Selasa, 11 Oktober 2016

DKPP Mengawal Integritas Pemilu 2014

Peran DKPP Mengawal Pemilu 2014
Oleh :Rahman Yasin
(Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)



Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Komisi II secara tegas siap mendukung dan mengawal keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak meloloskan 12 partai peserta pemilu untuk pemilu calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota 2014. Dari 46 partai politik tercatat 9 parpol yang lolos parliamentary threshold pemilu 2009 dan sebanyak 37 parpol nonparlemen. Artinya, peserta pemilu 2014 yang lolos diverifikasi pada tahap verifikasi administrasi sebanyak 34 parpol, sedangkan sisa 12 parpol tidak lolos dikarenakan tidak memenuhi ketentuan syarat administrasi. Ke-12 parpol yang tidak lolos sebenarnya relatif buram alias tidak punya perwakilan di parlemen.
Penyelenggaraan pemilihan umum pasca reformasi masih  jauh dari harapan dan kenyataan. Publik selalu dicekoki dengan isu-isu reformasi sistem pemilu sebagai bentuk penataan demokratisasi. Hari Senin tanggal 10 September 2012 Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengadakan penandatanganan Peraturan Bersama Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan Pedoman Beracara Penyelenggaraan Pemilu serta MoU yang sebelum telah dirumuskan ketiga institusi. Penandatangan dilakukan di Kantor KPU Jalan Imam Bondjol Nomor. 29 Jakarta. Tiga lembaga ini setidaknya menunjukkan pada publik ada semangat positif untuk membenahi kualitas demokrasi dalam konteks yang lebih sederhana melakukan penataan penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Tentu ini merupakan momentum yang dinanti-nanti dan boleh dikatakan “sejarah baru” selama pasca reformasi. Reformasi telah melahirkan berbagai perubahan sistem politik yang cukup menggembirakan. Berbagai instrumen demokrasi dibentuk dengan maksud menata kualitas demokrasi dan dengan harapan setiap lembaga baru mampu menghasilkan solusi penyelesaian kebuntuan pembangunan nasional.
Artinya, ada yang dapat bekerja efektif dan ada pula yang sebaliknya menambah persoalan baru dalam perspektif penataan sistem politik dan struktur ketatanegaraan kita. Maka tidak heran jika ada instrumen demokrasi yang bekerja efektif dan efisien sehingga eksistensinya di mata publik mendapat respon positif, tetapi ada pula difungsikan menjadi pelengkap atau sekadar dimanfaatkan sebagai alat politik penguasa untuk melanggengkan kekuasaan atasnama penataan demokrasi.
Dan kenyataan inilah yang melahirkan persepsi publik sebagai politik akomodasi rezim yang tidak pada tempatnya. Tetapi dalam kerangka perbaikan penyelenggaraan pemilu keberadaan tiga lembaga ini menjadi begitu urgen untuk difungsikan menjadi bagian inti dari perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu. KPU, Bawaslu, dan DKPP adalah instrumen strategis yang diharapkan bisa memainkan peran berdasarkan tugas dan fungsi kelembagaan. Tetapi kebijakan kelembagaan saja tentu tidak cukup bila tidak didukung ketersediaan sumber daya manusia dan infrastruktur.

Kasus
Permintaan presiden kepada Panwaslu agar memeriksa keabsahan keberadaan anggota KPU yang dituangkan dalam surat B.501/M. Sesneg/7/1999 tanggal 27 Juli 1999 dengan dasar Pasal 33 PP No. 33/1999 tentang pelaksanaan UU No. 3/1999 karena KPU menyerahkan penyelesian penetapan keseluruhan hasil pemilu pada presiden dianggap sebagai lembaga yang paling berwenang menetapkan hasil pemilu menurut Pasal 65 UU No. 3/1999 tentang pemilu sempat membuat publik cemas dan skeptis. Namun terlepas dari persepsi dan interpretasi politik pemilu 1999 berjalan cukup demokratis.
Penyimpangan dan ketidakprofesionalan pengambilan keputusan mewarnai hasil penghitungan suara dan pelanggaran yang tidak saja melibatkan oknum anggota KPU namun kontestan pemilu jadi catatan tersendiri. Kontestan pemilu jelas memiliki kepentingan kuat dalam proses perebutan kekuasaan sehingga mobilisasi sumber daya politik cenderung dilakukan tanpa mengindahkan nilai-nilai keadaban demokrasi. Jenis-jenis pelanggaran pemilu 1999 berupa penyimpangan dalam bentuk pelanggaran administrasi dicatat sebanyak 606 (26,81%) dari keseluruhan provinsi.
Pemilu 2004 diikuti 24 partai politik dan menggunakan sistem yang berbeda dari pemilu 1999. Pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional terbuka untuk pileg sedangkan pilpres menggunakan sistem langsung (one man one voter). Pemilu 2004 menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Masyarakat menggunakan hak pilih selama tiga kali pemilu yakni pileg, pilpres putaran pertama dan kedua tercatat 80% dan suara sah rata-rata 95% dari DPT yang ditetapkan KPU.
Dengan demikian, momentum penandatanganan peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP dan diperkuat dengan penandatanganan MoU sekurang-kurangnya membuktikan adanya kemauan dan komitmen bersama untuk menjalankan aturan main pemilu hendaknya mampu melahirkan kesadaran baru. Sebuah kesadaran etik untuk memuliakan perilaku sosial dalam konteks kehidupan berbangsa, dan bernegara, atau meminjam istilah Jimly Asshiddiqie, saatnya bangsa menata akhlak bangsa dalam politik.


Catatan:
Tulisan ini merupakan arsip/fail lawas/Jakarta, 29 Oktober 2012.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar