Senin, 04 Mei 2015

Trand pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu legislatif dan pilpres 2014 umumnya disebabkan oleh sikap tidak netral dan kecenderungan berpihak hampir terjadi pada setiap tahapan, baik pemilu legislatif, Pilpres, dan pemilukada. Pelanggaran kode etik mulanya bermuara dari tahapan penanganan daftar pemilih (DPT), pendiskualifikasian karena persyaratan seperti ketercukupan jumlah dukungan atau persyaratan yang lewat waktu, penyalahgunaan jabatan, wewenang, dugaan suap dalam pembentukan badan penyelenggara pemilu, netralitas, imparsialitas, dan penetapan yang tidak cermat. Pengelolaan tahapan pemilu kerap disusupi kepentingan oknum penyelenggara dengan bertindak tidak netral dalam pengambilan kebijakan. Fakta pelaksanaan pileg dan pilpres 2014 menunjukkan pada tahap krusial seperti penetapan persyaratan caleg hingga pada penghitungan suara, penetapan pasangan calon misalnya, di beberapa daerah dilakukan tidak netral sehingga dalam keterbatasan waktu timbul ketidakseragaman persepsi dan memicu perdebatan hingga tanpa keputusan. Modus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan anggota penyelenggara pemilu yakni KPU dan Bawaslu di semua jajaran terkonfirmasi dengan jelas lewat proses persidangan DKPP. Dengan mekanisme sistem persidangan kode etik yang terbuka dapat membantu majelis persidangan untuk menganalisis dengan lebih cermat lagi berdasarkan data, dokumen laporan/pengaduan yang diberikan pelapor/pengadu hingga mengeluarkan putusan.