Peran DKPP Mengawal Pemilu 2014
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu)
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)
melalui Komisi II secara tegas siap mendukung dan mengawal keputusan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang tidak meloloskan 12 partai peserta pemilu untuk
pemilu calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota 2014. Dari 46
partai politik tercatat 9 parpol yang lolos parliamentary threshold pemilu
2009 dan sebanyak 37 parpol nonparlemen. Artinya, peserta pemilu 2014 yang
lolos diverifikasi pada tahap verifikasi administrasi
sebanyak 34 parpol, sedangkan sisa 12 parpol tidak lolos dikarenakan tidak
memenuhi ketentuan syarat administrasi. Ke-12 parpol yang tidak lolos
sebenarnya relatif buram alias tidak punya perwakilan di parlemen.
Penyelenggaraan
pemilihan umum pasca reformasi masih jauh dari harapan dan kenyataan. Publik selalu dicekoki dengan
isu-isu reformasi sistem pemilu sebagai bentuk penataan demokratisasi. Hari
Senin tanggal 10 September 2012 Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengadakan
penandatanganan Peraturan Bersama Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan Pedoman
Beracara Penyelenggaraan Pemilu serta MoU yang sebelum telah dirumuskan ketiga
institusi. Penandatangan
dilakukan di Kantor KPU Jalan Imam Bondjol Nomor. 29 Jakarta.
Tiga lembaga ini setidaknya menunjukkan pada publik ada semangat positif untuk
membenahi kualitas demokrasi dalam konteks yang lebih sederhana melakukan
penataan penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Tentu ini
merupakan momentum yang dinanti-nanti dan boleh dikatakan “sejarah baru” selama
pasca reformasi. Reformasi telah melahirkan berbagai perubahan sistem politik
yang cukup menggembirakan. Berbagai instrumen demokrasi dibentuk dengan maksud
menata kualitas demokrasi dan dengan harapan setiap lembaga baru mampu
menghasilkan solusi penyelesaian kebuntuan pembangunan nasional.
Artinya, ada
yang dapat bekerja efektif dan ada pula yang sebaliknya menambah persoalan baru
dalam perspektif penataan sistem politik dan struktur ketatanegaraan kita. Maka
tidak heran jika ada instrumen demokrasi yang bekerja efektif dan efisien
sehingga eksistensinya di mata publik mendapat respon positif, tetapi ada pula
difungsikan menjadi pelengkap atau sekadar dimanfaatkan sebagai alat politik
penguasa untuk melanggengkan kekuasaan atasnama penataan demokrasi.
Dan kenyataan
inilah yang melahirkan persepsi publik sebagai politik akomodasi rezim yang
tidak pada tempatnya. Tetapi dalam kerangka perbaikan penyelenggaraan pemilu
keberadaan tiga lembaga ini menjadi begitu urgen untuk difungsikan menjadi
bagian inti dari perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu. KPU, Bawaslu,
dan DKPP adalah instrumen strategis yang diharapkan bisa memainkan peran
berdasarkan tugas dan fungsi kelembagaan. Tetapi kebijakan kelembagaan saja
tentu tidak cukup bila tidak didukung ketersediaan sumber daya manusia dan
infrastruktur.
Kasus
Permintaan presiden kepada
Panwaslu agar memeriksa keabsahan keberadaan anggota KPU yang dituangkan dalam
surat B.501/M. Sesneg/7/1999 tanggal 27 Juli 1999 dengan dasar Pasal 33 PP No.
33/1999 tentang pelaksanaan UU No. 3/1999 karena KPU menyerahkan penyelesian
penetapan keseluruhan hasil pemilu pada presiden dianggap sebagai lembaga yang
paling berwenang menetapkan hasil pemilu menurut Pasal 65 UU No. 3/1999 tentang
pemilu sempat membuat publik cemas dan skeptis. Namun terlepas dari persepsi
dan interpretasi politik pemilu 1999 berjalan cukup demokratis.
Penyimpangan
dan ketidakprofesionalan pengambilan keputusan mewarnai hasil penghitungan
suara dan pelanggaran yang tidak saja melibatkan oknum anggota KPU namun
kontestan pemilu jadi catatan tersendiri. Kontestan pemilu jelas memiliki
kepentingan kuat dalam proses perebutan kekuasaan sehingga mobilisasi sumber
daya politik cenderung dilakukan tanpa mengindahkan nilai-nilai keadaban
demokrasi. Jenis-jenis pelanggaran pemilu 1999 berupa penyimpangan dalam bentuk
pelanggaran administrasi dicatat sebanyak 606 (26,81%) dari keseluruhan
provinsi.
Pemilu 2004
diikuti 24 partai politik dan menggunakan sistem yang berbeda dari pemilu 1999.
Pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional terbuka untuk pileg sedangkan pilpres
menggunakan sistem langsung (one man one voter). Pemilu 2004 menunjukkan
tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Masyarakat menggunakan hak pilih
selama tiga kali pemilu yakni pileg, pilpres putaran pertama dan kedua tercatat
80% dan suara sah rata-rata 95% dari DPT yang ditetapkan KPU.
Dengan
demikian, momentum penandatanganan peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP dan
diperkuat dengan penandatanganan MoU sekurang-kurangnya membuktikan adanya
kemauan dan komitmen bersama untuk menjalankan aturan main pemilu hendaknya
mampu melahirkan kesadaran baru. Sebuah kesadaran etik untuk memuliakan
perilaku sosial dalam konteks kehidupan berbangsa, dan bernegara, atau meminjam
istilah Jimly Asshiddiqie, saatnya bangsa menata akhlak
bangsa dalam politik.
Catatan:
Tulisan ini merupakan arsip/fail lawas/Jakarta, 29 Oktober 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar