Minggu, 12 Juli 2015

Resensi Buku

Reorintasi Penyelenggaraan Pemilu


Buku berjudul Restorasi Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia ini merupakan karya Nur Hidayat Sardini, salah seorang tokoh intelektual muda, dan pelaku pengawasan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia yang concern pada masalah-masalah penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Kelebihan buku ini adalah kekuatan kajian dengan berbasiskan data-data, dan daya kemampuan nalar intelektual untuk melakukan proyeksi serta membuat pemetaan penyelenggaraan pemilu di masa medatang yang lebih tertata rapi, baik dari aspek administrasi maupun teknis-substantif dalam penerapannya sekaligus.
Betapa pemilu memiliki arti penting dalam proses transformasi kedaulatan rakyat dan sekaligus menyimpan makna filosofis yang mendalam, karena lewat pelaksanaan Pemilu yang berasaskan semangat langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) dan jujur, adil (jurdil) diharapkan akan tercipta suasana sirkulasi kepemimpinan di tingkat lokal dan nasional secara baik.

Pemilu Tahun 1955
Sejarah pemilihan umum (pemilu) di Indonesia di mulai sejak tahun 1955. Pemilu pertama dalam sejarah bangsa ini merupakan pemilu paling demokratis. Sebuah pemilu yang paling spektakuler dalam sejarah berdemokrasi bagi sebuah bangsa yang pluralis—yang juga baru saja dibentuk.Bahkan Herbert Feith, menyebut  Pemilu 1955 merupakan pemilu paling jujur, dan adil selama Indonesia merdeka. Pemilu 1955 dikatakan paling demokratis dalam sejarah pemilu bangsa bukan tanpa alasan, karena pelaksanaan pemilu 1955, Indonesia dikabarkan aspek keamanan dan ketertiban negara belum stabil.
Namun kenyataan berbeda dari apa yang diprediksi sebagian kalangan yang semula menganggap pemilu dengan memilih anggota DPR dan anggota Konstituante itu tidak akan berjalan kondusif. Faktanya, para pendiri bangsa justru mampu menyelenggarakan pemilu yang tidak saja dengan aman, tertib, dan damai tetapi sekaligus memperlihatkan dunia kalau Indonesia juga bisa berdemokrasi dengan baik. Pemilu 1955 mencatat sejarah spektakuler bagi zamannya bahkan hingga sekarang para pemikir, pakar, kalangan intelektual, dan pemerhati masalah pemilu modern  tidak menafikan legitimasi kehormatan pemilu 1955. Pemilu pertama yang diselenggarakan tanggal 29 September 1955 yang disebut sebagai pemilu periode pertama ini dikhususkan untuk memilih anggota DPR. Sedangkan pemilu periode kedua yang digelar 15 Desember 1955 ditujukan untuk memilih anggota Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) pun berjalan mulus tanpa praktik manipulasi. Suasana kemerdekaan seakan-akan mewarnai kebebasan masyarakat Indonesia dalam menyongsong kehidupan yang lebih demokratis. Sistem multipartai yang digagas oleh sang proklamator, Muhammad Hatta (Wakil Presiden RI pertama) langsung di respon positif. Gagasan sistem multi partai pun kemudian melahirkan setidaknya 80-an instrumen demokrasi baik berupa partai politik maupun Ormas turut ambil bagian dalam memeriahkan Pemilu 1955.
Memasuki pergantian rezim era Orde Baru, pemilu tidak lagi menjadi sesuatu yang mahal dan berharga karena praktik distorsi kekuasaan terus diorientasikan untuk kepentinganstatus quoseiring terus bergeraknya zaman. Pemilu seakan-akan kehilangan elan vital demokrasi. Pemilu hanyalah sebua seremoni, atau suatu tradisi kekuasaan yang bukan merupakan hal yang baru karena demokrasi diarahkan untuk mengikuti kemana kepentingan rezim yang berkuasa. Demokrasi menjadi ambivalen bahkan sangat ambigu (double standard) karena dikendalikan rezim otoriter berdasarkan falsafah kepentingannya.
Pemilu era Orde Baru relatif memandulkan kehidupan masyarakat dalam berbangsa, dan bernegara terutama dalam berdemokrasi. Kemacetan sirkulasi kepemimpinan elit, dan tersumbatnya kebebasan masyarakat menentukan preferensi politik yang fair dalam pemilu diperlakukan sebagai hal yang biasa. Legitimasi pemilu tidak kurang bedanya dari sebuah sandiwara politik yang menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan. Perbedaan-perbedaan yang tajam dari substansi demokrasi dan pemilu sebagai sarana transformasi kedaulatan rakyat setidaknya menjadi titik tekan penulis mengangkat judul buku Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
                                                                      
Restorasi Pemilu Indonesia
Dari sisi grand theory, penggunaan kalimat restorasi penyelenggaraan pemilu di Indonesia yang diajukan penulis tidak bermaksud inters politik tertentu tetapi melainkan lebih disebabkan efek positif dari membaca sejarah restorasi a’la Meiji, Jepang. Sekurang-kurangnya ada lima doktrin restorasi Meiji (Five Charter Oath, 1868). (1) Dibentuknya dewan yang secara luas di daerah-daerah bagian dari permusyawaratan bersama dalam menghadapi masalah; (2) Setiap kalangan, baik yang memiliki starata sosial atas maupun bawah, hendaknya bersatu melaksanakan urusan negara; (3) Semua rakyat tanpa membedakan satatus sosial dipersilahkan melakukan apa saja yang bisa menghindari kejenuhan; (4) Meninggalkan kebijakan lama dengan mengikuti hukum alam; dan (5) Mengutamakan ilmu pengetahuan untuk menguatkan dasar-dasar kedaulatan Kaisar. (hlm, ix).
Buku Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia ini, penulis tidak saja mengurai panjang lebar mengenai pelaksanaan pemilu dalam kurun waktu-waktu tertentu saja. Namun, penulis mempertautkan catatan-catatan antara sejarah pemilu dari Demokrasi Terpimpin (Orde Lama), Demokrasi Pancasila (Orde Baru), hingga “Demokrasi Modern” atau yang lazim dikenal sebagai era reformasi. Dalam suasana perubahan (Restorasi) yang sedang berlangsung di Indonesia, seyogyanya pemerintah mampu memainkan peran dan fungsi sebagai pengendali negara secara efektif termasuk mengawal demokrasi lewat pembaruan sistem pemilu. Berdasarkan data-data pelanggaran yang ditampilkan penulis terkait potret Pemilu dari waktu-ke waktu yang cendrung mengalami distorsi seharusnya bisa di reduksi pemerintah.
Meminjam logika Lord Shang dalam karyanya A Classic of the Chinese School of Law, pentingnya peran negara sebagai subyek utama dalam berbangsa memperkuat diri karena selalu berhadapan dengan kekuatan kelompok rakyat yang berbeda. Sebagai catatan, kekacauan penyelenggaraan pemilu legislatif, pilpres tahun 2009 dan pemilukada tahun 2008 sampai 2010 yang terus memicu perdebatan panjang bahkan terkadang memancing pertengkaran politik antar sesama rival partai politik tentu sangat disayangkan. Mengapa pemilu tahun 2009 yang masuk kategori pemilu era reformasi selain pemilu tahun 1999, 2004, menimbulkan banyak gunjingan politik di kalangan masyarakat?
Pemilu 2009 lebih banyak menuai kritik termasuk kritik dari dunia internasional. Apabila Pemilu 1955 dikategorikan sebagai Pemilu paling demokratis, maka pemilu tahun 2009 sebaliknya dikesankan sebagai pemilu paling banyak menimbulkan masalah dalam sejarah pemilu di Indonesia. Tesis tersebut oleh penulis disajikan pada Bab II. Dengan judul Bab, Paradigma baru penyelenggaraan Pemilu tahun 2009, penulis mendefenisikan problem Pemilu 2009 dalam kerangka sistem yang berbeda dari sistem sebelumnya. Penulis menguarai secara jelas mengenai kelebihan dan kekurangan paduan antara sistem parliamentary threshold dan electoral threshold.
Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan dan hasil pemilu yang berintegritas, instrumen pengawas pemilu diharapkan mampu menjalankan tugas dan fungsi secara baik. KPU sebagai penyelenggara pemilu perlu diawasi Bawaslu yang juga merupakan bagian integral penyelenggaraan pemilu. Kontribusi utama pengawasan pemilu, di samping mendorong terwujudnya pelaksanaan pemilu yang berkualitas secara teknis, juga merupakan bagian diterapkannya sistem check and balances dan keseimbangan antarlembaga penyelenggara pemilu, sebagai bagian dari keberlanjutan demokrasi di Indonesia. (Lihat halaman: 119). Untuk lebih mempertajam pembahasan mengenai pentingnya pengawasan Pemilu dalam menciptakaan keseimbangan dan keterbukaan antarlembaga KPU dan Bawaslu, penulis mengutip pendapat Lord Action yang dikenal, “Power to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Dari konteks ini, penulis sebenarnya ingin mengajukan konsep penyelenggaraan pemilu dengan menawarkan restorasi penyelenggaraan pemilu sebagai suatu preposisi awal. Dari perspektif yang rasional dan objektif, terlihat penulis punya kemauan dan cita-cita tinggi dengan mengajak semua pihak terutama para perumus UU pemilu agar senantiasa berpikir kritis dan konstruktif dalam melakukan restorasi atau perubahan terhadap sistem penyelenggaraan Pemilu.
Sebuah gagasan fenomenal diorientasikan untuk kebutuhan transformasi nilai-nilai demokrasi dengan merekonstruksi pendekatan paradigma penyelenggaraan pemilu baik bersifat normatif maupun bersifat substansial. Sebuah gagasan yang sarat dengan semangat restoratif penulis sehingga penulis sendiri menganggap judul yang provokatif, dan mungkin latah, tetapi menunjukan bahwa penulis ingin menggali konsep restorasi penyelenggaraan pemilu di Indonesia dengan restorasi a’la Meiji sebagai salah satu item landasan pemikiran intelektual. Gagasan provokatif, namun konstruktif dan komprehensif ini mendapat apresiasi yang cukup menarik dari beberapa tokoh intelektual, politisi, pemerhati, dan birokrasi seperti, Ryass rasyid, Chairuman Harahap, dan Titi Anggraini.
Bahkan apresiasi yang tak kalah penting datang dari Jimly Asshiddiqie, yang dalam kata pengantarnya menyebut penulis tidak saja sebagai pakar ilmu politik tapi juga sebagai aktor utama dalam pengawasan pemilu. Yang menarik menurut Jimly Asshiddiqie, sebelum penulis menawarkan ide untuk melakukan reorientasi paradigma pengawasan, penulis juga sangat ‘concern’ dengan perbaikan kualitas demokrasi lewat pengawasan pemilu. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemilu di masa mendatang diharapkan dapat diselenggarakan secara lebih berkualitas lagi dari masa-masa yang lalu.

                                                _____________________________________
Diresensi oleh Rahman Yasin, Penulis Buku : Menulis tentang Pemilu.