Pilkada Serentak Tahap I Tahun 2015
Catatan Reflektif Atas Agenda
Transformasi Kepemimpinan Berintegritas
Oleh : Rahman Yasin
Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (Pilkada) untuk tahap I akan digelar secara serentak pada tanggal 09 Desember 2015 untuk 269
daerah otonom. Dari 269 daerah tersebut, terdiri dari 9 provinsi pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, 224 untuk tingkat Kabupaten dan sebanyak 36 untuk
tingkat Kota. Tahapan-tahapan
krusial telah dijalankan. Tahapan bakal calon, pencalonan, pendaftaran pasangan calon (paslon), penetapan paslon sampai pada
tahapan kampanye kini tengah laksanakan. Potensi pelanggaran pelaksanaan
tahapan tidak hanya jadi masalah serius yang
membutuhkan perhatian khusus tetapi
juga soal ketidaktelitian atau
ketidakcermatan penyelenggara membuat kebijakan
terkait kelengkapan berkas dan dokumen syarat paslon dapat menimbulkan efek buruk bagi penyelenggara pemilu itu sendiri. Tahapan penetapan paslon yang tidak melalui suatu proses penelitian yang
cermat sering jadi pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu
untuk melaporkan penyelenggara pemilu ke Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Pelaksanaan tahapan pilkada yang benar berdasarkan ketentuan
peraturan dan perundang-undangan merupakan kunci utama di dalam mewujudkan proses dan hasil yang berintegritas. Integritas proses dan
hasil pilkada sangat ditentukan oleh penyelenggara. Meski pengawasan pilkada
sesungguhnya merupakan tanggungjawab
semua masyarakat. Pilkada berintegritas tidak serta-merta mengandalkan prosedur
kerja yang bersifat formalistik, namun dibutuhkan terobosan substansial,
terlebih di dalam menghadapi situasi atau keadaan tertentu yang dapat
menyebabkan tidak bekerjanya sistem norma hukum secara normal. Penyelenggara
pilkada dituntut bekerja
dan memperlakukan semua peserta pilkada secara independen, imparsial, profesional, tidak memihak
dan itu benar-benar
ditampakkan dalam sikap dan kebijakan di mata para peserta pilkada.
Di
dalam penyelenggaraan pilkada, terdapat empat (4) aktor utama yang terlibat
secara langsung untuk bersentuhan dengan kepentingan proses dan hasil pilkada
berintegritas. Keempat aktor tersebut yakni, penyelenggara pilkada (KPU dan
Bawaslu), peserta pilkada, kandidat atau pasangan calon, dan voters atau masyarakat
selaku pemilik suara. Keempat aktor ini
dalam praktik penyelenggaraan pemilu legislatif, pilpres, dan pilkada susah
diharapkan dapat berlaku independen dan profesional. Keempat aktor ini tidak selalu
sejalan dalam mewujudkan pemilu dan pilkada berintegritas. Tuntutan sikap integritas,
menghasilkan kebijakan institusi maupun perseorangan berdasarkan standar perilaku
kode etik penyelenggara pemilu pun sangat terbatas. Penyelenggara pilkada lebih
banyak dituntut berlaku selayaknya standar etik yang sudah dibuatkan dalam
ketentuan Undang-undang, sedangkan ketiga aktor lain tidak begitu diikat secara moral maupun etik dalam suatu
sistem yang terintegrasikan. Padahal, idealnya, sikap integritas atau perilaku
ideal berdasarkan standar perilaku etik sejatinya keempat aktor ini bisa
sama-sama sejalan, serasi, selaras dan seimbang dalam sistem norma yang lebih besar
yakni melalui pemahaman etika politik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
sebagai konstitusi bernegara. Jadi tidak ada
alasan bagi aktor peserta pilkada, pasangan calon dan masyarakat sebagai pemilik suara untuk berlaku dan
memperlakukan pilkada sesuai
prinsip-prinsip umum dalam batas-batas kultural kebangsaan kita.
Tahapan pilkada di beberapa daerah
mengalami pergeseran teknis dan substansi diakibatkan konflik internal partai
politik. Konflik di tubuh internal partai Golkar dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) berupa
dualisme kepemimpinan pada masa transisi menjelang putusan Mahkamah Agung
misalnya, secara langsung turut
merepotkan penyelenggara pemilu karena terkait perubahan dukungan paslon dan pergantian
kepengurusan seperti di PPP provinsi Kalimantan Tengah secara
mendadak. Kasus internal
partai Golkar juga sempat memicu tahapan pilkada di Kabupaten Kepulauan Aru.
Artinya, banyak urusan non
electoral yang sesungguhnya dipaksakan menjadi bagian dari problem electoral.
Dalam
praktik memang paslon dan tim sukses selalu kreatif mencari simpati dan
dukungan masyarakat. Tidak tanggung-tanggung etika politik selalu
diabaikan, dan kecenderungan menghalalkan segala cara
diutamakan. Praktik suap-menyuap kerap terjadi dalam pilkada. Paslon sebagai peserta seringkali
lewat tim sukses mempraktikan jual beli suara pada rakyat. Walau ini sulit dibuktikan
tetapi fakta dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada selalu jadi masalah
tersendiri. Tren yang berkembang bahkan sudah mentradisi yakni istilah ambil
uangnya, tapi tidak harus pilih orangnya, dan perilaku pemilih yang dididik dengan perilaku
distorsif seperti ini selalu muncul pada hari H pelaksanaan pilkada.
Penyimpangan juga kerap terjadi pada aktor penyelenggara. Dalam
praktik penyelenggaraan selalu ada celah bagi oknum yang dengan sengaja
memengaruhi proses kebijakan kearah kepentingan pasangan calon tertentu. Hal
ini umumnya, oknum penyelenggara berkolaborasi
dengan paslon atau tim sukses tertentu yang selalu
berimplikasi pada ketidakpastian
hukum pada pengelolaan tahapan. Tindakan dengan sengaja atau tidak dalam pengeloaan
tahapan umumnya dilakukan penyelenggaara berupa manipulasi data dan dokumen
syarat paslon, memperlakukan
paslon tertentu secara tidak netral, penyalahgunaan jabatan dan wewenang,
kelalaian dalam melakukan verifikasi berkas atau dokumen paslon. Modus penyimpangan yang menyebabkan
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu seperti ini sering ditemukan dalam
persidangan DKPP.
Penguatan Kelembagaan
Salah
satu hal penting yang sering diabaikan DPR dan
Pemerintah dalam mewujudkan
pilkada berintegritas ialah tidak ada sistem kontrol dan tidak adanya sistem
sanksi yang kuat bagi partai politik-partai politik yang terlibat di dalam
penyelenggaraan pilkada.
Pelanggaran kode etik tidak hanya dilakukan penyelenggara, melainkan juga tiga
aktor lain yang sudah disebut diatas, yaitu paslon dan tim suskses yang di dalamnya
terdapat kader partai politik, calon perseorangan, dan rakyat sebagai pemilik suara. Partai politik lebih
diuntungkan dalam konteks penegakan hukum pemilu di satu
sisi, dan pada sisi yang sama penyelenggara dibebankan dengan berbagai
ketentuan peraturan perundang-undangan pilkada.
Dalam konteks ini, pilkada tahap I
tanggal 9 Desember 2015 harus
jadi ajang momentum untuk dilakukannya
penguatan pada kelembagaan
penyelenggara pemilu, kelembagaan partai politik, dan pencerdasan politik bagi
masyarakat. Penguatan kelembagaan partai politik secara fundamental harus
menyentuh pada aspek perombakan sistem perekrutan dan pengkaderan kepemimpinan
politik. Pengkaderan kepemimpinan politik selama ini sering jadi masalah yang
akut. Idealnya, partai politik secara kelembagaan memiliki suatu sistem dan
mekanisme perekrutan anggota dengan menempatkan kepengurusan yang kredibel dan
memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni, dan senantiasa mengutamakan
paradigma kepemimpinan berbasis pada sikap amanah,
shiddiq tablig, dan fathanah. Pengkaderan kepemimpinan
politik yang demikian, akan tercipta
iklim persaingan politik di internal partai yang sehat. Perekrutan anggota dan pengkaderan politik yang
tidak semata-mata menekankan politik kekuasaan namun senantiasa mengutamakan
pengembangan kualitas sumber daya manusia yang kuat yang pada gilirannya turut
memperkuat sumber daya politik bangsa. Bila paradigma ini yang diterapkan maka rakyat makin merasa
memiliki partai politik.
Oleh
karena itu, gerakan penguatan kelembagaan partai politik dalam jangka panjang harus menjadi perhatian serius DPR dan Pemerintah sebagai
pembuat regulasi. Pilkada
serentak 2015 haruslah dibangun paradigma politik elit mengenai pentingnya
memperkuat kelembagaan partai politik. Meminjam istilah Pakar Hukum Tata Negara
Jimly Asshiddiqie (2015),
dengan “kemajemukan yang bersifat ‘segmented’
dan bahkan ‘fragmented’ (segmented
and fragmaneted pluralism), apapun kebijakan ‘treshold’ yang
diterapkan untuk penyerdehanaan jumlah partai politik secara alamiah”. Karena
dari perspektif praktik budaya politik di Indonesia, rasanya sulit baik dalam jangka
pendek maupun panjang, sistem multipartai yang diterapkan sekarang kemudian di
satu saat dapat dirampingkan hingga hanya dua partai politik yang dominan atau
dengan kata lain sebagai kekuatan utama diantara sekian partai politik yang ada
seperti yang diterapkan di Amerika Serikat.
Gagasan penguatan kelembagaan partai politik ini merupakan pemahaman politik
elit yang dewasa ini cenderung tidak berjalan normal melainkan yang marak dipraktikkan,
tidak saja keinginan merebut kekuasaan dengan berbagai kreativitas (power aggrandizement) tetapi cenderung menonjolkan praktik kekuasaan absolute, opportunity, dan praktik ologarki kekuasaan. Proses dan hasil
pilkada berintegritas sangat
ditentukan oleh sistem peraturan dan perundang-undangan—electoral
laws sekaligus electoral processe dari
penyelenggaraan dalam konteks penegakan kode etik menyangkut sikap dan perilaku
anggota KPU dan Bawaslu di semua jajaran.
Pilkada dan Pemimpin Berintegritas
Proses dan hasil penyelenggaraan
pilkada yang demokratis saja jelas tidak cukup. Oleh karena itu, proses
dan hasil pilkada haruslah demokratis dan
sekaligus berintegritas. Pilkada berintegritas sudah pasti demokratis,
tetapi pilkada demokratis dalam pengertian dimensi etika politik maka
integritas merupakan kata kunci. Karena integritas pilkada mencakup integritas
perilaku baik penyelenggara pilkada, peserta pilkada, paslon, dan masyarakat
yang cerdas menggunakan preferensi politik berdasarkan standar norma etika
politik yang ada.
Pilkada
langsung dan serentak tahap I hendaklah jadi momentum catatan sejarah baru bagi bangsa yang
bermartabat, dan menjadi
titik tolak bagi para elit politik untuk membangkitkan kesadaran etika politik berdasarkan
Pancasila, UUD 1945, dan TAP MPR No. 06 tentang Etika
Kehidupan Berbangsa sebagai sumber konstitusi dalam
praktik bernegara yang baik. Penguatan
institusi penyelenggara pilkada, penguatan kelembagaan peradilan etika pemilu, dan penguatan kelembagaan partai
politik menjadi sesuatu yang niscaya. Karena dengan memperkuat institusi penyelenggara,
dan penguatan sistem peradilan etika, penguatan kelembagaan partai politik
secara bersamaan maka akan terciptalah suatu iklim dimana partisipasi masyarakat akan
semakin dewasa dan institusi terkait diharapkan dapat saling menopang dan
memperkuat satu sama lainsehingga rakyat semakin cerdas
menggunakan hak pilih.
Menururt sumber data
Sekretariat DKPP terhitung sejak tanggal 12 Juni 2012 sampai dengan tanggal 27
Desember 2015 dari hasil rekapitulasi penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara
Pemilu, jumlah penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dengan
kategorisasi pertahun yakni, tahun 2012 terdapat 99 pengaduan yang diterima,
dan 38 diproses hingga disidangkan, yang ditolak sebanyak 61 pengaduan karena
tidak memenuhi syarat. Dari 30 perkara yang disidangkan, menghasilkan putusan
perindividu sebagai berupa sanksi rehabilitasi 25 anggota, 18 peringatan
tertulis, 30 pemberhentian tetap dan tidak ada yang diberikan sanksi
pemberhentian sementara. Sedangkan jumlah perkara yang diputus sebanyak 30, dan
ada 21 putusan, serta terdapat 3 ketetapan. Tahun 2013, sebanyak 606 pengaduan
yang diterima DKPP dengan kategorisasi yakni sebanyak 444 ditolak, dan yang
disidangkan 141 dengan menghasilkan putusan perindividu yakni, 383 direhabilitasi,
126 peringatan tertulis, 13 pemberhentian sementara, 109 pemberhentian tetap,
jumlah perkara yang diputus 141 dengan putusan 104 dan terdapat 6 ketetapan.
Tahun 2014 terdapat 879 pengaduan yang diterima. Dari jumlah pengaduan tersebut
yang diproses ke sidang yakni sebanyak 333 perkara, dan 546 ditolak. Dari 333
perkara yang disidangkan menghasilkan putusan perindividu berupa sanksi
sebanyak 661 direhabilitasi, 308 peringatan tertulis, 5 pemberhentian
sementara, 180 diberhentikan secara tetap dari 365 perkara yang diputus dan 252
putusan serta 60 ketetapan. Tahun 2015 terdapat 289 pengaduan yang diterima,
dan hanya 75 yang disidangkan, sedangkan yang tidak memenuhi syarat sebanyak
211. Penanganan perkara kode etik ini menghasilkan sanksi sanksi rehabilitasi
sebanyak 37, sanksi peringatan tertulis 60, sanksi pemberhentian tetap sebanyak
17 dan tidak ada yang diberhentikan secara sementara, dan terdapat 38 perkara
yang diputus, dan 252 putusan serta 3 ketetapan.
Dengan demikian, secara
keseluruhan menurut data sekretariat DKPP terhitung sejak 2012 sampai dengan
dengan 18 Desember 2015 terdapat 1873 pengaduan perkara dugaan pelanggaran kode
etik penyelenggara Pemilu yang diterima dan diproses DKPP. Dari jumlah
pengaduan tersebut, DKPP menolak pengaduan disebabkan karena tidak memenuhi
syarat sebanyak 1262, dan yang disidangkan sebanyak 579. Dari jumlah penanganan
perkara tersebut menghasilkan sanksi berupa rehabilitasi secara keseluruhan
sebanyak 1106, peringatan tertulis 512, pemberhentian sementara sebanyak 18,
dan yang diberhentikan secara tetap karena terbukti melanggar kode etik
penyelenggara Pemilu sebanyak 336. Adapun jumlah perkara yang diputus secara
keseluruhan sebanyak 574, dan terdapat 403 putusan serta 72 ketetapan.
Pelaksanaan Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada tanggal 09 Desember 2019
juga menjadi salah satu agenda utama perhatian DKPP untuk memastikan dengan
mengawal dan bertekad mewujudkan proses dan hasil pelaksanaan pada semua
tahapan agar berjalan berdasarkan peraturan dan perundang-undangan dengan
spirit Pilkada dapat diselenggarakan secara demokratis, berkualitas dan
berintegritas. Pilkada serentak 09 Desember 2015 yang semula dijadwalkan akan
digelar di 269 daerah otonom, namun dalam praktiknya ada 5 daerah yang
diundurkan karena dengan berbagai latarproblem yang berbeda. Kelima daerah ini
yakni Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Kabupaten Pematangsiantar, Sumatera
Utara, Kota Manado, Sulawesi Utara, Kabupaten Fak-fak, Papua Barat dan Provinsi
Kalimantan Tengah.
Kasus
diatas, secara statistik menunjukkan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu
masih saja terus terjadi, diluar dari penanganan pelanggaran administrasi dan
pidana pemilu. Khusus tahun 2014 karena ada tiga macam penyelenggaraan pemilu
(pileg, pilpres, pilkada dibeberapa daerah) jadi wajar bila lebih tinggi jumlah
pelanggaran dibandingkan tahun 2012, 2013 dan khusus 2015 yang ditangani masih
pada tahapan pilkada dan belum pada tahapan kunci yaitu pasca pemungutan dan
penghitungan suara hasil pilkada. Tahapan ini merupakan tahapan inti dan
potensi pelanggaran pemilu masih terjadi, baik itu dilakukan penyelenggara,
peserta maupun masyarakat pengguna hak suara. Pada titik ini memang tugas dan
wewenang DKPP sebagai peradilan etika yang dapat menegakkan rule of law dan rule of ethics bagi penyelenggara pemilu diharapkan dapat
tercapainya pilkada yang menurut Ginsberg “...memiliki
kemampuan untuk mengubah kecenderungan politik massa yang bersifat sporadis
menjadi sumber utama bagi legitimasi kekuatan otoritas moral pada politik
nasional.”
Moralitas
politik merupakan moralitas universal, dan politik etis adalah manifestasi
kesadaran filosofis akan tanggungjawab atas apa yang diperbuatkan, bukan
semata-mata politik an sich. Karena
moralitas universal dibangun dari tindakan etik individual. Bertolak dari
standar nilai-nilai moral universal dan perilaku etik individual yang penuh
dengan rasa tanggungjawab, maka sikap keberpihakan pada nilai-nilai kebenaran
dan keadilan atau dengan kata lain, menjalankan tugas dan fungsi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan itu yang harus menjadi pedoman, bukan
pada ketaatan semu dan kepatuhan palsu, karena moralitas universal dan perilaku
etik individual secara teoritik, tidak dapat didemarkasikan lantaran ada
kepentingan yang sifatnya orang-perorang.
Penekanan pemahaman pilkada
berintegritas adalah bagaimana proses dan hasil pilkada dapat menggali sumber-sumber potensi
kepemimpinan anak bangsa berdasarkan standar nilai moral dan
budaya etika politik bangsa. Pilkada serentak berintegritas harus dibuktikkan
melalui suatu kompetisi yang
sehat dan mampu mencegah segala bentuk praktik kejahatan politik sehingga
pemimpin yang didapatkan pun tidak hanya
karena bermodalkan finansial yang kuat untuk membeli populisme murahan yang
pada hakikatnya berperilaku rent seeker,
bossism, social banditary, mobokrator, dan strongman, atau sebaliknya menghasilkan kepemimpinan berbasis
intelektual tukang, aktivis komprador, kyai dan pendeta bermental kekuasaan,
atau kalangan upsurge protester dan
aliran moralis yang sebetulnya begitu menjabat langsung berperilaku elitis
bahkan menjadi sangat hedonis. Kata
kunci pilkada berintegritas (electoral
integrity) pada pengelolaan tahapan secara demokratis (democratic electoral processes). Kita berharap
semua pemangku kepentingan dapat membangun konsensus moral dan menanamkan
komitmen etik yang tinggi baik pada
tingkat individu maupun dalam pengertian struktur sosial yang itu betul-betul
muncul dari nurani yang paling dalam
dengan memainkan peran masing-masing berdasarkan kapasitas yang dimiliki guna
mewujudkan pilkada berintegritas
di daerah masing-masing.
Pilkada
tahap I digelar 9 Desember 2015 di 269 daerah otonom hendaknya dijadikan
momentum menyaring pemimpin-pemimpin daerah yang amanah, shiddiq, tabliq, dan fathanah
dalam pengertian homorable, respectable,
creditable atau dalam istilah religius disebut mahkamam mahmuda. Pemimpin yang berani mengatakan yang benar itu
benar dan salah itu salah secara akuntabel dan transparan atau openminded and straight forwandness, suatu
keberanian moral untuk menegakkan yang benar dan tidak memihak yang bathil
karena dasar integritas moral yang tinggi. Sikap mode of existence atau suatu sikap yang selalu mengutamakan
pelayanan prima pada masyarakat dan sikap as
it is, apa adanya dengan berperilaku lurus
sehingga tidak ada tindakan atau kebijakan yang didasarkan pada upaya mencari
popularitas semu. Itulah tujuan manusia yang memiliki kesadaran etik dimana
dirinya tidak ada gunanya bila dalam bhakti pengabdian tidak membawa manfaat
bagi khalayak orang.
_______________________________