menjadi perdebatan sengit dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dapat diselesaikan dengan penuh kekeluargaan.
Adalah komunikasi antar semua stakeholders baik dalam membangun persamaan persepsi sehingga semua perbedaan yang timbul ketika itu bisa dikelola secara komprehensif. Perbedaan tajam yang sempat mengancam integritas NKRI, yakni menyangkut konsep ideologi bangsa. Ada kelompok yang mendukung agar negara berideologikan Pancasila, dan UUD 1945, ada kelompok yang mendukung sistem pemerintahan negara yang bersifat demokratis, ada yang mendukung sistem negara liberal, ada kelompok yang memperjuangkan negara berdasarkan sistem pemerintahan feodalisme, ada lagi kelompok yang menghendaki agar Islam sebagai ideologi negara, dan ada juga yang menghendaki agar Indonesia berdasarkan sistem otokrasi.
Sikap bijak dan konsep komunikasi politik yang bijak dan komunikatif yang diterapkan Soekarno dan Muhammad Hatta serta tokoh-tokoh lain sebagai representasi masing-masing kekuatan dalam memahami perbedaan ini, mampu melahirkan kesamaan persepsi antar mereka sehingga perbedaan yang semula dianggap menjadi pemicu untuk menghambat proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi cair.
Era kekuasaan Orde Baru, komunikasi kekuasaan politik sangat tertutup. Hampir semua pusat kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, bahkan lembaga-lembaga negara tidak terlihat adanya suatu suasana komunikasi yang bersifat terbuka dan demokratis. Panglima Tertinggi Negara (Presiden) menjadi pusat utama proses transformasi komunikasi kekuasaan politik, ekonomi, pendidikan, hokum, dan sosial budaya.
Rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun menerapkan sistem kekuasaan yang sangat otoriter. Demokrasi Pancasila hanya sebagai alat pemanis politik kekuasaan rezim sehingga praktis tidak tercipta iklim demokrasi yang betul-betul menempatkan hak-hak politik rakyat secara adil dan terbuka. Demokrasi yang semula diharapkan menjadi instrumen penting untuk membangun peraadaban politik bangsa yang modern tidak dijalankan dengan baik oleh penguasa.
Komunikasi politik kekuasaan lintas lembaga pun praktis tidak berjalan baik karena sistem komunikasi satu arah, yakni hanya didominasi oleh eksekutif, lembaga legislatif dan yudikatif berperan sebagai pelengkap sistem bernegara sehingga pelanggaran-pelanggaran nilai politik pun tidak terhindari. Namun demikian, bukan berarti, pola komunikasi kekuasaan politik di masa pemerintahan Orde Baru tidak mampu melahirkan nilai-nilai kemaslahatan publik. Sisi positif yang dapat dilihat dari pola komunikasi politik kekuasaan yang efektif pada era Orde Baru ialah, kemampuan negara dalam mengorganisir semua kekuatan elemen bangsa ke dalam satu komando.
Di satu sisi, kebebasan rakyat dalam berekspresi, berkelompok, berserikat, dan menentukan preferensi politik tidak ada, tetapi di sisi lain tingkat kesejahteraan masyarakat terlihat cukup baik. Kegagalan rezim Orde Baru ialah tidak menjalankan demokrasi secara baik, sedangkan kesuksesan rezim Orde Baru yang paling diakui masyarakat ialah konsisten mengutamakan stabilitas politik sehingga stabilitas ekonomi menjadi sangat kuat. Stabilitas politik dilihat dari jargon pemerintah yang tertuang dalam Trilogi Pembangunan --- meliputi stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan.

Nasionalisme dan Komunikasi Media
Hampir setiap tahunnya, nuansa peringatan hari ulang tahun kemerdekaan republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 seringkali disertai dengan aktivitas-aktivitas seremonial yang kadang cenderung tidak memiliki nuansa filosofi historis dibalik perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Momentum hari bersejarah di tengah krisis integritas teritorial dan krisis kepercayaan rakyat terhadap para elit pemimpin bangsa nampaknya masih memperlihatkan betapa dimensi historis ini masih tetap memberikan arti ikatan emosial plus sosial politik sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tanggal 17 Agustus 1945 memiliki kisah historis-filosofis tersendiri bagi warga masyarakat Indonesia. Dimensi historis-filosofis itulah  para the founding fathers melalui Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta berusaha keras mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang tidak saja jadi harapan para pejuang tapi dambaan para pemuda yang punya rasa sense of belonging untuk membentuk negara Indonesia secara berharkat dan bermartabat. Segenap the founding fathers dan pemuda menghendaki agar kemerdekaan Indonesia segera diumumkan untuk menghindari kesan negatif kalau kemerdekaan Indonesia lebih sebabkan oleh pemberian atau hadiah dari penjajah.
         Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai simbol revolusi kemerdekaan pun dipaksa --- ditekan oleh para pemuda ketika itu yang menghendaki supaya proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan sebelum penjajah keluar dari bumi Indonesia. Detik-detik yang sangat menentukan peristiwa proklamasi kemerdekaan diwarnai perdebatan antara kelompok tua dan para kelompok muda yang sudah tidak sabar. Terbukti dua hari menjelang proklamasi, Soekarno dan Hatta diculik oleh sekelompok anak muda dan dibawah ke Rengasdengklok yang pada intinya mempercepat proses pengumuman kemerdekaan.
         Sikap para pemuda ini jelas merupakan refleksi rasa nasionalisme kebangsaan akibat penindasan dan pengeksploitasian yang dilakukan kaum penjajah sehingga memunculkan kesadaran kolektif untuk bersatu dan berdaulat dalam bingkai NKRI. Dan usaha para pemuda ini menemukan hasilnya, yakni pada tanggal 17 Agustus 1945 lewat Soekarno dan Hatta, akhirnya proklamasi kemerdekaan Indonesia pun dikumandangkan. 
         Nasionalisme kaum pemuda yang ditampilkan seperti ini sesungguhnya merupakan suatu kesadaran sekaligus awal dari sebuah proses untuk membangun komitmen moral kebangsaan yang kuat dalam mewujudkan cita-cita kehidupan nation states  yang lebih baik. Dalam catatan Ensiklopedia Britanica, dapat dipahami bahwa rasa nasionalisme merupakan jiwa, yang menempatkan setiap induvidu merasa untuk memiliki keduniawian atau konteks sekarang identik dengan paham sekuler yang menjadikan liberalisme dan kapitalisme sebagai dimensi tertinggi negara kebangsaan. Sedangkan dalam formulasi International Encyclopedia of Social Science, nasionalisme dapat dipahami sebagai suatu ikatan politik yang mampu mengikat satu kesatuan dari seluruh elemen masyrakat yang plural, modern sekaligus memberikan determinasi legitimasi terhadap tuntutan kekuasaan. Atau dalam logika Huscer dan Stevenson, nasionalisme, artinya memiliki rasa cinta yang secara natural kepada tanah air di mana setiap induvidu dilahirkan.
Pendapat lain yang dikemukakan Hans, nasionalisme sebagai wujud cita-cita bahkan bisa berupa suatu keadaan alias gejala jiwa baik secara induvidu maupun secara struktur sosial yang memiliki model maupun bentuk tertentu dari suatu entitas atau institusi politik bangsa yang merupakan sumber inspirasi akan potensi kebudayaan dalam menciptakan iklim kesejahteraan ekonomi yang lebik kondusif. Dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno memberikan pengertian nasionalisme sebagai suatu upaya terjalinnya rasa ingin bersatu, perasaan, perangai, dan nasib, serta persatuan antara orang dan tempat. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan rapuhnya rasa nasionalisme pemuda masa sekarang? Di mana peran negara dalam mengatasi krisis nasionalisme pemuda? Menjawab pertanyaan ini tentu harus dilihat dari berbagai konteks multidimensional. Karena banyak faktor yang jadi pemicu krisis nasionalisme pemuda zaman sekarang. 
Krisis multidimensional telah mampu menggerogoti dimensi nasionalisme kebangsaan pemuda terutama dalam kurun masa transisi reformasi dan demokratisasi. Demokrasi dan hak asazi manusia (Ham) telah menjadi tema sentral dalam berbagai diskurus. Keberhasilan pembangunan khususnya dalam membongkar mitos kediktatoran rezim masa lalu setidaknya memberi ruang gerak bagi demokratisasi, walau dalam hal tertentu demokrasi selalu bersikap ambigiu sehingga proses pembentukan karakter pemuda cenderung berdasarkan simbol-simbol kebebasan dan kemerdekaan yang berlebihan atau yang lazim disebut reformasi kebablasan. Perilaku menyimpang sebagai pintu masuk kerusakan moral terus mengalami peningkatan. Transformasi informasi dan komunikasi yang begitu pesat membuat para pemuda semakin kehilangan makna identitas. Kemajuan ilmu dan tekhnologi disatu sisi menguntungkan umat manusia, tetapi, di sisi lain dapat berimplikasi negatif.

Peran Media 
Perkembangan informasi dan kemajuan tekhnologi terutama melalui peran pers yakni media massa sangat menentukan bagi proses pembentukan karakter kebudayaan bangsa. Jika pers memiliki visi nasionalisme kebudayaan nasional yang tinggi maka lambat laun masyarakat termasuk pemuda akan cenderung kepada apa yang menjadi rasa tanggung jawab sosialnya terhadap bangsa dan negara. Pers sebagai salah satu pilar demokrasi semestinya mampu memainkan peran strategis konstruktif dalam membentuk karakter masyarakat. Pers sebagai lembaga sosial yang memiliki sifat-sifat kelembagaan (institusional character) sekaligus sebagai lembaga ekonomi atau perusahaan yang merupakan bagian inti suatu industri jasa seyogyanya tidak sekadar mengejar keuntungan semata tetapi bagaimana pers mampu mentransformasikan kelembagaannya sebagai institusi pendidikan yang dapat merubah pola dan perilaku masyarakat secara komprehensif. Dengan demikian, pers bisa menempatkan dirinya sebagai institusi sosial kontrol sekaligus sebagai lembaga pengemban dan pengubah sistem kehidupan yang lebih teratur dan sistematis. Tetapi, kecenderungan dan realitas sosial kontemporer justru menunjukkan fakta sebaliknya, beberapa perusahaan industri pers telah disalahgunakan oleh pemilik media tertentu. 
         Fenomena ini bisa menimbulkan krisis nasionalisme pemuda masa sekarang. Kecenderungan beberapa stasiun Televisi swasta yang menyuguhkan program hiburan berupa sinetron seringkali kurang memiliki syarat pendidikan. Nilai-nilai kebudayaan justru didistorsi melalui media yang didasari dengan keadaan pikiran yang oleh Johan Huizinga disebut sebagai “kekanak-kanakan.” Di mana manusia dewasa ini cenderung bertindak kekanak-kanakan, dalam konteks negatif berdasarkan pertumbuhan mental: hiburan sinetron yang terkesan perilaku kepalsuan dan sikap asli yang dipaksakan, rasa humor yang tidak sesuai sikap asli, kebutuhan sensasi-sensasi murahan, kecenderungan kepada parade-parade massa, bahkan personifikasi ekspresi kebencian, cinta, pujian dan kutukan juga terlihat sangat berlebihan.
Ramuan program TV menyuguhkan sinetron yang syarat dengan perilaku kekerasan rumah tangga, kekerasan sosial ekonomi bahkan kekerasan psikologis yang dipaksakan bisa menjadi akses bagi kerusakan pertumbuhan mental generasi muda bangsa. Peran ganda pers terutama media elektronik sekarang ini berpotensi menghidupkan tradisi paradigma global capitalist system yang dalam perspektif kultur mengarah pada fashioned culture yang notabene disokong oleh ideologis kapitalistik yang tidak terlepas dari peran ganda negara. Dari sisi, jelas krisis nasionalisme akan muda terjadi dan pada gilirannya memunculkan konflik ideologis parsial.
Menjadi media yang profesional tidak selalu menghadirkan program-program yang selalu bersentuhan dengan nuansa-nuansa perkembangan globalisasi demografi yang pada hakekatnya bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan kebangsaan nasional. Sayangnya, kecenderungan dan realitas perkembangan media sekarang sudah mulai berorientasi pada kompetisi keuntungan ekonomi sehingga peran profesional media yang diharapkan bisa menjadi salah satu faktor penunjang dalam mewarnai dinamika sosial kebangsaan terus mengalami degradasi. Maraknya tayangan beraroma mistik dan sinetron-sinetron dengan menampilkan kehidupan berbasis sekular-materialistik sudah barang tentu selain tidak mendidik juga sangat tidak memiliki esensi moralitas dalam membentuk eksistensi bangsa.

Peran Negara
Dalam menyikapi problematika sosial kebangsaan yang kompleks terutama krisis nasionalisme pemuda yang makin hari makin meresahkan, maka negara sebagai kesatuan tatanan (unity of order) --- kesatuan formal yang menjadi obyek dari formulasi kebijakan secara rasional-idealistik, walau dalam kesatuan tidak menciptakan substansi baru, namun dengan kekuatan kekuasaan yang legitimic harus mampu melakukan tindakan-tindakan persuasif bahkan perlu tindakan preventif (self-motivated action) guna menciptakan rasa nasionalisme akan kebangsaan.
         Secara sosio-historis, artikulasi nasionalisme yang sudah diletakan para the founding father yang notabene adalah para tokoh intelektual muda yang di awal abad 20 ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo (1908). Nasionalisme kebangsaan juga bangkit melalui gerakan yang dipelopori Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo, HOS Tjokroaminoto, hingga generasi yang lebih muda seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, SM Kartosoewirjo, Tan Malaka, dan masih terdapat banyak tokoh muda yang menginspirasi hadirnya kemerdekaan. Gerakan kaum intelektual muda menanam rasa nasionalisme juga sudah terjadi sejak tahun 1928. Di mana para pemuda berkumpul merumuskan gagasan identitas nasionalisme kebangsaan melalui dokumen Sumpah Pemuda tepatnya tanggal 28 Oktober 1928 yang hingga sekarang masih diperingati sebagai hari lahirnya sumpah pemuda.
         Dalam konteks itu, memaknai nasionalisme kebangsaan nation states, Pemerintah sebagai pembuat regulasi harus menciptakan sistem sosial yang mendukung masyarakat dalam mengartikulasi kemerdekaan dan kebebasan, termasuk pers sebagai penyebar informasi dilakukan secara konstruktif dan proprsional. Kebebasan dan kemerdekaan tidak boleh dimonopoli oleh pers tertentu yang cenderung menampilkan aneka pornografi dan pornoaksi yang pada gilirannya mengancam kerusakan moralitas pemuda masa kini ditengah kegamangan globalisasi dan westernisasi. Dalam konteks tersebut, peran dan transformasi nasionalisme pemuda atas semangat kebangsaan merupakan suatu keniscayaan agar nasionalisme kaum pemuda masa kini tidak jadi tanda tanya atau mungkin lebih radikal “digugat”. Titik sentral dekonstruksi paradigma destruktif sekaligus merekonstruksi pemikiran pemuda masa kini yang lebih bermuatan nilai-nilai kebhinekaan juga merupakan suatu keniscayaan.

                                 ___________________________________
Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Oktober 2011.




Daftar Pustaka
Ali Masykur Musa, Magnitude Komunikasi Politik Obama, http://andika-artikel.blogspot.com/2008/11/magnitude-komunikasi-politik-obama.html.
Anwar Arifin, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila; Suatu Kajian Mengenai Pers Pancasila, Penerbit, Media Sejahtera, Jakarta, 1992.
Yusuf Al-Qardhawi, Legalitas Politik, Dinamika Perspektif Nash dan Asy-Syariah, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2008.
Ibnu Taimiyyah, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, Pustaka, Bandung, 2001.
John L. Esposito, Islam dan Politik, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
Koran Republika, Kamis, 16 Juni 2011, Orde Baru, hlm. 24.




Rabu, 23 November 2016

Calon Perseorangan dan Kualitas Kepemimpinan Daerah

Menakar Calon Perseorangan dalam Pemilukada

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



Wacana pentingnya calon independen, baik dalam perspektif pemilihan umum nasional Presiden dan Wakil Presiden hingga pada tingkat lokal Gubernur/Bupati/Wali Kota yang dilakukan secara langsung, patut mendapat respons. Tuntutan masyarakat yang kadang disertai tindakan destruktif di beberapa daerah agar pemerintah dan DPR harus lebih proaktif menanggapi pencalonan perseorangan, setidaknya jadi titik tolak untuk mengukur sejauhmana instrumen demokrasi berupa parpol telah bekerja dengan baik dan komperehensif. Kehadiran calon independen akan menambah kualitas nilai demokrasi sekaligus membawa konsekuensi positif untuk mendewasakan masyarakat dalam berpolitik. Dalam kerangka ini, kualitas demokrasi dapat diketahui sejauhmana kebijakan pemerintah memberi ruang bagi semua anak bangsa untuk berekspresi sesuai aturan dan mekanisme yang ada.
Secara teoritis, calon independen lebih memiliki muatan misi kebajikan universal (civic morality plus public civility) secara sosial dibanding calon yang diusung partai politik. Calon perseorangan sudah pasti tidak memiliki konstituen tertentu yang memerlukan kontrak politik berupa perjanjian dalam bentuk hitam di atas putih sebelum terpilih. Calon independen lebih diikat oleh rasa tanggung jawab moral pada masyarakat secara  keseluruhan. Sedangkan calon pengusung parpol cenderung bermuatan politis sehingga paradigma politik yang dipasang selalu berorientasi pada teknis pragmatis --- kesempatan strategis untuk membalas budi baik parpol yang berhasil meloloskan dirinya.
Akibatnya adalah kedaulatan rakyat tidak akan dijalankan secara obyektif oleh pemimpin yang lahir dari rahim kompromi politik. Di sinilah letak persoalan yang menyebabkan tarik ulur kepentingan antara kekuatan politik yang notabene dikendalikan parpol dan para akademisi, kaum profesional yang dipandang merepresentasi calon independen. Pertanyaannya, implikasi politik apa yang akan terjadi jika calon independen diakomodasi?
Telah banyak pendapat mulai bernada argumentatif maupun deskriptif dikemukakan oleh berbagai pihak yang berbeda-beda berdasarkan kepentingan masing-masing. Terlepas dari perdebatan atas nama demokrasi atau hak asasi manusia maupun lainnya. Yang perlu menjadi tema sentral kajian wacana calon independen baik di tingkat pusat pemilu Presiden dan Wakil Presiden hingga Pilkada tingkat Gubernur/Bupati/Wali Kota, hendaknya disikapi secara realistis, dan proporsional, karena dalam fragmentasi politik demokratik memungkinkan rakyat menentukan preferensi politik secara bebas, adil, dan jujur tanpa intervensi kepentingan politik kelompok mana pun.

Dinamika Parpol Merespon Calon Independen
Polemik untuk memasukkan calon perseorangan dalam UU Politik secara formal tentu membuat para elite parpol merasa takut. Elite parpol yang secara struktur kekuasaan politik kepartaian memiliki jabatan strategis, merasa terancam jika calon independen diperbolehkan berkompetisi pada setiap momen Pilpres, ataupun pemilu Kepala Daerah tingkat Gubernur/Bupati/Wali Kota.
Fakta politik vertikal yang melibatkan elite kekuasaan politik parsial senantiasa meredusir nilai-nilai sosial kepemimpinan universal. Akibatnya rakyat kecil, meminjam istilah Eep Syaifullah Fatah, selalu jadi “kuda tunggangan” para elite politik dengan legitimasi sosial politik yang ada. Penolakan calon independen sebagaimana yang ditunjukkan oleh elite parpol tertentu jika ditarik benang hijau maka alasan menolak calon independen, selain bermuatan politis juga memiliki kecenderungan menghidupkan kembali sistem kekuasaan otoriter gaya Orde Baru.
Dalam konteks ini, penolakan calon independen memasuki arena perspektif yang miring bagi para elite parpol karena dianggap menonjolkan absurditas politik kekuasaan dengan memanfaatkan demokrasi sebagai dalih mencari selamat. Padahal yang dirasakan masyarakat akibat sistem kekuatan kekuasaan (trias political) antara eksekutif dan legislatif yang diskriminatif tidak kondusif bagi proses demokratisasi. Realitas politik pasca-reformasi, sistem politik nasional lebih didominasi oleh lembaga legislatif. Kekuasaan lembaga eksekutif dan legislatif tidak seimbang, sehingga proses pengambilan keputusan eksekutif sebagai eksekutor kebijakan selalu tidak memihak pada kepentingan rakyat yang jelas-jelas sebagai saham utama untuk seorang elite jadi pemimpin. Formulasi dan implementasi eksekusi kebijakan seringkali lebih mengedepankan kepentingan parpol karena keinginan mayoritas fraksi partai yang ada di parlemen. Maka sesuatu yang mustahil jika kepentingan rakyat bisa diselesaikan secara adil, jujur dan tulus oleh para elite parpol di parlemen selama kepentingan fundamental mereka tidak diganggu gugat, termasuk kepentingan akan kalah saing dengan calon independen.
Keengganan elite politik menerima usulan calon perseorangan telah menabrak nilai-nilai demokrasi yang pada kenyataannya telah berkonsensus memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahan negara. Elit parpol yang pragmatis semestinya tahu bahkan sadar bahwa membangun kualitas demokrasi memerlukan varian-varian yang memungkinkan bagi terciptanya masyarakat yang egaliter, modern, dan beradab, atau istilah filsafat Yunani Kuno, civic morality serta public civility sebagai landasan mewujudkan kebajikan dalam masyarakat (civic vitue), sebagai dasar membangun negara yang ideal (good state). Di mana nilai-nilai demokrasi mengajarkan adanya kesamaaan hak dalam berpartisipasi baik untuk memilih ataupun dipilih tanpa paksaan.
Sistem politik kita yang menempatkan parlemen sebagai peran utama check and balances terhadap kekuasaan eksekutif dalam kenyataan implementasinya justru menunjukkan peran ganda alias amanat kewenangan check and balances sering disalahgunakan, sehingga kepentingan masyarakat kerap terabaikan. Dikotomi dan dualisme kepemimpinan yang lebih memihak pada kepentingan parpol inilah yang menyebabkan kemarahan masyarakat terhadap peran ganda parpol, sehingga rakyat merasa untuk tidak lagi mengandalkan parpol sebagai pilihan efektif guna mentransformasi kepentingan politik mereka dalam struktur pemerintahan negara.

Kesadaran Elite Politik       
Perdebatan calon perseorangan yang terus mencuat, sepatutnya mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah dan DPR sebagai penyelenggara negara. Wacana calon independen adalah suatu keharusan dalam upaya mewujudkan kualitas demokrasi. Oleh karena itu, calon perseorangan bukan sekadar  untuk disuarakan kemudian jadi konsumsi politik para elite, tetapi bagaimana kepekaan pemerintah dan DPR serta seluruh kekuatan elemen masyarakat untuk kembali berpikir tentang pentingnya menghadirkan calon perseorangan dalam bentuk Peraturan dan Perundang-undangan.
Maka menarik jika keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang judicial review (peninjauan ulang) Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang membolehkan keikutsertaan calon independen dalam pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) supaya ditindaklanjuti pemerintah dan DPR selaku eksekutor dan perumus UU. Di sinilah pentingnya pemerintah bersama DPR mengambil langkah produktif dalam menentukan kebijakan untuk membuat undang-undang politik yang bisa memungkinkan calon perseorangan maju dalam pemilihan pemimpin, baik di tingkat Presiden dan Wakil Presiden maupun di tingkat daerah Gubernur/Bupati/Wali Kota.
Jika merujuk pada rumusan draf UU Politik yang ditawarkan pemerintah pada DPR saat ini tentu tidak memungkinkan masuknya calon perseorangan karena dalam paket UU Politik yang sedang dipergunjingkan oleh para elite, bahkan elit lebih berkonsentrasi pada perdebatan electoral threshold (ET) yang rencananya dinaikkan dari 2% jadi 3-5%.
Sebagai gambaran sederhana, sudah jelas bagaimana para elite politik mengartikulasikan kepentingan rakyat ke dalam kepentingan eksklusif mereka. Elit lebih sibuk melakukan konsolidasi dan mobilisasi besar-besaran untuk melawan kebijakan pemerintah yang dianggap mengancam eksistensi parpol dalam pemilu. Frekuensi konsolidasi kekuatan dengan mobilisasi politik massa begitu kuat dilakukan elite guna menghadang UU politik yang menetapkan standar perolehan suara. Potret kinerja buruk parpol, khususnya dalam mengartikulasi kepentingan rakyat yang masih jauh dari  apa yang diharapkan rakyat, akan berpotensi membuat masyarakat frustasi, bahkan bisa memicu tindakan destruktif dan anarkis, karena keinginan rakyat tidak direspons secara baik oleh para penyelenggara negara. Politik oportunis yang ditampilkan pemerintah secara tak langsung bisa membunuh demokratisasi yang masih seumur jagung. 
Sebagai negara demokrasi ketiga di dunia, Indonesia bisa saja menengok negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, dan beberapa negara di Eropa yang menganut sistem demokrasi. Di AS, Inggris dan Rusia, calon independen dibolehkan ikut pemilu yang secara spesifik di negara-negara bagian. Karena AS menganut sistem suara pemilih tak menyentuh secara langsung kepada kandidat bersangkutan (electoral college), sehingga potensi yang menang cenderung pada kandidat yang memiliki jumlah suara terbesar (one man one vote). Indonesia dengan sistem politik yang demokratis sebetulnya pendekatan pemilu dengan demokrasi substansial sudah mirip sistem one man one vote, sehingga tidak ada alasan jika calon independen diikutsertakan baik dalam konteks Pilpres maupun Pilkada tingkat provinsi/kabupaten/kota.


                        __________________________________

Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Oktober 2007


Senin, 21 November 2016

Agenda Pilkada Langsung Berkualitas

Calon Perseorangan dalam Pilkada dan Kualitas Pemilukada
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



Calon Independen: Wajah Baru Demokrasi Di Indonesia
Mahkamah Konstitusi (MK) menggebrak perpolitikan nasional dengan terobosan standing legal. Pada 23 Juli 2007, MK mengeluarkan keputusan dalam simpul yang tegas: halal bagi calon independen ikut berlaga dalam kompetisi politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, di mana pun di persada Nusantara. Sebelum jatuhnya keputusan ini, kita menemukan fakta bahwa Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menutup peluang tampilnya calon independen dalam Pilkada.
Misalnya dalam pasal 59 ayat (1) UU No. 32/2004 terdapat klausul anti-calon independen: “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik.” Inilah klausul yang menempatkan partai politik pada posisi determinan bagi siapa pun untuk tampil sebagai kandidat dalam Pilkada. Kini, standing legal telah menempatkan partai politik bukan lagi penentu tunggal kehadiran figur-figur kandidat di arena pertarungan Pilkada.
Ini tentu merupakan angin segar bagi wujud demokrasi di negara ini. Sebab, setiap calon kemudian tidak harus melalui jalur Partai Politik (Parpol) untuk mencalonkan maupun dicalonkan sebagai kandidat kepala daerah. Yang pasti, angin segar ini membawa ruang tersendiri bagi kebuntuan pola pikir warga yang banyak menilai bahwa calon kepala daerah dari Parpol sangat penuh dengan kepentingan politik personal dan golongan an sich. Artinya, calon independen kemudian dianggap dan dinilai lebih steril politik sektarian ketimbang calon dari parpol. Sebab, calon independen tidak membawa aspirasi politik kerdil dan sempit yang merugikan kepentingan warga di daerah.
Sementara calon dari parpol sangat sarat kepentingan pihak-pihak tertentu. Ada kesepakatan-kesepakatan tertentu bahwa bila terpilih nantinya harus mengabdi penuh terhadap Parpol yang mengusungnya. Ada politik “dagang sapi” bila Parpol mencalonkan seorang kepala daerah. Ongkos politiknya sangat mahal. Sejumlah fakta politik menjadi bukti bahwa calon kepala daerah berasal dari Parpol sangat picik. Banyak perselingkuhan politik antara calon terkait dengan Parpol yang mengusungnya. Calon lalu terikat kontrak politik dengan Parpol. Sedangkan pengabdian demi warga di daerah dinomorduakan sedemikian rupa. Ini fenomena yang cukup riskan bagi keselamatan warga di daerah.
Di negara-negara lain, di Rusia dan Amerika Serikat misalnya, yang menerapkan sistem multipartai pun ada calon independen. Munculnya calon independen dalam Pilkada tentu bakal memberikan ruang apresiasi kepada rakyat untuk menentukan pilihan politiknya, terutama dalam seleksi kepemimpinan nasional. Rakyat punya pilihan yang beragam, baik pilihan dari unsur partai maupun pilihan yang non-partai.
Dengan demikian, diharapkan tidak ada distorsi menyangkut hasil atau out-put dari proses pemilihan. Dengan adanya calon independent, berarti dalam pemilihan pemimpin rakyat tidak lagi didorong untuk memilih “kucing dalam karung”. Figur yang memenangkan pemilihan diharapkan sungguh merupakan figur yang punya basis kuat di masyarakat, memiliki idealisme dan keberanian untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Oleh sebab itu, apa yang digagas-lahirkan MK ini cukup bertujuan konstruktif guna membangun bangunan demokrasi sejati. Artinya, setiap warga negara di daerah pun punya hak sama untuk mencalonkan diri maupun dicalonkan. Sepanjang memiliki kemampuan, integritas, serta dipercaya publik, dan sejumlah kelebihan lainnya, maka ia pun dipersilakan maju sebagai calon kepala daerah. Dengan begitu, keadilan hukum pun berpihak kepada semua warga negara tanpa terkecuali. Sehingga ini lalu menciptakan atmosfir politik yang lebih sehat dan dinamis. Dalam konteks ini, ada satu bentuk kesehatan politik dan perpolitikan yang tidak menutup ruang orang lain untuk mencalonkan maupun dicalonkan sebagai kepala daerah, walaupun tidak memiliki basis Parpol.
Maka dari itu, keputusan MK harus dihormati oleh penyelenggara negara. Dalam kaitan ini, pemerintah dan DPR harus segera membuat undang-undangnya, sehingga mempermudah dan sekaligus memperjelas bagaimana pelaksanaannya nanti.

Elite Parpol Tak Perlu Paranoid
Diperbolehkannya calon independen untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, sudah jelas menggerogoti hak monopoli Partai Politik. Sebab, kepentingannya terganggu. Lebih terganggu lagi karena ada bukti calon kepala daerah dari Partai Politik keok, tidak dipilih rakyat, dikalahkan calon independen. Itulah yang terjadi di Aceh.
Di kalangan Partai Politik, telah berkembang gagasan bahwa calon independen yang diajukan dalam Pilkada harus didukung 7%-15% dari jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih di suatu daerah. Berapa persisnya, bisa menjadi perdebatan panjang tanpa pernah mencapai kata putus.
Undang-undang memberikan sedikitnya dua acuan, yaitu 3% dan 15%. Acuan pertama adalah ambang batas Partai Politik untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, yaitu partai harus minimal memperoleh 3% jumlah kursi di DPR.
Angka 3% juga merupakan persyaratan bagi calon independen untuk mengikuti Pilkada di Aceh. Jika jumlah ini yang dipakai, ada keadilan untuk semua daerah. Juga ada persamaan, ada uniformitas persyaratan dari Sabang hingga Merauke.
Akan tetapi, jumlah 3% itu ditentang Partai Politik. Partai mengambil angka 15%, sebab Partai Politik atau gabungan dapat mencalonkan kepala daerah apabila memiliki sekurang-kurangnya 15% dari jumlah DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Partai berpandangan, adalah tidak adil calon independen cukup didukung 3%, sedangkan partai atau gabungan partai harus 15%. Tetapi, inilah keadilan yang juga tidak adil. Ini lantaran partai bisa gabungan, tidak harus sendirian, sehingga lima partai guram dengan masing-masing 3% dapat mengajukan calon. Calon independen terang tidak memiliki peluang gabungan itu. Jadi, menyamakan persyaratan dukungan calon independen dengan partai harus dengan syarat yang sama 15%, justru tidak adil terhadap calon independen.
Partai memang hidup dengan subyektivitas yang kuat, jika kepentingannya terganggu. Contohnya, partai tidak setuju jika ambang batas dinaikkan dari 3% menjadi 5%, apalagi menjadi 15%. Partai juga pasti tidak setuju jika persyaratan gabungan partai dalam pencalonan kepala daerah dihapuskan.
Tebalnya kepentingan itulah yang menyebabkan partai hidup dalam standar ganda, bahkan hipokrit. Parpol terkesan semakin tidak simpatik di mata rakyat. Inilah pula yang menyebabkan partai kehilangan kepercayaan publik Sejauh ini, Parpol terasa menjauh dari fungsinya untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat, pendidikan politik rakyat, serta alat untuk mengagregasikan berbagai kepentingan yang berasal dari aneka kepentingan dan tujuan. Parpol bahkan kosong dari ideologi pembelaan terhadap rakyat serta mengusung kepentingan sempit para aktor yang terlibat di dalamnya. Banyak elite Partai Politik hanya sibuk mengurusi kepentingannya sendiri dan kelompoknya, dan cenderung hanya mempolitisasi rakyat.
Bukan saja Parpol lantas gagal menjalankan misi profetik pendidikan politik. Lebih tragis lagi, Parpol memainkan peran broker untuk siapa pun yang hendak tampil sebagai kandidat dalam Pilkada. Dari sini kemudian dikenal luas “mahar politik”. Seseorang bisa diusung menjadi kandidat Gubernur, Bupati atau Wali Kota oleh sebuah atau beberapa Parpol sejauh mampu membayar “mahar politik”. Inilah oligarki Parpol dalam maknanya yang buruk. Sehingga, dengan diperbolehkannya calon independen ikut pilkada, banyak orang menyambut dengan gembira, sekaligus menjadi oase di tengah padang pasir yang gersang. Dalam arti, kehadiran calon independen sama sekali bukan dimaksudkan untuk mematikan Partai Politik. Justru, itu untuk memaksa semua sistem bergerak ke jalur yang benar, termasuk pelaksanaan fungsi Parpol.
Oleh karena itu, kalangan Parpol tidak perlu menjadi under-estimate, bahkan paranoid, menanggapi munculnya calon independen ini. Yang terbaik ialah, partai menunjukkan jiwa besar berani bertarung dengan calon independen, dan tidak menjadikan adanya calon independen sebagai hantu yang menakutkan bagi eksistensi Parpol. Kehadiran calon independen seharusnya menjadi tantangan bagi Parpol untuk memperbaiki diri sekaligus melakukan konsolidasi secara lebih baik lagi. Elite-elite Parpol harus terus meningkatkan kapabilitasnya dan menjaga kredibilitasnya sebagai pimpinan Parpol. Upaya pembenahan di internal mesti senantiasa dilakukan. Itu jika Partai Politik tidak ingin ditinggalkan konstituennya.

Melahirkan Pemimpin Yang Amanah
Tentu, diperbolehkannya calon independen ikut dalam pilkada, sedikit banyak masih menyisakan kekhawatiran di kalangan publik, jangan sampai calon-calon independen yang bakal muncul nantinya adalah sosok yang tidak layak jadi pemimpin, yang tidak  sanggup memenuhi harapan guna memajukan daerah. Kekhawatiran tersebut dilatarbelakangi oleh sejumlah asumsi dan alasan. Pertama, ketika ruang calon independen sudah terbuka lebar, siapa pun yang memiliki banyak uang disadari maupun tidak akan unjuk gigi untuk mencalonkan dirinya sebagai calon kepala daerah, kendati track record-nya di publik belum, dan tidak teruji. Dengan kata lain, platform calon tersebut masih abu-abu, seperti visi, dan misinya demi masa depan di daerah. Yang jelas, dengan modal uang yang banyak tersebut, syarat-syarat administrasi saat pencalonan akan mudah dilaluinya dengan sedemikian lancar.
Kedua, harus diakui bahwa pendidikan di negeri ini masih tergolong rendah. Hanya orang-orang tertentu yang mempunyai kelebihan dalam dunia kepemimpinan (leadership). Bila yang terjadi, setiap orang berhak mencalonkan dan menjadi pemimpin, namun sebagian besar dari mereka sangat ironis latar belakang pendidikan dan leadership-nya, maka daerah yang dipimpin bakal menjadi tumbal kepentingan orang tersebut. Ini lebih berbahaya dan membahayakan daerah daripada seorang kepala daerah dari Parpol. Artinya, bila dia berasal dari Parpol, maka Parpol akan mengontrolnya dengan sedemikian ketat. Sedangkan bila calon independen yang terpilih sebagai kepala daerah nantinya, maka tidak ada yang mengawasinya. Sebab dia berangkat sendiri ke kursi nomor 1 di daerah, tanpa back-up Parpol. Tentu kita tidak menghendaki itu terjadi, karena bencana politiknya ke daerah akan lebih besar.
Untuk itu, benar yang dianjurkan oleh MK tentang syarat yang tidak terlalu ringan bagi calon independen. Namun, sudah tentu syarat itu tidak mengada-ada, yang menghilangkan peluang lolosnya calon independen, serta tidak logis. Pasangan calon independen yang mendaftar mesti diseleksi dengan suatu metode khusus oleh KPUD. Seleksi dalam penentuan calon independen harus sesuai dengan aturan yang berlaku, agar tepat sasaran. Harus ada kriteria tertentu dan dianggap pantas, walaupun semua warga memiliki hak untuk dipilih.
Dengan begitu, hasil dari seleksi tersebut bakal memunculkan calon independen yang memiliki kapasitas dan moral, yang sanggup menjadi pemimpin yang amanah serta mempunyai komitmen tinggi untuk memajukan sekaligus menyejahterakan rakyat di daerah yang dipimpinnya. Dan tentu, siap bersaing dengan calon yang diusung oleh Parpol.
Namun juga yang tidak boleh dilupakan, dan menjadi syarat vital bagi harapan lahirnya pemimpin yang kredibel dan akuntabel, tentu harus melalui proses-proses yang bertumpu pada sandaran moral dan etika. Tidak mungkin pemimpin yang baik akan dilahirkan oleh proses yang semenjak awal sudah jahat. Maka, calon pemimpin, baik yang melalui partai maupun non-partai, mesti menjalani proses serta kaidah yang benar, yang tidak melanggar moral dan etika.
Persaingan yang ketat dan tajam untuk memenangi pemilihan, kerap memunculkan kekhawatiran publik terhadap perilaku curang para calon. Perilaku yang curang itu baik dilakukan lewat politik uang, negative campaign, maupun lewat berbagai cara yang melanggar peraturan pemilihan, yang tergolong political corruption. Korupsi ini terbersit dua keinginan yang hendak diraih, yaitu materi dan kekuasaan. Adalah dua bidang yang sangat menggiurkan dan memabukkan, sehingga para calon pemimpin yang ambisius kerap melakukan permainan politik dengan menghalalkan segala cara, ala Nicolo Machiavelli yang berpandangan bahwa antara politik dan moral tak ada kaitan.
Karena itu, sudah saatnya dilakukan kontrol, kritik, bahkan penelusuran secara tajam dan menyeluruh terhadap berbagai penyimpangan dalam Pilkada. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk mendapatkan suatu legitimasi etis bagi pemimpin yang bakal terpilih nantinya, di samping juga legitimasi sosiologis. Bagi seorang pemimpin, dalam mengemban tugas dan amanah yang diberikan rakyat, harus memiliki kedua legitimasi tersebut.
Legitimasi etis adalah kekuasaan atau kepemimpinan dianggap (legitimated) ketika kekuasaan atau kepemimpinan tersebut didapatkan dengan cara etis dan bermoral. Cacat etika dan moral bagi seorang pemimpin akan sangat mengganggu karya dan akan merusak harga diri dan martabat kepemimpinannya. Sedangkan legitimasi sosiologis adalah suatu kekuasaan atau kepemimpinan yang dianggap sah dan legitimated kalau mayoritas rakyat mendukung dan memilihnya. Bila seorang pemimpin kurang mendapat dukungan rakyat, kekuasaan yang ada akan memberi peluang terjadinya gangguan-gangguan politik.
Dalam konteks Pilkada, kekuasaan hasil Pilkada akan memiliki legitimasi etis kalau sang calon tidak melakukan kecurangan pada saat kampanye dan pada saat pemilihan berlangsung. Legitimasi etis akan sangat menentukan perolehan legitimasi sosiologis. Dan, kedua legitimasi ini hanya dapat diraih lewat penciptaan kemungkinan-kemungkinan yang seluas-luasnya bagi rakyat untuk mengekspresikan pilihan-pilihan politiknya secara jujur, transparan, rahasia, bebas dan adil.
Dengan begitu, tidak peduli apakah calon tersebut dari partai maupun non-partai, harus memenuhi syarat-syarat di atas, untuk bisa benar-benar melahirkan pemimpin yang amanah, yang berjuang semata-mata demi kepentingan rakyat banyak. Dan bukan mustahil, pemimpin yang benar-benar amanah tersebut justru lahir dari calon independen, yang sementara ini masih disangsikan kualitas serta kredibilitasnya oleh kalangan Parpol.

                        _____________________________________

Keterangan: Arsip Tulisan Artikel Lepas

Jakarta, April 2006.