Trand pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu legislatif dan pilpres
2014 umumnya disebabkan oleh sikap tidak netral dan kecenderungan berpihak
hampir terjadi pada setiap tahapan, baik pemilu legislatif, Pilpres, dan
pemilukada. Pelanggaran kode etik mulanya bermuara dari tahapan penanganan daftar
pemilih (DPT), pendiskualifikasian karena persyaratan seperti ketercukupan jumlah dukungan atau persyaratan yang lewat
waktu, penyalahgunaan jabatan, wewenang, dugaan suap dalam pembentukan badan
penyelenggara pemilu, netralitas, imparsialitas, dan penetapan yang tidak cermat. Pengelolaan
tahapan pemilu kerap disusupi kepentingan oknum penyelenggara dengan bertindak
tidak netral dalam pengambilan kebijakan. Fakta pelaksanaan pileg dan pilpres
2014 menunjukkan pada tahap krusial seperti penetapan persyaratan caleg hingga
pada penghitungan suara, penetapan pasangan calon misalnya, di beberapa daerah
dilakukan tidak netral sehingga dalam keterbatasan waktu timbul
ketidakseragaman persepsi dan memicu perdebatan hingga tanpa keputusan. Modus pelanggaran
kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan anggota penyelenggara pemilu
yakni KPU dan Bawaslu di semua jajaran terkonfirmasi dengan jelas lewat proses
persidangan DKPP. Dengan mekanisme sistem persidangan kode etik yang terbuka
dapat membantu majelis persidangan untuk menganalisis dengan lebih cermat lagi berdasarkan
data, dokumen laporan/pengaduan yang diberikan pelapor/pengadu hingga
mengeluarkan putusan.