Senin, 25 Agustus 2014

Akhir Dari Perseteruan Pilpres

Oleh :Rahman Yasin


Soal penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) khususnya Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) tahun 2014 yang secara konstitusional berakhir setelah melewati masa penyelesaian persidangan PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) di MK (Mahkamah Konstitusi) pada Hari Kamis (21/8) ini sangatlah menarik diperbincangkan, mengingat isu politik selama masa pelaksanaan Pilpres kerap diwarnai pelbagai ragam asumsi dan persepsi politik. Pilpres dalam maknanya secara positif atau secara substansial memberikan artikulasi politik yang dalam konteks penafsiran norma hukum dan politik. Namun Pilpres dalam pengertian teoritiknya, kecenderungannya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, siapa dan bagaimana kemudian memunculkan riak-riak politik dan sahut-sahut ketidaksiapan politisi menerima realitas politik yang terjadi. Dalam pengertian Pilpres secara positif telah memberikan daya dorong secara konstruktif pada pihak-pihak atau masyarakat di lapisan sosial tertentu dengan berdasarkan pemahaman keotentikan identitas kultural dan tradisi-tradisi pelaksanaan Pilpres selama lima tahun. Namun demikian, patut dicatat, Pilpres 2014 memiliki sistem dan performa penyelenggaraan baik dari segi organik maupun dari segi substansi hampir mendekati pada tahap perkembangan dan pertumbuhan praktik berdemokrasi yang makin baik.
MK pada Hari Kamis (21/8) mengeluarkan putusan yang mampu memberikan jawaban atas teka-teki politik tingkat elit pada masyarakat umum terkait hasil Pilpres 2014. Dengan ditolaknya semua gugatan maka klaim kemenangan, tuduhan pelanggaran, dalil dan argumentasi yuridis formal tidak terbukti secara hukum dalam pemeriksaan dan persidangan PHPU di MK, maka tertutuplah sudah upaya hukum untuk menyelesaikan persoalan Pilpres. Kalaupun ada upaya menjurus ke PTUN dan MA sekalipun tidak akan mempengaruhi legitimasi pemerintahan presiden Jokowi-JK, bahkan hal ini hanya menguras energi positif untuk memulihkan dan memantapkan agenda pembangunan Indonesia lima tahun ke depan . Tuduhan pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis, dan massif) serta klaim perolehan suara Prabowo-Hatta meraih suara sebanyak 67.139.153 dan Jokowi-JK hanya mendapatkan 66.435.124 suara yangberbeda dengan hasil penetapan resmi KPU tanggal 22 Juli yakni Prabowo-Hatta mendapatkan 62.576.444 dan Jokowi-JK mendapat sebanyak 70.139.153 suara sama sekali tidak dapat dibuktikan dalam pemeriksaan dan persidangan MK. Perihal pembukaan kotak suara oleh KPU, MK berpendapat sah dilakukan KPU karena hal itu dilakukan sebelum dikeluarkannya ketetapan MK Nomor 1/PHPUPRES/XII/2014. Hal serupa pada tuduhan atas penghilangan hak konstitusional warga dan mobilisasi massa terselubung untuk memilih pasangan Jokowi-JK. MK berpendapat, pembentukan DPTB dan DPKTb sudah sesuai peraturan-perundang-undangan sebagaimana tertuang dalam putusan MK Nomor 102 tentang hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih.
Putusan MK menolak seluruh gugatan tersebut perlu dimaknai sebagai pendekatan konstitusionalitas dalam rangka menutup semua interpretasi politik hukum dan segala persepsi yang berkembang selama dua bulan terakhir. Ditolaknya gugatan ini juga menjadi hikmah positif bagi semua pihak dalam rangka menjaga dan saling menghormati serta menunjukkan sikap kenegarawanan melalui taat pada konstitusi.
Sebagai perwujudan kelembagaan peradilan tingkat pertama dan terakhir yang memiliki kewenangan membuat putusan yang final dan mengikat sebagaimana dalam sejarahnya dimana UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 14 Tahun 1970, bahkan pada awal reformasi diubah jadi UU Nomor 35 Tahun 1999 dan kemudian pada amandemen UUD 1945, UU Nomor 35 Tahun 1999 dicabut dan diganti dengan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pencabutan UU mengenai Kekuasaan Kehakiman sebelumnya tersebut yang kemudian digunakan UU Nomor 4 Tahun 2004 memperlihatkan lebih jelas eksistensi kedua lembaga negara yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung karena keduanya memiliki UU sendiri-sendiri. MK berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi memiliki empat wewenang utama yang salah satunya adalah menyelesaikan sengketa Pemilu.
Penyelenggaraan Pilpres 2014 dalam pengertian peraturan dan perundang-undangan memang banyak menimbulkan penafsiran-penafsiran legalistik dan substansial dari kontestasi termasuk silang-sengketa penafsiran-penafsiran UU Pilpres antara penyelenggara Pemilu (Komisi Pemilihan Umum/KPU dan Badan Pengawas Pemilu/Bawaslu). Semua merasa paling benar dan paling berhak menafsirkan UU Pilpres No 42 Tahun 2008 dalam pengertian operasionalnya, sehingga sulit memang mempertemukan dua pemahaman yang berbeda dalam kepentingan baik dalam makna politik teknis-pragmatisnya maupun dalam makna tugas dan tanggungjawab menjalankan aturan. Akhirnya, keduanya bukan saling memperkuat, melainkan saling memperlebar pengertian peraturan perundang-undangan berdasarkan muatan yang pada intinya menimbulkan pertentangan makna substansialnya.
Betapapun demikian, apapun bentuk perbedaan selama dua bulan terakhir, dengan putusan MK dan DKPP pada hari Kamis (21/8/2014) maka semua pihak yang bersilang sengketa hendaknya menerima dengan jiwa besar. Putusan MK dan DKPP harus dilihat dari segi yuridis-formalnya, dimensi etiknya, dan dari aspek legal formalnya memberikan makna dalam pengertian konstitusionalitas kita yang sesungguhnya. MK dengan berdasarkan wewenang dan fungsinya sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan akhir dan dengan sifat putusan yang final dan mengikat hendaknya dihargai semua pihak. Sikap penghargaan dan kesiapan kita untuk menerima putusan MK dan DKPP inilah yang mencerminkan identitas politik kebangsaan kita dan sekaligus menjadi momentum untuk kembali rekonsiliasi nasional guna saling memperkuat dan bukan saling melemahkan satu kelompok dengan kelompok masyarakat yang ada.
Dalam konteks penyelenggaraan Pilpres, terlepas dari kekurangan dan kelemahan pada KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara, yang patut direnungkan bahwa penyelenggaraan Pilpres 2014 berkenaan dengan bulan suci Ramdhan yang dalam makna filosofisnya memberikan sumbangan positif bagi terciptanya kesadaran yang tinggi akan kebangsaan dan kebhinekaan dalam bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) cukup terasa. Kesadaran menghargai ibadah puasa yang mampu secara sosial memberikan arti positif-konstruktif pada perilaku destruktif yang disebabkan ketidakpuasan terhadap proses dan hasil Pilpres 2014.
Pilpres 2014 meliputi seluk-beluk pencerahan dan hiruk-pikuk politik dan perkembangan demokrasi modern dewasa ini yang makin maju. Bagi yang memahami demokrasi dan konstitusi sebagai bagian dari kehidupan bernegara dalam arti yang luas maka tentu memaknainya pun secara luas pula, sedangkan bagi yang memahami demokrasi dan konstitusionalitas sebagai kesatuan konsepsional dalam praktik politik kehidupan bernegara secara sempit tentu melihatnya tetap dinamis. Namun, pemahaman keduanya mengenai demokrasi dan konstitusionalitas sama-sama memberikan sumbangan positif-konstruktif bagi keberlangsungan demokrasi substansial dan kesadaran filosofis berbangsa untuk mentaati keputusan konstitusionalitas.
Dalam konteks itulah pentingnya makna kesadaran kebangsaan semua komponen masyarakat dalam memahami konstitusi yang dikaitkan dengan persoalan politik kenegaraan sebagai kontrak sosial tertinggi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pengertian ‘political constitution’ sebagaimana dikembangkan dalam tradisi masyarakat Amerika Serikat. Perlunya memahami, Pancasila dan UUD 1945 sebagai dokumen konsensus tertinggi dalam menata sistem kehidupan bernegara. Dalam perspektif inilah kemudian memunculkan kemauan etik memaknai Pancasila sebagai suatu ideologi dalam bernegara. Dalam pengertian ini, meminjam paradigma mantan ketua MK Jimly Asshiddiqie (2003-2008), dikatakan bahwa “Pancasila dan UUD 1945 hanya relevan untuk konteks kenegaraan dalam arti sempit, maka tentu yang dimaksud adalah bahwa Pancasila dan UUD 1945 itu hanya sebagai konstitusi bernegara yang tidak mencakup kehidupan bermasyarakat. Masyarakat adalah wilayah bebas yang berada di luar jangkauan kekuasaan negara”.

Etika Politik
Sebetulnya, etika kehidupan berbangsa kita sudah terbingkai dalam TAP MPR No VI Tahun 2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa. TAP MPR No VI ini semestinya menjadi sandaran etika politik setelah Pancasila dan UUD 1945. Nilai-nilai yang tercermin dalam Pancasila tidak termanifestasikan secara kongkrit dalam praktik kehidupan berbangsa. Dalam kondisi yang sama, TAP MPR No VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini semakin tidak diindahkan dalam praktik politik kenegaraan. Akibatnya bangunan kultur dan struktur kekuasaan politik bernegara dalam konteks pergumulan peran pemerintahan demokratis mengalami kelunturan moral. Kemerosotan nilai-nilai etik politik dalam praktik kekuasaan ini disebabkan oleh ketidakseimbangan modalitas pemahaman aktor demokrasi terhadap kultur dan struktur politik kenegaraan secara esensial yakni Pancasila dan UUD 1945 dan TAP MPR No VI Tahun 2001.
Elit politik dan aktor demokrasi kita kering dalam keyakinan politik nilai dalam praktik kekuasaan. Padahal, semua jalur mekanisme konstitusional telah dilewati. Proses hukum yang dilaporkan pemohon Tim pasangan Prabowo-Hatta ke MK yang sesungguhnya telah diproses secara transparan dan akuntabel pun masih saja menimbulkan sahutan-sahutan politik. MK dengan berdasarkan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah memproses perkara dugaan pelanggaran seperti yang diadukan pemohon. Dan putusan MK dinyatakan tidak menemukan adanya pelanggaran Pilpres sebagaimana dalil pelanggaran yang dimohonkan yakni telah terjadinya pelanggaran Pilpres secara TSM (terstruktur, sistematis, dan massif). Begitu juga dalam aduan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu di DKPP. Dalam proses pemeriksaan dan persidangan kode etik DKPP pun seperti dalam putusan lembaga peradilan etik tersebut dengan mengabulkan sebagian pengaduan dan menolak beberapa pengaduan sehingga dengan demikian, DKPP sebagaimana UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan Peraturan Bersama antara KPU, Bawaslu, dan DKPP No 13, 11, dan 1 Tahun 2012 memutuskan dengan memberhentikan, memberikan peringatan, hingga merehabilitasi nama baik ketua dan anggota KPU dan Bawaslu/Panwaslu berdasarkan kapasitas pelanggaran kode etik.

Rekonsiliasi
Dengan berakhirnya tahapan pelaksanaan penyelenggaraan Pilpres 2014 di MK, maka tidak ada jalan lain yang lebih baik selain melakukan rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi politik harus dilakukan pada tingkat aktor elitsemua partai politik baik koalisi Merah Putih (Prabowo-Hatta) maupun koalisi Rakyat kubu Jokowi-JK secara bijaksana dan kesatria menunjukkan sikap kenegarawanan untuk kembali memikirkan dan membangun Indonesia yang lebih kuat dan mandiri berdasarkan visi dan misi kedua pasangan calon presiden tersebut. Rekonsiliasi nasional hendaknya dimulai dari langkah-langkah kongkrit dari presiden terpilih Jokowi dan JK untuk merangkul pasangan Prabowo-Hatta dalam proses penyusunan pemerintahan baru.
Rekonsiliasi nasional dimulai dari tingkat elit politik. Elit politik tidak hanya diharapkan menunjukkan sikap kenegarawanan tetapi dituntut menghadirkan sikap bijak untuk berdamai dan bersatu dalam konteks pengertian membangun negara berdasarkan asas-asas konstitusional (Pancasila dan UUD 1945) sebagai pedoman tertinggi dalam praktik kehidupan bernegara. Dalam konteks inilah prinsip “the rule of law, not of man” yang oleh Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Peradilan Etik dan Etika Konstitusi (2014), disebut sebagai pengertian dari nomokrasi atau kekuasaan dalam pengertian nilai dan norma aturan. Inilah prinsip supremasi hukum (supremacy of law) yang dijadikan sebagai prasyarat utama dalam menegakkan negara hukum. Dengan demikian, pengertian nilai dalam konstitusi bukan para tokoh pemimpin yang menjadi sandaran utama tetapi sistem aturan hukum yang tertuang dalam konstitusi. Dengan menegakkan “the rule of law, not of man” seperti terkandung dalam prinsip ‘supremacy of law’ maka prinsip ‘equality before the law dan due process of law’ dapat disinergikan secara simultan dalam praktik.
Kesadaran akan kuat apabila ditopang oleh kesadaran mematuhi konstitusi. Norma hukum konstitusi (constitutional law) hendaknya dikuatkan dengan norma etika konstitusi (constitutional ethics). Memahami Pancasila sebagai sumber hukum (source of law) sekaligus menjadi pedoman etika (source of ethics) dalam penguatan dan penataan sistem kehidupan bernegara, dan UUD 1945 sebagai sumber hukum konstitusi (constitutional law) dan sumber hukum etika konstitusi (constitutional ethics)
Rekonsiliasi nasional sangat menentukan ekspektasi masyarakat terhadap pemerintahan lima tahun  ke depan dalam konteks membangun spirit pemerintahan berbasis etika konstitusi ‘the spirit of the constitution’. Pemerintahan yang kuat, berdaulat berdasarkan konstitusi tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan cita-cita sesama anak bangsa dalam mengembangkan kualitas berdemokrasi dan mewujudkan cita negara hukum. Pemerintahan yang dibentuk presiden Joko Widodo dan H.M. Jusuf Kalla periode 2014-2019 hendaknya merepresentasikan kebhinekaan dan kebangsaan Indonesia. Dengan demikian, pelibatan semua kekuatan politik di satu segi sangat dibutuhkan, dan pada saat bersamaan penempatan pembantu-pembantu presiden dari kalangan profesional pada kabinet pemerintahan lima tahun ke depan sangat diperlukan. Yang paling penting, semua pihak perlu memberi kesempatan kepada presiden dan wakil presiden terpilih untuk menyusun kabinet dan melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Rekonsiliasi dengan mengakhiri segala pertentangan politik dan kembali ke pangkuan hukum tertinggi yakni konstitusi karena konstitusi merupakan konsensus tertinggi dalam kehidupan bernegara.

                                    ______________________________________
Penulis adalah Peneliti di LASPI dan Pegiat Masalah Sosial Politik, tinggal di Jakarta.


Rabu, 09 Juli 2014

Sebuah Refleksi Atas Problematika Kebangsaan Kita Dewasa Ini

Oleh: Rahman Yasin



A.  Pengantar
Sungguh menjadi suatu keprihatinan kita semua, dari berbagai hasil survei terkini memperlihatkan Indonesia menempati urutan dalam kategori negara terkorup di dunia. Tidak tanggung-tanggung negara demokrasi ketiga di dunia dengan jumlah penduduk terbesar keempat dan sekaligus dengan jumlah penduduk bermayoritas muslim terbesar di dunia ini ditempatkan sebagai negara terkorup pada peringkat pertama di kawasan Asia Tenggara-Pasifk. Salah satu survei yang dilakukan adalah Transparence.org, sebuah badan independen ini mengemukakan, dari 146 negara terdapat 10 besar negara dikatakan terkorup. Ke 10 negara tersebut, 1) Azerbaijan, 2) Bangladesh, 3) Bolivia, 4) Kamerun, 5) Indonesia, 6) Irak, 7) Kenya, 8) Nigeria, 9) Pakistan, dan 10) Rusia.
Sedangkan dalam konteks Asia Tenggara-Pasifik, Indonesia masuk kategori negara paling terkorup. Lima negara masuk kategori terkorup di kawasan Asia Tenggara-Pasifi yaitu, Indonesia, Kamboja, Vietnam, Filipina, dan India. Kejahatan korupsi hampir melanda di setiap instansi pemerintahan dan swasta. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) seakan-akan telah menjadi budaya dalam aji mumpung bagi setiap pejabat negara yang diberi kepercayaan oleh masyarakat.
Tanggal 9 Desember yang ditetapkan sebagai Hari Anti Korupsi sedunia yang kemudian diperingati oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia seperti jadi selebrasi dalam gerakan kemanusiaan dan tidak memberikan dampak perubahan yang signifikan. Faktanya praktik KKN makin menggurita dan kejahatan korupsi telah memiskinkan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi telah merusak sendi-sendi kehormatan bangsa dan mengacaukan tata nilai bernegara. Korupsi memicu meningkatnya angka kemiskinan secara drastis karena praktik korupsi telah mengurangi hak-hak ekonomi, sosial politik, dan pendidikan warga negara.
Perilaku korup yang dipertontonkan pejabat negara kita membuat sebagian warga negara merasa tidak puas pada gaya kepemimpinan elit kita, bahkan perilaku korup pejabat mulai dari tingkat pusat maupun daerah suka tidak suka, iya atau tidak secara sosio-psikologis mengganggu kebersamaan dalam bernegara bahkan praktik korupsi yang semakin kejam ini dalam suasana tertentu dapat menimbulkan ancaman disintegrasi bangsa. Perilaku korup menyebabkan ketidakadilan terjadi di mana-mana terutama di lingkungan institusi-institusi pemerintahan. Korupsi di Indonesia terjadi di hampir semua instansi pemerintahan hingga ke tingkat kepemimpinan politik, pamong praja, dan institusi-institusi utama. Kenyataan ini membuat kita jadi sinis pada pemerintahan reformasi yang dalam kampanye politik mengatakan perang melawan korupsi.

B.  Krisis Etika Berbangsa
Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi ketiga setelah Amerika Serikat dan India, Indonesia sudah seharusnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa, budaya korupsi dalam kehidupan berbangsa sejatinya tidak hanya ditindak dengan penegakan hukum dengan memberikan sanksi hukum yang setimpal bagi para koruptor tetapi bagaimana membangun infrastruktur ethics sebagai sarana untuk mengembangkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, keadilan, dan kebaikan bersama guna mewujudkan kehidupan bernegara yang kuat.
Krisis etika kehidupan dalam berbangsa dan bernegara pada zaman modern sekarang ini tidak saja memasuki wilayah politik pragmatis yang membentuk pola pikir dan perilaku bernegara penuh penyimpangan nilai tetapi telah merasuki hingga ke ranah kehidupan anak-anak remaja yang notabene modal kekuatan pembangunan masa depan bangsa. Krisis nilai dan kehampaaan spiritualitas sosial semakin mengancam potensi sumber daya manusia (human capital) bangsa kita.
Tidak bisa bisa dihindari bahwa, problematika penanganan pengedaran dan penggunaan narkoba di Indonesia masih menjadi masalah serius. Kompleksitas permasalahan narkotika di tingkat remaja dan anak-anak Indonesia semakin memprihatinkan kita semua karena kejahatan narkoba semakin dicarikan solusinya tetapi pada waktu yang bersamaan semakin memunculkan bentuk-bentuk kejahatan baru yang beragam.
Pola hidup remaja yang hedonis akibat globalisasi dan pesatnya arus informasi menyebabkan remaja cenderung dipengaruhi oleh arus budaya luar lewat westernisasi karena secara psikologis, dengan perkembangan zaman dan teknologi canggih dapat membentuk remaja menjadi apa yang disebut sebagai the nations without state. Kekuatan westernisasi yang secara negatif mengaburkan filter remaja dalam proses pergaulan bebas.  Padahal kita tahu, narkotika, psikotropika dan zat adiktif (nakoba) adalah bentuk kejahatan dalam kategori extra ordinary crime yakni kejahatan luar biasa. Dan dampak negatif dari penggunaan narkoba ialah perilaku imoral seperti merampok, mencuri, berbohong, hingga pemaksaan kehendak dengan menggunakan kekerasan sebagai cara meraih keinginan. Implikasi penggunaan narkoba yakni menimbulkan pengguna menjadi depresan, stimulan, dan halusinogen.
Laporan terakhir dari Badan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk urusan narkoba dan kejahatan, UNODC (United Nations Office On Drugs Crime) mengatakan, upaya negara-negara di dunia dalam melakukan pengetatan pengawasan terhadap kejahatan narkoba melalui sistem negara masing-masing ternyata semakin memicu praktik kejahatan narkoba yang terus meningkat di beberapa kasawan bedua seperti Amerika, Eropa, dan Asia. Para pelaku pengedar narkoba (organized crime) dan berbagai sindikat narkoba internasional bahkan makin meningkat dengan segala bentuk operandinya. Penyalahgunaan narkoba menduduki rangking ke 20 dunia sebagai salah satu faktor penyebab meningkatnya angka kematian di dunia dan menempati rangking ke 10 di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Efek buruk dari penggunaan narkoba selain sebagaimana disebut di atas juga sangat rentan dan mudah menjangkit penyakit HIV, Hepaptitis dan Tubercolis yang berpotensi mengancam menimbulkan penyakit masyarakat yang tidak sehat. Trend kejahatan narkoba pada zaman sekarang ternyata tidak warga negara kita yang selalu menjadi korban kejahatan narkotika dari proses akulturasi dan westernisasi antar budaya bangsa lewat globalisasi tetapi warga asing pun bisa jadi korban kejahatan penggunaan obat terlarang ini.
Kasus Indonesia, penyalahgunaan narkotika dan kejahatan narkoba (lect specialist) tidak saja di tingkat remaja tetapi telah merasuki hingga ke semua level usia ini memberikan dampak buruk yang sangat signifikan. Data BNN dikatakan, tingkat pembiayaan urusan penanganan narkoba, negara mengeluarkan anggaran sebesar 45 triliun, dengan perincian membiayai rehabilitasi, pengobatan dan proses hukum. Sebuah angka kejahatan yang cukup fantastis.
Kekacauan etika di kalangan remaja memang banyak sekali yang menjadi penyebab sehingga dalam melakukan gerakan perbaikan kualitas moralitas bangsa terutama di tingkat remaja membutuhkan suatu kajian ilmiah yang secara mendalam agar bisa diketahui variabel mana saja yang menjadi penyebab kerusakan etika anak bangsa kita dewasa ini.
Ada banyak fakta yang dapat menjadi penyebab menurunnya etika dan moral para remaja kita. fakta menunjukan antara 15 sampai 20% remaja di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah, dan terdapat sekitar 15 juta remaja perempuan usia 15 sampai 19 tahun melahirkan setiap tahunnya. Selain itu, sebuah penelitian yang cukup terpercaya, pada pertengahan 2009 mencatat sekitar 6332 kasus IDS dan 4527 terkena HIV dengan 78,8% kasus tersebut yang dilaporkan umumnya dari usia 15 hingga 29 tahun, dan diperkirakan sekitar 270.000 perempuan menjadi pekerja seks yang menurut data lebih dari 60% berusia 24 tahun dan 30% berusia 15 tahun. Hal yang menjadi masalah kronis adalah kasus aborsi yang diperkirakan sekitar 2,3 juta kasus 20% diantaranya dilakukan remaja.
Dari data Kepolisian, tingkat kejahatan narkoba di kalangan anak muda setiap tahunnya selalu naik.  Jumlah kriminalitas pun meningkat bahkan kejahatan di kalangan remaja pun semakin canggih seiring kemajuan ilmu dan teknologi. Kriminalitas dilakukan kalangan remaja berusia antara 13 hingga 17 tahun bermuara dari penggunaan narkoba yang kemudian bergeser pada pencurian, perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan.

C.  Etika Sebagai Sistem Nilai
Ilmu pengetahuan dalam watak dan perkembangannya menjadikan dirinya otonomi dan bebas dari segala ikatan baik dari konteks agama maupun moral. Kemajuan ilmu dan pengetahuan dalam dimensi yang bersamaan dan selalu menimbulkan pemahaman-pemahaman baru bersifat kontekstual seringkali memotivasi para ilmuan untuk melakukan kajian-kajian intelektual dengan tujuan mendapatkan penemuan-penemuan teori-teori baru yang menurut para ilmuan modern tetap dalam batasan-batasan perkembangan dunia. Faktanya banyak penemuan-penemuan dalam penelitian yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan modern selalu bertabrakan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Hal ini karena kemajuan ilmu pengetahuan yang disertai dengan pengembangan teknologi-teknologi modern lebih banyak terkonsentrasi di kawasan dunia Barat. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hampir menjangkau ke semua aspek kehidupan umat manusia telah diperlakukan dengan tidak realistis alias tidak disejajarkan dengan dasar-dasar keagamaan yang kuat sehingga lebih cenderung menyebabkan kekacauan moralitas masyarakat.
Tradisi budaya Barat yang dualistik, hedonistik, kapitalistik yang sebenarnya meminjam terminologi Francis Fukuyama, demokrasi sebagai konsep sosial politik modern yang efektif menjadi pintu masuk budaya lintas negara sebenarnya bisa dipahami sebagai suatu jalan terjadinya kontradiktif dalam pemahaman maupun praktik pengembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi di satu aspek dan pada sisi lain dipandang menjadi sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Padahal, dalam perpestif Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dua konsep yang memiliki kesamaan misi bagi pengembangan peradaban kemanusiaan di dunia.
Dalam pada ini, seringkali muncul ketidakseragaman pemikiran dan sudut pandang dalam melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia modern sekarang. Muncul gejala-gejalan sikap tidak saling pengertian antara semua komunitas umat manusia di dunia. Hal ini bisa dilihat bagaimana seruan-seruan kekuatan sosial tertentu terhadap pentingnya dialog antarperadaban termasuk tulisan Samuel P. Huntington tentang Class of sicilizatian yang sempat menimbulkan perdebatan. Gagasan mengenai pentingnya atau mengutamakan dialog antarbangsa dan antar peradaban yang berbeda satu sama lain merupakan wujud nyata di mana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapannya selalu memunculkan ketidakseragaman sehingga mengancam perpecahan bahkan diskriminasi.
Pertentangan nilai-nilai etika modern seringkali terjadi dalam praktik kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang serba modern dan masing-masing dilandasari dengan paham-paham ideologi. Kapitalisme, hedonisme, sekularisme dan sosialisme-demokrat, dan demokrasi yang berkembang di negara-negara di dunia telah memicu persoalan kemanusiaan tersendiri khususnya dalam memahami kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan keserasiannya pada agama. Hal ini tidak saja terjadi pada agama tertentu seperti Islam dan Kristen yang dalam praktik perpolitikan sengaja direkayasa oleh segelintir elit untuk menimbulkan pertentangan tetapi pada kenyataannya di masing-masing internal memperlihatkan adanya gejala di mana selalu muncul pertentangan.
Pada akhir abad ke XX di Barat akibat menguatnya paham ideologi sekular dan kapitalisme modern yang dipandang sebagai ancaman terhadap nilai-nilai etika sosial kemanusiaan dengan menjadikan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi sebagai instrumen untuk membandingkan antara nilai-nilai agama dan ilmu pengetahuan mengalami kelunturan. Di penghujung abad XX dari sebuah hasil Konsili di Vatikan dan kongres Dewan Gereja se Dunia misalnya, telah memperlihatkan ada kecenderungan baru baik dari Katolik maupun Protestan sama-sama membuka jalur komunikasi kultural yang konstruktif dalam rangka mencari interpretasi dan pengertian baru mengenai sekularisme modern yang dianggap mereka sebagai ajaran yang rasional.

·  Memperkuat Basis Pendidikan Karakter
Berdasarkan realitas dari berbagai problematika sosial-kemanusiaan yang ada yang dari pembahasan diatas kita tarik suatu kesimpulan sementara bahwa ada gejala atau kecenderungan yang kuat dari ancaman global terhadap tatanan nilai-nilai etika dalam berbangsa dan bernegara, dan hal ini harus diakui sebagai konsekuensi dari komunitas masyarakat dunia sehingga dalam menghadapi tantangan-tantangan global tersebut, tugas kita sebagai anak bangsa adalah terutama melalui bidang pendidikan (Perguruan Tinggi), diperlukan gerakan pemikiran baik secara konsepsional maupun secara implementatif mendorong pemerintah agar secara konsisten dan tertib menerapkan kurikulum pendidikan nasional yang mengedepankan pendidikan karakter. Pendidikan karakter sebagai dasar utama dalam mewujudkan kualitas pribadi setiap anak bangsa dan dengan format pendidikan karakter yang kuat maka kualitas etika sosial dan moralitas bangsa sering berjalannya waktu akan dengan mudah tertanam kesadaran etik yang tinggi dalam berbangsa dan bernegara. Pendidikan karakter yang menjadikan Pancasila sebagai landasan filosofis karena dengan Pancasila sebenarnya kita mampu tampil menjadi identitas negara yang beradab sebagaimana yang termanifestasikan dalam Sila-sila Pancasila.
Di mana Pancasila menjadi pandangan nilai yang mengandung sistem nilai dan norma kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila harus menjadi filter dalam mengelola kehidupan bernegera karena dengan sistem nilai yang terkandung di dalam Pancasila tersebut yang juga menjadi dasar filosofis untuk membangun peradaban bangsa yang lebih maju dan modern sehingga dalam pergaulan internasional, bangsa Indonesia bisa sederajat dengan bangsa-bangsa lain. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sejatinya menjadi suatu pemahaman kebersamaan karena ia merupakan warisan sosial-budaya nasional.
Bila suatu bangsa dan kebudayaan Yunani yang relatif kecil di Eropa memiliki warisan sistem nilai seperti filsafat dan kebudayaan) yang dalam perkembangannya banyak menjadi minat kajian para ilmuan dan kaum intelektual maka bangsa Indonesia sebenarnya pada titik ini, Pancasila harus dipahami sebagai puncak dari sari kebudayaan nasional dan sekaligus menjadi warisan filsafat yang memadai.
Berdasarkan catatan sejarah, banyak para ilmuan sejarah dari Barat yang kagum dengan Pancasila bahkan mereka melakukan penelitian-penelitian di bidang sosial-politik, budaya dan pendidikan selalu dikaitkan dengan perilaku masyarakat bangsa Indonesia yang merupakan cermin dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Oleh sebab itu, sebagai bangsa yang besar dan memiliki keaneragaman budaya patut berbangga pada warisan budaya nasional berupa Pancasila ini dan dengan begitu maka secara otomatis akan meningkatkan harkat dan martabat bangsa dalam pergaulan dunia internasional.
Jika bangsa Barat saja merasa begitu tertarik dengan kebudayaan Nusantara Indonesia dengan latarbelakang apapun ketika mereka masuk melalui penjajahan, namun paling tidak hal ini menjadi suatu kesadaran kita terutama generasi penerus bangsa. Jika kita tidak segera menumbuhkembangkan kesadaran akan penghargaan dan kebanggaan pada Pancasila sebagai warisan budaya bangsa maka kita akan terus menerus dikepung oleh kekuatan-kekuatan ideologi lain yang bertujuan merusak nilai-nilai budaya dalam Pancasila, dan jika yang terjadi demikian maka dengan berdasarkan pada kondisi sosial-psikologis yang ada maka para kaum imperialis modern untuk kepentingan kolonialisme-imperialisme akan secara aktif mengkampanyekan kejahatan modern atas nama kemajuan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi.
Oleh karena itu, Perguruan Tinggi memiliki peran strategis dan aktualitatif dalam membangun dan mengembangkan sistem pendidikan nasional dalam wujud pembentukan karakter bangsa Indonesia yang senantiasa berbasiskan pada Pancasila. Sebab Pancasila selain sebagai suatu sistem nilai yang secara sosio-kultural dan psikologis-praktis, serta yuridis dan potensialitas diyakini sebagai suatu kebenaran, kebaikan dengan beserta semua potensi keunggulannya. Pendidikan yang dikelola dengan sistematis atau apa yang disebut Glbraith, “The concepts of community-based education and lifelong learning, when marged, utilizes formal, nonformal, and informal educational processes”, yakni pendidikan yang diselenggarakan secara komprehensif dengan memadukan sistem formal, informal, dan nonformal. Hal ini senada dengan amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 ayat (1).
Pendidikan seperti ini bisa kita lihat dari konsepnya John Dewey (1916) dalam bukunya Democracy and Education, ia menawar suatu konsep pendidikan yang bersifat adaptif dan progresif bagi perkembangan masa depan, “Dewey elaborated upon his teory that school reflect the community and be patterned after it so that when children graduate from school they will be properly adjusted to asumse their place in sociaty”.
Gagasan lain juga dikemukakan oleh Faucault dalam bukunya: Use of Pleasure (1984) dan Care of The Self (1984), ia dengan pendekatan konsep “The Order of Things: An Archaeology of The Human Sciences (1966) yang menekankan substansi cara berpikir yang sistematis dalam pendidikan sekaligus menjadi metode untuk menjelaskan hakikat manusia sebagai bagian dari pengetahuan. Hakikat manusia sebagai dimensi pengetahuan dalam perspektif yang lebih filosofis yakni di mana peranan pendidikan dimungkinkan untuk menjelaskan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Pendidikan yang menitikberatkan pada aspek sosial demokrasi karena sistem sosial terutama demokrasi di era modern sekarang sudah dianggap paling memungkinkan untuk mempertemukan semua perbedaan dalam sebuah konsep musyawarah mufakat.

·  Menjadikan Pancasila Sebagai Sistem Etika Politik
Sebenarnya sudah menjadi kesepakatan yang final dalam bernegara, bahwa Pancasila sesungguhnya menjadi bagian yang substansial dalam membangun sistem etika politik bangsa kita. setiap sistem manapun yang dibuat oleh rezim siapapun sejatinya sistem politik itu selalu mencerminkan sistem etika politik dalam pengertian nilai-nilai Pancasila. Etika politik sebagai cabang dari etika sosial yang secara substansi mengandung pengertian-pengertian norma dalam konteks kehidupan praktis dalam berbangsa. Dengan sistem politik yang beretika Pancasila maka setiap warga negara dan warga bangsa yang melakukan kegiatan-kegiatan politik harus mematuhi norma-norma politik yang sudah diatur dalam sistem politik. Pancasila sebenarnya memiliki peranan penting sebagai perwujudan dari sistem etika dalam bernegara. Sebagai bentuk nyata bahwa Pancasila sebagai perwujudan dari membangun sistem etika politik bangsa, hal ini bisa dilihat bagaimana sila ke-2 (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab) memiliki memuatan nilai etika dalam berbangsa. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa setiap sila merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa dilihat beridir sendiri-sendiri tetapi ke-5 sila dalam Pancasila ini merupakan kesatuan nilai yang saling menopang dan tidak ada yang bertentangan satu sama lain.
Perilaku politik zaman sekarang yang selalu mengabaikan etika politik adalah wujud dari penyimpangan makna politik dalam kaitannya dengan membangun sistem etika politik yang sejalan dengan nilai-nilai budaya bangsa yakni Pancasila. Padahal, hakikat manusia sebagai makhluk politik sebenarnya memahami politik sebagai upaya memerdekakan manusia dari segala bentuk ketidakadilan, melawan semua bentuk kezaliman, kediktatoran, dan semua sistem otoriterian dan menentang setiap kebijakan negara yang menindas, membuat orang lain miskin, pembodohan, dan lain-lain. Politik sebenarnya tidak kejam seperti yang dipahami sebagian masyarakat karena tidak semua konsep politik memuat berupa perilaku anarkhis, diskriminatif, dualistik, hegemonikpenghancuran dan tindakan destruktif terhadap sesama manusia dalam kompetisi tetapi politik sebenarnya memiliki landasan etika sosial yang tinggi yakni di mana ia menempatkan kepentingan kolektif kebangsaan dengan jujur, adil, dan dilakukan dengan penuh kesungguhan.
Pancasila dilihat dari perspektif sosio-kultural dan psikologis adalah bagaimana bangsa ini memahami Pancasila sebagai sumber inspirasi bagi proses tata kelola bernegara yang dilandasi dengan nilai-nilai sosial-budaya bangsa. Pancasila memiliki nilai esensial dalam praktik bernegara sepanjang sejarah budaya kita. pancasila juga harus dijadikan sebagai nilai pandangan hidup bangsa yang secara transedental turut menjiwai tata kehidupan kemasyarakatan. Artinya, nilai Pancasila harus menjadi filsafat hidup yang secara praktikal membentuk sifat dan perilaku serta menjadi watak dari kepribadian setiap anak bangsa. Sedangkan Pancasila dalam perspektif material, praktis fungsional, ia harus dipahami sebagai nilai-nilai filosofis. Dalam kerangka ini pemahaman mengenai Pancasila sebagai substansi yang menumbuhkembangkan nilai-nilai sosio-budaya terutama membentuk kesadaran akan Ketuhanan-keagamaan, dan kesadaran dalam konteks kekeluargaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus menjadi filter.
Dengan landasan berpikir dan pemahaman yang substansial tersebut, maka hakikat dari fungsional nilai dasar Pancasila sesungguhnya adalah nilai-nilai yang lahir dan berkembang dalam interaksi sosial antar budaya bangsa dan menjadi pedoman kehidupan berbangsa (natural social philosophy) yang secara esensial merefleksikan ajaran filosofis dan sekaligus menjadi karakter bangsa. Sedangkan Pancasila yang dilihat dari perspektif formal-yuridis-konstitusional baik secara tersurat maupun tersirat dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan dasar negara atau boleh dikatakan sebagai filsafat negara. pancasila secara nilai dipandang menjadi intrinsik yang secara resmi mengandung filsafat negara sehingga ia dapat dipandang sebagai sistem kenegaraan RI. Dan UUD 1945 adalah wujud dari perwujudan sistem ketatanegaraan kita. dengan demikian, tidak ada alasan bagi siapapun warga negara dengan status sosial manapunpejabat tinggi negara hingga rakyat jelata termasuk dalam proses pembentukan peraturan dan perundang-undangan hendaknya harus selalu berpedoman pada norma-norma dasar yang merupakan sumber hukum tertinggi.
Sedangkan Pancasila dalam perspektif normatif ideal sejatinya dipahami sebagai sistem nilai atau filsafat negara yang memiliki keunggulan melebihi sistem-sistem lain yang dipraktikan negara-negara di dunia. Artinya, filsafat Pancasila memiliki keunggulan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ajaran filsafat lain seperti kapitalisme, komunisme, sosialisme, sekularisme, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam rangka membangun peradaban bangsa Indonesia yang lebih modern dan maju serta memiliki kapasitas tertentu yang unggul di mata dunia internasional, kita perlu membuat formula baru berupa interpretasi, mencari pengertian mengenai etika sosial yang lebih transedental, merangkai moralitas kebangsaan, serta bagaimana memadukannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bersamaan. Kita perlu memikirkan bagaimana membangun dan membina keseimbangan konsepsional dan pemahaman budaya yang bersifat historis-filosofis, dan empirik secara esensial antara agama dan ilmu pengetahuan serta dalam penerapannya dengan teknologi. Kita harus memikirkan betapa pentingnya membangun keseimbangan interpretasi terhadap teks-teks ilmu pengetahuan dan teknologi dengan agama yang serasi. Kita perlu membangun dan membina kesatuan nilai dalam bentuk kebenaran, kesusilaan, dan keindahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa kesatuan nilai yang terdiri dari semua nilai-nilai budaya nasional (baca negara pluralisme) pada zaman sekarang sudah pudar hingga ke berbagai dimensi kehidupan.*

______________________________________________________
Penulis adalah, Pemerhati Masalah Ilmu Sosial dan Politik, tinggal di Jakarta.




Rabu, 18 Juni 2014

Pemilukada dan Peran Media Massa

Oleh: Rahman Yasin

Sebuah proses penyelenggaraan pemilihan umum akan terhindar dari intervensi, jauh dari proses kontaminasi elit partai politik manakala peran media massa dalam mengkonstruksi berita dapat dilakukan secara proporsional dan dengan metode penyampaian informasi politik yang seimbang dan bermuatan mendidik inilah kemudian mampu mewujudkan suasana psikologi politik masyarakat yang kondusif. Dengan cara tersebut, maka integritas proses dan hasil penyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis akan hadir dalam benak masyarakat, dan dengan begitu legitimasi kepemimpinan nasional kuat adanya.
Tetapi bila pendekatan komunikasi politik yang terus dilakukan secara berlebihan oleh pemimpin eksekutif terhadap lembaga-lembaga negara seperti legislatif, dan yudikatif, maka sebaliknya peluang terbukanya ruang praktik korupsi dalam penyelenggaraan pemilu tetap terbuka. Masyarakat merasa prihatin terhadap penyelenggaraan pemilu pasca reformasi yang cenderung melahirkan praktik politik uang yang tidak saja melibatkan aktor elit tetapi sampai ke tingkat bawah.
Praktik politik uang dalam penyelenggaraan pemilu selalu jadi biang kekacauan sistem demokrasi, bahkan menghancurkan sendi-sendi moralitas politik bangsa, karena uang hampir menjadi sarat penentu utama kemenangan setiap calon yang menggunakannya. Politik uang sangat berpihak kepada calon yang menggunakannya. Kekuatan finansial masih menjadi faktor kuat pemenangan calon daripada kekuatan ideologi sekalipun. Dengan demikian, praktik pengingkaran politik nurani dalam penyelenggaraan pemilu harus dihentikan dengan menegakan hukum pemilu, baik pelanggaran administrasi maupun tindak pidana pemilu merupakan suatu keniscayaan.
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan sarana yang paling efektif untuk melaksanakan kedaulatan politik rakyat dalam konteks kebebasan memilih pemimpin yang kelak menjalankan kebijakan pembangunan negara. Melalui Pemilu, terjadi proses apa yang disebut dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1999 tentang Pemilusebagai suatu cara efektif menjalankan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tentu tetap dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Arah kebijakan negara akan sangat ditentukan oleh calon-calon pemimpin yang turut ambil bagian dalam pelaksanaan pemilu. Pemilu juga merupakan sebuah konsep demokrasi yang menempatkan nilai-nilai egaliterianisme politik masyarakat secara berperadaban.
Pemilu punya arti penting tentang bagaimana pembaruan sistem kehidupan masyarakat itu di mulai, karena lewat pemilu, warga bangsa akan diberikan kebebasan penuh untuk menggunakan prefrensi politik tanpa adanya intervensi yang berarti dari rezim atau kelompok politik manapun yang mengatasnamakan demokrasi. Tesis ini diperkuat dengan basis penerapan sistem penyelenggaraan pemilu yang berasaskan Langsung, Umum Bebas, Rahasia (Luber), Jujur, dan Adil (Jurdil). Titik tekan dari substansi penyelenggaraan pemilu yang Luber dan Jurdil diatur dalam UU No. 32/2004, UU No. 22/2007, dan UU No. 10/2008 tentang sistem dan mekanisme menggunakan hak pilih masyarakat dalam pemilu.
Sejak pemilu tahun 1955, transformasi demokrasi mendapat legitimasi yang cukup kuat dari dunia Internasional. Sistem multipartai baru pertama kali diterapkan dalam sebuah kondisi geo-sosio politik yang kurang stabil, tapi fakta menunjukkan, elit politik ketika itu mampu menghadirkan suasana demokrasi politik yang berperadaban.
Protes akibat pelanggaran pemilu pun relatif kurang meskipun ada namun dari cara mendisegn tradisi politik yang santun paling kurang siap kalah dan mengakui kemenangan lawan terasa begitu kuat. Ini sangat berbeda dengan kondisi politik baik pada pemilu 1971 yang merupakan fase pertama kehadiran rezim Orde Baru dalam pentas politik nasional maupun pemilu-pemilu berikut di era Orde Baru, bahkan hingga memasuki fase reformasi.
Secara teoritik, pemerintahan Orde Lama menerapkan sistem demokrasi terpimpin yang hingga memicu tersumbatnya kran demokrasi. Kegaduhan sistem politik masa transisi demokrasi menjadi faktor kegagalan negara dalam menyusun dan menerapkan sistem pemilu yang demokratis.
Kepemimpinan Soekarno, apa yang disebut oleh Herbert Feit (1962) dalam karya monumentalnya, The Decline of Constittutional Democracy in Indonesia, sebagai solidarity makers, dan administrator atau lebih dipahami sebagai problem solver ini kurang bersahabat dengan kultur politik bangsa. Kegagalan demokrasi parlementer era kekuasaan rezim Orde Lama tampak jelas akibat diterapkannya sistem constitutional democracy. Sebuah kegagalan membangun tradisi demokrasi kekuasaan yang elegan untuk membawa bangsa ke arah peradaban politik modern.
Reformasi sistem Pemilu dan sistem politik terus dilakukan dan pada setiap pergantian “rezim kekuasaan politik legislasi” di parlemen, hampir perubahan terhadap UU Pemilu, UU Kepartaian, dan UU Politik tidak pernah luput dari sikap politik partai-partai politik yang kontraproduktif.
Akan tetapi perubahan demi perubahan sampai saat ini belum mampu mewujudkan sebuah sistem yang relevan, dan bersahabat dengan tuntutan zaman. Apa yang disebut Plato dalam karya Republik-nya terbukti adanya sebuah realitas bernegara dalam situsasi modern saat ini.
Oligarki merupakan sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan konsep politik yang mengedepankaan kekuasaan di tangan segelintir orang. Dalam catatan literatur modern, Robert Michels (1959), menyebutkan, bahwa konsep oligarki kekuasaan, setidaknya telah diperlihatkan oleh beberapa negara yang pernah menerapkan sistem kekuasaan oligarki, antara lain, Jerman yang dipimpin Hitler, Uni Sovyet dibawah kendali Stalin, Perancis dibawah kekuasaan Louis XIX, bahkan Soeharto pun dikategorikan sebagai bagian dari rezim yang menjalankan sistem oligarki.
Dalam kaitan dengan gonjang-ganjing proses revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, terlihat dengan jelas bagaimana politik kekuasaan gaya oligarki ini bekerja aktif. Politisi parlemen seakan-akan memanfaatkan setiap periode “kekuasaan politik legislasi” di parlemen selama menjabat, sebagai lahan basah untuk menghidupkan sumber pemasukan finansial partai politik sehingga ketika revisi UU Pemilu itu dilakukan, anggota Dewan yang merupakan mesin politik politik ini lebih mengedepankan kepentingan individu maupun partai di mana mereka bernaung.
Fraksi partai besar seperti FD, FG, FPDIP, dan FKS,  akan berbeda visi atau bisa jadi sama kepentingan, namun secara politik kalkulatif, sama-sama memiliki kepentingan organisasi. Akibatnya, proses pembahasan revisi UU Pemilu tidak lagi memikirkan substansi, sejauhmana kepentingan masyarakat dalam pemilu termasuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu serta transformasi pendidikan politik bagi rakyat itu bisa teragregasi dengan baik, tetapi sebaliknya para wakil rakyat justru lebih mengutamakan bagaimana memperjuangkan kepentingan partai politik masing-masing.
Revisi UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang digulirkan sejak awal tahun 2010 dan berdasarkan potret dinamika yang terjadi, agaknya semakin memperkuat pesimistis rakyat terhadap kinerja buruk anggota Dewan yang terhormat ini. Perjalanan penuh intrik dibalik pembahasan revisi terbatas UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Perdebatan klasik hingga pragmatis mewarnai pembahasan revisi UU Pemilu.
Dari persoalan calon keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan keanggotaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pro kontra menaikan ambang batas, persoalan jumlah keanggotaan Dewan Kehormatan KPU, terkait komposisi perwakilan kalangan masyarakat dari kalangan profesional, soal kemandirian KPU dan Bawaslu, serta boleh tidak kader parpol menjadi anggota KPU dan Bawaslu.
Tahun 1999 merupakan sejarah awal perpolitikan nasional dalam membangun tradisi politik yang demokratis dalam kerangka penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sejarah baru demokratisasi ini ditandai dengan diproklamasikannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang pada perjalanannya kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pesan komunikasi politik kebijakan pemerintah yang demokratis dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang otonomi Daerah yang secara implisit menegaskan sikap pemerintah pusat ingin mengubah sistem dan cara penerapan Undang-Undang pemerintahan Daerah yang lebih adil dan demokratis.
Pertentangan ideologi politik antara masing-masing faksi politik lokal, regional, dan nasional yang terjadi dalam dua (2) sampai tiga (3) dekade dapat diredam secara elegan. Setidaknya kehadiran peraturan dan perundang-undangan pemerintah yang baru mampu merespon gejolak politik lokal yang cenderung menjurus pada disintegrasi bangsa.
Salah satu unsur problem yang seringkali memicu konflik politik antara pusat dan daerah ialah sistem penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) yang secara konstitusional menganut sistem demokrasi prosedural umum. Demokratisasi kekuasaan elit lokal hanya dikendalikan oleh sistem yang notabene menjadi dominasi elit pusat sehingga hal tersebut sangat mengganggu keamanan dan ketertiban bangsa.
Reformasi tahun 1998 menghasilkan perubahan kehidupan sistem pemerintahan yang semakin demokratis daripada masa-masa sebelum. Demokrasi prosedural di-tingkatkan menjadi demokrasi substansial yang pada intinya menempatkan kembali kedaulatan rakyat secara proporsional sesuai semangat Undang-Undang Dasar 1945.
 Demokrasi substansial telah menempatkan hak-hak politik masyarakat ke-dalam sistem yang adil. Pada fase ini demokrasi substansial kembali menghidupkan sistem penyelenggaraan Pemilu yang semakin adil dan demokratis pula, yang di-dalamnya termasuk penyelenggaraan Pemilu Kada di semua tingkatan.
Pemilu Kada yang dilaksanakan secara langsung merupakan salah satu unsur fundamental yang mampu menjawab tuntutan rakyat yang selama Pemilu-pemilu sebelumnya dianggap penuh rekayasa dan manipulasi. Pengendalian kekuasaan dan rotasi demokrasi tidak dimainkan langsung oleh rakyat tetapi hanya melibatkan para aktor elit politik pusat sehingga Pemilu dihadapan rakyat sebagai rutinitas kekuasaan yang dikehendaki segelintir elit.

Keberpihakan Politik Media
Media condong memihak pemilik saham dan lebih mengedepankan aspek keuntungan daripada menampilkan netralitas dan idealisme politik. Kekuatan ekonomi menentukan arus kekuatan politik, dan begitu juga sebaliknya. Antara kekuatan ekonomi dan politik saling bergantungan sehingga dalam perspektif pengembangan media sebagai sarana pendidikan budaya bangsa dalam segala dimensi kehidupan tidak berjalan sesuai cita-cita pembangunan nasional.
Tidak bisa dipungkiri, kekuatan modal sangat menentukan kebijakan yang notabene pemilik modal utama sebuah media massa yang mengarah pada diversity media. Kompetisi politik global menyebabkan pertarungan ideologi dengan keras dan tajam. Keberadaan media massa turut melegitimasi perang  politik antar kontestan merebut kekuasaan dan di dalamnya termasuk pergulatan kepentingan ekonomi bisnis. Dalam perebutan kekuasaan, peran media tidak lagi berfungsi sebagai kontrol sosial atau memberikan pelayanan informasi dan memberikan pendidikan bagi masyarakat tetapi pada kenyataannya media lebih berperan menjadi bagian dari pergulatan merebut kekuasaan.
Diversity media massa secara politik terkonstruksi oleh diaspora pergulatan ekonomi politik dalam merebut kekuasaan. Keragaman metode dan pendekatan penyampaian informasi media massa pun sangat ditentukan oleh pengendali media massa itu sendiri. Hegemoni dan monopolistik kepemilikan media antara media yang dikendalikan penguasa dan kaum pemilik modal media seringkali memangkas hak-hak informasi masyarakat yang sesungguhnya. Konstruksi berita lebih ditekankan pada aspek pembentukan opini publik dengan tujuan meyakinkan masyarakat mengikuti keinginan media massa bersangkutan.
Masyarakat tidak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi bahkan dikotomi dan monopolistik produksi informasi ini menjadikan media menjadi tidak independen. Media berperan melakukan kampanye bahkan dalam konstelasi politik yang eskalatif, media cenderung membuat persepsi secara miring dan mengaburkan hakikat kebenaran sebuah peristiwa yang semestinya.
Era modern dan kuatnya globalisasi informasi dan komunikasi, kehadiran media komunitas yang diharapkan menjadi alternatif pengimbang informasi antara kepentingan elit penguasa dan kaum pemodal media pun kenyatannya tidak efektif. Media komunitas dengan keberagaman (diversity of ownership) dengan semangat menggantikan posisi media yang monopolisasi informasi dan pemberitaan dalam kenyataannya tidak bisa tampil sebagaimana mestinya.
Media baik yang dikendalikan penguasa maupun kaum pemodal hampir tidak bisa dihindari bahwa dalam tataran praktek politik keberagaman kepemilikan (diversity of content) kerapkali menyajikan informasi yang cenderung bermuatan kepentingan sehingga substansi, content, visi terkonsentrasi pada bagaimana memaksimalkan kepentingan aktor pengendali.
Diversity of ownership dan diversity content memiliki visi untuk membuat frame informasi untuk membangun image publik atas kepentingan yang dibawah media itu sendiri. Betapapun demikian, fungsi sosial kontrol media massa tidak serta-merta diterjemahkan dalam kerangka normatif dan kontekstual dan hingga akhirnya hanya terjebak pada perspektif media yang etis dan utopis karena selalu mengambang tetapi secara rasional diakui bahwa keberagaman media dalam proses politik tetap diperlukan masyarakat.
Idealisme media menjadi sebuah utopia karena dalam pertempuran ideologi, idealisme menjadi tidak berlaku bagi sebuah media. Segala sesuatu yang ada yang merupakan produk ide atau pikiran tidak lagi digerakkan sesuai misi kemanusiaan tetapi peran budaya dan kekuatan ideologi mengesampingkan budaya idealisme dan tradisi politik positivisme.
Yang muncul dalam pertikaian ideologi, media menempatkan diri menjadi sistem kerja politik berbasis budaya dualisme, dimana proses produksi informasi dengan menggunakan cara berpikir yang bertitik tolak pada materi dan ideologi sekaligus. (Darsono, 2006: 112).

Goffman dalam dramaturgisnya menurut Doyle (1986: 42) mengatakan:

“Masalah utama yang dihadapi individu dalam pelbagai hubungan sosialnya adalah mengontrol kesan-kesan yang diberikannya pada orang lain. Pada akhirnya individu berusaha mengontrol penampilannya, keadaan fisiknya dimana mereka memainkan perannya serta perilaku perannya yang aktual dan gerak isyarat yang menyertainya”. (Lely Arrianie, 2010: 33).

Marx sebagaimana rekannya Friedrich Engels (1820-1895), menunjukkan penerimaannya akan prinsip dialektika, tetapi keduanya mengganti dasar spirit dialektika dengan dasar materi murni. (Ali Abdul Mu’ti Muhammad, 2010: 206). Filsafat Hegel memprioritaskan perkembangan akal dan pemikiran (idea). Filsafat idealisme memang memosisikan perkembangan manusia dan hubungan-hubungan sosialnya sebagai sesuatu yang dihasilkan perkembangan akal. Marx dan Engels sendiri menerima pemikiran Hegel tentang dialektika dan perkembangan terus-menerus, tetapi keduanya mengemas idealismenya.*
                        ___________________________________________

Penulis adalah, pemerhati dan pegiat masalah politik kepemiluan di Indonesia, tinggal di Jakarta.

Selasa, 10 Juni 2014

Manivesto Pemilu Berintegritas

Oleh: Rahman Yasin

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Komisi 2 pada Rapat Kerja Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hari Senin tanggal 4/6/2012 sebagai tindaklanjut dari RDP sebelumnya tanggal 21/5, dimana mereka menyepakati untuk secepatnya membentuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Alhasil, momen RDP hari Senin 4/6 perkembangan yang terjadi Komisi 2 DPR mengumumkan 3 nama calon anggota DKPP.
Sebagai tindaklanjut agenda RDP, KPU dan Bawaslu langsung menggelar rapat pleno masing-masing internal dengan tujuan menetapkan nama calon anggota DKPP. KPU mengutus anggota komisioner Ida Budiarti, dan Bawaslu mengutus anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak. RDP hari Senin 4/6 Komisi 2 menyampaikan perkembangan terkait pengajuan 3 nama calon anggota DKPP dari unsur masyarakat yang merupakan hasil seleksi mereka yakni Jimly Asshiddiqie, Nur Hidayat Sardini, dan Saut Hutamongan Sirait. Jimly sosok cendikiawan yang profesional, Nur Hidayat Sardini merupakan intelektual muda yang energik dan dedikasinya pada persoalan pemilu tidak diragukan, serta mantan anggota KPU pergantian antar waktu (PAW), Saut Hutamongan Sirait yang menggantikan komisioner KPU Andi Nurpati karena dipecat sebagai sosok yang kreatif. Diumumkan 3 nama calon anggota DKPP tersebut paling tidak mampu mereduksi polemik soal ketertutupan DPR selama beberapa pekan terakhir.
Terlepas dari interpretasi dan persepsi politik apapun yang dibangun para aktor politik dan berkembang di masyarakat tentang isu politisasi atau adanya vested inters dalam proses seleksi yang dilakukan Komisi 2, namun, dengan muncul 3 nama tersebut sekurang-kurangnya membuat publik lega. Meski apa yang dilakukan DPR tidak kemudian memuaskan semua pihak. Tetapi paling tidak DPR telah mengambil sebuah keputusan politik yang produktif karena dengan waktu yang diberikan Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu bisa dijalankan secara konsisten.
DPR, KPU, dan Bawaslu sudah secara resmi mengajukan nama-nama calon anggota DKPP, tinggal pemerintah. Pemerintah diharapkan bersikap terbuka dan betul-betul mengedepankan aspek proporsionalitas dan profesionalitas dalam memilih calon anggota DKPP. Pemerintah seharusnya lebih dahulu memberikan contoh yang positif dalam mengambil keputusan yang akuntabel. Jika pemerintah memperlambat proses pembentukan DKPP maka sangat boleh jadi public menaruh curiga pada pemerintah. Semakin di molor proses ini maka semakin tidak percaya masyarakat pada pemerintah. Karena sesuai jadwal tahapan pembentukan DKPP menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 waktu yang diberikan hanya dua bulan yakni setelah komisioner KPU dan Bawaslu mengambil sumpah dan janji.
Keberadaan DKPP sangatlah diperlukan apalagi di beberapa daerah termasuk provinsi DKI Jakarta yang tengah menyelenggarakan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) sehingga kehadirannya menjadi begitu penting guna mengurangi potensi pelanggaran Pemilu Kada. Mengingat eksistensi DKPP menjadi basis kekuatan moral yang menjaga dan mengawal kehormatan Pemilu di Indonesia.
Sebetulnya pemerintah tidak perlu menunda-nunda apabila merujuk pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu, Pasal 109 ayat (3) yang memerintahkan agar DKPP dibentuk paling lama 2 (dua) bulan sejak anggota KPU dan anggota Bawaslu mengucapkan sumpah/janji. KPU dilantik pada hari kamis tanggal 12/4/2012 dengan Keppres No. 34/P/2012, dan Bawaslu dengan Keppres No. 35/P/2012 sehingga dengan demikian, jika DPR dan pemerintah komitmen berpijak pada amanat UU No. 15/2011 tersebut maka tidak ada alasan pemerintah mengulur pembentukan DKPP.
Persiapan penyelenggaraan pemilu dan pemilu Kada bagi setiap tahapan memerlukan pengawasan teknis maupun pengawasan etik yang kuat dari berbagai elemen masyarakat terutama lembaga resmi negara yang dibekali dengan peraturan dan perundang-undangan. DKPP memiliki peran strategis sekaligus jadi tumpuan masyarakat bagi terselenggaranya pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber), dan jujur, dan adil (Jurdil). Artinya, kualitas proses maupun hasil pelaksanaan Pemilu sangat ditentukan seberapa jauh peran pengawasan kode etik dari DKPP.
DKPP berperan kuat melakukan pengawasan kode etik bagi penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, pemerintah harus mempercepat proses pembentukan DKPP KPU-Bawaslu. Komitmen keseriusan pemerintah memperbaiki kualitas dan integritas demokrasi dipertanyakan publik bila presiden tidak secepatnya memutuskan 2 dari 4 nama yang sudah diajukan Kemendagri sebagai perwakilan pemerintah. Keberadaan DKPP merupakan suatu keniscayaan karena tahapan pemilu 2014 sudah di mulai sehingga memerlukan persiapan dan penyesuaian kelembagaan berdasarkan tugas dan fungsi (Tupoksi). Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu, Pasal 109 ayat (2), disebutkan, DKPP memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU pusat hingga daerah bahkan sampai pada tingkat paling bawah yakni KPPS, dan KPPSLN. Hal serupa juga di Bawaslu dari tingkat pusat hingga paling bawah yakni anggota PPL, dan PPLN.
Pengalaman empirik menunjukkan betapa kualitas proses maupun hasil penyelenggaraan pemilu pasca reformasi selalu bermuatan politisasi karena penyelenggara pemilu merupakan instrumen paling strategis. Penataan demokrasi mengalami kemacetan akibat kekurangseriusan pemerintah merespon persoalan ini. Pemilu 2009 seakan-akan menjadi sumber “kebencian politik” bagi banyak partai politik terutama partai politik yang dirugikan akibat ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu.

Integritas Pemilu

Integritas proses maupun hasil penyelenggaraan pemilu tidak lepas dari integritas keanggotaan DKPP. Karena bagaimana pun kualitas dan integritas proses dan hasil pemilu tidak hanya melahirkan legitimasi politik masyarakat luas secara kuat tetapi legitimasi moralitas induvidu dalam struktur keanggotaan DKPP menjadi sangat menentukan bagi proses dan hasil pemilu. Artinya kehormatan penyelenggaraan pemilu secara moralitas dibangun oleh kinerja dan gerakan DKPP.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 Pasal 112 ayat (11), memberikan wewenang bagi DKPP memberikan sanksi teguran tertulis, memberhentikan sementara anggota KPU dan Bawaslu di semua tingkatan, hingga pemberhentian bersifat tetap. Martabat pemilu untuk mewujudkan legitimasi moral masyarakat pada anggota KPU dan anggota Bawaslu dalam menyelenggarakan pemilu tidak bisa dipisahkan dari profesionalisme anggota DKPP baik secara individu maupun kelembagaan. Apalagi status DKPP produk Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 yang merupakan hasil revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 semakin diperkuat keberadaannya yakni dari ad hock menjadi permanen.
Dalam konteks ini, presiden dituntut benar-benar selektif, akurat, dan mengedepankan asas akuntabilitas mengambil 2 duna nama calon sebagai perwakilan pemerintah. Betapapun tuntutan kuat dari publik, dan keinginan semua pihak untuk menghasilkan calon anggota DKPP yang memiliki syarat kualifikatif tetapi tanpa didasari kemauan bijak konsisten secara moral menjalankan peraturan dan perundangan-undangan maka potensi tidak percaya publik terhadap pemerintah suatu waktu pasti akan terjadi.
Proses pemilihan 2 dari 4 nama calon anggota DKPP semestinya dilakukan dengan cara-cara yang etis dan demokratis karena kehormatan lembaga ini pada proses selanjutnya dapat diukur melalui kualitas proses politik yang terjadi pada pemerintahan sekarang. 4 nama calon yang diusulkan Kesbangpol Kemendagri ke presiden pun masih tertutup. Yang paling penting kesadaran politik pemerintah secara bijak untuk mengambil kader-kader bangsa yang memiliki kompetensi soal dunia kepemiluan di Indonesia. Pemerintah sudah saatnya, dan sudah sepatutnya memilih calon anggota yang betul-betul memiliki rekam jejak (track record) kepemiluan yang teruji secara publik.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu pada junto putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai keanggotaan DKPP terdiri dari 1 orang unsur KPU, 1 orang lagi dari unsur KPU, 2 dari unsur pemerintah, dan 3 dari unsur tokoh masyarakat. Perkembangan yang muncul kemudian adalah DPR, KPU, Bawaslu, dan pemerintah masing-masing sudah mengajukan nama sesuai proses dan mekanisme intern.

Pertaruhan DKKP
Tidak bisa dimungkiri bahwa performa kapasitas kinerja DKPP menjadi pertaruhan kredebilitas DPR dan pemerintah periode sakarang karena peran legislatif dan eksekutif begitu penting dalam proses pembentukan DKPP.  Begitu juga kualitas proses maupun hasil penyelenggaraan pemilu 2014 dan pemilu kada di seluruh Indonesia selama lima tahun ke depan. Mengingat pemilu merupakan sebuah ajang yang tidak semata menjalankan demokratisasi tetapi pemilu mengharuskan adanya sirkulasi kepemimpinan bangsa.
Oleh sebab itu, tugas penting yang harus dilakukan pemerintah ialah membuat komitmen moral dengan 2 nama calon sebagai perwakilan pemerintah  bila perlu dituangkan dalam pakta integritas untuk senantiasa mengedepankan asas kesamaan persepsi dengan tetap konsisten menjalankan ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang ada. Calon anggota DKPP perwakilan pemerintah haruslah orang yang betul-betul memiliki track record kepemiluan baik dari konteks penguasaan pemilu secara konsep maupun pengalaman mengelola pemilu secara teknis. Kemampuan menyelesaikan persoalan kepemiluan dan memiliki pengalaman panjang serta yang paling penting adalah bersosok pemimpin yang tegas namun selalu adil dalam pengambilan keputusan. Calon anggota DKPP yang diharapkan masyarakat, siap bekerja secara profesional dan penuh tanggjungwab.
DPR dan pemerintah harus kerja cerdas dan kerja produktif dalam rangka membangun ekspektasi publik mengenai calon anggota DKPP yang tentu tetap mengedepankan aspek kompetensi dan kapabilitas kepemimpinan. Anggota DKPP yang berkepemimpinan transformatif dan autokratis. Dengan gaya kepemimpinan transformatif dan autokratis maka apa yang dikatakan Ralph M. Stogdill sebagai authority (wewenang) akan mampu dijalankan secara tegas dan profesional oleh anggota DKPP. Keanggotaan DKPP hendaknya diisi oleh orang-orang yang tidak dikonstruksi oleh proses politik yang tidak fair tetapi orang-orang yang memang betul-betul dibentuk di dunia kepemiluan. Hal ini sejalan dengan konsep environmental theory yang mengatakan, leader are not born. Calon anggota DKPP siap bekerja secara kolektif kolegial dan tidak memainkan peran ganda. Karena sebagai pengawal moralitas penyelenggara pemilu dituntut senantiasa konsisten pada rambu-rambu kebenaran dan kebaikan universal. Tidak ada intrik politik sektoral karena simbol perwakilan tetapi ketika mereka menyatu dalam sistem maka yang paling penting adalah menjalankan tugas dan tanggungjawab dengan baik.
Masyarakat berharap agar pemerintah mampu melakukan terobosan berarti untuk perubahan kualitas dan integritas penyelenggaraan pemilu. Profesionalisme dan independensi seorang anggota DKPP menjadi taruhan moral DPR dan pemerintah. Karena bagaimanapun, sebagai ekses kualitas dan integritas proses maupun hasil pemilu 2014 dan pemilu kada di masa-masa yang akan datang secara otomatis tidak bisa lepas dari pertaruhan kinerja Komisi II DPR, KPU, Bawaslu, dan pemerintah sekarang. Karena Komisi II DPR dan pemerintahlah melalui Undang-Undang diberikan wewenang membentuk DKPP.

                                    __________________________________________
Penulis adalah Pegiat Masalah Pemilu dan Politik di Indonesia, tinggal di Jakarta



Jakarta, 7 Juli 2012