Reorintasi Penyelenggaraan Pemilu
Buku berjudul Restorasi
Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia ini merupakan karya Nur Hidayat
Sardini, salah seorang tokoh intelektual muda, dan pelaku pengawasan pemilihan umum
(pemilu) di Indonesia yang concern pada masalah-masalah penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Kelebihan buku ini adalah kekuatan kajian dengan berbasiskan data-data, dan
daya kemampuan nalar intelektual untuk melakukan proyeksi serta membuat pemetaan
penyelenggaraan pemilu di masa medatang yang lebih tertata rapi, baik dari
aspek administrasi maupun teknis-substantif dalam penerapannya sekaligus.
Betapa pemilu memiliki arti penting dalam proses transformasi kedaulatan
rakyat dan sekaligus menyimpan makna filosofis yang mendalam, karena lewat
pelaksanaan Pemilu yang berasaskan semangat langsung, umum, bebas, dan rahasia
(luber) dan jujur, adil (jurdil) diharapkan akan tercipta suasana sirkulasi
kepemimpinan di tingkat lokal dan nasional secara baik.
Pemilu Tahun 1955
Sejarah pemilihan
umum (pemilu) di Indonesia di mulai sejak tahun 1955. Pemilu pertama dalam
sejarah bangsa ini merupakan pemilu paling demokratis. Sebuah pemilu yang
paling spektakuler dalam sejarah berdemokrasi bagi sebuah bangsa yang
pluralis—yang juga baru saja dibentuk.Bahkan Herbert Feith,
menyebut Pemilu 1955 merupakan pemilu paling jujur, dan adil selama
Indonesia merdeka. Pemilu 1955 dikatakan paling demokratis dalam sejarah pemilu
bangsa bukan tanpa alasan, karena pelaksanaan pemilu 1955, Indonesia dikabarkan
aspek keamanan dan ketertiban negara belum stabil.
Namun kenyataan berbeda dari apa yang diprediksi sebagian kalangan yang
semula menganggap pemilu dengan memilih anggota DPR dan anggota Konstituante
itu tidak akan berjalan kondusif. Faktanya, para pendiri bangsa justru mampu
menyelenggarakan pemilu yang tidak saja dengan aman, tertib, dan damai tetapi
sekaligus memperlihatkan dunia kalau Indonesia juga bisa berdemokrasi dengan
baik. Pemilu 1955 mencatat sejarah spektakuler bagi zamannya bahkan hingga
sekarang para pemikir, pakar, kalangan intelektual, dan pemerhati masalah pemilu
modern tidak menafikan legitimasi kehormatan pemilu 1955. Pemilu
pertama yang diselenggarakan tanggal 29 September 1955 yang disebut sebagai pemilu
periode pertama ini dikhususkan untuk memilih anggota DPR. Sedangkan pemilu
periode kedua yang digelar 15 Desember 1955 ditujukan untuk memilih anggota
Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) pun berjalan mulus tanpa
praktik manipulasi. Suasana kemerdekaan seakan-akan mewarnai kebebasan masyarakat
Indonesia dalam menyongsong kehidupan yang lebih demokratis. Sistem multipartai
yang digagas oleh sang proklamator, Muhammad Hatta (Wakil Presiden RI pertama)
langsung di respon positif. Gagasan sistem multi partai pun kemudian melahirkan
setidaknya 80-an instrumen demokrasi baik berupa partai politik maupun Ormas
turut ambil bagian dalam memeriahkan Pemilu 1955.
Memasuki pergantian rezim era Orde Baru, pemilu tidak lagi menjadi sesuatu
yang mahal dan berharga karena praktik distorsi kekuasaan terus diorientasikan
untuk kepentinganstatus quoseiring terus bergeraknya zaman. Pemilu
seakan-akan kehilangan elan vital demokrasi. Pemilu hanyalah sebua seremoni,
atau suatu tradisi kekuasaan yang bukan merupakan hal yang baru karena
demokrasi diarahkan untuk mengikuti kemana kepentingan rezim yang berkuasa.
Demokrasi menjadi ambivalen bahkan sangat ambigu (double
standard) karena dikendalikan rezim otoriter berdasarkan falsafah
kepentingannya.
Pemilu era Orde Baru relatif memandulkan kehidupan masyarakat dalam
berbangsa, dan bernegara terutama dalam berdemokrasi. Kemacetan sirkulasi
kepemimpinan elit, dan tersumbatnya kebebasan masyarakat menentukan preferensi
politik yang fair dalam pemilu diperlakukan sebagai hal yang
biasa. Legitimasi pemilu tidak kurang bedanya dari sebuah sandiwara politik
yang menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan.
Perbedaan-perbedaan yang tajam dari substansi demokrasi dan pemilu sebagai
sarana transformasi kedaulatan rakyat setidaknya menjadi titik tekan penulis
mengangkat judul buku Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di
Indonesia.
Restorasi Pemilu
Indonesia
Dari sisi grand
theory, penggunaan kalimat restorasi penyelenggaraan pemilu di
Indonesia yang diajukan penulis tidak bermaksud inters politik
tertentu tetapi melainkan lebih disebabkan efek positif dari membaca sejarah
restorasi a’la Meiji, Jepang. Sekurang-kurangnya ada lima doktrin restorasi
Meiji (Five Charter Oath, 1868). (1) Dibentuknya dewan yang secara luas di
daerah-daerah bagian dari permusyawaratan bersama dalam menghadapi masalah; (2)
Setiap kalangan, baik yang memiliki starata sosial atas maupun bawah, hendaknya
bersatu melaksanakan urusan negara; (3) Semua rakyat tanpa membedakan satatus
sosial dipersilahkan melakukan apa saja yang bisa menghindari kejenuhan; (4)
Meninggalkan kebijakan lama dengan mengikuti hukum alam; dan (5) Mengutamakan
ilmu pengetahuan untuk menguatkan dasar-dasar kedaulatan Kaisar. (hlm, ix).
Buku Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia ini, penulis
tidak saja mengurai panjang lebar mengenai pelaksanaan pemilu dalam kurun
waktu-waktu tertentu saja. Namun, penulis mempertautkan catatan-catatan antara
sejarah pemilu dari Demokrasi Terpimpin (Orde Lama), Demokrasi Pancasila (Orde
Baru), hingga “Demokrasi Modern” atau yang lazim dikenal sebagai era reformasi.
Dalam suasana perubahan (Restorasi) yang sedang berlangsung di Indonesia,
seyogyanya pemerintah mampu memainkan peran dan fungsi sebagai pengendali
negara secara efektif termasuk mengawal demokrasi lewat pembaruan sistem pemilu.
Berdasarkan data-data pelanggaran yang ditampilkan penulis terkait potret
Pemilu dari waktu-ke waktu yang cendrung mengalami distorsi seharusnya bisa di
reduksi pemerintah.
Meminjam logika Lord Shang dalam karyanya A Classic of the Chinese School of Law, pentingnya peran negara
sebagai subyek utama dalam berbangsa memperkuat diri karena selalu berhadapan
dengan kekuatan kelompok rakyat yang berbeda. Sebagai catatan, kekacauan
penyelenggaraan pemilu legislatif, pilpres tahun 2009 dan pemilukada tahun 2008
sampai 2010 yang terus memicu perdebatan panjang bahkan terkadang memancing
pertengkaran politik antar sesama rival partai politik tentu sangat
disayangkan. Mengapa pemilu tahun 2009 yang masuk kategori pemilu era reformasi
selain pemilu tahun 1999, 2004, menimbulkan banyak gunjingan politik di
kalangan masyarakat?
Pemilu 2009 lebih banyak menuai kritik termasuk kritik dari dunia
internasional. Apabila Pemilu 1955 dikategorikan sebagai Pemilu paling
demokratis, maka pemilu tahun 2009 sebaliknya dikesankan sebagai pemilu paling
banyak menimbulkan masalah dalam sejarah pemilu di Indonesia. Tesis tersebut
oleh penulis disajikan pada Bab II. Dengan judul Bab, Paradigma baru
penyelenggaraan Pemilu tahun 2009, penulis mendefenisikan problem Pemilu 2009
dalam kerangka sistem yang berbeda dari sistem sebelumnya. Penulis menguarai
secara jelas mengenai kelebihan dan kekurangan paduan antara sistem parliamentary
threshold dan electoral threshold.
Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan dan hasil pemilu yang berintegritas,
instrumen pengawas pemilu diharapkan mampu menjalankan tugas dan fungsi secara
baik. KPU sebagai penyelenggara pemilu perlu diawasi Bawaslu yang juga
merupakan bagian integral penyelenggaraan pemilu. Kontribusi utama pengawasan pemilu,
di samping mendorong terwujudnya pelaksanaan pemilu yang berkualitas secara
teknis, juga merupakan bagian diterapkannya sistem check and balances dan
keseimbangan antarlembaga penyelenggara pemilu, sebagai bagian dari
keberlanjutan demokrasi di Indonesia. (Lihat halaman: 119). Untuk lebih
mempertajam pembahasan mengenai pentingnya pengawasan Pemilu dalam menciptakaan
keseimbangan dan keterbukaan antarlembaga KPU dan Bawaslu, penulis mengutip
pendapat Lord Action yang dikenal, “Power to corrupt, and absolute
power corrupts absolutely”. Dari konteks ini, penulis sebenarnya ingin
mengajukan konsep penyelenggaraan pemilu dengan menawarkan restorasi
penyelenggaraan pemilu sebagai suatu preposisi awal. Dari perspektif yang
rasional dan objektif, terlihat penulis punya kemauan dan cita-cita tinggi
dengan mengajak semua pihak terutama para perumus UU pemilu agar senantiasa
berpikir kritis dan konstruktif dalam melakukan restorasi atau perubahan
terhadap sistem penyelenggaraan Pemilu.
Sebuah gagasan fenomenal diorientasikan untuk kebutuhan transformasi
nilai-nilai demokrasi dengan merekonstruksi pendekatan paradigma
penyelenggaraan pemilu baik bersifat normatif maupun bersifat substansial.
Sebuah gagasan yang sarat dengan semangat restoratif penulis sehingga penulis
sendiri menganggap judul yang provokatif, dan mungkin latah, tetapi menunjukan
bahwa penulis ingin menggali konsep restorasi penyelenggaraan pemilu di
Indonesia dengan restorasi a’la Meiji sebagai salah satu item landasan
pemikiran intelektual. Gagasan provokatif, namun konstruktif dan komprehensif
ini mendapat apresiasi yang cukup menarik dari beberapa tokoh intelektual,
politisi, pemerhati, dan birokrasi seperti, Ryass rasyid, Chairuman Harahap,
dan Titi Anggraini.
Bahkan apresiasi yang tak kalah penting datang dari Jimly Asshiddiqie, yang
dalam kata pengantarnya menyebut penulis tidak saja sebagai pakar ilmu politik
tapi juga sebagai aktor utama dalam pengawasan pemilu. Yang menarik menurut
Jimly Asshiddiqie, sebelum penulis menawarkan ide untuk melakukan reorientasi
paradigma pengawasan, penulis juga sangat ‘concern’ dengan perbaikan
kualitas demokrasi lewat pengawasan pemilu. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemilu
di masa mendatang diharapkan dapat diselenggarakan secara lebih berkualitas
lagi dari masa-masa yang lalu.
_____________________________________
Diresensi oleh Rahman Yasin, Penulis Buku :
Menulis tentang Pemilu.