Mengawal Komitmen Pemilu Demokratis
Oleh : Rahman Yasin
(Tenaga Ahli Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilihan Umum)
Senin tanggal (10/9/2012) kemarin Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
mengadakan penandatanganan Peraturan Bersama Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan
Pedoman Beracara Penyelenggaraan Pemilu serta MoU yang sudah dirumuskan tiga
lembaga tersebut. Penandatangan
dilakukan di Kantor KPU Jalan Imam Bondjol No. 29 Jakarta jam 10.30 Wib. Tiga
lembaga ini setidaknya menunjukkan kepada publik bahwa ada semangat positif
untuk membenahi kualitas demokrasi dalam konteks yang lebih sederhana melakukan
penataan penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
Tentu ini merupakan momentum yang sangat
dinanti-nanti dan boleh dikatakan “sejarah baru” selama pasca reformasi.
Reformasi telah melahirkan berbagai perubahan sistem politik yang cukup
menggembirakan. Berbagai instrumen demokrasi dibentuk dengan maksud menata
kualitas demokrasi dan dengan harapan setiap lembaga baru mampu menghasilkan
solusi penyelesaian kebuntuan pembangunan nasional.
Keberadaan lembaga-lembaga baru di era
pemerintahan reformasi ditandai dengan empat kali amandemen UUD 1945 tetapi
nampaknya dari sisi efektivitas dan efisiensi penyelesaian persoalan bangsa
masih menjadi debatable. Karena realitas menujukkan kinerja
lembaga-lembaga baru masihfariatif.
Artinya, ada yang dapat bekerja efektif
dan ada pula yang sebaliknya menambah persoalan baru dalam perspektif penataan
sistem politik dan struktur ketatanegaraan kita. Maka tidak heran jika ada
instrumen demokrasi yang bekerja efektif dan efisien sehingga eksistensinya di
mata publik mendapatrespon positif, tetapi ada pula difungsikan menjadi
pelengkap atau sekadar dimanfaatkan sebagai alat politik penguasa untuk
melanggengkan kekuasaan atasnama penataan demokrasi. Dan kenyataan inilah yang melahirkan
persepsi publik sebagai politik akomodasi rezim yang tidak pada tempatnya.
Tetapi dalam kerangka perbaikan
penyelenggaraan pemilu keberadaan tiga lembaga ini menjadi begitu fital untuk
difungsikan menjadi bagian inti dari perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu.
KPU, Bawaslu, dan
DKPP adalah instrumen strategis yang diharapkan bisa memainkan peran
berdasarkan tugas dan fungsi kelembagaan. Tetapi kebijakan kelembagaan saja
tentu tidak cukup bila tidak didukung ketersediaan sumber daya manusia dan
infrastruktur.
Pemilu
Era Reformasi
Bukan lagi menjadi rahasia umum (public secret) penyelenggaraan
pemilu sejak era reformasi tahun 1999, 2004, dan 2009 masih jadi perbincangan
politik yang kurang menyenangkan, kecuali pemilu 1999 yang boleh jadi cukup
melegahkan semua pihak. Pemilu 1999 merupakan tonggak sejarah baru dalam
berdemokrasi setelah melewati musim otoriter yang panjang dan keterjebakan
rezim menerapkan sistem oligarki partai politik. Selama 32 tahun masyarakat
Indonesia tidak menikmati kebebasan sehingga pemilu 1999 merupakan titik tolak
demokratisasi yang menghantarkan bangsa kembali menemukan semangat keterbukaan.
Secara umum pemilu 1999 yang diikuti 48
partai dengan digunakan sistem stembus accord dapat dikatakan lebih memenuhi syarat “free
and fair election”,namun pelanggarandan muatan conflict of interest
yang turut mengganggu independensi KPU tetap saja muncul. Kontradiksi
penafsiran UU No. 3/1999 tentang Pemilu antara pemerintah dan KPU memicu
ketidakkonsistenan penyelenggaraan pemilu dalam menyelenggarakan pemilu yang
profesional.
Jenis pelanggaran tata cara penyelenggaraan
pemilu 694 (30,6%), sedangkan jenis pelanggaran tindak pidana pemilu 709
(31,33%),many politic 96 (4,2%) dan pelanggaran netralitas PNS 156
(7,06%). Dengan demikian akumulasi pelanggaran pada tingkat provinsi hingga
2261 dan proses penyelesiannya pun tidak efektif. Dari total kasus yang
dilimpahkan ke pengadilan 4 (0,17%), ke Kepolisian 395 (17,4%), yang
diselesaikan hanya 1862 (82,35%). Betapapun demikian, pemilu 1999 mendapat
apresiasi yang tinggi dari berbagai masyarakat termasuk dunia Internasional.
Pemilu 2004 diikuti 24 partai politik
dan menggunakan sistem yang berbeda dari pemilu 1999. Pemilu 2004 menggunakan
sistem proporsional terbuka untuk pileg sedangkan pilpres menggunakan sistem
langsung (one man one voter). Pemilu 2004 menunjukkan tingkat
partisipasi masyarakat yang tinggi. Masyarakat menggunakan hak pilih selama
tiga kali pemilu yakni pileg, pilpres putaran pertama dan kedua tercatat 80%
dan suara sah rata-rata 95% dari DPT yang ditetapkan KPU.
Pelanggaran pemilu 2004 baik pemilu calon anggota
DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota mencapai 3.152 kasus pelanggaran
tindak pidana pemilu, dan pemilu calon anggota legislatif 2009 meningkat jadi
6.019. Secara keseluruhan pelanggaran adminsitrasi pelaksanaan pileg 2009 dari
semua tahapan pemilu sebanyak 420, dan yang diteruskan Panwaslu ke KPU 317 dan
yang diselesaikan KPU hanya 129 kasus. Sedangkan pelanggaran administrasi
pilpres sebanyak 81 dan ditindaklanjuti ke KPU hanya 76 dan yang sangat
disayangkan tidak ada penyelesian secara tuntas. (Baca: Sisi Gelap Pemilu
2009; Potret Aksesori Demokrasi Indonesia).
Pemilu 2009 diikuti 44 partai politik,
12.000 calon anggota DPR, DPD, dan 32.263 caleg DPRD Provinsi dan
Kabupaten/Kota dan pilpres satu putaran diikuti tiga pasangan calon presiden
namun proses dan hasil pemilu 2009 menyisahkan berbagai kecurigaan politik.
Dalam konteks tersebut, penyelenggaraan
pemilu selama era reformasi sesungguhnya masih jauh dari cita-cita reformasi.
Kebebasan demokrasi belum seutuhnya dimaknai secara sadar dan bijak oleh semua stakeholders.
Semua pihak masih mengedepankan kepentingan pribadi, golongan, kelompok, dan
organisasi termasuk partai politik yang sebetulnya berperan sebagai salah satu
jalur politik pengkaderan pemimpin bangsa. Perilaku partai politik dalam
merebut kekuasaan cenderung distrosif sehingga konsolidasi demokrasi yang
sejatinya diarahkan untuk menciptakan keadilan jadi nihil.
Merawat
Komitmen
Momentum penandatanganan peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP
dan diperkuat dengan penandatanganan MoU sekurang-kurangnya membuktikan adanya
kemauan dan komitmen bersama untuk menjalankan aturan main pemilu hendaknya
mampu melahirkan kesadaran baru. Sebuah kesadaran etik untuk memuliakan
perilaku sosial dalam konteks kehidupan berbangsa, dan bernegara, atau meminjam
istilah Jimly Asshiddiqie, saatnya memperbaiki akhlak bangsa dalam tataran
politik.
Kesempatan emas ini sepatutnya tidak
hanya menghasilkan konsensus baru tanpa follow up secara kongrit. Tetapi
peristiwa kemarin dan ke depan dalam tahapan pelaksanaan pemilu 2014 publik
menaruh harapan besar adanya tindaklanjut implementasi peraturan bersama tiga
lembaga ini. Semua pemangku kepentingan yang menyaksikan penandatanganan
bersama ini juga diharapkan bisa aktif mengawasi kinerjadi dalam
penyelenggaraan pemilu 2014.
Catatan: Arsip
Tulisan Artikel Lepas
Jakarta, 11
September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar