Selasa, 10 Juni 2014

Manivesto Pemilu Berintegritas

Oleh: Rahman Yasin

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Komisi 2 pada Rapat Kerja Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hari Senin tanggal 4/6/2012 sebagai tindaklanjut dari RDP sebelumnya tanggal 21/5, dimana mereka menyepakati untuk secepatnya membentuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Alhasil, momen RDP hari Senin 4/6 perkembangan yang terjadi Komisi 2 DPR mengumumkan 3 nama calon anggota DKPP.
Sebagai tindaklanjut agenda RDP, KPU dan Bawaslu langsung menggelar rapat pleno masing-masing internal dengan tujuan menetapkan nama calon anggota DKPP. KPU mengutus anggota komisioner Ida Budiarti, dan Bawaslu mengutus anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak. RDP hari Senin 4/6 Komisi 2 menyampaikan perkembangan terkait pengajuan 3 nama calon anggota DKPP dari unsur masyarakat yang merupakan hasil seleksi mereka yakni Jimly Asshiddiqie, Nur Hidayat Sardini, dan Saut Hutamongan Sirait. Jimly sosok cendikiawan yang profesional, Nur Hidayat Sardini merupakan intelektual muda yang energik dan dedikasinya pada persoalan pemilu tidak diragukan, serta mantan anggota KPU pergantian antar waktu (PAW), Saut Hutamongan Sirait yang menggantikan komisioner KPU Andi Nurpati karena dipecat sebagai sosok yang kreatif. Diumumkan 3 nama calon anggota DKPP tersebut paling tidak mampu mereduksi polemik soal ketertutupan DPR selama beberapa pekan terakhir.
Terlepas dari interpretasi dan persepsi politik apapun yang dibangun para aktor politik dan berkembang di masyarakat tentang isu politisasi atau adanya vested inters dalam proses seleksi yang dilakukan Komisi 2, namun, dengan muncul 3 nama tersebut sekurang-kurangnya membuat publik lega. Meski apa yang dilakukan DPR tidak kemudian memuaskan semua pihak. Tetapi paling tidak DPR telah mengambil sebuah keputusan politik yang produktif karena dengan waktu yang diberikan Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu bisa dijalankan secara konsisten.
DPR, KPU, dan Bawaslu sudah secara resmi mengajukan nama-nama calon anggota DKPP, tinggal pemerintah. Pemerintah diharapkan bersikap terbuka dan betul-betul mengedepankan aspek proporsionalitas dan profesionalitas dalam memilih calon anggota DKPP. Pemerintah seharusnya lebih dahulu memberikan contoh yang positif dalam mengambil keputusan yang akuntabel. Jika pemerintah memperlambat proses pembentukan DKPP maka sangat boleh jadi public menaruh curiga pada pemerintah. Semakin di molor proses ini maka semakin tidak percaya masyarakat pada pemerintah. Karena sesuai jadwal tahapan pembentukan DKPP menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 waktu yang diberikan hanya dua bulan yakni setelah komisioner KPU dan Bawaslu mengambil sumpah dan janji.
Keberadaan DKPP sangatlah diperlukan apalagi di beberapa daerah termasuk provinsi DKI Jakarta yang tengah menyelenggarakan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) sehingga kehadirannya menjadi begitu penting guna mengurangi potensi pelanggaran Pemilu Kada. Mengingat eksistensi DKPP menjadi basis kekuatan moral yang menjaga dan mengawal kehormatan Pemilu di Indonesia.
Sebetulnya pemerintah tidak perlu menunda-nunda apabila merujuk pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu, Pasal 109 ayat (3) yang memerintahkan agar DKPP dibentuk paling lama 2 (dua) bulan sejak anggota KPU dan anggota Bawaslu mengucapkan sumpah/janji. KPU dilantik pada hari kamis tanggal 12/4/2012 dengan Keppres No. 34/P/2012, dan Bawaslu dengan Keppres No. 35/P/2012 sehingga dengan demikian, jika DPR dan pemerintah komitmen berpijak pada amanat UU No. 15/2011 tersebut maka tidak ada alasan pemerintah mengulur pembentukan DKPP.
Persiapan penyelenggaraan pemilu dan pemilu Kada bagi setiap tahapan memerlukan pengawasan teknis maupun pengawasan etik yang kuat dari berbagai elemen masyarakat terutama lembaga resmi negara yang dibekali dengan peraturan dan perundang-undangan. DKPP memiliki peran strategis sekaligus jadi tumpuan masyarakat bagi terselenggaranya pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber), dan jujur, dan adil (Jurdil). Artinya, kualitas proses maupun hasil pelaksanaan Pemilu sangat ditentukan seberapa jauh peran pengawasan kode etik dari DKPP.
DKPP berperan kuat melakukan pengawasan kode etik bagi penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, pemerintah harus mempercepat proses pembentukan DKPP KPU-Bawaslu. Komitmen keseriusan pemerintah memperbaiki kualitas dan integritas demokrasi dipertanyakan publik bila presiden tidak secepatnya memutuskan 2 dari 4 nama yang sudah diajukan Kemendagri sebagai perwakilan pemerintah. Keberadaan DKPP merupakan suatu keniscayaan karena tahapan pemilu 2014 sudah di mulai sehingga memerlukan persiapan dan penyesuaian kelembagaan berdasarkan tugas dan fungsi (Tupoksi). Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu, Pasal 109 ayat (2), disebutkan, DKPP memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU pusat hingga daerah bahkan sampai pada tingkat paling bawah yakni KPPS, dan KPPSLN. Hal serupa juga di Bawaslu dari tingkat pusat hingga paling bawah yakni anggota PPL, dan PPLN.
Pengalaman empirik menunjukkan betapa kualitas proses maupun hasil penyelenggaraan pemilu pasca reformasi selalu bermuatan politisasi karena penyelenggara pemilu merupakan instrumen paling strategis. Penataan demokrasi mengalami kemacetan akibat kekurangseriusan pemerintah merespon persoalan ini. Pemilu 2009 seakan-akan menjadi sumber “kebencian politik” bagi banyak partai politik terutama partai politik yang dirugikan akibat ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu.

Integritas Pemilu

Integritas proses maupun hasil penyelenggaraan pemilu tidak lepas dari integritas keanggotaan DKPP. Karena bagaimana pun kualitas dan integritas proses dan hasil pemilu tidak hanya melahirkan legitimasi politik masyarakat luas secara kuat tetapi legitimasi moralitas induvidu dalam struktur keanggotaan DKPP menjadi sangat menentukan bagi proses dan hasil pemilu. Artinya kehormatan penyelenggaraan pemilu secara moralitas dibangun oleh kinerja dan gerakan DKPP.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 Pasal 112 ayat (11), memberikan wewenang bagi DKPP memberikan sanksi teguran tertulis, memberhentikan sementara anggota KPU dan Bawaslu di semua tingkatan, hingga pemberhentian bersifat tetap. Martabat pemilu untuk mewujudkan legitimasi moral masyarakat pada anggota KPU dan anggota Bawaslu dalam menyelenggarakan pemilu tidak bisa dipisahkan dari profesionalisme anggota DKPP baik secara individu maupun kelembagaan. Apalagi status DKPP produk Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 yang merupakan hasil revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 semakin diperkuat keberadaannya yakni dari ad hock menjadi permanen.
Dalam konteks ini, presiden dituntut benar-benar selektif, akurat, dan mengedepankan asas akuntabilitas mengambil 2 duna nama calon sebagai perwakilan pemerintah. Betapapun tuntutan kuat dari publik, dan keinginan semua pihak untuk menghasilkan calon anggota DKPP yang memiliki syarat kualifikatif tetapi tanpa didasari kemauan bijak konsisten secara moral menjalankan peraturan dan perundangan-undangan maka potensi tidak percaya publik terhadap pemerintah suatu waktu pasti akan terjadi.
Proses pemilihan 2 dari 4 nama calon anggota DKPP semestinya dilakukan dengan cara-cara yang etis dan demokratis karena kehormatan lembaga ini pada proses selanjutnya dapat diukur melalui kualitas proses politik yang terjadi pada pemerintahan sekarang. 4 nama calon yang diusulkan Kesbangpol Kemendagri ke presiden pun masih tertutup. Yang paling penting kesadaran politik pemerintah secara bijak untuk mengambil kader-kader bangsa yang memiliki kompetensi soal dunia kepemiluan di Indonesia. Pemerintah sudah saatnya, dan sudah sepatutnya memilih calon anggota yang betul-betul memiliki rekam jejak (track record) kepemiluan yang teruji secara publik.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu pada junto putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai keanggotaan DKPP terdiri dari 1 orang unsur KPU, 1 orang lagi dari unsur KPU, 2 dari unsur pemerintah, dan 3 dari unsur tokoh masyarakat. Perkembangan yang muncul kemudian adalah DPR, KPU, Bawaslu, dan pemerintah masing-masing sudah mengajukan nama sesuai proses dan mekanisme intern.

Pertaruhan DKKP
Tidak bisa dimungkiri bahwa performa kapasitas kinerja DKPP menjadi pertaruhan kredebilitas DPR dan pemerintah periode sakarang karena peran legislatif dan eksekutif begitu penting dalam proses pembentukan DKPP.  Begitu juga kualitas proses maupun hasil penyelenggaraan pemilu 2014 dan pemilu kada di seluruh Indonesia selama lima tahun ke depan. Mengingat pemilu merupakan sebuah ajang yang tidak semata menjalankan demokratisasi tetapi pemilu mengharuskan adanya sirkulasi kepemimpinan bangsa.
Oleh sebab itu, tugas penting yang harus dilakukan pemerintah ialah membuat komitmen moral dengan 2 nama calon sebagai perwakilan pemerintah  bila perlu dituangkan dalam pakta integritas untuk senantiasa mengedepankan asas kesamaan persepsi dengan tetap konsisten menjalankan ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang ada. Calon anggota DKPP perwakilan pemerintah haruslah orang yang betul-betul memiliki track record kepemiluan baik dari konteks penguasaan pemilu secara konsep maupun pengalaman mengelola pemilu secara teknis. Kemampuan menyelesaikan persoalan kepemiluan dan memiliki pengalaman panjang serta yang paling penting adalah bersosok pemimpin yang tegas namun selalu adil dalam pengambilan keputusan. Calon anggota DKPP yang diharapkan masyarakat, siap bekerja secara profesional dan penuh tanggjungwab.
DPR dan pemerintah harus kerja cerdas dan kerja produktif dalam rangka membangun ekspektasi publik mengenai calon anggota DKPP yang tentu tetap mengedepankan aspek kompetensi dan kapabilitas kepemimpinan. Anggota DKPP yang berkepemimpinan transformatif dan autokratis. Dengan gaya kepemimpinan transformatif dan autokratis maka apa yang dikatakan Ralph M. Stogdill sebagai authority (wewenang) akan mampu dijalankan secara tegas dan profesional oleh anggota DKPP. Keanggotaan DKPP hendaknya diisi oleh orang-orang yang tidak dikonstruksi oleh proses politik yang tidak fair tetapi orang-orang yang memang betul-betul dibentuk di dunia kepemiluan. Hal ini sejalan dengan konsep environmental theory yang mengatakan, leader are not born. Calon anggota DKPP siap bekerja secara kolektif kolegial dan tidak memainkan peran ganda. Karena sebagai pengawal moralitas penyelenggara pemilu dituntut senantiasa konsisten pada rambu-rambu kebenaran dan kebaikan universal. Tidak ada intrik politik sektoral karena simbol perwakilan tetapi ketika mereka menyatu dalam sistem maka yang paling penting adalah menjalankan tugas dan tanggungjawab dengan baik.
Masyarakat berharap agar pemerintah mampu melakukan terobosan berarti untuk perubahan kualitas dan integritas penyelenggaraan pemilu. Profesionalisme dan independensi seorang anggota DKPP menjadi taruhan moral DPR dan pemerintah. Karena bagaimanapun, sebagai ekses kualitas dan integritas proses maupun hasil pemilu 2014 dan pemilu kada di masa-masa yang akan datang secara otomatis tidak bisa lepas dari pertaruhan kinerja Komisi II DPR, KPU, Bawaslu, dan pemerintah sekarang. Karena Komisi II DPR dan pemerintahlah melalui Undang-Undang diberikan wewenang membentuk DKPP.

                                    __________________________________________
Penulis adalah Pegiat Masalah Pemilu dan Politik di Indonesia, tinggal di Jakarta



Jakarta, 7 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar