Minggu, 27 Desember 2015

Agenda Pilkada Serentak Berintegritas

Pilkada Serentak Tahap I Tahun 2015
Catatan Reflektif Atas Agenda Transformasi Kepemimpinan Berintegritas 

Oleh : Rahman Yasin
Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu


Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) untuk tahap I akan digelar secara serentak pada tanggal 09 Desember 2015 untuk 269 daerah otonom. Dari 269 daerah tersebut, terdiri dari 9 provinsi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, 224 untuk tingkat Kabupaten dan sebanyak 36 untuk tingkat Kota. Tahapan-tahapan krusial telah dijalankan. Tahapan bakal calon, pencalonan, pendaftaran pasangan calon (paslon), penetapan paslon sampai pada tahapan kampanye kini tengah laksanakan. Potensi pelanggaran pelaksanaan tahapan tidak hanya jadi masalah serius yang membutuhkan perhatian khusus tetapi juga soal ketidaktelitian atau ketidakcermatan penyelenggara membuat kebijakan terkait kelengkapan berkas dan dokumen syarat paslon dapat menimbulkan efek buruk bagi penyelenggara pemilu itu sendiri. Tahapan penetapan paslon yang tidak melalui suatu proses penelitian yang cermat sering jadi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melaporkan penyelenggara pemilu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Pelaksanaan tahapan pilkada yang benar berdasarkan ketentuan peraturan dan perundang-undangan merupakan kunci utama di dalam mewujudkan proses dan hasil yang berintegritas. Integritas proses dan hasil pilkada sangat ditentukan oleh penyelenggara. Meski pengawasan pilkada sesungguhnya merupakan tanggungjawab semua masyarakat. Pilkada berintegritas tidak serta-merta mengandalkan prosedur kerja yang bersifat formalistik, namun dibutuhkan terobosan substansial, terlebih di dalam menghadapi situasi atau keadaan tertentu yang dapat menyebabkan tidak bekerjanya sistem norma hukum secara normal. Penyelenggara pilkada dituntut bekerja dan memperlakukan semua peserta pilkada secara independen, imparsial, profesional, tidak memihak dan itu benar-benar ditampakkan dalam sikap dan kebijakan di mata para peserta pilkada
Di dalam penyelenggaraan pilkada, terdapat empat (4) aktor utama yang terlibat secara langsung untuk bersentuhan dengan kepentingan proses dan hasil pilkada berintegritas. Keempat aktor tersebut yakni, penyelenggara pilkada (KPU dan Bawaslu), peserta pilkada, kandidat atau pasangan calon, dan voters atau masyarakat selaku pemilik suara. Keempat aktor ini dalam praktik penyelenggaraan pemilu legislatif, pilpres, dan pilkada susah diharapkan dapat berlaku independen dan profesional. Keempat aktor ini tidak selalu sejalan dalam mewujudkan pemilu dan pilkada berintegritas. Tuntutan sikap integritas, menghasilkan kebijakan institusi maupun perseorangan berdasarkan standar perilaku kode etik penyelenggara pemilu pun sangat terbatas. Penyelenggara pilkada lebih banyak dituntut berlaku selayaknya standar etik yang sudah dibuatkan dalam ketentuan Undang-undang, sedangkan ketiga aktor lain tidak begitu diikat secara moral maupun etik dalam suatu sistem yang terintegrasikan. Padahal, idealnya, sikap integritas atau perilaku ideal berdasarkan standar perilaku etik sejatinya keempat aktor ini bisa sama-sama sejalan, serasi, selaras dan seimbang dalam sistem norma yang lebih besar yakni melalui pemahaman etika politik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi bernegara. Jadi tidak ada alasan bagi aktor peserta pilkada, pasangan calon dan masyarakat sebagai pemilik suara untuk berlaku dan memperlakukan pilkada sesuai prinsip-prinsip umum dalam batas-batas kultural kebangsaan kita.
Tahapan pilkada di beberapa daerah mengalami pergeseran teknis dan substansi diakibatkan konflik internal partai politik. Konflik di tubuh internal partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berupa dualisme kepemimpinan pada masa transisi menjelang putusan Mahkamah Agung misalnya, secara langsung turut merepotkan penyelenggara pemilu karena terkait perubahan dukungan paslon dan pergantian kepengurusan seperti di PPP provinsi Kalimantan Tengah secara mendadak. Kasus internal partai Golkar juga sempat memicu tahapan pilkada di Kabupaten Kepulauan Aru. Artinya, banyak urusan non electoral yang sesungguhnya dipaksakan menjadi bagian dari problem electoral.
Dalam praktik memang paslon dan tim sukses selalu kreatif mencari simpati dan dukungan masyarakat. Tidak tanggung-tanggung etika politik selalu diabaikan, dan kecenderungan menghalalkan segala cara diutamakan. Praktik suap-menyuap kerap terjadi dalam pilkada. Paslon sebagai peserta seringkali lewat tim sukses mempraktikan jual beli suara pada rakyat. Walau ini sulit dibuktikan tetapi fakta dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada selalu jadi masalah tersendiri. Tren yang berkembang bahkan sudah mentradisi yakni istilah ambil uangnya, tapi tidak harus pilih orangnya, dan perilaku pemilih yang dididik dengan perilaku distorsif seperti ini selalu muncul pada hari H pelaksanaan pilkada.
Penyimpangan juga kerap terjadi pada aktor penyelenggara. Dalam praktik penyelenggaraan selalu ada celah bagi oknum yang dengan sengaja memengaruhi proses kebijakan kearah kepentingan pasangan calon tertentu. Hal ini umumnya, oknum penyelenggara berkolaborasi dengan paslon atau tim sukses tertentu yang selalu berimplikasi pada ketidakpastian hukum pada pengelolaan tahapan. Tindakan dengan sengaja atau tidak dalam pengeloaan tahapan umumnya dilakukan penyelenggaara berupa manipulasi data dan dokumen syarat paslon, memperlakukan paslon tertentu secara tidak netral, penyalahgunaan jabatan dan wewenang, kelalaian dalam melakukan verifikasi berkas atau dokumen paslon. Modus penyimpangan yang menyebabkan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu seperti ini sering ditemukan dalam persidangan DKPP.

Penguatan Kelembagaan
Salah satu hal penting yang sering diabaikan DPR dan Pemerintah dalam mewujudkan pilkada berintegritas ialah tidak ada sistem kontrol dan tidak adanya sistem sanksi yang kuat bagi partai politik-partai politik yang terlibat di dalam penyelenggaraan pilkada. Pelanggaran kode etik tidak hanya dilakukan penyelenggara, melainkan juga tiga aktor lain yang sudah disebut diatas, yaitu paslon dan tim suskses yang di dalamnya terdapat kader partai politik, calon perseorangan, dan rakyat sebagai pemilik suara. Partai politik lebih diuntungkan dalam konteks penegakan hukum pemilu di satu sisi, dan pada sisi yang sama penyelenggara dibebankan dengan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan pilkada.
Dalam konteks ini, pilkada tahap I tanggal 9 Desember 2015 harus jadi ajang momentum untuk dilakukannya penguatan pada kelembagaan penyelenggara pemilu, kelembagaan partai politik, dan pencerdasan politik bagi masyarakat. Penguatan kelembagaan partai politik secara fundamental harus menyentuh pada aspek perombakan sistem perekrutan dan pengkaderan kepemimpinan politik. Pengkaderan kepemimpinan politik selama ini sering jadi masalah yang akut. Idealnya, partai politik secara kelembagaan memiliki suatu sistem dan mekanisme perekrutan anggota dengan menempatkan kepengurusan yang kredibel dan memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni, dan senantiasa mengutamakan paradigma kepemimpinan berbasis pada sikap amanah, shiddiq tablig, dan fathanah. Pengkaderan kepemimpinan politik yang demikian, akan tercipta iklim persaingan politik di internal partai yang sehat. Perekrutan anggota dan pengkaderan politik yang tidak semata-mata menekankan politik kekuasaan namun senantiasa mengutamakan pengembangan kualitas sumber daya manusia yang kuat yang pada gilirannya turut memperkuat sumber daya politik bangsa. Bila paradigma ini yang diterapkan maka rakyat makin merasa memiliki partai politik.
Oleh karena itu, gerakan penguatan kelembagaan partai politik dalam jangka panjang harus menjadi perhatian serius DPR dan Pemerintah sebagai pembuat regulasi. Pilkada serentak 2015 haruslah dibangun paradigma politik elit mengenai pentingnya memperkuat kelembagaan partai politik. Meminjam istilah Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie (2015), dengan “kemajemukan yang bersifat ‘segmented’ dan bahkan ‘fragmented’ (segmented and fragmaneted pluralism), apapun kebijakan ‘treshold’ yang diterapkan untuk penyerdehanaan jumlah partai politik secara alamiah”. Karena dari perspektif praktik budaya politik di Indonesia, rasanya sulit baik dalam jangka pendek maupun panjang, sistem multipartai yang diterapkan sekarang kemudian di satu saat dapat dirampingkan hingga hanya dua partai politik yang dominan atau dengan kata lain sebagai kekuatan utama diantara sekian partai politik yang ada seperti yang diterapkan di Amerika Serikat.
Gagasan penguatan kelembagaan partai politik ini merupakan pemahaman politik elit yang dewasa ini cenderung tidak berjalan normal melainkan yang marak dipraktikkan, tidak saja keinginan merebut kekuasaan dengan berbagai kreativitas (power aggrandizement) tetapi cenderung menonjolkan praktik kekuasaan absolute, opportunity, dan praktik ologarki kekuasaan. Proses dan hasil pilkada berintegritas sangat ditentukan oleh sistem peraturan dan perundang-undanganelectoral laws sekaligus electoral processe dari penyelenggaraan dalam konteks penegakan kode etik menyangkut sikap dan perilaku anggota KPU dan Bawaslu di semua jajaran.

Pilkada dan Pemimpin Berintegritas
Proses dan hasil penyelenggaraan pilkada yang demokratis saja jelas tidak cukup. Oleh karena itu, proses dan hasil pilkada haruslah demokratis dan sekaligus berintegritas. Pilkada berintegritas sudah pasti demokratis, tetapi pilkada demokratis dalam pengertian dimensi etika politik maka integritas merupakan kata kunci. Karena integritas pilkada mencakup integritas perilaku baik penyelenggara pilkada, peserta pilkada, paslon, dan masyarakat yang cerdas menggunakan preferensi politik berdasarkan standar norma etika politik yang ada.
Pilkada langsung dan serentak tahap I hendaklah jadi momentum catatan sejarah baru bagi bangsa yang bermartabat, dan menjadi titik tolak bagi para elit politik untuk membangkitkan kesadaran etika politik berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan TAP MPR No. 06 tentang Etika Kehidupan Berbangsa sebagai sumber konstitusi dalam praktik bernegara yang baik. Penguatan institusi penyelenggara pilkada, penguatan kelembagaan peradilan etika pemilu, dan penguatan kelembagaan partai politik menjadi sesuatu yang niscaya. Karena dengan memperkuat institusi penyelenggara, dan penguatan sistem peradilan etika, penguatan kelembagaan partai politik secara bersamaan maka akan terciptalah suatu iklim dimana partisipasi masyarakat akan semakin dewasa dan institusi terkait diharapkan dapat saling menopang dan memperkuat satu sama lainsehingga rakyat semakin cerdas menggunakan hak pilih.
Menururt sumber data Sekretariat DKPP terhitung sejak tanggal 12 Juni 2012 sampai dengan tanggal 27 Desember 2015 dari hasil rekapitulasi penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, jumlah penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dengan kategorisasi pertahun yakni, tahun 2012 terdapat 99 pengaduan yang diterima, dan 38 diproses hingga disidangkan, yang ditolak sebanyak 61 pengaduan karena tidak memenuhi syarat. Dari 30 perkara yang disidangkan, menghasilkan putusan perindividu sebagai berupa sanksi rehabilitasi 25 anggota, 18 peringatan tertulis, 30 pemberhentian tetap dan tidak ada yang diberikan sanksi pemberhentian sementara. Sedangkan jumlah perkara yang diputus sebanyak 30, dan ada 21 putusan, serta terdapat 3 ketetapan. Tahun 2013, sebanyak 606 pengaduan yang diterima DKPP dengan kategorisasi yakni sebanyak 444 ditolak, dan yang disidangkan 141 dengan menghasilkan putusan perindividu yakni, 383 direhabilitasi, 126 peringatan tertulis, 13 pemberhentian sementara, 109 pemberhentian tetap, jumlah perkara yang diputus 141 dengan putusan 104 dan terdapat 6 ketetapan. Tahun 2014 terdapat 879 pengaduan yang diterima. Dari jumlah pengaduan tersebut yang diproses ke sidang yakni sebanyak 333 perkara, dan 546 ditolak. Dari 333 perkara yang disidangkan menghasilkan putusan perindividu berupa sanksi sebanyak 661 direhabilitasi, 308 peringatan tertulis, 5 pemberhentian sementara, 180 diberhentikan secara tetap dari 365 perkara yang diputus dan 252 putusan serta 60 ketetapan. Tahun 2015 terdapat 289 pengaduan yang diterima, dan hanya 75 yang disidangkan, sedangkan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 211. Penanganan perkara kode etik ini menghasilkan sanksi sanksi rehabilitasi sebanyak 37, sanksi peringatan tertulis 60, sanksi pemberhentian tetap sebanyak 17 dan tidak ada yang diberhentikan secara sementara, dan terdapat 38 perkara yang diputus, dan 252 putusan serta 3 ketetapan.
Dengan demikian, secara keseluruhan menurut data sekretariat DKPP terhitung sejak 2012 sampai dengan dengan 18 Desember 2015 terdapat 1873 pengaduan perkara dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu yang diterima dan diproses DKPP. Dari jumlah pengaduan tersebut, DKPP menolak pengaduan disebabkan karena tidak memenuhi syarat sebanyak 1262, dan yang disidangkan sebanyak 579. Dari jumlah penanganan perkara tersebut menghasilkan sanksi berupa rehabilitasi secara keseluruhan sebanyak 1106, peringatan tertulis 512, pemberhentian sementara sebanyak 18, dan yang diberhentikan secara tetap karena terbukti melanggar kode etik penyelenggara Pemilu sebanyak 336. Adapun jumlah perkara yang diputus secara keseluruhan sebanyak 574, dan terdapat 403 putusan serta 72 ketetapan.
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada tanggal 09 Desember 2019 juga menjadi salah satu agenda utama perhatian DKPP untuk memastikan dengan mengawal dan bertekad mewujudkan proses dan hasil pelaksanaan pada semua tahapan agar berjalan berdasarkan peraturan dan perundang-undangan dengan spirit Pilkada dapat diselenggarakan secara demokratis, berkualitas dan berintegritas. Pilkada serentak 09 Desember 2015 yang semula dijadwalkan akan digelar di 269 daerah otonom, namun dalam praktiknya ada 5 daerah yang diundurkan karena dengan berbagai latarproblem yang berbeda. Kelima daerah ini yakni Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Kabupaten Pematangsiantar, Sumatera Utara, Kota Manado, Sulawesi Utara, Kabupaten Fak-fak, Papua Barat dan Provinsi Kalimantan Tengah.
Kasus diatas, secara statistik menunjukkan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu masih saja terus terjadi, diluar dari penanganan pelanggaran administrasi dan pidana pemilu. Khusus tahun 2014 karena ada tiga macam penyelenggaraan pemilu (pileg, pilpres, pilkada dibeberapa daerah) jadi wajar bila lebih tinggi jumlah pelanggaran dibandingkan tahun 2012, 2013 dan khusus 2015 yang ditangani masih pada tahapan pilkada dan belum pada tahapan kunci yaitu pasca pemungutan dan penghitungan suara hasil pilkada. Tahapan ini merupakan tahapan inti dan potensi pelanggaran pemilu masih terjadi, baik itu dilakukan penyelenggara, peserta maupun masyarakat pengguna hak suara. Pada titik ini memang tugas dan wewenang DKPP sebagai peradilan etika yang dapat menegakkan rule of law dan rule of ethics bagi penyelenggara pemilu diharapkan dapat tercapainya pilkada yang menurut Ginsberg “...memiliki kemampuan untuk mengubah kecenderungan politik massa yang bersifat sporadis menjadi sumber utama bagi legitimasi kekuatan otoritas moral pada politik nasional.”
Moralitas politik merupakan moralitas universal, dan politik etis adalah manifestasi kesadaran filosofis akan tanggungjawab atas apa yang diperbuatkan, bukan semata-mata politik an sich. Karena moralitas universal dibangun dari tindakan etik individual. Bertolak dari standar nilai-nilai moral universal dan perilaku etik individual yang penuh dengan rasa tanggungjawab, maka sikap keberpihakan pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan atau dengan kata lain, menjalankan tugas dan fungsi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan itu yang harus menjadi pedoman, bukan pada ketaatan semu dan kepatuhan palsu, karena moralitas universal dan perilaku etik individual secara teoritik, tidak dapat didemarkasikan lantaran ada kepentingan yang sifatnya orang-perorang.
Penekanan pemahaman pilkada berintegritas adalah bagaimana proses dan hasil pilkada dapat menggali sumber-sumber potensi kepemimpinan anak bangsa berdasarkan standar nilai moral dan budaya etika politik bangsa. Pilkada serentak berintegritas harus dibuktikkan melalui suatu kompetisi yang sehat dan mampu mencegah segala bentuk praktik kejahatan politik sehingga pemimpin yang didapatkan pun tidak hanya karena bermodalkan finansial yang kuat untuk membeli populisme murahan yang pada hakikatnya berperilaku rent seeker, bossism, social banditary, mobokrator, dan strongman, atau sebaliknya menghasilkan kepemimpinan berbasis intelektual tukang, aktivis komprador, kyai dan pendeta bermental kekuasaan, atau kalangan upsurge protester dan aliran moralis yang sebetulnya begitu menjabat langsung berperilaku elitis bahkan menjadi sangat hedonis. Kata kunci pilkada berintegritas (electoral integrity) pada pengelolaan tahapan secara demokratis (democratic electoral processes). Kita berharap semua pemangku kepentingan dapat membangun konsensus moral dan menanamkan komitmen etik yang tinggi baik pada tingkat individu maupun dalam pengertian struktur sosial yang itu betul-betul muncul dari nurani yang paling dalam dengan memainkan peran masing-masing berdasarkan kapasitas yang dimiliki guna mewujudkan pilkada berintegritas di daerah masing-masing.
Pilkada tahap I digelar 9 Desember 2015 di 269 daerah otonom hendaknya dijadikan momentum menyaring pemimpin-pemimpin daerah yang amanah, shiddiq, tabliq, dan fathanah dalam pengertian homorable, respectable, creditable atau dalam istilah religius disebut mahkamam mahmuda. Pemimpin yang berani mengatakan yang benar itu benar dan salah itu salah secara akuntabel dan transparan atau openminded and straight forwandness, suatu keberanian moral untuk menegakkan yang benar dan tidak memihak yang bathil karena dasar integritas moral yang tinggi. Sikap mode of existence atau suatu sikap yang selalu mengutamakan pelayanan prima pada masyarakat dan sikap as it is, apa adanya dengan berperilaku lurus sehingga tidak ada tindakan atau kebijakan yang didasarkan pada upaya mencari popularitas semu. Itulah tujuan manusia yang memiliki kesadaran etik dimana dirinya tidak ada gunanya bila dalam bhakti pengabdian tidak membawa manfaat bagi khalayak orang.
                                    _______________________________


Tidak ada komentar:

Posting Komentar