Senin, 31 Oktober 2016

Lawan Korupsi

Jihad Melawan  Korupsi

Oleh: Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



Indonesia negara berpenduduk muslim terbesar di dunia menempati posisi atas sebagai negara yang digolongkan dalam daftar 10 negara terkorup di dunia. Setidaknya data yang diajukan Global Competitiveness Report 2011-2012, dikatakan korupsi adalah salah satu faktor yang menghambat penyelenggaraan bisnis di Indonesia. Tahun 2011 nilai korupsi sebesar 15,4, dan nilai ini naik sebesar 11,2 poin dari tahun 2007 yang hanya 4,2. Artinya dalam kurun waktu pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua mengalami peningkatan secara drastis.
Apabila kita telaah laporan survei yang dipublikasikan, maka boleh jadi sampai pada suatu asumsi bahwa lembaga-lembaga survei nasional maupun internasional hampir menemukan data yang sama. Indonesia masuk catatan daftar negara 10 besar terkorup di dunia. Diantara  ke-10 negara tersebut adalah, Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia, Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, dan Rusia. Dan yang lebih memprihatinkan lagi ialah Indonesia masuk dalam kategori negara terkorup di kawasan Asia-Pasifik. Hasil survei Transpararency International, memberikan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) bagi Indonesia masuk dalam klasifikasi 3, dengan beranjak dari 0,2. Di kawasan Asia-Pasifik Indonesia urutan pertama disusul Kamboja, Vietnam, Filipina, dan India.
Dalam konteks tersebut, jelas menimbulkan persepsi publik yang kurang baik pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Tidak ada kemajuan berarti dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme terus meningkat di berbagai instansi pemerintah.
Belum lagi tuntas penanganan korupsi penyuapan anggota DPR tahun 2004-2009 yang melibatkan mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom, dan korupsi di Bank Century yang sangat kental aroma politiknya, muncul kasus korupsi Wisma Atlet dan Hambalang yang melibatkan mantan bendahara umum partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan kader partai Demokrat Angelina Sondakh,dan tidak menutupkemungkinan akan terungkap terdakwa baru dalam kasus ini. Korupsi pengadaan Al-qur’an di Kementerian Agama, dan yang paling mutakhir adalah korupsi simulator di Mabes Polri yang melibatkan seorang Jenderal berbintang dua.

Ambigu
Komitmen  pemberantasan korupsi di Indonesia masih  dimanipulasi dengan tema-tema kemanusiaan dan keadilan. Nilai-nilai kemanusiaan (values waarden)yang diselundupkan secara sistematis oleh para pengambil kebijakan di republik ini. Retorika pemberantasan korupsi atau bersih-bersih hanyalah sebuah ilusi politik yang dinyanyikan penguasa pada rakyat jelata yang memang secara pendidikan mudah diperdayakan. Dan setiap penguasa cendrung melakukan tindakan penyimpangan, hal ini diperkuat dengan ungkapan Lord Action, yang terkenal "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely".
Pemerintahan presiden SBY-Boediono akan tetap dilihat sebagai rezim yang ambigu. Rezim yang tidak konsisten dan tidak punya ketegasan bahkan dalam kondisi tertentu dipandang kurang berwibawa karena kurang berani mengambil keputusan. Antara kata dan perbuatan tidak terlalu punya relevansi yang signifikan. Perang melawan korupsi, bahkan memproklamirkan diri sebagai panglima pemberantasan korupsi hanyalah sebuah retorika politik yang dibungkus dalam sambutan-sambutan resmi kenegaraan.
Isu tata kelola pemerintahan berbasis good governance dengan menjadikan hukum sebagai panglima, dalam kenyataan praktek tidak berjalan optimal. Segmen pemberantasan korupsi cenderung tebang pilih. Koruptor yang ditangkap pun umumnya tidak memiliki relasi kekuasaan secara struktur sehingga rakyat melihat apa yang didengung-dengungkan sebagai perang melawan korupsi hanyalah bagian dari cara politik untuk mencari aman, termasuk dalam menyikapi protes rakyat tentang ketidakadilan suatu kebijakan.
Ketidakkonsistenan aparat penegak hukum menangani pemberantasan korupsi di negeri ini semakin mengakibatkan rakyat tidak percaya pada pemerintahan presiden SBY-Boediono. Karena dibawah kendali presidenlah akan seperti apa reformasi penegakan hukum itu efektif atau tidak. Rezim yang hanya berkutak pada retorika politik dan menyibukan diri dengan pencitraan ditengah masyarakat dan mengabaikan tuntutan publik atas penataan reformasi penegakan hukum.
Korupsi menjadi menggurita dan begitu menguat hingga di berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah. Praktek klientelisme politik di Indonesia seakan-akan menjadi basis legitimasi praktek korupsi yang sangat sulit dibendungi dengan sistem politik dan hukum apapun yang dibuat negara. Lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang sesungguhnya diharapkan menjadi instrumen strategis menata proses demokrasi yang bermartabat pun tidak bisa diandalkan. Hegemoni politik dalam pembentukan undang-undang begitu kental sehingga sangat sulit bagi kita untuk melakukan perubahan sistem hukum yang lebih mengedepankan asas-asas imparsialitas dan mengetengahkan moralitas kemanusiaan sosial dalam konteks perbaikan akhlak bangsa. Lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif justu semakin menyibukan diri dengan agenda persiapan pemilu tahun 2014 sehingga bagaimana mungkin kita bisa mengaharapkan perubahan penegakkan hukum.

Memerangi Korupsi
Dalam konteks membangun kembali kepercayaan publik terhadap negara ditengah keterpurukan penegakkan hukum saat ini, yang paling tepat adalah mengefektifkan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani setiap perkara korupsi. Tidak bisa dihindari bahwa gebrakan KPK membongkar praktek korupsi simulator di Mabes Polri merupakan pesan positif yang mampu membangkitkan kembali harapan publik terhadap negara dalam menegakan keadilan.
Apapun istilahnya, cicak versus buaya jilid dua ini harus bisa mengembalikan public trust terhadap negara. KPK sudah bertindak profesional sesuai amanat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 11 dan Pasal 50 ayat (3-4) yang secara implisit memerintahkan KPK melakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga dengan demikian, langkah Polri yang memberi kesan seakan-akan membenturkan isu kasus simulator ini jelas sarat muatan politis.
Alangkah bijak jika presiden SBY mengintervensi kasus ini secara positif dengan menyerahkan penanganan dilakukan KPK. Karena masyarakat jauh lebih percaya KPK daripada institusi penegak hukum lain termasuk Polri. Tetapi sebaliknya, gebrakan KPK ini sebatas pengalihan isu pemberantasan korupsi yang lebih besar lainnya, maka tentu kinerja KPK ini akan sangat mengecewakan masyarakat. Karena KPK selama ini yang paling diandalkan rakyat, sekurang-kurangnya dalam konteks menangkap hingga menahan dan menjatuhkan hukuman bagi beberapa pelaku koruptor di tingkat pusat dan daerah.
Jeremy Pope dalam bukunya panduan transparency Internationl 2002, mengatakan, langkah untuk membangun metode penyelidikan dan pencegahan korupsi yang ampuh adalah membangun lembaga. Sistem lembaga yang tentu berintegritas bahkan menurutnya sistem integritas merupakan barisan paling depan. Kelembagaan pencegahan korupsi diisi oleh pegawai-pegawai yang berintegritas tinggi. Lembaga yang mempunyai sistem kerja berbasis pada nilai-nilai kebaikan universal dan tentu dengan dasar penekan keadilan.
Pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK memerlukan partisipasi masyarakat terutama LSM yang konsen terhadap penegakan hukum di Indonesia. Kejahatan korupsi di Indonesia sudah saatnya dihentikan. Karena kejahatan korupsi telah mengakibatkan berbagai penyakit kemanusiaan terutama penyakit pemiskinan rakyat secara sistematis dan terstruktur oleh negara.
Masyarakat harus memaknai kejahatan korupsi sebagai kejahatan internasional (lex feranda) yang harus diperangi bersama. Korupsi harus menjadi musuh bersama semua elemen warga bangsa (community's values)karena kejahatan korupsi telah merusak nilai-nilai keberagaman berbangsa (hostis humani generis).
Lembaga penegak hukum dibawah pimpinan Abraham Samad imi harus didukung penuh oleh publik guna terwujudnya sistem tatakelola pemerintahan yang profesional dan akuntabel di republik ini. KPK dan rakyat Indonesia harus bersatu dalam semangat menegakkan keadilan tanpa melihat kepentingan politik apapun selain untuk kebaikan dunia (“Fiat justitia et pereat mundus”).Penegakan hukum adalah suatu keharusan, rule of good dan rule of lawsejatinya dilakukan secara bersamaan karena lembaga KPK merupakan salah satu lembaga publik yang kini diharapkan untuk bisa menuntaskan kasus-kasus besar termasuk yang melibatkan aktor politisi pratai berkuasa maupun aktor elit yang berlindung dibaliknya. Sudah saatnya rakyat bersatu menghentikan praktek kejahatan kemanusiaan yang terus memakan korban pemiskinan (crimes against humanity).
Kepercayaan publik terhadp kinerja KPK tengah diuji, kasus korupsi simulator di Mabes Polri harus dituntaskan secara adil, sehingga masyarakat tidak serta-merta menganggap gebrakan KPK sebagai langkah pengalihan isu pemberantasan korupsi yang dipesan oleh kekuatan politik tertentu.

Korupsi Pemilu
Di sisi lain, praktek korupsi juga berkembang kuat di kalangan aktor penyelenggara Pemilu. KPU/KPUD/Provinsi/Kabupaten/Kota kian mencemaskan. Praktek korupsi dalam penyelenggaraan Pemilu pun berwarna. Suap-menyuap, dan sogok-menyogok, persekongkolan antara kontestasi Pemilu maupun antar oknum penyelenggara dengan elit partai politik dalam kepentingan tertentu kerap menimbulkan kekacauan Pemilu atau setidaknya persekongkolan jahat dalam proses penyelenggaraan Pemilu menghadirkan ketidakpastian hukum yang pada gilirannya melahirkan konflik politik.
Kemelut politik tingkat elit seringkali tidak bisa diselesaikan secara baik akibat aknum penyelenggara Pemilu yang ikut bermain dalam proses tahapan tertentu dalam penyelenggaraan. Kepentingan KPU/KPUD Provinsi/KPUD Kabupaten/Kota pun selalu berwarna sehingga potensi kecurangan pemilu sangat besar terjadi.
Dalam iklim demokratisasi untuk misi memenangkan kompetisi politik seringkali persaingan tidak sehat ditampilkan oleh peserta pemilu dan ditambah lagi dengan ketidakprofesionalan penyelenggara sehingga yang muncul konflik.
Sejalan dengan ini, perhelatan pemilu 2009 dan pemilui kada tahun 2010-2011 acapkali tidak berjalan demokratis. Kampanye pemilu kada misalnya, terutama calon incunbent memasang berbagai bentuk spanduk, poster, baliho, untuk mempromosikan diri dan hal ini menggunakan anggaran negara.
Calon pemimpin memobilisasi massa bahkan menggunakan aktor kekuatan politik eksternal seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, pemuka agama sebagai bagian strategis mengkampanyekan mereka melalui cara masing-masing sesuai kapasitas politik yang dimiliki. Dalam kaitan ini, jelas calon termasuk incunbent memeras energi dan sumber dana dengan improvisasi mereka untuk aktor politik tadi menjalankan fungsi-fungsi promosi. Tanpa disadari dalam kondisi ini praktek korupsi berupa penyalahgunaan jabatan, wewenang, kekuasaan, maupun mencari dan meminta bantuan sumbangan diluar aturan tetap dilakukan.
Kampanye dengan mobilisasi massa sebagaimana pada pemilu kada provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Banten, Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2011 jelas membutuhkan biaya yang banyak. Kampanye besar-besaran membutuhkan banyak dana, dan kenyataan seperti ini potensi terjadinya korupsi/manipulasi dana kampanye dan ini tentu bisa dilihat dari angka biaya kampanye yang cepat naik dan melonjak drastis. 
Praktek korupsi melalui tahapan pintu kampanye sangat besar terjadi karena pengawasan yang minim. Manipulasi jumlah anggaran kampanye merajalela karena potensi persekongkolan antara kontestan/calon dan aktor politik sangat mungkin. Dengan demikian, praktek korupsi dalam kerangka tahapan kampanye memerlukan pengawasan secara optimal dari semua pemangku kepentingan. Masyarakat pemantau pemilu dan kekuatan civil sociaty merupakan faktor penting dalam memantau jalannya tahapan kampanye pemilu dan pemilu kada.

Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Jakarta pertengahan September 2012




Kamis, 27 Oktober 2016

Keadilan Bernegara

Negeri Minus Keadilan

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli Di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



Kemajuan reformasi di bidang hukum, tidak disertai dengan penegakan hukum secara optimal. Rasa keadilan rakyat kecil selalu terganggu akibat begitu ambigu kebijakan pemerintah dalam dimensi penegakkan hukum. Hukum tidak memihak kepada rasa keadilan justis tetapi lebih mementingkan kepentingan segelintir elit, konglomerat, pejabat negara, yang maupun pemain-pemain politik diluar jalur kekuasaan formal yang notabene memiliki relasi kekuasaan. 
Beberapa kasus menghebohkan publik tidak mendapat perhatian secara maksimal penanganannya. Praktik korupsi semakin merajalela bahkan semakin mengancam jantung kehidupan berbangsa. Adakah elit pemimpin kita masih memiliki kepekaan politik untuk menempatkan keadilan sebagai instrumen fundamental dalam kehidupan bermasyarakat, dan bernegara?
Rapuhnya sistem penegakkan hukum memicu negara menjadi tidak berdaya. Ketidakberdayaan negara menciptakan kepastian hukum lebih disebabkan karena pemerintah yang koruptif dan distorsif. Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid kedua seharusnya bisa dengan optimal menata sistem hukum agar menjadi lebih progresif. Negara hendaknya tidak sekadar menata sistem hukum pada aspek-aspek yuridis saja tetapi norma hukum (role of law), legalitas, otoritas hukum, serta pada dimensi politikologik.
Dalam aspek politikologik, disebutkan Henc Van Maarsveen, 1978), sebagai personifikasi politik patronialistik, peristiwa politik yang aktual, teori-teori politik, praktik peradilan. Konsep ini lebih dilihat sebagai socio-political, legal and philosophical concepts of the state. Negara adalah instrumen yang paling pokok sebagai institusi yang fundamental dalam melakukan penyelenggaraan kekuasaan negara. Oleh karena itu, kekuasaan negara harus secara filosofis menjelmakan diri dalam wujud kekuasaan yang bersifat legitimitas.
Problem yang kini menderah bangsa ialah tidak ada sistem yang mengatur bagaimana membangun persepsi masyarakat tentang praktik korupsi sebagai sebuah tindakan kriminal kemanusiaan (crimes against humanity) atau dalam defenisi teknisnya disebut sebagai lex feranda, sebuah kejahatan yang setara dengan praktik genosida. Dan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid kedua dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa praktik korupsi termasuk di dalamnya praktik mafia pemilihan umum (pemilu). Mafia pemilu sesungguhnya lebih dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan baik berupa materi maupun kekuasaan.

Kejahatan Korupsi
Apapun teorinya, korupsi merupakan tindakan kriminal yang bertujuan untuk meraup keuntungan. Korupsi umumnya dilakukan karena ada kesempatan berkuasa, memegang jabatan, wewenang tertentu yang strategis.
Kriminalisasi birokrasi pemerintah seakan-akan menjadi pekerjaan “politik para politisi bandit”. Mereka semena-mena, bebas keluar masuk kantor terkadang tanpa protokoler resmi, bahkan sangat kreatif merancang dan mengagendakan pertemuan-pertemuan illegal diluar kantor atas nama kordinasi dan konsolidasi atau konsultasi yang semuanya dimaksudkan untuk berkorporasi.
Di satu sisi semakin menguat tuntutan publik akan reformasi sistem penekan hukum beserta kiat-kiat pemberantasan korupsi, praktik mafia hukum dan mafia peradilan  yang kian menggurita agar ditangani secara tuntas hingga ke akar-akarnya, tetapi pada sisi lain, praktik korupsi justru terus tumbuh dan berkembang di berbagai instansi pemerintahan. Maraknya praktik korupsi, boleh jadi dikarenakan faktor lemahnya penegakkan hukum. Lemahnya penegakkan hukum juga selain karena sistem yang kurang bersahabat dengan keadilan bagi rakyat lemah juga perilaku aparat penegak hukum yang tidak disiplin pada peraturan dan perundang-undangan yang ada.
Semakin sulit rakyat menemukan keadilan negara. Negara memperlakukan keadilan kepada mereka kurang pantas selayaknya manusia yang memiliki hak asasi yang paling hakiki, bahkan rakyat dibuat kehilangan keteladanan kepemimpinan yang patuh pada penegakkan hukum berbasis keadilan. Bukan menjadi rahasia umum, apabila kesan yang dirasakan masyarakat sekarang ialah keadilan hanya member perhatian kepada para koruptor, bandit politik, dan penjahat ekonomi semata. Ketika masyarakat kecil tidak berdaya melakukan pelanggaran sekecil apapun, dan ketika harus berhadapan dengan institusi penegak hukum selalu dalam posisi yang kurang menguntungkan. Keberpihakan keadilan negara dalam kehidupan nyata masih sangat memprihatinkan. Hal ini karena upaya-upaya penegakan keadilan seringkali dijadikan sebagai alat politik elit berkuasa untuk memaksakan kehendak dan sebagai cara memberangus lawan politik.
Sangat disayangkan, negara terus diperlakukan secara tidak pantas dan tidak selayaknya sebagai sebuah bangsa berkultur kesantunan oleh setiap rezim yang berkuasa. Keadilan diperuntukan bagi yang berkuasa dan tidak adil untuk lawan, musuh politik termasuk rakyat kecil. Hal tersebut bisa dipahami karena keadilan menurut manusia memang paling mudah direkayasa, paling gampang dipolitisasi, dan paling respek terhadap yang memodalinya. Keadilan hukum dalam negara otoriter yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi modern seringkali dimotivasi oleh kekuatan finansial. Maka wajar bila masyarakat menilai, untuk mendapat keadilan negara maka harus bekerjasama dengan para bandit politik atau para konglomerat hitam yang kreatif.
Rapuhnya fondasi keadilan negara memicu konflik politik di tingkat politisi vertikal. Konflik politik tingkat kelas vertikal acapkali mengorbankan kepentingan masyarakat kelas menengah kebawah, karena masyarakat politik yang dibangun berdasarkan sistem kebersamaan visi, misi, termasuk kebersamaan kepentingan akan terlibat baik secara fisik maupun non-fisik kedalam pertengkaran merebut kekuasaan.
Mencermati kondisi penegakan hukum era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terus memicu keprihatinan publik sebagai ekspektasi kekecewaan terhadap beberapa kasus yang tidak kunjung tuntas tentu menjadi suatu catatan tersendiri bagi negara dalam upaya-upaya nyata memperbaiki kinerja khususnya dalam penegakan hukum agar bisa benar-benar menempatkan keadilan sebagai landasan bernegara. Meskipun usaha arah kesana dalam kondisi tertentu terlihat ada kecenderungan baik untuk menghadirkan kepastian hukum, namun dari sisi keadilan substansial dan dari konteks kacamata hukum progresif masih terbaca adanya tebang pilih.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika terpilih pada periode pertama 2004 sampai dengan 2009, begitu dilantik langsung “memproklamirkan siap” jadi panglima pemberantasan korupsi. Periode pertama pemerintahan Presiden SBY banyak menunjukkan terobosan berarti, banyak mantan maupun yang sedang menjabat jadi anggota DPRD serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diseret ke pengadilan karena terlibat dalam praktik korupsi.
Akan tetapi memasuki pemerintahan periode kedua, mulai terasa jelas, betapa efek praktik korupsi dibungkus rapi dan sistematis yang pelaku-pelakunya adalah aktor politik dalam drama kekuasaan mulai terkuak terutama aktor titipan di birokrasi lembaga negara yang strategis, sebut saja semisal skandal pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom, yang kemudian menggemparkan isu praktik mafia perbankan Indonesia. Kasus perampokan di Bank Century adalah potret kejahatan perbankan nasional yang menyeret beberapa nama penting seperti Wakil Presiden Boediono dan Sri Mulyani yang hingga akhirnya menelan pil pahit karena diturunkan ditengah jalan.

Membangun Kredibilitasi
Tidak ada pilihan lain, selain kemauan kepemimpinan nasional mengambil langkah-langkah bijak, berani, tegas, dan profesional menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang menghebohkan seperti skandal Bank Century bersama praktik mafia perbankan, mafia hukum dan peradilan dengan segala praktik transaksi kasus hukum, serta kasus korupsi pembangunan wisma atlet Sea Games di Palembang, serta kasus-kasus korupsi lain yang dianggap publik sangat meresahkan karena melibatkan petinggi-petinggi partai politik yang sedang berkuasa. Iillegal acts atau korupsi yang sifatnya sistemik kelembagaan dengan melibatkan aktor birokrasi semakin mengharu birukan negeri ini.
Apabila tindakan pencegahan korupsi tidak dilakukan secara dini, maka sudah bisa dipastikan bahwa akan sangat sulit bangsa ini mewujudkan visi pembangunan di bidang hukum dengan mewujudkan Indonesia berdasarkan negara yang demokratis dan bermanifestasikan hukum yang adil. Parameter terwujud tidaknya visi bangsa dalam membangun kualitas penegakan hukum dapat dilihat dari terciptanya law enforcment dan supremasi hukum serta tegaknya hak asasi manusia yang bersumber dari dasar bernegara kita yakni Pancasila dan UUD 1945. Terbangunnya tata kelola pemerintahan berbasis good governance, serta menjadikan hukum sebagai landasan moral politik dalam kehidupan bangsa yang jujur, transparan, adil, akomodatif, aspiratif, dan responsif.
Negara harus mampu mengembalikan kepercayaan publik terutama bagaimana membangun rasa percaya masyarakat terhadap keberhasilan manajemen kepemimpinan bangsa. Jika tidak, maka apa yang telah dikerjakan pemerintahan KIB selama dua periode akan hilang dari memori publik karena kecendrungan rakyat lebih melihat banyaknya kebijakan yang mengecewakan jauh lebih kuat daripada sekadar melihat prestasi yang telah dikerjakan.
Pemerintahan KIB harus kembali membangun kredebilitasi kepemimpinan nasional, dan kredebilitasi kepemimpinan bisa dibangun tidak hanya dengan pencitraan yang bombastis tetapi harus dengan kebijakan-kebijakan baru yang lebih prorakyat.
Dalam konteks ini, ilmuan politik, Steven M. Bornstein, menulis, beberapa karakter yang mencerminkan kepemimpinan yang pro-rakyat, antara lain, masalah keyakinan dan komitmen (conviction),  integritas yang didalamnya termasuk kejujuran, kearifan lokal, respek, responsif, dan selalu konsisten dalam tindakan, character, berani mengambil sikap yang tegas dan penuh tanggungjawab, courage, SBY dalam memberikan reaksi terhadap isu-isu politik yang menyudutkan pemerintahan yang dipimpinnya harus penuh bijak (composume), dan Presiden SBY harus mampu memenej pemerintahan berbasis kompetensi sehingga para menteri yang bekerja pun bisa secara profesional (competence). Ironis bila Presiden SBY terus terlarut dalam situasi dan kondisi politik yang tidak menguntungkan. Langkah ini penting dilakukan guna memperbaiki krisis kredebilitasi kepemimpinan nasional yang saat ini semakin menggurita.
Pola pendekatan pemberantasan korupsi hendaknya dilakukan secara sistematik melalui lembaga-lembaga penegak hukum. Negara Cina menggunakan pendekatan pemeberantasan korupsi dengan pola kelembagaan. Cina membentuk apa yang dikenal sebagai independent Commission Against Curruption (ICAC), yang berkedudukan di Hong Kong. Keberadaan lembaga ini semula dipandang remeh masyarakat. Akan tetapi dalam prosesnya lembaga ini mampu mewujudkan pemberantasan korupsi secara radikal. Seorang Prof. terkemuka dari Hong Kong, S.S. Hueh, pernah mengilustrasikan pendapatnya tentang pembentukan lembaga tersebut, sebagai “the growth of the law on corruption can not be divorced from changes in the socio-economic and political setting”.
Pendekatan pemberantasan korupsi secara kelembagaan memerlukan tingkat kewenangan yang memadai karena motivasi seseorang melakukan tindakan korupsi lebih disebabkan kepentingan ekonomi dan kesempatan berkuasa. Sangat erat hubungan antara sumber kekuasaan dan kepentingan ekonomi yang membuat seseorang berbuat korupsi secara kelembagaan. Maka wajar, bila keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang semula diharapkan sebagai institusi yang bisa mereduksi angka kejahatan korupsi dengan dibekali kewenangannya (extra ordinary power) ternyata dikriminalisasikan hingga lemah dan tak berdaya.
Keadilan harus ditransformasikan dalam tataran implementatif oleh pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid kedua dalam konteks bernegara secara nyata dan harus bisa menyentuh nurani keadilan rakyat. Karena korupsi di tingkatan partai politik terutama partai penguasa tidak semata-mata memperkuat image dan citra negatif rakyat terhadap perilaku politik elit yang menyimpang dari standar nilai-nilai berdemokrasi tetapi sekaligus mempertajam persepsi publik selama ini mengenai kegagalan pemerintah dalam menjalankan komitmen pemberantasan korupsi. Masih ada ruang kesempatan untuk pemerintahan KIB Jilid kedua memperbaiki kinerja dengan meningkatkan gerakan pemberantasan korupsi secara tegas, profesional, dan proporsional, tanpa diselipi kepentingan-kepentingan politik sesaat.
Sebagai pemimpin yang bijak, Presiden SBY dan pemerintahan KIB Jilid kedua yang dipimpinnya harus melakukan gerakan nyata dan mampu meyakinkan kepercayaan masyarakat mengenai penegakan keadilan tanpa diskriminasi, tanpa muatan politik, tanpa disertai kebijakan politisasi, tanpa intimidasi, tanpa intervensi, dan tanpa memiliki kemauan politik tertentu tetapi benar-benar murni untuk kepentingan bangsa dan negara. Dengan demikian, nilai reputasi kepemimpinan Presiden SBY selama memipin negara tetap akan dikenang masyarakat, tetapi jika sebaliknya, penegakan hukum sarat muatan politik maka sudah pasti, nilai reputasi kebaikan pemerintahan SBY selama ini menjadi tenggelam bahkan mengesankan image kurang baik. Dan hal ini tidak diinginkan setiap pemimpin bijak di negara manapun.

Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Jakarta,  9 Oktober 2012.


Senin, 24 Oktober 2016

Mahalnya Keadilan Bernegara

Negara Berkeadilan

Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



Tegaknya keadilan di suatu negara mengindikasikan negara tersebut memiliki pemimpin yang berwatak keras, kuat, namun tetap punya kepekaan sosial serta kelembutan rasa terhadap sesama sebagai warga bangsa. Menegakkan keadilan di muka bumi ini merupakan tanggungjawab semua warga bangsa. Tetapi dalam konteks kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, negara memiliki tanggungjawab utama dalam memainkan peran tanggungjawab tersebut.
Rasa keadilan rakyat kecil semakin terganggu akibat begitu ambigu kebijakan pemerintah dalam dimensi penegakkan hukum. Hukum tidak lagi memihak kepada justis lagi tetapi lebih mementingkan kepentingan para elit maupun politisi, konglomerat, pejabat negara, yang notabene adalah sedang berkuasa maupun yang memiliki relasi kekuasaan. 
Problem yang kini menderah bangsa ialah tidak ada sistem yang mengatur bagaimana membangun persepsi masyarakat tentang praktik korupsi sebagai sebuah tindakan criminal kemanusiaan (crimes against humanity) atau dalam defenisi teknisnya disebut sebagai lex feranda, sebuah kejahatan yang setara dengan praktik genosida.
Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid kedua dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus dihadapkan dengan kejadian-kejadian praktik korupsi termasuk di dalamnya adalah praktik mafia pemilihan umum (pemilu). Mafia pemilu sesungguhnya lebih dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan baik berupa materi maupun kekuasaan. Apapun teorinya, korupsi merupakan tindakan criminal yang bertujuan untuk meraup keuntungan. Korupsi umumnya dilakukan karena ada kesempatan berkuasa, memegang jabatan, wewenang tertentu yang strategis.
Kriminalisasi birokrasi pemerintah seakan-akan menjadi pekerjaan “politik para politisi bandit”. Mereka semena-mena, bebas keluar masuk kantor kadang tanpa protokoler resmi, bahkan sangat kreatif merancang dan mengagendakan rapat maupun pertemuan-pertemuan illegal diluar kantor atas nama kordinasi dan konsolidasi atau konsultasi untuk menciptakan peluang terjadinya korupsi.
Semakin sulit rakyat menemukan keadilan di negeri ini karena rakyat dibuat kehilangan keteladanan kepemimpinan yang patuh pada penegakkan hukum yang berbasis keadilan. Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa di negeri ini keadilan hanya memberikan perhatian kepada para koruptor, bandit politik, dan penjahat ekonomi semata.
Sungguh sangat ironi, negari ini terus diperlakukan secara tidak pantas dan tidak selayaknya sebagai negara yang berkultur kesantunan, kejujuran oleh rezim yang kurang memperhatikan rasa keadilan masyarakat lemah. Adil bagi yang berkuasa dan tidak adil untuk lawan, musuh politik apalagi untuk rakyat kecil. Keadilan model manusia memang paling mudah direkayasa, paling gampang dipolitisasikan, dan paling tanggap terhadap yang memodalinya.
Keadilan hukum versi manusia lebih dimotivasi oleh kekuatan finansial. Maka wajar bila masyarakat menilai untuk mendapatkan keadilan di negeri harus bekerjasama dengan para bandit politik atau setidaknya para konglomerat hitam yang kreatif.
Tidak ada perbedaan manajemen negara berbasis Orde Baru, korupsi tumbuh dan menjamur di berbagai institusi pemerintahan. Manajmen negara bagaikan apa yang diistilahkan Anthony Jay, pemikir manajemen, states and corporations ccan be defined in almostan be defined in almost exac exactly tly the same way: institutions for effective employment of resources. Tidak ada perbedaan antara manajemen pemerintahan bersifat underdeveloped) dengan manajemen Negara maju (developed).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika terpilih pada periode pertama 2004 sampai dengan 2009, begitu dilantik langsung “memproklamirkan” untuk menjadi panglima pemberantasan korupsi. Periode pertama pemerintahan Presiden SBY banyak menunjukkan terobosan fenomenal, para mantan maupun yang sedang menjadi anggota DPRD serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diseret ke pengadilan karena diketahui terlibat dalam praktik korupsi. Akan tetapi memasuki pemerintahan periode kedua, mulai terasa jelas, betapa efek praktik korupsi dibungkus rapi dan sistematis yang pelaku-pelakunya adalah aktor politik dalam drama kekuasaan mulai terkuak terutama aktor titipan di birokrasi lembaga negara yang strategis, sebut saja semisal Bank Indonesia, yang kemudian mampu menggemparkan isu praktik mafia perbankan Indonesia.
Kasus Baal out Bank Century adalah sebuah potret kejahatan perbankan nasional yang menyeret beberapa nama penting seperti Wakil Presiden Boediono dan mantan Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang hingga akhirnya menelan pil pahit karena diturunkan ditengah jalan.
Yang menarik dari kasus Bank Century, tercium agenda terselubung kampanye pemilu 2009. Kampanye politik dalam rangka membangun image sebagai pemimpin yang konsisten memberantas korupsi memerlukan biaya tinggi. Pertarungan politik antara pasangan SBY-Boediono, Jusuf Kalla-Wiranto, Megawati-Prabowo terlihat sangat kuat aroma pertandingan tidak elegan karena rival incunbent selain Megawati-Prabowo yang punya kesan politik kurang respektif terhadap SBY, juga pasangan JK-Wiranto yang sebelumnya terjadi silang komunikasi kekuasaan yang kurang sinergis.
Dalam konteks ini, isu penyimpangan dibalik skandal Bank Century menyeret nama-nama elit yang notabene orang dekat presiden SBY yang juga selaku calon incunbent. Banyak perdebatan politik yang menjurus pada ketidakpercayaan publik terhadap proses dan hasil pemilu 2009 atau sekurang-kurangnya isu skandal Century dijadikan senjata oleh lawan politik SBY untuk membuat pencitraan negatif. Namun demikian, penyelesaian skandal Bank Century harus menjadi agenda prioritas presiden guna menjawab anggapan dan persepsi pembenaran politik sepihak dari pihak oposisi yang kerap bersuara lantang. Tetapi sebaliknya, jika sakandal Bank Century benar-benar membuktikan ada agenda menjelang pemilu maka penyelesaian kasus baik secara hukum positif dan etika kebangsaan harus ditegakkan.

Membangun Kredibilitasi
Agenda reformasi berupa menciptakan sistem pemerintahan berbasis good governance terus dihadapkan dengan banyak kendala termasuk praktek korupsi yang menjadi faktor ancaman. Hampir semua pilar demokrasi dan kekuatan politik yang ada, mulai dari partai politik, konglomerat, tokoh masyarakat, pemuka agama/adat dan media massa masih memperlihatkan mengembangkan tradisi politik kepentingan sektoral dan prioritas keuntungan politik parsial masih kuat. Paradigma politik kepentingan sektoral ini kerap menjadi bom waktu yang panjang dalam mengatasi krisis multidimensi yang tengah mendera bangsa.
Oleh sebab itu, sesungguhnya tidak ada pilihan lain, selain kemauan kepemimpinan nasional untuk mengambil langkah-langkah bijak, berani, tegas, dan professional untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang menghebohkan seperti ball out Bank Century dengan mafia perbankannya, mafia hukum dengan segala praktik transaksi kasus hokum, serta kasus korupsi pembangunan wisma atlet SEA GEAMS di Palembang, serta kasus-kasus korupsi lain yang dianggap publik sangat meresahkan karena melibatkan petinggi-petinggi partai politik.
Jika tindakan pencegahan korupsi tidak dilakukan secara dini, maka sudah bisa dipastikan bahwa akan sangat sulit bangsa ini mewujudkan visi pembangunan di bidang hukum yakni mewujudkan Indonesia berdasarkan negara yang demokratis bermanifestasikan hukum dan keadilan. Tolok ukur apakah terwujud tidaknya visi bangsa dalam membangun di bidang hokum dapat dilihat dari sisi terciptanya law inforcment atau supremasi hukum serta tegaknya hak asasi manusia yang tetap bersumber dari UUD 1945.
Terbangunnya tata kelola pemerintahan yang berbasis good governance, serta menjadikan hukum sebagai landasan mencptakan suasana kehidupan bangsa yang jujur, transparan, adil, akomodatif, aspiratif, dan responsif.
Presiden SBY harus mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap keberhasilan manajemen kepemimpinan bangsa selama berkuasa. Jika tidak, maka apa yang dikerjakan Presiden SBY selama dua periode memimpin akan hilang dari pembicaraan publik karena kecendrungan rakyat melihat kebijakan yang mengecewakan jauh lebih kuat daripada sekadar melihat prestasi yang telah dikerjakan.

Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas
Pandeglang pertengahan Januari 2012



Senin, 17 Oktober 2016

Artikel Lepas

Menata Instrumen Penyelenggara Pemilu
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)


Masyarakat bangsa Indonesia tentu merasa bahagia atas suksesnya perhelatan akbar pemilihan umum (pemilu) yang digelar tahun 2009. Sirkulasi kepemimpinan nasional dilaksanakan lima tahun sekali ini dapat berjalan dengan aman, lancar, dan damai, tanpa letupan-letupan destruktif.
Implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu dan Undang-UndangPemilu Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemiluanggota DPR, DPD dan DPRD – masing-masing sudah direvisi jadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dihadapkandenganbanyakkendala.
Tetapi dengan diterapkannya sistem Parliamentary Thrreshold (PT) sekurang-kurangnya mampu menciptakan iklim kompetisi yang demokratis dalam Pemilu. Dalam Pasal 9 UU 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pileg) mengharuskan setiap pasangan calon diusulkan oleh Parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.
Dengan sistem PT semakin memperkuat upaya kita dalam membangun kualitas demokrasi. Jika pemilu 2004 ada 24 peserta Parpol, maka Pemilu 2009 terdapat 34 Parpol yang turut memeriahkan perhelatan Pemilu. Dengan sistem yang berbeda dan serba baru tentu sangat memicu berbagai konsekuensi. Meski berbagai upaya perbaikan sistem pengawasan pemilu telah di laksanakan, akan tetapi faktanya, penyelenggaraan pemilu 2009 dan sepanjang pelaksanaan pemilu kada 2010-2011 masih diwarnai praktek-praktek penyimpangan.
Manipulasi suara, penyalahgunaan wewenang dan penggunaan fasilitas negara oleh kandidat incumbent masih menjadi persoalan tersendiri bagi perbaikan kualitas pemilu di masa-masa mendatang. Partisipasi masyarakat menggunakan preferensi politik juga masih membutuhkan kerja keras semua pihak pemangku kepentingan dalam Pemilu. Permasalahan DPS, DPT ganda, ketertutupan informasi, pelanggaran Kode Etik penyelenggara, serta bentuk-bentuk distorsi pemilu kada yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif oleh calon kandidat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah beserta tim sukses masih mewarnai Pemilu Kada. Ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat dalam memahami pentingnya proses dan hasil pemilu masih minim.
Dengan demikian, titik tekan paradigma baru dalam melakukan penataan sistem demokrasi yang patut dikedepankan adalah bagaimana melibatkan pemantau dan pengawas pemilu secara optimal guna memberikan pemahaman dan pendidikan politik bagi warga bangsa dengan baik, bahwa Pemilu harus dipahami sebagai suatu momentum untuk menjalankan kedaulatan rakyat secara adil dan demokratis.
Pemilu sebagai suatu peristiwa penting dalam sejarah politik bangsa karena Pemilu mengharuskan adanya rotasi kepemimpinan di setiap level. Oleh karena Pemilu merupakan momen “politik yang cukup mahal” perbaikan kehidupan berbangsa, dan bernegara dalam segala dimensi, maka profesionalitas dan integritas penyelenggara pemilu perlu diawasi sehingga bias terwujudlah pemilu yang luber dan jurdil.
Sebagai lembaga baru produk reformasi, Bawaslu dan Panwaslu Kadadengan berbagai keterbatasan wewenang tidak kemudian menganggap keterbatasan wewenang jadi penghalang gerak aktif lembaga dalam melakukan pengawasan Pemilu, tetapi keterbatasan justru dijadikan sebagai tantangan dan membuat kita semakin kreatif menjalankan tugas dan fungsi dengan baik. Dalam konteks itu, transformasi demokrasi modern pasca reformasi setidak-tidaknya sudah banyak memberikanperubahan sistem Pemilu yang demokratis dan dalam kerangka pencerdasan politik bagi rakyat semakin memperlihatkan dimensi perbaikan yang prospektif.

Catatan: Arsip/Fail tulisan Artikel Lawas
“Pandeglang, 17 Oktober 2012”




Selasa, 11 Oktober 2016

DKPP Mengawal Integritas Pemilu 2014

Peran DKPP Mengawal Pemilu 2014
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Komisi II secara tegas siap mendukung dan mengawal keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak meloloskan 12 partai peserta pemilu untuk pemilu calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota 2014. Dari 46 partai politik tercatat 9 parpol yang lolos parliamentary threshold pemilu 2009 dan sebanyak 37 parpol nonparlemen. Artinya, peserta pemilu 2014 yang lolos diverifikasi pada tahap verifikasi administrasi sebanyak 34 parpol, sedangkan sisa 12 parpol tidak lolos dikarenakan tidak memenuhi ketentuan syarat administrasi. Ke-12 parpol yang tidak lolos sebenarnya relatif buram alias tidak punya perwakilan di parlemen.
Penyelenggaraan pemilihan umum pasca reformasi masih  jauh dari harapan dan kenyataan. Publik selalu dicekoki dengan isu-isu reformasi sistem pemilu sebagai bentuk penataan demokratisasi. Hari Senin tanggal 10 September 2012 Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengadakan penandatanganan Peraturan Bersama Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan Pedoman Beracara Penyelenggaraan Pemilu serta MoU yang sebelum telah dirumuskan ketiga institusi. Penandatangan dilakukan di Kantor KPU Jalan Imam Bondjol Nomor. 29 Jakarta. Tiga lembaga ini setidaknya menunjukkan pada publik ada semangat positif untuk membenahi kualitas demokrasi dalam konteks yang lebih sederhana melakukan penataan penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Tentu ini merupakan momentum yang dinanti-nanti dan boleh dikatakan “sejarah baru” selama pasca reformasi. Reformasi telah melahirkan berbagai perubahan sistem politik yang cukup menggembirakan. Berbagai instrumen demokrasi dibentuk dengan maksud menata kualitas demokrasi dan dengan harapan setiap lembaga baru mampu menghasilkan solusi penyelesaian kebuntuan pembangunan nasional.
Artinya, ada yang dapat bekerja efektif dan ada pula yang sebaliknya menambah persoalan baru dalam perspektif penataan sistem politik dan struktur ketatanegaraan kita. Maka tidak heran jika ada instrumen demokrasi yang bekerja efektif dan efisien sehingga eksistensinya di mata publik mendapat respon positif, tetapi ada pula difungsikan menjadi pelengkap atau sekadar dimanfaatkan sebagai alat politik penguasa untuk melanggengkan kekuasaan atasnama penataan demokrasi.
Dan kenyataan inilah yang melahirkan persepsi publik sebagai politik akomodasi rezim yang tidak pada tempatnya. Tetapi dalam kerangka perbaikan penyelenggaraan pemilu keberadaan tiga lembaga ini menjadi begitu urgen untuk difungsikan menjadi bagian inti dari perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu. KPU, Bawaslu, dan DKPP adalah instrumen strategis yang diharapkan bisa memainkan peran berdasarkan tugas dan fungsi kelembagaan. Tetapi kebijakan kelembagaan saja tentu tidak cukup bila tidak didukung ketersediaan sumber daya manusia dan infrastruktur.

Kasus
Permintaan presiden kepada Panwaslu agar memeriksa keabsahan keberadaan anggota KPU yang dituangkan dalam surat B.501/M. Sesneg/7/1999 tanggal 27 Juli 1999 dengan dasar Pasal 33 PP No. 33/1999 tentang pelaksanaan UU No. 3/1999 karena KPU menyerahkan penyelesian penetapan keseluruhan hasil pemilu pada presiden dianggap sebagai lembaga yang paling berwenang menetapkan hasil pemilu menurut Pasal 65 UU No. 3/1999 tentang pemilu sempat membuat publik cemas dan skeptis. Namun terlepas dari persepsi dan interpretasi politik pemilu 1999 berjalan cukup demokratis.
Penyimpangan dan ketidakprofesionalan pengambilan keputusan mewarnai hasil penghitungan suara dan pelanggaran yang tidak saja melibatkan oknum anggota KPU namun kontestan pemilu jadi catatan tersendiri. Kontestan pemilu jelas memiliki kepentingan kuat dalam proses perebutan kekuasaan sehingga mobilisasi sumber daya politik cenderung dilakukan tanpa mengindahkan nilai-nilai keadaban demokrasi. Jenis-jenis pelanggaran pemilu 1999 berupa penyimpangan dalam bentuk pelanggaran administrasi dicatat sebanyak 606 (26,81%) dari keseluruhan provinsi.
Pemilu 2004 diikuti 24 partai politik dan menggunakan sistem yang berbeda dari pemilu 1999. Pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional terbuka untuk pileg sedangkan pilpres menggunakan sistem langsung (one man one voter). Pemilu 2004 menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Masyarakat menggunakan hak pilih selama tiga kali pemilu yakni pileg, pilpres putaran pertama dan kedua tercatat 80% dan suara sah rata-rata 95% dari DPT yang ditetapkan KPU.
Dengan demikian, momentum penandatanganan peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP dan diperkuat dengan penandatanganan MoU sekurang-kurangnya membuktikan adanya kemauan dan komitmen bersama untuk menjalankan aturan main pemilu hendaknya mampu melahirkan kesadaran baru. Sebuah kesadaran etik untuk memuliakan perilaku sosial dalam konteks kehidupan berbangsa, dan bernegara, atau meminjam istilah Jimly Asshiddiqie, saatnya bangsa menata akhlak bangsa dalam politik.


Catatan:
Tulisan ini merupakan arsip/fail lawas/Jakarta, 29 Oktober 2012.