Oleh :Rahman Yasin
Soal
penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) khususnya Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden (Pilpres) tahun 2014 yang secara konstitusional berakhir setelah
melewati masa penyelesaian persidangan PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum)
di MK (Mahkamah Konstitusi) pada Hari Kamis (21/8) ini sangatlah menarik
diperbincangkan, mengingat isu politik selama masa pelaksanaan Pilpres kerap
diwarnai pelbagai ragam asumsi dan persepsi politik. Pilpres dalam maknanya
secara positif atau secara substansial memberikan artikulasi politik yang dalam
konteks penafsiran norma hukum dan politik. Namun Pilpres dalam pengertian
teoritiknya, kecenderungannya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, siapa dan
bagaimana kemudian memunculkan riak-riak politik dan sahut-sahut ketidaksiapan politisi
menerima realitas politik yang terjadi. Dalam pengertian Pilpres secara positif
telah memberikan daya dorong secara konstruktif pada pihak-pihak atau
masyarakat di lapisan sosial tertentu dengan berdasarkan pemahaman keotentikan
identitas kultural dan tradisi-tradisi pelaksanaan Pilpres selama lima tahun.
Namun demikian, patut dicatat, Pilpres 2014 memiliki sistem dan performa
penyelenggaraan baik dari segi organik maupun dari segi substansi hampir mendekati
pada tahap perkembangan dan pertumbuhan praktik berdemokrasi yang makin baik.
MK pada Hari Kamis (21/8) mengeluarkan
putusan yang mampu memberikan jawaban atas teka-teki politik tingkat elit pada
masyarakat umum terkait hasil Pilpres 2014. Dengan ditolaknya semua gugatan
maka klaim kemenangan, tuduhan pelanggaran, dalil dan argumentasi yuridis
formal tidak terbukti secara hukum dalam pemeriksaan dan persidangan PHPU di MK,
maka tertutuplah sudah upaya hukum untuk menyelesaikan persoalan Pilpres.
Kalaupun ada upaya menjurus ke PTUN dan MA sekalipun tidak akan mempengaruhi
legitimasi pemerintahan presiden Jokowi-JK, bahkan hal ini hanya menguras
energi positif untuk memulihkan dan memantapkan agenda pembangunan Indonesia
lima tahun ke depan . Tuduhan pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis, dan
massif) serta klaim perolehan suara Prabowo-Hatta meraih suara sebanyak
67.139.153 dan Jokowi-JK hanya mendapatkan 66.435.124 suara yang—berbeda dengan hasil penetapan resmi KPU tanggal
22 Juli yakni Prabowo-Hatta mendapatkan 62.576.444 dan Jokowi-JK mendapat
sebanyak 70.139.153 suara sama sekali tidak dapat dibuktikan dalam pemeriksaan
dan persidangan MK. Perihal pembukaan kotak suara oleh KPU, MK berpendapat sah
dilakukan KPU karena hal itu dilakukan sebelum dikeluarkannya ketetapan MK
Nomor 1/PHPUPRES/XII/2014. Hal serupa pada tuduhan atas penghilangan hak
konstitusional warga dan mobilisasi massa terselubung untuk memilih pasangan
Jokowi-JK. MK berpendapat, pembentukan DPTB dan DPKTb sudah sesuai
peraturan-perundang-undangan sebagaimana tertuang dalam putusan MK Nomor 102 tentang
hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih.
Putusan MK menolak seluruh gugatan tersebut
perlu dimaknai sebagai pendekatan konstitusionalitas dalam rangka menutup semua
interpretasi politik hukum dan segala persepsi yang berkembang selama dua bulan
terakhir. Ditolaknya gugatan ini juga menjadi hikmah positif bagi semua pihak
dalam rangka menjaga dan saling menghormati serta menunjukkan sikap
kenegarawanan melalui taat pada konstitusi.
Sebagai perwujudan kelembagaan peradilan
tingkat pertama dan terakhir yang memiliki kewenangan membuat putusan yang
final dan mengikat sebagaimana dalam sejarahnya dimana UU Nomor 19 Tahun 1964
tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 14 Tahun
1970, bahkan pada awal reformasi diubah jadi UU Nomor 35 Tahun 1999 dan
kemudian pada amandemen UUD 1945, UU Nomor 35 Tahun 1999 dicabut dan diganti
dengan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pencabutan UU
mengenai Kekuasaan Kehakiman sebelumnya tersebut yang kemudian digunakan UU
Nomor 4 Tahun 2004 memperlihatkan lebih jelas eksistensi kedua lembaga negara
yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung karena keduanya memiliki UU
sendiri-sendiri. MK berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi memiliki empat wewenang utama yang salah satunya adalah
menyelesaikan sengketa Pemilu.
Penyelenggaraan Pilpres 2014 dalam
pengertian peraturan dan perundang-undangan memang banyak menimbulkan
penafsiran-penafsiran legalistik dan substansial dari kontestasi termasuk
silang-sengketa penafsiran-penafsiran UU Pilpres antara penyelenggara Pemilu
(Komisi Pemilihan Umum/KPU dan Badan Pengawas Pemilu/Bawaslu). Semua merasa
paling benar dan paling berhak menafsirkan UU Pilpres No 42 Tahun 2008 dalam
pengertian operasionalnya, sehingga sulit memang mempertemukan dua pemahaman
yang berbeda dalam kepentingan baik dalam makna politik teknis-pragmatisnya
maupun dalam makna tugas dan tanggungjawab menjalankan aturan. Akhirnya,
keduanya bukan saling memperkuat, melainkan saling memperlebar pengertian
peraturan perundang-undangan berdasarkan muatan yang pada intinya menimbulkan
pertentangan makna substansialnya.
Betapapun demikian, apapun bentuk perbedaan
selama dua bulan terakhir, dengan putusan MK dan DKPP pada hari Kamis
(21/8/2014) maka semua pihak yang bersilang sengketa hendaknya menerima dengan
jiwa besar. Putusan MK dan DKPP harus dilihat dari segi yuridis-formalnya, dimensi
etiknya, dan dari aspek legal formalnya memberikan makna dalam pengertian
konstitusionalitas kita yang sesungguhnya. MK dengan berdasarkan wewenang dan
fungsinya sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan akhir dan dengan sifat
putusan yang final dan mengikat hendaknya dihargai semua pihak. Sikap
penghargaan dan kesiapan kita untuk menerima putusan MK dan DKPP inilah yang
mencerminkan identitas politik kebangsaan kita dan sekaligus menjadi momentum
untuk kembali rekonsiliasi nasional guna saling memperkuat dan bukan saling
melemahkan satu kelompok dengan kelompok masyarakat yang ada.
Dalam konteks penyelenggaraan Pilpres, terlepas
dari kekurangan dan kelemahan pada KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara, yang
patut direnungkan bahwa penyelenggaraan Pilpres 2014 berkenaan dengan bulan
suci Ramdhan yang dalam makna filosofisnya memberikan sumbangan positif bagi
terciptanya kesadaran yang tinggi akan kebangsaan dan kebhinekaan dalam bingkai
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) cukup terasa. Kesadaran menghargai
ibadah puasa yang mampu secara sosial memberikan arti positif-konstruktif pada
perilaku destruktif yang disebabkan ketidakpuasan terhadap proses dan hasil
Pilpres 2014.
Pilpres 2014 meliputi seluk-beluk pencerahan
dan hiruk-pikuk politik dan perkembangan demokrasi modern dewasa ini yang makin
maju. Bagi yang memahami demokrasi dan konstitusi sebagai bagian dari kehidupan
bernegara dalam arti yang luas maka tentu memaknainya pun secara luas pula,
sedangkan bagi yang memahami demokrasi dan konstitusionalitas sebagai kesatuan
konsepsional dalam praktik politik kehidupan bernegara secara sempit tentu
melihatnya tetap dinamis. Namun, pemahaman keduanya mengenai demokrasi dan
konstitusionalitas sama-sama memberikan sumbangan positif-konstruktif bagi
keberlangsungan demokrasi substansial dan kesadaran filosofis berbangsa untuk
mentaati keputusan konstitusionalitas.
Dalam konteks itulah pentingnya makna kesadaran
kebangsaan semua komponen masyarakat dalam memahami konstitusi yang dikaitkan
dengan persoalan politik kenegaraan sebagai kontrak sosial tertinggi dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara. Pengertian ‘political constitution’ sebagaimana dikembangkan dalam tradisi
masyarakat Amerika Serikat. Perlunya memahami, Pancasila dan UUD 1945 sebagai
dokumen konsensus tertinggi dalam menata sistem kehidupan bernegara. Dalam
perspektif inilah kemudian memunculkan kemauan etik memaknai Pancasila sebagai
suatu ideologi dalam bernegara. Dalam pengertian ini, meminjam paradigma mantan
ketua MK Jimly Asshiddiqie (2003-2008), dikatakan bahwa “Pancasila dan UUD 1945
hanya relevan untuk konteks kenegaraan dalam arti sempit, maka tentu yang
dimaksud adalah bahwa Pancasila dan UUD 1945 itu hanya sebagai konstitusi
bernegara yang tidak mencakup kehidupan bermasyarakat. Masyarakat adalah
wilayah bebas yang berada di luar jangkauan kekuasaan negara”.
Etika Politik
Sebetulnya,
etika kehidupan berbangsa kita sudah terbingkai dalam TAP MPR No VI Tahun 2001
Tentang Etika Kehidupan Berbangsa. TAP MPR No VI ini semestinya menjadi
sandaran etika politik setelah Pancasila dan UUD 1945. Nilai-nilai yang
tercermin dalam Pancasila tidak termanifestasikan secara kongkrit dalam praktik
kehidupan berbangsa. Dalam kondisi yang sama, TAP MPR No VI Tahun 2001 tentang
Etika Kehidupan Berbangsa ini semakin tidak diindahkan dalam praktik politik
kenegaraan. Akibatnya bangunan kultur dan struktur kekuasaan politik bernegara
dalam konteks pergumulan peran pemerintahan demokratis mengalami kelunturan
moral. Kemerosotan nilai-nilai etik politik dalam praktik kekuasaan ini
disebabkan oleh ketidakseimbangan modalitas pemahaman aktor demokrasi terhadap kultur
dan struktur politik kenegaraan secara esensial yakni Pancasila dan UUD 1945
dan TAP MPR No VI Tahun 2001.
Elit politik dan aktor demokrasi kita kering
dalam keyakinan politik nilai dalam praktik kekuasaan. Padahal, semua jalur
mekanisme konstitusional telah dilewati. Proses hukum yang dilaporkan pemohon
Tim pasangan Prabowo-Hatta ke MK yang sesungguhnya telah diproses secara
transparan dan akuntabel pun masih saja menimbulkan sahutan-sahutan politik. MK
dengan berdasarkan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah
memproses perkara dugaan pelanggaran seperti yang diadukan pemohon. Dan putusan
MK dinyatakan tidak menemukan adanya pelanggaran Pilpres sebagaimana dalil
pelanggaran yang dimohonkan yakni telah terjadinya pelanggaran Pilpres secara
TSM (terstruktur, sistematis, dan massif). Begitu juga dalam aduan pelanggaran
kode etik penyelenggara Pemilu di DKPP. Dalam proses pemeriksaan dan
persidangan kode etik DKPP pun seperti dalam putusan lembaga peradilan etik
tersebut dengan mengabulkan sebagian pengaduan dan menolak beberapa pengaduan sehingga
dengan demikian, DKPP sebagaimana UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu dan Peraturan Bersama antara KPU, Bawaslu, dan DKPP No 13, 11, dan 1
Tahun 2012 memutuskan dengan memberhentikan, memberikan peringatan, hingga
merehabilitasi nama baik ketua dan anggota KPU dan Bawaslu/Panwaslu berdasarkan
kapasitas pelanggaran kode etik.
Rekonsiliasi
Dengan
berakhirnya tahapan pelaksanaan penyelenggaraan Pilpres 2014 di MK, maka tidak
ada jalan lain yang lebih baik selain melakukan rekonsiliasi nasional.
Rekonsiliasi politik harus dilakukan pada tingkat aktor elit—semua partai politik baik koalisi Merah
Putih (Prabowo-Hatta) maupun koalisi Rakyat kubu Jokowi-JK secara bijaksana dan
kesatria menunjukkan sikap kenegarawanan untuk kembali memikirkan dan membangun
Indonesia yang lebih kuat dan mandiri berdasarkan visi dan misi kedua pasangan
calon presiden tersebut. Rekonsiliasi nasional hendaknya dimulai dari
langkah-langkah kongkrit dari presiden terpilih Jokowi dan JK untuk merangkul
pasangan Prabowo-Hatta dalam proses penyusunan pemerintahan baru.
Rekonsiliasi nasional dimulai dari tingkat
elit politik. Elit politik tidak hanya diharapkan menunjukkan sikap
kenegarawanan tetapi dituntut menghadirkan sikap bijak untuk berdamai dan
bersatu dalam konteks pengertian membangun negara berdasarkan asas-asas
konstitusional (Pancasila dan UUD 1945) sebagai pedoman tertinggi dalam praktik
kehidupan bernegara. Dalam konteks inilah prinsip “the rule of law, not of man” yang oleh Jimly Asshiddiqie dalam
bukunya Peradilan Etik dan Etika Konstitusi (2014), disebut sebagai pengertian
dari nomokrasi atau kekuasaan dalam pengertian nilai dan norma aturan. Inilah
prinsip supremasi hukum (supremacy of
law) yang dijadikan sebagai prasyarat utama dalam menegakkan negara hukum.
Dengan demikian, pengertian nilai dalam konstitusi bukan para tokoh pemimpin
yang menjadi sandaran utama tetapi sistem aturan hukum yang tertuang dalam
konstitusi. Dengan menegakkan “the rule
of law, not of man” seperti terkandung dalam prinsip ‘supremacy of law’ maka prinsip ‘equality
before the law dan due process of
law’ dapat disinergikan secara simultan dalam praktik.
Kesadaran akan kuat apabila ditopang oleh
kesadaran mematuhi konstitusi. Norma hukum konstitusi (constitutional law) hendaknya dikuatkan dengan norma etika
konstitusi (constitutional ethics). Memahami
Pancasila sebagai sumber hukum (source of
law) sekaligus menjadi pedoman etika (source
of ethics) dalam penguatan dan penataan sistem kehidupan bernegara, dan UUD
1945 sebagai sumber hukum konstitusi (constitutional
law) dan sumber hukum etika konstitusi (constitutional
ethics).
Rekonsiliasi nasional sangat menentukan
ekspektasi masyarakat terhadap pemerintahan lima tahun ke depan dalam konteks membangun spirit
pemerintahan berbasis etika konstitusi ‘the
spirit of the constitution’. Pemerintahan yang kuat, berdaulat berdasarkan
konstitusi tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan cita-cita sesama
anak bangsa dalam mengembangkan kualitas berdemokrasi dan mewujudkan cita
negara hukum. Pemerintahan yang dibentuk presiden Joko Widodo dan H.M. Jusuf
Kalla periode 2014-2019 hendaknya merepresentasikan kebhinekaan dan kebangsaan
Indonesia. Dengan demikian, pelibatan semua kekuatan politik di satu segi
sangat dibutuhkan, dan pada saat bersamaan penempatan pembantu-pembantu
presiden dari kalangan profesional pada kabinet pemerintahan lima tahun ke
depan sangat diperlukan. Yang paling penting, semua pihak perlu memberi
kesempatan kepada presiden dan wakil presiden terpilih untuk menyusun kabinet
dan melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Rekonsiliasi dengan mengakhiri segala
pertentangan politik dan kembali ke pangkuan hukum tertinggi yakni konstitusi
karena konstitusi merupakan konsensus tertinggi dalam kehidupan bernegara.
______________________________________
Penulis adalah Peneliti di LASPI dan Pegiat Masalah Sosial
Politik, tinggal di Jakarta.